Menu Close

Sistem ‘bos nelayan’ di Indonesia: momok sekaligus harapan untuk perikanan berkelanjutan

Beberapa nelayan memindahkan tangkapan mereka dari kapal. (EPA/MAST IRHAM)

Indonesia terkenal karena sumber daya lautnya yang sangat kaya. Terletak di jantung segitiga terumbu karang, Indonesia memiliki 76% spesies karang dunia dan sektor kelautannya berkontribusi pada 6,5% pendapatan domestik bruto (GDP).

Di sudut barat daya dari pulau Sulawesi terdapat kepulauan Spermonde, suatu daerah dengan tingkat keanekaragaman hayati terumbu karang yang tinggi.

Namun, belum lama ini sebuah laporan akademik menemukan bahwa jumlah karang di Spermonde turun tajam dalam beberapa tahun terakhir akibat praktik penangkapan ikan menggunakan bom dan sianida.

Praktik perikanan yang secara langsung merusak karang dan membunuh populasi ikan di sekitarnya sangat umum di sekitar Asia Tenggara dan secara langsung menyebabkan kematian bagi karang dan populasi ikan di sekitarnya.

Kerusakan yang terjadi pada terumbu karang di dekat salah satu pulau yang cukup padat di Spermonde. Author provided

Penelitian kami yang dilakukan pada tahun 2014 di Spermonde mengindikasikan bahwa sistem ‘bos nelayan’ - atau yang warga lokal sebut sebagai punggawa - dalam perikanan komersial di daerah tersebut dapat memicu praktik-praktik destruktif di atas.

Sistem bos nelayan yang umum ditemukan di Asia Tenggara ini pada intinya merupakan suatu sistem kredit informal yang mengikat seorang individu yang kaya dan memiliki koneksi luas dengan sejumlah nelayan melalui hubungan yang saling menguntungkan.

Dengan memberikan perlindungan dan juga peminjaman dana untuk membeli perlengkapan pancing bagi nelayan lokal, para bos bisa menyewa tenaga nelayan tersebut dan memiliki hak ekslusif atas tangkapan mereka.

Sayangnya, sistem ini malah mendorong para nelayan lokal untuk menggunakan sianida karena memungkinkan mereka untuk lebih mudah menangkap ikan hidup, yang punya harga lebih tinggi tapi lebih sulit ditangkap. Hal ini membahayakan ekosistem terumbu karang di sekitarnya.

Bagaimana hubungan bos-nelayan ini bekerja

Di Spermonde, kami menemukan 53% nelayan lokal memiliki bos, dan hanya 37% yang bekerja sendiri.

Para nelayan yang meminjam dana harus membayar hutangnya secara perlahan dengan menjual tangkapannya secara ekslusif kepada bos.

Nelayan ini biasanya juga diminta untuk secara khusus menangkap ikan yang biasanya bos mereka jual.

Situasi ini menempatkan para bos dalam posisi yang unik dan kuat untuk mempengaruhi praktik perikanan yang terjadi - spesies apa yang harus diburu dan menggunakan teknik apa.

Dari tahun 2014 hingga 2015, kami mewawancarai nelayan yang memiliki bos dan yang tidak di Spermonde. Kami juga mengukur tangkapan mereka setiap kembali dari laut, dan membandingkan tangkapan dari kedua kelompok nelayan.

Studi kami menunjukkan bahwa nelayan dengan bos menangkap lebih banyak ikan laut dengan nilai yang lebih tinggi, yaitu ikan hidup. Sementara itu, nelayan tanpa bos lebih banyak menangkap ikan non-komersil yang sekadar untuk menghidupi keluarga mereka.

Sebagai gambaran, 32% tangkapan nelayan dengan bos merupakan ikan hidup, sementara angkanya hanya 19% untuk nelayan tanpa bos.

Ikan laut yang berharga tinggi kerap ditangkap menggunakan potasium sianida untuk membuat ikan tidak sadar sehingga bisa ditangkap hidup-hidup.

