tag:theconversation.com,2011:/uk/topics/psikologi-anak-56462/articlesPsikologi anak – The Conversation2022-06-03T07:49:51Ztag:theconversation.com,2011:article/1840552022-06-03T07:49:51Z2022-06-03T07:49:51ZCurious Kids: Mengapa banyak aturan dalam hidup kita?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/465907/original/file-20220530-14-1cisb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tanpa aturan, Anda akan memiliki BANYAK keputusan yang harus dibuat setiap hari.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/niklashellerstedt/2414448568/">Flickr/Niklas Hellerstedt</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p><strong>Mengapa banyak aturan dalam hidup kita? – Flynn, umur 6 tahun.</strong></p>
</blockquote>
<p><a href="https://theconversation.com/id/topics/curious-kids-83797"><img src="https://images.theconversation.com/files/386375/original/file-20210225-21-1xfs1le.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=2" width="100%"></a></p>
<hr>
<p>Terima kasih, Flynn. Itu pertanyaan yang sangat bagus. Ketika kamu masih muda, kamu mungkin merasa semua aturan di sekitar kamu tidak adil. Kamu mungkin juga merasa tidak dapat berbuat banyak. Melakukan apa pun yang kamu inginkan sepertinya ide yang bagus!</p>
<p>Kamu mungkin bertanya-tanya, apa gunanya semua aturan yang membosankan ini? Biasanya, Flynn, aturan membantu kita dalam dua hal: belajar dan menjaga kita tetap aman.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/curious-kids-why-do-adults-think-video-games-are-bad-76699">Curious Kids: Why do adults think video games are bad?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Anak-anak harus membuat beberapa keputusan – tetapi tidak semuanya</h2>
<p>Mari kita bicara terkait belajar. Ketika kamu berusia enam tahun, kamu belajar hal-hal baru setiap hari. Saya yakin jika kamu mengingat kembali satu tahun yang lalu, kamu akan menyadari betapa kamu telah berubah! Banyak dari aturan menjengkelkan yang kamu khawatirkan sebenarnya membantu kamu fokus belajar, bermain, sekaligus bersenang-senang.</p>
<p>Tanpa aturan, kamu harus mengambil banyak keputusan setiap hari. Pengambilan terlalu banyak keputusan akan menghalangi proses belajar kamu dan membuat kamu terbebani. Bertanggung jawab atas banyak keputusan terkadang bisa sangat membuat stres dan terkadang membuat orang merasa khawatir dan cemas. Inilah mengapa penting untuk mengizinkan anak-anak membuat <em>beberapa</em> keputusan – tetapi tidak semuanya.</p>
<p>Saya juga menyebutkan keselamatan. Meskipun saya yakin kamu sangat pintar, ada banyak hal yang belum kamu ketahui tentang dunia. Ini adalah hal-hal yang akan kamu pelajari mulai sekarang sampai kamu dewasa, seperti cara mengemudikan mobil, siapa yang harus dipercaya, dan cara membelanjakan uang dengan bijak.</p>
<p>Sampai kamu mengetahui semua hal ini, aturan ada untuk membuat kamu tetap aman. Aturan memastikan orang selalu tahu di mana dia berada, bahwa kamu tidak akan terluka dan kamu mendapatkan apa yang kamu butuhkan untuk tetap bahagia dan sehat.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280873/original/file-20190624-61756-10rf94d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kita semua pernah di titik itu.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/chirag/2504941256/in/photolist-4PmtLm-a1suf2-bcc1wr-6EfAMk-X8f8PZ-acLcEu-acLctG-7Js8oS-7hy34m-tsQ4c-fCz5wF-6k8avj-da3ieo-cMQ66j-CW2SZ-9wRYn-bmdAE8-ezztgh-ofd8Nu-Hddbp-Hddik-4qsPju-cpmxFA-6hAXtz-6ck1Xm-7E1fKt-8Xx5uQ-38F1Tt-67Woo7-5Fou31-dz6nzX-Hddfn-6WSjCD-HjyLBP-5tbemb-fF1tEz-aqMZDn-e4CZUL-9pAxLL-aqMZDc-aqMZDa-66gaou-4S1s69-55Bvx8-8tX2KG-4GErVZ-6syeRH-66bVrD-2MgVu2-oardEo">Flickr/Chirag Rathod</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Orang tua Anda dapat sedikit melonggarkan aturan saat kamu tumbuh</h2>
<p>Kamu mungkin belum mengetahuinya, tetapi aturan yang ada akan berubah seiring bertambahnya usiamu. Pikirkan tentang perbedaan jumlah aturan antara sekarang dan ketika kamu masih balita.</p>
<p>Pada usia enam tahun , kamu mungkin bisa tidur lebih malam, diizinkan untuk menonton tv lebih banyak dan melakukan hal-hal yang berbeda dan memiliki lebih banyak teman.</p>
<p>Ini karena penting untuk mendorong anak-anak mengambil lebih banyak keputusan seiring bertambahnya usia.</p>
<p>Anggap saja ini seperti tangga. Kamu mungkin tidak berada di puncak saat ini, tetapi setiap hal baru yang kamu pelajari membawa kamu selangkah lebih dekat dan berarti orang tua kamu dapat sedikit melonggarkan beberapa aturan.</p>
<p>Akhirnya, saya harus mengatakan bahwa aturan tidak hilang sepenuhnya bahkan ketika kamu sudah dewasa. Orang dewasa masih harus bekerja dan membayar tagihan dan mengikuti aturan. Bahkan kita tidak bisa melakukan apapun yang kita inginkan!</p>
