Menu Close
Gedung BRIN di Jakarta/Dok.Humas BRIN.

Tiga tahun perjalanan BRIN: birokratisasi atau birokrasi untuk riset dan inovasi?

Sejak diresmikan pada 2021 lalu, BRIN lebih banyak memunculkan polemik ketimbang menguatkan proses riset dan inovasi.

Sentralisasi lembaga riset yang menggabungkan instansi-instansi penelitian dari seluruh kementerian dan lembaga negara ini terjebak dalam birokratisasi dan politisasi yang menghambat proses riset dan inovasi.

Tulisan ini akan mengulas masalah sentralisasi di tubuh BRIN berdasarkan tiga aspek utama, yakni sumber daya manusia (SDM), infrastruktur riset, dan pendanaan. Ketiga aspek ini sering ditekankan oleh Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko sebagai kunci dalam membangun ekosistem riset yang berkualitas.

Faktanya, sejumlah persoalan terjadi pada tiga lini tersebut dan berdampak pada sejumlah proyek riset nasional.

Mari kita ulas satu per satu.

1. Sumber daya manusia

Pertama, pengelolaan sumber daya manusia. Berdasarkan Peraturan BRIN Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai di Lingkungan BRIN, para peneliti wajib memenuhi Keluaran Kerja Minimal (KKM) dalam satu periode evaluasi, yaitu satu tahun. KKM ini meliputi publikasi ilmiah, buku, atau karya intelektual lainnya.

Selain memenuhi KKM, peneliti juga diwajibkan, salah satunya, menerbitkan karya di jurnal terakreditasi. Ini kaitannya dengan pemenuhan Hasil Kerja Minimal (HKM) di mana BRIN masih merujuk ke Peraturan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nomor 20 Tahun 2019. Pada bagian lampiran I aturan tersebut, secara rinci terurai luaran penelitian serta angka kredit sebagai bentuk nilai kenaikan jenjang peneliti. Termaktub pada Pasal 23, peneliti harus memenuhi HKM tersebut dalam satu periode kerja (empat tahun) dengan keringanan maksimal dua periode kerja. Jika target minimum tidak tercapai, peneliti bisa terkena sanksi mulai dari pemotongan tunjangan hingga pemberhentian setelah dua periode.

Indeks Keluaran Kerja Minimal BRIN. Sumber: brin.go.id.

Saya menganggap ketentuan ini bermasalah. Sebab, para peneliti butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menerbitkan riset, terutama untuk publikasi terindeks global. Selain itu, biaya riset dan publikasinya riset juga tidak sedikit. Penerbit jurnal internasional Elsevier misalnya mematok biaya antara Rp3 juta sampai Rp158 juta setiap publikasi–angkanya bervariasi tergantung dari tingkat prestise jurnal, jenis artikel, serta aksesibilitas (misalnya, publikasi terbuka atau berlangganan). Biaya sebesar ini, belum tentu bisa terakomodasi dengan tunjangan BRIN yang tidak besar.

Tak dapat dimungkiri bahwa publikasi riset memang penting sebagai evaluasi kuantitatif para peneliti. Namun hal tersebut semestinya bukan menjadi satu-satunya indikator penentu keberhasilan ekosistem riset dan inovasi. Apalagi, industri penerbitan tulisan akademik juga kerap dikritik akibat monopolisasi dan komodifikasi produksi pengetahuan.

Pembuat kebijakan semestinya bisa menyeimbangkan evaluasi penilaian kerja peneliti, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mereka juga perlu memahami bahwa peran editor dan peninjau sangat penting.

Selain itu, hal yang jauh lebih penting lagi untuk ditekankan BRIN adalah urgensi menghasilkan pengetahuan baru atau mempertanyakan asumsi-asumsi ilmiah yang telah ada.

2. Infrastruktur riset

Sentralisasi infrastruktur riset membuat para peneliti BRIN harus mengantre untuk mengakses alat-alat penelitian. Meski sudah ada sistem E-layanan sains (Elsa) sebagai platform peminjaman laboratorium dan peralatan milik BRIN, antrean masih saja terjadi.

Model ini dinilai lebih ruwet dibandingkan saat lembaga-lembaga riset memiliki fasilitasnya masing-masing. Saat ini, para peneliti harus menunggu peneliti lain untuk menggunakan fasilitas riset BRIN karena sistemnya yang terpusat.

Selain itu, tren co-working space yang kini diadopsi BRIN juga tak mampu menampung semua peneliti. Konsep co-working space ini sedianya bermaksud untuk memungkinkan peneliti untuk bekerja di berbagai lokasi milik BRIN dan menghilangkan sekat antara pekerja. Namun, implementasinya dinilai tidak efektif, bahkan memicu persoalan baru, dimana para peneliti BRIN harus berebut ruang kerja dan fasilitas yang terbatas.

3. Pendanaan yang terbatas

Anggaran BRIN terus menurun setiap tahunnya, dari Rp12 triliun pada 2021 menjadi kurang dari Rp6 triliun pada 2024. Penyusutan anggaran ini diklaim sebagai bentuk efisiensi pasca peleburan infrastruktur riset dari berbagai instansi.

Penurunan Anggaran BRIN 2021-2024 (dalam satuan triliun rupiah). Sumber: BRIN, diolah penulis.

Dari total anggaran yang ada, hampir setengahnya dialokasikan untuk belanja pegawai. Kepala BRIN menyebut lembaganya mengutamakan alokasi anggaran untuk pengembangan sumber daya manusia unggul dengan gaji yang tidak murah. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, gaji untuk peneliti ahli muda dengan kualifikasi doktoral juga hanya “dihargai” sekitar Rp7-11 juta.

