Menu Close
Utang luar negeri dan resesi
Negara-negara berkembang menghadapi utang yang menggunung, dan dunia perlu mencari cara untuk menyelamatkan mereka dari gagal bayar. Strarline/Freepik, CC BY-SA

Tak hanya negara berpenghasilan rendah, G20 harus tangguhkan utang negara berkembang seperti Indonesia dan India

Ketika pandemi COVID-19 muncul pada 2020, utang global mencapai US$ 226 triliun (Rp 3,473 juta triliun) atau tertinggi sejak Perang Dunia II. Sementara, Institute of International Finance mendata bahwa utang pemerintah, rumah tangga, dan sektor swasta di 31 negara berkembang menyentuh angka US$ 98,8 triliun pada Juni tahun ini. Ini 2,5 kali lipat lebih besar dari gabungan produk domestik bruto (PDB) negara-negara tersebut.

Dengan utang yang menggunung dan ruang fiskal yang kecil, banyak negara yang berisiko gagal membayarakan utang luar negeri mereka dan menghadapi guncangan ekonomi besar di tengah resesi global. Untuk menghindari hal ini, G20 – yang mewakili lebih dari 80% PDB dunia – meluncurkan program inisiatif penangguhan layanan utang (DSSI) untuk menunda, bukan membatalkan, utang ke sebagian besar negara berpenghasilan rendah.

Namun, negara-negara G20 perlu memperluas layanan ini ke negara-negara berkembang – termasuk Indonesia – yang utangnya terus meningkat. Negara-negara berkembang menyumbang sekitar 50% dari output dunia, dan guncangan eksternal ke negara-negara ini dapat memperdalam resesi global.

Mengapa negara berkembang juga butuh penangguhan utang

Dibentuk pada Mei 2020, DSSI membantu negara-negara memusatkan sumber daya mereka untuk memerangi COVID-19 dan melindungi kehidupan dan penghidupan jutaan orang rentan.

Program tersebut menghentikan sementara pembayaran utang sebesar US$ 12,9 miliar dari Mei 2020 hingga Desember 2021. Ini adalah kumpulan utang 48 negara dari total 73 negara yang memenuhi syarat untuk mengikuti program ini.

Para penerima manfaat harus berkomitmen melakukan realokasi dana yang semestinya digunakan membayar utang – untuk dialihkan ke sektor sosial, kesehatan, dan ekonomi demi mengatasi dampak pandemi. Negara-negara ini juga wajib mengungkapkan komitmen keuangan mereka – termasuk utang dan obligasi – yang terkait dengan pelayanan umum.

Para penerima manfaat merupakan negara berpenghasilan rendah seperti Afghanistan, Burundi, dan Etiopia.

Walaupun begitu, terdapat sejumlah alasan mengapa kita harus membujuk G20 untuk juga meringankan utang negara-negara berkembang, yang perekonomiannya semakin terintegrasi dengan pasar global seiring dengan pertumbuhan ekonomi mereka. Ini termasuk negara seperti Brasil, Mesir, India, Indonesia, dan Filipina.

Pertama, utang luar negeri membawa risiko eksternal yang membuat negara terekspos pada potensi gagal bayar (default). Gagal bayar dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar, mulai dari naiknya angka pengangguran hingga inflasi. Ke depan, negara-negara ini bisa kesulitan untuk mengajukan utang dan harus membayar bunga yang lebih tinggi jika berhasil memperoleh pinjaman.

Kedua, DSSI dapat membantu meringankan beban bunga dari anggaran negara. Meskipun DSSI mungkin tidak membebaskan partisipan dari kewajiban melunasi utangnya, program ini akan membantu meringankan beban ekonomi negara-negara tersebut, utamanya karena biaya mitigasi dampak pandemi. Di Indonesia, misalnya, program ini bisa mengurangi 20% pengeluaran negara yang berasal dari pembayaran bunga.

Ketiga, gangguan rantai pasok global (salah satunya disebabkan oleh Perang Rusia-Ukraina) dan meningkatnya rata-rata suku bunga global, akan membawa tantangan yang lebih berat bagi negara berkembang. Ini sebab gangguan rantai pasok dapat mendongkrak harga impor dan melemahkan mata uang. Sementara, kenaikan suku bunga akan menimbulkan beban utang luar negeri terhadap anggaran negara.

