Menu Close

Setahun pandemi: wabah menyingkap, mempertegas kenyataan buruk yang sudah ada

Petugas medis menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac di Rumah Sakit Umum Daerah Bung Karno, Surakarta, Jawa Tengah. Maulana Surya/Antara Foto

Minggu ini, kita melewati satu tonggak sejarah baru, satu tahun sejak Indonesia resmi melaporkan kasus COVID-19 pertama. Hingga kini, kita masih dalam situasi bencana nasional akibat wabah.

Sejak Maret tahun lalu, pandemi telah berdampak secara luas dan serius di bidang politik dan sosial.

Di berbagai negara di dunia, wabah bukan sekadar berdampak buruk, namun juga menyingkap dan mempertegas kenyataan-kenyataan buruk yang telah ada; tak terkecuali di Indonesia.

Selama satu tahun terakhir, berbagai pakar dan peneliti telah berbagi analisis dan temuan penelitian terkait pandemi lewat The Conversation Indonesia. Berikut beberapa isu yang mendapat banyak sorotan.

Pembatasan hak-hak sipil

Selama pandemi, kita telah menyaksikan ancaman-ancaman serius terhadap kebebasan sipil.

Ancaman ini tidak hanya terhadap privasi, tapi juga kebebasan berpendapat dan kebebasan pers di ranah digital, yang ditujukan pada orang-orang dan institusi yang kritis terhadap cara pemerintah menangani krisis.

Di ranah digital, beberapa kasus peretasan, ancaman, dan penuntutan telah terjadi. Ini tidak hanya menunjukkan kelemahan keamanan di media tapi juga serangan langsung pada demokrasi dan kebebasan pers.

Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari kelompok media Inggris Economist Group, mencatat skor demokrasi Indonesia menurun.

Sinyal-sinyal anti-demokrasi sudah tampak dalam sebelum wabah, misalnya lewat pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan sikap represif aparat keamanan terhadap aksi demonstrasi di berbagai kota yang menolak revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).


Read more: Rongrongan terhadap hak-hak sipil di dunia maya meningkat selama pandemi


Kesenjangan semakin nyata

Wabah semakin menegaskan ketimpangan dalam masyarakat yang nampak lewat bagaimana kelompok-kelompok marginal dan rentan mengalami dampak pandemi yang lebih buruk.

Beberapa penelitian mengungkap bahwa di Indonesia, pandemi berdampak lebih buruk bagi perempuan, baik di rumah (terutama di keluarga miskin) maupun di tempat kerja, termasuk perempuan di dunia akademik – dunia yang diharapkan menjadi tempat pemberdayaan perempuan melalui perkembangan kritik-kritik feminis dan pascakolonial.

Wabah juga semakin menunjukkan bagaimana layanan kesehatan adalah sesuatu yang sulit diakses oleh penyandang disabilitas, pekerja migran, dan kelas menengah bawah


Read more: Riset: dalam dunia akademik, perempuan Indonesia menanggung beban terbesar selama pandemi


Korupsi tidak berhenti

Di awal masa pandemi di Indonesia, ahli sudah memperingatkan bagaimana kebijakan keuangan negara dan sistem keuangan untuk penanganan pandemi membuka celah korupsi.

Ironisnya, ketika jumlah kasus penularan virus COVID-19 meningkat semakin tajam, ada dugaan bahwa bantuan sosial (bansos) yang ditujukan untuk meringankan derita masyarakat akibat pandemi justru dikorupsi, dan salah satu tersangkanya menteri sosial saat itu, Juliari Batubara.

Selain mengemukakan masalah struktural dalam pengelolaan dana bansos yang rawan politisasi dan korupsi, beberapa ahli menyarankan alternatif lain penyaluran bansos yaitu distribusi secara langsung dan tunai.

Sebuah riset menunjukkan bahwa korupsi beramai-ramai pada masa Reformasi disebabkan oleh akibat adanya celah dalam kelembagaan demokrasi yang memberikan aktor ruang “demokratis” untuk melakukan penyelewengan.

Sayangnya, reformasi dalam pengelolaan keuangan daerah ternyata tidak serta-merta menurunkan korupsi di Indonesia.


Read more: Peneliti berikan strategi untuk hindari terjadinya korupsi Bansos yang berdampak negatif pada ekonomi


Gaya dan sikap politik

Pandemi juga menunjukkan bagaimana pemimpin populis – misalnya di Amerika Serikat, Brazil, dan Indonesia – memiliki sifat-sifat umum yang sama dalam menghadapi COVID-19: bias optimisme dan rasa puas diri, ambigu, dan anti-sains. Akibatnya, mereka tidak mampu memimpin dalam situasi krisis.

Penelitian menunjukkan bahwa pemerintah populis cenderung menegasikan dan menyangkal sains terutama dalam isu-isu kompleks, termasuk kesehatan dan lingkungan, karena kepentingan ekonomi dan politik yang mengakar kuat.

Pandemi juga menimbulkan ketegangan politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) karena cara mereka yang berbeda dalam menangani wabah.

Menurut beberapa ahli, ketegangan politik yang sudah ada sebelumnya (baik terang-terangan atau tidak) sering kali menjadi semakin keras ketika krisis dan bencana melanda.

Bahkan, polarisasi politik dan pilihan politik juga mempengaruhi perilaku warga dalam menaati protokol kesehatan.

Di tengah sengkarut penanganan pandemi, publik menyaksikan para elite politik saling melempar kesalahan atau menghindar untuk disalahkan.

Publik sayangnya seringkali tidak menyadari permainan yang dilakukan politikus ini. Sikap publik pun terseret dalam dua titik ekstrim: terseret menjadi bagian dari kubu yang saling melempar kesalahan atau menjadi apolitis dan tidak mau peduli dengan kebijakan penanganan krisis yang ada.


Read more: Mampukah pemimpin populis berperan dalam krisis COVID-19?


Satu tahun, dua tahun ke depan…

Satu tahun masa pandemi, situasi sedikit banyak sudah berubah.

Vaksin, misalnya, kini telah hadir di Indonesia. Namun, beberapa ahli mengatakan target ambisius pemerintah melakukan vaksinasi 70% penduduk (182 juta orang) sepertinya akan tercapai hanya di sebagian kecil provinsi.

Bahkan, sebuah prediksi dengan data awal bulan lalu dari Bloomberg menyatakan Indonesia butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk vaksinasi penduduk sebanyak itu jika penyuntikan vaksin hanya sekitar 60 ribu dosis per hari.

Lalu bagaimana setahun, dua tahun, atau bertahun-tahun berikutnya dari sekarang?

The Conversation Indonesia akan terus membagikan temuan dan pandangan pakar terkait masalah dan perkembangan pandemi di Indonesia.

Termasuk yang paling dekat adalah sebuah diskusi daring dengan beberapa pakar soal situasi pandemi terkini dan kemungkinan-kemungkinan yang kita hadapi dalam waktu dekat. Nantikan!

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now