tag:theconversation.com,2011:/uk/topics/kesehatan-ibu-42258/articlesKesehatan ibu – The Conversation2022-12-01T04:33:47Ztag:theconversation.com,2011:article/1954482022-12-01T04:33:47Z2022-12-01T04:33:47ZKenapa pelibatan laki-laki dalam mencegah penularan HIV dari ibu ke anak begitu penting?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/498402/original/file-20221201-14-qla30.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas tenaga kesehatan melakukan screening dengan tes cepat HIV/AIDS kepada warga di Gasibu, Bandung, 20 November 2022. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1668932130&getcod=dom">ANTARA FOTO/Novrian Arbi/nz </a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini untuk memperingati Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember.</em></p>
<p>Pertumbuhan HIV di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat di dunia, dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33226314/">peningkatan kematian akibat AIDS naik 60% </a> dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun: dari 24.000 pada 2010 ke 38.000 pada 2018. </p>
<p>Peningkatan kasus HIV tidak hanya ditemukan pada <a href="https://www.unaids.org/en/topic/key-populations">kelompok berisiko</a> seperti lelaki seks dengan lelaki, pekerja seks, dan pengguna jarum suntik. <a href="https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%202020%20HIV.pdf">Hampir separuhnya (46%)</a> justru ditemukan pada kelompok tidak berisiko, termasuk ibu rumah tangga.</p>
<p>Peningkatan penularan HIV pada ibu rumah tangga memperbesar peluang penularan HIV <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33226314/">menyebar pada penduduk pada umumnya</a>. Penularan HIV bisa terjadi <a href="http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43728/1/9789241596015_eng.pdf">dari ibu ke anak</a> saat masa kehamilan, melahirkan, dan menyusui. </p>
<p>Salah satu masalahnya adalah ibu dengan HIV di Indonesia cenderung <a href="https://theconversation.com/riset-ungkap-bagaimana-para-perempuan-indonesia-yang-hidup-dengan-hiv-aids-berjuang-melawan-stigma-128115">terlambat mengetahui status HIV-nya</a>. Bahkan, sebagian dari mereka baru mengetahui status HV-nya ketika suaminya sudah sakit keras bahkan meninggal karena AIDS.</p>
<p>Lalu, bagaimana melibatkan pasangan (suami) dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) ketika deteksi HIV pada ibu dan pasangannya seringkali terlambat? </p>
<p>Studi tentang keterlibatan pasangan dalam PPIA yang telah dilakukan di Afrika menunjukkan keterlibatan pasangan berdampak positif terhadap penurunan penularan HIV dari ibu ke anak. Pelibatan ini juga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/">meningkatkan kesehatan ibu</a> dengan HIV secara fisik maupun mental saat masa kehamilan, melahirkan dan menyusui. </p>
<h2>Mengapa pencegahan gagal?</h2>
<p>Meski Indonesia telah melakukan upaya PPIA sejak hampir dua dekade yang lalu, <a href="https://data.unicef.org/topic/hivaids/emtct/">cakupan pelayanannya cenderung stagnan</a> dengan semakin banyak penularan HIV dari ibu ke anak.</p>
<p>Pelayanan PPIA yang terdiri dari pemeriksaan HIV, pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menekan <em>viral load</em>, konsultasi terkait metode melahirkan dan menyusui yang aman bagi ibu dan anak, <a href="https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf">telah terintegrasi</a> dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak sejak 2012. </p>
<p>Integrasi pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak diharapkan dapat meningkatkan akses ibu pada pelayanan HIV. Upaya ini juga dapat menghindari stigma karena setiap ibu hamil yang mengakses pelayanan prenatal akan mendapatkan pemeriksaan HIV.</p>
<p>Namun demikian, pada 2020, <a href="https://siha.kemkes.go.id/portal/perkembangan-kasus-hiv-aids_pims#">hanya sebagian ibu hamil</a> yang mendapatkan pemeriksaan HIV dan hanya 30% di antaranya yang mendapatkan pengobatan ARV. Kondisi ini masih sangat jauh dari <a href="https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/2021_start-free-stay-free-aids-free-final-report-on-2020-targets_en.pdf">target yang ditetapkan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS)</a> demi mengeliminasi penularan HIV, dengan cakupan 90% pemeriksaan HIV dan 90% pengobatan ARV. </p>
<p>Banyak <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0198329"></a><a href="https://www.researchgate.net/publication/337058026_Utilization_Factors_of_Prevention_Mother_to_Child_HIV_Transmission_PMTCT_Program_Among_Pregnant_Women">penelitian</a> yang telah berupaya untuk mengeksplorasi penyebab rendahnya akses dan pemanfaatan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/"></a><a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/70917/9789241503679_eng.pdf">Keterlibatan pasangan</a> menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan ibu untuk memanfaatkan pelayanan PPIA.</p>
<p>Dukungan pasangan, baik secara emosional, finansial dan fisik, mampu meningkatkan akses terhadap pemeriksaan HIV dan kepatuhan pengobatan ARV para ibu.</p>
<p>Negara-negara di benua Afrika, yang memiliki prevalensi HIV yang cukup signifikan, telah banyak mengeksplorasi keterlibatan pasangan dalam PPIA, faktor-faktor yang mendukung atau menghambat keterlibatan pasangan, serta dampak dari keterlibatan dalam membantu mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. </p>
<p>Di Indonesia, keterlibatan pasangan belum diupayakan secara mendalam dan umumnya hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi akses dan pemanfaatan pelayanan PPIA.</p>
<h2>Tantangan dan manfaat melibatkan pasangan</h2>
<p>Pelayanan PPIA yang umumnya diberikan pada ibu hamil merupakan bagian dari kesehatan ibu dan anak yang kerap dipandang sebagai urusan perempuan semata. </p>
<p>Padahal, budaya patriarki sering menempatkan pengambilan keputusan di tangan laki-laki, termasuk terkait akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh perempuan. </p>
<p>Studi di Afrika menunjukkan keterlibatan pasangan dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat menurunkan penularan tersebut. Pelibatan ini juga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/">bermanfaat positif bagi kesehatan ibu</a> dengan HIV, baik secara fisik maupun mental dari masa kehamilan hingga menyusui. </p>
<p><a href="https://reproductive-health-journal.biomedcentral.com/articles/10.1186/1742-4755-7-12"></a><a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29104275/">Keterlibatan pasangan</a> itu bentuknya mendukung ibu dalam mengakses pelayanan kesehatan berupa dukungan emosional. Misalnya, mengingatkan kapan ibu harus mengunjungi pelayanan kesehatan dan mengantarkan ke fasilitas kesehatan. Pasangan juga hadir pada saat kunjungan, ikut mendiskusikan kesehatan ibu dan anak termasuk metode melahirkan yang aman, pemenuhan gizi, perilaku seksual yang aman, serta memberi dukungan dalam kepatuhan pengobatan ARV. </p>
<p>Keterlibatan pasangan ini perlu dijaga agar tidak memperkuat persepsi peran laki-laki sebagai ‘pelindung’ perempuan dan meningkatkan kesenjangan ‘kuasa’ antara perempuan dan laki-laki.</p>
<p>Kabar baiknya, suami-suami Indonesia telah didorong untuk terlibat dalam pelayanan antenatal atau pemeriksaan kehamilan dan persiapan kelahiran melalui kampanye suami siaga <a href="https://assets.researchsquare.com/files/rs-114665/v1_covered.pdf?c=1631847380">sejak 1999</a>. <a href="https://academic.oup.com/heapol/article/32/8/1203/3897345?login=true">Hasilnya</a>, sebagian besar dari mereka telah terlibat dalam pelayanan antenatal dengan menemani saat pemeriksaan kehamilan maupun mendiskusikan rencana melahirkan.</p>
<p>Keterlibatan pasangan dalam pelayanan antenatal cukup berbeda dengan pelayanan PPIA karena HIV yang masih berkaitan erat dengan stigma di kalangan masyarakat, petugas kesehatan, bahkan di antara pasangan. </p>
<p>Stigma ini sering mencegah pemeriksaan HIV oleh ibu dan pasangannya serta meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga karena pasangan yang positif HIV dianggap tidak setia. Ini yang menjelaskan ibu dengan HIV di negeri ini cenderung terlambat terdeteksi status HIV-nya. </p>
<h2>Perlu riset lebih banyak</h2>
<p>Dampak positif dari keterlibatan pasangan dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) telah terbukti dalam <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/">studi di negara lain</a>.</p>
<p>Namun dengan keterlambatan deteksi HIV di Indonesia, kita perlu meneliti soal keterlibatan pasangan dalam PPIA.</p>
<p>Kajian tentang relevansi, konteks, dan dampak keterlibatan pasangan pada akses dan cakupan pemeriksaan HIV pada ibu dan perempuan usia reproduktif perlu diperbanyak.</p>
<p>Permasalahan HIV di Indonesia begitu kompleks karena melibatkan banyak faktor. Mulai dari sistem pelayanan kesehatan, komitmen politik, stigma dan diskriminasi, dukungan pasangan dan keluarga, serta pengetahuan dan kesadaran individu. </p>
<p>Studi terkait keterlibatan pasangan dalam PPIA akan lebih memberikan pengetahuan dan ‘amunisi’ bagi pembuat kebijakan dan pelaksana program PPIA sebelum memutuskan untuk lebih mendorong keterlibatan suami. Misalnya, dengan memperkuat lagi program suami siaga khususnya di kalangan keluarga dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah. </p>
<p>Kita juga perlu meningkatkan kesetaraan gender dan menantang nilai gender tradisional bahwa kesehatan ibu dan anak hanyalah urusan perempuan. Selain itu, pelayanan kesehatan ibu dan anak perlu dimodifikasi agar lebih ‘ramah’ pada ibu dengan HIV serta pasangannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195448/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Marya Yenita Sitohang tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan peningkatan kasus HIV di kalangan ibu rumah tangga Indonesia, penularan HIV dari ibu ke anak semakin nyata. Upaya pencegahan seringnya hanya menargetkan ibu tanpa melibatkan pasangannya.Marya Yenita Sitohang, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1879832022-08-31T09:06:55Z2022-08-31T09:06:55ZRiset tunjukkan mayoritas persalinan selama pandemi melalui sesar, hak asasi kesehatan perempuan terampas<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/481750/original/file-20220830-17833-luuuk8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Operasi sesar untuk melahirkan bayi begitu populer selama pandemi.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/doctor-and-nurses-performs-caesarean-section-in-hospital-12116867/">Isaac Hermar/Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Selama pandemi COVID-19, persalinan sesar mendominasi beberapa rumah sakit rujukan di Indonesia. Penelitian terbaru saya dan kolega – laporannya sedang direview oleh ilmuwan sejawat – bertema pelayanan kesehatan ibu hamil di salah satu rumah sakit rujukan tingkat provinsi di Jawa Timur. Hasilnya menunjukkan lebih dari setengah pasien COVID-19 (53,9%) maupun non-COVID-19 (52,4%) bersalin dengan metode sesar. </p>
<p>Riset <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8784935/">lain di RS Universitas Airlangga Surabaya</a> juga menyatakan 63,3% pasien non-COVID-19 dan 71,7% pasien COVID-19 bersalin menggunakan metode sesar. Metode persalinan serupa digunakan 80% ibu suspek COVID-19 dan 64% positif COVID-19 yang bersalin di <a href="https://jurnal.ikbis.ac.id/infokes/article/download/260/155">RSUD Wangaya Denpasar</a> pada April sampai Mei 2021, serta 86,7% persalinan pasien COVID-19 di <a href="https://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/viewFile/2229/pdf">RSUP Dr. Kariadi Semarang</a> pada periode yang sama.</p>
<p>Penelitian secara global pun <a href="https://obgyn.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/ijgo.13376">melaporkan</a> bahwa intervensi medis sering terjadi pada perempuan bersalin pada awal pandemi, seperti induksi persalinan dan persalinan sesar. </p>
<p>Hal itu merupakan masalah besar karena perempuan kerap “tak berdaya” berhadapan dengan “rezim kekuasaan medikalisasi berlebihan” dari dokter kandungan dan rumah sakit. Jauh sebelum ada pandemi, ada ketimpangan pengetahuan (dan kekuasaan) medis antara dokter dan pasien dan keluarganya. </p>
<p>Perempuan seharusnya memiliki hak untuk <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7656141/pdf/medethics-2020-106526.pdf">menentukan metode persalinan</a> apa yang akan mereka pilih sebagai pertimbangan keberlangsungan tubuh mereka ke depan. </p>
<p>Minimnya otoritas perempuan dalam pengambilan keputusan pada proses persalinan adalah salah satu bentuk <a href="https://obgyn.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/ijgo.13376">perampasan hak asasi persalinan</a>. Sebenarnya, seseorang berhak menentukan apa yang akan terjadi pada tubuhnya serta menyetujui maupun menolak intervensi medis yang akan mereka dapatkan.</p>
<h2>Hak asasi dan persalinan selama pandemi</h2>
<p>Perlu kita tekankan bahwa hak asasi dalam proses persalinan juga menjadi bagian dari hak-hak kesehatan reproduksi. Persalinan yang tidak mengedepankan sifat-sifat <em>respect</em> dan cenderung mendekati kekerasan, seperti operasi sesar, menjadi salah satu sorotan. </p>
<p>Salah satu bentuk penyimpangan dalam hal ini adalah minimnya otoritas perempuan untuk memilih pelayanan yang akan mereka dapatkan pada proses persalinan. </p>
<p>Bahkan, <a href="https://reproductive-health-journal.biomedcentral.com/track/pdf/10.1186/s12978-016-0264-3.pdf">Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> menyoroti medikalisasi berlebihan (<em>over-medicalised</em>) pada proses persalinan. </p>
<p>Beberapa kebijakan yang diambil selama pandemi COVID-19 difokuskan pada pencegahan penyebaran wabah. Namun hal ini justru mengeliminasi <a href="http://humanrightsinchildbirth.org/wp-content/uploads/2020/05/Human-Rights-in-Childbirth-Pregnancy-Birth-and-Postpartum-During-COVID19-Report-May-2020.pdf">hak asasi pada proses persalinan</a>. </p>
<p>Keterbatasan sumber daya selama pandemi COVID-19 menyebabkan perempuan tidak dapat memilih metode persalinan apa yang akan mereka dapatkan. Kondisi ini memiliki dampak pada psikologis perempuan. </p>
<p>Sebuah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32913116/">penelitian di Inggris</a> menyatakan bahwa ibu yang bersalin selama pandemi COVID-19 memiliki rasa trauma dan depresi yang lebih tinggi. </p>
<p>Bahkan, keterbatasan perempuan untuk memilih pengobatan, tempat persalinan dan pemilihan metode persalinan yang sesuai keinginannya membuat mereka mengalami <a href="https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s00404-021-06310-5.pdf">depresi pascapersalinan</a>. </p>
<p>Kita sangat berharap pengendalian COVID tidak merampas hak kesehatan reproduksi, khususnya persalinan. Persalinan menjadi sebuah peristiwa yang alami dan tentunya akan menimbulkan sebuah rasa trauma untuk persalinan ke depan jika tidak dilakukan sebuah pelayanan yang menekankan pada <em>respect</em>. </p>
<h2>Kurang bukti</h2>
<p>Sedikitnya bukti berbasis riset (<em>evidence-based</em>) terkait hubungan metode persalinan dan COVID-19 menjadikan sesar semakin berkembang sebagai jalan tengah untuk mencegah penularan virus. Misalnya saja, persalinan sesar digunakan untuk mencegah transmisi COVID-19 dari ibu kepada bayi.</p>
<p>Dalam kondisi normal, persalinan sesar harus mempertimbangkan indikasi medis <a href="https://theconversation.com/mengapa-persalinan-sesar-naik-drastis-sejak-ada-jkn-dan-apa-dampaknya-bagi-ibu-146110">seperti kelainan letak janin, ari-ari menutupi jalan lahir</a>, janin besar, janin dalam posisi sungsang, denyut jantung janin melemah saat proses kelahiran, panggul sempit, dan lainnya.</p>
<p>Sebenarnya, beberapa referensi tidak merekomendasikan persalinan sesar sebagai jalan untuk mencegah penuran virus ini selama pandemi. Misalnya, penelitian yang dimuat <em>The Lancet</em> menyatakan <a href="https://doi.org/10.1111/1471-0528.16278">persalinan melalui vagina</a> mampu menurunkan risiko penularan COVID-19 dari ibu kepada bayi. </p>
<p>Sebuah artikel review pun menjelaskan bahwa COVID-19 seharusnya bukan menjadi alasan mutlak penentuan metode persalinan sesar, melainkan harus mempertimbangkan indikasi medis yang dimiliki. </p>
<p>Realitas yang ditemukan <a href="https://e-journal.unair.ac.id/MOG/article/view/25471">dalam suatu review</a> juga menyatakan bahwa persalinan pervaginam justru terbukti dapat menurunkan risiko penularan dari ibu kepada bayi.</p>
<p>Pada awal pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merekomendasikan hal ini. </p>
<p><a href="https://pogi.or.id/publish/rekomendasi-penanganan-infeksi-virus-corona-covid-19-%20pada-maternal">Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI)</a> mengikuti kebijakan yang dibuat oleh dunia dengan mengeluarkan sebuah rekomendasi persalinan sesar untuk pasien COVID-19. </p>
<p>Lebih lanjut, terjadi perubahan rekomendasi terkait hal ini, pemilihan metode persalinan pada ibu positif COVID-19 dilakukan berdasarkan indikasi medis yang mendukung. COVID-19 <a href="https://pogi.or.id/publish/rekomendasi-penanganan-infeksi-virus-corona-covid-19-pada-maternal/">bukan lagi menjadi indikasi</a> mutlak dalam pemilihan metode persalinan sesar. </p>
<h2>Sistem kesehatan kolap sebagai penyebab</h2>
<p>Lemahnya sistem pelayanan kesehatan dalam menghadapi bencana COVID-19 begitu nyata. Banyaknya tenaga kesehatan yang tumbang karena COVID-19 mengindikasikan pemilihan persalinan sesar kepada pasien COVID-19. Keputusan ini dimaksudkan agar penularan virus COVID-19 kepada petugas kesehatan dapat dicegah. </p>
<p>Apalagi, alat pelindungan diri (APD) yang menjadi senjata utama terkait pencegahan penularan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8784935/">masih minim</a>. Kesiapan APD memang menjadi problem Indonesia dalam menghadapi bencana pandemi ini. </p>
<p>Pada awal pandemi, ketersediaan APD seperti makser N95, <em>face shield</em>, dan hazmat sangatlah kurang. Bahkan, tenaga kesehatan harus menggunakan <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpubh.2021.649819/full">APD yang didaur ulang</a> untuk melakukan sebuah pelayanan.</p>
<p>Beberapa kebijakan yang dimaksudkan untuk menurunkan risiko penularan justru merenggut hak perempuan untuk memberikan pendapat mengenai persalinannya. Misalnya, keterbatasan APD menginisiasi rumah sakit untuk membuat kebijakan persalinan sesar kepada perempuan dengan COVID-19 untuk menurunkan penularan ke tenaga kesehatan. </p>
<p>Disrupsi fasilitas kesehatan selama pandemi COVID-19 menjadi sebuah pelajaran bagi setiap negara untuk melakukan persiapan mitigasi bencana kesehatan. Sehingga, tidak ada lagi intervensi kesehatan yang <a href="https://gh.bmj.com/content/bmjgh/7/1/e007247.full.pdf">belum memiliki <em>evidence</em> pasti dilakukan</a>.</p>
<p>Perlu kita ingat bahwa persalinan sesar memberikan dampak medis lainnya pada perempuan seperti perdarahan dan infeksi. Selain itu, persalinan sesar juga memberikan dampak psikologis perempuan serta memimalkan ruang antara ibu dan bayi selama pascapersalinan. </p>
<p>Bahkan, <a href="https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-022-04473-w">sebuah penelitian menyatakan</a> bahwa kualitas hidup perempuan yang bersalin dengan metode pervaginam cenderung lebih baik dibandingkan dengan persalinan sesar. </p>
<p>Karena itu, perempuan harus diberi otoritas untuk memutuskan metode persalinan mana yang dipilih. Tentu saja keputusan itu juga perlu mempertimbangkan indikasi medis yang akurat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187983/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sofia Al Farizi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bahkan, sebuah penelitian menyatakan bahwa kualitas hidup perempuan yang bersalin dengan metode pervaginam cenderung lebih baik dibandingkan dengan persalinan sesar.Sofia Al Farizi, Lecturer in midwifery, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1865532022-08-05T04:56:23Z2022-08-05T04:56:23ZRiset: suami di perkotaan lebih banyak terlibat dalam pemeriksaan kehamilan istri dibanding suami di pedesaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/477307/original/file-20220803-12-gcde68.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bidan memeriksa kesehatan janin dari ibu hamil di sebuah klinik di Karawang, Jawa Barat, 19 Juli 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1658241607">ANTARA FOTO/Andi Bagasela/wsj/hp</a></span></figcaption></figure><p>Di banyak negara, termasuk Indonesia, laki-laki atau suami adalah pengambil keputusan utama dalam rumah tangga. Kondisi ini secara efektif menjadi penentu akses istri atau perempuan ke pelayanan kesehatan ibu terkait kehamilan.</p>
<p>Mayoritas suami mendukung pasangannya dalam pemanfaatan layanan perawatan ibu hamil secara finansial, tapi kurang terlibat dalam mempersiapkan kelahiran dan perawatan setelah melahirkan. Beberapa studi di berbagai negara menunjukkan bahwa salah satu hambatan dalam pemanfaatan pemeriksaan kehamilan adalah rendahnya <a href="https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-019-2414-4;%20https://reproductive-health-journal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12978-019-0808-4;%20https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-019-2661-4">dukungan dan keterlibatan suami</a>.</p>
<p>Riset <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/22799036221104156">terbaru saya</a>, berdasarkan data Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia 2017, menunjukkan para suami yang tinggal di area perkotaan lebih tinggi keterlibatannya dalam pemeriksaan kehamilan istri dibanding suami yang tinggal di area pedesaan. Faktor pendidikan, pekerjaan dan ekonomi yang lebih baik dari suami juga memengaruhi level keterlibatan mereka dalam pemeriksaan kehamilan istri. </p>
<h2>Kematian ibu di Indonesia begitu tinggi</h2>
<p>Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia memang telah turun cukup signifikan, namun masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)<a href="https://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-3/">pada 2030, yakni 70 per 100.000 kelahiran hidup</a>.</p>
