Menu Close

Setahun konflik Rusia-Ukraina: Bagaimana peran media Rusia dalam melaporkan dan membenarkan perang ini

Presiden Amerika Serikat Joe Biden bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Kyiv, Ukraina, pada 20 Februari 2023. Biro Pers Kepresidenan Ukraina

Perang media dalam pemberitaan invasi Rusia ke Ukraina memperlihatkan betapa pentingnya peran jurnalisme konflik di abad ke-21. Ini juga menunjukkan kekuatan rezim otoriter dalam membatasi peliputan – bahkan di era smartphone dan media sosial.

Demi menggaungkan aturan sensor baru yang keras, pemerintah Rusia memulai perang media dalam beberapa hari setelah invasi. Di bawah Undang-Undang tentang berita palsu (law on fake news) yang baru, jurnalis berisiko dipenjara jika mereka menolak mematuhi batasan resmi dari pemerintah untuk menyebut bahwa invasi tersebut adalah “operasi militer khusus”, dan sama sekali bukan perang.

Sebagaimana yang dikatakan Direktur Umum BBC, Tim Davie, pada saat itu, bahwa UU tersebut “akan mengkriminalkan proses jurnalisme independen”. BBC sempat menghentikan peliputan di Rusia untuk sementara waktu, kemungkinan karena tengah berusaha untuk menetapkan tingkat risiko yang akan dihadapi wartawannya.

BBC akhirnya melanjutkan peliputannya di Rusia. Steve Rosenberg dan rekan-rekannya menyajikan berita-berita untuk audiens global, seperti tentang Denis Skopin, seorang dosen universitas di St Petersburg yang dipecat karena memprotes perang. Andrew Roth dari The Guardian juga memberitakan aktivisme antiperang, termasuk tentang kelompok masyarakat yang diam-diam “membangkang” dan berduka atas jatuhnya korban di Ukraina akibat mesin perang Kremlin.

Namun, banyak juga wartawan maupun kantor berita lainnya yang tutup lalu pergi dari Rusia. Ini terjadi karena kerap kali editornya merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi. Sampai sekarang pun mereka belum kembali ke Rusia.

Larangan Bolshevik tahun 1920-an

Larangan terhadap jurnalisme independen bisa juga menjadi semacam pujian: bukti akan kekuatan wartawan untuk menantang pembenaran Kremlin atas perang.

Dengan tidak dapat diaksesnya banyak situs berita internasional dan platform media sosial sejak awal perang, pembatasan peliputan independen di Rusia ini lebih ketat dibandingkan sebelum era reformasi dan keterbukaan informasi – yang menjadi ciri khas berakhirnya periode Soviet.

Lenin gives a speech for the Red Army in front of the Bolshoi Theater in Moscow in 1920. On the right of the picture are Lev Trotsky and Lev Kamenev.
Mengendalikan pesan: Vladimir Lenin, pendiri Uni Soviet, sangat menyadari kekuatan pers sebagai alat kontrol negara.

Faktanya, situasi saat ini mirip dengan seabad yang lalu, ketika pemerintahan Bolshevik (pemerintahan Rusia di bawah rezim Vladimir Lenin) melarang koresponden asing untuk bertugas di Rusia. Alasannya, pemerintah dan surat kabar mereka telah mendukung pihak yang salah, alias kelompok “Putih” yang dianggap kontrarevolusi, dalam perang sipil.

Akhirnya, seperti yang dilakukan oleh beberapa koresponden asing saat ini, peristiwa di Rusia dilaporkan dari Riga, ibu kota Latvia, negara tetangganya.

Dengan ancaman hukuman penjara bagi jurnalis, pendekatan Rusia terhadap perang media terlihat sangat kasar. Namun, dalam beberapa hal, strategi tersebut cenderung efektif.

Zelensky: aktor media yang sempurna

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menunjukkan keahlian yang luar biasa. Dia mungkin terinspirasi dari karier aktingnya dalam menggunakan media modern dan sejenisnya, sebelum menjadi Presiden.

Contoh paling bagusnya adalah videonya tentang “Hari Kemenangan” Perang Dunia II yang ditujukan untuk audiens Rusia. Dalam video itu, Zelensky menyamakan Perang Dunia II, yang dipicu oleh Nazisme, dengan invasi Rusia terhadap negaranya.

Penampilan Zelensky yang tegas dan menarik di depan media bertolak belakang dengan video-video Putin yang memicu banyak spekulasi oleh tabloid Inggris, termasuk tentang kesehatannya. Dugaan juga muncul seputar apakah dia menggunakan aktor pengganti dalam beberapa penampilannya di televisi.

