Kehidupan para crazy rich muda memang jadi tontonan menarik. Tapi sebenarnya banyak dari cara hidup, perspektif, dan ambisi mereka yang masih jadi misteri.
Kami mewawancari serta memantau perkembangan para remaja (secara anonim) hingga lima tahun. Objek penelitian kami berasal dari salah satu sekolah menengah-atas paling mahal di dunia yang menghabiskan biaya sekitar Rp 2,1 miliar (sekitar €125.000) per tahun bernama Leysin American School.
Penelitian dilakukan ketika para pemuda ini mengenyam pendidikan setingkat SMP-SMA. Kami bertanya tentang latar belakang mereka, pandangan mereka terhadap lingkungan sekolah, dan rencana masa depan mereka. Kami juga bertanya tentang apa yang telah terjadi sejak mereka lulus, kehidupan sehari-hari mereka, dan ambisi mereka. Lima tahun berselang, kebanyakan dari mereka telah menyelesaikan studi universitas mereka dan sedang merintis karir.
Temuan yang peneliti bahas di sini, telah dipublikasikan dalam beberapa artikel. Beberapa profil acuan bersifat universal—para pemuda ini berasal dari keluarga yang sangat kaya di negara mereka masing-masing dan mendapat dorongan dari orang tua mereka untuk belajar di luar negeri termasuk belajar bahasa Inggris dan jalani gaya hidup global. Namun, kecenderungan mereka untuk bisa berbaur dengan jajaran orang super-kaya global bervariasi tergantung pada dari negara asal mereka dan apa yang ingin mereka lakukan dengan hidup mereka.
Demi jadi warga dunia
Sekolah prestius semacam Leysin American School kerap menjanjikan siswanya sebagai “warga dunia”. Tetapi ternyata kelompok persahabatan para generasi Z ini ditentukan oleh latar belakang kebangsaan atau bahasa mereka—sebagian disebabkan karena mereka berbagi referensi budaya dan nilai, dan sebagian karena tekanan untuk menyesuaikan diri.
“Jika saya ingin bergaul dengan teman (dari negara) lain, teman senegaraku akan bertanya apakah kamu marah pada kami?” ujar salah satu siswa yang kami wawancarai.
Bahkan ketika mereka sudah memulai karier di luar negeri, para pemuda super kaya ini tidak sepenuhnya memutuskan hubungan dengan negara asal mereka. Tinggal di luar negeri berpotensi membuat mereka kesepian, sementara di tanah airnya menawarkan “kemudahan” dari dukungan keluarga dan juga teman-teman.
Namun di sisi lain, para pemuda ini juga menyadari berteman dengan crazy rich beda negara di sekolah bisa membuka peluang bisnis internasional di masa depan.
“Berteman dengan orang dari negara lain pasti memberi manfaat untukku. Sebab profil umum siswa di sini adalah dari keluarga kelas atas hingga kelas tinggi. Jadi berteman dengan orang yang berkuasa dan kaya adalah nilai plus,” kata salah satu siswa.
“Saya tidak terbang dengan penerbangan komersial”
Sebagai remaja, Gen Z ini juga memiliki pola konsumsi yang extravaganza. Bagi mereka menginap di hotel bintang lima dan belanja merek-merek mewah adalah hal lumrah. Bahkan salah satu dari mereka menyumbangkan tas punggung Louis Vuitton yang jarang terpakai kepada pengungsi lokal.
Sokongan finansial jumbo keluarga memungkinkan tingkah laku mewah ini menjadi standar dasar hidup mereka. Tetapi taraf hidup yang kelewat berlebihan tersebut justru menimbulkan kebosanan bagi mereka. “Saya juga memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Saya akan terobsesi untuk mendapatkannya. Tetapi ketika saya sudah memilikinya. Barang itu tidak lagi bernilai bagi saya,” kata seorang wanita muda kepada kami. Belanja hal-hal di luar nalar warga biasa di satu sisi jadi cara menghilangkan kebosanan mereka. Tapi di sisi lain rasa bosan mereka kian menjadi-jadi jika keinginan tersebut mudah didapatkan.
Layaknya kawula muda pada umumnya, mereka ingin hidup dari hasil keringat mereka sendiri. Meskipun tidak jarang uang dan koneksi keluarga mereka memainkan perannya ketika diperlukan. Meski begitu, para pemuda ini bangga dengan kemandirian tersebut, yang sering diartikan sebagai pengembangan “kehidupan,” “karakter,” dan “harga diri.”
Salah satu murid yang kami wawancarai masih mengemudikan Aston Martin, merk mobil yang cukup mewah dari Inggris tapi setingkat di bawah Rolls Royce. Gaya hidup mewah yang jadi stereotip masa remajanya berkurang seiring bertambahnya usia.
Hadapi Sentimen Rasisme dan Geopolitik Pasca Meninggalkan Asrama
Di sekolah mahal ini kekayaan adalah nilai dasar yang menjadi acuan identitas sosial seseorang. Karena itu, mayoritas siswa penerima beasiswa akan kurang diterima dan sulit berbaur. Strata sosial di lingkungan ini memang sangat tebal tembok pemisahnya. “Murid yang datang ke sini benar-benar kaya kan? Setiap orang Rusia di sini dianggap sangat kaya. Penilaian yang aneh tapi ada benar,” kata seorang murid berkewarganegaraan Rusia.
Namun saat beranjak ke jenjang universitas, privilege mereka tergerus oleh realitas dinamika geopolitik dan rasisme. Dinamika atas fenomena ini makin intensif seiring waktu.
Dalam persinggungan geopolitik, misalnya, mahasiswa tajir melintir Ukraina harus menjaga sikap karena derasnya sentimen negatif terhadap Ukraina yang berada di pusaran konflik antara Rusia dan Blok Barat. Akan lebih baik buat mereka untuk tetap rendah diri dan tidak menonjol.
Adapun persoalan rasisme dirasakan oleh seorang anak taipan Cina yang kembali ke kampung halaman usai mencoba menetap di Amerika Serikat. “Pada dasarnya, begitu kembali ke Cina saya bisa dengan percaya diri mengatakan seharusnya saya bisa jadi orang kulit putih. Tapi saya tidak ingin tinggal di tempat di mana orang berpikir saya tidak memiliki kepribadian.”
Bukan tanpa dilema masa depan
Salah satu pertanyaan bagi para pemuda super kaya ini adalah apa rencana mereka di masa depan. Meskipun berdasarkan hasil wawancara kami banyak yang ingin meneruskan bisnis keluarga, tapi ada juga jawaban variatif. Beberapa di antara mereka bercita-cita menjadi seniman, merintis usaha sendiri, bahkan ada yang masih belum punya rencana masa depan.
Pertanyaan bergeser mengenai di mana mereka ingin menetap selanjutnya. Para pemuda ini dihadapkan pada pilihan antara pulang ke negara asal atau tetap di luar negeri, dan pilihan untuk menetap di suatu tempat untuk waktu yang lama atau berpindah-pindah.
Meskipun mempunyai titik awal dan peluang yang mirip, jalur dan tujuan para penerus crazy rich global ini tidak serupa satu sama lain. Ada yang ingin bergabung dengan jajaran super-kaya global. Sementara yang lain cukup puas dengan menjadi taipan lokal. Beberapa memiliki jika petualangan yang senang mengarungi ketidakpastian. Sisanya cemas akan ketidakpastian.