<p>Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010, AKI Indonesia berada pada angka <a href="http://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-ibu.pdf">346 kematian</a> ibu per 100.000 kelahiran hidup. Lima tahun kemudian, berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, AKI turun menjadi menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia pada 2015, yang menargetkan pada angka 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.</p>
<p>Bila kita bandingkan dengan negara-negara lain di kawasan di Asia Tenggara, angka kematian ibu di Indonesia termasuk paling tinggi, tercatat 9 kali lebih tinggi dibanding Malaysia, 5 kali dibanding Vietnam, dan hampir 2 kali lipat dibanding Kamboja. </p>
<p>Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan <a href="https://www.unfpa.org/publications/trends-maternal-mortality-1990-2015">AKI di negara maju</a> pada angka 12 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Sementara di negara berkembang diperkirakan pada angka 239 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.</p>
<p>Strategi utama pemerintah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu adalah dengan pemeriksaan kehamilan atau <em>antenatal care</em> (ANC). ANC merupakan upaya sejak dini untuk memantau dan menjaga kesehatan dan keselamatan ibu dan janin. Dalam hal ini termasuk mendeteksi segala komplikasi kehamilan dan mengambil tindakan yang diperlukan, menanggapi keluhan, mempersiapkan kelahiran, serta mempromosikan perilaku hidup sehat. </p>
<p>ANC penting untuk mendeteksi dan mencegah lebih dini semua kondisi yang tidak diinginkan dalam masa kehamilan. Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar <a href="https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf">(Riskesdas) tahun 2018</a>, cakupan ANC pada kunjungan pertama mencapai 86,0%. </p>
<p>Sedangkan kunjungan keempat ANC pada kisaran 74,1%. Masih ada lebih dari seperempat ibu hamil di Indonesia yang belum melakukan ANC dengan optimal.</p>
<p>Kehadiran suami dalam proses pemeriksaan kehamilan sampai persalinan yang dilalui istri sangat rendah. Kurangnya dukungan suami menjadi alasan perempuan menunda mencari perawatan kesehatan ibu.</p>
<p>Studi di <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0215635">Laos</a> dan <a href="https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-018-1882-2">Bangladesh</a> memperkuat informasi bahwa keterlibatan suami merupakan determinan kesinambungan perawatan ibu. Suami yang menemani istrinya ketika menerima layanan kesehatan berkorelasi positif dengan pemanfaatan layanan pemeriksaan ibu dan kesehatan bayi baru lahir.</p>
<p>Di Indonesia, pada awal 2000 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan “<a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28666325/">Suami Siaga</a>”. Kebijakan ini dirilis untuk menyikapi tingginya AKI di Indonesia. </p>
<p>“Suami Siaga” merupakan kampanye nasional yang berupaya mempromosikan tentang partisipasi suami dalam program kesehatan ibu dan anak di Indonesia. </p>
<p><a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28666325/">Hasil evaluasi sebelumnya</a>, tahun 2012, menunjukkan keterlibatan suami dalam Suami Siaga terbukti bermanfaat meningkatkan pemanfaatan ANC di Indonesia.</p>
<h2>Profil suami peduli kehamilan istri</h2>
<p>Hasil riset saya menemukan empat faktor yang berkaitan dengan keterlibatan suami dalam ANC istri.</p>
<p><em>Pertama</em>, suami yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terlibat dalam pemeriksaan kehamilan dibanding suami yang tinggal di di pedesaan. Secara umum, di Indonesia akses masyarakat cenderung lebih terbuka di wilayah urban, termasuk akses ke informasi dan pelayanan kesehatan. </p>
<p><em>Kedua</em>, semakin tinggi pendidikan suami, semakin mereka punya kesadaran untuk terlibat dalam pemeriksaan kehamilan istri. Semakin baik tingkat pendidikan, maka mereka semakin memahami dan peduli pada proses pemeriksaan ibu yang dialami oleh istri. </p>
<p>Studi sebelumnya di <a href="https://www.healthynewbornnetwork.org/resource/thats-a-womans-problem-a-qualitative-analysis-to-understand-male-involvement-in-maternal-and-newborn-health-in-jigawa-state-northern-nigeria/">Nigeria</a> menunjukkan bahwa keterlibatan laki-laki dalam proses kehamilan sampai persalinan perempuan sangat terbatas. Kondisi ini terjadi bukan hanya karena tingkat pendidikan yang rendah, tapi karena norma sosial yang berlaku di negara tersebut. Laki-laki Nigeria beranggapan bahwa kehamilan dan persalinan adalah urusan perempuan.</p>
<p><em>Ketiga</em>, suami yang bekerja di bidang apa pun memiliki kemungkinan lebih baik untuk terlibat dalam pemeriksaan kehamilan istri. Temuan ini menunjukkan bahwa suami yang tidak bekerja, yang lebih memiliki banyak waktu, bukan penentu untuk mau terlibat dalam proses pemeriksaan ibu yang dilalui istri.</p>
<p><em>Keempat</em>, semakin baik tingkat ekonomi suami, semakin memiliki keterlibatan dalam pemeriksaan kehamilan istri. </p>
<p>Hasil penelitian ini sejalan dengan studi sebelumnya di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28657374/#:%7E:text=Fathers'%20antenatal%20involvement%20was%20associated,of%20birth%20showed%2083.8%25%20compliance.">Pakistan</a>, <a href="https://jhpn.biomedcentral.com/articles/10.1186/s41043-018-0153-1">Eritrea</a>, dan <a href="https://reproductive-health-journal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12978-017-0412-4">Ethiopia</a>. Peningkatan keterlibatan suami pada pasangan dengan status ekonomi yang baik dapat mengurangi keterlambatan pemeriksaan kehamilan.</p>
<h2>Meningkatkan peran suami</h2>
<p>Dukungan suami kepada pasangannya adalah perilaku yang baik yang perlu didorong praktiknyap selama kehidupan perkawinan. </p>
<p>Para suami yang mendukung pasangan mereka selama kehamilan dan persalinan menganggap diri mereka sebagai laki-laki modern. Para suami membiarkan istrinya memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat selama kehamilan dengan mengambil alih tugas domestik, di samping, tentu saja, tugas pokok sebagai suami.</p>
<p>Keterlibatan suami yang aktif, terbukti berkorelasi kuat dengan kewaspadaan dan peningkatan pengetahuan istri tentang tanda-tanda bahaya persalinan dan bayi baru lahir. </p>
<p>Informasi ini memberi sinyal bahwa bukan hanya kesadaran akan keterlibatan suami yang perlu terus ditingkatkan, tapi juga pada para pemberi layanan kesehatan ibu, untuk juga aktif memberi informasi kepada para suami.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/186553/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Publikasi riset ini dibiayai oleh Universitas Airlangga Surabaya. </span></em></p>Keterlibatan suami yang aktif, terbukti berkorelasi kuat dengan kewaspadaan dan peningkatan pengetahuan istri tentang tanda-tanda bahaya persalinan dan bayi baru lahir.Agung Dwi Laksono, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1618482021-08-20T07:40:22Z2021-08-20T07:40:22ZAlasan mengapa Indonesia gagal turunkan angka kematian ibu melahirkan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/416676/original/file-20210818-23-1ft3r79.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sejumlah ibu hamil antre mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 di Taman Hutan Joyoboyo, Kota Kediri, Jawa Timur 7 Agustus 2021.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1628319009">ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww</a></span></figcaption></figure><p>Dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah Indonesia berupaya lebih keras menurunkan angka kematian ibu melahirkan melalui program <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/8226-10432_IndonesiaJKNAccesstoMNHservicesBahasa.pdf">Jaminan Persalinan (2011-2014)</a> yang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4021700/pdf/jhpn0031-suppl-2-0081.pdf">meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil</a>. </p>
<p>Program serupa berlanjut melalui <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/8226-10432_IndonesiaJKNAccesstoMNHservicesBahasa.pdf">Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)</a> sejak 2014. Namun, hambatan aksesibilitas pelayanan kesehatan masih terlihat jelas selama implementasi JKN.</p>
<p>Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia pada 2015 masih mencapai <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf">305 per 100.000 kelahiran hidup </a>, masih jauh dari target <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf">102 per 100.000 kelahiran hidup (KH) pada 2015</a>. </p>
<p>Bahkan, Indonesia memiliki <a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/324835/9789241565707-eng.pdf">jumlah kematian ibu yang cukup besar</a> jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara pada 2017. Saat itu, kematian ibu di Indonesia mencapai 177 kematian per 100.000 kelahiran hidup, Thailand (20), Brunei (23), Malaysia (40), Vietnam (54), dan Filipina (144).</p>
<h2>Masalah ongkos transportasi dan jarak</h2>
<p>Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 membuka temuan bahwa <a href="http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf">16% persalinan masih terjadi di rumah</a>. Melahirkan di rumah akan meningkatkan risiko komplikasi seperti perdarahan pasca persalinan atau kejang pada kehamilan yang berujung pada kematian ibu. </p>
<p>Jumlah ibu yang memeriksakan kandungannya <a href="http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf">hingga 4 kali</a> selama kehamilan baru mencapai 74%, belum memenuhi target 76%. </p>
<p>Banyak faktor yang berkontribusi terhadap aksesibilitas pelayanan kesehatan, di antaranya distribusi dan lokasi fasilitas kesehatan, jarak tempuh, transportasi dan biaya. </p>
<p>Dalam konteks biaya, setidaknya ada dua jenis biaya untuk menurunkan angka kematian ibu melahirkan yakni biaya langsung untuk pelayanan kesehatan (jasa dokter dan vitamin) di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit. Biaya ini sudah ditanggung oleh JKN. </p>
<p>Satu lagi biaya tidak langsung tapi juga ikut berpengaruh. Misalnya, ongkos transportasi menuju Puskesmas dan rumah sakit dan biaya untuk orang yang menunggu atau mengantar di rumah sakit, seperti beli makan dan minum. </p>
<p>Jauhnya jarak tempuh dan mahalnya biaya transportasi antara rumah dan Puskemas atau rumah sakit merupakan masalah yang umum yang terjadi di daerah infrastruktur yang jalannya belum bagus dan di kelompok miskin.</p>
<p>Semakin jauh jarak rumah sakit atau Puskesmas dengan rumah berhubungan dengan <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17647_PBHealthInsurance.pdf">rendahnya persalinan di fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai</a>. Sebab, jarak yang jauh membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya lebih besar. </p>
<p>Masalah ini bukan “khas” di luar Jawa.</p>
<p>Sebuah analisis data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menunjukkan <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0224006">disparitas pemeriksaan kehamilan di daerah</a> masih terjadi sampai saat ini. </p>
<p>Perempuan di Indonesia timur cenderung mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan kehamilan. Beberapa daerah yang tidak tergolong daerah terpencil di Pulau Jawa pun ikut merasakan kesulitan mengakses pelayanan kesehatan. </p>
<h2>Masalah di kelompok miskin dan terpencil</h2>
<p><a href="http://repository.unair.ac.id/79502/">Riset saya</a> di Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi Jawa Timur pada 2018 menunjukkan jarak dan transportasi merupakan faktor yang mempersulit akses pelayanan kesehatan pada ibu hamil, terutama kelompok miskin. </p>
<p>Selain jarak dan mahalnya transportasi, terungkap dalam riset ini bahwa pemeriksaan kehamilan atau Antenatal Care (ANC) yang dilakukan secara lengkap (4 kali) juga <a href="https://dinkes.banyuwangikab.go.id/portal/">tidak memperlihatkan angka yang memuaskan </a> selama implementasi JKN. </p>
<p>Pada 2016, cakupan ANC di Puskesmas Pesanggaran hanya sekitar 60,%. Angka ini menjadi cakupan terendah, jika dibandingkan dengan Puskesmas lain di Pesanggaran. Bahkan, hanya 59,4% komplikasi kehamilan yang dapat ditangani oleh Pukesmas Pesanggaran pada 2019.</p>
<p>Sebuah <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17647_PBHealthInsurance.pdf">riset pada 2018-2019</a>, melibatkan sampel 4.340 perempuan usia subur, tentang kontribusi Jaminan Kesehatan Nasional terhadap penurunan kematian ibu menyatakan pemanfaatan jaminan kesehatan <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17647_PBHealthInsurance.pdf">didominasi oleh orang-orang yang tingkat perekonomian sedang sampai tinggi</a>. </p>
<p>Ibu dari <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17648_PBHealthInsuranceInd.pdf">kelompok terkaya memiliki peluang untuk melahirkan di rumah sakit 1,8 kali lebih tinggi</a> dibandingkan kelompok termiskin.</p>
<p>Sebagian besar kematian ibu <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0217386">terjadi di luar Provinsi Jawa dan Bali</a>, khususnya pada daerah yang terpencil. Pemerintah, dalam periode 2020-2024, mengkalkulasi bahwa daerah tertinggal di Indonesia <a href="https://www.kemendesa.go.id/berita/view/detil/3261/ini-daerah-tertinggal-menurut-perpres">mencapai 62 kabupaten</a> di beberapa provinsi luar Jawa dan Bali. </p>
<p>Jadi cukup jelas bahwa implementasi jaminan kesehatan di Indonesia <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17648_PBHealthInsuranceInd.pdf">tidak mampu mengatasi semua kesulitan akses pelayanan kesehatan</a> dan <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17648_PBHealthInsuranceInd.pdf">hambatan transportasi</a>. </p>
<p>Bagi perempuan di daerah terpencil, <a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/17359-17648_PBHealthInsuranceInd.pdf">mereka harus mengeluarkan biaya transportasi</a> yang cukup besar untuk menyewa kendaraan udara atau laut. </p>
<h2>Solusi</h2>
<p>Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa kematian ibu dapat diturunkan <a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/324835/9789241565707-eng.pdf">dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas</a> sebelum, selama, dan setelah persalinan. </p>
<p><a href="http://www.healthpolicyplus.com/ns/pubs/8226-9416_HPPlusIndonesiaJKNAccesstoMNHservices.pdf">Skema pembiayaan</a> menjadi faktor penting untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Skema jaminan kesehatan seperti JKN menjadi angin segar bagi penurunan kematian ibu. Apalagi, JKN juga menjangkau kelompok miskin yang tergabung dalam JKN yang disubsidi pemerintah. </p>
<p>JKN memang sebuah solusi untuk menurunkan kesulitan berkaitan biaya pelayanan kesehatan. Namun jarak antara rumah dengan fasilitas kesehatan yang terlalu jauh dan buruknya sarana transportasi dapat menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, khususnya persalinan di tenaga kesehatan. Hal ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perempuan dari keluarga berpendapatan rendah. </p>
<p>Setiap tahun ada <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf">sekitar 4,7 juta kelahiran</a> di Indonesia.</p>
<p>Tujuan jaminan kesehatan untuk menurunkan angka kematian ibu akan lebih terwujud jika diimbangi dengan upaya meminimalkan faktor yang menghambat aksesibilitas lainya. </p>
<p>Misalnya, pemerintah memberikan jaminan biaya perjalanan rujukan ibu hamil dari rumah ke rumah sakit atau Puskesmas. Proses yang dilalui untuk menuju fasilitas kesehatan tidak hanya berkaitan dengan transportasi.</p>
<p>Sehingga, walau sudah tersedia mobil ambulans, aksesibilitas masih dirasa susah karena biaya operasional lainya, seperti biaya makan bagi pendamping atau orang yang menemani saat bersalin. </p>
<p>Selain itu, pendapatan yang berkurang karena tidak bisa bekerja serta uang yang dikeluarkan untuk menggantikan merawat anak yang ada di rumah juga menjadi pertimbangan. Segala biaya tidak langsung ini juga menjadi pertimbangan pada pengambilan keputusan, misalnya, di <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0184830">Ghana</a> dan <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0093025">Papua New Guinea</a>. </p>
<p>Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang merata juga menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk menurunkan angka kematian ibu. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan problem ekonomi, melainkan kesehatan karena berkaitan dengan aksesibilitas. </p>
<p>Sebuah usulan lain adalah pemerintah membuat inovasi pelayanan kesehatan melalui <em>telemedicine</em>, misalkan pemeriksaan kehamilan yang dilakukan secara online. Sehingga, perempuan hamil tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan operasional lainnya. </p>
<p>Dalam konteks ini, pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur internet agar jaringan komunikasinya lebih lancar dan terjangkau.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/161848/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sofia Al Farizi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tujuan jaminan kesehatan untuk menurunkan angka kematian ibu akan lebih terwujud jika diimbangi dengan upaya meminimalkan faktor yang menghambat aksesibilitas lainya.Sofia Al Farizi, Lecturer in midwifery, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1653612021-07-30T06:28:35Z2021-07-30T06:28:35ZOlimpiade Tokyo menjadi Olimpiade bersejarah bagi para ibu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/413899/original/file-20210730-15-11cl3dc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sprinter Amerika Allyson Felix merayakan bersama putrinya Camryn setelah finis kedua dalam lomba lari 400 meter putri di US Olympic Track and Field Trials pada 20 Juni.</span> <span class="attribution"><span class="source">AP Photo/Ashley Landis</span></span></figcaption></figure><p>Pada Maret lalu, Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan Komite Penyenggara Olimpiade Tokyo 2020 <a href="https://olympics.com/ioc/news/tokyo-2020-first-ever-gender-balanced-olympic-games-in-history-record-number-of-female-competitors-at-paralympic-games">mengumumkan bahwa Olimpiade Tokyo akan menjadi “Olimpiade pertama yang berimbang secara gender dalam sejarah.”</a> </p>
<p>Ketimpangan gender dalam olahraga <a href="https://www.athleteassessments.com/gender-equality-debate/">sudah lama terjadi</a>. Para laki-laki secara historis mendominasi olahraga papan atas selama berabad-abad, tapi sebagian berkat advokasi organisasi seperti IOC Women in Sport Commission, representasi perempuan global dalam olahraga kini lebih besar dibanding sebelumnya. </p>
<p>Pusat dari gerakan ini adalah peningkatan visibilitas atlet perempuan papan atas yang bersaing dan berhasil di Olimpiade, menginspirasi atlet Olimpiade perempuan masa depan di seluruh dunia. Namun, hambatan utama masih tetap ada, terutama yang dihadapi oleh para atlet yang juga menjadi ibu. </p>
<h2>Menyusui di Olimpiade</h2>
<p>Para ibu telah berkompetisi di Olimpiade sejak Olimpiade Paris 1900 ketika atlet perempuan <a href="https://olympics.com/en/athletes/margaret-ives-abbott">pertama kali berpartisipasi</a>. Tapi Olimpiade Tokyo 2020 telah menonjolkan hambatan yang dihadapi oleh para ibu dan para calon ibu saat mereka bersaing untuk mendapatkan tempat yang didambakan dalam daftar Olimpiade. </p>
<p>Pemain basket veteran Kanada Kim Boucher baru-baru ini membuat <a href="https://twitter.com/CBCOlympics/status/1408152397214539779?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1408587245917986825%7Ctwgr%5E%%205Es3_&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.cbc.ca%2Fsports%2Folympics%2Fsummer%2Fbasketball%2Folympics-canada-basketball-kim-gaucher-breastfeeding-1.6078717">permohonan melalui media sosial</a> agar diizinkan membawa putrinya yang berusia tiga bulan (yang masih menyusui) ke Tokyo. Jawaban awal panitia penyelenggara adalah tidak, mengingat pembatasan pandemi. Ketika tekanan media internasional meningkat, sikap komite berubah. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1408152397214539779"}"></div></p>
<p>Dalam <a href="https://www.cbc.ca/sports/olympics/summer/basketball/olympics-canada-basketball-kim-gaucher-breastfeeding-1.6078717">sebuah pernyataan kepada <em>CBC</em></a>, panitia mengatakan: kami memahami bahwa tidak ada anak-anak yang tinggal di Desa Olimpiade (pusat penginapan para atlet) selama Olimpiade sebelumnya. Namun demikian, mungkin ada keadaan khusus, terutama yang berkaitan dengan anak-anak bayi.“</p>
<p>Dengan keputusan itu, Boucher dan putrinya <a href="https://www.cbc.ca/sports/olympics/summer/basketball/tokyo-organizers-allow-nursing-mothers-bring-children-to-olympics-1.6085847?utm_content=buffer1222b&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer">akan menghadiri Olimpiade bersama-sama</a>. </p>
<h2>Pertarungan menuju kualifikasi</h2>
<p>Pada 2018, impian petinju Olimpiade Kanada Mandy Bujold untuk memulai sebuah keluarga menjadi kenyataan ketika putrinya lahir.</p>
<p>Mengetahui dia ingin bersaing di Olimpiade lainnya, Bujold mengarahkan pandangannya ke Tokyo 2020. Rencananya hampir tertunda ketika gugus tugas tinju Komite Olimpiade Internasional mengumumkan bahwa kriteria kualifikasi untuk Olimpiade Tokyo akan didasarkan pada peringkat di tiga turnamen, yang Bujold tidak berkompetisi <a href="https://www.cbc.ca/sports/olympics/summer/boxing/mandy-bujold-olympic-box-cas-appeal-the-moment-my-olympic-dream-was-almost-taken-from-me-1.6084647?__vfz=medium%3Dsharebar">karena kehamilannya</a>.</p>
<p>Bujold melawan, membawa kasusnya ke Pengadilan Arbitrase Olahraga, yang <a href="https://www.cbc.ca/sports/olympics/summer/boxing/mandy-bujold-tokyo-olympics-1.6085623">memutuskan pada 30 Juni</a> bahwa akomodasi atau penyesuaian harus dibuat untuk perempuan yang sedang hamil atau setelah melahirkan selama periode kualifikasi. </p>
<h2>Para ibu menciptakan gelombang</h2>
<p>Setelah hampir dua dekade karir yang berhasil meraih enam medali emas Olimpiade selama empat Olimpiade dan kemenangan kejuaraan dunia yang tak terhitung jumlahnya, sprinter Amerika Allyson Felix bisa saja pensiun dengan warisan yang tak tertandingi di trek dan lapangan ketika dia hamil pada 2019.</p>
<p>Tapi dia tidak melakukannya. Sebaliknya, pemegang banyak medali emas Olimpiade ini kembali ke Tokyo untuk Olimpiade kelimanya — dan yang pertama sebagai seorang ibu. </p>