<hr>
<p><em>Apakah kamu punya pertanyaan yang ingin ditanyakan ke ahli? Minta bantuan ke orang tua atau orang yang lebih dewasa untuk mengirim pertanyaanmu pada kami.</em>
<em>Ketika mengirimkan pertanyaan, pastikan kamu sudah memasukkan nama pendek, umur, dan kota tempat tinggal. Kamu bisa:</em></p>
<ul>
<li><p><em>mengirimkan email <a href="mailto:curiouskids@theconversation.com">redaksi@theconversation.com</a></em></p></li>
<li><p><em>tweet ke kami <a href="https://twitter.com/ConversationIDN">@conversationIDN</a> dengan tagar #curiouskids</em></p></li>
<li><p><em>DM melalui Instagram <a href="https://www.instagram.com/conversationIDN/">@conversationIDN</a></em></p></li>
</ul>
<hr>
<p><em>Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/184055/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Associate Professor Jade Sheen telah menerima beberapa hibah penelitian dari badan pemerintah termasuk Kantor Pembelajaran dan Pengajaran dan Departemen Kesehatan.</span></em></p>Anggap saja seperti tangga. mungkin tidak berada di puncak saat ini, tetapi setiap hal baru yang kamu pelajari membawa selangkah lebih dekat dan berarti bahwa orang tua kamu dapat sedikit melonggarkan aturan.Jade Sheen, Associate Professor, School of Psychology, Deakin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1635802021-06-29T09:42:01Z2021-06-29T09:42:01ZMitos keliru soal sifat anak tunggal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/408857/original/file-20210629-17-3w5b85.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=135%2C65%2C1467%2C1011&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">M Risyal Hidayat/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Anak tunggal sering mendapat anggapan jelek. Mereka sering <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/j.1556-6678.2006.tb00405.x">dianggap</a> egois, manja, sering cemas, tidak mudah bergaul, dan kesepian.</p>
<p>Bidang ilmu saya, yaitu psikologi, mungkin bertanggung jawab atas sebagian stereotip negatif ini. Bahkan, Granville Stanley Hall, salah satu psikolog paling berpengaruh dalam seratus tahun terakhir dan juga presiden pertama Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association atau APA) sempat berujar bahwa “menjadi anak tunggal adalah penyakit”.</p>
<p>Untungnya, kita telah memiliki banyak kemajuan. Penelitian pada hampir <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1948550619870785">2.000 orang dewasa di Jerman</a> menemukan bahwa anak tunggal tidaklah lebih narsis dibanding mereka yang bersaudara. Penelitian itu diberi judul “Mengakhiri Stereotip”.</p>
<p>Namun banyak stereotip lain masih bertahan. Mari kita tengok bagaimana penelitian yang ada terkait itu.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=817&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=817&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=817&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1027&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1027&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1027&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Stanley Hall memiliki pandangan buruk soal anak tunggal.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://ihm.nlm.nih.gov/images/B13583">Frederick Gutekunst/Wikimedia Commons</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dari sisi <a href="https://www.jstor.org/stable/352302?seq=1#page_scan_tab_contents">kepribadian</a>, tidak ada perbedaan antara anak tunggal dan anak yang memiliki saudara dalam hal ekstroversi, kedewasaan, kemampuan kerja sama, otonomi, kontrol diri, dan kepemimpinan.</p>
<p>Bahkan, anak tunggal cenderung memiliki motivasi lebih tinggi untuk meraih sesuatu (diukur dari aspirasi, usaha, dan keteguhan) dan kemampuan menyesuaikan diri (menyesuaikan dengan lingkungan baru) dibanding orang yang memiliki saudara.</p>
<p>Motivasi yang lebih tinggi pada anak tunggal dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung menempuh <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00224545.1995.9712218">pendidikan</a> lebih banyak dan menduduki <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00223989909599759">pekerjaan</a> berstatus lebih tinggi.</p>
<h2>Lebih pintar dalam masa tertentu</h2>
<p>Beberapa penelitian menemukan bahwa anak tunggal cenderung memiliki kecerdasan lebih dan meraih prestasi akademik lebih tinggi. </p>
<p>Kajian 115 penelitian yang membandingkan intelegensi orang dengan atau tanpa saudara menemukan bahwa anak tunggal memiliki nilai tes IQ lebih tinggi dan lebih berprestasi dibanding orang yang memiliki banyak saudara atau memiliki satu saudara lebih tua.</p>
