Menu Close

Seolah-olah jurnalisme’: Bagaimana represi kekuasaan memaksa pers Papua jadi corong negara

Aktivis Papua berhadapan dengan aparat keamanan saat berunjuk rasa di Jakarta tahun lalu. Dita Alangkara/AP

Dari luar, pers Papua tampak sebagai pemandangan yang menggembirakan.

Harian Cenderawasih Pos cetak terbit setiap hari, beragam media daring (online) juga hadir, seperti Cepos Online, Suara Papua, dan Tabloid Jubi.

Suara Papua dan Tabloid Jubi malah kerap disebut ibarat oksigennya Papua. Keduanya berpihak pada kebenaran, melaporkan perisitiwa secara objektif, dan mengedepankan masalah yang dihadapi penduduk asli papua yang biasa disebut dengan OAP (orang asli papua).

Wartawan Papua tidak kalah profesionalnya dengan wartawan di daerah lain.

Namun, sudahkah kemajuan ini mampu mengangkat kehidupan OAP dalam pemberitaan? Di sini pers Papua mulai mengalami masalah.

Penelitian yang saya lakukan lewat wawancara dengan jurnalis Papua juga menunjukkan bahwa dalam fokus soal HAM dalam pers Papua meredup. Ini terjadi karena ada keterbatasan terhadap sumber informasi.

Puluhan tahun berada di bawah tekanan pemerintah, dalam pemberitaan soal HAM, sebagian informasi jurnalistik di Papua bersumber hanya dari aparat keamanan dan pejabat publik.

Dengan keterbatasan terhadap informasi yang akurat, saya menyimpulkan bahwa media di Papua tidak dapat memproduksi berita dengan kualitas yang terbaik atau dengan kata lain mereka mempraktikkan apa yang saya sebut sebagai “seolah-olah jurnalisme”.

Berdasarkan riset, saya akan menjelaskan mengapa ini bisa terjadi.


Read more: Rasis sejak dini: temuan diskriminasi dalam tontonan dan bacaan anak tentang Papua


Sulit keluar dari berita pernyataan

Semasa Orde Baru, Papua menjadi daerah operasi militer (DOM). Dalam kondisi begini pemerintah melakukan tekanan yang kuat terhadap media Papua.

Kemudian selama bertahun-tahun di masa Reformasi, pers Papua masih berada dalam hegemoni rezim negara.

Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mulai membuka Papua untuk media asing pada tahun 2015 hanya retorika politik. Namun pembatasan informasi tetap terjadi, terutama pada saat terjadi kerusuhan di beberapa kota di Papua dan Papua Barat pada pertengahan tahun 2019 lalu

Tidak jarang, aparat bermalam di kantor redaksi media Papua untuk mengecek berita yang akan diturunkan.

Pers Papua berada dalam posisi terkooptasi. Jangan heran bila pelaku jurnalisme di Papua cenderung menjadi corong kekuasaan negara.

Format sebagai corong ini ditandai dengan kebiasaan menyampaikan berita pernyataan (talking news) dari aparat keamanan dan pejabat publik.

Pilihan berita semacam ini mengandung kecenderungan subyektif narasumber, akibatnya fakta empiris yang objektif terabaikan.

Stanley Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers 2016-2019, menyebut bahwa di Papua, praktik jurnalisme yang banyak dilakukan adalah wawancara dengan beberapa orang daripada reportase lapangan.

“Berita tampak menjadi parade pendapat. Ketika ada peristiwa, pejabat pemerintah atau militer mengatakan A, lalu aktivis menyatakan B dan begitu seterusnya,” ungkap Stanley.

Di masa kini, kalau ada media online Papua yang mencoba keluar dari pakem itu, medianya diretas.

Ini dialami oleh Suara Papua dan Tabloid Jubi. Situs kedua media ini tidak dapat diakses setelah melaporkan tragedi Wamena dan Jayapura 23 September 2019. Semua berita hilang dari situs media online bersangkutan.

Sebelumnya, pemerintah juga sempat memblokir situs Suara Papua pada 2016.

Setelah peristiwa pada September 2019, wartawan Suara Papua dan Tabloid Jubi juga masuk daftar hitam bahkan ada yang diteror juga oleh polisi.

Dalam wawancara yang saya lakukan terhadap Reynelda Beatrix Ibo, wartawan TV Papua dan mantan pengurus Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) cabang Papua itu mengatakan bahwa Benny Mawel dari Tabloid Jubi dan Arnold Belau dari Suara Papua termasuk wartawan Papua yang masuk daftar hitam.

Mereka dianggap tidak mengikuti aturan jurnalistik yaitu Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik.

Polisi, menurut Ibo, menyampaikan daftar ini kepada komunitas wartawan Papua agar narasumber tidak memberikan informasi kepada mereka.

Dengan situasi jurnalisme semacam itu, hak mengetahui khalayak - terutama OAP - tidak terlayani.

Padahal hak ini dijamin dalam Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 1999 tentang HAM.

Ketika membaca berita, mereka semakin jauh dari kebenaran yang seharusnya mereka ketahui.


Read more: Jebakan SARA dalam praktik rasisme terhadap warga Papua


Pemberitaan sumir

Salah satu kekerasan yang terjadi di Papua adalah kerusuhan di Wamena dan Jayapura pada 23 September 2019.

Menurut data Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), kerusuhan Wamena mengakibatkan 32 orang warga sipil tewas dan 65 orang luka-luka, sedangkan di Jayapura, 318 mahasiswa ditangkap dalam aksi solidaritas dan 4 orang dilaporkan tewas termasuk satu orang di pihak TNI.

OAP yang mengikuti berita pelanggaran HAM itu dengan saksama dan berharap yang bersalah harus dibawa ke pengadilan harus kecewa.

Memang, Cepos Online sangat gesit menyiarkan berita tentang tragedi Wamena dan Jayapura dalam rentetan berita pasca kejadian.

Namun siapa pelakunya? Semua berita tidak bisa menunjukkan siapa pelaku yang sesungguhnya.

Yang ada hanya klaim. Polisi mengklaim Komite Nasional Pembebasan Papua Barat (KNPB) sebagai pelaku; sebaliknya, KNPB mengklaim polisi dan TNI yang menjadi pelaku. Pelaku yang sesungguhnya tidak pernah terungkap.

Maka, dalam melakukan pemberitaan, Cepos Online pun sekadar menjalankan kewajiban menyiarkan berita, namun tidak melayani kepentingan OAP.

Pers Papua perlu mempraktikkan pikiran merdeka, pikiran yang terbebas dari belenggu ketakutan terhadap rezim penguasa dalam menyiarkan berita.

Titik berangkatnya sederhana: mendorong wartawan Papua untuk benar-benar mempraktikkan jurnalisme, bukan seolah-olah jurnalisme.

Dengan mempraktikkan jurnalisme yang benar, para wartawan di Papua memiliki peluang untuk membantu OAP dalam pemenuhan hak-hak dan martabat mereka.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now