<p>Setelah putus dengan sponsor lama Nike, advokasi vokal Felix telah memaksa perusahaan besar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka mendukung atlet perempuan sebelum dan sesudah kehamilan.</p>
<p>Tak lama setelah menghadapi reaksi publik terkait perlakuannya terhadap atlet hamil seperti Felix, Nike mengumumkan <a href="https://www.washingtonpost.com/sports/2019/08/16/under-fire-nike-expands-protections%20-pregnant-athletes/">kebijakan bersalin baru</a> untuk atlet yang disponsori pada Agustus 2019. Kebijakan baru tersebut memperpanjang jumlah waktu gaji dan bonus atlet hamil tidak dapat dipotong, dari 12 menjadi 18 bulan. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman running wearing a tank top with FELIX across the front" src="https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/411123/original/file-20210713-13-1k45d00.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Allyson Felix finis kedua saat semifinal lari 200 meter putri di Olimpiade Lintasan dan Lapangan AS pada Juni.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(AP Photo/Ashley Landis)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ibu lain yang membuat gebrakan dalam olahraga papan atas adalah Helen Glover, yang menjadi <a href="https://www.espn.com/olympics/story/_/id/31597147/olympic-champion-helen-glover-qualified-toyko%20-become-first-british-mother-row-games">ibu pertama</a> dimasukkan ke dalam tim dayung Olimpiade Inggris bulan lalu. </p>
<p>Yang luar biasa dari kisah Glover bukan hanya dukungan yang baru sekarang tersedia untuknya, tapi juga butuh waktu lama bagi salah satu tim nasional paling produktif dan cabang olahraga yang mendapat dana terbesar untuk mencapai tonggak sejarah ini. </p>
<h2>Risetnya cukup jelas</h2>
<p>Sementara partisipasi dalam olahraga elit biasanya menurun pada atlet hamil, atlet perempuan mendorong perlawanan terhadap narasi masyarakat bahwa mereka harusnya "santai” selama dan setelah kehamilan dengan memecahkan stereotip dan terus bersaing.</p>
<p>Karena partisipasi perempuan dalam olahraga elit telah tumbuh selama kehamilan dan periode pascapersalinan, demikian juga <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32925496/%20and%20https://pubmed.ncbi.nlm.nih%20.gov/33560776">pemahaman kita</a> tentang dampak kesehatan dari partisipasi olahraga elit selama ini. <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30337460/">Penelitian ekstensif</a> telah menunjukkan keamanan dan manfaat melakukan aktivitas fisik selama kehamilan untuk ibu dan anak.</p>
<p><a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30337465/">Penelitian</a> cukup jelas: dari pengurangan komplikasi kehamilan besar dari <a href="https://www.alodokter.com/diabetes-gestasional#:%7E:text=Diabetes%20gestasional%20adalah%20diabetes%20yang,24%20sampai%20ke%2D28%20kehamilan.">diabetes gestasional</a> hingga <a href="https://www.alodokter.com/preeklamsia">pre-eklampsia</a>, hingga peningkatan kesehatan mental dan hasil persalinan. Saran terbaik untuk sebagian besar individu hamil adalah agar berolahraga secara teratur.</p>
<p>Penelitian kami tentang <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32925496/">dampak partisipasi olahraga elit selama</a> dan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33560776/">setelah kehamilan</a> pada hasil kesehatan dan kembali ke olahraga baru-baru ini dipublikasikan. Data ini memberikan bukti yang meyakinkan tentang keamanan partisipasi olahraga elit selama kehamilan: atlet papan atas yang menjalani kehamilan, persalinan, dan kelahiran memiliki kebugaran serupa dengan atlet papan tengah dan olahragawan, dan ada beberapa bukti pengurangan penyakit kehamilan umum, seperti nyeri punggung bawah, karena olahraga.</p>
<p>Sekarang kehamilan tidak lagi menandai akhir karir seorang atlet, banyak atlet elit tidak hanya kembali ke olahraga, tapi terus memecahkan rekor pribadi dan dunia sebagai ibu baru. Karena semakin banyak atlet perempuan berlatih dan bersaing di tingkat elit selama tahun-tahun reproduksi, kebijakan olahraga penting dikembangkan untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan semua atlet.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165361/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jane Thornton is an Assistant Professor at Western University and Sport Medicine Physician at the Fowler Kennedy Sport Medicine Clinic. She receives funding as a Canada Research Chair in Injury Prevention and Physical Activity for Health as well as through internal research grants and AMOSO funding. She receives an honorarium as Editor of the British Journal of Sports Medicine.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Margie Davenport is an Associate Professor at the University of Alberta. She receives funding from the Christenson Professorship in Active Healthy Living, NSERC, SSHRC, Heart and Stroke Foundation of Canada, the Women and Children's Health Research Institute, and Canada Foundation for Innovation. She received a stipend from the Canadian Society for Exercise Physiology to develop the Pre & Postnatal Exercise Specialization.</span></em></p>Sekarang kehamilan tidak lagi menandai akhir karir seorang atlet, banyak atlet elit tidak hanya kembali ke olahraga, tapi terus memecahkan rekor pribadi dan dunia sebagai ibu baru.Jane Thornton, Clinician Scientist, Canada Research Chair in Injury Prevention and Physical Activity for Health, Sport Medicine Physician, Schulich School of Medicine & Dentistry, Western UniversityMargie Davenport, Associate Professor, Christenson Professor in Active Healthy Living, Faculty of Kinesiology, Sport, and Recreation, University of AlbertaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1461102020-10-23T08:56:33Z2020-10-23T08:56:33ZMengapa persalinan sesar naik drastis sejak ada JKN dan apa dampaknya bagi ibu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/357816/original/file-20200914-18-172u3tm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas rumah sakit merawat bayi yang baru dilahirkan secara sesar pada Hari Kemerdekaan RI di Rumah Sakit Cut Nyak Dhien (RSUD CND) Aceh Barat, Aceh, 17 Agustus 2020. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1597656943">ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/hp.</a></span></figcaption></figure><p>Persalinan melalui operasi sesar di Indonesia kini menjadi lebih populer dibanding sebelum pemerintah memberlakukan kebijakan asuransi sosial melalui program <a href="http://www.jkn.kemkes.go.id">Jaminan Kesehatan Nasional</a>. </p>
<p>Tingginya angka persalinan melalui pembedahan dinding perut ini bukan hanya meningkatkan beban BPJS Kesehatan, tapi juga bisa berdampak buruk pada kesehatan ibu jika dilakukan tanpa indikasi medis yang kuat.</p>
<p>Riset yang <a href="http://repository.unair.ac.id/79502/">saya lakukan di empat rumah sakit</a> rujukan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan ada kenaikan signifikan proporsi persalinan melalui operasi sesar sebelum dan setelah JKN diimplementasikan. </p>
<p>Sebelum JKN (2012-2013), sekitar 45% dari 4.435 persalinan di sana dilakukan lewat operasi sesar. Setelah implementasi JKN (2014-2016) proporsi ini meningkat signifikan di atas 10 persen, menjadi 53% dari 4.241 persalinan. </p>
<p>Yang mengkhawatirkan, proporsi kematian pada persalinan <a href="http://repository.unair.ac.id/79502/">operasi sesar</a> juga melonjak tinggi di sana. </p>
<p>Sebelum JKN, tindakan sesar menyumbang 50% (empat dari delapan kematian saat bersalin) dari keseluruhan kasus kematian ibu bersalin di empat rumah sakit rujukan di Banyuwangi. </p>
<p>Sedangkan, selama JKN, operasi sesar berkontribusi terhadap 60% (enam dari sepuluh kematian) dari keseluruhan kematian ibu bersalin. Memang, WHO menyatakan peningkatan persalinan sesar secara drastis <a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/161442/WHO_RHR_15.02_eng.pdf?sequence=1">tidak terbukti</a> menurunkan kematian ibu maupun bayi yang dilahirkan. </p>
<p>Komplikasi obstetrik menjadi penyebab yang mendominasi kematian ibu pada tindakan persalinan sesar, seperti perdarahan pascapersalinan, rahim robek, kejang dalam kehamilan (preeklampsia/eklampsia) dan infeksi pasca persalinan. </p>
<p>Agar masalah ini tidak makin membesar, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan harus mengevaluasi standar operasi sesar dan meningkatkan pengawasan pelaksanaan standar tersebut.</p>
<h2>Bukan hanya di Banyuwangi</h2>
<p>Lebih dari <a href="https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/">222 juta penduduk</a> kini mengikuti program asuransi sosial yang dikelola BPJS Kesehatan ini sehingga JKN menjadi salah satu asuransi sosial terbesar di dunia. </p>
<p>Secara nasional, persalinan sesar sejak implementasi <a href="https://www.google.com/search?q=TANTANGAN+RS+DI+ERA+JKN&oq=TANTANGAN+RS+DI+ERA+JKN&aqs=chrome..69i57.1114144j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8#">JKN cenderung naik dari tahun ke tahun</a>. Pada 2014, 52% dari 673.917 persalinan mendapatkan tindakan sesar. Operasi serupa, berturut-turut menjadi 55% tahun berikutnya, 57% pada 2016, dan pada 2017 naik jadi 59% dari sekitar 1,2 juta persalinan.</p>
<p>Padahal, organisasi kesehatan dunia (WHO) <a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/161442/WHO_RHR_15.02_eng.pdf?sequence=1">merekomendasikan</a> bahwa persalinan sesar hanya 10-15% dari seluruh total persalinan.</p>
<p>Di tengah <a href="https://money.kompas.com/read/2020/06/12/111300426/bpjs-kesehatan-defisit-sejak-awal-hingga-rencana-penghapusan-kelas?page=all">BPJS Kesehatan yang selalu defisit setiap tahun</a>, klaim pembayaran <a href="https://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/post/read/2020/1653/Kendalikan-Kasus-Persalinan-Caesar-BPJS-Kesehatan-Perkuat-Koordinasi-dengan-Tim-KMKB">persalinan sesar </a> merupakan salah satu pelayanan yang <a href="https://www.beritasatu.com/elvira-anna-siahaan/kesehatan/587529/operasi-cesarea-meningkat-di-era-jknkis">menyedot anggaran terbesar BPJS</a> dari 2014 sampai 2018. </p>
<p>Pada 2018 saja, persalinan sesar menghabiskan biaya Rp 4,7 triliun. </p>
<p>Sedangkan biaya total untuk persalinan normal hanya Rp 1,2 triliun. Klaim pembayaran tindakan sesar menempati <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1278744/nilai-klaim-rp-32-t-bedah-cesar-diduga-jadi-biang-defisit-bpjs">urutan pertama </a> dalam INA-CBG (aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim). </p>
<p>Di level rumah sakit, sejumlah riset menunjukkan lonjakan operasi sesar tidak hanya terjadi di Banyuwangi tapi juga <a href="https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/14496">di daerah lain </a> seperti <a href="http://thesis.umy.ac.id/index.php?opo=popUpBibliografi&id=58542&cs=1">Yogyakarta</a>, <a href="https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/kedokteran/article/view/2603">Semarang</a>, dan <a href="https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/14496">Manado</a>. </p>
<p>Secara administratif, peningkatan tindakan sesar menjadi sebuah bukti bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan sudah berjalan lebih baik. Namun, jika peningkatan pemanfaatan pelayanan ini tidak disertai kualitas pelayanan yang baik, maka akan menimbulkan dampak yang buruk pada kesehatan ibu. </p>
<h2>Mengapa melonjak drastis</h2>
<p>Dalam riset di Banyuwangi, terungkap ada beberapa penyebab melonjaknya operasi sesar dan kasus kematian ibu terkait persalinan.</p>
<p>Pertama, keterlambatan rujukan. Kurangnya deteksi dini oleh bidan wilayah menyebabkan komplikasi kehamilan tidak dapat diketahui sejak dini, sehingga rujukan berencana tidak dapat dilakukan. </p>
<p>Penyebab lain keterlambatan rujukan adalah permasalahan komunikasi antara Puskesmas dan bidan praktik mandiri mengenai indikasi rujukan. Kondisi ibu yang sudah dalam komplikasi adalah dampak dari keterlambatan rujukan. Parahnya komplikasi menjadi indikasi untuk dilakukan tindakan persalinan sesar. </p>
<p>Kedua, banyaknya riwayat persalinan sesar yang menjadi bom waktu pada persalinan berikutnya. Jika persalinan anak pertama lewat sesar, maka persalinan anak kedua dan seterusnya kemungkinan besar juga lewat sesar karena ibu memiliki indikasi untuk disesar. Dampaknya, metode persalinan ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tren serupa juga terjadi di <a href="https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/10106">sebuah rumah sakit di Aceh</a>.</p>
<p>Ketiga, ada indikasi kecurangan pada fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan. Tidak sesuainya tarif yang ditetapkan dalam INA-CBGs dengan biaya riil menjadi indikasi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan diduga berbuat curang.</p>
<p>Rumah sakit mengeluhkan <a href="https://persi.or.id/images/e-library/panduan_verifikasi_inacbg.pdf">beberapa peraturan yang dibuat oleh BPJS Kesehatan</a>. Misalnya, rumah sakit menghindari tindakan induksi persalinan untuk persalinan normal dan sebaliknya mendorong ibu untuk bersalin dengan metode persalinan sesar. Sebab, rumah sakit tidak mendapatkan penggantian biaya dari BPJS Kesehatan pada tindakan induksi yang diberikan kepada ibu yang ujungnya dilakukan tindakan sesar. </p>
<p>Padahal, rumah sakit sudah mengeluarkan biaya untuk tindakan induksi. Secara teknis, persalinan sesar cenderung dipilih oleh dokter karena waktunya lebih pasti dibanding persalinan normal yang butuh waktu lebih lama untuk mengobservasi. </p>
<p>Dalam praktiknya, pembayaran uang jasa untuk dokter saat menginduksi untuk persalinan normal lebih kecil dibandingkan dengan persalinan sesar. Apalagi, jika kondisinya ibu yang sejak awal direncanakan melahirkan normal dan ujungya bersalin dengan sesar, maka dokter tidak mendapatkan pembayaran jasa saat melakukan observasi persalinan normal.</p>
<p>Jadi secara ekonomi, bagi dokter persalinan sesar lebih menguntungkan dibanding persalinan normal. </p>
<p>Karena itu, Kementerian Kesehatan perlu mengevaluasi tentang sistem <em>reimbursement</em> bagi fasilitas kesehatan dan <em>fee</em> yang diberikan kepada tenaga kesehatan dalam sebuah sistem jaminan kesehatan. Sebab, permasalahan pendanaan memang menjadi indikasi terjadinya <a href="https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso/9780195371505.001.0001/acprof-9780195371505">pemilihan tindakan yang merugikan pasien</a> dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4021700/pdf/jhpn0031-suppl-2-0081.pdf">perilaku tenaga kesehatan yang berpotensi menabrak kode etik</a>. </p>
<h2>Dampak ledakan sesar</h2>
<p>Dalam konteks asuransi kesehatan, peningkatan persalinan sesar memang menjadi sebuah gambaran bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan semakin baik. Namun, pemanfaatan ini akan memberikan dampak buruk kepada ibu jika dilakukan tanpa indikasi medis. </p>
<p><a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/161442/WHO_RHR_15.02_eng.pdf?sequence=1">WHO menyatakan</a> operasi sesar dapat memberikan dampak positif kepada ibu dan bayi, selama tindakan ini dilakukan dengan indikasi medis - <a href="https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/bff01716427c56be61c24fdc4388c81a.pdf">seperti</a> ari-ari menutupi jalan lahir, kelainan letak, janin besar, janin dalam posisi sungsang, denyut jantung janin melemah saat proses kelahiran, panggul sempit, dan lainnya. </p>
<p>Sebaliknya, persalinan sesar dapat memberikan dampak <a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/161442/WHO_RHR_15.02_eng.pdf?sequence=1">komplikasi, kecacatan sampai dengan kematian</a> jika dilakukan tanpa indikasi medis. Diagnosis maupun tindakan yang tidak tepat pada proses pelayanan kebidanan akan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0277953694902267">menurunkan kualitas pelayanan</a>, dan dampaknya akan meningkatkan risiko kematian ibu. </p>
<p>Sebuah riset di Belanda berkesimpulan <a href="https://www.ejog.org/article/S0301-2115(18)30954-0/fulltext">persalinan sesar tidak selamanya memberikan dampak positif kepada ibu</a> karena dapat meningkatkan risiko kematian ibu tiga kali lebih besar dibandingkan persalinan normal. Tindakan ini juga dapat menambah risiko infeksi pasca persalinan. Riset lain menyebutkan operasi sesar dapat meningkatkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4830588/pdf/pone.0153396.pdf">risiko kematian pasca persalinan akibat perdarahan</a>). </p>
<p><a href="https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-019-2687-7">Beban psikologis </a> juga akan dirasakan ibu ketika mereka dalam proses adaptasi setelah operasi sesar, khususnya pada operasi sesar darurat. Ibu akan mengalami trauma, kecemasan, sampai dengan kendala dalam memberikan air susu eksklusif kepada bayinya. </p>
<p>Karena itu, BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan perlu kembali mengevaluasi tentang parameter yang lebih jelas mengenai indikasi untuk pengambilan tindakan persalinan sesar.</p>
<p>Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menjadi peluang untuk terjadinya kecurangan di kalangan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. </p>
<p>Kecurangan ini bukan hanya menjebol anggaran BPJS Kesehatan, tapi juga berpotensi membahayakan nyawa ibu jika operasi sesar dilakukan tanda adanya indikasi yang memadai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146110/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sofia Al Farizi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebuah riset di Belanda berkesimpulan persalinan sesar tidak selamanya memberikan dampak positif kepada ibu karena dapat meningkatkan risiko kematian ibu 3 kali lebih besar dibandingkan lahir normal.Sofia Al Farizi, Lecturer in midwifery, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1446832020-08-27T05:54:04Z2020-08-27T05:54:04ZDampak pandemi COVID-19 global: ada tambahan 15 juta kehamilan yang tak direncanakan, apa risikonya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/354586/original/file-20200825-25-17kxcue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kehamilan yang tidak direncanakan akan memiliki berbagai dampak negatif terhadap ibu dan bayi.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/baby-s-feet-on-brown-wicker-basket-161534/">Pixabay/Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 dalam tujuh bulan terakhir telah mempengaruhi <a href="https://www.guttmacher.org/journals/ipsrh/2020/04/estimates-potential-impact-covid-19-pandemic-sexual-and-reproductive-health">kesehatan reproduksi dan seksual</a> pasangan usia subur (PUS). Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dilakukan pemerintah Indonesia menyebabkan gangguan pada ketersediaan layanan kontrasepsi dan konseling Keluarga Berencana. </p>
<p>Data <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/07/24/18243691/penjelasan-bkkbn-soal-kehamilan-meningkat-di-tengah-pandemi-covid-19">Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)</a> menunjukkan keterbatasan akses terhadap layanan kontrasepsi dapat menyebabkan peningkatan angka kehamilan yang tidak direncanakan. </p>
<p>Di <a href="https://www.kompas.com/global/read/2020/05/19/201058570/media-asing-sorot-potensi-kelahiran-420000-bayi-di-indonesia-usai-pandemi?page=all">Indonesia</a>, BKKBN memprediksi akan ada <a href="https://www.bkkbn.go.id/detailpost/cegah-baby-boom-pasca-covid-19-bkkbn-apresiasi-bidan">tambahan 370.000-500.000</a> kelahiran pada medio awal 2021. Pembatasan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200511120551-8-157571/bkkbn-khawatirkan-naiknya-kehamilan-tak-terencana-saat-psbb">kegiatan di luar rumah</a> dan <a href="https://www.economist.com/graphic-detail/2020/04/03/will-the-coronavirus-lockdown-lead-to-a-baby-boom">intensitas kebersamaan pasangan usia subur</a> yang meningkat secara signifikan juga mempengaruhi tingginya angka kehamilan.</p>
<p>Sebuah <a href="https://www.guttmacher.org/journals/ipsrh/2020/04/estimates-potential-impact-covid-19-pandemic-sexual-and-reproductive-health">riset global baru-baru ini</a> yang melihat efek pandemi terhadap kesehatan reproduksi di 132 negara miskin dan berkembang memperkirakan akan ada tambahan sekitar 15 juta kehamilan yang tidak direncanakan. </p>
<p>Padahal, kehamilan yang tidak terencana akibat minimnya proteksi pada pasangan akan menyebabkan rendahnya kesiapan untuk memeriksakan kehamilan yang teratur ke dokter. Dampak lanjutannya, risiko-risiko pada ibu dan bayi tidak dapat terdeteksi sejak awal dan tata laksana tidak dapat dilakukan dengan optimal dan menyeluruh. </p>
<p>Ini belum termasuk akan muncul kemungkinan <a href="https://www.bkkbn.go.id/detailpost/cegah-baby-boom-pasca-covid-19-bkkbn-apresiasi-bidan">tindakan aborsi ilegal</a> dan risiko bayi dan ibunya kekurangan nutrisi karena pendapatan keluarga mungkin berkurang baik akibat pemutusan hubungan kerja, bisnis seret atau penyebab lainnya. Karena itu, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada masa pandemi harus diupayakan sekuat tenaga. </p>
<h2>Dampak dari keterbatasan akses kesehatan selama kehamilan</h2>
<p>Tanpa penyulit apa pun, kehamilan merupakan suatu kondisi yang berisiko, baik bagi ibu maupun bayi. Perubahan alami pada metabolisme dan sirkulasi darah ibu akan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3802121/#:%7E:text=The%20increase%20in%20cardiac%20output,and%20remains%20elevated%20until%20term.">meningkatkan beban kerja jantung</a> dan kejadian anemia dalam kehamilan. </p>
<p>Jika perubahan ini tidak dapat diatasi dengan baik oleh ibu, maka akan <a href="https://www.hindawi.com/journals/anemia/2018/1846280/">menyebabkan berbagai dampak buruk</a> pada janin seperti janin dengan berat badan lahir rendah, gangguan fungsi kognitif dan risiko kelahiran prematur. </p>
<p>Demikian pula dengan beberapa kelainan bawaan yang dapat dideteksi sejak dalam kandungan. Deteksi dini akan mempersiapkan calon orangtua dan dokter di fasilitas kesehatan untuk mempersiapkan kelahiran dan rencana tata laksana lanjutan. </p>
<p>Keengganan masyarakat untuk <a href="https://www.ippf.org/news/covid-19-pandemic-cuts-access-sexual-and-reproductive-healthcare-women-around-world">mengunjungi fasilitas kesehatan dan pembatasan</a> operasional klinik keluarga berencana, karena dianggap bukan merupakan layanan darurat dan utama pada masa pandemi sekarang ini, menjadi salah satu alasan yang berkontribusi pada terjadinya gangguan ini.</p>
