tag:theconversation.com,2011:/uk/topics/banjir-jakarta-80625/articlesBanjir Jakarta – The Conversation2023-03-20T03:59:36Ztag:theconversation.com,2011:article/2017802023-03-20T03:59:36Z2023-03-20T03:59:36ZRiset buktikan kanal beton sungai sulit redam banjir dan menambah masalah lingkungan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/515443/original/file-20230315-22-5ejxl1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pekerja menggunakan alat berat menyelesaikan pembangunan proyek sodetan Kali Ciliwung-Kanal Banjir Timur di Jakarta.</span> <span class="attribution"><span class="source">Muhammad Adimaja/Antara</span></span></figcaption></figure><p>Pemerintah kerap memakai metode pembuatan kanal beton (kanalisasi) untuk merevitalisasi sungai atau perbaikan fungsi pengaliran air sungai. Langkah ini dianggap ampuh untuk mencegah ataupun meredam banjir yang <a href="https://dibi.bnpb.go.id/kwilayah/index">memakan banyak korban.</a></p>
<p>Pemerintah Jakarta, misalnya, melanjutkan <a href="https://economy.okezone.com/read/2023/02/22/470/2769458/normalisasi-sungai-ciliwung-dilanjutkan-lewati-18-kelurahan-di-jakarta-ini-daftarnya">proyek ‘betonisasi’ Sungai Ciliwung</a> yang sempat terhenti. Di Surabaya, perbaikan Sungai Kali Lamong melalui kanalisasi bahkan termasuk <a href="https://www.surabaya.go.id/id/berita/58181/proyek-strategis-nasional-tangg">proyek strategis nasional</a>.</p>
<p>Kendati begitu, sebagai peneliti teknik sumber daya air, saya menganggap pemerintah perlu mengkaji ulang penerapan metode kanalisasi. Pasalnya, banyak riset di Indonesia maupun di dunia yang menyebutkan kanalisasi menimbulkan berbagai bahaya bagai manusia maupun lingkungan di sekitarnya.</p>
<h2>Bahaya membeton sungai</h2>
<p>Proses revitalisasi sungai biasanya mencakup pengerukan dasar saluran, pelebaran sungai, lalu pemasangan beton pada sempadan sungai.</p>
<p>Adakalanya bentuk sungai yang berkelok juga dibuat lurus untuk memudahkan pekerjaan konstruksi. Hal ini biasa disebut pengalihan sungai (<em>river diversion</em>) sebelum pembangunan tubuh bendungan dimulai, misalnya konstruksi <a href="https://www.kompas.com/properti/read/2021/11/16/080000021/usai-pengalihan-sungai-konstruksi-tubuh-bendungan-leuwikeris-dimulai">Bendungan Leuwikeris di Jawa Barat</a>.</p>
<p>Pemasangan beton memang mempercepat <a href="https://jurnal.unismabekasi.ac.id/index.php/bentang/article/view/3106">pengaliran air sungai ke muara ataupun laut.</a> Namun, material beton yang keras juga mengurangi <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/874/1/012001">kemampuan sungai menyerap air ke tanah.</a>
Akibatnya, saat banjir terjadi, air hanya bisa melaju ke muara. </p>
<p>Pengaliran ini pun tak selamanya lancar. Jika laut tengah pasang, fenomena <em>backwater</em> atau limpasan balik <a href="https://aip.scitation.org/doi/pdf/10.1063/1.5043011">berisiko terjadi</a> sehingga air dapat bergerak cepat ke arah sebaliknya (hulu). Bak banjir bandang, limpasan ini dapat menerjang rumah-rumah di sekitar daerah aliran sungai.</p>
<p>Tak hanya aliran air, material endapan atau sedimen sungai juga menjadi persoalan. Pemasangan kanal beton mencegah tumbuhnya tanaman perairan seperti <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/535/1/012018/meta">melati air (<em>Echinodorus palaefolius</em> )</a>, <a href="http://lipi.go.id/publikasi/identification-of-potential-phytoaccumulator-plants-from-tailings-area-as-a-gold-phytomining-agent/43929">lidi air (<em>Typha angustifolia</em>)</a>, dan <a href="https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkts/article/view/26404">selada air (<em>Nasturtium officinale</em> )</a> yang biasanya hidup di sekitar kanal alami sungai.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/515446/original/file-20230315-26-49vbkg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kondisi sempadan sungai yang masih ditumbuhi pepohonan mengurangi risiko erosi dan menjaga keberadaan organisme sungai yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Tirta Indah Perdana/Wikimedia Commons)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Padahal, keberadaan tanaman tersebut diperlukan sebagai perangkap sedimen alami. Akibatnya, sedimen akan kembali ke badan air sungai. </p>
<p>Keberadaan beton juga menghilangkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/faf.12218">habitat alami makhluk perairan seperti ikan dan spesies lainnya.</a> Kehilangan ini dapat memperburuk kualitas air sungai lantaran keberadaan sejumlah tanaman seperti <a href="http://www.jeeng.net/Identification-of-Potential-Phytoacumulator-Plants-from-Tailings-Area-as-a-Gold-Phytomining,143978,0,2.html">sawi (<em>Brassica juncea</em> ), akar wangi (<em>Vetiveria zizanioides</em> ), jagung (<em>Zea mays</em>)</a>, dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014486091400034X">kangkung (<em>Ipomoea aquatica</em> )</a> juga berfungsi sebagai penetral material pencemar.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/515685/original/file-20230316-16-gmme4l.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penanaman akar wangi sebagai salah satu upaya memulihkan kualitas Daerah Aliran Sungai Citarum, Jawa Barat.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Pemerintah Jawa Barat)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/106/1/012022">Ketiadaan tanaman penetral limbah dapat menyulitkan warga setempat untuk mengakses air bersih yang semestinya tersedia secara gratis dari sungai.</a> Sebaliknya, air yang kotor – dan bisa semakin parah saat banjir – malah menjadikan sungai sebagai <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31051323/">sumber penyakit</a>.</p>
<p>Selain itu, alih-alih meredam bahaya banjir, pelebaran sungai dengan material beton justru <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212095522002504">memperbanyak endapan di sungai</a>. Seiring menumpuknya endapan, sungai akan terus mendangkal sehingga banjir lebih berisiko terjadi. </p>
<p>Pemerintah sebenarnya memiliki <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2017/11/15/anies-told-to-fulfill-pledges-stop-river-dredging.html">program pemeliharaan melalui pengerukan sedimen</a> agar kanal berfungsi optimal.</p>
<p>Namun, pengerukan sungai harus dilakukan dengan cara yang ketat dan berhati-hati. Jika tidak, pengerukan bisa mengganggu kestabilan lereng, sehingga potensi terjadinya erosi juga besar. Bila erosi menuju badan air, sedimen berisiko lebih menumpuk.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/waspada-di-kota-besar-kualitas-air-tanah-sudah-hampir-sama-buruknya-dengan-air-sungai-190662">Waspada, di kota besar kualitas air tanah sudah hampir sama buruknya dengan air sungai</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain perkara lingkungan, upaya membeton sungai juga menambah anggaran pemeliharaan, terlebih bila panjang sungai mencapai ratusan kilometer seperti Sungai Ciliwung dengan panjang <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/140/1/012038/pdf">120 km</a>. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/topics/earth-and-planetary-sciences/dredging">Pengerukan dasar sungai</a> untuk pemeliharaan ataupun untuk pembuatan kanal (proses konstruksi) juga harus memperhatikan desain infrastruktur yang biasanya ada di sungai seperti bendungan, jembatan, ataupun gorong-gorong. </p>
<p>Jika tidak hati-hati, pengerukan bisa membahayakan infrastruktur sungai. Untuk melihat tingkat bahayanya, desain jembatan perlu diperiksa agar lebih sesuai dengan sistem kanal. Pemeriksaan ini pun berbiaya mahal.</p>
