Menu Close
(Sumber: ADB/Flickr)

Surat terbuka 287 ilmuwan untuk WTO: larang subsidi perikanan yang merusak

Pada Oktober 2021, 287 ilmuwan dari 46 negara dan 6 benua mendesak Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menghentikan subsidi perikanan yang merusak. Desakan ini disampaikan melalui surat terbuka di jurnal terkemuka Science. Saya kebetulan menjadi salah satu ilmuwan yang terlibat dalam perumusan surat ini.

Surat ini merupakan rekomendasi krusial karena subsidi perikanan ada yang sudah berdampak pada kerusakan sumber daya ikan di laut. Lebih dari 20 tahun wacana ini sudah dibahas melalui proses panjang dan berliku di WTO, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

Surat tersebut juga menjadi bagian dari gelombang desakan global untuk melarang subsidi perikanan, setelah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Perserikatan Bangsa Bangsa diluncurkan pada 2015. SDGs, dalam tujuan 14 terkait laut yang sehat, memuat target untuk melarang bentuk-bentuk tertentu subsidi perikanan yang berkontribusi pada kelebihan kapasitas dan tangkapan berlebih, praktik perikanan ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing). Negara-negara juga diharapkan menahan diri untuk memperkenalkan subsidi baru sejenis itu.

Titik terang mulai terlihat saat WTO menghelat Konferensi Tingkat Menteri ke-12 (MC12) pada 12-15 Juni lalu. Para pihak akhirnya menyepakati rekomendasi untuk melarang subsidi aktivitas perikanan berlebihan dan IUU fishing.

Meski demikian, kesepakatan tersebut belumlah cukup. Negara-negara harus menindaklanjuti perjanjian ini dengan berbagai upaya menjaga kesehatan laut dari aktivitas penangkapan ikan berlebihan yang merusak – sebagaimana desakan dalam surat pakar tersebut.

Mengapa subsidi perikanan yang merusak harus dilarang?

Subsidi perikanan dapat diartikan sebagai transfer atau bantuan finansial ataupun nonfinansial secara langsung maupun tidak langsung dari entitas publik ke sektor perikanan swasta, sehingga industri dapat menghasilkan laba.

Peningkatan laba melalui penurunan biaya melaut atau peningkatan pendapatan nelayan memang berhasil meningkatkan kapasitas sektor perikanan. Namun, hal tersebut berujung paida penangkapan ikan berlebihan (overfishing) sehingga terus menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya ikan.


Read more: Perlu pendanaan bersama untuk menyelamatkan laut yang semakin rusak. Bagaimana mewujudkannya?


Di hampir semua wilayah, subsidi untuk peningkatan kapasitas sektor perikanan merupakan yang terbanyak. Studi yang dipimpin pakar kelautan dan perikanan dari University of British Columbia, Ussif Rashid Sumaila, memperkirakan subsidi perikanan global pada 2018 mencapai US$35,4 miliar. Dari angka tersebut, bantuan terkait peningkatan kapasitas sektor perikanan mencapai US$22,2 miliar.

Bantuan ini, menurut studi Sumaila, mencakup subsidi bahan bakar fosil (termasuk pengecualian pajak bahan bakar) sebesar 22% dari nilai subsidi untuk peningkatan kapasitas. Selanjutnya adalah subsidi pengelolaan perikanan (19%) dan pengecualian pajak nonbahan bakar (15%).

Negara-negara Asia termasuk Cina merupakan wilayah yang memberikan subsidi perikanan terbesar, diikuti Eropa (18%) dan Amerika Utara (13%).

Deretan kapal-kapal industri perikanan tangkap Cina. (Sumber: Greenpeace)

Beraneka kebijakan subsidi kemudian membuat penangkapan ikan semakin jauh dan sampai ke perairan laut dalam. Aktivitas kapal-kapal perikanan yang melaut ke perairan jauh (distant water) yang sulit diawasi, khususnya di wilayah perairan Pasifik, Afrika Timur, dan Afrika Barat, menjadi marak.

Ada lima negara yang bertanggung jawab pada 90% penangkapan ikan di perairan jauh. Cina dan Taiwan menjadi yang terbanyak (60% aktivitas), sisanya Jepang, Korea Selatan, dan Spanyol masing-masing 10%.

