Menu Close

Stres di tengah ‘new normal’ COVID-19 yang penuh ketidakpastian? Ini cara deteksinya

Kerja di rumah terlalu lama karena COVID-19 mungkin membosankan. Tapi percayalah perasaan positif terhadap hidup memberi efek kesehatan yang lebih baik. KomootP/Shutterstock

Pemerintah Indonesia telah memutuskan mulai menerapkan “normal baru” di berbagai kota besar termasuk Jakarta untuk menghidupkan ekonomi yang sempat terpuruk, walau jumlah kasus positif COVID-19 terus meningkat setiap hari.

Hingga 24 Juni, total kasus positif mencapai sekitar 49.000 kasus dengan pertambahan kasus baru harian dalam dua pekan terakhir berkisar 900-1300 kasus.

Tak hanya di Indonesia, mayoritas penduduk seluruh dunia juga menghadapi masalah serupa. Dalam situasi yang tidak menentu dan pemberitaan mengenai pandemi COVID-19 yang tidak kunjung mereda, setiap menit masyarakat selalu dihujani oleh berita dan informasi mengenai COVID-19 baik di televisi, media sosial dan internet.

Perubahan yang begitu cepat karena kebijakan karantina, isolasi diri, social distancing, dan beraktivitas di rumah serta belum diketahuinya kapan pandemi akan berakhir, dapat mengancam kesehatan fisik dan mental. Banyak orang yang mengalami gangguan tidur, gangguan cemas, gangguan panik dan gangguan depresi.

Sebuah survei terbaru berskala nasional pertama di Cina mengenai stres negatif psikologis akibat COVID-19, yang melibatkan 52.730 responden dari 36 provinsi, menunjukkan perempuan (24,8%) lebih stres dibanding laki-laki (21,4%). Jumlah orang stres yang berusia 18-30 tahun dan di atas 60 tahun sama saja, masing-masing sekitar 27%.

Untuk mencegah dampak stres yang lebih buruk, kita bisa mengelola stres mandiri dan bisa juga mengukur sendiri level stres dengan alat di bagian akhir artikel ini.

Mengapa perempuan lebih stres

Riset di Cina itu menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stres psikologis seperti gangguan panik, cemas dan depresi.

Perempuan lebih rentan mengalami stres dibandingkan laki-laki. Norma sosial yang menempatkan tanggung jawab domestik pada perempuan membuat perempuan bekerja memiliki beban ganda. Selain punya peran dan tanggung jawab pada pekerjaan di kantor, mereka juga mengurus pekerjaan di ranah domestik.

Semakin tinggi beban pekerjaan rumah tangga, semakin tinggi juga kemungkinan perempuan mengalami stres.

Yang menarik, jumlah orang stres, dalam riset tersebut, baik di kalangan muda maupun tua ternyata sama saja prosentasenya. Usia 18-30 tahun merupakan usia produktif dan banyak mendapatkan informasi dari media sosial. Tanpa memilah informasi yang didapatkan, seseorang dapat lebih mudah menjadi stres.

Sementara itu, tingginya angka kematian pada pasien dengan usia di atas 60 tahun membuat kelompok usia ini lebih rentan mengalami stres.

Selain dua temuan di atas, orang yang berpendidikan yang lebih tinggi juga lebih rentan mengalami stres yang dikaitkan dengan tingginya kesadaran pada kesehatan diri sendiri. Pendidikan dan kesadaran yang tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap berbagai informasi dan meresponsnya secara berlebihan, terlebih jika mereka memiliki gejala- gejala yang menyerupai COVID-19.

Di luar rumah, pekerja yang harus menggunakan transportasi publik (31,89%) lebih rentan mengalami stres psikologis karena kecemasan akan risiko terpapar virus selama perjalanan.

Para pekerja cenderung khawatir dirinya mengalami risiko pengurangan pendapatan atau PHK akibat situasi pandemi yang terjadi.

Wajar jika Anda stres

Sejak awal Maret lalu, berbagai aspek kehidupan dari ekonomi, sosial hingga kehidupan sehari-hari turut berubah secara drastis akibat serangan coronavirus. Banyak instansi layanan publik membatasi bahkan meniadakan pelayanan sementara.

Merasakan cemas, sedih, stres, bingung, takut dan marah merupakan perasaan yang normal saat menghadapi situasi pandemi. Karena perasaan adalah reaksi spontan dari dalam diri kita terhadap orang, tempat, situasi atau peristiwa yang kita alami.