Bagaimana Rusia menggunakan militer dan media selama masa perang

Saat Ukraina terlihat telah memenangkan perang opini publik di negara Barat, Rusia sepertinya berhasil mendapatkan dukungan publik di dalam negeri.

Ini merupakan proses yang panjang. Saya mengunjungi Rusia pada tahun 2019, untuk peringatan lima tahun aneksasi Krimea 2014. Saya terkejut menemukan maraknya citra dan sentimen militeristik dari pemberitaan media lokal. Mural-mural bernuansa senada juga terlihat di sepanjang jalanan Moskow dan kota-kota lain yang saya kunjungi.

Perpaduan media dan militerisme ini telah menjadi bagian yang tak tergantikan dan integral dari strategi perang Rusia dalam hubungan internasional di era Putin. Saya bersama rekan, Dr Alexander Lanoszka, mengelaborasi hal ini dalam makalah kami pada 2021 yang berjudul Peningkatan kekuatan militer dan komunikasi Rusia: Dari Chechnya hingga Krimea.

Kesuksesan terbesar Kremlin adalah menguasai media abad ke-21 dengan gaya abad ke-20. Ini sebenarnya bisa dihindari, mengingat masyarakat Rusia memiliki literasi teknologi yang tinggi (banyak insiden peretasan yang dituduhkan pada orang Rusia). Dengan sedikit usaha, mereka juga bisa membaca berita-berita dari media Barat.

Namun, kebanyakan dari mereka tidak mau repot-repot melakukannya.

Rosenberg melaporkan dari Belgorod (kota yang tidak jauh dari perbatasan Rusia dengan Ukraina) untuk BBC pada 10 Februari bahwa pesan resmi pemerintah Rusia sebagian besar diterima begitu saja oleh warganya. “Negara Barat selalu ingin menghancurkan Rusia,” kata seorang penduduk kota kepadanya.

Saat ini, 12 bulan sejak invasi besar-besaran Rusia (Ukraina akan selalu menegaskan bahwa perang sudah dimulai sejak 2014), konflik kedua negara sudah memasuki perang media. Kemenangan yang awalnya diperkirakan akan cepat didapat oleh Kremlin ternyata tidak terjadi.

Perang kini telah dibingkai ulang sebagai konflik antara Rusia dan Barat. Pertikaian ini tak hanya tentang sejarah perang versi Putin, tapi juga tentang pengiriman senjata dari negara Barat ke Ukraina.

Bagaimana perang media ke depannya

Ukraina perlu merawat hubungannya dengan kantor berita internasional. Pidato Zelensky di London pada 8 Februari – yang tampaknya sangat menginspirasi sejumlah anggota parlemen Inggris – perlu disiarkan di televisi dan media sosial.

Gestur-gestur visual, seperti pemberian helm pilot pesawat tempur Ukraina dari Zelensky ke perwakilan parlemen Inggris, juga bisa dilakukan untuk memperkuat citranya di mata publik.

Ada satu kebijakan barat yang harus diubah pada perang media babak berikutnya – meskipun saya tidak terlalu meyakini itu akan terjadi. Keputusan Uni Eropa dan Inggris untuk melarang Sputnik dan RT (dua media Rusia) merupakan kesalahan. Larangan ini justru memberikan kesempatan dua media tersebut untuk memperluas jangkauan dan pengaruhnya. Mereka jadi bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk - walaupun tidak masuk akal - menampilkan diri sebagai korban pembungkaman kebebasan berpendapat.

Audiens Barat perlu melihat apa yang dilihat oleh audiens Rusia. Dalam perang media, seperti perang lainnya, semakin banyak kita mengenal musuh kita, semakin baik.

Seperti yang dikatakan Vladislav Zubok, profesor sejarah internasional dari LSE, Inggris, kepada saya baru-baru ini:

Dahulu pada masa-masa terburuk Perang Dingin, para jurnalis berbincang satu sama lain dan bertindak sebagai perantara. Mereka bertemu dan berdialog. Sekarang tidak lagi.

Situasi ini harus berubah. Suatu hari perang ini akan berakhir. Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa, dan lainnya harus menjalin hubungan baru dengan Rusia. Meski tidak mungkin bersekutu, pihak yang berjarak, pecah, dan berselisih dapat berhubungan lebih baik melalui dialog-dialog. Jurnalisme menjadi titik awalnya.

Rasa saling pengertian antarmedia tidak boleh menjadi korban berikutnya dalam perang media ini. Biarkan jurnalis melakukan tugasnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now