<p>Satu-satunya kelompok yang memiliki performa lebih baik dalam hal intelegensi dan capaian akademik adalah anak pertama dan mereka yang hanya punya satu kakak.</p>
<p>Penting digarisbawahi bahwa perbedaan ini cenderung ditemukan pada usia prasekolah, dan berkurang pada usia kuliah. Ini menyiratkan bahwa perbedaan yang ada semakin berkurang seiring bertambahnya usia.</p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/profile/Denise_Polit/publication/232576074_Quantitative_Review_of_the_Only_Child_Literature_Research_Evidence_and_Theory_Development/links/0c960522f54b441b73000000.pdf">Kesehatan mental</a> juga diteliti. Lagi-lagi, tidak ada perbedaan di antara kedua kelompok dalam tingkatan kecemasan, rasa harga diri, dan masalah perilaku.</p>
<p>Anak tunggal telah lama dianggap merasa kesepian dan kesulitan berteman. Penelitian telah membandingkan hubungan sebaya dan pertemanan selama sekolah dasar antara anak tunggal, anak pertama dengan satu saudara, dan anak kedua dengan satu saudara. </p>
<p>Temuan menunjukkan bahwa anak tunggal memiliki jumlah teman yang sama dan kualitas pertemanan serupa dengan kelompok lain. </p>
<h2>Anak tunggal lebih baik?</h2>
<p>Secara keseluruhan, temuan-temuan ini tampaknya menunjukkan bahwa memiliki kakak atau adik tidak berpengaruh besar dalam pertumbuhan kita. Bahkan saat ada perbedaan, justru kemungkinan anak tunggal lebih baik. Mengapa demikian?</p>
<p>Tidak seperti anak dengan saudara, anak tunggal menerima perhatian penuh, cinta kasih dan sumber daya materi dari orang tua selama hidupnya. Situasi ini selalu diasumsikan membawa dampak negatif bagi anak tunggal karena membuat mereka manja dan tidak mudah menyesuaikan diri. </p>
<p>Namun, situasi ini juga menunjukkan tidak adanya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya dari orang tua yang mungkin justru menguntungkan bagi anak-anak.</p>
<p>Karena jumlah keluarga dengan satu anak <a href="https://www.theguardian.com/news/datablog/2013/mar/25/family-size">meningkat</a> di seluruh dunia, sudah waktunya untuk menghentikan stigma pada anak tunggal dan orang tua yang memilih untuk punya hanya satu anak.</p>
<p>Anak tunggal tampaknya menjalani hidup baik-baik saja, bahkan lebih baik, dibanding mereka yang memiliki kakak atau adik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163580/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ana Aznar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak tunggal tidaklah banyak berbeda dengan orang-orang lain yang hidup bersaudara.Ana Aznar, Lecturer in Psychology, University of WinchesterLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1457132020-09-11T02:55:06Z2020-09-11T02:55:06ZAntara pola asuh otoritatif dan otoriter: mana yang lebih baik untuk anak Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/357105/original/file-20200909-18-1pcklkl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C3%2C1278%2C846&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kebudayaan mempengaruhi pola asuh pada anak </span> <span class="attribution"><span class="source">Sasin Tipchai/Pixabay</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Budaya berpengaruh pada pola pengasuhan anak. </p>
<p>Penerapan pola asuh di negara-negara Barat yang memiliki rasa individualitas yang tinggi. Ini berbeda dengan penerapan pola asuh di negara-negara Asia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. </p>
<p><a href="https://spectrum.library.concordia.ca/974123/1/ECRQ%28Rev3July15%291.pdf">Penelitian</a> menunjukkan bahwa pola pengasuhan yang paling cocok untuk anak-anak di negara Barat adalah pola pengasuhan otoritatif. </p>
<p>Diana Baumrind, ahli psikologi perkembangan dari Amerika Serikat mengartikan <a href="https://search.proquest.com/docview/1023944456?fromopenview=true&pq-origsite=gscholar">pengasuhan otoritarif</a> sebagai pengasuhan yang hangat, tanggap terhadap kebutuhan anak, namun juga tegas dengan memberikan batasan dan aturan. </p>
<p>Hasil <a href="https://spectrum.library.concordia.ca/974123/1/ECRQ%28Rev3July15%291.pdf">penelitian</a> di atas menunjukkan pengasuhan otoritatif yang bersifat mendukung kemandirian anak tampak sejalan dengan prinsip dalam budaya Barat. </p>
<p>Sayangnya, tidak semua penelitian menemukan manfaat pola pengasuhan otoritatif pada masyarakat dari budaya Timur. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01494929.2020.1712573?journalCode=wmfr20">penelitian terbaru kami</a> menunjukkan bahwa pola pengasuhan otoritarif memiliki dampak positif bagi anak yang berasal dari budaya Barat maupun Timur. </p>
<h2>Hasil riset</h2>
<p>Kami melakukan penelitian pada 2015 dengan melibatkan 387 orang tua yang berasal dari Indonesia dan Australia untuk mewakili dua budaya yang berbeda. </p>