<p>Apabila desain ataupun pemeriksaan desain ulang diabaikan, pengerukan bisa memicu kegagalan struktur yang merobohkan jembatan ataupun bendungan di sepanjang sungai. </p>
<h2>Penghijauan, bukan pembetonan sungai</h2>
<p>Dulu, perbaikan sungai dengan kanal beton memang menjadi tren di negara maju seperti <a href="https://www.dw.com/en/almost-all-german-lakes-and-rivers-face-ecological-crisis/a-43821782">Jerman</a>, <a href="https://unhabitat.org/sites/default/files/2008/07/GRHS.2007.CaseStudy.Netherlands.pdf">Belanda</a>, dan <a href="https://pacificaffairs.ubc.ca/files/2011/09/waley.pdf">Jepang</a>. </p>
<p>Namun, <a href="http://lipi.go.id/berita/normalisasi-sungai-teknologi-yang-keliru/1060">seiring dampak lingkungan yang mencuat,</a> metode ini kian usang dan ditinggalkan. Selain itu, <a href="https://www.theguardian.com/cities/2019/feb/25/concrete-the-most-destructive-material-on-earth">beton diklaim sebagai material paling merusak untuk lingkungan</a>.</p>
<p>Banyak negara yang kini melirik penghijauan untuk memulihkan sungai sesuai kondisi alaminya. Kota Los Angeles di Amerika Serikat, misalnya, yang berencana <a href="https://e360.yale.edu/features/photos_restoring_the_los_angeles_river">mengganti kanal beton sungai dengan infrastruktur hijau melalui Proyek Arroyo Seco.</a> Proyek hijau ini akan mengubah sekitar 2,4 km saluran dan sempadan beton menjadi lahan basah dan rawa riparian (rawa tepi sungai). Tujuannya untuk menyediakan ruang terbuka hijau dan perlindungan kawasan terhadap banjir.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/515447/original/file-20230315-26-ntl8ic.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Presentasi proyek penghijauan sungai oleh mahasiswa arsitektur dari University of Southern California, Yingjun Hu. Proyek ini masuk dalam rencana pemulihan sungai oleh Pemerintah Kota Los Angeles, California, Amerika Serikat.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Arroyoseco.org)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Indonesia dapat menjadikan penghijauan daerah aliran sungai sebagai target ideal yang harus dipenuhi dalam jangka panjang.</p>
<p>Sementara, dalam jangka pendek maupun menengah, infrastruktur kanal yang ada masih bisa dipertahankan. Pemerintah hanya perlu menguatkan pengelolaan dan pemeliharaannya yang melibatkan masyarakat demi meminimalkan berbagai bahaya dari sungai, terutama saat banjir. </p>
<p><a href="http://citarum.org/info-citarum/berita-artikel/1320-dilema-industri-dan-">Industri tekstil maupun penduduk di sekitar Majalaya; Bandung,</a> misalnya, mesti diajak berpartisipasi menjaga sungai dengan tidak membuang limbah langsung ke badan air.</p>
<p>Pemerintah pusat dan daerah juga harus menjaga keberadaan ruang terbuka hijau bersama masyarakat untuk meredam banjir dan menjaga kualitas air sungai. Sebab, kualitas maupun debit air sungai bukan cuma ditentukan oleh infrastruktur, tapi juga aliran air yang masuk ke ekosistem tersebut.</p>
<p>Bila keduanya dapat terjaga, maka dampak banjir berpeluang lebih ringan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201780/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rian Mantasa Salve Prastica terafiliasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. </span></em></p>Kanal beton justru berisiko menciptakan titik banjir baru.Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student at Aquatic Systems Research Group, School of Civil Engineering, The University of QueenslandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1563002021-06-21T04:42:00Z2021-06-21T04:42:00ZSejarah menunjukkan penanganan banjir di Jakarta selalu bergantung pada solusi infrastruktur, dan banjir terus hadir<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/405602/original/file-20210610-16-1xv4erd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Solusi infrastruktur bukan obat mujarab masalah banjir di Jakarta.</span> <span class="attribution"><span class="source">Muhammad Adimaja/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Wilayah yang kini kita kenal sebagai Jakarta sudah dilanda banjir <a href="https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/22/084300069/sejarah-banjir-jakarta-dari-zaman-tarumanegara-hingga-hindia-belanda?page=all">sejak belasan abad lalu</a>.</p>
<p>Hadirnya pemerintahan dan tata kelola modern dalam 400 tahun terakhir ternyata belum mampu menyediakan jalan keluar bagi megapolitan ini.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1177/2399654418813578">Analisis</a> yang saya lakukan bersama rekan saya Katrina Charles, peneliti senior bidang geografi dan lingkungan di University of Oxford, Inggris, menemukan bahwa sepanjang era modern, penanganan banjir di Jakarta selalu bergantung pada infrastruktur sebagai solusi. </p>
<p>Padahal, pendekatan infrastruktur memiliki dampak lingkungan dan peningkatan risiko banjir di tempat lain. Lebih dari itu, pendekatan infrastruktur semata tidak mengatasi penyebab utama banjir yang diyakini merupakan kombinasi dari berkurangnya daerah resapan air dan tingginya intensitas hujan.</p>
<h2>Penanganan banjir dari masa ke masa</h2>
<p>Menggunakan kerangka analisis sejarah terkait lembaga (<em>historical institutionalism</em>), sumber data sekunder (buku, artikel ilmiah dan dokumen kebijakan), dan wawancara dengan 38 ahli, kami membagi sejarah Jakarta berdasarkan perubahan kebijakan politik yang signifikan. </p>
<p><strong>1. Era VOC (1619–1810)</strong></p>
<p>Banjir besar yang tercatat dalam sejarah Jakarta terjadi tiga tahun setelah Kongsi Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) berkuasa di Batavia – saat ini wilayah Kota Tua. </p>
<p>VOC meresponnya dengan meluruskan sungai menjadi kanal di dalam wilayah kota. Sungai yang dijadikan kanal geometris, meniru pola penanganan banjir di Belanda, menghasilkan tumpukan sedimen yang diperparah dengan erupsi Gunung Salak tahun 1654 dan gempa bumi tahun 1699. </p>
<p>Adanya pembukaan lahan pertanian untuk industri gula dan persawahan di wilayah selatan Batavia yaitu Ommelanden (saat ini wilayah Bogor) memicu deforestasi skala besar yang memperparah banjir dan mencemari perairan di Batavia.</p>
<p>Pada periode ini, respons terhadap banjir cukup lambat karena fungsi Batavia sebagai pelabuhan perdagangan sehingga penguasa hanya mengutamakan kebijakan yang mendukung fungsi ini. </p>
<p>Selain itu, berbagai kebijakan strategis, termasuk penanganan banjir, di Batavia membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat Belanda.</p>
<p><strong>2. Era pemerintah kolonial (1810-1945)</strong></p>
<p>Runtuhnya kejayaan VOC di akhir Abad ke-18 diikuti dengan pemindahan pusat pemerintahan kolonial dari Batavia ke Weltevreden (saat ini wilayah Menteng) yang berlokasi sekitar 6 kilometer (km) di selatan Batavia. </p>
<p>Pada era ini, pemerintah kolonial mengusung kebijakan baru “kebijakan etis” dengan membuat daerah jajahan yang layak namun tetap menjaga posisi tinggi pemerintah kolonial. </p>
<p>Hal ini memungkinkan tersedianya dana untuk pembangunan infrastruktur di Batavia serta memberi ruang untuk keterlibatan pribumi di arena politik.</p>
<p>Infrastruktur utama yang dibangun untuk menangani banjir pada era ini adalah pembangunan kanal banjir barat yang membagi aliran Sungai Ciliwung ke arah barat kota menuju laut. </p>