<p>Kehamilan yang tidak direncanakan akan memiliki berbagai dampak yang negatif terhadap ibu dan bayi. Kondisi saat pra-konsepsi tentu tidak berada dalam keadaan yang paling optimal mengingat pasangan usia subur tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kehamilan ini. Demikian pula dengan kunjungan pemeriksaan kehamilan di dokter sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah seorang ibu menyadari dirinya hamil. </p>
<p>Keengganan untuk periksa <a href="https://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/cp05_covidkia_in.pdf">karena khawatir tertular</a> virus dari fasilitas kesehatan menjadi faktor utama yang menyebabkan turunnya kunjungan. Padahal <a href="https://www.euro.who.int/en/data-and-evidence/evidence-informed-policy-making/publications/pre2009/what-is-the-efficacyeffectiveness-of-antenatal-care#:%7E:text=The%20purpose%20of%20antenatal%20care,and%20birth%20as%20positive%20experiences.">kunjungan pemeriksaan kehamilan</a> bertujuan untuk memastikan tumbuh kembang bayi dan keadaan ibu selama kehamilan dalam keadaan optimal sehingga bayi akan lahir dengan sehat dan ibu menjalani proses kehamilan dan bersalin dengan perasaan yang positif. </p>
<p>Jika kunjungan ini tidak dilakukan dengan baik, maka risiko kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi akan semakin meningkat dan kualitas generasi penerus bangsa dipertaruhkan.</p>
<h2>Risiko kehamilan di tengah ancaman krisis ekonomi global</h2>
<p>Per 26 Agustus, pandemi COVID-19 telah menelan korban lebih <a href="https://coronavirus.jhu.edu/map.html">dari 800.000 jiwa</a> secara global dengan jumlah orang terinfeksi hampir 24 juta. Keadaan buruk ini memaksa pemerintah di seluruh belahan dunia membatasi kegiatan massal yang <a href="https://www.cnbc.com/2020/04/24/coronavirus-pandemics-impact-on-the-global-economy-in-7-charts.html">kemudian membawa status ekonomi dunia</a>, termasuk Indonesia, ke titik nadir dan menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaannya. </p>
<p>Resesi ekonomi membuat sebagian besar orang berpikir ulang untuk menjalani proses kehamilan. Kehamilan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ibu hamil perlu biaya untuk asupan gizi dan vitamin serta kunjungan periksa ke dokter selama kehamilan. Selain itu ibu juga perlu biaya proses persalinan dan penyediaan makanan bergizi pada saat menyusui.</p>
<p>Situasi ekonomi yang memburuk dapat menyebabkan nutrisi selama kehamilan tidak tercukupi dengan baik dan <a href="https://www.hilarispublisher.com/proceedings/effect-of-malnutrition-during-pregnancy-on-pregnancy-outcomes-18176.html#:%7E:text=Lack%20of%20adequate%20nutrition%20of,term%20delivery%20and%20maternal%20mortality.">dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin</a>. </p>
<p>Ibu akan rentan terhadap risiko anemia dan tekanan darah tinggi dalam kehamilan hingga risiko perdarahan saat persalinan yang dapat berujung pada kematian. Janin akan berisiko mengalami pertumbuhan terhambat di dalam kandungan yang dapat memicu berat badan di bawah 2.500 gram.</p>
<h2>Pencegahan yang dapat dipertimbangkan</h2>
<p>Melihat dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan akibat kehamilan tidak terencana selama masa pandemi, maka perlu dilakukan langkah-langkah yang efektif dan tepat guna untuk menurunkan angka kehamilan.</p>
<p>Saat ini Kementerian Kesehatan dan BKKBN sudah menetapkan layanan kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya layanan pemeriksaan kehamilan dan keluarga berencana (KB), sebagai layanan <a href="https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/maintaining-essential-health-services---ind.pdf?sfvrsn=d8bbc480_2">esensial</a> dengan prioritas tinggi selama masa pandemi.</p>
<p>Masyarakat harus diedukasi mengenai pentingnya kesehatan reproduksi dan perlunya merencanakan kehamilan sebaik mungkin termasuk kesiapan ekonomi. Edukasi dapat dilakukan di seluruh lapisan masyarakat dengan melibatkan tenaga kesehatan dari fasilitas tingkat primer hingga tersier dan para tokoh masyarakat seperti kader, pejabat masyarakat dan para pemuka agama. </p>
<p>Kemudian perlu digalakkan <a href="https://www.guttmacher.org/journals/ipsrh/2020/04/estimates-potential-impact-covid-19-pandemic-sexual-and-reproductive-health">pemanfaatan teknologi <em>telemedicine</em></a> agar masyarakat dapat dengan mudah menjangkau dokter untuk berkonsultasi mengenai pilihan kontrasepsi dan persiapan kehamilan yang terbaik. </p>
<p>Konsultasi dapat menjadi bekal untuk menentukan metode kontrasepsi yang tepat dan jika memungkinkan dapat dilakukan layanan antar alat kontrasepsi ke rumah, terutama untuk kontrasepsi berbentuk pil dan kondom.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144683/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mutiara Riani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kehamilan yang tidak terencana akan menyebabkan rendahnya kesiapan untuk memeriksakan kehamilan yang teratur ke dokter. Di Indonesia akan ada tambahan 370-500 ribu bayi setelah pandemi.Mutiara Riani, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1272492019-12-13T09:15:47Z2019-12-13T09:15:47ZRiset: Hanya 44 persen perempuan periksa sendiri tanda kanker payudara, apa penyebabnya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/306258/original/file-20191211-95135-3anaqk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pemeriksaan kanker payudara lebih dini meningkatkan peluang penyembuhannya dengan terapi yang tepat.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/hands-joined-circle-holding-breast-cancer-153061814?src=71ab64b8-3873-415c-96f4-66dacc5b0a4c-1-38&studio=1">ESB Professional/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Mayoritas penderita kanker payudara di Indonesia baru mendatangi pusat layanan kesehatan ketika sudah berada pada stadium lanjut, yang berakibat pada menurunnya peluang untuk sembuh. Padahal, kanker ini memiliki peluang untuk disembuhkan ketika pasien didiagnosis pada stadium awal dan segera mendapatkan perawatan yang tepat. </p>
<p>Jauh sebelum mencapai stadium empat, sebenarnya perempuan dapat memeriksa sendiri lebih dini kemungkinan adanya indikasi kanker payudara. </p>
<p>Riset terbaru saya dan kolega, dengan sampel 1.967 perempuan berusia 20-60 tahun di Surabaya, diterbitkan baru-baru ini di <a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-019-7951-2">BMC Public Health</a>, menunjukkan kurang dari separuh (44%) responden pernah mempraktikan <a href="https://www.alodokter.com/periksa-payudara-sendiri-sadari-sebelum-terlambat">Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari)</a> dalam setahun terakhir. Faktor psikologis sangat berpengaruh pada jenis pemeriksaan ini.</p>
<p>Angka tersebut tidak terlalu menggembirakan, tapi masih tergolong cukup baik bila dibandingkan dengan rerata di negara-negara Asia Tenggara, misalnya <a href="http://journal.waocp.org/article_29969_5bd2b8213ada173110d636ab8d8375fc.pdf">Thailand (23,5%) atau Filipina (36,9%)</a>.</p>
<p>Hasil riset ini menjelaskan bahwa perilaku sehat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap suatu penyakit dan strategi yang tersedia untuk mengurangi terjadinya penyakit tersebut. Hampir 33% variasi perilaku memeriksa payudara sendiri dipengaruhi oleh komponen model kepercayaan kesehatan.</p>
<h2>Faktor-faktor yang berpengaruh</h2>
<p>Responden dalam penelitian ini sebagian besar menikah (72,3%), berpendidikan SMA atau lebih (53,4%), tidak memiliki riwayat kanker payudara (98,4%) dan tidak memiliki riwayat keluarga dengan kanker (89.3%). </p>
<p>Riset menggunakan jumlah sampel yang cukup besar dan representatif sehingga memungkinkan generalisasi pada populasi yang lebih luas.</p>
<p>Hasil riset kami mengindikasikan kepercayaan dan persepsi individu akan mempengaruhi perilaku sehat mereka. Ketika individu mempersepsikan diri mereka berisiko terpapar suatu penyakit, mereka akan mempraktikkan perilaku sehat yang diperlukan untuk menghindari penyakit tersebut.</p>
<p>Konsep <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Health_belief_model">Health Belief Model (HBM) Rosenstock</a> menyebutkan ada 6 komponen yang mempengaruhi perilaku sehat individu: </p>
<ol>
<li><p>Persepsi akan kerentanan yang meliputi persepsi individu terhadap seberapa besar peluang ia akan terjangkit suatu penyakit.</p></li>
<li><p>Persepsi akan keparahan, yang menunjukkan sejauh mana keparahan dan dampak yang diakibatkan ketika individu mengalami suatu penyakit. </p></li>
<li><p>Persepsi akan manfaat, yakni sejauh mana individu memandang perilaku sehat yang dilakukan akan memberikan dampak positif terhadap status kesehatannya.</p></li>
<li><p>Persepsi akan hambatan, menggambarkan sejauh mana individu menilai besaran kendala yang dihadapi untuk melakukan perilaku sehat.</p></li>
<li><p>Isyarat untuk melakukan tindakan, menunjukkan pemicu baik dari dalam diri maupun luar individu yang memicu munculnya perilaku sehat.</p></li>
<li><p><a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Efikasi_diri">Efikasi diri</a>, yakni seberapa besar rasa percaya diri individu untuk melakukan perilaku sehat. </p></li>
</ol>
<p>Dalam riset kami tampak bahwa praktik Sadari berhubungan dengan tingginya persepsi individu akan manfaat Sadari (3) dan efikasi dirinya untuk melakukan perilaku tersebut (6).</p>
<p>Artinya, partisipan menilai bahwa manfaat untuk memeriksa payudara sendiri cukup besar untuk meningkatkan status kesehatannya, yaitu dapat mendeteksi lebih awal ketika ada ketidaknormalan pada payudara dan mendapatkan pengobatan yang tepat lebih awal. Mereka cenderung mempraktikkan Sadari dibandingkan dengan kelompok yang memiliki persepsi manfaat yang lebih rendah. </p>
<p>Selain itu, perempuan yang memiliki keyakinan diri untuk melakukan Sadari dengan benar dan yakin mampu mengenali bila terdapat abnormalitas pada payudaranya, juga menunjukkan kecenderungan untuk melakukan Sadari. </p>
<p>Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa praktik Sadari berkorelasi dengan persepsi akan hambatan (4) yang dirasakan oleh individu. Mereka yang menilai bahwa memeriksa diri sendiri hanya menghabiskan waktu, merasa malu atau ketakutan akan menemukan penyakit, maka mereka cenderung tidak mau memeriksa diri mereka sendiri. Setiap kenaikan 1 poin persepsi hambatan akan menurunkan peluang praktik pemeriksaan sendiri sebesar 0,93.</p>
<h2>Bias optimisme</h2>
<p>Secara teoritis, isyarat untuk melakukan tindakan (5) merupakan komponen HBM yang berkolerasi positif dengan munculnya perilaku sehat. Namun, dalam penelitian ini, kami menemukan sebaliknya. Individu yang memiliki isyarat kesehatan yang tinggi cenderung tidak mempraktikkan perilaku Sadari. </p>
<p>Riset ini mengukur isyarat kesehatan dengan menanyakan pada responden perilaku kesehatan positif secara umum (apakah mereka minum vitamin, melakukan pemeriksaan medis secara rutin, dan rajin berolah raga). </p>
<p>Dalam konteks ini, kami menduga bahwa bagi responden yang menunjukkan level perilaku sehat umum yang tinggi, optimisme kesehatan mereka berkembang menjadi optimisme yang tidak realistis, yang kami sebut sebagai bias optimisme.</p>
<p>Maksudnya, individu tidak merasa rentan terkena suatu penyakit karena secara umum mereka telah berperilaku sehat. Individu yang memiliki optimisme yang tidak realistis cenderung menganggap bahwa dirinya tidak rentan menderita suatu penyakit jika dibanding orang lain. </p>
<p>Hasil penelitian lainnya yang cukup kontradiktif dengan teori, kami mendapati bahwa persepsi terhadap kerentanan (1) dan keparahan (2) suatu penyakit ternyata tidak mempengaruhi keputusan individu untuk memeriksa payudara sendiri. Fakta ini dapat dijelaskan dengan beberapa kemungkinan berikut: </p>
<p><em>Pertama</em>, kemungkinan partisipan tidak punya pengetahuan yang cukup akan kerentanannya terhadap kanker payudara serta sejauh mana keparahan kanker ini yang berdampak pada aspek fisik, psikologi, dan sosial penderita dan keluarganya. </p>
<p><em>Kedua</em>, partisipan barangkali menginterpretasikan bahwa terdiagnosis kanker payudara merupakan “takdir Tuhan” sehingga perilaku preventif dianggap tidak relevan.</p>
<p>Ketiga, teori <em>fear arousal</em> mengindikasikan bahwa dengan memikirkan kerentanan dan keparahan kanker payudara merupakan ancaman bagi individu yang dapat memunculkan rasa takut. Ketika individu merasa tidak memiliki sumber daya untuk mengatasi rasa takut tersebut, maka hal tersebut hanya akan memunculkan rasa takut yang berkelanjutan tanpa menghasilkan perubahan perilaku. </p>
<h2>Manfaat periksa lebih awal</h2>
<p>Kanker payudara, menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), menjadi <a href="http://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf">salah satu penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia</a>. Di seluruh wilayah Indonesia, kanker payudara menempati peringkat pertama kasus kanker terbanyak (16,7% dari seluruh jenis kanker) dan peringkat kedua penyebab kematian akibat kanker (11%) pada 2018.</p>
<p><a href="https://promkes.net/2019/03/03/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas-2018/">Riset Kesehatan Dasar 2018</a> menunjukkan sebagian besar pasien kanker payudara berusia 35 tahun ke atas. Mereka berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang bervariasi dan kebanyakan berasal dari daerah perkotaan.</p>
<p>Gerakan memeriksa payudara sendiri, <a href="http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/2016/10/Panduan-Program-Nasional-Gerakan-Pencegahan-dan-Deteksi-Dini-Kanker-Kanker-Leher-Rahim-dan-Kanker-Payudara-21-April-2015.pdf">yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan sejak 2015</a>, secara rutin merupakan salah satu strategi untuk mencapai deteksi dini kanker payudara. Strategi ini penting di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya dan akses pada layanan kesehatan terutama untuk skrining kanker payudara seperti mamografi dan USG.</p>
<p>Walau pemeriksaan sendiri <a href="https://www.who.int/cancer/publications/cancer_early_diagnosis/en/">tidak lagi direkomendasikan sebagai strategi utama deteksi dini oleh WHO</a>, negara-negara berkembang masih banyak berharap pada strategi ini. Riset <a href="http://www.smj.org.sg/sites/default/files/4903/4903a8.pdf">di Singapura</a> menunjukkan praktik Sadari secara rutin diasosiasikan dengan identifikasi kanker payudara pada stadium awal sehingga mengurangi angka kematian. </p>
<p>Pemeriksaan payudara sendiri merupakan cara mudah, murah, dan tak perlu bantuan tenaga medis untuk deteksi dini kanker payudara. Namun perlu dicatat bahwa deteksi dini kanker payudara - seperti praktik Sadari- harus segera diikuti dengan pemeriksaan medis oleh tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis dan terapi medis yang efektif.</p>
<p>Dalam konteks ini, mendeteksi kanker payudara secara dini pun menjadi cukup penting bagi kesembuhan pasien sehingga dapat mencegah kematian akibat kanker payudara.</p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Promosi kesehatan yang menjelaskan ihwal kanker payudara, gejala-gejalanya, cara pencegahannya, juga tingkat risiko dan kemungkinan bisa disembuhkan, perlu terus dikampanyekan lebih besar melalui beragam medium. </p>
<p>Langkah ini diharapkan dapat melawan pengaruh kultural seperti stigma negatif atau sikap pasrah “takdir Tuhan” terhadap kanker payudara yang dapat menghambat terbentuknya perilaku deteksi dini.</p>
<p>Menyadarkan pentingnya pemeriksaan payudara sendiri, dengan fokus pada manfaatnya, dengan menggunakan konteks dan budaya lokal kemungkinan besar lebih mudah diterima oleh masyarakat. Ekspresi keengganan (misalnya karena merasa malu) tetap perlu diperhatikan dengan melibatkan fasilitator perempuan dalam mengedukasi masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/127249/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Triana Kesuma Dewi menerima dana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk melakukan penelitian ini.</span></em></p>Menyadarkan pentingnya pemeriksaan payudara sendiri, dengan fokus pada manfaatnya, dengan menggunakan konteks dan budaya lokal kemungkinan besar lebih mudah diterima oleh masyarakat.Triana Kesuma Dewi, Lecturer and Researcher, Faculty of Psychology, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1261452019-11-04T10:21:13Z2019-11-04T10:21:13ZMenyusui bisa membantu menghadapi perubahan iklim. Ini penjelasan akademisi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/299624/original/file-20191031-28972-11ogjse.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C1356%2C667&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/peaceful-loving-young-african-mother-sitting-1440379625?src=xJYXH3-ZmUGFbKT3J0uPDA-1-2">shutterstock/SeventyFour </a></span></figcaption></figure><p><a href="https://www.bmj.com/content/367/bmj.l5646">Menyusui</a> akhir-akhir ini menjadi sorotan karena dianggap sebagai kontribusi signifikan para ibu untuk perubahan iklim. </p>
<p>Namun, perlu kehati-hatian dalam menyampaikan pesan tersebut. </p>
<p>Menginformasikan kepada perempuan bahwa menyusui mampu menyelamatkan planet Bumi malah dapat memicu rasa <a href="https://connect.springerpub.com/content/sgrcl/9/4/200">marah, sedih, dan kehilangan</a> bagi mereka yang tidak dapat menyusui. </p>
<p>Inggris, contohnya, memiliki <a href="https://www.breastfeedingnetwork.org.uk/crisis-in-bf/">tingkat menyusui terendah di dunia</a> bukan karena keengganan para ibu untuk menyusui. </p>
<p>Sudah banyak faktor yang memengaruhi para ibu yang ingin menyusui - tetapi tidak dapat melakukannya - yang berada di <a href="https://www.pinterandmartin.com/breastfeeding-uncovered">luar kendali mereka</a>.</p>
<p>Pesan apapun yang menyiratkan mereka harus <a href="https://theconversation.com/breastfeeding-is-not-easy-stop-telling-new-mothers-that-it-is-98026">berusaha lebih keras</a> untuk menyusui membuat mereka tertekan. </p>
<p>Oleh karena itu, hanya memberi tahu perempuan bahwa menyusui itu penting <a href="https://www.liebertpub.com/doi/abs/10.1089/bfm.2015.0175">tidak akan mengubah apa-apa</a>. </p>
<p>Meski demikian, ada kesamaan cara media menginformasikan krisis iklim dan menyusui secara tidak efektif, yaitu dengan judul berita yang menggugah emosi tentang pentingnya setiap individu melakukan aksi. </p>
<p>Sebagai individu, tentu saja setiap orang semua memiliki peran masing-masing. Tapi, perubahan nyata hanya bisa terjadi pada tingkat komunal. </p>
<p>Hal ini menjadi alasan bagi perlunya investasi pemerintah terkait dengan ASI dalam bentuk perubahan kebijakan, industri, serta lingkungan kerja. Tujuannya adalah menciptakan planet sekaligus populasi manusia yang lebih sehat. </p>
<h2>Dampak lingkungan</h2>
<p>Baru-baru ini terungkap sains terkait <a href="http://www.babymilkaction.org/wp-content/uploads/2014/10/Carbon-Footprints-Due-to-Milk-Formula.pdf">menyusui dan perubahan iklim</a>. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959652619307322">Menyusui mengekstraksi</a> sedikit sumber daya alam, seperti air atau tanah, tidak menghasilkan emisi karbon, dan minim atau nol limbah.</p>
<p>Pemberian ASI <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4757-4242-8_7">menekan ovulasi</a>, membantu mengurangi jumlah anggota keluarga, dan menjaga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673615010247">keluarga tetap sehat</a>. Hal ini bisa menjaga sumber daya Bumi dari dampak yang ditimbulkan oleh manusia. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959652619307322">Sebuah penelitian terbaru</a> menunjukkan bahwa menyusui selama enam bulan menghemat 95-153kg CO₂e (carbon dioksida ekuivalen) per bayi dibandingkan dengan pemberian susu formula. </p>
<p>Apabila semua bayi di Inggris diberikan ASI selama enam bulan saja, maka <a href="https://www.epa.gov/energy/greenhouse-gas-equivalencies-calculator">penghematan emisi karbon</a> sama dengan mengeluarkan 50.000 sampai 77.500 mobil dari jalan selama setahun. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959652619307322">Data ini tetap berlaku</a>, bahkan ketika tuntutan diet menyusui turut dijadikan pertimbangan.</p>
<p><a href="https://www.pnas.org/content/109/9/3232.short">Susu bubuk</a> memerlukan sekitar 4.700 liter air per kilo susu. Susu formula menggunakan bahan-bahan
seperti minyak kelapa sawit untuk kebutuhan mineral dan vitamin bagi pertumbuhan bayi. </p>
<p>Terlepas dari klaim industri tentang ‘menghijaukan’ rantai pasokan, <a href="https://www.abc.net.au/news/science/2018-06-29/nestle-suspended-sustainable-palm-oil/9923238">pencabutan sementara</a> keanggotaan Nestlé dari Perkumpulan untuk Sawit Berkelanjutan (<em>Roundtable on Sustainable Palm Oil</em>) memperlihatkan adanya masalah dalam keberlanjutan produksi pangan global.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/palm-oil-boycott-could-actually-increase-deforestation-sustainable-products-are-the-solution-106733">Palm oil boycott could actually increase deforestation – sustainable products are the solution</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Hanya ada <a href="https://wayback.archive-it.org/7993/20170405150238/https://www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/03/briefing/3939b1_tab4b.htm">40-50 pabrik pengolahan susu formula di seluruh dunia</a>.</p>
<p>Jumlah air yang diperlukan untuk pengangkutan mulai dari bahan mentah ke pabrik pengolahan hingga ke tangan konsumen di seluruh dunia memang belum diketahui, tetapi jelas sangat besar.</p>
<p>Susu formula bubuk membutuhkan air yang <a href="https://www.firststepsnutrition.org/making-infant-milk-safely">dipanaskan hingga suhu 70°C</a> agar steril dan aman dikonsumsi. Hal ini menyerap sumber daya. </p>
<p>Di Inggris, perkiraan biaya energi untuk mendidihkan air bagi produksi susu untuk bayi di tahun pertama setara dengan mengeluarkan <a href="https://fn.bmj.com/content/100/2/F173.short">lebih dari 1,5 juta kilogram karbon dioksida</a>. Belum lagi sampah yang dihasilkan. Sebuah riset menunjukkan bahwa 550 juta kaleng susu formula, 86.000 ton logam, dan 364.000 ton kertas yang <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140673609606619/fulltext">dibuang ke TPA setiap tahunnya</a>. </p>
<p>Industri susu formula meningkat dua kali lipat saat penelitian tersebut diterbitkan tahun 2009. </p>