<p>Dalam penelitian ini, kami meminta para orang tua yang memiliki anak dengan usia yang berkisar antara 2-10 tahun ini untuk mengisi kuisioner guna melihat dampak pengasuhan otoritatif terhadap pengelolaan emosi dan perilaku anak. </p>
<p>Berdasarkan kuesioner yang mereka isi, kami menemukan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada anak yang berasal dari budaya Barat maupun budaya Timur. </p>
<p>Anak yang diasuh dengan cara otoritatif menunjukkan pengelolaan emosi yang baik dan tidak banyak menunjukkan perilaku bermasalah seperti marah-marah, berkelahi, dan berteriak. Semakin sering orangtua menerapkan pengasuhan otoritatif, semakin baik pengelolaan emosi anak dan semakin berkurang perilaku bermasalahnya. </p>
<p>Sementara itu, orang tua melaporkan pengelolaan emosi yang buruk pada anak yang mendapatkan pola pengasuhan yang berseberangan dengan pola pengasuhan otoritatif yaitu pola pengasuhan otoriter. Berbeda dengan pola asuh otoritarif, pola asuh otoriter cenderung menuntut dan mengendalikan anak tanpa kompromi dan memicu munculnya lebih banyak perilaku bermasalah pada anak. </p>
<p>Penelitian kami mencatat dampak negatif dari pola pengasuhan otoriter oleh orang tua dengan budaya Barat maupun Timur. Semakin sering orang tua menerapkan pengasuhan otoriter, semakin kurang baik pengelolaan emosi anak dan semakin sering anak menampakkan perilaku bermasalah. </p>
<p>Hasil penelitian kami ini mendukung hasil dari <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.821.6217&rep=rep1&type=pdf">riset-riset sebelumnya</a> yang menyatakan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif bagi perkembangan sosial emosi anak. </p>
<p>Penelitian kami membuktikan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada keluarga dari budaya Timur yang menekankan harmonisasi dan kepatuhan pada orangtua.</p>
<p>Sebaliknya, pengasuhan otoriter yang banyak dijalankan oleh orang tua dari budaya Timur dengan tujuan agar anak menjadi disiplin dan patuh pada otoritas malah menimbulkan dampak yang negatif bagi perkembangan sosial dan emosi anak. </p>
<p>Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam situasi saat ini, pengasuhan otoritatif masih menjadi pilihan yang terbaik bagi para orang tua baik dari budaya Barat dan Timur. </p>
<h2>Dampak baik pengasuhan otoritatif</h2>
<p>Berbeda dengan pengasuhan otoriter, pengasuhan otoritatif justru mendorong anak untuk mengekspresikan pemikiran dan bernegosiasi. </p>
<p>Orang tua dengan pengasuhan otoritatif terbuka terhadap pandangan anak, melibatkan anak dalam pembuatan aturan dan batasan. </p>
<p>Selain itu, pengasuhan otoritatif tidak sama dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1002/cd.128?casa_token=A3CQqf6ybBkAAAAA:3a-aXeNuBHM8hKXQ6pslmzQYzQl3s2y0i1EplsrEsHfD7WqNKpJdz1Y6P9IMvXL-BJ1G8BMgvhz6VQ">pengasuhan permisif</a> yang cenderung membebaskan dan memanjakan anak. Batasan tetap dibutuhkan untuk menumbuhkan disiplin dan kontrol diri. Dengan demikian, pengasuhan otoritatif tidak ketat dan keras seperti pengasuhan otoriter namun tidak lunak seperti pengasuhan permisif. Kebebasan dan kontrol diseimbangkan. </p>
<p><a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/46576216/Newman__Gozu__et_al.__2015.pdf?1466191760=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DRelationship_between_Maternal_Parenting.pdf&Expires=1599571442&Signature=DeKz5ZQo9dvEfmpUKjRaObsKSNUg6wpFbDVt99BtY2ly7mP1qbGsyVWlcgwUUX5IW1BvaneYu7AoMf3LYC%7EQD6n10hENc7PwST6PXeGUUlnUj0A7%7EYA9zuQ7AZtZEQi5%7EUBVvDSMukG2kQaof8tLs-7xEdDseDNBuC72EGwTPLboVE33y9nRFfG%7EPXx0JX9gCFN-rosY0Q%7EdRfFzhqnwM9s00qQ43MoxPv%7EKg4rzqCx5Sfxl9kcwiAQ%7ERuBxQ3gioX4ggEnNg0TUXdIhwAJ1leT2M-Zf%7EyQB6E6iRAn2BA5wgljt%7EvvEDpV2a0johI-prJ9SFd7z3ZGjf8TqeQIuKg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA">Penelitian </a> menunjukkan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada perkembangan sosial dan emosi anak, dan juga pada prestasi sekolahnya. </p>
<p>Anak yang diasuh dengan pengasuhan otoritatif lebih mandiri, percaya diri, memiliki kontrol diri dan dapat menjalin relasi sosial dengan baik. </p>
<p>Selain itu, dibandingkan dengan pengasuhan otoriter dan permisif, anak yang diasuh dengan pengasuhan otoritatif menunjukkan perilaku bermasalah yang lebih sedikit. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan dengan lebih baik sehingga jarang mengalami masalah seperti kecemasan, menarik diri, dan depresi, ataupun agresi (menyerang orang lain). </p>
<h2>Menerapkan pola asuh otoritatif</h2>
<p>Berikut adalah cara menjalankan pengasuhan otoritatif pada anak:</p>
<p><strong>1.Pertama,</strong></p>
<p>Penting bagi orang tua untuk mendengarkan anak dan berusaha memahami kebutuhan serta sudut pandangnya. Dengan mendengarkan, orang tua menunjukkan perhatian dan kepeduliannya. </p>