<p>Selain karena kondisi politik yang mendukung, pembangunan kanal ini juga didorong oleh banjir besar tahun 1918. Kanal ini merupakan salah satu tanda modernisasi Batavia dan investasi penting untuk menarik investasi swasta di Batavia.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=750&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=750&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=750&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=943&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=943&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/404467/original/file-20210604-15-168na8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=943&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://doi.org/10.1177/2399654418813578">The evolution of Jakarta’s flood policy over the past 400 years: The lock-in of infrastructural solutions</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>3. Awal kemerdekaan (1945-1966)</strong></p>
<p>Pada masa ini, Presiden Sukarno yang merupakan seorang arsitek memiliki visi untuk mengubah Jakarta menjadi kota internasional dengan pembangunan berbagai monumen sebagai simbol modernisasi Jakarta. </p>
<p>Namun visi ini tidak didukung dengan kondisi ekonomi di masa awal kemerdekaan. </p>
<p>Pembangunan tersebut turut mempengaruhi semakin buruknya kondisi banjir di ibu kota. Contohnya, kompleks olahraga Senayan seluas 300 hektar yang dibangun tahun 1962 menyebabkan warga Kampung Senayan pindah ke daerah Kemang dan Tebet yang awalnya ditujukan sebagai daerah resapan air. </p>
<p>Belum lagi pembangunan daerah baru seperti Grogol, Rawamangun, dan Kebayoran Baru yang kebanyakan dibangun di atas rawa yang dikeringkan.</p>
<p>Untuk mengatasi masalah banjir, Sukarno membentuk sebuah lembaga bernama Kopro Banjir (Komando Proyek Penanggulangan Banjir Jakarta) pada tahun 1965 yang mengadopsi rencana pengendalian banjir yang telah dibuat selama masa kolonial. </p>
<p>Namun, rencana tersebut tidak bisa diterapkan karena kendala dana.</p>
<p><strong>4. Era Orde Baru (1966-1998)</strong></p>
<p>Banjir terus menjadi masalah besar di Jakarta pada era ini. Pemerintah membangun Waduk Pluit dan Waduk Setiabudi dan menyusun rencana induk penanganan banjir yang juga dipakai di era berikutnya. </p>
<p>Pada rencana induk tersebut, diusulkan kelanjutan pembangunan kanal banjir barat hingga laut dan pembangunan kanal banjir timur untuk membagi aliran sungai Ciliwung ke daerah timur kota. </p>
<p>Namun karena keterbatasan dana, rencana ini diganti sementara dengan pembangunan kanal skala kecil yaitu Cengkareng Drain dan Cakung Drain.</p>
<p>Solusi penanganan banjir ibu kota mulai mengarah kepada pentingnya mengendalikan pembangunan baik di dalam Jakarta dan kawasan di luar Jakarta. </p>
<p>Walaupun demikian, pertumbuhan Jakarta semakin pesat dengan pembangunan daerah hunian dan bisnis baru.</p>
<p><strong>5. Jakarta masa kini (1998-2016)</strong></p>
<p>Pada era ini, banjir semakin sering terjadi; banjir besar terjadi pada 1996, 2002, 2007, dan 2013. </p>
<p>Dengan kondisi ekonomi yang perlahan memulih pasca krisis 1998, pemerintah memulai pembangunan kanal banjir timur yang tertunda selama 30 tahun sebagai respon terhadap banjir 2002. </p>
<p>Banjir 2007 adalah salah satu banjir terbesar sepanjang sejarah Jakarta dengan 60% daerah tergenang banjir. </p>
<p>Pengerukan sungai dan riset mendalam dengan tenaga ahli dari Belanda tentang penyebab dan solusi banjir menjadi tindakan utama pemerintah untuk menangani banjir ini. </p>
<p>Dari riset tersebut diketahui bahwa penurunan muka tanah turut memperparah kejadian banjir di Jakarta.</p>
<p>Pemerintah merespon banjir 2013 yang menggenangi pusat kota Jakarta dengan normalisasi waduk dan kanalisasi sungai. </p>
<p>Pemerintah pusat juga mengumumkan rencana pembangunan tanggul laut lepas pantai yang menandakan upaya pengendalian banjir ke arah utara Jakarta.</p>
<p>Selain upaya struktural tersebut, pemerintah juga melakukan upaya non-struktural lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). </p>
<p>Peraturan tersebut merupakan upaya non-struktural karena, salah satunya, mengatur format kelembagaan koordinasi kawasan Jabodetabekpunjur yang bertujuan untuk perbaikan kualitas lingkungan di tengah kebutuhan ruang fisik yang semakin mendesak.</p>
<p>Namun, upaya non-struktural ini terkesan sekunder dibanding berbagai kegiatan pembangunan infrastruktur. </p>
<h2>Perlu upaya lain</h2>
<p>Setelah menganalisis berbagai kebijakan terkait banjir dari masa ke masa, kami menyimpulkan bahwa penanganan banjir di Jakarta berfokus pada pendekatan infrastruktur. </p>
<p>Walaupun pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya yang cukup besar di awal, namun pembangunan dapat dilaksanakan dalam kurun waktu yang singkat dan dapat dilihat oleh publik. Ini ideal untuk siklus pemerintahan yang pendek. </p>
<p>Karena mekanisme ini dianggap cocok, kecenderungan untuk mempertahankan pola kebijakan serupa berlanjut di era pemerintahan berikutnya. </p>
<p>Jakarta seakan tidak memiliki banyak ketersediaan ruang dan waktu untuk menerapkan (atau “bereksperimen” pada) langkah-langkah mitigasi banjir lainnya seiring semakin sering dan besarnya kejadian banjir termasuk dampaknya terhadap kehidupan masyarakat kota.</p>
<p>Padahal, sejarah telah menunjukkan ketergantungan pada upaya struktural tidak cukup memberikan perlindungan seperti yang diharapkan. </p>
<p>Misalnya, saat curah hujan ekstrim seperti yang menyebabkan banjir di awal tahun 2020 atau bahkan banjir yang justru terjadi akibat tanggul jebol.</p>
<p>Selain itu, perubahan tata guna lahan di daerah hulu sangat berpengaruh terhadap kejadian banjir di Jakarta bahkan sejak masa kolonial.</p>
<p>Pemerintah telah menetapkan peraturan mengenai pengendalian pembangunan kawasan penyangga Jakarta – terakhir dengan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200612180806-4-165048/jokowi-tata-ulang-zona-jabodetabek-punjur-ini-kelebihannya">Perpres No 60 tahun 2020</a> tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur (revisi Perpres No 5 tahun 2008) yang masih terkendala kolaborasi pemerintah daerah terkait dan penegakan hukum di lapangan. </p>
<p>Upaya ini penting untuk dilakukan dan dikombinasikan dengan kegiatan struktural dan non-struktural lainnya untuk memberikan perlindungan jangka panjang yang juga adaptif terhadap perubahan lingkungan kota.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156300/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Thanti Octavianti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pendekatan infrastruktur semata tidak mengatasi penyebab utama banjir yang diyakini merupakan akibat dari dari berkurangnya daerah resapan air dan tingginya intensitas hujan.Thanti Octavianti, Research Fellow in Cities, Water and Resilience, University of the West of EnglandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1326622020-03-16T05:28:15Z2020-03-16T05:28:15ZKasus revitalisasi Monas: menengok kembali peran pohon dan krisis iklim dalam bencana banjir<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/320369/original/file-20200313-108880-26txul.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C14%2C1183%2C768&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:National_Monument_(Monas),_Jakarta.jpg">Salmiah La Suma</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Musim penghujan tahun ini, Jakarta dan kota sekitarnya, seperti Bekasi, bertubi-tubi menghadapi <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/02/25/05093541/hujan-deras-sejumlah-wilayah-jakarta-dan-sekitarnya-terendam-banjir?page=all">banjir</a>. Hampir semua daerah di ibu kota negara tergenang air.</p>
<p>Salah satu insiden banjir yang cukup menyedot perhatian media dan masyarakat adalah <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/24/14225641/hujan-awet-di-jakarta-kawasan-monas-sempat-tergenang-air-setinggi-30">tergenangnya kawasan Monas</a>, yang merupakan kawasan terbuka hijau dengan banyak pohon.</p>
