Menu Close
Presiden Joko Widodo meninjau sebuah kendaraan listrik dan alat pengisi daya baterainya saat meresmikan peletakan batu pertama yang menandai pembangunan pabrik baterai mobil listrik di Karawang, Jawa Barat September lalu. ANTARA FOTO/Biro Pers Media Setpres/Agus Suparto/Handout/wsj.

Tiga strategi bagi Indonesia untuk menjadi pemain utama di industri baterai di tingkat global

Indonesia berambisi menjadi pemain nomor satu baterai kendaraan listrik di tingkat global. Ambisi ini telah disampaikan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Tohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang melihat potensi Indonesia sebagai negara dengan cadangan dan produksi nikel, salah satu bahan baku pembuatan baterai, terbesar di dunia.

Selain itu, pasar kendaraan listrik diprediksi meledak dalam 10 tahun ke depan dengan kisaran penjualan sebesar 145 juta unit. Tahun lalu saja naik 41% dibanding tahun sebelumnya, dengan tambahan produksi 3 juta kendaraan listrik.

Tren dan potensi yang besar ini bahkan menjadikan perusahaan besar seperti Ford dan General Motor berkomitmen untuk meninggalkan kendaraan berbasis bahan bakar dan berpindah ke kendaraan listrik sepenuhnya pada tahun 2035. Sementara itu, baterai adalah kunci industri kendaraan listrik karena merupakan komponen paling mahal, 30% dari biaya produksi.

Ambisi besar Indonesia ini ditandai dengan kesiapan Indonesia untuk bermitra dengan Cina dan Korea Selatan. Kedua negara ini adalah pemain utama di industri baterai di kancah global. Cina, selain memiliki bahan baku yang melimpah, mereka memiliki teknologi dan pasar yang sangat besar. Saat ini mereka menguasai 80% produksi bahan baku dan 60% manufaktur komponen baterai global pada 2020.

Korea Selatan menyusul di posisi kedua dengan menguasai sepertiga dari pasar global dalam lima bulan pertama tahun ini. Di belakang kedua negara tersebut adalah Amerika Serikat, Jerman, dan negara-negara Eropa lain.

Melihat posisi industri baterai Indonesia saat ini, Indonesia masih jauh untuk menjadi seorang pemain utama di tingkat global. Kami melihat Indonesia perlu melakukan tiga strategi di bawah ini untuk memastikannya bukan hanya sekadar pemain tambahan bagi Cina dan Korea Selatan.

Pertama, Indonesia harus menentukan fokus jenis baterai yang ingin dikembangkan.

Ada beberapa jenis teknologi baterai yang sudah matang seperti Li-ion battery yang rencananya akan diproduksi di Karawang, atau teknologi yang tergolong baru seperti all-solid-state battery, zinc-ion battery, dan sodium-ion battery.

Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam menentukan fokus jenis baterai seperti kerapatan energi, biaya produksi, dan aspek keamanan. Untuk kendaraan listrik, baterai dengan kerapatan energi yang tinggi adalah pilihan yang paling tepat. Baterai lithium berbasis nikel memenuhi kriteria ini dan diprediksi akan menjadi primadona dalam jangka waktu beberapa tahun mendatang. Maka dari itu, pemerintah Indonesia harus sigap membaca peluang dan tantangan yang ada.

Penentuan fokus jenis baterai ini penting bila kita melihat sejarah kesuksesan dua perusahaan dari Cina yaitu Contemporary Amperex Technology Ltd (CATL) dan Build Your Dreams Co. Ltd (BYD) selama 10 tahun terakhir. Kedua perusahaan ini bergerak cepat mematangkan baterai lithium-iron-phosphate (LFP) yang kini menjadi raja di kendaraan listrik. Strategi yang tepat menjadikan kedua perusahaan tersebut tidak hanya memimpin di antara produsen baterai di Cina, tapi juga di antara pemain baterai global yang sudah mapan.

Menentukan jenis baterai mana yang akan dikembangkan juga penting. Ralph Hutter -unsplash, CC BY

Kedua, penguatan aspek riset dan pengembangan.

Kunci CATL menjadi industri terdepan sebagai pemasok baterai adalah aktivitas riset yang sangat kuat dengan alokasi dana riset yang sangat besar. Sebagai contoh, CATL akan menginvestasikan Rp 7 triliun untuk membangun pusat riset dan pengembangan baru. Mereka sadar bahwa sumber daya manusia yang terampil adalah kunci.

