Menu Close
Antara Foto/Zabur Karuru

Survei: pengetahuan dan partisipasi masyarakat selama PSBB masih rendah. Perlu ada perbaikan selama memulai pelonggaran

Kurang dari dua bulan sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama diberlakukan di Jakarta, pemerintah sudah mengumumkan pelonggaran PSBB.

Beberapa sektor sudah mulai dibuka pada minggu pertama Juni 2020 untuk aktivitas rutin. Dua minggu pertama menjadi masa transisi untuk memasuki keseharian dalam masa yang disebut Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai “tatanan normal baru”, salah satunya dengan penekanan disiplin memakai masker, menjaga jarak fisik, dan selalu menjaga kebersihan tangan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan persyaratan pelonggaran tatanan harus didasarkan pada standar kesehatan yang cukup ketat.

Kami yang tergabung dalam Tim Panel Ilmu Sosial untuk Kebencanaan telah melakukan survei terkait dengan pelaksanaan PSBB yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten pada 3-12 Mei 2020 dengan jumlah responden 919 orang.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan terbatas dan partisipasi rendah dalam PSBB. Ini menjadi pembelajaran untuk meningkatkan kesiapan kita selama masa pelonggaran ini.

Pengetahuan terbatas, partisipasi rendah

Hasil survei pelaksanaan PSBB menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat akan aturan PSBB masih terbatas.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 55,4% responden hanya memahami PSBB sebagai aturan pembatasan mobilitas penduduk.

Hanya sebagian kecil (20,6%) responden yang mengetahui adanya pembatasan kegiatan di berbagai sektor, seperti perdagangan, industri, dan transportasi.

Tidak mengherankan jika masih banyak masyarakat yang terpaksa ke luar rumah melanggar aturan PSBB. Hal ini terlihat dari beberapa pelanggaran yang terjadi di wilayah Jabodetabek dan juga di wilayah lain.

Hasil survei kami juga menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PSBB masih terbatas.

Tidak sampai separuh responden (41,8% responden di Jakarta; 39,8% responden di Banten; dan 38,7% di Jawa Barat) yang berusaha mematuhi peraturan dalam PSBB.

Di samping itu, 69% responden berpendapat bahwa pelaksanaan PSBB belum sepenuhnya berhasil dan 13% responden berpendapat pelaksanaan PSBB tidak berhasil. Hal ini menurut sebagian besar responden yang berpendapat tersebut (78,1%) karena kurangnya partisipasi masyarakat.

Data oleh penulis.

Mereka juga menyatakan bahwa aturan-aturan dalam kebijakan PSBB kurang jelas dan informasi yang diterima oleh masyarakat soal aturan PSBB masih terbatas.

Sekitar 36% responden yang menyatakan bahwa tidak ada sosialisasi langsung ke masyarakat, sehingga mereka tidak tahu apa saja yang dapat dan atau tidak dapat dilakukan selama PSBB.

Di samping itu, fakta bahwa 10,6% responden harus ke luar rumah karena urusan pekerjaan adalah hal yang juga mendukung rendahnya partisipasi PSBB.

Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat bukannya tidak patuh atau tidak peduli akan PSBB, tapi mereka terpaksa keluar rumah.

Pemerintah seharusnya menyadari masalah ini dan menjadikannya sebagai bagian penting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.

Kesiapan menghadapi pelonggaran

Menurut kami ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk mendukung keberhasilan masa pelonggaran PSBB, yaitu:

1. Informasi dan pengetahuan terkait dengan PSBB untuk semua kalangan

Penyediaan informasi untuk meningkatkan pemahaman harus dilakukan dan ditujukan kepada semua kalangan. Informasi tersebut harus disediakan di berbagai level masyarakat karena tingkat pemahaman mereka sangat beragam.

Pada dasarnya, kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan PSBB sudah ada, namun pengetahuannya masih belum cukup memadai.

Adanya inkonsistensi dalam penyampaian informasi oleh pemerintah dapat menimbulkan rasa enggan pada masyarakat untuk mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Salah satu contoh, informasi penting yang baru-baru ini diumumkan adalah informasi tentang istilah pelonggaran. Sebagian menyebutkan sebagai masa transisi dan sebagian menyebutkan dengan istilah pelonggaran.

Jika tidak disertai dengan informasi yang konsisten, maka pelonggaran dapat diartikan sebagai adanya kesempatan untuk tidak melakukan disiplin protokol kesehatan yang ketat.

2. Konsistensi kebijakan dan penerapannya

Selain penyediaan informasi, konsistensi kebijakan juga mutlak diperlukan. Secara umum, hasil kaji cepat kami menunjukkan bahwa penegakan hukum dapat diterima oleh masyarakat namun harus konsisten di berbagai level, mulai dari pemerintah pusat hingga ke daerah.

Saat ini masih ditemui adanya perbedaan kebijakan PSBB oleh pemerintah pusat dan daerah yang mengakibatkan banyak peluang terjadinya pelanggaran.

Pengalaman dari pelaksanaan PSBB menunjukkan penegakan hukum merupakan hal yang sangat mempengaruhi ketidakberhasilan pelaksanaan PSBB.

Lebih dari separuh responden yang menilai PSBB tidak berhasil atau hanya berhasil sebagian menyatakan bahwa karena penegakan hukum masih kurang. Pada masa pelonggaran ini, pemerintah khususnya pemerintah daerah seharusnya dapat menegakkan kebijakan dengan menerapkan sanksi terhadap pelanggar.

3. Kerja sama berbagai pihak

Masa pelonggaran ini juga akan berhasil jika seluruh sumber daya yang ada dapat bekerja sama dan saling melengkapi.

Saat ini ada berbagai platform yang dikembangkan oleh berbagai pihak untuk mengawal perkembangan isu COVID-19. Salah satunya adalah Lapor COVID yang merupakan platform sesama warga untuk berbagi informasi tentang COVID-19 dan berbagai informasi terkait lainnya.

Idealnya, platform ini menjadi alternatif melengkapi platform resmi yang dibangun oleh pemerintah pusat sebagai salah satu bentuk upaya melibatkan komponen masyarakat dalam menangani pandemi. Kerja sama dan kombinasi dari berbagai platform tersebut akan sangat mendukung penyediaan informasi yang komprehensif.

Dengan adanya kolaborasi yang baik, maka perbedaan dalam pencatatan jumlah kematian pasien positif COVID-1 dan kesimpangsiuran data lainnya dapat segera diatasi.

Jika tidak ada kerja sama yang baik, hal ini akan berpotensi melemahkan potensi sosial yang sudah ada dan berkembang di masyarakat serta menyebabkan kegagalan masa transisi menuju “new normal”.

Selain itu, penting juga untuk melibatkan tokoh agama, masyarakat, milenial dan selebriti yang menjadi panutan dan idola masyarakat dalam upaya menyebarkan informasi dan mengubah perilaku masyarakat untuk disiplin melaksanakan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini sangat penting mengingat masyarakat adalah pelaku utama (subjek) dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan new normal.

Cara lain adalah mengaktifkan peran komunitas di tingkat akar rumput dengan menguatkan modal sosial yang sudah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kita bisa memperkuat gotong royong dan kepedulian sosial dalam membantu sesama warga agar terhindar dari penularan COVID-19 dan tetap produktif dalam bekerja.

Tentunya, semua hal ini harus didukung dengan kesadaran dan kedisiplinan masyarakat serta koordinasi yang baik antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat agar tatanan normal baru dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now