<p><strong>2.Kedua,</strong></p>
<p>Tunjukkan sikap yang hangat dengan memuji anak atas perilakunya yang baik dan meluangkan waktu bersama. </p>
<p><strong>Ketiga,</strong> </p>
<p>Berikan kesempatan anak untuk berbicara dan membiarkannya mengambil keputusan sendiri. </p>
<p><strong>Keempat,</strong>
Ajak anak berbicara mengenai aturan dan batasan. Penting bagi orang tua untuk menjelaskan alasan di balik aturan dan mendiskusikan berbagai akibat yang mungkin terjadi apabila aturan dilanggar. Pada saat inilah terjadi komunikasi dan negosiasi antara orang tua dan anak. </p>
<p>Tentu saja tidak mudah untuk menjalankan pengasuhan otoritatif, orang tua butuh kesabaran, ketenangan, dan keuletan. Namun apabila orangtua mencoba melakukannya, niscaya hal ini akan mendatangkan kebaikan pada anak kini dan nanti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145713/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agnes Maria Sumargi mendapat dukungan dana dari The Parenting and Family Support Centre - University of Queensland, Universitas Indonesia, dan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya untuk melakukan penelitian pada artikel ini. Saat ini ia juga terafiliasi dengan The Parenting and Family Support Centre sebagai mitra peneliti (affiliate research member). </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Divna Haslam has received grants from a range of granting bodies and is a contributory author to the Triple P—Positive parenting program. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ania Filus dan Lia Mawarsari Boediman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kami melakukan penelitian pada tahun 2015 dengan melibatkan 387 orang tua yang berasal dari Indonesia dan Australia untuk mewakili dua budaya yang berbeda.Agnes Maria Sumargi, Dosen Fakultas Psikologi , Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaAnia Filus, Director, Outcomes Research and Analytics , University of SheffieldDivna Haslam, Senior Research Fellow (Faculty of Law/ Health) & Clinical Psychologist, Queensland University of TechnologyLia Mawarsari Boediman, Ketua Program Studi Psikologi Profesi Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1337942020-03-18T09:47:17Z2020-03-18T09:47:17ZMelindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/321228/original/file-20200318-37392-mm12xj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Pixabay.com</span></span></figcaption></figure><p>Maret ini, selain berita tentang virus COVID-19, kabar yang banyak diberitakan media adalah remaja perempuan 15 tahun, NF, yang <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/09/07435691/8-fakta-pembunuhan-sadis-di-sawah-besar-pelaku-menyerahkan-diri-dan">membunuh</a> seorang gadis kecil berumur 5 tahun pada 5 Maret lalu.</p>
<p>Publik dikejutkan pertama kali karena pelaku pembunuhan masih belia. Apa yang disampaikan oleh polisi kemudian membuat publik semakin terhenyak. NF disebut membunuh dengan sadar, mengaku tidak menyesal, dan merasa puas dengan perbuatannya. <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/13/07283531/dalami-kejiwaan-remaja-pembunuh-balita-di-sawah-besar-tim-dokter-minta?page=all">Polisi saat ini masih memeriksa kejiwaan NF</a>. </p>
<p>Salah satu hal yang banyak diulas media adalah pengakuan NF kepada polisi bahwa ia membunuh karena terpengaruh film dan <em>game</em>. Ini sesuatu yang harus menjadi perhatian serius bagi siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan anak dari media.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kpi-awasi-netflix-dan-youtube-langkah-kembali-ke-orde-baru-yang-tidak-perlu-bila-ada-literasi-media-121939">KPI awasi Netflix dan YouTube: Langkah kembali ke Orde Baru yang tidak perlu bila ada literasi media</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kekerasan dalam media</h2>
<p>Media yang disebutkan menginspirasi NF untuk membunuh adalah <a href="https://tirto.id/sempat-gambar-slender-man-pelaku-nf-dites-kejiwaan-di-rs-polri-eDQo">film dan game Chucky dan Slender Man</a>. Keduanya bergenre horor dengan kandungan kekerasan yang kental. </p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Poster salah satu film Chucky, <em>Childs Play 2</em> yang dirilis pada 1990.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Universal Pictures</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Chucky adalah salah satu ikon fiksi horor terkenal dan digambarkan sebagai pembunuh berantai yang arwahnya menghuni boneka. Tak hanya berbentuk film, Chucky juga berbentuk <em>game</em>. </p>
