Menu Close

Seks, skizofrenia dan ironi sejarah hukum pidana Indonesia

Penolakan UU KUHP. Jessica Helena Wuysang/Antara Foto

Lagi-lagi, negara masuk ke dalam bagian privat, eh, maksud saya kehidupan pribadi, warganya bahkan juga turis asing di Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, disahkan pada 6 Desember 2022, mengkriminalisasi seks di luar nikah, termasuk perzinahan maupun kumpul kebo. Banyak yang khawatir larangan ini akan memengaruhi pariwisata dan investasi asing, mengganggu hak atas kesehatan reproduksi, serta berpotensi melanggar hak privasi warga negara Indonesia.

Veronica Koman, aktivis hak asasi manusia (HAM) mengganggap KUHP baru ini “lebih menyeramkan dari ‘Bali bonk ban’ (larangan seks bebas bagi turis asing di Bali)” dan mempertaruhkan “kebebasan rakyat”.

“Dengan hanya 18 dari total 575 anggota parlemen yang menghadiri sidang paripurna secara fisik, Indonesia mengesahkan RKUHP yang bermasalah minggu ini. Ini adalah lonceng kematian bagi demokrasi di Indonesia,” ujar Veronica seperti dikutip Sydney Morning Herald, 9 Desember 2022.

Veronica adalah seorang pengacara asal Indonesia dan aktivis HAM di Papua. Ia tinggal di pengasingan di Australia sejak 2019 setelah ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar aturan karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan “hasutan” dan “penyebaran hoaks”. Disahkan pada 21 April 2008 dan menjadi hukum siber pertama di Indonesia, UU ITE kerap menjadi “senjata yang digunakan pihak yang berkuasa untuk membungkam kritik dan merupakan ancaman besar bagi kebebasan berdemokrasi”.

Prediksi Veronica tentang nasib demokrasi di Indonesia bukannya tidak berdasar, bermula jauh di awal Era Reformasi tahun 1998. Desentralisasi memberi kekuasaan kepada daerah-daerah untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang jumlahnya ratusan, dan banyak dari Perda ini bersumber dari syariah.

Dampak KUHP baru yang mengikis – bahkan menghancurkan – demokrasi Indonesia yang sudah goyah, tentu dirasakan oleh kelompok masyarakat sipil, media, dan masyarakat luas. Mereka sudah sangat geram, disulut kegundahan dan kemarahan atas pengkhianatan, kurangnya transparansi, manipulasi dan pemutarbalikan kebenaran (baca: kebohongan), serta kebiasaan memproduksi produk hukum yang tidak dimusyawarahkan dengan baik dengan publik.

Para pendukung KUHP baru menyatakan pengesahan aturan ini adalah upaya dekolonisasi. Sementara yang menentangnya mengatakan justru ini bentuk rekolonisasi. Faktanya, ini hanyalah perkara plus ça change plus c’est la même choose (semakin banyak berubah, semakin sama).

Disahkannya KUHP baru ini bertujuan memperbaharui hukum pidana negara guna menggantikan KUHP lama yang kita warisi dari Belanda sejak tahun 1918. Para pembuat kebijakan seakan menghasilkan sesuatu yang tampak berbeda, tetapi sebenarnya sama.

Contohnya adalah pasal ujaran kebencian dalam KUHP Hindia Belanda (WvS) yang mengatur tentang penghinaan, kebencian, dan permusuhan terhadap pemerintah atau kelompok tertentu. Pasal yang digunakan untuk menuntut Sukarno dan memenjarakannya pada tahun 1930 tersebut masih dipertahankan dalam KUHP baru, hanya saja dengan nomor pasal dan istilah yang berbeda. Pasal serupa di KUHP baru dapat digunakan untuk menjerat lèse-majesté (penghinaan terhadap martabat kepala negara yang berkuasa) terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut World Justice Project (WJP), saat ini Belanda yang hukum pidana kolonialnya kita gunakan selama 104 tahun, berada di urutan kelima dalam daftar negara dalam Indeks Negara Hukum, sementara Indonesia berada di urutan 64.

Betapa ironisnya!

Ironi lainnya, sejak era Reformasi dan terbukanya ruang demokrasi, adalah fundamentalisme dan politik Islam regresif yang makin tumbuh dan berkembang. Para aktornya menggunakan isu-isu agama dan “moral” untuk mendapatkan dukungan politik, bahkan partai-partai sekuler seperti Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga menggunakannya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) juga tak kalah oportunisnya. Para pembuat kebijakan menyelubungi diri dalam konservatisme dengan harapan elektabilitas mereka bisa meningkat serta untuk dapat menciptakan aturan-aturan represif yang seharusnya sudah mati bersama Orde Baru.