Menilik kebelakang saat awal-awal CATL didirikan, susunan internal tim terdiri dari peneliti bergelar PhD yang memiliki pengalaman di perusahaan besar Jepang dan Amerika Serikat. Kini, CATL memiliki 30.000 tenaga kerja terampil, dengan sekitar 5.400 karyawan yang berfokus pada riset, termasuk 143 peneliti dengan gelar PhD dengan hasil 2.000 paten hingga tahun 2019.

Indonesia harus memulai mendirikan industri yang tidak hanya melihat manusia sebagai sekumpulan badan dan sepasang tangan, namun melihat manusia sebagai kumpulan ilmu pengetahuan. Program riset yang kuat oleh tenaga terampil dan berpengalaman akan menjadikan geliat industri baterai tanah air tidak pernah berhenti untuk berinovasi mengembangkan terobosan baru, bila tidak Indonesia akan selalu menjadi ekor.

Ketiga, dukungan pemerintah akan tetap menjadi faktor kunci yang setidaknya menjadikan Indonesia raja di negeri sendiri.

Satu dekade lalu, pemerintah Cina membatasi masuknya produsen baterai asing dengan memberi syarat bagi industri manufaktur kendaraan listrik yang ingin menerima subsidi untuk menggunakan baterai dalam negeri. Pemerintah Korea Selatan melakukan hal serupa. Mereka amat mendukung perusahaan seperti LG Energy Solution, SK Innovation, dan Samsung SDI dalam memperluas dan menambah fasilitas produksi di luar negeri guna memenuhi permintaan kendaraan listrik yang terus meningkat.

Maka dari itu kebijakan yang berpihak kepada urusan dalam negeri harus diprioritaskan. Pemerintah harus memastikan bahwa kerja sama yang dilakukan dengan pihak luar harus melibatkan aspek transfer teknologi, yaitu adanya transfer keahlian dan pengetahuan selama proses kerja sama. Jangan sampai kekayaan alam Indonesia hanya diserap dan dimanfaatkan negara lain.

Sejauh mana Indonesia melaju?

Tiga strategi di atas perlu dilaksanakan untuk melengkapi langkah-langkah yang sudah diambil pemerintah dalam mengembangkan industri baterai nasional.

Langkah nyata awal adalah dengan membentuk PT HKML Battery Indonesia yang bekerja sama dengan mitra dari Korea Selatan seperti Hyundai Motor dan LG Energy Solution.

Dalam kemitraan tersebut peran Indonesia masih belum menonjol dan dipertanyakan.

Apakah hanya sekadar membantu Korea Selatan untuk membangun kawasan pabrik baterai, membantu pasokan nikel, dan berakhir di level perakitan kendaraan saja, atau memang lebih jauh dari itu.

Lebih lanjut, Indonesia menunjuk Inalum melalui PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Pertamina untuk mengelola industri baterai kendaraan listrik secara terintegrasi dari hulu hingga ke hilir. Inalum akan fokus di sektor hulu sebagai pemasok bahan baku, PLN fokus di sektor hilir sebagai distributor, sedang Pertamina menjadi jembatan keduanya. Namun lagi-lagi, produk yang dihasilkan masih menjadi bagian dari industri mobil listrik milik Hyundai Mobis.

Jika memang menjadi pemain utama dari industri baterai kendaraan listrik, tiga strategi di atas perlu dilakukan. Apalagi mengingat bahwa industri baterai memiliki rantai yang kompleks mulai dari penambangan dan pemurnian bahan baku, manufaktur komponen, manufaktur satuan sel baterai, dan perakitan baterai. Ini belum termasuk manufaktur kendaraan listrik yang punya rantai produksinya sendiri. Masing-masing mata rantai ini bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk aspek penelitian dan pengembangan yang memang penting untuk dilaksanakan.

Pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang sudah diambil untuk membentuk ekosistem industri baterai di Indonesia harus diapresiasi. Walau posisi yang diambil pemerintah lewat kerja sama holding bermitrakan perusahaan-perusahaan dari Korea Selatan ini belum ideal, pemerintah juga perlu memikirkan strategi jangka panjang. Maksudnya, pemerintah juga harus membangun industri baterai sendiri dengan penguasaan keahlian sumber daya manusia dalam negeri dan keberanian untuk berinvestasi untuk menjadi pemain utama, bukan sekadar pemain tempelan yang mendukung negara lain melesat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now