<p>Banyak yang menyoroti bahwa tergenangnya kawasan tersebut akibat dari <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/02/04/13274481/191-pohon-ditebang-demi-revitalisasi-monas-pemprov-dki-janji-tanam-3-kali?page=all">penebangan ratusan pohon oleh pemerintah DKI Jakarta</a>. Hal ini berangkat dari pemahaman umum bahwa pohon menyerap air hujan sehingga seharusnya tidak terjadi banjir.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1220639791202488320"}"></div></p>
<p>Pohon memang memiliki peran yang penting dalam menahan air hujan. Namun, kasus banjir yang terjadi di kawasan Monas dan Jakarta, secara umum, sebenarnya lebih kompleks dan memerlukan penelitian lebih lanjut.</p>
<p>Sebagai dosen Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, saya ingin meluruskan pemahaman terkait peran pohon (hutan) dalam menanggulangi banjir. Dan, bagaimana masyarakat umum sebenarnya bisa berkontribusi menjadi solusi penanganan banjir.</p>
<h2>Peran penting pohon</h2>
<p>Kaitannya dengan banjir akibat hujan terus-menerus maka pohon atau hutan memiliki dua peran penting, yaitu untuk <a href="https://forestsnews.cifor.org/10316/make-it-rain-planting-forests-to-help-drought-stricken-regions?fnl=en">menahan</a> dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/333821037_Influence_of_Canopy_Interception_and_Rainfall_Kinetic_Energy_on_Soil_Erosion_under_Forests">mengurangi daya pukul air hujan</a> untuk mengurangi erosi tanah.</p>
<p>Sebagai penahan air, tajuk pohon - yaitu kumpulan daun, dahan, dan ranting - mampu menahan atau mengurangi jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan tanah. <a href="http://new.etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/157729">Data sebuah penelitian di Kalimantan</a> menunjukkan bahwa hutan alam mampu menahan 30-40% air hujan yang turun dan mengembalikannya ke atmosfer sebelum sampai ke permukaan tanah melalui proses evaporasi.</p>
<p>Ini angka optimal karena akan bergantung pada perbedaan spesies penyusun, kerapatan, dan lokasi ketinggian dari hutan.</p>
<p>Sebagai pengurang daya pukul air hujan, pohon membantu agar tidak terjadi erosi tanah.</p>
<p>Selain tajuk, komponen penting pohon dalam pengendalian banjir serta bencana lainnya terutama longsor yaitu bagian perakaran.</p>
<p>Akar pohon akan menyerap air dari tanah. Yang jika tidak terserap akan membuat tanah jenuh dengan air dan mengalir ke permukaan tanah.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/j_f9muYtyR0?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Video produksi dari UK’s Biotechnology and Biological Sciences Research Council (BBSRC) mengilustrasikan bahwa tanaman hijau bisa mengurangi aliran air banjir. Sumber: bbsrcmedia/YouTube.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Pembelajaran dari Monas</h2>
<p>Terkait genangan air di Monas belum lama ini, saya tidak melihat ini sebagai akibat dari penebangan pohon untuk revitalisasi. </p>
<p>Menurut saya, hujan besar yang makin sering terjadi memiliki daya rusak tinggi dan berlangsung dalam periode yang lebih singkat dibandingkan biasanya.</p>
<p>Jenis hujan dengan daya destruksi tinggi memang <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-018-07447-1">makin sering terjadi akibat perubahan iklim</a>. </p>
<p>Singkatnya, ada dua kejadian yang tidak melulu saling berkaitan, yaitu penebangan pohon dan genangan air. Perlu ada penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hubungan dengan dua kejadian tersebut. </p>
<p>Meski demikian, penebangan pohon tersebut cukup disayangkan karena sekecil apapun perannya, pohon-pohon tersebut memiliki kontribusi dalam mengurangi air yang ada di permukaan tanah.</p>
<h2>Peran masyarakat</h2>
<p>Walau ada upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, gerakan masyarakat juga memiliki potensi sebagai bagian solusi banjir, terutama jika bisa diintegrasikan dengan rencana mitigasi bencana pemerintah. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://jogja.antaranews.com/berita/392692/wakil-bupati-sleman-meresmikan-sekolah-air-hujan-banyu-bening">Sekolah Air Hujan Banyu Bening di Yogyakarta</a>, merupakan sebuah gerakan masyarakat yang berupaya mengedukasi masyarakat terkait upaya perlindungan lingkungan </p>
<p>Komunitas ini tengah mencoba mengubah perspektif masyarakat tentang air hujan dan bahkan mampu menghasilkan air hujan laik konsumsi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/YseLMCwFRY4?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Komunitas di Sleman, Yogyakarta, ini berhasil mengolah air hujan menjadi air layak minum. Sumber: NET. BIRO YOGYAKARTA/YouTube.</span></figcaption>
</figure>
<p>Ada juga solusi agar masyarakat atau komunitas bisa membangun <a href="http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuAirTanahBuatan/Bab6-PemanenanAirHujan.pdf">Instalasi Pemanenan Air Hujan</a> (IPAH) untuk menampung air hujan </p>
<p>Alat ini akan mengalirkan sebagian air hujan ke sumur resapan atau bisa jadikan sumber mata air, sebelum dialirkan ke saluran pembuangan. Hal ini bisa mengurangi kejadian banjir atau genangan air. </p>
<p>Selanjutnya, masyarakat bisa berkontribusi dengan membuat lubang biopori di pekarangan rumah masing-masing.</p>
<p>Aksi-aksi kecil semacam ini bisa menjadi model upaya mandiri masyarakat dalam mencegah dan menangani bencana banjir di Indonesia. </p>
<p><em>Stefanus Agustino Sitor berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di <a href="https://theconversation.com/id/newsletters/sepekan-lingkungan-66">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/132662/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Chrisna Satriagasa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Peran hutan dalam mencegah banjir dan atau longsor memang tak terbantahkan. Namun masyarakat juga perlu sadar,bahwa kita pun bisa turut andil dalam memperparah dan atau menanggulangi bencana ini.Muhammad Chrisna Satriagasa, Dosen Laboratorium Pengelolaan DAS, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1328672020-03-06T06:05:02Z2020-03-06T06:05:02ZJakarta: menuju kota yang (warganya) tahan banjir?<p>Banjir merupakan bencana alam yang <a href="https://www.nationalgeographic.co.uk/environment/2019/04/floods-explained">paling sering</a> terjadi di seluruh dunia. Tercatat salah satu banjir yang paling banyak menelan korban terjadi di <a href="https://www.bbc.co.uk/news/world-south-asia-10896849">Pakistan tahun 2010</a>, dengan korban meninggal mencapai setidaknya 1.600 orang dan jumlah penduduk yang terdampak hingga 14 juta orang. </p>
<p>Walaupun secara global kejadian dengan intensitas curah hujan tinggi meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini, <a href="https://www.ipcc.ch/report/managing-the-risks-of-extreme-events-and-disasters-to-advance-climate-change-adaptation/">akademisi</a> tidak dapat menyimpulkan bahwa kejadian tersebut diakibatkan fenomena perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.</p>
<p>Di Jakarta, salah satu banjir terbesar dalam sejarah ibu kota terjadi pada <a href="https://www.bappenas.go.id/files/8913/5441/6576/hasil-penilaian-kerusakan-dan-kerugian-pasca-bencana-banjir-awal-februari-2007-di-wilayah-jabodetabek__20081123211335__1300__0.pdf">tahun 2007</a> yang menewaskan 79 orang, dan menyebabkan setidaknya setengah juta orang dievakuasi, belum lagi kerugian finansial yang mencapai Rp8.8 triliun. </p>