<p>Lebih lanjut, tidak menyusui biasanya berarti <a href="https://digital.hbs.edu/platform-rctom/submission/the-ecological-impact-of-feminine-hygiene-products/">period haid akan lebih cepat</a>. </p>
<p>Perempuan di Inggris rata-rata menggunakan <a href="https://www.huffingtonpost.co.uk/entry/period-cost-lifetime_n_7258780?guccounter=1&guce_referrer=aHR0cHM6Ly93d3cuZ29vZ2xlLmNvbS8&guce_referrer_sig=AQAAAAMFUc2GGJ0uXPVUr8JMO9KfkFtMt24sxoa5lAUMDb7eFJrQ4GqQsk7YqihIOTGcvvLFX63RS038IkQZ3xRv6DWkSXijGB6CDUBx71eJ6g8BiZyNKQ387XMvizhAq62-tm-hE4OQNXU3Zl42AOIjZ3zdAWHX-ZmiUjp27S7S_k6N">264 pembalut</a> dan tampon, setiap tahunnya. Menyusui dapat menurunkan permintaan akan serat katun, plastik polietilena dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/265149999_Comparative_Life_Cycle_Assessment_of_Sanitary_Pads_and_Tampons_GROUP_6">bahan lainnya</a> yang digunakan untuk produksi pembalut dan tampon. </p>
<h2>Perlu dukungan lebih</h2>
<p>Ada kesenjangan pengetahuan di seluruh sektor kehidupan manusia yang harus segera diatasi oleh para ilmuwan. </p>
<p>Namun, jelas bahwa <a href="https://www.bmj.com/content/367/bmj.l5816">mengurangi ketergantungan kita pada susu formula</a>, jika memungkinkan, adalah langkah penting dalam menghadapi krisis iklim. </p>
<p>Tapi, apa gunanya pesan tersebut <a href="https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2018/jul/27/breastfeeding-support-services-failing-mothers-due-to-cuts">dalam sistem yang gagal mendukung ibu menyusui</a>? </p>
<p>Perempuan membutuhkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/jhn.12496">lingkungan dan dukungan yang tepat</a> agar menyusui dapat berkembang. </p>
<p>Pemerintah gagal memberikan perhatian terhadap isu ini meski terus-menerus
menghimbau untuk meningkatkan jumlah perempuan menyusui. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/295616/original/file-20191004-118213-ccysf1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sudah ada peraturan yang melarang meminta ibu menyusui untuk meninggalkan tempat umum, meskipun demikian banyak masih merasa sulit menyusui di luar rumah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/young-beautiful-woman-breastfeeding-little-baby-1029287806?src=y3YDVRuiHydKAhGA631m0Q-2-23">Shutterstock/Irina Polonina</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada akhirnya, menyoroti peran ibu menyusui dalam melindungi Bumi bukan pesan bagi setiap perempuan. Namun, ditujukan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan. </p>
<p>Soal meningkatkan menyusui, maka pemerintah yang harus melakukan investasi dalam <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1523-536X.2010.00446.x?casa_token=P5_x0OetRhYAAAAA:nIHWjNpm8Cc_B8TxxpDP_3mCoRvZBlDUMoZiv7QvnKitjnkepNK3hwDa3yBWOrqXkr91XcD3gRjrDCQ">dukungan profesional kesehatan yang lebih besar</a>, mengurangi <a href="https://www.bmj.com/content/362/bmj.k3577/rapid-responses?int_source=trendmd&int_medium=trendmd&int_campaign=trendmd">jangkauan industri pengganti ASI</a>, memastikan <a href="https://www.unicef.org.uk/babyfriendly/still-talking-about-a-womans-right-to-breastfeed-in-public/">ruang publik</a> dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30335485">tempat kerja</a> memiliki kebijakan untuk memungkinkan bagi ibu menyusui, serta meningkatkan <a href="http://theconversation.com/six-ways-the-world-has-empowered-and-enabled-breastfeeding-121333">perlindungan kehamilan</a> bagi calon ibu. </p>
<p>Hal ini berarti memastikan bahwa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959652619307322">sekecil mungkin jejak karbon</a> yang dikeluarkan ketika susu formula diperlukan. </p>
<p>Beberapa strategi yang bisa diterapkan seperti mengurangi ketergantungan pada susu formula siap pakai dan botol sekali pakai, mengurangi banyaknya sumber daya yang digunakan dalam promosi susu formula, terutama <a href="https://www.nhs.uk/conditions/pregnancy-and-baby/types-of-infant-formula/">instruksi yang tidak perlu dan susu balita</a>, dan mengharuskan industri bertanggung jawab untuk mengurangi dampaknya sendiri, seperti membuat produk daur ulang.</p>
<p>Ini menjadi langkah penting yang dapat melindungi kita semua, tidak peduli bagaimana pilihan orang dalam memilih makanan bayi mereka.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126145/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Natalie Shenker menerima dana dari UKRI melalui Future Leaders Fellowship. Natalie juga salah satu pengurus dan co-founder Human Milk Foundation, sebuah yayasan amal yang bertujuan untuk menjamin makin banyak bayi mendapatkan asi. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Amy Brown pernah menerima dana dari ESRC, NIHR, Public Health Wales, Breastfeeding Network dan First Steps Nutrition Trust. Amy adalah penulis dari empat buku yang diterbitkan oleh Pinter and Martin Ltd - 'Breastfeeding Uncovered: who really decides how we feed our babies', 'Why starting solids matters' , 'The Positive Breastfeeding Book' dan "Informed is best'</span></em></p>Dukungan yang tepat bagi ibu menyusui adalah lingkungan.Natalie Shenker, Research Associate in the Faculty of Medicine, Imperial College LondonAmy Brown, Professor of Child Public Health, Swansea UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1210492019-08-20T06:36:55Z2019-08-20T06:36:55ZStrategi menurunkan angka stunting di Indonesia: memetakan status gizi balita hingga tingkat desa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288514/original/file-20190819-123736-5xp5wv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sayangilah anak-anak dengan memberikan gizi yang cukup dan memantau perkembangan mereka. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2NjI0MDQxMiwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTAwNjE0MTYzNiIsImsiOiJwaG90by8xMDA2MTQxNjM2L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sImlsVDhHYkUxTGxiUzE2M0gvaG8xWXUyaUR2YyJd%2Fshutterstock_1006141636.jpg&pi=33421636&m=1006141636">Kenkuza/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam lima tahun terakhir, pemerintah meningkatkan <a href="http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/stunting/Penanganan%20Stunting_DJA.pdf">perhatian</a> dan <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4041227/pemerintah-gelontorkan-1322-triliun-untuk-anggaran-kesehatan?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F">anggaran</a> untuk mempercepat penurunan angka bayi pendek (<em>stunting</em>) melalui penerbitan <a href="https://www.bappenas.go.id/id/profil-bappenas/unit-kerja/deputi-sdm/dit-kgm/contents-direktorat-kesehatan-dan-gizi-masyarakat/gerakan-nasional-percepatan-perbaikan-gizi/">peraturan presiden</a> dan menetapkan <a href="https://cegahstunting.id/wp-content/uploads/2018/04/8.-160-kab-kota-prioritas-desa-2019_FINAL_rev.4-2.pdf">160 kabupaten dan kota prioritas penanggulangan stunting</a>.</p>
<p>Masalahnya, meski <a href="http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badan-litbangkes/menu-riskesnas/menu-riskesdas">prevalensi bayi stunting di Indonesia pada 2018</a> masih tinggi 30,8% atau sekitar 1 dari 3 anak balita merupakan bayi stunting, tak ada data prevalensi tingkat kecamatan dan desa yang dapat membantu menentukan area prioritas intervensi.</p>
<iframe title="Prevalensi Balita Stunting di Indonesia (%), 2007-2018" aria-label="Column Chart" id="datawrapper-chart-dfniY" src="https://datawrapper.dwcdn.net/dfniY/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="width: 0; min-width: 100% !important; border: none;" height="400" width="100%"></iframe>
<p>Saat ini informasi prevalensi status gizi anak di bawah lima tahun baru tersedia untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten yang berasal dari survei Riset Kesehatan Dasar. Padahal, lima tahun lagi <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4041227/pemerintah-gelontorkan-1322-triliun-untuk-anggaran-kesehatan?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F">pemerintah menargetkan angka stunting bisa diturunkan hingga 19%</a>.</p>
<p>Keterbatasan informasi menjadi kendala pemerintah dalam menentukan sasaran program anti-stunting ke area yang lebih kecil. Informasi akurat terkait wilayah prioritas dan tingkat prevalensi status gizi sangat dibutuhkan untuk membantu pengambil kebijakan dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya lainnya pada sasaran yang tepat.</p>
<p>Melalui kerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), SMERU Research Institute baru-baru ini menyusun <a href="http://www.smeru.or.id/en/content/penyusunan-peta-status-gizi-di-indonesia">Peta Status Gizi untuk 6 kabupaten</a> (<a href="https://www.smeru.or.id/nutmap">peta bisa dilihat di sini</a>) berdasarkan data riset pemerintah dan verifikasi di lapangan. Peta ini menyediakan informasi prevalensi status gizi balita hingga ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. </p>
<p>Dengan metode riset yang kredibel dan data yang akurat, peta ini menjawab kebutuhan data kesehatan atau kemiskinan di tingkat desa/kecamatan dengan biaya yang jauh lebih murah. Kami menyajikan data status gizi balita di semua desa (1518 desa) di enam kabupaten terpilih yang masuk dalam daftar kabupaten prioritas yakni Rokan Hulu Provinsi Riau, Lampung Tengah (Lampung), Tasikmalaya (Jawa Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Jember (Jawa Timur), dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).<br>
Salah satu temuan kami, program intervensi pemerintah seperti perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi layak dan program terkait kesehatan lainnya, serta perubahan perilaku masyarakat menyebabkan perbaikan status gizi anak secara umum di 6 kabupaten tersebut.</p>
<h2>Memandu intervensi yang tepat sasaran</h2>
<p>Jauh sebelum riset menyusun peta status gizi tersebut, lembaga kami berpengalaman menyusun <a href="http://povertymap.smeru.or.id/content/reports">peta kemiskinan</a> yang dibuat tahun 2000, 2010 dan 2015. Peta tersebut memberikan <a href="http://povertymap.smeru.or.id/map3/kabbydesa/3206_kabdesa">informasi tingkat kemiskinan</a> hingga ke tingkat administrasi terkecil yaitu desa/kelurahan. </p>
<p>Peta ini tersedia aksesnya untuk pemerintah dalam rangka penetapan daerah-daerah prioritas pengentasan kemiskinan. Peta tersebut juga dapat memberikan gambaran secara geografis mengenai faktor-faktor kemiskinan antar wilayah dan aspek-aspek penghidupan masyarakat secara multi-dimensional.</p>
<p>Kami mengadopsi metode <em>Small Area Estimation</em> (SAE) dari <a href="https://www.jstor.org/stable/3082050">Chris Elbers, Jean Lanjouw, and Peter Lanjouw (2003) ekonom dari Vrije Universiteit Amsterdam</a> yang populer digunakan untuk mengestimasi tingkat kemiskinan hingga ke satuan wilayah terkecil. </p>
<p>Status gizi yang ditampilkan dalam peta status gizi tersebut meliputi <em>stunting</em> (anak pendek) yang didasarkan pada tinggi badan dan umur, <em>underweight</em> (anak berat kurang) yang didasarkan pada berat badan dan umur, dan <em>wasting</em> (anak kurus) yang didasarkan pada tinggi badan dan berat badan. </p>
<p>Sumber data yang kami gunakan untuk menyusun peta gizi berasal dari <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Data%20Riskesdas%202013.pdf">Riset Kesehatan Dasar 2013 </a> yang memuat informasi hasil ukur berat dan tinggi badan balita secara nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Lalu data <a href="https://www.bps.go.id/publication/2011/11/22/f0f9b7483c34df5e5ae96be2/statistik-potensi-desa-indonesia-2011.html">Statistik Potensi Desa 2011</a> dan <a href="https://mikrodata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/2">Sensus Penduduk 2010</a> dari Badan Pusat Statistik.</p>
<p>Untuk menyusun peta status gizi, selain memetakan melalui estimasi menggunakan data survei dan sensus, kami juga memverifikasi 18 desa dengan mengukur tinggi dan berat badan semua balita (3.800 anak berumur 0-59 bulan) di semua desa terpilih dan wawancara mendalam dengan informan kunci. </p>
<p>Verifikasi ini untuk mengukur secara langsung status gizi balita di desa, melihat konsistensi model estimasi, dan menangkap perubahan dari faktor-faktor kurun waktu 2013 ke 2019. </p>
<p>Temuan dari studi ini menunjukkan kondisi status gizi di semua desa sampel verifikasi cenderung membaik selama kurun waktu 2013 hingga 2019. Contohnya, berdasarkan estimasi pada desa A di Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu pada 2013 memiliki angka stunting 61%. Sementara pada verifikasi tahun 2019 angka stunting ditemukan hanya sepertiganya (20%) di desa tersebut. Program-program intervensi dari pemerintah seperti perbaikan akses sanitasi dan air layak dan pendidikan orang tua mengubah status gizi di desa, tapi perlu riset lanjutan untuk bisa menunjukkan apa saja program yang paling berhasil.</p>
<p>Temuan ini sejalan dengan perubahan angka stunting di tingkat kabupaten. Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan angka stunting di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 59%, lalu riset serupa tahun lalu angkanya turun lebih dari separuhnya, tinggal 27%. </p>
<p>Pola serupa juga ditemukan di semua kabupaten studi. Hal ini menunjukkan konsistensi antara perubahan angka status gizi di tingkat desa dan perubahan angka status gizi di tingkat kabupaten pada 2013-2019. </p>
<h2>Faktor pengubah status gizi</h2>
<p>Karena perbedaan antara tahun estimasi – menggunakan data riset kesehatan dasar tahun 2013 – dan verifikasi lapangan pada tahun ini, kami juga menganalisis faktor perubahan angka status gizi di tingkat desa. Kami menemukan beberapa faktor penghidupan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap perubahan status gizi di desa sampel. </p>
<p>Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan ayah dan ibu, membaiknya sanitasi layak dan akses rumah tangga terhadap air bersih, naiknya tingkat kesejahteraan rumah tangga, dan perbaikan asupan gizi ibu dan anak baik melalui perubahan pemahaman terkait pola pengasuhan, dan terpapar oleh program-program gizi merupakan faktor-faktor yang mengubah status gizi anak-anak. </p>
<p>Sedangkan desa dengan angka status gizi yang stagnan tarkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang tidak berjalan, ada pernikahan dini, kondisi geografis dan akses ke layanan kesehatan yang sulit, dan potensi kerawanan pangan.</p>
<p>Di desa-desa di Timor Tengah Selatan, misalnya, penurunan angka prevalensi stunting cenderung kecil/stagnan. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi geografis wilayah yang luas dengan penduduk yang tersebar, lalu kondisi alam yang cenderung kering dan jauhnya akses sumber air bersih, kesejahteraan rumah tangga yang rendah, dan pemahaman yang rendah terhadap makanan bergizi dan berimbang. </p>
<h2>Mencegah masa depan buruk</h2>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/mcn.12080">Penelitian di berbagai negara berkembang</a> menyatakan stunting memiliki banyak dampak buruk pada masa depan anak-anak. Mereka yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.</p>
<p>Karena tinggi badannya yang cenderung lebih rendah, maka anak-anak yang stunting memiliki <a href="https://www.who.int/nutrition/events/2013_ChildhoodStunting_colloquium_14Oct_ConceptualFramework_colour.pdf">faktor risiko berat badan berlebih atau obesitas dan penyakit kronis lainnya ketika dewasa</a>. Perempuan yang stunting juga dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/18242415/">berat badan lahir rendah (BBLR) dan komplikasi persalinan</a>. </p>
<p>Bank Dunia mencatat kurangnya tinggi anak 1% secara nasional berkorelasi dengan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673607600324">penurunan produktivitas ekonomi 1,4% di negara berkembang di Asia dan Afrika</a>. </p>
<p>Dan Indonesia masih menghadapi permasalahan akut kekurangan gizi di kalangan anak-anak di bawah lima tahun. </p>
<p>Sampai saat ini, pemerintah Indonesia menurunkan angka stunting dengan dua strategi: intervensi spesifik dan intervensi sensitif.</p>
<p>Di bawah kendali Kementerian Kesehatan, intervensi spesifik ditujukan untuk mencegah dan mengatasi stunting secara langsung pada ibu hamil dan balita melalui pemberian zat besi, imunisasi, makanan tambahan, dan suplementasi zat gizi mikro (misalnya zat besi, seng, dan vitamin).</p>
<p>Sedangkan intervensi sensitif yang multi-sektoral untuk mengatasi permasalahan sosioekonomi yang dapat berhubungan dengan peningkatan risiko stunting, seperti akses sanitasi dan air bersih, akses terhadap bantuan sosial, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesehatan remaja. </p>
<p>Karena itu, data prevalensi yang akurat di level terkecil sangat penting agar intervensinya tepat sasaran. <a href="https://www.smeru.or.id/nutmap/">Peta Status Gizi</a> untuk 6 kabupaten baru langkah awal untuk membantu memetakan status gizi untuk seluruh desa dan kecamatan di Indonesia sebagai bagian dari strategi nasional menurunkan angka bayi dan balita stunting.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121049/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Elza Samantha Elmira memimpin riset penyusunan peta gizi desa di 6 kabupaten dengan dukungan teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Studi ini mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Tanoto Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ridho Al Izzati terlibat dalam penyusunan analisis riset peta gizi desa di 6 kabupaten dengan dukungan teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Studi ini mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Tanoto Foundation.</span></em></p>Anak-anak yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.Elza Samantha Elmira, Researcher, SMERU Research InstituteRidho Al Izzati, Junior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1217502019-08-15T03:38:31Z2019-08-15T03:38:31ZPemberian ASI eksklusif di Indonesia baru capaian semu, ini tanggung jawab siapa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/287785/original/file-20190813-9919-6e7sjx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Walaupun ibu yang menyusui bayinya, berapa bulan bayi diberi ASI dipengaruhi oleh interaksi ibu dengan orang dekat ibu, iklan susu, dan kebijakan tempat kerja dan pemerintah. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/mom-baby-feed-milk-by-nature-648517642?src=PNviBxbcUweq81GcFnYRlw-1-22">Anek.soowannaphoom/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Cakupan pemberian air susu ibu eksklusif (ASIX) untuk para bayi di bawah enam bulan di Indonesia secara umum meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, cakupan itu sebenarnya hanya capaian semu.</p>
<p>Data <a href="http://sdki.bkkbn.go.id/files/buku/2017IDHS.pdf">Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017</a> menunjukkan secara umum angka ASIX untuk bayi berusia kurang dari enam bulan mencapai 52%. Selain meningkat sekitar 11% dibandingkan riset serupa pada 2012, capaian ini memenuhi target minimal 50% yang ditetapkan dalam <a href="https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/dokumen-perencanaan-dan-pelaksanaan/dokumen-rencana-pembangunan-nasional/rpjp-2005-2025/rpjmn-2015-2019/">rencana pembangunan nasional lima tahun terakhir</a>. </p>
<p>Namun, sumber data yang sama juga memperlihatkan bahwa persentase ASIX ini <a href="http://sdki.bkkbn.go.id/files/buku/2017IDHS.pdf">menurun seiring dengan pertambahan usia anak</a>. Untuk anak usia di bawah satu bulan persentasenya lumayan tinggi, 67%. Angka ini berkurang menjadi 55% pada anak usia 2-3 bulan, dan anjlok lagi hanya 38% pada anak usia 4-5 bulan. </p>
<p>Ini berarti angka ASIX 52% sebenarnya merupakan capaian semu karena belum menggambarkan persentase bayi yang benar-benar memperoleh ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya, tanpa asupan lain seperti susu formula (susu pengganti ASI buatan pabrik), pisang, air tajin, dan makanan/minuman lainnya.</p>
<p>Kalau begitu, siapakah yang harus bertanggung jawab atas rendahnya cakupan ASIX? Apakah ibu menjadi “satu-satunya tertuduh”?</p>
<p>Faktanya, walaupun ibu yang secara langsung menyusui anaknya, <a href="https://theconversation.com/sebagian-besar-ibu-di-indonesia-tidak-beri-asi-eksklusif-6-bulan-apa-penghambatnya-100958">pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan ibu</a>. </p>
<p><a href="http://smeru.or.id/en/content/opinion-leader-research-barriers-optimal-infant-and-young-child-feeding-practices-indonesia">Riset kami</a> menemukan bahwa pembentukan keputusan ibu terjadi akibat interaksi antara karakteristik individual ibu dan sistem serta perilaku berbagai pihak di sekitarnya. </p>
<p>Kami menggali informasi dari berbagai pihak yang memengaruhi dinamika pemberian ASIX yakni ibu, masyarakat, tenaga kesehatan, pihak swasta, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.</p>
<p>Berdasarkan model ekologi sosial, kami menemukan sistem yang turut mempengaruhi keputusan ibu untuk menyusui anaknya meliputi: faktor interpersonal (hubungan dengan suami, orang tua, dan masyarakat), faktor institusional (pelayanan kesehatan dan dukungan tempat bekerja), dan faktor lingkungan (tradisi, iklan susu formula, dan kebijakan).</p>
<h2>Faktor ibu dan orang-orang dekat</h2>
<p>Berbagai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24561977;%20https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-indonesiana/article/view/1753">penelitian di Indonesia menemukan</a> bahwa kondisi individual ibu seperti tingkat kesejahteraan dan status bekerja berkaitan dengan praktik ASIX. </p>
<p>Semakin tinggi tingkat kesejahteraan ibu, semakin mungkin ibu untuk tidak memberikan ASIX.</p>
<p>Begitu pula halnya dengan status pekerjaan ibu. Ibu bekerja memiliki kemungkinan lebih besar untuk <a href="http://apjcn.nhri.org.tw/server/APJCN/23/1/91.pdf">tidak mempraktikkan ASIX dibandingkan ibu yang tidak bekerja</a>, terutama setelah <a href="https://paediatricaindonesiana.org/index.php/paediatrica-indonesiana/article/view/1753/pdf_1">ibu selesai cuti melahirkan</a>. </p>
<p>Faktor kesehatan ibu dan anak juga menjadi penentu untuk memberikan ASI seperti diatur dalam <a href="http://kesmas.kemkes.go.id/perpu/konten/permenkes/pmk-nomor-39-tahun-2013-susu-formula-bayi-dan-produk-bayi-lainnya-114">Peraturan Menteri Kesehatan No.39/2013</a>.</p>
