Menu Close

Tantangan dalam pengungkapan dan penanganan kasus kejahatan seksual pada setahun pandemi COVID-19

Mahasiswi memegang bunga mawar dan menggunakan masker sambil memperlihatkan spanduk kampanye Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.
Mahasiswi melakukan aksi unjuk rasa anti kekerasan seksual terhadap perempuan, di Padang, Sumatra Barat. Iggoy el Fitra/Antara Foto

Setelah satu tahun lebih pandemi melanda, tantangan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia semakin berat. Studi global menyebutkan bahwa pandemi ini membawa situasi sangat berbahaya bagi perempuan.

Pemerintah Indonesia sudah menerbitkan protokol penanganan kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi COVID-19. Meski demikian, masih banyak perempuan korban yang tidak dapat menjangkau layanan ini.

Kejahatan seksual tidak hanya terjadi pada ruang nyata, namun juga terjadi di dunia maya dengan adanya penggunaan gawai secara intensif untuk kegiatan daring. Korban kekerasan berbasis gender online (KGBO) meningkat drastis pada masa pandemi ini.

Kekerasan berbasis gender adalah salah satu dampak pandemi yang paling terabaikan, dengan ketersediaan layanan yang tidak memadai.

Darurat kejahatan seksual, sebatas pernyataan?

Presiden Joko Widodo “Jokowi” mendeklarasikan darurat kejahatan seksual di Indonesia sejak 2016, namun hingga kini, produk hukum perlindungan korban yang lebih baik masih belum ada.

Antara 2017 dan 2020, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDR) dan perkosaan.

Ini situasi yang berlangsung sebelum pandemi melanda.

Pada masa pandemi, perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan mereka sangat rentan mengalami KDRT. Mereka terpaksa untuk berada bersama dengan pelaku kekerasan untuk waktu yang lebih lama.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini belum juga disahkan.

Artinya pemerintah sendiri belum serius menangani kejahatan seksual. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum memiliki payung hukum perundang-undangan yang secara khusus menaungi penanganan korban kejahatan seksual secara komprehensif.


Read more: Riset ungkap pemangku kepentingan dan publik mendukung pencegahan kekerasan seksual


Gunung es data kasus

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa terjadi penurunan signifikan jumlah kasus yang terhimpun di dalam Catahu 2021. Ini kemungkinan karena selama pandemi lembaga penyedia layanan memiliki keterbatasan dalam penanganan dan pendokumentasian kasus.

Padahal pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam masa pandemi 2020.

Akses korban terhadap berbagai layanan bantuan seperti bantuan hukum, bantuan psikologis, dan bantuan sosial juga menjadi terhambat.

Hasil survei Komnas Perempuan menyebutkan bahwa rumah tangga yang pengeluarannya meningkat memiliki peluang semakin sering mengalami kekerasan —- terutama kekerasan fisik dan seksual —- yang mengindikasikan persoalan ekonomi berpotensi memicu terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga pada masa pandemi.

Bagi banyak perempuan, kebijakan pembatasan sosial lebih merugikan daripada virus itu sendiri karena mereka secara psikologis dan fisik terbelenggu oleh pelaku kekerasan di dalam rumah mereka. Sementara korban kesulitan untuk melapor.


Read more: Perempuan dan anak masih kesulitan ketika berurusan dengan hukum; pedoman baru bagi jaksa bisa membantu


Stigma sosial menyulitkan korban bersuara

Korban kejahatan seksual rentan mengalami stigma sehingga mereka cenderung takut dan trauma melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya.

Stigma yang cenderung diterima korban yaitu dari lingkungan sosial, bahkan di institusi tempat mereka memperjuangkan keadilan. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual untuk memiliki perspektif korban.

Korban kejahatan seksual yang berjenis kelamin laki-laki juga cenderung mendapat stigma sosial karena anggapan umum bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban.

Padahal korban kejahatan seksual tidak pandang gender. Laki-laki menjadi korban kekerasan seksual adalah nyata adanya.

Pada banyak kasus, korban kekerasan seksual cenderung tidak melaporkan jika pelaku kekerasan merupakan kerabat dekat. Atas dalih menjaga nama baik keluarga, korban kekerasan seksual dibungkam di dalam rumah untuk tidak bersuara.