<p>Dalam dua bulan terakhir, Jakarta dilanda musibah banjir <a href="https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/02/26/jakarta-enam-kali-banjir-dalam-dua-bulan/">enam kali</a> dengan dua banjir besar pada tanggal 1 Januari dan 25 Februari 2020. </p>
<p>Curah hujan yang di atas rata-rata pun didaulat menjadi penyebabnya. Terlebih lagi, Jakarta dibangun di daerah delta sehingga wajar rasanya jika banjir jadi langganan di musim hujan. </p>
<p>Banjir adalah fenomena hidrologi, tapi kerugian akibat banjir adalah hal yang dapat dihindari. </p>
<h2>Risiko banjir = bahaya x paparan x kerentanan</h2>
<p>Di kalangan akademisi, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/02508060508691837">risiko suatu bencana</a>-dalam hal ini banjir-dipahami sebagai kombinasi bahaya (<em>hazards</em>), paparan (<em>exposure</em>) dan kerentanan (<em>vulnerability</em>). </p>
<p><strong>Bahaya</strong> adalah besarnya/skala faktor penyebab banjir, di antaranya curah hujan dan kemampuan tanah menyerap air. <strong>Paparan</strong> adalah jumlah orang dan aset yang terpapar risiko banjir di suatu daerah. Sedangkan <strong>kerentanan</strong> merujuk kepada seberapa rentan suatu populasi atau daerah jika terkena musibah banjir. </p>
<p>Penyebab/sumber bahaya umumnya adalah fenomena alam, sedangkan tingkat paparan dan kerentanan lebih bersifat antropogenis, yaitu bergantung pada aktivitas manusia. </p>
<p>Contohnya, komunitas yang mampu membeli pompa sendiri untuk menyedot genangan air di daerahnya dan mengalirkannya ke laut seperti di <a href="https://majalah.tempo.co/read/lingkungan/123168/hoki-di-perut-naga&user=register">Pluit</a>, Jakarta Utara, memiliki kerentanan lebih rendah dibanding komunitas yang tidak memiliki kemampuan demikian. </p>
<p>Dengan memahami risiko banjir sebagai besaran-besaran yang berhubungan antara ketiga hal tersebut, maka banjir yang terjadi di daerah yang tak berpenduduk tidak disikapi sebagai suatu musibah. </p>
<p>Bahkan, secara alamiah, nutrisi yang dibawa oleh banjir berfungsi untuk menjaga <a href="https://nationalgeographic.grid.id/read/13308809/dibalik-sifatnya-yang-merusak-ternyata-ini-manfaat-banjir-bagi-ekosistem-sungai?page=all">keanekaragaman hayati</a> di daerah dataran banjir atau <em>floodplain</em>. </p>
<h2>Menuju kota yang <em>resilient</em></h2>
<p>Akademisi, bermula dari bidang ilmu psikologi hingga kini ekologi juga ekonomi, mulai menggunakan konsep <em>resilience</em> (ketahanan) untuk menggambarkan suatu sistem yang tahan akan guncangan sosio-ekonomi dan lingkungan, termasuk banjir. <a href="http://100resilientcities.org/resources/#section-1"><em>Resilience</em></a> adalah kemampuan suatu kota untuk menyerap dan pulih dari gangguan (<em>shocks</em>) dan bersiap untuk gangguan di masa depan. </p>
<p>Pada manajemen risiko banjir, konsep <em>resilience</em> diadopsi untuk berpindah dari paradigma lama yang bertujuan untuk menciptakan sistem pertahanan banjir anti gagal (<em>a fail-safe system</em>) menuju sistem yang aman jika terjadi kegagalan (<em>a safe-fail system</em>). Sehingga banjir mungkin saja terjadi, tetapi dalam batas aman yang sudah diperhitungkan dan dapat diantisipasi. </p>
<p>Untuk kasus Jakarta, selama ini bukan kotanya yang dibangun untuk tahan (<em>resilient</em>) terhadap banjir - baik secara struktural maupun non-struktural, tetapi warganya yang harus tahan terhadap musibah banjir. Berkali-kali warga harus menerima kenyataan bahwa tempat tinggalnya direndam air.</p>
<p>Ada warga yang sudah menjadi langganan banjir sehingga membangun sistem peringatan dini lokal, contohnya saling memberi laporan rutin ketinggian muka air di sungai untuk menunjukkan skala banjir yang mungkin terjadi. Ada juga warga yang tidak lagi menaruh barang elektronik di lantai dasar rumah agar tidak terendam air.</p>
<p>Warga secara tidak langsung dituntut untuk lebih siap dan “belajar” dari banjir sebelumnya, sementara pemerintah terlihat lebih banyak melakukan upaya reaktif menghadapi banjir dengan upaya evakuasi, ketimbang preventif di musim kering. </p>
<p>Tentu elemen penting dari kota yang tahan banjir adalah warga yang paham risiko banjir, dan berpartisipasi aktif dalam mendukung pemerintah membangun kota tersebut. </p>
<p>Namun, sangat disayangkan jika hanya warga yang dituntut untuk bersifat adaptif untuk menjamin keselamatannya dan mengurangi kerugian material dan imaterial akibat banjir. </p>
<h2>Kombinasi pendekatan struktural dan non-struktural</h2>
<p>Dengan memahami risiko banjir sebagai besaran bahaya, paparan dan kerentanan, maka pemerintah dapat mengurangi kerugian akibat banjir ibu kota. </p>
<p>Memperketat izin pembangunan di daerah rawan banjir dan memberikan perhatian lebih kepada rumah tangga ataupun komunitas dengan kerentanan yang tinggi menjadi langkah yang bisa ditempuh.</p>
<p>Pendekatan struktural, misal pembuatan sodetan dan pengembalian dimensi ruang sungai, baik dengan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/08/20130481/normalisasi-dan-naturalisasi-sungai-apa-bedanya?page=all">normalisasi atau naturalisasi</a>, masih diperlukan. </p>
<p>Namun, pendekatan non-struktural, seperti dilarangnya pembangunan di daerah rawan banjir, menyediakan lahan untuk air di hulu (<a href="https://www.ruimtevoorderivier.nl/english/">Room for the River</a> di Belanda), <a href="https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/148933/adem-dan-anti-banjir">rumah “ramah” air</a>, juga sangat penting dilakukan. </p>
<p>Yang harus dicermati adalah bahwa pendekatan struktural, utamanya dengan pembuatan tanggul, memberikan keamanan semu atau <em>false sense of security</em> karena justru akan meningkatkan risiko banjir. Warga dan investor terlena dengan ada perlindungan tanggul sehingga meningkatkan paparan terhadap banjir.</p>
<p>Jika terjadi luapan, baik karena curah hujan melebihi kapasitas tanggul atau karena gagal tanggul atau <em>dam failure</em>, seperti pada <a href="https://tekno.kompas.com/read/2013/01/21/18225120/air.mengalir.ke.jalan.sebelum.tanggul.latuharhary.jebol">banjir tahun 2013</a>, jumlah kerugian akibat banjir akan sangat tinggi. </p>
<p>Mengutip pernyataan <a href="http://www.aag.org/cs/membership/tributes_memorials/sz/white_gilbert_f">Gilbert White</a>, pionir di bidang studi sosio-ekologi bencana, “banjir adalah kehendak Tuhan tetapi kerugian akibat banjir adalah karena ulah manusia”. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/132867/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Thanti Octavianti menerima dana dari Jardine Foundation dan University of Oxford untuk studi doktoralnya dan beasiswa disertasi dari LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) Indonesia untuk penelitiannya tentang banjir Jakarta. </span></em></p>Banjir adalah fenomena alam. Tapi kerugian akibat banjir adalah sesuatu yang dapat dihindari.Thanti Octavianti, Research Fellow in Cities, Water and Resilience, University of the West of EnglandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1298972020-02-14T02:16:00Z2020-02-14T02:16:00ZKetika RT/RW dapat peringatan dini, banjir sudah dekat. Yang perlu diperbaiki dalam sistem peringatan dini banjir Jakarta<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/310115/original/file-20200115-151876-1kqbadk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Banjir di Taman Ratu Jakarta Barat, 1 Januari 2020.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-floods-taman-ratu-west-january-1609232773">Widarman/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Setelah banjir besar menenggelamkan sebagian wilayah Jakarta awal Januari lalu, pemerintah pusat mengklaim sudah punya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=lCrX3772EiA"><em>masterplan</em> menanggulangi banjir Ibu Kota</a> sejak awal <a href="https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=2ahUKEwiI0cOwgc7nAhUO4zgGHSz-AUkQFjAAegQIARAB&url=https%3A%2F%2Frepository.tudelft.nl%2Fislandora%2Fobject%2Fuuid%3A5a8b2a75-cf36-46ce-bf44-e4cceef18292%2Fdatastream%2FOBJ%2Fdownload&usg=AOvVaw0hiAJg4vPyDcS9rG1cYXd_">1970-an</a>. Bahkan konon evolusi kebijakan mencegah banjir bisa ditarik hingga <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2399654418813578">400 tahun terakhir</a>. </p>