<p>Dalam interaksi interpersonal, dorongan dari keluarga, terutama nenek begitu besar untuk memberikan makanan tambahan pada bayi. <a href="https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/17/02/28/om2s42359-nenek-sering-kali-dianggap-merusak-tata-kelola-pemberian-asi-eksklusif">Rasa sayang dan kasihan terhadap bayi yang sering menangis</a> mendorong mereka untuk menyuapi makanan atau susu formula. Pada masa lalu, praktik ini mungkin tidak menimbulkan persoalan kesehatan sehingga tetap disarankan. Ibu yang cenderung tidak mampu menentang orang tua, akhirnya menuruti saran tersebut. </p>
<p>Temuan serupa juga terjadi di berbagai negara, bahwa <a href="https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-016-0880-5">nenek memiliki kapasitas untuk memengaruhi keputusan ibu untuk menyusui anaknya secara eksklusif</a>. Apalagi bila pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) dini dan susu formula menjadi hal yang lumrah di lingkungan tempat ibu tinggal.</p>
<h2>Kurang dukungan dari tempat kerja</h2>
<p>Masih banyak tempat kerja yang belum menyediakan ruang menyusui. </p>
<p>Berdasarkan sebuah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6182487/">penelitian</a>, hanya sekitar 21% ibu bekerja yang memiliki akses terhadap ruang laktasi di Indonesia. Ketersediaan ruang laktasi, dalam studi kami, menjadi persoalan tidak hanya di perusahaan swasta, tapi juga di instansi pemerintah. </p>
<p>Tidak jarang <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiPjq-d2u3jAhVJuI8KHWXMDrwQFjAFegQIBBAC&url=http%3A%2F%2Fejurnal.kependudukan.lipi.go.id%2Findex.php%2Fjki%2Farticle%2Fdownload%2F40%2F26&usg=AOvVaw3yVgwq0xo-nqjurjLG.">ibu terpaksa harus memerah ASI-nya di toilet</a> karena tiadanya ruang laktasi di kantornya. </p>
<p>Di antara buruh perempuan, permasalahannya lebih kompleks karena terdapat dilema antara memerah ASI dan risiko penurunan penghasilan. Memerah ASI berarti mengurangi jam kerja dan mengurangi hasil kerja. Dampaknya juga akan mengurangi penghasilan. </p>
<h2>Persepsi yang keliru</h2>
<p>Pengetahuan, persepsi dan keputusan ibu, baik secara sadar atau terpaksa, menjadi pintu masuk apakah anak memperoleh haknya atas asupan ASI atau tidak. </p>
<p>Persoalannya, sebagian ibu belum memiliki pemahaman yang cukup tentang pentingnya ASI bagi bayi. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama bisa mencegah penyakit infeksi seperti diare dan saluran pernapasan. ASI juga untuk memasok nutrisi dan cairan yang dibutuhkan bayi untuk berkembang secara optimal. </p>
<p>Masih ada anggapan bahwa susu formula lebih bernutrisi dan dapat membuat anak mereka lebih cerdas. Ada pula persepsi bahwa memperkenalkan bayi dengan makanan sejak dini dapat menstimulasi mereka agar mau makan saat usia enam bulan. </p>
<p>Secara psikologis, ibu juga terkadang tersugesti bahwa produksi ASI-nya tidak mencukupi dan merasa kesulitan jika harus memerah ASI di kantor (bagi ibu bekerja). Akhirnya mereka menyerah.</p>
<p>Alasan-alasan ini yang membuat ibu memutuskan untuk menambahkan asupan selain ASI (baik makanan, air putih, maupun susu formula) kepada bayi yang berusia kurang dari 6 bulan. </p>
<h2>Bahaya paparan iklan</h2>
<p>Walau <a href="http://smeru.or.id/en/content/opinion-leader-research-barriers-optimal-infant-and-young-child-feeding-practices-indonesia">studi kami</a> menunjukkan tidak ada <a href="https://news.detik.com/berita/1876484/peraturan-pemerintah-produsen-susu-formula-dilarang-iklan">tayangan iklan susu formula</a> untuk bayi di bawah satu tahun terutama di televisi pada saat riset tahun 2015-2016, persepsi bahwa <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK215837/?log$=activity">susu formula</a> lebih <a href="https://www.intechopen.com/books/selected-topics-in-breastfeeding/bioactive-components-of-human-milk-similarities-and-differences-between-human-milk-and-infant-formul">bergizi ketimbang ASI</a> tetap terbentuk bahkan hingga <a href="https://www.researchgate.net/publication/330520073_Hubungan_Promosi_Iklan_Susu_Formula_Dengan_Pemberian_ASI_Eksklusif_Di_Desa_Pandanarum_Kecamatan_Pacet_Kabupaten_Mojokerto">sekarang</a> karena masih adanya iklan susu formula untuk anak usia di atas satu tahun. </p>
<p>Kemiripan kemasan dan tidak adanya pernyataan yang jelas pada iklan bahwa produk hanya untuk kelompok umur tertentu membuat ibu dan masyarakat cenderung berasumsi bahwa produk yang diiklankan juga sesuai untuk anak di bawah enam bulan. </p>
<p>Persepsi positif terhadap susu formula juga diperkuat oleh adanya kasus promosi susu formula yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, perawat, dan <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2018/05/02/combating-formula-feeding.html">pihak rumah sakit</a>). </p>
<p>Dalam studi ini kami juga menemukan bahwa kesadaran dan pengetahuan tenaga kesehatan terkait ASIX masih rendah sehingga komitmen mereka untuk mempromosikan ASIX juga lemah. </p>
<h2>Bangun ekosistem dan kapasitas</h2>
<p>Sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya ASIX untuk ibu sangat penting untuk mendorong komitmen menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama. Karena setiap ibu memiliki tantangan yang berbeda, aktor-aktor yang terlibat dalam penyuluhan perlu memahami kondisi yang dihadapi ibu pada setiap lapisan ekologi sosial. </p>
<p>Karena itu, kapasitas tenaga kesehatan harus ditingkatkan agar mereka mampu mempromosikan ASIX secara lebih efektif sehingga berdampak besar mengubah persepsi dan perilaku para ibu.</p>
<p>Ibu bukan satu-satunya target penyuluhan.</p>
<p>Suami, keluarga, nenek, tenaga kesehatan, dan tempat bekerja, juga harus menjadi sasaran untuk menciptakan sistem yang mendukung ibu dalam memberikan ASI eksklusif.</p>
<p>Pemerintah harus mengawasi dan menerapkan sanksi kepada tenaga kesehatan dan perusahaan susu formula yang memasarkan susu secara tidak etis. Perlu lembaga yang punya otoritas jelas untuk mengawasi dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran tersebut. Sampai saat ini lembaga itu belum ada. Lembaga ini juga harus mendorong penyediaan ruang laktasi di tempat bekerja. </p>
<p>Bagaimana pun, membangun sistem ekologi sosial yang mendukung ibu untuk menyusui bayinya menjadi langkah strategis yang berperan penting dalam mencapai keberhasilan pemberian ASI eksklusif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121750/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rika Kumala Dewi memimpin riset tentang sistem yang mempengaruhi ibu memberi ASI eksklusif di Indonesia dengan dukungan dana dari Alive & Thrive (A&T) pada 2015-2016.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nurmala Selly Saputri terlibat dalam riset tentang sistem yang mempengaruhi ibu memberi ASI eksklusif di Indonesia dengan dukungan dana dari Alive & Thrive (A&T) pada 2015-2016.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ulfah Alifia terlibat dalam riset tentang sistem yang mempengaruhi ibu memberi ASI eksklusif di Indonesia dengan dukungan dana dari Alive & Thrive (A&T) pada 2015-2016.</span></em></p>Selain pengaruh iklan, nenek memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan ibu untuk menyusui anaknya secara eksklusif.Rika Kumala Dewi, Researcher, SMERU Research InstituteNurmala Selly Saputri, Researcher, SMERU Research InstituteUlfah Alifia, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1189192019-06-18T06:05:47Z2019-06-18T06:05:47ZBayi menangis di pesawat terbang: bagaimana sebaiknya penumpang dan awak kabin bersikap?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/279940/original/file-20190618-118497-14zs87r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ibu membawa bayinya dalam penerbangan. Semestinya setiap dewasa berempati pada bayi yang menangis di pesawat.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2MDg1NDc1NiwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMjEzNDU4NzAxIiwiayI6InBob3RvLzIxMzQ1ODcwMS9tZWRpdW0uanBnIiwibSI6MSwiZCI6InNodXR0ZXJzdG9jay1tZWRpYSJ9LCJVSzdub1VNQnNpalhEY011QWkxd2krNkRsTWMiXQ%2Fshutterstock_213458701.jpg&pi=41133566&m=213458701&src=P13NsgANvYq5JtOk9-3UDg-1-70">ChameleonsEye/Shuttestock</a></span></figcaption></figure><p>Model dan aktris <a href="https://www.liputan6.com/showbiz/read/3986355/pilih-binatang-ketimbang-bayi-di-pesawat-angela-gilsha-panen-hujatan">Angela Gilsha menumpahkan rasa kesalnya terhadap tangisan bayi</a> yang dia dengar selama penerbangan domestik baru-baru ini. Lewat Instagram, dia menyatakan lebih memilih memperbolehkan hewan daripada bayi untuk naik pesawat. Setelah dihujat di media sosial, <a href="https://celebrity.okezone.com/read/2019/06/10/33/2064854/sempat-mengeluhkan-tangisan-bayi-di-pesawat-angela-gilsha-minta-maaf">dia minta maaf</a> atas pernyataan tersebut. </p>
<p>Penyikapan atas kasus bayi yang menangis di penerbangan cukup beragam. Kaum penentang tangisan bayi tidak segan <a href="https://www.bbc.com/news/magazine-21977785">menyarankan orang tua memberikan obat sedatif, sebuah senyawa obat penenang yang dalam dosis besar dapat menyebabkan seseorang tertidur pulas,</a> bagi anak kecil selama penerbangan. Padahal penggunaan obat sedatif bagi anak meningkatkan risiko gangguan pernapasan dan efek samping lain seperti <a href="https://www.nlg.nhs.uk/content/uploads/2013/12/IFP-053SSedation.pdf">sakit kepala, muntah, dan mual</a>. </p>
<p>Bagaimana Anda menyikapi bayi yang menangis tiada henti dalam penerbangan ribuan meter di angkasa? Apakah Anda akan membantu orang tua menenangkan si bayi, diam saja dan tutup telinga seperti patung, atau meluapkan kekesalan kepada orang tua bayi? Perusahaan penerbangan seharusnya juga membekali awak kabin keterampilan melayani penumpang bayi. </p>
<p>Sebuah riset menunjukkan saat tangisan bayi tak kunjung usai atau bahkan semakin menjadi-jadi di pesawat, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352250X16301579">tingkat stres orang tua meningkat</a> yang berisiko pada perilaku pengasuhan negatif yang ditunjukkan orang tua. Walaupun tidak serta merta melakukan kekerasan pada bayinya di depan umum, raut muka yang ditunjukkan oleh orang tua dalam merespons tangisan bayi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20677873/">ternyata dapat dipahami oleh bayi</a>. Si kecil dapat merasakan suasana marah yang dirasakan orang tua. Saat kondisi ini secara konsisten dirasakan oleh bayi, kualitas ikatan keterikatan orang tua dan bayinya menurun dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4662961/">meningkatkan risiko kekerasan pada bayi</a>.</p>
<p>Karena itu, etika kepedulian dan empati perlu dipertimbangkan dalam kondisi ini. Saat bayi menangis, dia merasa tidak nyaman alias tergolong sebagai orang yang sedang mengalami kesusahan, maka mestinya orang dewasa menunjukkan kepedulian dan empati. Tangisan bayi semerdu apa pun tetap akan membuat orang tua menjadi tertekan. Lalu apakah sebagai orang dewasa kita hanya akan berdiam diri melihat orang lain kesusahan? </p>
<p>Cerita tentang penerbangan dengan tangisan bayi sudah beberapa kali menjadi kontroversi. Kasusnya bukan hanya ulah nir-empati penumpang, tapi juga oleh awak kabin pesawat. United Airlines pernah melarang terbang <a href="https://www.independent.co.uk/travel/news-and-advice/united-airlines-mother-baby-crying-flight-attendant-cabin-crew-business-class-a8557681.html">seorang pramugari dan menggelar investigasi internal terkait perlakuan pramugari tersebut saat ada bayi berusia 8 bulan menangis</a> di gendongan ibunya dalam penerbangan dari Sidney ke San Fransisco, 24 September 2018.</p>
<p>Alih-alih membantu si ibu menenangkan bayinya, pramugari tersebut menjelaskan bahwa kebijakan maskapai hanya membolehkan bayi tidak boleh menangis lebih dari lima menit. Ketika bayi tersebut tidak berhenti menangis, pramugari meminta ibu dan bayinya yang membeli tiket di kursi bisnis pindah ke kelas ekonomi agar tidak menganggu penumpang kelas bisnis lainnya. </p>
<p>Dari sejumlah kasus bayi menangis di pesawat polanya hampir sama: bayi menangis tiada henti lalu orang dewasa kesal. Penumpang lain atau awak kabin meluapkan kekesalan pada orang tua. Orang tua semakin tertekan. Bayi semakin menangis. Orang dewasa semakin kesal. Siklus tersebut terus berlangsung hingga Anda sampai di tempat tujuan. </p>
<h2>Penyebab bayi menangis di pesawat</h2>
<p>Tangisan bayi menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi yang tidak nyaman. Rasa tidak nyaman ini dapat terjadi karena banyak hal, salah satunya adalah respons bayi terhadap rasa sakit.</p>
<p><a href="https://www.who.int/ith/mode_of_travel/jet_lag/en/."><em>Jet lag</em></a>, gangguan kesehatan akibat perjalanan udara yang paling populer, bukan satu-satunya gangguan kesehatan akibat perjalanan udara. Gangguan kesehatan lain yang umum terjadi adalah rasa sakit pada telinga. Perubahan tekanan udara yang sangat cepat saat pesawat lepas landas dan mendarat berisiko pada terjadinya <a href="https://medlineplus.gov/ency/article/001064.htm">cedera telinga</a>. Rasa sakit pada telinga ini terjadi tidak hanya pada orang dewasa tapi juga bayi. </p>
<p>Saat lepas landas, pramugari biasanya akan menawarkan permen untuk penumpang. Hal ini merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari cedera telinga. Sayangnya, trik ini tidak bisa dilakukan pada bayi karena <a href="https://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/">tekstur permen terlalu keras untuk bayi</a> dan dapat membuat bayi tersedak. Untuk mengurangi sakit telinga pada bayi saat tinggal landas dapat dilakukan dengan <a href="https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/infant-and-toddler-health/expert-answers/air-travel-with-infant/faq-20058539">menyusui bayi</a>. </p>
<p>Dampak kesehatan yang paling serius justru disebabkan oleh <a href="https://hellosehat.com/penyakit/hipoksia/">hipoksia</a>, sebuah kondisi saat jaringan tubuh kekurangan oksigen. Normalnya oksigen dalam darah sekitar 75-100 milimeter air raksa (mm Hg), bila di bawah 60 mm Hg akan terkena hipoksia dan butuh oksigen tambahan. Dalam penerbangan, hipoksia terjadi akibat turunnya <a href="https://www.infopenerbangan.com/memahami-hipoksia-di-ketinggian/">tekanan parsial oksigen</a> dalam udara yang dihirup seiring dengan ketinggian yang melebihi kemampuan fisiologi tubuh. </p>
<p>Respon tubuh terhadap <a href="https://hellosehat.com/penyakit/hipoksia/">hipoksia berbeda untuk masing-masing individu</a>. Pada bayi, hipoksia dalam jangka waktu yang lama (risiko meningkat saat penerbangan jarak jauh) dikabarkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1719897/">dapat menyebabkan kematian mendadak</a>. Hipoksia juga terbukti menyebabkan kondisi tidak nyaman selama perjalanan udara baik <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17611205">pada bayi maupun orang dewasa</a>. Bayi menangis merupakan satu indikasi ketidaknyamanan tersebut. </p>
<h2>Etika menjadi orang tua vs etika kepedulian dan empati</h2>
<p>Dalam buku <a href="https://www.questia.com/library/120076918/the-ethics-of-parenthood">The Ethics of Parenthoods</a>, Norvin Richards menjelaskan tentang bagaimana etika yang terjadi pada interaksi orang tua dan anak pada setiap tahapan kehidupan. Seorang anak hadir di dunia karena ego orang dewasa untuk memiliki penerus. Implikasinya, segala urusan yang ditimbulkan oleh si “anak” merupakan tanggung jawab orang tuanya. </p>
<p>Selain dalam kasus bayi menangis di pesawat, kontroversi tentang etika menjadi orang tua juga muncul saat membahas tentang menyusui bayi di tempat umum. Banyak orang dewasa merasa terganggu dengan praktik menyusui di tempat umum. Orang tua diminta untuk menyusui bayinya di tempat menyusui yang belum tentu lokasinya dekat. Untuk bisa segera disusui, si bayi harus menunggu sampai ibu mendapatkan lokasi menyusui yang tepat. </p>
<p>Alhasil bayi diminta untuk berkorban menahan rasa lapar atau merasakan sensasi makan di toilet atau mungkin juga menyusu dengan kegerahan karena tertutup celemek menyusui. Berkaca pada kasus ini, bayi selalu menjadi pihak yang dirugikan karena peran orang tua sebagai makhluk sosial. </p>
<p>Menjadi orang tua sekaligus makhluk sosial tampaknya merupakan tugas yang sulit. Pertanyaan yang muncul pada etika menjadi orang tua adalah apakah orang dewasa harus memiliki hubungan biologis untuk dapat disebut sebagai orang tua? Dalam kajian etika ini, pendekatan deontologis/kewajiban etis dipakai untuk meyakinkan bahwa semua orang dewasa, walaupun tanpa hubungan biologis, seharusnya selalu berperilaku baik kepada anak.</p>
<h2>Sekali lagi empati</h2>
<p>Dalam kasus bayi menangis di pesawat dan bayi menyusu di tempat umum, kepedulian dan empati merupakan solusi yang menyenangkan semua pihak, terlepas siapa yang <a href="https://www.researchgate.net/publication/287422810_The_Ethics_of_Care_and_Empathy">menunjukkan kepedulian dan empati tersebut</a>. </p>
<p>Empati tersebut ditunjukkan oleh seorang perempuan yang naik Alaskan Airlines dari Seattle ke Denver pada 29 Juli 2017. Dalam pesawat tersebut penumpang ini melihat seorang ibu sedang berjuang menenangkan bayi dan dua balitanya yang menangis bersamaan. Dalam unggahan di media sosialnya, perempuan tersebut menggambarkan bagaimana <a href="https://www.boredpanda.com/mom-helps-crying-kids-plane-kesha-bernard/?utm_source=google&utm_medium=organic&utm_campaign=organic">rasa kepedulian dan empati telah hilang dari para penumpang lainnya</a>. Saat perempuan tersebut menawarkan bantuan, seketika ibu yang kesusahan tersebut memintanya menggendong bayinya. Ajaibnya bayinya langsung tertidur pulas. </p>
<p>Penerbangan “FlyBabies” yang diluncurkan oleh maskapai JetBlue menunjukkan bentuk empati yang lebih berimbang antara <a href="https://www.travelandleisure.com/travel-tips/airlines-airports/jetblue-crying-baby-promotion">orang tua bayi dan juga penumpang lainnya</a>. Dalam penerbangan ini, setiap kali ada seorang bayi menangis di pesawat, semua penumpang akan menerima diskon 25% untuk penerbangan JetBlue berikutnya. Walaupun hanya bersifat promotif memperingati <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Ibu">Hari Ibu 22 Desember</a>, kebijakan ini membuat penumpang lain menerima tangisan bayi dalam penerbangan.</p>
<p>Terbang bersama tangisan bayi tentu sangat melelahkan, namun bayi juga memiliki hak yang sama sebagai penumpang untuk berekspresi di pesawat. Seharusnya kru kabin tidak hanya dibekali dengan keterampilan melayani penumpang dewasa melainkan juga menangani penumpang bayi yang menangis di pesawat. Saat kru kabin menunjukkan empatinya maka orang tua dan penumpang lain akan lebih merasa tenang dan memiliki kemungkinan tertular untuk melakukan hal yang tidak emosional.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/118919/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nuzulul Kusuma Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Terbang bersama tangisan bayi cukup melelahkan, namun bayi juga memiliki hak yang sama sebagai penumpang untuk berekspresi di pesawat. Awak kabin seharusnya juga terampil melayani penumpang bayi.Nuzulul Kusuma Putri, Dosen pada Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1172052019-05-20T09:41:25Z2019-05-20T09:41:25ZSeperempat ibu depresi setelah melahirkan, tapi penanganannya belum optimal. Mengapa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/275224/original/file-20190518-69169-puwvws.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ibu hamil membutuhkan dukungan dari suami dan orang-orang di sekitarnya agar tidak depresi. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/lovely-muslim-indonesian-couple-walking-park-1392295505?src=rDpHdWk_RF-XskMwjV_tKg-1-50">Mila Supinskaya Glashchenko/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Tingginya angka depresi pada perempuan, baik saat hamil maupun setelah melahirkan, membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah dan keluarga agar dampaknya tak semakin buruk.</p>
<p>Akhir April lalu, misalnya, seorang ibu muda bersama bayinya berusia empat bulan <a href="http://jabar.tribunnews.com/2019/04/29/8-fakta-ibu-bunuh-diri-ajak-bayinya-di-jembatan-serayu-cilacap-alami-syndrome-baby-blues">bunuh diri dengan cara terjun ke Sungai Serayu yang deras di Cilacap Jawa Tengah</a>. </p>
<p>Sejumlah media menyebut sebelum bunuh diri, ibu tersebut mengalami gejala sindrom <em><a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4530251/kisah-pilu-ibu-dan-bayinya-tewas-setelah-terjun-dari-jembatan-di-cilacap">baby blues</a></em>, yaitu perasaan sedih, cemas, dan mudah marah, yang terjadi dalam jangka pendek (hingga 10 hari setelah melahirkan). Tapi melihat rangkaian kasus tersebut, ibu ini mungkin memiliki gejala depresi setelah melahirkan, bukan sekadar <em>baby blues</em>.</p>
<h2>Beda <em>baby blues</em> dan depresi setelah melahirkan</h2>
<p><em>Postpartum blues</em> atau <em>baby blues syndrome</em> yang mulai disuarakan oleh banyak perempuan di media sosial dialami oleh <a href="https://americanpregnancy.org/first-year-of-life/baby-blues/">mayoritas (70%-80%) ibu melahirkan</a> baik di negara berkembang maupun negara maju. </p>
<p><em>Baby blues</em> disebabkan oleh perubahan hormonal dan sosial (seperti perubahan peran menjadi ibu) setelah melahirkan. Gejala-gejala <em>baby blues</em> yang dialami oleh ibu akan hilang dengan sendirinya, setelah ibu mampu menyesuaikan diri dengan peran barunya. Dengan demikian, <em>baby blues</em> tidak dikategorikan sebagai gangguan kesehatan mental selama masa perinatal. </p>
<p>Berbeda dengan <em>baby blues</em>, depresi bisa dialami oleh ibu pada masa kehamilan, setelah melahirkan maupun pada kedua fase tersebut. Depresi saat hamil juga menjadi salah satu <a href="https://pdfs.semanticscholar.org/5f1d/4110299a6342ab8d1c21130d0635f976d66f.pdf">prediktor depresi postpartum</a></p>
<p>Gejala depresi <em>postpartum</em> mirip <em>baby blues</em> dengan durasi, frekuensi, dan intensitas gejala yang lebih tinggi (parah) dan membutuhkan bantuan tenaga kesehatan untuk menanganinya. Gejala utamanya ditandai dengan adanya pikiran menyakiti diri sendiri/bayinya, keinginan bunuh diri, dan ketidakmampuan merawat bayi yang baru dilahirkan. </p>
<h2>Risiko perempuan lebih tinggi</h2>
<p>Perempuan memiliki <a href="https://www.who.int/mental_health/prevention/genderwomen/en/">risiko tiga kali lebih besar</a> untuk mengalami depresi daripada laki-laki, dan angka kejadiannya banyak ditemukan pada mereka yang masih di usia reproduktif (12-51 tahun).</p>
