Menu Close
Foto udara sungai berkelok membelah hutan di Kabupaten Mimika, Papua. ANTARA/M Agung Rajasa

Target nol emisi sektor kehutanan bisa jadi bekal Indonesia menagih pendanaan karbon negara maju dalam COP 26

Target pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mencapai penyelenggaraan sektor kehutanan dan lahan (forest and land use/FOLU) bebas emisi atau net sink Indonesia pada sembilan tahun mendatang dapat menjadi peluang besar untuk menyerap lebih banyak dana internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, Daniel Murdiyarso, mengemukakan target ini dapat diperjuangkan dalam konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau disebut COP 26 pada 31 Oktober-12 November mendatang.

“Kita harus berani mengatakan, ini enggak gratis. Kita sudah kerja keras di land use dan pencapaiannya luar biasa,” ujar Daniel dalam diskusi virtual “Ke Glasgow tanpa galau” yang dihelat Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), pekan lalu. AIPI adalah mitra tuan rumah The Conversation Indonesia.

Target sektor kehutanan bebas emisi ini tercantum dalam strategi jangka panjang untuk skenario rendah karbon dan ketahanan iklim (Long Term Strategy - Low Carbon Climate Resilience (LTS-LCCR)) Indonesia 2050. Strategi ini merupakan dokumen turunan dari pembaruan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. NDC adalah dokumen komitmen negara-negara untuk menahan laju emisi global sesuai kesepakatan iklim dalam Perjanjian Paris.

Strategi itu dijabarkan dalam empat langkah: menahan laju deforestasi maksimum 200 ribu hektare per tahun, upaya konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan, perlindungan dan restorasi kawasan gambut, dan upaya pemulihan hutan yang terdegradasi (reforestasi).

Daniel menganggap, jika strategi dijalankan secara konsisten, maka pemenuhan target bukan hal yang mustahil. Keberhasilan Indonesia menurunkan angka kebakaran hutan dan menahan laju deforestasi hingga 75% selama 2019-2020 dapat menjadi pembuktian untuk menggaet dukungan internasional dalam COP 26.

Nah, dukungan yang bisa diberikan adalah melalui pendanaan pengurangan emisi di sektor energi yang dianggap lambat bertransisi menjadi nol karbon. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK) mencatat, sektor ini menjadi kontributor emisi gas rumah kaca kedua terbesar di Indonesia pada 2019, setelah kehutanan dan kebakaran gambut. Angkanya mencapai 638 ribu gigagram setara CO2 (Gg CO2e) dari total emisi GRK tanah air sebesar 1,87 juta Gg CO2e.

Daniel berargumen pendanaan karbon adalah alternatif yang layak untuk mendatangkan dana segar. Opsi ini sahih lantaran tercantum dalam Pasal 5 Perjanjian Paris. Aturan tersebut mengamanatkan negara peserta–tak terkecuali negara maju–untuk mendukung pembayaran berbasis hasil (result based payment/RBP) pengurangan emisi sektor kehutanan yang dilakukan suatu negara.

“Saatnya set the tone and price,” kata Daniel.

Memperjuangkan kesepakatan teknis pendanaan karbon

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Ruandha Agung Sugardiman juga setuju dengan upaya memanfaatkan target emisi sektor kehutanan Indonesia untuk meraih pendanaan internasional. Menurut dia, delegasi Indonesia dalam COP 26 bakal berjuang mengesahkan aturan teknis pendanaan karbon yang diatur dalam Pasal 6 Perjanjian Paris.

“Pendanaan ini macet sejak (COP 24 tahun 2018) di Katowice dan Madrid (COP 25 tahun 2019),” kata Ruandha dalam kesempatan yang sama.

Guna mengantisipasi kegagalan perundingan yang ketiga kalinya, dia mengatakan pemerintah tengah menyusun peraturan presiden (perpres) tentang nilai ekonomi karbon sebagai dasar hukum perdagangan karbon. Berdasarkan draf perpres per November 2020, perdagangan karbon dapat dilakukan di dalam maupun luar negeri melalui bursa karbon maupun perdagangan langsung. Transaksi dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

Menurut Ruandha, upaya transisi sektor energi ke era bebas karbon membutuhkan dana yang sangat besar. Berdasarkan estimasi Badan Kebijakan Fiskal, kebutuhan duitnya mencapai Rp 3.500 triliun hingga 2030 mendatang.

“Makanya kami membutuhkan komitmen (pendanaan) mereka. Show me the money,” kata dia.

Transisi energi batu bara ke energi terbarukan butuh dukungan

Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro, menilai ada ketidakadilan dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca. Negara-negara maju, kata dia, terus memaksa Indonesia untuk memangkas emisi sebesar dan secepat mungkin. Padahal, jika hal itu dilakukan tanpa alternatif justru bisa menciptakan persoalan baru.

Dia mengusulkan negara-negara maju dapat menggenjot pendanaan karbon di Indonesia untuk mengurangi produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara bertahap. Caranya, dana itu dapat diberikan ke pengembang PLTU untuk mau beralih ke pembangkit berbasis energi terbarukan. Tanpa dana yang cukup, upaya transisi sulit tercapai karena PT PLN sudah mengikat kontrak pembelian listrik dari banyak PLTU selama 20-30 tahun mendatang.

Satryo mengatakan PLTU kerap dianggap lebih murah dibanding energi terbarukan. Padahal, terdapat biaya lingkungan yang tidak dihitung dari hasil pembakaran batu bara maupun energi fosil lainnya. Per 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat emisi dari pembangkit listrik–mayoritas menggunakan bakar fosil–sebesar 638 ribu Gg CO2e.

“Lingkungan yang bersih itu memang butuh cost. Kalau kita berikan tambahan anggaran untuk membersihkan lingkungan, itu jangan dianggap sebagai cost. Biaya ini harus dianggap sebagai investasi karena risiko lingkungan berkurang kalau kita pakai EBT,” tutur Satryo, merujuk pada energi baru dan terbarukan.


_

Dapatkan berita dan analisis terbaru dari para pakar di seluruh dunia seputar COP 26 di laman ini

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now