Menu Close
Mencuci tangan dengan sabun merupakan aktivitas penting untuk mencegah penularan virus corona yang menempel di tangan. Hermawanandik/Shutterstock

Seberapa besar penderita kanker berisiko terinfeksi COVID-19?

Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada seluruh aspek kehidupan sehari-hari termasuk pada layanan kesehatan penderita kanker.

Ketiadaan vaksin dan obat menjadikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), walau kini mulai dilonggarkan, krusial untuk dilaksanakan saat ini sebagai upaya mencegah terpuruknya sistem kesehatan di Indonesia.

Masalahnya, upaya tersebut dapat menghambat pelayanan pada pasien kanker di Indonesia karena mereka takut terinfeksi virus SARS-CoV-2 saat berkunjung ke rumah sakit dan bertemu tenaga kesehatan.

Pada saat bersamaan, sistem kesehatan melemah karena mayoritas sumber daya kesehatan dicurahkan untuk menangani pasien COVID-19 yang jumlahnya terus meningkat. Kemungkinan lebih buruk bisa terjadi karena kita belum tahu kapan wabah ini berakhir.

Padahal, keterlambatan diagnosis dan terapi dalam kasus kanker dapat menimbulkan penyebaran ke jaringan atau organ tubuh lain. Beberapa tumor jaringan padat yang ganas (seperti kanker paru dan kanker pankreas) serta kanker darah (seperti leukemia akut) membutuhkan diagnosis dan pengobatan sesegera mungkin.

Walau wabah COVID-19 di Indonesia memasuki bulan keempat, Kementerian Kesehatan belum menerbitkan panduan ihwal pengambilan keputusan tata laksana pada setiap jenis kanker yang ditujukan untuk tenaga medis pada masa pandemi ini. Panduan untuk penyakit lain seperti pelayanan Tuberkulosis telah diterbitkan.

Selain penting bagi tenaga kesehatan, panduan yang berisi edukasi bagi para pasien/survivor kanker di Indonesia juga sangat diperlukan. Apalagi angka kejadian penyakit kanker begitu besar, mencapai 136,2 orang dari 100.000 penduduk di Indonesia pada 2018.

Yang mengkhawatirkan, menurut data Kementerian Kesehatan , prevalensi kanker di Indonesia naik dari 1,4 per 1000 penduduk (tahun 2013) menjadi 1,8 per 1000 penduduk (2018).

Faktor risiko COVID-19 pada penderita kanker

Hingga saat ini belum terdapat bukti kuat bahwa kanker meningkatkan risiko terinfeksi COVID-19.

Sebuah penelitian di Cina menunjukkan sebanyak 18 pasien kanker (1% dari 1590 orang yang diteliti) memiliki risiko lebih tinggi mengalami perburukan penyakit dari COVID-19 yang ditunjukkan dengan peningkatan kebutuhan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan penggunaan mesin bantu nafas atau ventilator.

Perlu dicatat bahwa jumlah pasien kanker dalam riset tersebut sangat sedikit (1% dari 1590 sampel) dan hanya 4 dari 18 pasien kanker tersebut yang sedang dalam pengobatan kanker. Selain itu, rata-rata usia yang berbeda pada pasien dengan kanker versus pasien non-kanker (63,1 vs. 48,7 tahun) seolah-olah memberikan kesan bahwa pasien mengalami komplikasi akibat umur yang telah diketahui berperan dalam meningkatkan risiko terinfeksi penyakit COVID-19 dan bukan akibat kanker yang diderita.

Selain itu, 12 dari 18 pasien tersebut tidak memiliki riwayat terapi kanker dalam 1 tahun terakhir dan mereka memiliki riwayat merokok yang lebih lama dibandingkan dengan pasien non-kanker dalam penelitian tersebut.

Lalu bagaimana dengan pasien kanker yang sedang atau baru-baru ini mendapat terapi kanker, seperti kemoterapi, yang mengganggu sistem imun tubuh?

Hingga saat tulisan ini dibuat, belum terdapat bukti ilmiah terkait hal ini. Dengan demikian, hubungan antara risiko COVID-19 pada penderita dan survivor kanker masih belum jelas.

Selain itu, risiko tersebut sangat dipengaruhi oleh umur, tipe kanker, jenis terapi yang diterima, rentang waktu setelah terapi terakhir, serta penyakit penyerta lain yang dimiliki.

Pasien kanker terhambat dapat pengobatan

Tenaga medis, alat pelindung diri (APD), kapasitas ICU, dan ventilator yang terbatas di Indonesia, ditambah dengan adanya pandemi COVID-19, semakin menghambat akses layanan bagi pasien/survivor kanker.

