Menu Close
Banjir dan longsor tidak akan menimbulkan bencana kalau tidak berinteraksi dengan kehidupan manusia di lokasi tersebut. Ching Design/shutterstock.com

Tiga langkah mengurangi risiko bencana: pelajaran dari banjir Yogyakarta dan Pacitan

Badai Siklon Tropis Cempaka yang terjadi pada 28-29 November 2017 lalu mengakibatkan bencana banjir dan longsor di sebagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Setidaknya 20 orang tewas di Pacitan dihantam bencana tersebut dan tiga orang tewas di Yogyakarta karena tertimbun longsor.

Intensitas hujan tinggi dengan durasi hujan lama yang disertai angin kencang menyebabkan beberapa kawasan di Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, Kota Yogyakarta, Wonogiri, dan Pacitan direndam air bah dan longsor. Ini bencana banjir besar pertama dalam 20 tahun terakhir di daerah tersebut.

Beberapa infrastruktur jembatan dan jalan hancur, sementara permukiman dan persawahan yang berlokasi di dekat sungai banyak yang rusak karena tergenang air bah. Longsor juga terjadi di kawasan perbukitan dan tebing-tebing sungai.

Berkaca dari bencana tersebut, menarik dikaji tentang penyebab besarnya kerugian akibat dampak dari bencana banjir dan longsor tersebut. Paradigma penanggulangan bencana menegaskan bahwa bencana tidak dapat dihindari, tapi masih dapat dikurangi risikonya.

Risiko bencana diartikan sebagai besarnya potensi kerugian, baik langsung maupun tidak langsung, jika suatu bencana terjadi. Pertanyaannya adalah upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana banjir dan longsor tersebut? Berikut ini tiga langkah untuk mengurangi risiko bencana banjir dan longsor.

1. Mengenali lokasi rawan banjir dan longsor

Mengenali lokasi-lokasi yang rawan banjir dan rawan longsor di suatu wilayah merupakan tahap paling awal untuk mengurangi risiko bencana alam. Kondisi lingkungan fisik alami perlu dipahami oleh masyarakat yang bertempat tinggal di suatu kawasan. Identifikasi kawasan rawan bencana banjir dan longsor memegang peran penting dalam mengurangi risiko bencana banjir dan longsor tersebut.

Citra penginderaan jauh maupun peta topografi atau peta rupa bumi Indonesia dapat membantu untuk mengenali dan memetakan kawasan-kawasan yang rawan banjir dan longsor. Kawasan ledokan atau dataran yang berdekatan dengan sungai dapat dipastikan merupakan daerah rawan banjir luapan sungai. Jika kawasan ledokan atau dataran terletak di dekat laut, maka kawasan tersebut rawan terhadap banjir genang pasang (rob).

Banjir perkotaan biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan sistem drainase, sehingga air limpasan permukaan banyak yang menggenang karena tidak tertampung oleh saluran air yang tersedia. Banjir bandang mungkin terjadi di daerah yang relatif datar atau landai yang berbatasan langsung dengan lereng curam di kawasan berbukit atau bergunung. Banjir bandang ini biasanya terjadi karena adanya pembendungan alami di daerah hulu, kemudian bendung tersebut jebol.

Pembendungan alami tersebut disebabkan adanya material di tepi sungai yang mengalami longsor kemudian menutupi saluran sungai di daerah hulu. Kawasan tebing sungai, lereng perbukitan atau pegunungan, yang tersusun oleh material lepas-lepas atau material lapuk yang sangat tebal, merupakan kawasan yang rawan terhadap longsor.

Setelah mengenali lokasi-lokasi yang rawan banjir dan longsor, pengembangan permukiman padat di kawasan tersebut sebaiknya dihindari. Selain itu, pembangunan infrastruktur penting seperti jalan dan jembatan, juga harus mempertimbangkan potensi banjir dan longsor di kawasan tersebut.

Hal yang juga perlu dipahami bahwa banjir dan longsor termasuk proses alamiah, yang tidak akan menimbulkan bencana kalau tidak berinteraksi dengan kehidupan manusia di lokasi banjir atau longsor tersebut.

2. Mitigasi bencana

Mitigasi merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana sebelum kejadian bencana. Mitigasi dapat dilakukan secara struktural maupun nonstruktural. Mitigasi struktural dilakukan dengan membuat atau memperkuat sarana untuk mengurangi dampak banjir atau longsor, baik itu secara alami maupun dengan rekayasa teknis.

Mitigasi struktural untuk banjir, misalnya, dengan membangun tanggul penahan banjir, meninggikan fondasi bangunan (rumah), membuat sumur resapan, dan menanam pohon-pohon di tebing-tebing sungai. Mitigasi struktural untuk longsor dapat dilakukan, antara lain, dengan membuat tanggul penahan longsor, mengurangi beban pada lereng, penguatan lereng, memperlancar drainase di lereng, dan penghijauan kawasan lereng perbukitan.

Penghijauan sebaiknya menggunakan spesies alami atau asli kawasan tersebut. Penggunaan spesies yang berbeda dapat meningkatkan beban massa lereng, yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya longsor.

Adapun mitigasi non-struktural dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran maupun kapasitas masyarakat menghadapi ancaman bencana. Mitigasi non-struktural untuk banjir dan longsor dilakukan, antara lain, dengan regulasi penataan ruang kawasan, sosialisasi kebencanaan, dan simulasi bencana.

Sosialisasi dan simulasi bencana secara teratur penting untuk dilakukan, dengan harapan masyarakat akan memiliki budaya sadar bencana.

3. Siap mengantisipasi bencana dengan skenario kasus terburuk

Untuk keperluan ini, analisis evolusi risiko bencana dapat dilakukan dengan memadukan informasi potensi banjir atau longsor terbesar dan potensi dampak yang dihasilkannya. Evolusi risiko bencana dianalisis dengan mengidentifikasi perkembangan proses alamiah yang terjadi dan elemen berisiko (misalnya bangunan, penduduk, dan lahan produktif) secara temporal.

Setelah memahami potensi risiko bencana, upaya pencegahan, mitigasi, dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap banjir dan longsor dapat dilakukan dengan lebih terarah dan tepat sasaran. Data sejarah kejadian bencana banjir maupun longsor dapat digunakan sebagai pedoman awal, tapi untuk antisipasi skenario kasus terburuk sebaiknya dilakukan pemodelan.

Analisis hasil pemodelan banjir dan longsor kemudian dapat diverifikasi dengan identifikasi bukti-bukti empirik di lapangan, sehingga model hipotetik yang telah dibuat setidaknya dapat mendekati kenyataan.

Meminimalkan risiko

Dengan ketiga langkah tersebut, risiko yang timbul saat terjadi bencana dapat diminimalkan serendah mungkin. Kasus Siklon Tropis Cempaka di Yogyakarta dan Pacitan setidaknya telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa skenario kasus terburuk bencana dapat terjadi sewaktu-waktu.

Cuaca ekstrim menyebabkan terjadinya banjir yang sangat ekstrim. Selain itu, longsor pun juga terjadi di beberapa tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Kejadian-kejadian tersebut sebenarnya dapat diantisipasi dampaknya jika kita sudah siap dengan skenario tersebut.

Manusia yang bijak adalah manusia yang dapat belajar dari pengalaman. Pengalaman bencana banjir dan longsor yang terjadi sebagai akibat dampak Siklon Tropis Cempaka yang lalu dapat menjadikan kita lebih siap lagi dalam mengantisipasi peristiwa serupa di masa yang akan datang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now