<p>Namun secara umum sampai kini belum ada sebuah kerangka kerja detail sistem peringatan dini (SPD) banjir Jakarta yang tersedia dan bisa dipahami dengan mudah agar bisa operasional di tingkat rumah tangga dan individu. </p>
<p>Padahal, sedikitnya <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/07/jumlah-penduduk-dki-jakarta-2020">10,5 juta penduduk</a> (sekitar 2,8 juta keluarga) di Jakarta saat ini, baik malam atau maupun siang hari termasuk para komuter, membutuhkan layanan peringatan dini.</p>
<p>Hal ini makin mendesak manakala semua pendekatan teknis-fisik untuk mereduksi risiko banjir seperti <a href="https://www.beritasatu.com/megapolitan/593363/akhir-2020-2-bendungan-di-bogor-dapat-serap-30-debit-banjir">pembangunan bendungan di kawasan atas Bogor</a> atau <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/01/02/upaya-dki-tangani-banjir-dan-normalisasi-ciliwung-dari-ahok-ke-anies">pengerukan kali di Jakarta</a> tidak berjalan sesuai rencana.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/lCrX3772EiA?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Presiden Joko Widodo merespons banjir besar Jakarta awal Januari 2020.</span></figcaption>
</figure>
<p>Riset kami pada 2011-2013 terkait bagaimana komunitas dan sekolah beradaptasi terhadap banjir menunjukkan <a href="http://irgsc.org/pubs/wp/IRGSCWP002jakartaflood.pdf">beberapa komunitas di sekitar Ciliwung telah memiliki kesadaran hidup bersama dengan banjir</a>. Saat musim hujan tiba, misalnya, mereka menaikkan barang-barang berharga ke lantai dua rumah guna menghindari potensi banjir yang merendam lantai dasar.</p>
<p>Namun, salah satu biang kerok ketidaksiapan masyarakat menghadapi banjir besar awal Januari lalu adalah sebagian mereka tidak memiliki waktu cukup untuk menghadapi datangnya air, misalnya untuk menyelamatkan barang-barang atau mengevakuasi isi rumah. </p>
<p>Hal ini karena informasi peringatan dini yang ada masih berbasis prakiraan (<em>forecast-based early warning system</em>) yang masih kasar – seperti kalkulasi prakiraan debit berdasarkan data curah hujan dalam 24-72 jam, ataupun ketinggian tinggi muka sungai di pintu air terdekat dan terjauh dari wilayah mereka - yang mengindikasikan pada komunitas bahwa banjir berpotensi mengenai wilayah mereka. Sistem yang ada belum bisa diturunkan maknanya secara memadai hingga ke tingkat RT/RW. </p>
<p>Yang kami temukan, akses pada informasi terkait pintu air pun, <a href="http://irgsc.org/pubs/wp/IRGSCWP002jakartaflood.pdf">sering merupakan hasil pencarian proaktif kepemimpinan RT/RW setempat di sekitar pinggiran sungai</a> dan tidak serta merta hasiL dari sistem jejaring peringatan dini yang terbangun secara sistematis. Relasi informan di pintu air dengan RT/RW juga kerap bersifat ‘informal’. </p>
<p>Dampaknya adalah ketika menerima informasi bahwa debit banjir mengindikasikan air akan melewati wilayah mereka, waktu yang tersedia untuk menyelamatkan diri sangat minim. Kalau pun pemimpin RT/RW menggunakan <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/19/133255965/3-fakta-soal-toa-banjir-jakarta-dari-beranggaran-rp-4-miliar-hingga-tuai?page=all">alat seperti pengeras suara melalui toa</a> untuk memperingatkan penduduk bahwa banjir akan datang, tetap saja tidak memadai. </p>
<p>Padahal, tidak seperti tsunami, untuk banjir seharusnya <em>lead time</em> atau waktu minimum yang tersedia untuk kegiatan antisipatif banjir skala rumah tangga bisa lebih dari 6 jam.</p>
<p>Karena banjir menjadi peristiwa normal tahunan pada musim hujan, masyarakat memerlukan sistem peringatan dini yang bisa diandalkan. </p>
<p>Untuk mengurangi risiko kerusakan yang lebih parah ke depan, mau tidak mau sistem peringatan dini yang terintegrasi dalam sistem pengelolaan volume air di hulu dan di hilir harus diciptakan, dipantau, dan dievaluasi secara berkala.</p>
<h2>Peringatan dini berbasis komunitas</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa di tingkat <a href="http://www.irgsc.org/pubs/wp/IRGSCWP003floodwarningjakarta.pdf">RT/RW di sekitar Ciliwiung terdapat potensi masyarakat dalam membangun adaptasi dan peringatan dini berbasis komunitas</a>. </p>
<p>Namun belum ada kerangka kerja sistem peringatan dini banjir yang terintegrasi antara pengelola daerah aliran sungai (DAS) yang mengelola sumber daya air di wilayah DAS, termasuk memantau naik turun tinggi muka sungai, dengan aktor-aktor yang bertanggung jawab terhadap penganggulangan bencana banjir dan peringatan dini seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang terstruktur secara jelas hingga ke tingkat RT/RW. </p>
<p>Sumber daya air di daerah aliran sungai biasanya dikelola oleh pemerintah pusat di bawah Balai Besar DAS Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Untuk daerah aliran sungai Ciliwung yang mempengaruhi wilayah Jakarta dan sekitarnya dikelola oleh <a href="http://sda.pu.go.id/bbwscilicis/">Balai Besar DAS Ciliwung-Cisadane</a>.</p>
<p>Masalah utamanya, satuan fisik pengelolaan risiko banjir (seperti pengelolaan aliran air permukaan maupun badan sungai termasuk pintu air) sering dilakukan berbasis daerah aliran sungai (DAS), yang dalam konteks Indonesia dinamakan satuan wilayah sungai (SWS). Teritorial pengelolaan banjir begitu kompleks karena satu unit DAS meliputi belasan sub-DAS yang bisa saja melibatkan banyak provinsi dan kabupaten/kota. </p>
<p>Sedangkan tata kelola kesiapsiaagan banjir, operasi penanggulangan, dan sistem peringatan dini (SPD) banjir biasanya mengikuti sistem tata-kelola berbasis logika teritorial administrasi penanggulangan bencana daerah level provinsi atau kabupaten/kota. </p>
<p>Tantangannya adalah bagaimana pelaksana penanggulangan banjir dan peringatan dini di tingkat daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota, dapat menyediakan informasi risiko banjir yang diterjemahkan dalam analisis potensi banjir secara <em>real time</em> bagi RT/RW. Bukan sekadar informasi prakiraan mengenai potensi debit banjir (curah hujan) maupun ketinggian banjir di pintu air.</p>
<p>Jika ini dilakukan, penduduk di sekitar aliran sungai dan tempat rawan banjir bisa memahami informasi dengan lebih mudah dan mengambil langkah antisipatif sebelum air bah menerjang.</p>
<p>Hal ini membutuhkan koordinasi yang tidak mudah. Jakarta memiliki <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/12/10/berapa-jumlah-rtrw-di-dki-jakarta">30.000 rukun tetangga (RT), sekitar 2700 RW</a>, yang tersebar di <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kecamatan_dan_kelurahan_di_Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta">267 kelurahan dan 44 kecamatan</a>. Informasi yang dibutuhkan masing-masing RT/RW berbeda-beda karena karakteristik fisik dan sosial ekonomi yang berbeda-beda.</p>
<p>Kita perlu mencari solusi untuk menciptakan sistem peringatan dini banjir yang efektif melayani belasan juta orang pada siang hari dan dapat terdistribusi secara adil merata pada 2,8 juta keluarga pada malam hari. </p>
