Menu Close
Pelatihan coding di SMA di Jakarta Timur, 2018. Author provided

Siswa tidak mampu di Jakarta belajar coding: menjawab kesenjangan akses belajar komputer

Presiden Joko Widodo baru-baru ini mendorong siswa Indonesia belajar pemrograman komputer (coding), artificial intelligence, dan internet of things. Namun, dorongan ini belum terealisasi dalam materi pelajaran pendidikan formal di sekolah.

Baik bagi siswa laki-laki maupun perempuan, pendidikan coding sangat penting karena peluang kerja di sektor teknologi informasi begitu luas di masa depan. Bila tidak disiapkan dengan optimal, bukan tidak mungkin bahwa kekurangan tersebut akan diisi oleh pekerja profesional dari negara lain.

Sebuah laporan dari konsultan keuangan Inggris KPMG yang dikutip oleh riset Singapore Management University dan JP Morgan memperkirakan Indonesia akan menghadapi kekurangan 9 juta tenaga kerja di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) antara 2015 dan 2030.

Di Indonesia, materi coding tergabung dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Namun, pada 2013 mata pelajaran TIK dihapuskan dari kurikulum SMA. Pada tahun akademik 2019-2020, siswa SMA dapat mengambil TIK sebagai mata pelajaran opsional. Artinya, siswa tidak wajib mengambil mata pelajaran ini. Bagi siswa tidak mampu, keputusan ini mempersempit kesempatan mereka untuk mengakses pembelajaran coding secara formal di sekolah.

Lalu bagaimana mengatasi kesenjangan akses ke pelajaran ilmu komputer bagi siswa tidak mampu? Salah satu jawabannya adalah pendidikan informal.

Kesenjangan akses dan tidak terampil

Siswa dari keluarga mampu cenderung memiliki akses informasi yang lebih baik sehingga mereka cenderung menyadari pentingnya untuk belajar coding untuk masa depan kerja mereka. Bagi siswa tersebut, mereka dapat belajar coding dari kursus privat dan berbagai platform kursus online.

Sedangkan siswa dari keluarga tidak mampu cenderung tidak menyadari pentingnya belajar coding. Bahkan jika siswa tersebut menyadari pentingnya coding, mereka dihadapi oleh kesulitan yang cukup tinggi untuk mempelajari coding. Contohnya, seorang siswa yang ikut program Markoding merasa kesulitan terbesar dalam memahami materi yang diberikan adalah kata-kata baru coding yang asing dan dalam bahasa Inggris.

Dengan demikian, apakah siswa tidak mampu akan makin tersingkir dari kesempatan kerja di sektor digital? Tergantung dari upaya pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi potensi masalah tersebut. Masalah yang lebih besar adalah ketidakcocokan antara kebutuhan industri teknologi dan kualifikasi lulusan sekolah.

Setiap tahun setidaknya terdapat 1,2 juta lulusan SMA. Masalah ketidakcocokan keahlian dapat dilihat, salah satunya, dari indikator tingkat pengangguran. Berdasarkan data World Development Indicators 2017, tenaga kerja dengan pendidikan menengah (SMA/ sederajat) memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia (8,37%) jika dibandingkan dengan kelompok pendidikan SD-SMP (2,43%) dan pendidikan tinggi (4,9%).

Intervensi pendidikan informal

Melihat ada jarak yang cukup jauh antara dunia kerja sektor teknologi dan kemampuan siswa pendidikan menengah, Yayasan Markoding berusaha mengatasi ketidakcocokan keahlian (skill gap) dengan melatih coding bagi siswa tidak mampu. Dibentuk pada 2017, Markoding tahun lalu melatih 87 siswa tidak mampu di Jakarta Timur melalui program pilot dan bekerja sama dengan 20 volunteer mentor-profesional programmer dari start-up terkemuka di Indonesia.

Salah satu temuan yang menarik adalah siswa perempuan dapat lebih unggul dalam pembelajaran pemrograman komputer (coding) dibanding siswa laki-laki. Ini tercermin dari perolehan angka keberhasilan dalam pembelajaran. Tingkat kesuksesan siswa laki-laki 3,3%, sedangkan tingkat kesuksesan siswa perempuan pada pelatihan coding yang diadakan oleh Markoding adalah 18,5%. Tingkat kesuksesan diukur berdasarkan 8% teratas dari kombinasi nilai tes coding yang diberikan oleh Markoding dan kehadiran selama pelatihan berlangsung.

Temuan ini merupakan indikasi awal yang bersifat korelasi dari data program pembelajaran informal coding untuk siswa tidak mampu di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)) di Jakarta Timur tahun lalu.