Penangkapan besar-besaran akhirnya menggerogoti sumber daya perikanan. Data organisasi nirlaba World Wide Fund for Nature (WWF) menyatakan, selama 1970-2012, populasi laut telah berkurang 49 persen. Ini belum dihitung dengan kerusakan biodiversitas, termasuk di antaranya terumbu karang sehingga memangkas kemampuan laut dalam menyerap karbon. Persoalan ini akhirnya turut memperparah perubahan iklim.

Bagaimana di Indonesia?

Salah satu era subsidi kapasitas perikanan Indonesia yang paling banyak dibahas adalah pada 1980-an. Saat itu pemerintah memberikan subsidi pada nelayan kecil di pantai utara Jawa berupa pemberian mesin motor untuk kapal perikanan (motorisasi perikanan tangkap).

Nelayan memperbaiki jaringnya usai melaut di Pelabuhan Pamayang, Tasikmalaya, Jawa Barat. (Sumber: Adeng Bustomi/Antara)

Kebijakan subsidi Indonesia pun masih berlangsung hingga saat ini. Misalnya subsidi solar, transfer finansial langsung untuk pembelian peralatan, kapal, atau biaya operasional, pembebasan pajak dan bea terutama untuk nelayan kecil.

Meski kebanyakan ditujukan pada nelayan kecil, studi dari pakar perikanan Birmingham, James Kevin Mc Elroy, justru membuktikan kebijakan subsidi yang tidak tepat bisa memicu penangkapan berlebihan di kawasan pantai utara Jawa.


Read more: Menteri Perdagangan absen dari agenda penting WTO karena _reshuffle_, apa yang Indonesia lewatkan?


Dampaknya adalah penurunan jumlah tangkapan dan penurunan kualitas ikan yang cukup signifikan. Hal ini tentu berdampak kembali pada kehidupan nelayan akibat pendapatan yang menurun. Perikanan tangkap skala kecil juga menjadi tidak berkelanjutan.

Setelah kesepakatan WTO, apalagi?

(Sumber: Peter Grima/Flickr)

Kesepakatan WTO memang menjadi pijakan besar dalam upaya antarnegara untuk menjaga kelestarian laut.

Namun, kesepakatan tersebut gagal meloloskan larangan subsidi yang berhubungan dengan pengembangan armada perikanan. Padahal subsidi tersebut berdampak pada lonjakan kapasitas armada sehingga menggiring pada praktik perikanan yang tidak berkelanjutan.

Pembahasan terkait hal-hal tersebut seharusnya bisa menjadi prioritas pembahasan dalam konferensi tingkat menteri berikutnya – pada 2023 – atau bahkan lebih cepat.

Hal ini mendesak dilakukan untuk mencegah kerusakan lanjutan ekosistem laut dan penurunan populasi ikan. Tanpa langkah yang cepat dan signifikan, kerusakan laut akan berdampak langsung bagi kehidupan sekitar 870 juta orang yang bergantung pada sektor perikanan tangkap dan budi daya.


Read more: Manajemen perikanan yang buruk rugikan Indonesia Rp 104 triliun per tahun. Berikut cara mengatasinya


Bagi Indonesia, perjanjian baru WTO harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk berhati-hati dalam mengalokasikan subsidi sektor perikanan. Hal ini terutama bagi daerah yang kondisi tangkap lebih. Di beberapa wilayah, udang penaid di Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 (perairan di sebelah timur laut Sumatra, ikan karang di WPP 716 (perairan perbatasan Indonesia - Sabah, Malaysia - Filipina) sudah memasuki kondisi overfishing alias terancam populasinya karena penangkapan berlebihan.

Subsidi dalam bentuk apapun sebaiknya tidak lagi diberikan pada industri penangkapan ikan yang mempraktikkan IUU fishing.

Namun, perlu diingat juga tidak semua subsidi buruk. Kebijakan bantuan pemberian alat tangkap ramah lingkungan dapat menjadi pilihan, misalnya, dapat menjadi pengganti alat tangkap yang merusak.

Seluruh negara mesti memahami bahwa pengiriman surat terbuka dari ratusan ilmuwan ke WTO adalah pertanda keadaan semakin genting, serta membutuhkan respons yang tepat sasaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now