<p>Dalam artikel kami terkait banjir <a href="http://irgsc.org/pubs/wp/IRGSCWP002jakartaflood.pdf">Jakarta tahun 2013</a>, kami mencermati terjadi kesamaan cara pandang antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta ihwal solusi banjir yakni pendekatan struktural (termasuk <a href="https://www.liputan6.com/bisnis/read/4147359/baru-capai-16-km-pemerintah-akan-lanjutkan-normalisasi-kali-ciliwung">normalisasi kali</a>) yang tertunda hampir 40 tahun terakhir. </p>
<p>Namun, suasana yang keruh karena kecenderungan para pihak dalam mempolitisasi banjir Jakarta pada awal 2020 merupakan sebuah situasi “normal baru”. Banjir kemudian menjadi arena ‘peperangan’ para pendukung pemerintah pusat versus pemerintah DKI. </p>
<p>Konflik vertikal kemudian tak terhindarkan dan berujung pada terbelahnya kebijakan pemerintah DKI dan pusat. Hal ini menyulitkan membangun sistem peringatan dini banjir yang terintegrasi. Untuk membangun ini pemerintah pusat dan daerah harus mampu dan mau bekerja sama.</p>
<h2>Ada inovasi tapi belum mujarab</h2>
<p>Dalam sepuluh tahun terakhir bukan tidak ada inovasi untuk mengintegrasikan penanggulangan bencana banjir di Jakarta.</p>
<p>Misalnya, yang terbaru, proyek bantuan luar negeri bernama <a href="https://petabencana.id">PetaBencana.id</a>, untuk mengidentifikasi dan memverifikasi ulang lokasi yang terdampak banjir, yang dianugerahi penghargaan <em>United Nations Public Service Award</em> dengan kategori “Memastikan pendekatan yang terintegrasi pada institusi sektor publik” pada 2019. </p>
<p>PetaBencana.id bukanlah satu-satunya inovasi. Sebelumnya, Inasafe <a href="http://inasafe.org/">Inasafe</a> menggunakan pendekatan <a href="https://openstreetmap.id/openstreetmap-dalam-rencana-kontijensi-dki-jakarta/">Humanitarian Open Street Map membantu Pemda DKI pada 2014</a> yang memanfaatkan pendekatan <em>crowd-source</em> yang potensial dalam memperkaya sistem peringatan dini karena <em>input</em> informasi yang lebih cepat dari masyarakat. </p>
<p>Pendekatan ini sempat dimanfaatkan dalam membantu penyusunan Rencana Kontigensi Banjir DKI Jakarta yang dicoba dihubungkan dengan pembuatan Prosedur Operasi Standar (POS) hingga pelatihan <a href="http://wahanavisi.org/SiGAP/2015-jakarta-flood-contingency-plan-review-exercise-and-revision/?lang=en">Table Top Exercise bagi Pemda DKI dan pihak terkait</a> di Ibu Kota dalam rangka mengantisipasi banjir yang lebih besar dari tahun 2013. </p>
<p>Namun, kemajuan-kemajuan kecil melalui proyek-proyek di atas kemudian tidak terlihat manakala datang banjir dalam skala yang lebih besar seperti awal Januari lalu. Hal ini tentu menimbulkan tanda-tanya besar, bagaimana caranya agar ada konsistensi kesiapsiagaan banjir di DKI Jakarta dan kota-kota sekitarnya pada masa mendatang? </p>
<h2>Membangun sistem peringatan dini banjir</h2>
<p>Kompleksitas Jakarta terus meningkat seiring dengan pertambahan komuter maupun pertambahan rata-rata penduduk Jakarta di atas 1,05 persen per tahun atau <a href="https://jakarta.bps.go.id/statictable/2017/01/30/136/jumlah-penduduk-dan-laju-pertumbuhan-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-dki-jakarta-2010-2014-dan-2015.html">115 ribu orang per tahun</a>. </p>
<p>Karena itu debat-debat dan argumentasi apologetik pemerintah pusat atau pemerintah DKI tentang sudah tersedianya masterplan perlu dibarengi dengan kemampuan mengenali perubahan demografis yang telah berubah secara drastis dalam 50 tahun terakhir. </p>
<p>Sistem peringatan dini yang terintegrasi dengan sistem pengelolaan volume air di hulu dan hilir sangat penting untuk mencegah jatuhnya jumlah korban banjir. </p>
<p>Sudah saatnya pemerintah pusat dan pemerintah DKI membuat perencanaan kerja terukur yang lengkap dengan pembagian kerja yang jelas–siapa melakukan apa, di mana, dan kapan (baik jangka pendek, menengah dan panjang)–terkait sistem peringatan banjir di Jabodetabek. </p>
<p>Rencana-rencana ini perlu dibuka pada publik dan ditinjau ulang secara reguler tiap tahunnya. </p>
<p>Dan pemerintah perlu bertanya secara antisipatif, mengingat muka tanah Jakarta yang terus menurun dan dampak perubahan iklim meningkatkan risiko curah hujan ekstrem, siapkah DKI menanggulangi banjir dari belasan sungai yang melewati DKI Jakarta?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129897/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Untuk mengurangi risiko kerusakan, sistem peringatan dini di Jakarta yang terintegrasi dalam sistem pengelolaan volume air di hulu dan di hilir harus diciptakan, dipantau, dan dievaluasi berkala.Jonatan A Lassa, Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin UniversitySaut Sagala, Assistant Professor, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi BandungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1293242020-01-06T07:20:58Z2020-01-06T07:20:58ZBanjir besar di Jakarta awal 2020: penyebab dan saatnya mitigasi bencana secara radikal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/308479/original/file-20200104-11914-hu073k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penduduk melintasi banjir di Jalan Daan Mogot Jakarta, 2 Januari 2020.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/people-crossing-flooded-road-jl-daan-1604328109">HariPhoto/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Curah hujan pada 1 Januari 2020 di sekitar Jakarta, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), termasuk yang paling ekstrem dan tertinggi <a href="https://news.detik.com/berita/d-4843572/data-bmkg-curah-hujan-2020-tertinggi-sejak-154-tahun-lalu">sejak 154 tahun lalu</a>. Banjir yang dipicu hujan besar <a href="https://metro.tempo.co/read/1290146/4-fakta-banjir-jakarta-di-tahun-baru-2020?page_num=1">menenggelamkan sebagian ibukota negara dan kota-kota penyangga sekitarnya</a>. </p>
<p>Sampai hari ini, lebih dari <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/01/04/korban-banjir-jakarta-dan-sekitarnya-bertambah-jadi-53-orang">50 orang tewas</a> dan lebih <a href="https://news.detik.com/berita/d-4846069/bnpb-jumlah-pengungsi-banjir-jabodetabek-naik-jadi-173-ribu-orang">dari 170 ribu orang menjadi pengungsi dadakan</a> karena rumah mereka tersapu air bah. </p>
<p>Sudah banyak <a href="http://nirmana.petra.ac.id/index.php/cef/article/view/17367">penelitian</a> dan <a href="http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jft/article/view/1985">kajian</a> untuk menanggulangi banjir Jabodetabek. Baik pemerintah pusat dan daerah telah memproduksi <a href="https://www.tribunnews.com/metropolitan/2020/01/04/menteri-basuki-sudah-ada-masterplan-atasi-banjir-jakarta-sejak-1873">dokumen perencanaan</a>, tata ruang, <a href="https://www.pu.go.id/berita/view/3088/konsep-pemerintah-dalam-mengatasi-penanganan-banjir">master plan dan program</a>. </p>
<p>Namun hanya sedikit dari rencana-rencana tersebut sedikit yang sudah benar-benar terlaksana. Implementasi rencana penanggulangan banjir masih parsial, jangka pendek, dan belum terintegrasi. </p>
<p>Dengan semakin bertambah parahnya cuaca ekstrem akibat <a href="http://theconversation.com/cara-hentikan-perubahan-iklim-enam-cara-ini-membuat-dunia-lebih-baik-dan-lebih-sehat-117441">efek perubahan iklim</a> seluruh tingkat pemerintahan perlu mengeluarkan kebijakan radikal bekerja sama dengan masyarakat, swasta, LSM dan lembaga serta masyarakat internasional. </p>
<h2>Penyebab banjir</h2>