<p>Dalam film maupun <em>game</em>, sang boneka melakukan kekejaman yang intens. Film Chucky mendapatkan klasifikasi <a href="https://tirto.id/film-joker-bahaya-adegan-kekerasan-untuk-kesehatan-mental-anak-ejli">R <em>(Restricted)</em></a>, yang berarti anak berusia di bawah 17 memerlukan pendamping orang tua atau wali dewasa untuk menontonnya. </p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Salah satu penggambaran Slender Man.</span>
<span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Slender Man adalah karakter fiksi berbentuk sosok pria tanpa wajah dengan badan tipis tinggi, memiliki tentakel, mengenakan baju hitam dengan dasi merah. </p>
<p>Karakter ini muncul pertama kali pada 2009, berasal dari <em>meme</em> internet di forum online <a href="https://tirto.id/mengenal-tokoh-slender-man-yang-menjadi-ikon-remaja-pembunuh-balita-eEh7">Something Awful</a>. Ia dikisahkan suka menculik atau melukai orang, terutama anak-anak. Sosok ini menyukai jalan berkabut dan daerah berhutan untuk menyembunyikan dirinya. Ia juga mencari korban tidak berdaya yang akan dihipnotisnya. Kontennya muram dan mencekam. </p>
<p>Slender Man menjadi ikon <a href="https://mashable.com/article/slender-man-scary-fears-millennial-digital-age/">populer di kalangan milenial</a>, bahkan dikatakan sebagai manifestasi dari generasi yang merasa dilupakan, tidak pernah terdengar, dan merasa tidak pasti. </p>
<p>Nama Slender Man bukan sekali ini saja tercatat dalam kasus pembunuhan. Sosok ini pernah disebut dalam insiden mengerikan yang terjadi di <a href="https://news.detik.com/berita/d-4930356/tentang-slenderman-karakter-fiksi-di-balik-aksi-keji-nf">Waukesha, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) pada 2014</a>. </p>
<p>Saat itu, dua anak berusia 12 tahun mengajak teman mereka ke hutan dan kemudian menikamnya belasan kali. Kedua pelaku meyakini Slender Man menyuruh mereka. Keduanya percaya, jika mereka tidak melakukannya, Slender Man akan membahayakan keluarga mereka. Pada kasus ini, untungnya korban selamat. </p>
<p>Kasus kekejaman lain yang diinspirasikan oleh Slender Man terjadi di <a href="https://www.thescottishsun.co.uk/news/scottish-news/3910333/aaron-campbell-alesha-macphail-murderer-killer-slender-man-court/">Skotlandia pada 2019</a>. Pelakunya seorang remaja pria 16 tahun yang memperkosa dan membunuh seorang gadis 6 tahun. </p>
<p>Kajian literatur banyak memberi perhatian pada efek konten kekerasan di media kepada anak. Aksi kekerasan yang dilakukan anak dalam kehidupan nyata akibat pengaruh media menimbulkan perdebatan dan kekhawatiran publik. </p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Barbara Wilson</a>, pengajar dan peneliti sosial dan psikologi di University of Illinois, AS, menyebut bahwa kekhawatiran publik atas kekerasan media sering dipicu oleh insiden-insiden agresi kaum muda. </p>
<p>Wilson menyatakan tak terhitung contoh kekerasan yang sering dilakukan oleh pelaku yang semakin muda yang telah menimbulkan kontroversi mengenai peran yang mungkin dimainkan media dalam mendorong perilaku agresif. Misalnya, kasus penikaman di <a href="http://clevelandbanner.com/stories/slenderman-and-his-impact-on-a-generation,85024">Waukesha</a> membuka perdebatan tentang tanggung jawab internet dan penggunaan internet oleh anak. </p>
<p>Kasus lain yang ramai diperbincangkan publik adalah pengaruh <em>game</em> kekerasan saat terjadi kasus pembunuhan massal oleh dua siswa di sekolah menengah Columbine, AS, pada 1999. Setelah penembakan itu, polisi menemukan rekaman video dari salah seorang pembunuh dengan senapan yang disebutnya “Arlene”, dinamai sesuai karakter dalam <em>game</em> <a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Doom</a>. </p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Wilson</a> mengatakan bahwa kajian literatur mendukung kesimpulan bahwa kekerasan media berkontribusi terhadap sikap dan perilaku agresif serta desensitisasi dan efek ketakutan. </p>
<p>Lebih jauh, konten kekerasan di media diteorikan berpotensi membuat si pemakai media menjadi tumpul perasaannya terhadap empati dan rasa sakit yang dirasakan orang lain. Inilah yang disebut sebagai <em>“compassion fatigue”</em> <a href="https://books.google.com/books/about/High_Tech_high_Touch.html?id=fQ_bAAAAMAAJ">oleh Sissela Bok</a>, <a href="https://www.aapss.org/fellow/sissela-bok/">seorang filsuf dan etisis</a> asal AS.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penelitian-orang-miskin-cenderung-mengirim-anak-perempuan-mereka-ke-madrasah-133147">Penelitian: orang miskin cenderung mengirim anak perempuan mereka ke madrasah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi media untuk anak</h2>
<p>Kasus NF kembali mengingatkan kita pada dampak media kekerasan bagi anak. Kekerasan lazim menjadi konten bagi media hiburan dan banyak di antaranya dikonsumsi anak atau remaja dengan bebasnya. </p>