<p>Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), di negara berkembang, <a href="https://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/mmh_jan08_meeting_report.pdf?ua=1">antara 10-50% ibu yang menjalani masa perinatal (saat hamil hingga setahun setelah melahirkan) mengalami depresi</a>. </p>
<p>Menurut sebuah <a href="https://www.scielosp.org/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0042-96862012000200014">tinjauan sistematis</a>, angka kejadian gangguan kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan pada ibu di negara berkembang tercatat memiliki <a href="https://www.rumusstatistik.com/2013/08/rata-rata-tertimbang-terbobot.html">rata-rata terbobot</a> 15,6% saat hamil dan 19,8% saat setelah melahirkan. Di Indonesia, tercatat sebanyak <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2753/IMH0020-7411350105">22,4% ibu mengalami depresi</a> setelah melahirkan (depresi <em>postpartum</em>).</p>
<p>Sayangnya, meski angka kejadian depresi pada ibu selama masa perinatal di negara berkembang lebih tinggi daripada kejadian di negara maju yang prevalensinya berkisar antara <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15051562">7,4</a>-<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.3109/09540269609037816">13%</a>, sistem kesehatan mental perinatal belum tersedia di banyak negara berkembang. Selain itu, ada juga faktor budaya dan kapasitas paramedis yang menghambat penangangan masalah ini secara optimal. </p>
<h2>Kesehatan mental belum jadi prioritas</h2>
<p>Sistem kesehatan mental perinatal belum menjadi prioritas di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Program kesehatan yang diluncurkan oleh pemerintah lebih terfokus pada kematian ibu dan bayi. </p>
<p>Ini sebenarnya bisa dipahami karena pemerintah Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk menurunkan <a href="https://sains.kompas.com/read/2018/03/28/203300723/angka-kematian-ibu-dan-bayi-di-indonesia-tinggi-riset-ungkap-sebabnya">Angka Kematian Ibu (AKI) (305/100.000 kelahiran hidup)</a> dan Angka Kematian Bayi (AKB)<a href="https://beritagar.id/artikel/berita/rapor-merah-angka-kematian-bayi-di-indonesia">(24/1.000 kelahiran)</a> yang saat ini <a href="http://www.depkes.go.id/article/view/17021000003/keberhasilan-kb-dapat-turunkan-angka-kematian-ibu.html">masih cukup tinggi</a> di antara negara-negara di Asia Tenggara. </p>
<p>Namun berdasarkan banyak penelitian, gangguan kesehatan mental pada masa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada masa hamil dan setelah melahirkan, seperti kejadian <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378378202000750">abortus spontan (keguguran)</a>, kelahiran dengan <a href="https://www.nature.com/articles/1601526">berat bayi lahir rendah</a> (kurang dari 2500 gram), dan <a href="https://www.nature.com/articles/1601526">persalinan prematur</a> (sebelum usia 37 minggu). </p>
<p>Sebuah studi <a href="https://www.medicalnewstoday.com/articles/281703.php">jangka panjang</a> untuk mengetahui dampak faktor risiko terhadap suatu penyakit juga menemukan bahwa depresi pada masa perinatal berhubungan dengan kejadian <a href="https://jamanetwork.com/journals/jamapsychiatry/article-abstract/482059"><em>stunting</em> dan gangguan gastrointestinal</a> (pencernaan) seperti diare pada bayi dan balita. </p>
<p>Sedangkan untuk jangka panjang, gangguan kesehatan mental pada ibu hamil diasosiasikan dengan buruknya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0890856709607425">perkembangan kognisi, perilaku, dan emosi pada anak-anak yang dilahirkan</a>. </p>
<h2>Hambatan budaya dan paramedis</h2>
<p>Pada ibu hamil, stres dikaitkan dengan banyaknya tekanan sosial dan budaya di sekelilingnya. </p>
<p>Dengan berbagai peran yang dipegang oleh seorang ibu (anak dari orang tuanya, istri dari suaminya, ibu dari anak-anaknya dan bayi yang dikandungnya), ia menjadi sangat berisiko mengalami gangguan mental pada saat masa perinatal. Belum lagi, jika ia berkarir di luar wilayah domestik rumah tangga. </p>
<p>Masalah makin runyam karena keluhan stres pada ibu lekat dengan stigma dan stereotip; misalnya ibu dengan gejala depresi dianggap sebagai ibu yang gagal atau kurang bersyukur. </p>
<p>Selain itu, secara umum problem kesehatan mental di Indonesia juga berkaitan dengan adanya kesenjangan <a href="https://theconversation.com/penderita-gangguan-mental-makin-terpojok-oleh-relasi-kuasa-yang-timpang-92753">relasi kuasa</a> yang dialami penderita.</p>
<p>Dalam konteks ini, faktor sosial budaya menjadi salah satu hambatan untuk bisa mewujudkan masyarakat yang sadar akan pentingnya kesehatan mental. <a href="http://theconversation.com/260-juta-orang-dan-kurang-dari-1000-psikiater-indonesia-kekurangan-pekerja-kesehatan-mental-105969">Indonesia kekurangan tenaga kesehatan mental yang memadai</a> (psikiater, psikolog dan perawat jiwa) dan belum banyak profesional kesehatan (bidan, dokter spesialis obstetri dan ginekologi, atau dokter umum) yang menanyakan perihal perasaan atau kondisi psikologis pada ibu hamil dan ibu baru melahirkan. </p>
<p>Karena jumlah kunjungan pasien terlalu banyak, profesional kesehatan kekurangan waktu untuk melayani masing-masing ibu hamil dengan intensif. Selain itu, tenaga kesehatan mental tidak tersedia di semua Puskesmas sehingga layanan tersebut kurang terjangkau masyarakat. </p>
<h2>Pembenahan sistem begitu mendesak</h2>
<p>Upaya pertama untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental untuk para ibu di Indonesia adalah membekali bidan, dokter umum dan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan literasi kesehatan mental dan pengetahuan mengenai dampak buruk depresi dan gangguan kecemasan pada ibu hamil. Mereka perlu tahu bagaimana mendeteksi gangguan kesehatan mental. </p>
<p>Ada beberapa instrumen untuk mendeteksi gangguan kesehatan mental, seperti <a href="http://perinatology.com/calculators/Edinburgh%20Depression%20Scale.htm">Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS)</a>, <a href="https://www.svri.org/sites/default/files/attachments/2016-01-13/HADS.pdf">Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS)</a>, dan <a href="https://www.ismanet.org/doctoryourspirit/pdfs/Beck-Depression-Inventory-BDI.pdf">Beck Depressive Inventory (BDI)</a> yang bisa digunakan sebagai bentuk penapisan (skrining) awal. </p>
<p>Instrumen-instrumen ini tersedia dalam bahasa Indonesia sehingga seharusnya penggunaannya bisa lebih maksimal. Penapisan awal berguna untuk menentukan mana ibu yang membutuhkan konseling dari tenaga kesehatan terlatih dan mana ibu yang perlu dirujuk karena membutuhkan bantuan lebih lanjut dari psikolog dan psikiater. </p>
<p>Kebijakan yang mendesak adalah memperkuat layanan kesehatan mental di pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas). <a href="http://www.cmaj.ca/content/178/8/997?utm_source=TrendMD&utm_medium=cpc&utm_campaign=CMAJ_TrendMD_0">Sebuah riset meta-analisis menemukan bahwa</a> melakukan skrining tanpa didukung dengan keberadaan sistem pelayanan dan manajemen yang tepat, tidak memiliki benefit terhadap pasien yang menderita depresi. </p>
<p>Di beberapa Puskesmas di wilayah Yogyakarta, <a href="https://theconversation.com/layanan-psikolog-di-puskesmas-yogyakarta-solusi-deteksi-gangguan-jiwa-di-level-bawah-96484">keberadaan psikolog klinis telah menjadi bagian dari pelayanan kesehatan</a>. Namun pelayanan psikologis ini belum terintegrasi dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak. </p>
<p>Di beberapa Puskesmas di Yogyakarta, ibu hamil telah mendapatkan kesempatan bertemu dengan psikolog dalam sesi psikoedukasi. Sayangnya, hal ini hanya berlaku untuk satu kali selama masa hamil dan biasanya hanya dilakukan pada saat kunjungan pertama. Padahal, gangguan psikologis pada saat masa perinatal bisa dialami ibu kapan saja: trimester ke-1, 2, 3 atau bahkan 4 bulan setelah melahirkan.</p>
<p>Karena itu, membekali tenaga kesehatan pemberi layanan kebidanan dengan keterampilan skrining dan mengintegrasikan pelayanan kesehatan ibu dan anak dengan layanan psikolog menjadi dua hal yang sangat penting untuk mengoptimalkan pengalaman ibu selama masa perinatal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/117205/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Cesa Septiana Pratiwi bekerja di Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta dan merupakan penerima beasiswa LPDP Kemenkeu RI di University of Leeds serta merupakan volunteer di group MotherHope Indonesia.</span></em></p>Sangat penting membekali bidan, dokter umum dan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan literasi kesehatan mental untuk mendeteksi dan menanganinya ibu hamil yang depresi.Cesa Septiana Pratiwi, PhD Researcher, University of LeedsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1152352019-04-23T10:31:49Z2019-04-23T10:31:49ZRiset buktikan tidur menghadap samping bagi ibu hamil kurangi risiko bayi lahir mati<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/269264/original/file-20190415-147502-gkerws.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C17%2C5760%2C3802&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tidur menghadap samping baik untuk bayi. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock </span></span></figcaption></figure><p>Baru-baru ini, sebuah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2589537019300549?via%3Dihub">riset internasional</a> yang dipimpin Selandia Baru memberi bukti kuat bahwa perempuan dapat menekan risiko janin mati dalam kandungan (lahir mati) hingga setengahnya dengan cara tidur menghadap ke samping selama tiga bulan terakhir masa kehamilan.</p>
<p>Riset besar ini juga telah membuktikan, risiko lahir mati ditemukan pada ibu hamil yang tidur telentang di trimester terakhir kehamilan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/more-than-20-000-stillbirths-worldwide-are-avoidable-53367">More than 20,000 stillbirths worldwide are avoidable</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Faktor risiko</h2>
<p>Di Selandia Baru, lahir mati diartikan sebagai kehilangan bayi setelah <a href="https://www.health.govt.nz/your-health/pregnancy-and-kids/services-and-sportport-during-pregnancy%20/miscarriage-and-stillbirth">20 minggu usia kehamilan</a>. Ada kira-kira 2,64 juta kematian bayi di seluruh dunia setiap tahunnya, dan sekitar 300 bayi lahir mati di Selandia Baru setiap tahun. </p>
<p>Sekitar satu dari 500 perempuan di <a href="https://www.hqsc.govt.nz/assets/PMMRC/Publications/12th-PMMRC-report-final.pdf">Selandia Baru</a> akan mengalami kehilangan bayi mereka pada 28 minggu kehamilan atau lebih.</p>
<p>Kami telah menganalisis semua data yang tersedia di seluruh dunia dari lima riset sebelumnya, termasuk penelitian sebelumnya di Auckland, Selandia Baru <a href="https://www.bmj.com/content/342/bmj.d3403">pada 2011</a>. Penelitian tersebut adalah penelitian yang pertama kali menghubungkan posisi tidur ibu dengan risiko lahir mati. </p>
<p>Temuan utama dalam penelitian besar tersebut meliputi data dari 851 ibu yang janinnya mati dan 2.257 perempuan yang sedang mengandung. Hasil penelitian menunjukkan tidur dengan posisi telentang di usia kehamilan 28 minggu meningkatkan risiko lahir mati sebanyak 2,6 kali.</p>
<p>Risiko ini terjadi terlepas adanya risiko lain yang juga menyebabkan lahir mati. Namun, risiko akibat tidur telentang ini ternyata menambah risiko lainnya, misalnya, mengganggu pertumbuhan bayi di dalam rahim. </p>
<p>Faktor-faktor risiko untuk lahir mati untuk janin yang berusia <a href="https://www.hqsc.govt.nz/assets/PMMRC/Publications/12th-PMMRC-report-final.pdf">28 minggu atau lebih</a> tidak mudah diidentifikasi. Mereka termasuk usia ibu hamil berusia lanjut (lebih dari 40 tahun), obesitas, perokok. Risiko juga ditemukan pada bayi yang pertumbuhannya di dalam kandungan terganggu, terutama jika tidak terdeteksi sebelum kelahiran. </p>
<p>Perempuan yang hamil pertama kali juga berisiko lebih tinggi, atau jika mereka sudah memiliki tiga bayi atau lebih. Perempuan yang berasal dari etnis di daerah Pasifik dan Asia Selatan juga memiliki risiko lahir mati pada janin berusia lebih dari <a href="https://www.hqsc.govt.nz/assets/PMMRC/Publications/12th-PMMRC-report-final.pdf">28 minggu lebih tinggi</a>, dibandingkan dengan perempuan Eropa.</p>
<p>Jika risiko yang disebut di atas dapat teridentifikasi, sebagian kematian bayi ini dapat dicegah. Penemuan paling penting penelitian kami telah menunjukkan bahwa jika setiap perempuan hamil tidur miring setelah kehamilan 28 minggu, maka sekitar 6 persen dari kelahiran mati terlambat dapat dicegah. Ini artinya dapat menyelamatkan nyawa sekitar 153.000 bayi setiap tahunnya. </p>
<h2>Berkurangnya aliran darah</h2>
<p>Secara biologis, hubungan antara ibu yang tidur telentang dan lahir mati masuk akal. Posisi tidur telentang di akhir kehamilan terkait dengan berkurangnya aliran darah menuju rahim. Oleh karena itu, perempuan yang sedang bersalin dan perempuan yang menjalani operasi caesar secara rutin dimiringkan ke sisi sebelah guna meningkatkan pasokan darah ke bayi.</p>
<p>Baru-baru ini, <a href="https://www.healthnavigator.org.nz/health-a-z/m/mri-scan/%20=">penelitian</a> yang dilakukan University of Auckland, Selandia Baru memberikan bukti canggih tentang pengaruh posisi tidur ibu terhadap aliran darah. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan Pencitraan Resonansi Magnetik (<a href="https://www.healthnavigator.org.nz/health-az/m/mri-scan/">MRI</a> menunjukkan pembuluh darah utama di perut ibu, <em>vena cava inferior</em>, tertekan oleh rahim ketika sang ibu berbaring telentang. Aktivitas ini mengurangi aliran ke pembuluh darah sebanyak 80 persen. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=204&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=204&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=204&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=256&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=256&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/266722/original/file-20190401-177175-1l5r8cf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=256&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Gambar MRI menunjukkan <em>vena cava inferior</em> yang berwarna biru dan aorta yang berwarna merah. Pada gambar kiri, sang ibu berbaring menghadap samping kiri, sedang gambar sebelah kanan menunjukkan sang ibu berbaring telentang.</span>
<span class="attribution"><span class="source">provided</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meski sirkulasi darah ibu ini merespons dengan cara meningkatkan aliran darah melalui pembuluh, hal ini tidak sepenuhnya cukup. Aorta ibu, arteri utama yang membawa darah kaya oksigen dari hatinya, juga tertekan sebagian ketika sang ibu berbaring telentang. Ini mengurangi aliran darah ke rahim, plasenta, dan bayi.</p>
<p>Kami berspekulasi bahwa ketika bayi yang sehat dapat mengatasi kurangnya pasokan darah, maka bayi yang kurang sehat mungkin tidak bisa bertahan. Contoh, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2589537019300549?via%3Dihub">penelitian besar kami</a> menunjukkan bahwa risiko lahir mati setelah 28 minggu kehamilan meningkat sekitar 16 kali jika seorang ibu tidur dengan posisi telentang dan sedang mengandung bayi yang kecil.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Penelitian di Selandia Baru menunjukkan bahwa perempuan hamil dapat mengubah posisi tidur mereka. Dalam <a href="https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12884-017-1378-5">survei terbaru</a> yang dilakukan pada perempuan hamil dari Auckland bagian selatan, sebuah kelompok yang memiliki angka kelahiran mati <a href="//www.hqsc.govt.nz/assets/PMMRC/Publications/12th-PMMRC-report-final.pdf">yang tinggi</a>, lebih dari 80 persen responden menyatakan bahwa mereka dengan mudah akan mengubah posisi tidur jika itu merupakan yang terbaik bagi sang bayi. </p>
<p>Kami menyarankan perempuan dengan usia <a href="https://www.sleeponside.org.nz/">kehamilan 28 minggu</a> untuk tidur menghadap samping untuk mengurangi risiko lahir mati, meski hanya untuk tidur siang . Tidak masalah menghadap kanan atau kiri. Jika Anda bangun dengan posisi telentang, ini lumrah terjadi, tetapi ingatlah untuk segera berputar ke samping.</p>
<p><em>Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/115235/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lesley McCowan menerima dana dari Cure Kids New Zealand dan Red Nose Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Robin Cronin menerima dana dari University of Auckland dan Sir John Logan Campbell Medical Trust selama penelitian berlangsung.</span></em></p>Riset menemukan bahwa tidur telentang selama trimester terakhir meningkatkan lahir mati sebesar 2,6 kali.Lesley McCowan, Professor, Obstetrics & Gynecology, University of Auckland, Waipapa Taumata RauRobin Cronin, Midwife researcher, University of Auckland, Waipapa Taumata RauLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/953732018-04-20T08:51:57Z2018-04-20T08:51:57ZDari ibu yang bahagia lahir bayi yang sehat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/215717/original/file-20180420-163975-2683rn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C997%2C523&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Satu dari delapan perempuan di dunia menderita depresi ketika hamil dan sesudah melahirkan. Padahal kebahagiaan ibu dan calon ibu menentukan kesehatan si bayi.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><em>Ini adalah artikel pertama dalam seri tulisan dengan tema “Kesehatan Ibu dan Anak” dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April.</em></p>
<hr>
<p>Perempuan mengalami depresi saat kehamilan dan sesudah melahirkan adalah hal yang umum terjadi. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17370048">Satu dari delapan ibu</a> di seluruh dunia menderita depresi baik ketika mengandung atau sesudah melahirkan. Di negara-negara berkembang dan miskin, perbandingannya bisa naik menjadi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3302553/">satu dari tiga perempuan</a>. </p>
<p>Beberapa dari kita pernah mendengar cerita depresi yang berkaitan dengan kehamilan dari teman dan saudara. Beberapa di antaranya bahkan memiliki akhir yang menyedihkan seperti kasus <a href="https://www.goodhousekeeping.com/health/a43999/postpartum-depression-elizabeth-greg-ludlam/">bunuh diri</a> dan <a href="http://people.com/crime/st-louis-mom-murder-suicide-postpartum-depression/">pembunuhan</a>.</p>
<p>Dalam suatu forum santai dengan beberapa teman yang sedang belajar di tingkat doktor di University of Melbourne, saya mendapati semua teman-teman perempuan saya mengalami depresi pasca kelahiran atau dalam kondisi yang lebih sederhana yang dikenal dengan <em>baby blues</em>, terutama ketika menjadi ibu pertama kali.</p>
<p>Keadaan paling sulit untuk ibu adalah mengatasi depresi sendirian. Tanda-tanda yang biasa dialami oleh mereka yang depresi ini adalah perasaan sedih, pesimis mengenai masa depan, merasa tidak bertenaga dan kurang semangat. Banyak yang beranggapan bahwa perasaan depresi saat hamil dan menyusui adalah keadaan yang wajar dan ketika ibu mengeluhkan suasana perasaannya, ia mungkin akan dipandang tidak mampu menjadi ibu yang baik.</p>
<p>Tidak semua perempuan menyadari bahwa mereka sedang mengalami gejala depresi. Mereka merasa nestapa, namun mereka juga tidak memiliki cukup pengetahuan tentang mengapa hal itu terjadi pada mereka dan apa yang harus dilakukan. Sebagian besar mencoba mengabaikan masalahnya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Sedikit sekali dari mereka yang berusaha mencari bantuan. </p>
<h2>Penyebab ketidakbahagiaan</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tekanan sosial dan budaya yang memberi penilaian baik buruknya seorang ibu juga berkontribusi menimbulkan depresi pada ibu.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock,com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.springer.com/gp/book/9781441915252">Kekhawatiran berlebihan terhadap keselamatan bayi </a> bisa menimbulkan perasaan depresi pada ibu hamil dan menyusui. Beberapa ibu memiliki ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada bayinya. </p>
<p><a href="https://www.springer.com/gp/book/9781441915252">Kurangnya kepercayaan diri perempuan</a> terhadap kemampuannya dalam mengasuh juga bisa menyebabkan depresi. Sebagian wanita merasa tidak mampu dan tidak siap menjadi seorang ibu karena tidak memiliki pengatahuan tentang kehamilan dan bagaimana mengasuh bayi. Ketidakpercayaan diri ini bahkan lebih kuat pada perempuan yang kehidupan ekonominya sangat berat. </p>
<p>Tekanan sosial-budaya yang membentuk definisi gambaran ibu yang baik di masyarakat juga bisa menentukan depresi pada ibu. </p>
<h2>Akibat fatal bagi bayi</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ibu yang depresi juga menyebabkan stres pada anak.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Wanita hamil dan ibu menyusui yang tidak bahagia dapat memperburuk hubungan ibu dan bayi. Emosi negatif ini tidak hanya memengaruhi sang ibu, namun juga si bayi. </p>
<p>Perempuan hamil yang mengalami depresi cenderung kurang peduli terhadap kebutuhan pribadinya. Mereka kehilangan nafsu makan dan oleh karenanya menemui risiko mengalami gizi buruk selama kehamilan. </p>
<p>Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya risiko <a href="http://www.who.int/whosis/whostat2006NewbornsLowBirthWeight.pdf">bayi lahir dengan berat yang rendah</a>. Bayi berat lahir rendah (BBLR) bisa menjadi sebab berbagai masalah kesehatan, diantaranya seperti hambatan perkembangan psikologis, <em>stunting</em> (kerdil), berkembangnya penyakit kronis, dan bahkan kematian bayi dan anak. </p>
<p>Bayi dan anak-anak dari ibu yang mengalami depresi berpotensi mengalami gangguan kesehatan. Selain BBLR, bayi juga bisa menderita <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3083253/">ukuran kepala yang kecil dan masalah makan dan tidur</a>. Di beberapa negara, depresi pada ibu juga dikaitkan dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1750-8606.2008.00077.x">diare pada anak dan program imunisasi yang tidak lengkap</a>.</p>