Nelayan menyemprotkan sianida pada terumbu karang. James Corvine/NOAA, Author provided

Jenis ikan berharga tersebut biasanya berada di rantai makanan yang tinggi dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang biak. Beberapa contohnya adalah kerapu, ikan Napoleon, atau makerel Spanyol.

Sayangnya, penggunaan sianida secara membabi-buta juga membunuh berbagai spesies lain di sekitarnya, dan lebih penting lagi meracuni terumbu karang yang merupakan unsur penting bagi ekosistem laut.

Meskipun memancing dengan sianida adalah praktik yang ilegal di Indonesia, beberapa studi mengindikasikan adanya suatu jaringan. Jaringan ini memungkinkan bos nelayan menyuap para aparat yang berwenang untuk melindungi nelayan sehingga tidak dipenjara.

Temuan tersebut membuktikan dominasi bos nelayan dalam membangun sistem penangkapan ikan yang alternatif dan bersifat informal.

Mendayagunakan sistem ‘bos nelayan’ sebagai agen perikanan berkelanjutan

Praktik perikanan bos nelayan ini memicu perdebatan. Ada yang memuji, ada juga yang mengkritik.

Beberapa studi menegaskan peran signifikan para bos dalam melanggengkan pratik perikanan yang ilegal dan destruktif, sekaligus menjebak nelayan dalam hutang yang berkepanjangan.

Di sisi lain, sebuah penelitian tahun 2012 menjelaskan bagaimana hubungan tersebut berperan membentuk sistem jaminan sosial yang penting bagi nelayan lokal.

Selain memastikan nelayan selalu punya pembeli untuk tangkapan mereka, bos juga memberikan sumber daya finansial untuk nelayan mereka dan juga keluarganya untuk menghadapi musim perikanan yang buruk atau kondisi darurat lainnya.

Artinya, meskipin dipandang negatif, sistem bos dan nelayan ini berperan penting dalam meringankan kerentanan ekonomi dan sosial nelayan lokal. Hal ini menjadikan hubungan bos dan nelayan sebagai bagian penting dari kehidupan sosial di Spermonde.

Pada kasus di Indonesia, di mana kapasitas penegakan hukum dan alternatif mata pencaharian selain perikanan masih terbatas, pemerintah dapat mendayagunakan sistem bos dan nelayan untuk mendukung perjuangan melawan praktik perikanan yang tidak berkelanjutan.

Penghentian praktik perikanan yang destruktif terbukti mampu mendorong bertambahnya jumlah populasi ikan.

Kapal-kapal ikan di Spermonde. Author provided

Beberapa perikanan skala kecil, misalnya, telah bergeser menuju program sertifikasi perikanan karena permintaan pasar terhadap produk ramah lingkungan meningkat. Hal ini diprediksi akan menjadi tren dalam perikanan di masa depan.

Kami menyarankan bahwa bos nelayan dapat mengikuti tren ini dan menjadi aktor kunci untuk mendukung agenda perikanan berkelanjutan di Indonesia dengan kekuatan mereka dalam menggandeng banyak nelayan skala kecil.

Tentunya, perubahan tersebut ini tidak akan terjadi apabila situasi di Indonesia masih cenderung membiarkan praktik perikanan destruktif.

Untuk mewujudkannya, pemerintah perlu melakukan penegakan hukum yang efektif. Misalnya, pemerintah bisa menambah pendanaan dan dukungan politik untuk memperkuat peran dari Satuan Tugas (Satgas) 115 yang bertanggung jawab dalam penanganan penangkapan ikan secara ilegal.

Kemudian, pemerintah dapat memberikan insentif kepada para bos dengan cara mempermudah proses mereka untuk memasuki program sertifikasi perikanan dan memberikan bantuan finansial seperti pajak ekspor yang lebih rendah agar mereka tertarik untuk bergabung.

Memberikan pendidikan dan program kesadaran lingkungan agar kesadaran terhadap pentingnya terumbu karang di sekitar mereka juga terbukti mampu meyakinkan nelayan untuk meninggalkan praktik perikanan yang destruktif.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now