<p>Muatan kekerasan berlimpah di internet. Data yang ditunjukkan pakar media <a href="https://books.google.co.id/books?id=LWg6giVEEGkC&printsec=frontcover&dq=sonia+livingstone+children+and+the+internet&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjsp8rHw57oAhUP73MBHea8BM0Q6AEIKTAA#v=onepage&q=sonia%20livingstone%20children%20and%20the%20internet&f=false">Sonia Livingstone</a> menyimpulkan bahwa 1 dari 3 anak melihat muatan kekerasan dan kebencian di internet. </p>
<p>Dalam membicarakan dampak media kita memang tidak dapat menyamaratakan efeknya pada semua anak. Efek itu dapat saja bersifat <em>conditional</em> (tergantung keadaan), tergantung juga pada faktor-faktor lainnya.</p>
<p>Namun harus diingat bahwa potensi anak untuk terpengaruh media itu besar. Mengingat anak adalah kelompok usia yang belum kritis, maka ia rentan terpengaruh isi media. </p>
<p>Dalam konteks inilah maka menjadi penting sekali bagi anak untuk memiliki kemampuan literasi media. Art Silverblatt, profesor komunikasi dan jurnalistik di Webster University, AS, <a href="https://books.google.co.id/books/about/Media_Literacy.html?id=jKlIPgAACAAJ&redir_esc=y">menyatakan</a> bahwa literasi media antara lain adalah keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan khalayak untuk menilai isi media dan adanya kesadaran mengenai dampak media. </p>
<p>Dengan keterampilan ini, anak dapat menyaring isi media yang dikonsumsinya dan menangkal efek negatif media. Keterampilan literasi media (termasuk juga literasi media digital) dapat diberikan oleh orangtua sejak anak usia dini.</p>
<p>Misalnya, orangtua dapat menanamkan “<a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Media_Diet_for_Kids.html?id=Hz5iPgAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">diet media</a>” sedari anak kecil. </p>
<p>Diet media mencakup tiga langkah: membatasi waktu konsumsi media anak (maksimal dua jam sehari untuk menikmati hiburan dari layar), memilih konten media yang sehat bagi anak (untuk memastikan waktu penggunaan media oleh anak benar-benar berkualitas), dan mendorong aktivitas yang menjauhkan anak dari media (seperti bermain dan mengembangkan hobi atau minat anak). </p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Media_Diet_for_Kids.html?id=Hz5iPgAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">Diet media</a> di masa kecil dapat menghentikan konsumsi media yang berlebihan dan menetapkan keseimbangan media yang sehat bagi anak. Anak pun akan mampu mengontrol peran media saat tumbuh remaja. </p>
<p>Literasi media, yang membuat anak dapat kritis menilai konten media dan sadar mengenai dampak media, adalah kecakapan yang dapat diajarkan di rumah maupun sekolah. Bahkan orangtua dan guru dapat berkolaborasi untuk menumbuhkan kecakapan ini. </p>
<p>Dari kasus NF ini, para orangtua dan guru dapat belajar bahwa mereka pun harus memiliki kecakapan literasi media yang memadai, agar tidak terjadi penyalahgunaan media oleh anak.</p>
<p><em>Marsha Vanessa ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/133794/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nina Mutmainnah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterampilan literasi media adalah salah satu upaya melindungi anak dari konten kekerasan di berbagai media.Nina Mutmainnah, Lecturer, Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1327652020-03-04T07:02:01Z2020-03-04T07:02:01ZApakah anak sulung benar-benar berbakat menjadi pemimpin?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/317970/original/file-20200302-141467-3txyns.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/581286055?src=ab7796b7-687c-4362-81d1-21b270366613-1-0&size=huge_jpg">Dmitry Naumov/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Semua orang tahu bahwa anak pertama adalah pemimpin alami, anak tengah adalah pemberontak, dan anak terakhir cenderung manja, tapi percaya diri. Ini kata orang-orang.</p>
<p>Tapi, apakah ini benar? Dan dari mana gagasan ini berasal?</p>
<p>Pada 1930-an psikoterapis Austria, Alfred Adler, adalah <a href="https://www.researchgate.net/profile/Jason_Kaufman3/publication/282442353_The_Role_of_Birth_Order_in_Personality_An_Enduring_Intellectual_Legacy_of_Alfred_Adler/links/56a10ebb08ae24f62701e979/The-Role-of-Birth-Order-in-Personality-An-Enduring-Intellectual-Legacy-of-Alfred-Adler.pdf">orang pertama yang mempelajari urutan kelahiran</a> dan pengaruhnya terhadap kepribadian. Dia meyakini bahwa “setiap kesulitan perkembangan disebabkan oleh persaingan dan kurangnya kerja sama dalam keluarga”.</p>
<p>Menurut Adler, seorang anak tunggal tidak pernah harus bersaing untuk mendapatkan perhatian orang tua dan tidak pernah “digantikan” oleh saudara kandung lainnya. </p>
