Menu Close

‘Suicide prevention month’: mengapa bunuh diri kerap dianggap sebagai solusi?

CC BY89.9 MB (download)

Berita tentang bunuh diri semakin sering muncul belakangan ini, seolah-olah tindakan ini dianggap sebagai jalan keluar dari berbagai masalah hidup.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun ada sekitar 800 ribu orang di seluruh dunia yang meninggal karena bunuh diri, dan mayoritasnya adalah anak muda.

Di Indonesia, data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa terdapat 985 kasus bunuh diri pada remaja. Jumlah ini mencapai sekitar 46,63% dari total kasus bunuh diri antara tahun 2012 hingga 2023.

Beberapa orang menganggap bahwa tindakan bunuh diri umumnya didorong oleh keinginan untuk keluar dari kesulitan tertentu atau situasi krisis. Namun, bunuh diri sebenarnya adalah isu yang sangat kompleks, dengan penyebab utama yang belum bisa dipastikan.

Lantas, langkah apa yang perlu diambil masyarakat agar dapat mencegah agar kasus bunuh diri bisa berkurang?

Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami membahas isu ini dengan Hetti Rahmawati, seorang akademisi dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur.

Hetti mengatakan kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan anak muda disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tekanan akademis, perubahan hormon, emosi, permasalahan keluarga, pengaruh media informasi, dan kurangnya akses sumber dukungan kepada para remaja.

Melihat semakin banyaknya kejadian bunuh diri, Hetti beranggapan ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem dukungan kesehatan mental dan mempromosikan interaksi sosial yang lebih sehat.

Namun langkah ini bukan tanpa hambatan. Hetti menyoroti tantangan dalam mempromosikan kesehatan mental, seperti adanya anggapan negatif dari lingkungan sekitar dan faktor budaya yang berkontribusi terhadap stigma seputar kesehatan mental dan bunuh diri.

Hetti juga membahas terbatasnya akses ke layanan kesehatan mental, terutama di daerah pedesaan, dan kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang kesehatan mental. Ia menegaskan pentingnya memahami faktor risiko dan tanda-tanda masalah kesehatan mental, seperti trauma, isolasi sosial, dan masalah keluarga.

Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia—ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,200 academics and researchers from 5,061 institutions.

Register now