Menu Close

Terlanjur cinta: riset tunjukkan bagaimana korban kekerasan berbasis gender terjebak dalam hubungan toksik

Banyak pasangan merayakan Hari Valentine sebagai hari penuh cinta dan romansa. Pada kenyataannya, menjalin hubungan tak selalu tentang masa-masa indah saja. Satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual di dalam hubungan. Jumlah ini belum termasuk kekerasan emosional, verbal, dan psikologis.

Di ruang digital, misalnya, Komnas Perempuan mencatat kenaikan angka kekerasan berbasis gender online (KBGO), dari 97 kasus pada tahun 2018 menjadi 855 kasus pada 2021. KBGO melingkupi pelecehan secara digital, pemerasan dengan konten seksual (sextortion), hingga kontrol digital oleh pasangan hingga menyebabkan rasa tertekan.

Meski demikian, literatur menunjukkan bahwa banyak orang tetap mau bertahan dalam hubungan kekerasan yang jelas merugikan mereka. Mengapa?

Dalam penelitian yang saya dan beberapa kolega lakukan pada tahun 2022, kami menemukan bahwa perempuan dewasa muda yang menjadi korban KBGO justru bisa semakin berinvestasi dan berkomitmen dalam hubungan toksik, hingga “terlanjur cinta” untuk keluar dari hubungan tersebut. Hal ini bisa diprediksi lewat beberapa hal.

The Investment Model” yang diusung oleh Caryl Rusbult, profesor psikologi Vrije Universiteit di Belanda, misalnya, menjelaskan bahwa orang memiliki komitmen untuk bertahan dalam hubungan karena tiga faktor: (1) kepuasan terhadap hubungan, (2) investasi baik secara waktu, emosi, ataupun finansial, dan (3) kualitas hubungan lain di luar pasangannya – misalnya keluarga, teman, atau potensi hubungan lain di masa depan.

Ini berarti semakin puas seseorang di dalam hubungan, semakin besar investasinya, dan semakin rendah kualitas alternatif hubungannya, maka semakin tinggi komitmen seseorang untuk bertahan di dalam hubungan. Tapi bagaimana dinamika ini berlaku dalam hubungan kekerasan?

Investasi, kepuasan, dan komitmen dalam hubungan berkekerasan

Penelitian kami melibatkan 86 perempuan heteroseksual berusia 18-24 tahun di Indonesia, yang sebelumnya telah kami saring dengan skor ≥5 dalam setidaknya salah satu item instrumen Cyber Dating Abuse Questionnaire (mengalami setidaknya sepuluh insiden kekerasan dalam setahun terakhir).

Dalam riset, kami menemukan bahwa dalam hubungan berkekerasan, individu yang menjadi korban justru akan berusaha lebih keras untuk “memperbaiki” hubungannya. Karena merasa sudah terlanjur berinvestasi banyak secara emosi, waktu, dan finansial, mereka mengeluarkan tambahan energi – jauh lebih banyak ketimbang pasangan yang “sehat” – untuk memperjuangkan agar hubungan mereka dapat terus berlangsung.

Secara paradoks, hal ini pula lah yang semakin meningkatkan investasi mereka di dalam hubungan berkekerasan tersebut. Sehingga, berdasarkan the investment model, komitmennya terhadap hubungan akan meningkat.

Menariknya, individu-individu ini juga melaporkan kepuasan di dalam hubungan yang relatif tinggi. Padahal, studi sebelumnya menunjukkan individu yang berada dalam hubungan berkekerasan memiliki kepuasan hubungan yang rendah. Tingginya tingkat kepuasan ini mungkin terjadi karena individu merasa bahwa perilaku kekerasan yang mereka alami – terutama kontrol dan pemantauan yang dilakukan pasangannya – seolah merupakan hal yang normal.

Bisa jadi, akibat paparan kekerasan yang terjadi berulang kali dan “dinormalisasi” dalam hubungan tersebut, korban menganggap perilaku pasangan mereka sebagai bentuk cinta, perhatian, atensi, dan kasih sayang.

