Menu Close
Para atlit kursi roda berlomba pada ajang nomor kursi roda pria 5.000 meter di Asian Para Games ke-2 di Incheon, Korea Selatan. Yonhap/EPA

Sudahkah Asian Para Games 2018 inklusif? : Sebuah refleksi

Dalam rangka Hari Penyandang Disabilitas Sedunia pada 3 Desember 2018, The Conversation Indonesia menyiapkan rangkaian tulisan mengenai hak orang dengan disabilitas. Ini adalah salah satu dari seri artikel tersebut.


Ajang olahraga bagi para penyandang disabilitas seluruh Asia, Asian Para Games yang ke-3, telah sukses digelar di Indonesia pada 6-13 Oktober 2018 lalu.

Acara ini sejajar dengan Asian Games 2018 dan diadakan untuk atlet difabel se-Asia. Tahun ini, Asian Para Games diikuti oleh 43 negara anggota Asian Paralympic Committee, melibatkan 2.757 atlet difabel. Ada 18 cabang olahraga yang dipertandingkan.

Asian Para Games telah menyita perhatian para pemerhati difabilitas di Asia. Namun, muncul pertanyaan, apakah ajang olahraga ini sudah cukup inklusif? Inklusif di sini artinya adalah adanya kesetaraan perlakuan antar penyelenggaraan Asian Para Games dengan Asian Games, baik dari sisi penghargaan terhadap atlet maupun terhadap penyelenggaraan dan pertandingan cabang-cabang olahraganya.

Dari inklusi ini dapat diharapkan terjadinya integrasi antara kedua perhelatan kedua ajang olahraga ini.

Penulis akan menjawab pertanyaan ini dari berbagai sisi mulai dari waktu dan tempat penyelenggaraan, aksesibilitas fisik, penghargaan kepada atlet, penyelenggaraannya sendiri, serta paradigma terhadap ajang olahraga untuk kaum difabel, atau dikenal dengan para olahraga.

Waktu dan tempat penyelenggaraan

Setelah sukses menyelenggarakan Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan bulan Agustus-September yang lalu, Indonesia menjadi tuan rumah untuk penyelenggaraan Asian Para Games. Sudah sejak 2010, Asian Para Games diadakan setelah penyelenggaraan Asian Games di negara tuan rumah yang sama.

Sebelumnya Asian Para Games dikenal dengan sebutan FESPIC Games (Far East and South Pacific Games for the Disabled). FESPIC merupakan ajang pertandingan berbagai olahraga bagi atlet difabel. FESPIC digelar pertama kali pada 1975 di Oita, Jepang lalu berakhir pada perhelatan kesembilan di Malaysia pada 2006.

FESPIC Games bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan difabel melalui partisipasi dalam ajang olahraga, memperdalam rasa saling memahami dan persahabatan antar-difabel, dan mendukung rehabilitasi difabel melalui aktivitas olahraga.

Pada tahun 2006, FESPIC Games dibubarkan sejalan adanya keputusan untuk memisahkan antara Asian Games dan Pacific Games. Penyelenggaraan para olahraga daerah Pasifik menjadi Pacific Para Games.

Kemudian Asian Paralympic Committee sebagai organisasi olahraga difabel Asia mengambil alih tanggung jawab penyelenggaraan Asian Para Games pertama pada 2010 di Guangzhou, China.

Sejak itu APG disepakati menjadi ajang olahraga empat tahunan yang “satu paket” dengan penyelenggaraan Asian Games di suatu negara.

Sebelum digelar di Jakarta dan Bogor, Asian Para Games ke-2 dihelat di Incheon, Korea Selatan pada tahun 2014.

Pada 29 Februari 2016, Indonesia menandatangani kontrak sebagai tuan rumah Asian Para Games setelah dikonfirmasi sebagai kota tuan rumah Asian Games 2018 pada Oktober 2014.

Meskipun Asian Para Games diselenggarakan di negara yang sama dengan Asian Games, publik masih menganggap bahwa keduanya merupakan ajang yang berbeda karena waktu penyelenggaraan yang berbeda. Hal ini ditandai dengan perbedaan panitia penyelenggara.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri pendapat umum bahwa Asian Games adalah kompetisi olahraga untuk atlet non-difabel, sedangkan Asian Para Games adalah kompetisi olahraga khusus atlet penyandang disabilitas.

Aksesibilitas fisik

Sebagaimana penyelenggaraan pesta para olahraga lainnya, penyediaan aksesibilitas fisik merupakan hal krusial karena berkaitan dengan kemudahan mobilitas atlet, pengunjung, dan relawan.

Sayangnya, secara umum, penyelenggaraan Asian Para Games 2018 masih menyiratkan perlakukan yang tidak setara warga difabel dibanding pengunjung lainnya.

Menurut Kelompok Kerja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas, Asian Para Games masih mendiskriminasi atlet dan pengunjung difabel karena tidak memberikan akses fisik yang layak.