Situasi pandemi semakin memperburuk ketimpangan gender. Stigma terhadap perempuan semakin parah. Sikap menyalahkan korban juga membuat mereka sulit bersuara.


Read more: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk prioritas DPR, tapi masyarakat masih memiliki pemahaman berbeda-beda


Pembuktian kasus yang rumit

Tanpa ada pandemi saja, perempuan dan anak yang mengalami kekerasan seksual menghadapi banyak hambatan mendapatkan keadilan.

Pembuktian kasus menjadi hambatan dalam pengungkapan kekerasan seksual di masa pandemi.

Korban menjadi cenderung diam dan tidak melapor karena minimnya alat bukti kasus. Misalnya, kasus kekerasan gender berbasis online yang sudah masuk ke pengadilan pun menghadapi kendala penanganan karena sulitnya proses pembuktian yang menggunakan forensik digital.

Contoh lain, misalnya, kasus kejahatan seksual perkosaan yang korbannya laki-laki dewasa, pembuktian kasusnya cukup rumit karena perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengenal perbuatan laki-laki yang memaksa perempuan bersetubuh dengan kekerasan atau ancaman.

Laki-laki korban perkosaan tidak memiliki akses keadilan, serta mengalami trauma yang besar.

Hambatan korban dalam mengakses keadilan semakin berlapis-lapis ketika terduga pelaku adalah pejabat publik/tokoh publik atau atasan di tempat kerja. Takut dipecat, takut dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik, dan lainnya menjadi pertimbangan yang sulit bagi korban.


Read more: Menilik konsep "consent" dalam ilmu hukum: benarkah mendorong hubungan seks di luar pernikahan?


Terbatasnya akses layanan

Akses layanan bagi korban kekerasan seksual pada masa pandemi ini menjadi terbatas. Pada satu sisi, korban kekerasan harus tetap mendapatkan bantuan dari pihak penyedia layanan. Namun pada sisi lain, petugas layanan yang menangani mengalami dilema dan harus membuat antisipasi yang cermat agar tidak memperburuk penularan COVID-19.

Stres, jaringan sosial dan perlindungan sosial yang buruk, dan akses ke layanan yang terbatas dapat memperburuk keadaan risiko kekerasan bagi perempuan.

Korban kekerasan berbasis gender berada dalam risiko tinggi mengidap masalah kesehatan yang parah dan pulih dalam waktu lama, termasuk kematian karena luka-luka yang mereka derita atau tindakan bunuh diri.

Sementara, banyak perempuan banyak yang tidak menggunakan layanan lapor secara daring karena kurangnya literasi digital dan akses digital.


Read more: Kuatnya budaya _victim blaming_ hambat gerakan #MeToo di Indonesia


Langkah dari komunitas terkecil

Pemerintah semestinya melakukan langkah-langkah dan tindakan minimum secara terkoordinasi untuk mencegah dan menangani Kekerasan Berbasis Gender pada masa darurat (wabah).

Pertama, mempercepat akses dan literasi digital perempuan. Penting untuk menyebarluaskan kesadaran dalam menggunakan layanan berbasis digital, misalnya call center pengaduan seperti di negara lain yang memungkinkan siapa saja melaporkan kejadian darurat kekerasan atau kejahatan berbasis gender.

Selain itu, juga penting menata ulang kebijakan pemerintah dalam mendukung percepatan akses digital hingga ke pelosok desa di Indonesia.

Kedua, meningkatkan kewaspadaan terhadap kejahatan seksual pada level desa atau kelurahan.

Kejahatan atau kekerasan seksual yang terjadi pada masa pandemi ini kemungkinan lebih banyak terjadi di ruang lingkup komunitas terkecil atau keluarga.

Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran pemerintah lokal (desa/kelurahan/RT/RW) untuk menangkal kejahatan seksual terjadi di wilayahnya. Desa/kelurahan tidak hanya bersiaga terhadap COVID-19 saja, tetapi juga bersiaga terhadap kejahatan seksual di lingkungannya.

Ketiga, pemberlakuan hukum adat. Pada kejadian kejahatan/kekerasan seksual di ranah adat, komunitas harus menegakkan hukum adat seberat-beratnya bagi pelaku.

Ini adalah bentuk sikap tidak menoleransi kejahatan seksual dalam bentuk apapun di lingkungan desa atau lingkungan adat. Meski demikian, hukum adat perlu berlaku beriringan dengan hukum pidana.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now