Perasaan merupakan respons pada tubuh untuk melakukan perlindungan dan memastikan keamanan. Selain itu perasaan juga memiliki hubungan dengan cara seseorang berpikir dan berperilaku.

Kita perlu mengenali pikiran dan menerima perasaan yang muncul sehingga kita dapat beradaptasi dengan situasi yang ada. Namun jika pikiran kita tidak rasional atau realistik, hal ini dapat membuat perasaan menjadi negatif dan menghasilkan perilaku yang merugikan/gangguan.

Misalnya, orang seperti itu menghabiskan banyak waktu untuk mencari informasi terkait COVID-19, curiga berlebihan hingga menimbulkan kesulitan bersosialisasi, sulit menyelesaikan pekerjaan dan memenuhi tanggung jawab lainnya.

Kesehatan mental yang terganggu dapat berpotensi menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Kiat-kiat atasi stres

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyarankan ada beberapa cara agar kita dapat mengelola stres secara mandiri di rumah.

Manajemen stres penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga kualitas tidur, dan meningkatkan pertahanan tubuh terhadap penyakit.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mengimbau agar masyarakat melakukan 3 hal sederhana berikut ini:

1. Posting hal positif, menyenangkan dan memberikan harapan.

  • Kirimkan atau siarkan pesan-pesan positif, menyenangkan dan memberikan harapan (hal ini termasuk untuk media massa).
  • Carilah dan perbanyak informasi positif, menyenangkan dan memberikan harapan. Kurangi membaca berita atau informasi yang tidak dibutuhkan (kita tidak perlu mengetahui semua hal).
  • Carilah sumber inspirasi yang menguatkan (misalnya, orang dalam pantauan atau pasien dalam pantauan yang mempunyai ketangguhan menghadapi kondisinya).

2. Saling memberikan dukungan dan bantuan

  • Menjaga hubungan sosial (dengan tetap melakukan jaga jarak fisik) melalui media sosial.
  • Saling memperkuat dukungan dan bantuan di dalam keluarga.
  • Saling memperkuat dukungan dan bantuan dalam komunitas/masyarakat.
  • Memperkuat kesadaran bahwa kita sedang bersama-sama, tidak sendirian menghadapi bencana pandemi ini.
  • Mencari dukungan tenaga profesional antara lain psikolog, psikiater ketika mengalami perasaan tertekan, kecemasan dan lainnya.

3. Impikan bencana akan berakhir

  • Membangun sugesti positif pada diri sendiri.
  • Melakukan relaksasi untuk meredakan tekanan emosi.
  • Melatih emosi positif dengan mencari sisi baik dari situasi saat ini.
  • Meningkatkan religiusitas.
  • Memperkuat harapan dan optimisme.
  • Memperkuat keyakinan bahwa diri kita bersama semua pihak mampu mengatasi bencana pandemi ini.

Deteksi diri sendiri pakai kuesioner ini

Masyarakat juga dapat melakukan skrining atau deteksi dini apabila mengkhawatirkan dirinya mengalami stres negatif psikologis atau gangguan mental emosional dengan kuesioner yang yang dikembangkan oleh WHO. Self Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20) adalah kuesioner deteksi dini yang dapat mengungkapkan status emosional individu sesaat (-/+ 30 hari).

Kuesioner ini telah digunakan Kementerian Kesehatan untuk menilai kesehatan jiwa penduduk Indonesia dengan validitas dan reliabilitas yang baik.

Dengan menjawab minimal 6 butir pertanyaan pada jawaban “ya”, maka Anda akan dinyatakan mengalami gangguan mental emosional.

Namun hasil kuesioner ini bukan merupakan suatu diagnosis, karena diagnosis hanya boleh ditetapkan oleh tenaga medis profesional yang ditentukan berdasarkan gejala/keluhan, riwayat kesehatan serta faktor lain yang dialami.

Hasil ini hanya mengungkapkan status emosional individu sesaat dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik.

Dengan deteksi dini ini, menandakan bahwa seseorang sudah menyadari ada yang tidak biasa terjadi pada dirinya. Hal ini memang baik, namun tidak boleh berhenti sampai tahap ini.

Jika ditemukan adanya gangguan, perlu segera mencari pertolongan terutama jika terdapat pikiran/ perilaku bunuh diri, perilaku kekerasan yang membahayakan, perilaku atau emosi yang tidak terkontrol untuk mendapatkan pendampingan psikososial bagi siapa pun yang terdampak dari COVID-19.

Anda ingin mengukur level stres Anda saat ini? Silahkan tes diri Anda melalui link ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now