Menu Close
Dua kekasih digambarkan pada permadani abad pertengahan.
Mawar berwarna merah, burung pencuri berwarna biru. Leherku sakit, apakah kamu juga tidak nyaman? Universitatbibliothek Heidelberg

Sejarah arti Hari Valentine dari Abad Pertengahan

Hari Valentine mengganggu banyak orang.

Bagi banyak orang dalam suatu hubungan, tuntutan untuk membuat pasangan terkesan dapat menjadi sangat berat, dan hadiah mahal berfungsi sebagai pengingat komersialisasi Hari Valentine yang tiada henti. Sementara itu, mereka yang masih mencari cinta merayakan Hari Valentine dengan rasa takut – sebuah pengingat akan status lanjang mereka dan tuntutan untuk mencari pasangan.

Sebagai sejarawan sastra yang telah mempelajari asal mula Hari Valentine, saya merasa ini memalukan. Ketika gagasan Hari Valentine sebagai hari romansa muncul di tahun 1380-an, hari Valentine merayakan cinta sebagai kekuatan hidup alami – burung memilih pasangannya, kebebasan untuk memilih atau menolak cinta, dan datangnya musim semi. Namun, bahkan banyak orang tidak memahami atau menghargai hal-hal ini. Faktanya, inilah mengapa Hari Valentine dibuat.

Syair-syair cinta

Orang pertama yang menulis tentang Hari Valentine – hari raya yang berakar dari budaya pagan kuno – sebagai hari libur untuk merayakan cinta dan kekasih adalah kesatria Inggris Geoffrey Chaucer abad ke-14 dan temannya, kesatria dan penyair Oton III de Granson yang dikagumi secara internasional dari Savoy di Prancis modern. Kedua penyair itu diakui pada masanya sebagai pembela hak asasi manusia. Bersama-sama, mereka tampaknya telah meramu Hari Valentine sebagai hari untuk kekasih.

Karya mereka mendukung prinsip-prinsip yang masih penting bagi kita saat ini, terutama hak untuk memilih secara bebas dalam cinta dan hak untuk menolak rayuan romantis.

Chaucer dan Granson bertemu untuk melayani Raja Inggris Richard II dan mengagumi puisi mereka satu sama lain. Puisi mereka tentang Hari Valentine menunjukkan bahwa mereka berperan sebagai tim kesatria internasional untuk mengatasi masalah mendesak dalam teori dan praktik cinta, baik dulu maupun sekarang.

Dalam puisi “The Parliament of Fowls,” Chaucer menghadirkan Hari Valentine sebagai hari ketika burung-burung berkumpul untuk memilih pasangannya di bawah pengawasan alam. Dalam puisi yang disajikan sebagai mimpi, tiga elang yang bersaing mengungkapkan komitmen seumur hidup mereka untuk satu betina. Burung-burung dari status sosial yang lebih rendah dan temperamen yang berbeda, mengantre dan bertengkar tentang bagaimana mengatasi kebuntuan agar mereka juga dapat memilih pasangannya.

Ukiran empat elang di pohon seperti yang digambarkan dalam '_Parliament of Fowls_' karya Geoffrey Chaucer
Ilustrasi puisi abad ke-19 ‘Parliament of Fowls’ karya Chaucer. The Print Collector/Getty Images

Dalam skenarionya, dua elang harus kecewa – Hari Valentine bukanlah jaminan bahwa semua akan menemukan cinta. Namun, pada akhirnya, elang betina yang bijaksana memperoleh hak untuk mengambil waktu dalam menentukan pasangannya dari sosok Alam. Dia memilih untuk tidak memilih. Ini adalah kisah tentang seseorang yang menunggu untuk mengenali cinta sejati seseorang, mengetahui hatimu sendiri, dan memiliki hak untuk memilih pasanganmu sendiri.

Kisah Chaucer berhubungan dengan hubungan dalam kehidupan nyata yang melibatkan tiga pelamar dan berakhir dengan pernikahan dua anak berusia 15 tahun: Richard II dan putri Anne dari Bohemia pada tahun 1382.

Sementara itu, Granson mempromosikan Hari Valentine dalam puisi Prancisnya sebagai hari bagi pecinta manusia untuk memilih satu sama lain dan mengikrarkan cinta mereka, seperti halnya burung. Granson menjanjikan cintanya yang abadi kepada seorang perempuan misterius dalam puisinya “Complaint to Saint Valentine.” Tidak ada barang yang terlibat dan tidak ada hadiah yang diharapkan.

Cinta yang bebas

Perayaan cinta Chaucer dan Granson sebagai hubungan antara pasangan dan penyatuan jiwa yang didasarkan pada rasa hormat dan kebebasan memilih, bertentangan dengan banyak tradisi pada zaman mereka.

Sepanjang Abad Pertengahan, sebagian besar pernikahan diatur dan sering kali dipaksakan, biasanya di masa kanak-kanak – sebagaimana yang masih banyak masih terjadi hingga saat ini – dengan dukungan penuh dari tradisi dan hukum. Kehidupan orang suci dan dokumen hukum menjelaskan bahwa orang tua memaksa anak untuk menikah dengan kekerasan. Ayah Chaucer sendiri diculik pada usia 12 tahun oleh bibinya dalam upaya untuk memaksanya menikahi putrinya untuk mendapatkan kendali atas warisannya.

Dalam konteks ini, Chaucer dan Granson mereimajinasi festival Hari Valentine yang sudah ada untuk merayakan potensi keindahan cinta itu sendiri. Di dunia di mana pernikahan paksa dan pernikahan anak masih terlalu umum, penting untuk merenungkan visi Chaucer dan Granson. Penemuan kembali mereka tentang Hari Valentine membuka mata para penyair, ksatria, perempuan, dan orang biasa akan perlunya rasa hormat dan harga diri dalam sebuah hubungan – dan nilai kerja sama yang dilakukan untuk cinta, bukan hanya untuk nafsu, kekuasaan, atau uang.

Pelayan cinta, kedua penyair ksatria ini membuat Hari Valentine layannya hadiah untuk generasi mendatang. Usaha mereka yang bersifat kesatria pantas dirayakan saat kita mengejar kebahagiaan kita sendiri.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now