<p>Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi, pengetahuan kognitifnya juga akan terhambat seperti <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21651606">keterlambatan bahasa dan IQ yang rendah</a>. </p>
<p>Semua risiko ini bahkan mungkin berlanjut hingga mereka remaja. </p>
<p>Depresi pada ibu juga mempengaruhi produksi air susu ibu (ASI). Beberapa teman mengatakan bahwa ASI mereka tidak berproduksi sama sekali ketika mereka dalam keadaan depresi. Situasi ini menghalangi bayi mendapat manfaat dari kandungan nutrisi ASI yang kaya, pada akhirnya menghambat tumbuh kembang bayi. </p>
<p>Ibu yang mengalami depresi juga menghadapi <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-4419-1526-9_6">kesulitan</a> dalam memahami ekspresi emosional bayinya. Kondisi ini dapat menyebabkan stres pada bayi karena ibu tidak menjawab kebutuhannya secara benar. Semakin lama, ibu-ibu ini melihat dirinya sebagai ibu yang gagal atau wanita yang tidak bisa menjadi ibu, sebuah penilaian yang makin memperburuk keadaannya. </p>
<p>Secara keseluruhan, dampak-dampak yang disebutkan di atas dapat menimbulkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/288664748_Lifetime_costs_of_perinatal_anxiety_and_depression">beban keuangan</a> pada keluarga karena mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk biaya kesehatan anak, yang mungkin akan dialami seumur hidup. </p>
<p>Perkembangan kognitif yang terganggu juga berakibat pada biaya tambahan untuk pendidikan khusus dan terapi lain yang diperlukan sang anak. Orangtua juga kehilangan waktu produktifnya karena harus menyediakan waktu khusus untuk merawat dan mengasuh anaknya. </p>
<h2>Apa yang harus dilakukan</h2>
<p>Memberikan perhatian pada kehidupan emosi dan psikologis ibu-ibu ini sangatlah penting. </p>
<p>Banyak ibu di Indonesia manganggap kebutuhan bayinya lebih penting daripada dirinya. Anggapan ini mengakibatkan wanita mengesampingkan kesehatan psikologisnya demi sang anak. Sebelum mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ibu perlu mengenali dan jujur pada diri sendiri bahwa ia mengalami suasana emosi yang kurang menguntungkan. </p>
<p>Perhatian dan dukungan untuk memastikan ibu merasa bahagia selama kehamilan dan menyusui sangatlah penting. Dukungan awal harus berasal dari keluarga. </p>
<p>Suami memegang peran penting untuk membantu ibu yang mengalami depresi. Mereka harus membuka diri untuk menerima kondisi pasangannya dan tidak bersikap menghakimi. Begitu ibu merasa diterima dan dipahami, maka mereka dapat lebih mudah menghadapi kesulitannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah, sebelum akhirnya mencari pertolongan kepada ahli. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para suami juga memiliki peran penting dalam mendukung kesehatan mental istri ketika mengandung dan melahirkan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bentuk dukungan lain seharusnya datang dari fasilitas kesehatan setempat dan juga petugas kesehatan. Indonesia sudah mengembangkan sebuah <a href="https://www.google.co.id/search?q=Pedoman+pelayanan+antenatal+terpadu&oq=Pedoman+pelayanan+antenatal+terpadu&aqs=chrome..69i57.2078j0j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8">pedoman</a> yang menyoroti peran petugas kesehatan lokal dalam memberi bantuan bagi para ibu untuk mengidentifikasi masalah depresi yang mereka hadapi. </p>
<p>Penelitian saya saat ini tentang peran petugas kesehatan di Surabaya, Jawa Timur menunjukkan bahwa meski kesadaran masyarakat terkait isu ini meningkat, peran petugas kesehatan belum optimal dalam mendukung ibu yang depresi. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2753/IMH0020-7411350105">Penelitian</a> terkini menemukan bahwa setidaknya satu dari lima perempuan di Surabaya mengalami depresi sesudah melahirkan. </p>
<p>Pedoman nasional menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan lokal harus menyediakan layanan spesifik yang membantu perempuan mengungkapkan perasaan mereka. Petugas kesehatan juga harus mendapatkan pelatihan agar bisa memberikan dukungan psikologis bagi ibu yang menderita depresi. </p>
<p>Namun, Indonesia kekurangan data untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan pedoman ini. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus diatasi. Data yang lengkap akan memudahkan kita untuk mencari apa yang kurang sehingga pelayanan yang diberikan bagi ibu yang depresi bisa ditingkatkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95373/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endang Surjaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Emosi positif sang ibu ternyata berpengaruh terhadap kesehatan anak.Endang Surjaningrum, Lecturer in Psychology, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/911612018-02-14T10:06:01Z2018-02-14T10:06:01ZSaat ibu mengalami depresi, bayi ternyata juga bisa ikut merasakan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/206343/original/file-20180214-175001-1drro1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Saat berumur 18 bulan, bayi dapat menunjukkan bukti biologis adanya peningkatan stres.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/little-boy-kid-blue-jeans-crying-297378290?src=G6FVz2rzEYQtdFqhHufgMg-1-28">Coy_Creek/shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Diperkirakan <a href="https://www.cdc.gov/reproductivehealth/depression/index.htm">1 dari 9 perempuan</a> mengalami gejala depresi pascamelahirkan (<em>post-partum</em>). </p>
<p>Gejala-gejala ini, misalnya suasana hati yang berubah-ubah, keletihan dan berkurangnya minat beraktivitas, dapat menyulitkan para ibu untuk terikat secara emosional dengan bayi mereka yang baru lahir.</p>
<p>Hubungan awal antara ibu dan bayi dapat berpengaruh <a href="https://doi.org/10.1001/jama.2009.754">terhadap kesehatan</a> sepanjang hidup, apa pun hasilnya. Misalnya, orang dewasa yang melaporkan lebih banyak disfungsi keluarga dan penganiayaan selama masa kanak-kanak berpeluang lebih besar menderita penyakit <a href="https://doi.org/10.1016/S0749-3797(98)00017-8">ketika dewasa</a>. </p>
<p>Sementara itu, mereka yang memiliki hubungan sehat dan suportif selama fase awal kehidupan mampu menangani stres dan mengatur emosi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11931522">dengan lebih baik</a>.</p>
<p>Meski begitu, para ilmuwan tidak sepenuhnya memahami bagaimana lingkungan tersebut “merasuk” untuk <a href="http://doi.org/10.1126/scisignal.2003580">mempengaruhi kesehatan</a>. <a href="https://doi.org/10.1016/j.psyneuen.2017.11.008">Makalah</a> terbaru kami, terbit pada November, menunjukkan adanya kemungkinan kaitan antara peningkatan gejala depresi pada ibu dan kerusakan pada sel bayi mereka.</p>
<h2>Telomer dan kesehatan</h2>
<p>Bagaimana pengaruh stres terhadap sel-sel kita? Salah satu area penelitian yang berkembang pesat memusatkan perhatian pada <a href="https://www.nature.com/articles/490169a">telomer</a>. </p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=639&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=639&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=639&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=803&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=803&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/202463/original/file-20180118-158513-1l0h5mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=803&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">46 kromosom manusia ditunjukkan dalam warna biru, sementara telomer terlihat sebagai titik-titik putih.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/nihgov/24190672366/">NIH Image Gallery</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Telomer adalah tutup di ujung DNA kita yang melindungi kromosom. Telomer ini bagaikan plastik pada ujung tali sepatu yang menjaga agar tali sepatu tidak terurai. Pada dasarnya, ujung plastik itulah yang menyebabkan tali sepatu tetap berfungsi. </p>
<p>Hal yang sama berlaku bagi telomer.</p>
<p>Karena panjang telomer dipengaruhi oleh genetika dan usia kita, kadang-kadang telomer dianggap sebagai bagian dari sebuah “jam biologis” yang mencerminkan umur sel-sel kita. </p>
<p>Karena telomer memendek seiring waktu, orang cenderung mengalami banyak sekali <a href="https://www.nature.com/articles/490169a">hasil kesehatan negatif</a>, seperti penyakit kardiovaskuler, demensia, diabetes, kanker, obesitas, dan <a href="https://doi.org/10.1093/jnci/djv074">bahkan kematian</a>.</p>
<p>Menariknya, telomer bisa memendek lebih cepat ketika seseorang mengalami <a href="https://doi.org/10.1111/j.1467-8721.2009.01596.x">stres psikologis</a>. Ketika kita mengalami stres, tubuh kita melepas hormon yang disebut kortisol. Hormon ini mempengaruhi baik respons emosional kita maupun metabolisme energi, pembelajaran dan memori kita. </p>
<p>Mungkin ini adalah salah satu <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3557830/">mekanisme</a> yang menghubungkan stres psikologis dengan panjang telomer dan juga kesehatan fisik. Sel-sel yang terpapar kortisol memiliki telomer lebih pendek dan <a href="https://doi.org/10.1016/j.bbi.2007.12.004">lebih sedikit telomerase</a>, yang merupakan enzim yang bertanggung jawab memelihara ujung-ujung telomer. </p>
<p>Proses ini dapat menjelaskan bagaimana stres psikologis diubah menjadi “rusak karena pemakaian” biologis. Bukan itu saja, <a href="https://www.nature.com/articles/mp2014119">remaja dengan ibu depresi</a> memiliki respons stres kortisol tinggi dan telomer lebih pendek daripada teman-teman sebaya mereka, sekalipun jika remaja itu sendiri tidak depresi.</p>
<h2>Studi kami</h2>
<p>Kami meneliti apakah peningkatan gejala depresi yang dialami ibu mempengaruhi stres bayi dan kesehatan selnya di kemudian hari. </p>
<p>Masa bayi adalah periode sensitif. Pada periode ini, seorang individu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Salah satu cara mempelajari bagaimana stres dini bisa mempengaruhi kesehatan adalah melihat bagaimana bayi merespons stres orang tuanya. </p>
<p>Berbagai studi menunjukkan bahwa bayi yang terpapar depresi maternal boleh jadi kurang terlibat secara sosial dan mengalami <a href="https://doi.org/10.1097/CHI.0b013e3181b21651">emosi yang lebih negatif</a>.</p>
<p>Untuk studi ini kami merekrut 48 ibu dengan bayi berumur 12 minggu dan memantau keluarga-keluarga itu hingga bayi mereka berumur 18 bulan. Pada umur 6 dan 12 bulan, para bayi dibawa ke lab untuk mengikuti uji stres ringan. </p>
<p>Misalnya, dalam “eksperimen wajah tanpa ekspresi” (<em>still face experiment</em>), ibu-ibu melakukan aktivitas berganti-ganti antara bermain-main dengan bayi mereka dan tidak bereaksi terhadap permintaan perhatian para bayi. </p>
<p>Ini bisa <a href="https://www.washingtonpost.com/blogs/she-the-people/wp/2013/09/16/affects-of-child-abuse-can-last-a-lifetime-watch-the-still-face-experiment-to-see-why/">menimbulkan stres</a> pada bayi, karena mereka mengandalkan para pengasuh mereka bukan hanya untuk memberi makanan, tapi juga menenangkan emosi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/apzXGEbZht0?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Contoh ‘still face experiment’ (eksperimen wajah tanpa ekspresi).</span></figcaption>
</figure>
<p>Dalam setiap kunjungan, kami mengukur stres bayi dengan mengumpulkan sampel air liur untuk melihat perubahan dalam kortisol. Kami juga mengumpulkan informasi tentang berapa banyak gejala depresi yang dirasakan para ibu. </p>
<p>Akhirnya, ketika para bayi berumur 18 bulan, kami bawa kembali keluarga-keluarga itu ke lab dan mengumpulkan air liur untuk mengukur panjang telomer bayi.</p>
<p>Gejala depresi yang memburuk pada ibu terkait dengan respons stres kortisol lebih besar pada bayi umur 6 dan 12 bulan. Di samping itu, bayi dengan respons stres kortisol lebih tinggi cenderung memiliki telomer lebih pendek pada umur 18 bulan.</p>
<p>Ini mengindikasikan kerusakan karena penuaan sel yang lebih besar.</p>
<h2>Kesehatan mental yang lebih baik</h2>
<p>Meskipun temuan-temuan ini bersifat pendahuluan dan harus diulangi terhadap kelompok bayi yang lebih banyak, hasil-hasil yang kami peroleh menggarisbawahi bagaimana pola kesehatan sepanjang hidup bisa dipengaruhi oleh 18 bulan pertama kehidupan. </p>
<p>Stres dini ini bisa menempatkan anak kecil di jalur menuju permulaan dini hasil kesehatan yang buruk. Untungnya, masa bayi adalah periode perkembangan yang sensitif, karena manusia sangat responsif terhadap lingkungannya. </p>
<p>Memupuk pengalaman positif antara bayi dan ibu mereka—selain menyediakan pelayanan perawatan yang baik dan terjangkau bagi ibu-ibu depresi—memberi peluang bagi bayi untuk bergerak menuju sebuah lintasan hidup yang lebih sehat.</p>
<p>Dalam pandangan kami, hasil-hasil ini menunjukkan betapa pentingnya membiayai perawatan kesehatan mental bagi para ibu dan membuat kebijakan bagi anak-anak usia dini yang efektif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91161/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Benjamin W. Nelson menerima dana dari Mind and Life Institute untuk melaksanakan riset ini.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Heidemarie Laurent menerima dana dari Society for Research on Child Development untuk melaksanakan studi ini.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nick Allen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Saat berumur kurang dari dua tahun, anak-anak yang ibunya mengalami depresi dapat menunjukkan tanda-tanda stres dan penuaan sel yang lebih cepat.Benjamin W. Nelson, Doctoral Student in Clinical Psychology, University of OregonHeidemarie Laurent, Assistant Professor of Psychology, University of Illinois at Urbana-ChampaignNick Allen, Ann Swindells Professor of Clinical Psychology, University of OregonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/829042017-09-07T10:58:04Z2017-09-07T10:58:04ZApakah stres pada masa kehamilan dapat membahayakan bayi saya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/183126/original/file-20170823-13285-1w66295.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stres semasa hamil lebih rentan terkena asma dan alergi pada masa kanak-kanak, serta lebih sering dirawat di rumah sakit akibat penyakit menular seperti gangguan pernapasan dan gastroenteritis. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Kebanyakan wanita hamil saat ini tentu sudah akrab dengan nasihat kesehatan untuk berhenti merokok, menghindari alkohol, dan menjauhi keju lembut dalam segala bentuk. Tapi nasihat kesehatan publik yang resmi mengenai stres semasa kehamilan masih jarang terdengar.</p>
<p>Padahal kita tahu bahwa tingkat stres yang tinggi itu buruk bagi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15738954">kesehatan kita secara umum</a>, mempengaruhi kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko terkena penyakit—baik menular maupun tidak. Pada masa kehamilan, stres mengandung bahaya tertentu bagi kondisi fisik dan emosional si janin, ibunya, serta keluarga keseluruhan.</p>
<p>Stres semasa kehamilan adalah lumrah, antara lain karena kehamilan itu sendiri dapat menimbulkan stres. Ini terjadi terutama pada kehamilan yang tidak direncanakan (seperti <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17250620">hampir setengah dari jumlah kehamilan di Australia</a>). Kehamilan akan menimbulkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23786692">sejumlah perubahan di kehidupan keluarga</a>, termasuk hubungan orang tua, pendapatan dan pekerjaan, serta penyesuaian lain seperti pindah rumah. Terkadang stres muncul terkait kejadian tertentu, tetapi juga bisa dialami sebagai kegelisahan atau kecemasan yang terus-menerus.</p>
<h2>Dampak stres</h2>
<p>Pada kehamilan, stres dapat dikaitkan dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11520397">peningkatan risiko kelahiran prematur</a> dan berat badan bayi yang lebih rendah saat lahir. Kelahiran prematur adalah <a href="http://wirf.com.au/pretermbirthprevention">penyebab utama kematian dan cacat</a> balita di Australia.</p>
<p>Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stres semasa hamil <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21362650">lebih rentan terkena asma</a> dan alergi pada masa kanak-kanak, serta <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21775267">lebih sering dirawat di rumah sakit</a> akibat penyakit menular seperti gangguan pernapasan dan pencernaan. </p>
<p>Selain itu, riset juga telah menelaah dampak stres semasa kehamilan terhadap kecerdasan dan kesehatan mental anak di kemudian hari. Anak-anak yang ibunya stres ketika hamil lebih rentan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23786692">mengidap masalah perilaku selama masa kanak-kanak</a>. Beberapa penelitian juga menunjukkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16019596">berkurangnya kemampuan kecerdasan</a> pada anak-anak yang ibunya mengalami bencana alam ketika hamil.</p>
<p>Ibu-ibu yang mengalami stres atau kegelisahan semasa hamil juga lebih berisiko terkena <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17196663">depresi setelah melahirkan</a>, dan stres semasa hamil dapat menimbulkan dampak jangka panjang bagi keluarga secara keseluruhan.</p>
<h2>Bagaimana ini terjadi?</h2>
<p>Kebanyakan dari kita masih sulit memahami bagaimana mungkin sesuatu yang terjadi dalam pikiran ibu, dapat kemudian menimbulkan masalah pada anak (baik masalah mental maupun kesehatan fisik). Beberapa teori mengatakan, perubahan hormon, metabolisme, dan fisiologi semasa kehamilan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17160980">berdampak langsung pada perkembangan janin</a>, sehingga “memprogram” janin itu untuk beradaptasi dan berkembang dengan cara spesifik. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/siapa-menghindari-seks-dan-mengapa-83236">Siapa menhindari seks, dan mengapa?</a></em></p>
<hr>
<p>Mengalami stres dapat meningkatkan sirkulasi hormon stres kortisol, yang kemudian menembus plasenta ke janin, dan mengubah susunan hormon serta mengganggu perkembangan janin, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15811496">baik fisik maupun sarafnya</a>.</p>
<p>Akibat terpapar kortisol yang meningkat, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15041985">janin yang tengah berkembang pun bersiap</a> menghadapi dunia yang, menurut ibunya, membuat stres. Akibatnya, masalah perilaku pada anak akan timbul dan ini bisa dibilang upaya adaptasi si janin. Sebagai contoh, jika seorang anak diprogram untuk bertahan di tengah dunia yang membuat stres, maka dia harus teramat waspada terhadap potensi bahaya (akibatnya ia jadi kurang bisa konsentrasi pada satu hal). Dia pun menjadi hiperaktif (siap bergerak dan menjelajah), kasar jika harus berkelahi melawan pemangsa, dan lebih sensitif terhadap lingkungan.</p>
<p>Ini semua adalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21250994">gejala masalah perilaku</a> seperti kegelisahan, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), dan gangguan perilaku.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/181335/original/file-20170808-22960-c4l7tn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Stres dapat mengondisikan anak menjadi teramat waspada, mengakibatkan masalah perilaku.</span>
<span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Cara mengurangi stres pada masa kehamilan</h2>
<p>Tidak seperti merokok, alkohol, dan keju yang tidak terpasteurisasi, kita tidak bisa begitu saja berhenti dan mengenyahkan stres dari kehidupan kita yang sibuk. Tapi ada banyak cara untuk mengurangi dan mengatur stres. Bahkan, sebagai bonus, mengurangi stres pada masa kehamilan dapat membuat periode setelah kelahiran jadi lebih mulus.</p>
<p>Beberapa cara mengurangi stres antara lain memanfaatkan dukungan sosial, misalnya menghabiskan waktu bersama teman-teman atau menerima bantuan dari orang sekitar guna mengurangi beban di aktivitas keseharian.</p>
<p>Olahraga ringan, yoga, meditasi, dan relaksasi semuanya dapat membantu mengatur stres. Kelas yoga memang terkesan elit atau tak terjangkau, tetapi sebuah studi terhadap <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25648492">remaja hamil yang kurang mampu di perkotaan</a> di AS baru-baru ini menunjukkan bahwa <a href="http://yogagembira.com/">yoga berkelompok</a> adalah metode yang menarik untuk mengurangi stres dan menjawab kecemasan di antara mereka. Menjadwalkan waktu cuti dan mendiskusikan beban pekerjaan semasa kehamilan bersama bos, juga bisa menjadi cara lain mengurangi stres.</p>
<p>Ketika stres bertambah berat, adalah sangat penting untuk menemui dokter yang dapat merujuk Anda ke seorang psikolog yang dapat membantu Anda mengurangi stres di kehidupan. </p>
<h2>Bisa ditanggulangi</h2>
<p>Walau riset dan penelitian yang disebut di atas terdengar mengerikan, sebuah lingkungan yang sehat dan bahagia setelah kelahiran ternyata dapat <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20971919">menghilangkan banyak risiko akibat stres saat hamil</a> bagi ibu dan anak. </p>
<p>Konsep ini dikenal dengan nama “plastisitas perkembangan”, yang maksudnya adalah kemampuan otak untuk beradaptasi dan berubah. Proses plastisitas perkembangan sangat aktif pada awal masa kanak-kanak. <a href="http://www.bucharestearlyinterventionproject.org">Bucharest Early Intervention Project</a> adalah contoh terbaik mengenai hal ini. Bayi-bayi di AS yang diadopsi dari panti asuhan di Rumania ternyata dapat menanggulangi “kerusakan” akibat pengabaian dengan cinta dan asuhan.</p>
<p>Membangun ketahanan keluarga dan anak dalam menghadapi stres adalah sangat penting, dan itulah mengapa kita harus menguasai strategi manajemen stres—tidak saja pada saat kehamilan, tapi juga pada tahun-tahun awal pengasuhan dan perkembangan anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/82904/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Monique Robinson menerima dana dari National Health and Medical Research Council.</span></em></p>Para wanita hamil tentu sudah akrab dengan nasihat kesehatan untuk berhenti merokok dan menghindari alkohol, tetapi tak banyak saran mengenai stres semasa kehamilan.Monique Robinson, Early Career Fellow, Telethon Kids Institute, The University of Western AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.