Di sisi lain, dana untuk riset cekak. Dengan asumsi dana riset ‘murni’ adalah anggaran di luar program ‘dukungan manajemen’, maka anggaran riset hanya berkisar Rp3 triliun di 2022 dan sekitar Rp2 triliun di 2023 untuk 12 organisasi riset di bawah BRIN. Pemangkasan anggaran yang signifikan tentunya menghambat keberlanjutan proyek-proyek riset. Contohnya adalah kelanjutan pengembangan buoy yang dihentikan akibat kekacauan administrasi dan anggaran, serta pemangkasan pagu anggaran untuk riset lapangan.

Tak hanya buoy, kerumitan birokrasi penelitian di BRIN juga menyebabkan terhentinya sejumlah program strategis nasional lain. Misalnya, pengembangan pesawat udara nirawak medium altitude long endurance atau PUNA-MALE yang disetop karena terdapat perbedaan rencana, program kerja, dan dukungan finansial.

Anggaran BRIN malah dialokasikan untuk program-program yang tidak tepat sasaran seperti “Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab” (MBBM). Alih-alih sebagai ruang diseminasi riset, MBBM justru menjadi ‘bancakan’ anggota Komisi VII DPR RI yang mengarahkan MBBM ke daerah pemilihan mereka hingga ‘didomplengi’ oleh kegiatan dan atribut partai politik.

Pendanaan riset internal BRIN melalui mekanisme kompetisi turut memicu ketidakpastian anggaran untuk riset. Kepala BRIN berargumen riset Indonesia tidak kompetitif sehingga butuh stimulan guna memicu kompetisi.

Pada akhirnya, sistem ini berimbas pada sejumlah periset BRIN yang tidak mendapatkan dana riset akibat gagal dalam kompetisi.

Padahal, perluasan tema riset di dalam skema pendanaan multiyears yang ada jauh lebih penting untuk mendukung keberlanjutan riset.

Pendekatan institutional heavy yang diadopsi BRIN bukannya berdampak pada penguatan ekosistem riset dan inovasi, tetapi justru menyuburkan hambatan birokrasi dan politik yang membatasi ruang gerak peneliti.

Gedung BRIN di Kawasan Jakarta Pusat. Shutterstock/Cahyadi Sugi.

Belajar dari Australia dan India

Sentralisasi riset di BRIN bertolak belakang dengan tren global yang mengarah pada desentralisasi, di mana kegiatan penelitian dan pengembangan tidak lagi terpusat di satu lembaga atau lokasi tertentu, melainkan didistribusikan ke berbagai institusi, wilayah, atau unit otonom.

Jika tidak bisa menerapkan desentralisasi penuh, BRIN mungkin bisa belajar dari Australia dengan mengkombinasikan pendekatan desentralisasi dan sentralisasi.

Di level nasional, pemerintah federal menetapkan agenda riset nasional dan memberikan dukungan keuangan yang stabil melalui lembaga seperti Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation atau CSIRO. Badan riset serupa BRIN ini berperan mengorkestrasi riset dan inovasi skala nasional serta mengoperasikan infrastruktur riset.

Meskipun CSIRO mewadahi hampir seluruh bidang riset, Australia juga memiliki badan riset lain seperti Australian Nuclear Science and Technology Organisation atau ANSTO yang berfokus pada riset nuklir.

Di skema desentralisasi, pemerintah negara bagian mendorong riset-riset terapan untuk pertumbuhan ekonomi dengan menggandeng universitas-universitas di daerah.

Kombinasi antara dua pendekatan ini dapat dilihat dari peran National Collaborative Research Infrastructure Strategy atau NCRIS yang memfasilitasi peneliti dengan infrastruktur riset dan mengucurkan dana untuk proyek riset nasional. Sistem ini membuat Australia dapat menjaga institusi riset mereka tetap kuat dan kritis sehingga mampu melawan kepentingan politik jangka pendek.

Adapun pengelolaan riset di bawah BRIN saat ini lebih mirip dengan Council of Scientific and Industrial Research atau CSIR di India. CSIR bertanggung jawab atas 38 laboratorium yang tersebar di India dan memiliki fungsi penganggaran, perencanaan, dan pengelolaan infrastruktur riset.

Di CSIR, Perdana Menteri Narendra Modi duduk sebagai Presiden CSIR serta Menteri Sains dan Teknologi sebagai wakilnya, sedangkan posisi eksekutif CSIR dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal. Dengan kondisi ini, CSIR rentan mengalami politisasi dan birokratisasi riset. Pimpinan CSIR bahkan mereduksi transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan hingga menutup akses informasi proses riset dan performa laboratorium dari para penelitinya.

Mencari model birokrasi yang tepat untuk riset dan inovasi

Untuk mendukung ekosistem riset dan inovasi, Indonesia butuh model birokrasi yang kuat. Model birokrasi untuk inovasi yang tepat harus mendukung berbagai peran; creators (pencipta inovasi); doers (pelaksana riset); funders (penyedia dana); intermediaries (penghubung antara riset dan industri); dan rulers (pengatur kebijakan).

Memaksakan BRIN menjalankan semua fungsi di atas justru melawan praktik baik riset dan inovasi global . BRIN juga semakin rentan terhadap penyelewengan kekuasaan.

Alih-alih merombak lagi struktur yang ada, pemerintah sebaiknya mengembalikan fungsi BRIN sesuai arahan UU Sisnas Iptek 2019 sebagai koordinator riset nasional dan memastikan mekanisme pendanaan yang efektif bagi riset.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 190,900 academics and researchers from 5,056 institutions.

Register now