Hal yang sama juga dikonfirmasi oleh pengunjung di beberapa tempat. Di lapangan basket, misalnya, jalan tidak rata dan petunjuk jalan bagi difabel juga masih minim.

Tempat penyelenggaraan, Stadion Utama Gelora Bung Karno, memang menyediakan jalur khusus bagi pengunjung difabel ke tribun penonton, tetapi ramp (bidang miring atau landaian) yang tersedia masih terlalu curam sehingga pemakai kursi roda tidak dapat melewatinya sendiri, melainkan masih harus dibantu oleh tiga orang relawan.

Hal ini dikeluhkan oleh Nova, seorang ibu yang memiliki anak pemakai kursi roda.

Pembuatan ramp portable dari kayu (semacam ramp yang bisa dipindah-pindah) oleh pihak penyelenggara mengindikasikan bahwa penyediaan aksesibilitas hanya bersifat sementara dan diperuntukkan bagi difabel pada ajang Asian Para Games saja.

Dalam kacamata inklusi, aksesibilitas fisik seyogyanya dimaknai sebagai desain universal yang memungkinkan warga difabel dapat mengakses tempat tersebut baik di ajang khusus maupun umum.

Penghargaan

Berbeda dengan hal-hal di atas, hal positif dapat ditemui pada pemberian penghargaan kepada para atlet yang berprestasi di ajang Asian Para Games itu sendiri. Di Indonesia, bonus yang diberikan kepada atlet difabel peraih medali di Asian Para Games sama dengan bonus yang diberikan kepada atlet peraih medali di Asian Games. Ini merupakan perwujudan kesetaraan antara atlet difabel dan atlet non-difabel.

Sementara itu, perlakuan yang sama dari pemerintah juga ditemukan pada penyelenggaraan Asian Para Games. Kehadiran Presiden Joko “Jokowi” Widodo di upacara pembukaan dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di upacara penutupan Asian Para Games sama persis dengan yang terjadi di Asian Games. Kunjungan Presiden dan para pejabat negara di Asian Para Games juga tidak kalah dengan apa yang terjadi di Asian Games. Hal ini membuktikan penghargaan pemerintah terhadap para olahraga.

Paradigma olahraga

Namun di samping penghargaan yang sama yang diberikan pemerintah, tampaknya olahraga difabel masih dipandang sebelah mata.

Pemisahan waktu dan kepanitiaan antara Asian Games dan Asian Para Games menggambarkan terjadinya diskriminasi terhadap cabang olahraga untuk atlet difabel.

Pembedaan ini mewakili paradigma subordinasi yang memandang olahraga bagi atlet difabel lebih rendah daripada olahraga umum.

Pada masa lalu hal ini diikuti dengan pemberian bonus yang lebih kecil kepada atlet difabel peraih medali.

Saat ini, ketika pemberian bonus di Indonesia disamakan, maka pemerintah telah mengupayakan agar para olahraga mengarah ke inklusi. Namun, apakah subordinasi ini sudah hilang?

Waktu penyelenggaraan dan kepanitiaan yang berbeda menunjukkan bahwa subordinasi tersebut masih ada.

Harapan ke depan

Inklusi semestinya menjadi paradigma olahraga di negara ini khususnya dan di Asia bahkan dunia pada umumnya. Inklusi semestinya mengintegrasikan para olahraga dengan penyelenggaraan pesta olahraga seperti Asian Games.

Tetapi kemudian apakah atlet difabel harus berkompetisi dengan atlet non-difabel? Jawabannya adalah bisa “ya” ataupun “tidak”.

Untuk cabang lari, bulutangkis, tenis meja, tenis lapangan dan panahan, misalnya, atlet tuli mungkin dapat berkompetisi dengan atlet non-difabel tanpa kendala.

Dalam cabang catur, misalnya, juga tidak perlu dipisahkan antara atlet tuli dan tuna daksa dengan atlet umum.

Sementara itu, atlet tunanetra mungkin dapat berkompetisi dengan atlet lain dalam cabang blind chess (catur dengan mata tertutup).

Selain itu, kita mungkin dapat memperkenalkan kategori khusus dalam cabang olahraga tertentu.

Misalnya dalam cabang olahraga tenis meja, dibuat kategori untuk atlet umum, atlet tuna netra, dan atlet kursi roda.

Dalam hal ini, integrasi maraton kursi roda ke dalam Gold Coast Commonwealth Games 2018 adalah contoh praktik inklusi yang dapat direplikasi.

Masuknya cabang-cabang olahraga yang mengakomodasi atlet difabel dalam Asian Games memungkinkan atlet difabel berkompetisi dengan atlet umum di cabang-cabang tertentu secara adil.

Kesempatan yang juga memungkinkan atlet non-difabel untuk mengikuti cabang para olahraga tertentu dengan mata ditutup atau memakai kursi roda akan membuat olahraga menjadi lebih inklusif dan menumbuhkan saling pengertian antar-atlet.

Pada akhirnya, penghitungan medali pun bisa digabung. Bukan tidak mungkin utopia ini dicoba untuk menjadi sebuah kenyataan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now