<p>Eksploitasi air tanah yang berlebihan di Jakarta menyebabkan ibu kota negara ini terus tenggelam, dengan rata rata-rata laju penurunan tanah <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/01/16/12274561/soal-penurunan-muka-air-tanah-jakarta-belajar-dari-jepang">sekitar 3-18 cm per tahun </a>. Kondisi ini bertambah memburuk di Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih rendah dari permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor dan Depok) pun tidak dapat terbuang ke laut.<br>
Selain penurunan permukaan tanah, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan banjir Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. </p>
<p>Saluran dan tangkapan air (waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau) yang ada kapasitasnya kurang untuk menampung volume air yang besar akibat curah hujan yang ekstrem. Aliran dan sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi. </p>
<p>Selain itu saluran-saluran air yang ada tersumbat sampah akibat manajemen sampah yang buruk. DKI Jakarta memproduksi sampah <a href="https://sains.kompas.com/read/2019/11/01/190700323/jakarta-hasilkan-7.700-ton-sampah-per-hari?page=all">kurang lebih 7,500 ton per hari atau 2,7 juta ton per tahun</a>. Jumlah itu belum <a href="https://www.suara.com/news/2018/09/18/113846/miris-sampah-sungai-di-jakarta-capai-400-ton-setiap-hari">termasuk 300-400 ton sampah</a> yang dibuang oleh penduduk ke sungai terutama pada saat musim hujan.</p>
<p>Genangan air juga disebabkan oleh isu lama, yaitu tertutupnya permukaan tanah yang dilapis beton atau material yang menahan air untuk meresap dalam tanah. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi, pembangunan infrastruktur yang massif serta urbanisasi menyebabkan okupasi lahan semakin sempit. </p>
<p>Menurut <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/10/jumlah-penduduk-dki-jakarta-2019-mencapai-105-juta-jiwa">data Badan Pusat Statisik</a> penduduk Jakarta terus tumbuh, pada 2018 mencapai 10,46 juta jiwa. Hal ini menyebabkan lahan Jakarta terus berkurang. Pada 2014, sekitar 83% dari 674km2 wilayah Jakarta telah terpakai, <a href="https://www.mdpi.com/2071-1050/10/8/2934">menurut riset Mathias Garschagen dan koleganya (2008) </a>. Jadi wajar daya dukung kota terus menurun.</p>
<h2>Kebijakan radikal mitigasi bencana banjir</h2>
<p>Untuk mengelola dan mengurangi aliran air yang berlebihan dari hulu (Bogor dan Depok), maka pemerintah pusat perlu mendukung Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta dalam program-program penanggulangan banjir mereka. Selain revitalisasi hutan dan pembatasan pendirian bangunan di kawasan Puncak dan Bogor, penyelesaian <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/03/192200565/disebut-rk-mampu-kurangi-dampak-banjir-jakarta-berikut-fakta-soal-bendungan?page=all">waduk Ciawi dan Sukamahi</a> untuk mengurangi air di sungai-sungai besar sangat mendesak. </p>
<p>Dengan tren curah hujan yang terus tinggi, wilayah-wilayah ini perlu memiliki aliran dan penampungan air yang memadai. Dengan istilah apa pun, entah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200103181345-20-462251/jalan-tengah-bnpb-soal-debat-normalisasi-vs-naturalisasi">normalisasi, naturalisasi, atau revitalisasi</a> pemerintah perlu mengembalikan fungsi sungai. Pemeliharaan dan pengerukan harus menjadi prioritas dan program wajib dan rutin pemerintah.</p>
<p>Kebijakan yang segera perlu dipercepat adalah realisasi pengelolaan sampah yang terintegrasi dan modern. <a href="https://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-daerah-nomor-3-tahun-2013-tentang-pengelolaan-sampah.pdf">Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah</a> masih menggunakan konsep lama. Misalnya mulai dari pemilahan dan pembuangan masih konvensional. Untuk pembuangan, masih mengandalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bantar Gerbang. Padahal kapasitas TPA ini sudah tidak bisa diandalkan. </p>
<p>Kota sebesar dan sekaya DKI Jakarta mestinya sudah harus memiliki pengolahan sampah sendiri seperti <a href="https://upst.dlh.jakarta.go.id/itf/index">ITF (Intermediate Treatment Facilities</a>). Meskipun <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/04/12415311/jakpro-berencana-bangun-3-hingga-4-itf-lain-di-jakarta">ITF ini juga sudah dimulai</a>, tak kalah pentingnya mengubah cara berpikir masyarakat dengan membangun pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang menghasilkan kompos, <em>re-use</em>, dan produk lainnya. Begitu juga dengan sistem pemilahan dan pengumpulan sampah dari rumah tangga ke tempat fasilitas pengolahan.</p>
<p>Dengan terus turunnya permukaan tanah dan meningginya permukaan air laut salah satu caranya adalah dengan membangun dam raksasa di sepanjang wilayah Jakarta Utara. Proyek <a href="http://fgb.itb.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/2016-05-28_Donny-Azdan.pdf">National Capital Integrated Coastal Development Masterplan (NCICD)</a> yang sudah direncanakan tahun 2011 dan sekarang redup karena efek isu reklamasi Jakarta perlu segera dibahas lagi oleh pemerintah pusat dan daerah. Tentu saja pra-syarat proyek ini adalah penyusunan rencana yang benar-benar komprehensif, terintegrasi dan objektif serta benar-benar memperhitungkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat. </p>
<p>Terakhir, guna mencegah penurunan permukaan tanah DKI Jakarta, harus ada peraturan daerah pelarangan penggunaan air tanah. Saat ini pemerintah DKI baru menerbitkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/61239">Peraturan Gubernur No. 38/2017 tentang Pungutan Pajak Air Tanah</a>. </p>
<h2>Faktor manusia</h2>
<p>Selain kebijakan struktural di atas, untuk mengurangsi risiko banjir adalah perilaku manusia juga perlu berubah. Komitmen, kedisiplinan, dan keberanian serta terobosan pengambil kebijakan sangat diperlukan–termasuk keberanian untuk menegakkan hukum secara konsisten. Saat sidak ke gedung-gedung <a href="https://metro.tempo.co/read/1074202/anies-baswedan-beri-efek-jera-ke-ge%5Ddung-yang-mencuri-air-tanah/full&view=ok">di Jalan Sudirman Jakarta tahun 2008</a>, misalnya, pemerintah DKI Jakarta hanya mengirimkan surat teguran kepada salah satu hotel yang melanggar peraturan daerah tentang sumur resapan, instalasi pengolahan limbah, dan pemanfaatan air tanah.</p>
<p>Kebijakan dan informasi seperti mitigasi bencana, kesiapsiagaan, peta rawan bencana, rencana evakuasi, peringatan dini harus disosialisasikan kepada masyarakat secara terus menerus. Kita perlu membudayakan kesiapsiagaan bencana. </p>
<p>Pendidikan bencana menjadi kunci ketahanan (bukan kepasrahan) masyarakat menghadapi banjir ke depan. Sikap dan perilaku sadar bencana tidak hanya untuk kesiapsiagaan. Bencana seperti banjir, memerlukan persepsi, kesadaran, kedisiplinan yang terus menerus. Misalnya, dengan tidak membuang sampah sembarangan dan budaya menjaga lingkungan. </p>
<p>Kini kita menunggu keputusan radikal dari pemerintah agar banjir besar seperti pada 1 Januari lalu tidak berulang.</p>
<hr>
<p><em>Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di <a href="https://theconversation.com/id/newsletters/sepekan-lingkungan-66">sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129324/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wignyo Adiyoso bekerja sebagai perencana pembangunan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Tulisan adalah pandangan pribadi.</span></em></p>Sudah banyak penelitian dan kajian, juga produk perencanaan, untuk menanggulangi banjir Jabodetabek. Namun sedikit yang sudah benar-benar telah dilaksanakan.Wignyo Adiyoso, Research Fellow at Research Centre of Conflict and Policy (RCCP) of Faculty of Administrative Sciences, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.