Jika tak ada langkah yang segera diambil, resesi global yang kini tengah mengintai bisa makin berat dampaknya.

Mengapa Indonesia perlu mengajukan DSSI

Kondisi fiskal Indonesia saat ini cukup menantang. Ketergantungan pada komoditas masih tinggi, rasio penerimaan pajak dibanding PDB merupakan yang terendah di Asia Tenggara, dan utang terus mencuat setelah pemerintah mengeluarkan pendanaan stimulus untuk menghadapi pandemi.

Dengan mempertimbangkan tantangan ini, inisiatif penangguhan layanan utang G20 dapat membantu meringankan beban Indonesia dan negara berkembang lainnya menjelang resesi global.

Dalam konteks Indonesia, utang pemerintah terus merangkak naik di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, terdapat tren kenaikan rasio utang terhadap PDB sejak 2015, setahun setelah Jokowi terpilih. Lonjakan tertinggi terjadi pada 2020, mencapai Rp 1.300 triliun atau 27,7% dari PDB tahunan Indonesia.

Melihat tren yang terus berlanjut, pemerintah Indonesia kemungkinan akan terus meminjam meski dibayangi ancaman penurunan PDB jika resesi global terjadi. Hal ini dapat menjebak Indonesia dalam lingkaran setan utang, mengambil lebih banyak pinjaman untuk membayar pinjaman sebelumnya.

Penangguhan utang, yang dapat ditempuh melalui kanal G20, dapat meredam perputaran ini.

Akan tetapi, ada tantangan yang harus Indonesia hadapi. Sekitar 88% dari utang Indonesia didominasi oleh obligasi yang dikeluarkan pemerintah.

Namun, pemerintah bisa mengatasi ini dengan melakukan negosiasi lewat DSSI dan berfokus pada utang bilateral. Pendekatan ini mengharuskan Indonesia untuk membujuk Cina, lewat G20, untuk memberikan penangguhan utang.

Indonesia menerima bantuan dan pinjaman dari proyek Belts and Roads Initiative (BRI) Cina untuk mendanai sejumlah proyek infrastruktur. Pada 2017, Indonesia merupakan penerima dana BRI terbesar kedua setelah Pakistan, mengantongi hingga US$ 20,3 miliar.

Pada 2021, Indonesia memiliki utang sebesar US$ 20,9 miliar dari Cina atau setara dengan 9,87% total utang luar negerinya. Ini membuat Cina menjadi kreditor terbesar keempat Indonesia setelah Singapura, Amerika Serikat, dan Jepang. Komposisi utang ke Cina ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 1,7 miliar dan utang swasta sebesar US$ 19,2 miliar.

Walau utang pemerintah Indonesia ke Cina tampak kecil, penting untuk dicatat bahwa BRI adalah skema bisnis ke bisnis. Sehingga, peminjam bisa saja merupakan badan usaha milik negara. Artinya, APBN bisa terpengaruh riak utang luar negeri BUMN, mengingat pemerintah turut membiayai proyek mereka melalui penyertaan modal negara (PMN).

Salah satu proyek BRI adalah konstruksi Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang investasi awalnya senilai Rp 22,5 triliun. Proyek ini sendiri cukup mengkhawatirkan karena sifatnya yang padat modal berisiko tak cukup menghasilkan keuntungan untuk menutup utang pembangunannya.

Perkara utang Cina ini bukan cuma persoalan yang dihadapi Indonesia. Ini bisa menjadi permasalahan global karena banyak negara berkembang yang juga memiliki utang menggunung dari negara tersebut.

Berdasarkan data Bank Dunia, Cina merupakan kreditor terbesar bagi banyak negara di dunia, termasuk Angola, Pakistan, Kenya, Laos, dan Etiopia. Tanpa adanya keringanan, negara-negara ini bisa terancam gagal bayar.

Ini jadi isu penting bagi G20 – saat ini dipimpin oleh India yang juga negara berkembang – untuk didiskusikan dan ditindaklanjuti.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now