Studi tahun 2015 dari tim peneliti psikologi Spanyol, misalnya, berargumen bahwa banyak pasangan dalam hubungan berkekerasan, terutama pasangan muda, memegang mitos terkait kasih sayang yang terdistorsi dan tidak realistis yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku agresif. Obsesi, amarah, dan tindakan mengontrol seperti senantiasa menuntut lokasi atau jadwal kegiatan pasangan, misalnya, dimaknai sebagai bentuk kasih sayang.

Dalam konteks digital, para korban bisa semakin menjustifikasi “mitos” di atas jika dibarengi dengan ancaman oleh pasangannya. Dalam banyak kasus KBGO yang masuk ke Komnas Perempuan, banyak korban mengaku diancam dengan penyebaran foto dan video personal mereka jika menolak berhubungan seksual atau jika memutuskan hubungan.

Ladang subur kekerasan

Temuan lain yang menarik dalam penelitian kami adalah, para korban yang mengalami KBGO ternyata juga berujung melakukan perilaku serupa kepada pasangannya – baik ancaman maupun kontrol atau pelanggaran privasi.

Ini selaras dengan literatur terdahulu yang menemukan bahwa dalam hubungan berkekerasan, perilaku semacam itu lama-lama bisa dianggap sebagai norma yang wajar. Bisa jadi juga, korban ingin membalas dendam terhadap perilaku pasangannya.

Tentu, kami tidak menafikan bahwa ada banyak kasus kekerasan yang bersifat satu arah akibat ketimpangan relasi kuasa yang besar di dalam hubungan. Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa hubungan berkekerasan juga bisa bersifat “bidirectional” atau berlaku dua arah.

Tindak lanjut

Penelitian kami menunjukkan masih banyak masyarakat yang belum sadar akan fenomena KBGO. Masyarakat tidak menganggap serius perilaku KBGO ketika belum tampak secara langsung.

Pasangan yang mengontrol karena memiliki kecemburuan berlebih, misalnya, masih dianggap sebagai ekspresi cinta yang diromantisasi. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penelitian menunjukkan bahwa orang yang berawal melakukan KBGO, ternyata juga memiliki kemungkinan untuk melakukan kekerasan di dalam konteks luring.

Lalu, apa saja yang perlu dilakukan oleh para pemegang kepentingan untuk merespons hal ini?

Pertama, berbagai pihak perlu semakin banyak mengedukasi masyarakat terkait dengan bentuk-bentuk KBGO. Ini termasuk oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek), lembaga pendidikan, hingga organisasi dan komunitas yang bergerak di isu ini.

Edukasi ini terutama perlu menyasar remaja dan kelompok dewasa muda, mengingat studi menunjukkan bahwa usia ini adalah usia rentan terjadinya KBGO.

Kedua, di sisi lain, Komnas Perempuan juga harus lebih cermat dalam menangkap perkembangan bentuk-bentuk kekerasan di lapangan. Dalam konteks KBGO, jangan sampai yang tercatat hanya KBGO yang bersifat langsung, namun gagal merekam kasus yang berbasis digital – misalnya kontrol dan pemantauan di ruang maya.

Ketiga, pada level kebijakan, pemerintah juga perlu memberikan landasan hukum yang kuat untuk mencegah terjadinya KBGO dan melindungi para korban.

Selama ini, korban yang melapor malah berujung mengalami “reviktimisasi” karena dikriminalisasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan pencemaran nama baik pelaku, atau dengan UU Pornografi atas tuduhan penyebaran konten asusila.

Hal ini tentu membuat para korban KBGO semakin enggan menempuh jalur hukum. Orientasi pencegahan kekerasan dan perlindungan korban perlu menjadi jaminan dan agenda utama pemerintah, parlemen, dan penegak hukum. Ini termasuk dalam implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang terbit tahun lalu – yang menurut beberapa peneliti masih menyisakan lubang-lubang hukum dalam penanganan kekerasan seksual.

Jadi, sebelum tenggelam pada romansa Valentine, mungkin ini saatnya berefleksi pada hubungan yang kita miliki: Apakah saya atau orang terdekat saya pernah atau sedang mengalami KBGO?


Jika kalian atau orang yang kalian kenal mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO), kami menyarankan kalian bisa menghubungi beberapa sumber daya di bawah ini:

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now