Walau baru pada tahap awal, temuan tersebut sejalan dengan temuan bahwa tidak terdapat perbedaan gender dalam sains. Namun, temuan tersebut tidak dapat menyanggah kemungkinan perbedaan tingkat kesuksesan karena ada motivasi yang lebih tinggi dari siswa perempuan yang mendaftar pada pelatihan ini dibandingkan siswa laki-laki.

Sebelum pelatihan, terlihat adanya ketidakseimbangan keahlian dasar komputer di sekolah-sekolah di Jakarta. Dari empat sekolah yang menjadi tempat pelatihan Markoding, satu sekolah di wilayah paling marjinal memiliki keahlian dasar komputer yang sangat minim. Sebagai contoh, siswa-siswa di sekolah tersebut kesulitan mengetik di layar komputer atau tidak dapat membuka e-mail.

Namun, setelah dilatih dan didampingi oleh mentor profesional selama 4 minggu, siswa-siswa di sekolah ini berhasil memperoleh rata-rata nilai tes yang sama dengan 3 sekolah lainnya.

Kesenjangan ilmu komputer ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Dalam sebuah laporan, Google bekerja sama dengan Gallup mendokumentasikan adanya kesenjangan ilmu komputer pada siswa kelas 7-12 (sekitar usia 12-18 tahun) yang dialami oleh kelompok marjinal di Amerika Serikat, khususnya siswa perempuan, kulit hitam, dan Hispanik.

Harapan berubah

Coding mendorong siswa untuk membangun keahlian berpikir kritis, sistematis dalam memecahkan masalah, dan melatih berpikir logis.

Siswa perempuan belajar coding. Author provided.

Salah satu hal menarik dari pilot pelatihan coding ini adalah perubahan ekspektasi siswa atas kegiatan setelah lulus sekolah menengah. Ketika ditanya sebelum pelatihan diberikan, seorang siswa perempuan kelas XII-belum pernah melakukan coding sama sekali dan secara mengejutkan menduduki peringkat teratas-mengatakan akan mencari pekerjaan setelah lulus SMK.

Setelah ikut pelatihan, saat diwawancara untuk evaluasi program, dia mengungkapkan ingin melanjutkan studi dengan mendaftar ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Perubahan dunia kerja

Perkembangan teknologi komputer, selain mengancam pekerjaan lama karena meningkatnya peran robot dan kecerdasan buatan, juga menciptakan kesempatan baru dan tantangan untuk negara berkembang seperti Indonesia. Dari sisi kesempatan, kemajuan teknologi dapat meningkatkan akses untuk aktivitas ekonomi, produktivitas pekerja, dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Contohnya, dengan koneksi internet yang terus membaik, pasar digital seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Elevania menghubungkan penjual dan pembeli di berbagai pelosok di Indonesia melalui platform online. Dari sisi tantangan, perkembangan teknologi dalam hal otomatisasi dapat menggantikan peran tenaga kerja manusia.

World Bank World Development Report 2019 telah mendokumentasikan perubahan dalam dunia kerja. Keahlian yang dibutuhkan dalam pasar tenaga kerja saat ini tidak lagi sama dengan era sebelumnya, sedangkan keahlian yang diberikan dalam kurikulum pendidikan tidak mengalami banyak perubahan.

Coding tidak hanya mengembangkan kemampuan bahasa pemrograman, tapi juga kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah. Dua kemampuan ini yang dibutuhkan dalam pasar tenaga kerja saat ini dan pada masa depan.

Apa solusinya?

Melihat minimnya kemampuan dasar komputer di sekolah, dibutuhkan peran yang lebih besar dari pemerintah dan sekolah dalam memberikan pelatihan dasar penggunaan komputer bagi siswa-siswa, tidak hanya di Jakarta tapi juga di seluruh daerah. Dengan memberikan kesetaraan akses komputer dasar bagi siswa laki-laki dan perempuan, terutama dari kalangan tidak mampu, kita dapat memberikan kesempatan siswa untuk meningkatkan kemungkinan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik pada masa depan.

Dibutuhkan juga keterlibatan berbagai pihak termasuk swasta untuk kesuksesan program pelatihan informal ini. Dalam contoh Markoding, keterlibatan ini mencakup partisipasi komunitas (pengelola Ruang Publik Terpadu Ramah Anak dan pendamping dari Gerakan Kepedulian Indonesia), sekolah (guru Teknologi Informasi dan Komunikasi dan kepala sekolah), pemerintah, dan industri.

Dalam konteks pembangunan pada era digital, kita tidak bisa membiarkan anak-anak tidak mampu tertinggal di belakang karena tidak memiliki kemampuan dasar komputer.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now