Menu Close
Artem Kovalev dari Unsplash

“Sudah menikah?” “Sudah berapa anaknya?”: bagaimana pertanyaan basa-basi ini bisa menjadi stigma

Tina, seorang perempuan berusia awal 40-an, berasal dari salah satu negara di Asia Tenggara, adalah seorang pribadi yang telah sukses dengan dua gelar pendidikan tinggi.

Tina sudah tinggal bertahun-tahun di Selandia baru. Berada jauh dari negara dan keluarganya selama bertahun-tahun, Tina menganggap komunitas lokal Asia Tenggara di Selandia Baru seperti keluarga barunya. Namun, berinteraksi dengan mereka berarti dia harus menghadapi beberapa pertanyaan yang mengganggu seperti “Apakah kamu sudah menikah?” atau “Apakah Anda punya anak?” saat menghadiri pesta pernikahan saudara atau kolega.

“Kami paham bahwa mereka orang baik dan pertanyaan itu tidak bermaksud untuk menyakiti kami, namun, saat pertanyaan itu berulang, bahkan oleh orang yang kami baru kenal sekalipun, kami menjadi tidak nyaman.”

“Pertanyaan itu, seperti menggarisbawahi hal yang kami, saya tidak punya, dan tidak melihat apa yang sudah kami capai dalam hidup. Saya paham bahwa stigma itu selalu ada…,"ujar Tina yang memang mengalami kesulitan untuk memiliki anak bersama suaminya.

Bagi Tina, apa yang selama ini dianggap sebagai sapaan sosial yang "normal” di kalangan masyarakat Asia dirasakan sebagai stigma terhadap perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki anak.

Tina tidak sendirian merasakan hal ini.

Proyek penelitian kami yang saat ini masih berlangsung berusaha membongkar bagaimana pertanyaan tentang anak-anak dapat membawa stigma. Kami menemukan pertanyaan-pertanyaan ini berdampak pada harga diri dan hubungan perempuan dengan keluarga dan komunitas mereka.

Ada apa dengan pertanyaan “basa-basi” ini?

Fokus utama penelitian kami adalah perempuan dan pasangan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Kami mewawancarai 23 perempuan – termasuk perempuan yang kami panggil Tina – yang bermigrasi dari negara kelahiran mereka ke Aotearoa Selandia Baru. Responden ini (pernah) mengalami masalah kesuburan dan tidak bisa punya anak.

Temuan penelitian awal kami menunjukkan bahwa pertanyaan seperti “Apakah Anda sudah menikah?” dan “Apakah Anda punya anak?” memiliki interpretasi yang berbeda baik dari sisi penanya maupun responden.

Dari sudut pandang penanya, pertanyaan semacam itu dianggap sebagai sapaan yang umum. Mereka sebanding dengan “Apa kabar?” di dunia Barat.

Pertanyaan tersebut muncul dari asumsi bahwa setiap perempuan dewasa di sebagian besar negara Asia adalah heteroseksual, menikah dan, mungkin, seorang ibu.

Dengan asumsi bahwa setiap orang pasti menikah dengan lawan jenis dan akhirnya menjadi ibu, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sebagai bagian dari pemahaman sosial mereka. Narasumber kami memahami bahwa pertanyaan tidak selalu bermaksud buruk dan semua itu harus dipahami sebagai “konvensi sosial” atau bagian dari “obrolan atau sapaan sehari-hari”.

Liv Bruce dari Unsplash, CC BY

Tetapi bagi para perempuan yang mendapat pertanyaan-pertanyaan ini, itu bisa terasa seperti stigma, mencoba mencari tahu dan bahkan “menghakimi”.

Menurut narasumber kami, pertanyaan tersebut cenderung fokus pada apa yang mereka belum dapatkan, dan bukan apa yang telah mereka miliki atau capai. Mereka menyoroti ketidakmampuan mereka untuk mempunyai anak, dan merendahkan diri mereka tidak hanya sebagai perempuan melainkan sebagai manusia pada umumnya.

Dampak stigma – bahkan ketika tidak disengaja

Dalam mendekati masalah ini, kami mengadopsi definisi stigma yang diberikan oleh sosiolog Kanada-Amerika, Erving Goffman. Dia mendefinisikan stigma sebagai atribut yang sangat mendiskreditkan“, saat seseorang dianggap tidak "normal” dalam komunitas mereka.

Untuk penelitian kami, kami melihat bagaimana stigma bisa muncul dari pertanyaan yang tampaknya “tidak berbahaya” ini (“Apakah Anda punya anak?”) baik di negara kelahiran narasumber maupun di Aotearoa Selandia Baru, rumah baru mereka.

Meskipun pertanyaannya mungkin tampak tidak berbahaya, peserta kami menemukan sebaliknya.

Mereka mengatakan pertanyaan itu terasa seperti membuat keberadaan mereka tidak bernilai dan memposisikan mereka sebagai individu yang ternoda dan diabaikan, karena tidak memiliki anak.

Pertanyaan ini memberikan ruang bagi para narasumber untuk meninjau ulang identitas mereka sebagai seorang perempuan, sebagai orang Indonesia, sebagai orang Melayu, sebagai orang India, sebagai orang Sri Lanka, dan sebagai orang Asia – tetapi tidak dengan cara yang menyenangkan.

Mengurangi koneksi sosial dan harga diri

Kami juga belajar bahwa ada beberapa konsekuensi dan dampak sosial dari pertanyaan tentang anak.

Pertama, stigma ini telah membuat banyak perempuan menarik diri secara sosial dan merasa dikucilkan baik dari komunitas etnis di Aotearoa Selandia Baru maupun dari kerabat mereka di negara kelahiran mereka.

Kami menemukan bahwa responden perempuan kami menerima lebih banyak pertanyaan dan merasa lebih malu dan merasa bersalah ketika mereka tidak memiliki anak dari suami mereka. Mereka distigmatisasi baik di komunitas etnis mereka di Aotearoa Selandia Baru maupun di negara asal mereka, oleh anggota keluarga besar mereka, seperti paman, bibi, bahkan keponakan dan juga kenalan.

Hal ini menyebabkan beberapa dari mereka menarik diri dari pertemuan sosial etnis di negara baru. Selanjutnya, mereka mencoba menjauhkan diri dengan keluarga mereka di negara asal mereka, misalnya, lebih jarang menelepon keluarga, sehingga mereka tidak perlu menjawab pertanyaan yang sama.

Pasangan lain cenderung mempersingkat waktu liburan mereka – seperti memotong liburan satu bulan menjadi dua minggu – untuk menghindar dari pengawasan sosial dan publik.

Adam Nemeroff dari Unsplash, CC BY

Pertanyaan tentang anak atau menikah juga menyebabkan harga diri perempuan menjadi rendah.

Responden kami melaporkan bahwa stigma tidak hanya melukai harga diri perempuan, tapi juga mengucilkan mereka dari kelompok sosial mereka, serta memposisikan mereka sebagai perempuan yang “kurang sempurna”.

Dengan demikian, mengucilkan dan menarik diri secara sosial menjadi mekanisme pertahanan untuk melindungi diri mereka sendiri dari pengawasan dan penilaian “kaum mereka sendiri”.

Setelah kelelahan secara psikologis dan fisik setelah segala macam upaya agar bisa hamil, melindungi diri dari penghakiman sosial adalah yang paling bisa mereka lakukan untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan emosional mereka.

Saatnya untuk memikirkan kembali apakah pertanyaan yang kita ajukan yang kita anggap “bagian dari ke-Asiaan kita” ini memang benar tidak berbahaya?

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now