Bukankah ini artinya Indonesia kini sedang dijajah oleh Wahhabisme dan Islam konservatif Arab yang didanai oleh Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya?

Itulah sumber nada moralistik picik dari beberapa pasal KUHP yang baru. Politisasi agama dan moralitas ini juga merupakan salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia, tentunya selain dominasi oligarki yang mengancam juga baik HAM maupun kelestarian lingkungan hidup.

Kalau Indonesia suka sekali meniru mantan penjajahnya, kenapa kita tetap tertinggal jauh? Hal ini sebagian karena skor Indeks Negara Hukum secara keseluruhan merujuk pada delapan faktor: (1) Keterbatasan kekuasaan pemerintah, (2) Tidak adanya korupsi, (3) Pemerintahan yang terbuka, (4) Diakuinya hak-hak dasar, (5) Ketertiban dan keamanan, (6) Penegakan peraturan, (7) Peradilan sipil dan (8) Peradilan pidana.

Dalam semua faktor tersebut, skor Indonesia cukup rendah. Belanda dan Indonesia masing-masing menempati peringkat ketujuh dan ke-33; ketujuh dan ke-94; kelima dan ke-56; kesembilan dan ke-87; 25 dan 78; kedelapan dan ke-47; ketiga dan ke-93; dan kesembilan dan ke-88.

Tentang KUHP yang baru, seorang teman saya yang pengacara mengatakan, pertama-tama, KUHP kolonial memenuhi unsur terpenting dalam hukum pidana, yakni asas legalitas: tidak seorang pun dapat dihukum tanpa peninjauan terlebih dahulu. KUHP yang baru diundangkan menerapkan hukum adat (living law). Apakah ini berarti sama saja dengan menghidupkan peraturan daerah yang selama ini ditentang karena kontradiktif dengan hukum nasional sebagai standar hukum tertinggi? Bagi Indonesia yang memiliki 1.300 suku, beragam tradisi, budaya dan agama, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, bahkan kekacauan.

Perkembangbiakan Perda telah menciptakan ketidakpastian hukum di negara yang seringkali menganggap kepastian hukum sebagai sebuah kemewahan. Perbedaan antara Perda dan KUHP baru adalah bahwa Perda memberikan kuasa kepada masyarakat, sedangkan KUHP baru memberikan otoritas kepada keluarga inti untuk melaporkan apa yang mereka rasa sebagai pelanggaran, katanya.

Waduh! Di negara yang ego individu dan masyarakatnya begitu rapuh, jelas KUHP yang baru tidak akan berkontribusi pada pembangunan bangsa, malah akan memperkuat polarisasi dan perpecahan.

Teman saya itu lalu melanjutkan. KUHP bertujuan untuk melindungi kepentingan umum. Namun, beberapa pasal baru dalam KUHP implementasinya bergantung pada pengaduan seseorang: jelas tujuannya tidak tercapai, karena ambigu dan/atau membingungkan. Pasal perzinahan, misalnya, diklaim bertujuan menjaga perkawinan, tetapi baru bisa menjadi delik jika ada pengaduan. Jika perzinahan terjadi tetapi tidak ada pengaduan, maka bukan tindak pidana.

Menurut sebuah studi tahun 2022 yang diterbitkan dalam The Hague Journal on the Rule of Law, ada hubungan antara ketidaksetaraan gender dengan kepatuhan pada aturan hukum. Para penulis menyimpulkan “kami menemukan tiga mekanisme sebab-akibat yang masuk akal: (1) lemahnya penegakan hak; (2) kerangka hukum yang mentolerir kekerasan terhadap perempuan; dan (3) korupsi.”

Pemerintah sedang mengincar panggung global, untuk mendapatkan visibilitas, ketenaran dan pengakuan komunitas internasional. Tahun ini Indonesia memimpin Presidensi G20 dan menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali pada 15-16 November. Indonesia juga akan menjadi ketua ASEAN tahun depan. Sejak 2008, Indonesia telah menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum (BDF), “untuk menciptakan arsitektur demokrasi progresif di kawasan Asia-Pasifik”.

Pada saat yang sama, secara internal, terjadi banyak hal yang telah menggerus demokrasi sejak awal era Reformasi. KUHP baru inipun hanya menjadikan kita bahan tertawaan dunia.

Apakah ini merupakan skizofrenia negara? Kira-kira obatnya apa ya?


Artikel ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh The Jakarta Post.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now