Akibatnya, terjadi gangguan terhadap kunjungan pemantauan, operasi, kemoterapi, serta radiasi bagi pasien lama/survivor, serta keterlambatan diagnosis bagi pasien baru.

Selain itu, pasien/survivor kanker biasanya mendapatkan jadwal untuk pemeriksaan darah dan pencitraan secara rutin untuk mendeteksi adanya potensi kekambuhan.

Sebagai salah satu penyakit kronis yang membutuhkan pemantauan dan pengobatan secara rutin, adanya PSBB menunjukkan pentingnya edukasi terhadap pencegahan infeksi COVID-19 yang dapat dilakukan penderita kanker serta orang yang merawat di rumah, serta untuk mencegah terjadinya perburukan penyakit kanker yang diderita.

Kementerian Kesehatan dan rumah sakit harus memastikan bahwa seluruh fasilitas kesehatan yang melayani kasus kanker di Indonesia menjamin pelayanan kesehatan yang merata.

Upaya yang dapat dilakukan tenaga kesehatan

Hal yang kini paling mendesak adalah Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi kesehatan harus segera membuat panduan untuk penanganan kanker selama masa pandemi COVID-19 bagi seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani kasus kanker di Indonesia untuk menjamin pelayanan kesehatan yang merata.

Panduan itu harus menjawab: adakah pasien yang harus ditunda perawatannya? Bagaimana proses pemantauan kondisi para survivor kanker? Bagaimana tata laksana COVID-19 pada penderita kanker?

American College of Surgeons serta European Society for Medical Oncology, misalnya, telah mengeluarkan panduan yang bertujuan untuk memandu para dokter bedah onkologi dalam melakukan triage (pengelompokan pasien berdasarkan berat-ringannya penyakit) dan pengambilan keputusan tata laksana pada setiap jenis kanker.

Panduan terkait komunikasi berbasis daring antara dokter dan pasien serta berbasis case by case adalah salah satu poin relevan yang dapat diimplementasikan di Indonesia. Dokter harus melakukan penilaian sesuai dengan kondisi masing-masing pasien. Hal ini bertujuan untuk menyaring hanya kasus kegawatdaruratan yang memerlukan kunjungan ke rumah sakit dan mengurangi risiko tertular COVID-19.

Dibutuhkan adanya penilaian dari dokter untuk menentukan apakah pemeriksaan secara langsung, pemantauan efek samping pengobatan, dan tata laksana dapat ditunda atau tidak.

Dalam situasi pandemi, tenaga medis harus tetap selalu berpikir dan bertindak secara ilmiah serta berbasis bukti. Selain itu, segala jenis studi ilmiah terkait kanker dan COVID-19 di Indonesia harus dipublikasikan sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran serta dasar pengambilan kebijakan.

Upaya bagi pasien

Bagi pasien/survivor kanker dan orang yang merawat di rumah, upaya pencegahan penyakit COVID-19 dapat dilakukan dengan mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir selama minimal 20 detik. Langkah ini perlu dilakukan setelah beraktivitas di luar rumah, sesudah menerima barang dari luar rumah, serta sebelum memasak dan makan.

Selalu menggunakan masker, sesuai anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO), khususnya saat keluar rumah. Ikuti anjuran pemerintah untuk melakukan PSBB.

Konsultasikan dengan dokter Anda apakah perlu untuk dilakukan self-isolation yang berarti larangan untuk keluar rumah sama sekali. Upaya pencegahan ini harus berdasar pada penilaian dokter yang merawat dan sesuai dengan risiko masing-masing.

Bagi pasien yang sedang menjalani atau baru-baru ini menerima kemoterapi, pasien harus secara lebih disiplin dalam mencegah penularan COVID-19. Ini penting karena ada kemungkinan peningkatan risiko tertular COVID-19 akibat salah satu efek samping terapi yang melemahkan sistem imun, meski bukti ilmiahnya masih terbatas.

Untuk mencegah penyakit kanker makin memburuk, penderita kanker dan orang yang merawat di rumah harus selalu menaati protokol pengobatan di rumah. Mereka juga harus memperhatikan adanya perburukan gejala atau munculnya gejala baru.

Jika keadaan memburuk, segera lapor ke dokter bedah onkologi yang merawat melalui telepon atau media komunikasi daring yang tersedia.

Terlepas dari semua hal di atas, percepatan dalam penanganan COVID-19 selalu harus menjadi prioritas utama pemerintah tanpa mengabaikan penanganan penyakit lain sebagai upaya pencegahan munculnya beban penyakit tambahan di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now