<p>Demikian pula, anak paling tua menerima sebagian besar perhatian orang tua dan cenderung merasa bertanggung jawab terhadap adik-adik mereka, yang tercermin dalam perfeksionisme, sikap pekerja keras, dan kehati-hatian mereka.</p>
<p>Seorang anak kedua terus bersaing dengan kakak mereka dan berusaha mengejar ketertinggalan. Anak tengah berada di antara kakak dan adik mereka, yang mungkin sering meninggalkan mereka atau bersekongkol terhadap mereka. Akibatnya, anak tengah mungkin menjadi mudah marah dan peka terhadap kritik.</p>
<p>Anak bungsu seringkali paling sering dimanjakan dalam keluarga. Mereka lebih bergantung pada keluarga mereka daripada saudara kandung lainnya dan mungkin menuntut agar semuanya dilakukan untuk mereka. Sebaliknya, mereka mungkin merasa tidak diinginkan, tidak disukai, atau bahkan diabaikan.</p>
<p>Menambah anak memiliki dampak pada cara kerja sebuah keluarga. Namun, Adler menyebut bahwa faktor-faktor lain juga berperan, seperti ukuran keluarga, kesehatan, usia, budaya atau jenis kelamin anak.</p>
<p>Teori-teori Adler tetap memiliki pengaruh yang besar dan urutan kelahiran masih merupakan bidang studi penting dalam psikologi. Dan peran anak pertama memiliki daya tarik tertentu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bill Clinton adalah anak pertama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/governor-bill-clinton-addresses-denver-campaign-107340785">Joseph Sohm/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Efek anak sulung</h2>
<p>Menurut sebuah <a href="https://www.nber.org/papers/w23393">studi Swedia baru-baru ini</a>, anak sulung memiliki sifat kepribadian yang lebih disukai, termasuk keterbukaan terhadap pengalaman baru, kesadaran, ekstraversi, keramahan dan stabilitas emosi yang lebih besar, daripada saudara kandung mereka yang lebih muda. </p>
<p>Akibatnya, mereka lebih cenderung menjadi kepala eksekutif dan manajer senior, sedangkan anak-anak yang lahir setelahnya – yang suka mengambil risiko – sering tumbuh menjadi wiraswasta.</p>
<p>Anak sulung cenderung memiliki karakteristik psikologis yang berkaitan dengan kepemimpinan, termasuk tanggung jawab, kreativitas, kepatuhan, dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886905003314">dominasi</a>. Mereka juga lebih cenderung memiliki kemampuan akademik dan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada adik mereka. </p>
<p>Kualitas-kualitas ini diyakini membuat anak sulung lebih sukses. Namun, “anak bungsu” dalam keluarga <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00224540009600502">lebih mungkin</a> untuk mengambil risiko, memberontak, menunjukkan perilaku adiktif dan kurang mandiri dibandingkan dengan kakak mereka.</p>
<p>Terdapat dua penjelasan yang bisa membenarkan efek anak sulung ini. </p>
<p>Dari perspektif evolusi, orang tua menyukai dan menyediakan segala hal (tempat tinggal dan makanan) pada anak sulung mereka agar bertahan hidup dan bereproduksi. Namun, hal ini juga memerlukan pengorbanan karena orang tuanya kemudian tidak dapat menginvestasikan sumber daya yang sama besarnya pada keturunan yang selanjutnya.</p>
<p>Anak yang lebih muda harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan perhatian orang tua yang terbatas ini. (Jadi orang tua yang tidak mampu membantu banyak dalam pekerjaan rumah alias PR sekolah adik-adik si anak sulung mungkin karena kurangnya sumber daya cadangan).</p>
<p>Namun, anak-anak yang lahir terakhir sering menerima perlakuan istimewa. Ini karena orang tua memiliki kesempatan terakhir untuk menginvestasikan sumber dayanya. Orang tua juga telah lebih berumur dan cenderung memiliki lebih banyak uang pada saat anak terakhir lahir. Orang tua lebih cenderung berinvestasi dalam pendidikan <a href="https://www.researchgate.net/publication/313072471_Birth_Order_and_Parental_Investment">anak mereka yang baru lahir</a> ini. </p>
<p>Harapan orang tua juga bisa menjelaskan sifat kepribadian yang lebih disukai di antara anak sulung. Artinya, orang tua cenderung lebih keras dalam mengasuh anak mereka dengan anak sulung.</p>
<p>Orang tua juga menekankan sikap tangguh karena anak sulung perlu bertindak sebagai panutan (dan orang tua pengganti) untuk adik-adik mereka dan mempertahankan nilai-nilai orang tua.</p>
<p>Anak sulung harus mempertahankan posisi “pertama” mereka dan jangan sampai tertinggal dari adiknya. Persaingan dan konflik antara anak sulung dan adiknya adalah hasil dari kebutuhan adik kandung untuk membangun posisi mereka dalam keluarga. </p>
<p>Meskipun mereka mencoba untuk berlomba dan meniru peran saudara sulung mereka, posisi istimewa ini sudah diambil. Anak yang lahir kemudian juga harus membedakan diri untuk “memikat” sumber daya orang tua, ini dapat menjelaskan alasan perilaku memberontak mereka.</p>
<h2>Keberagaman bukti</h2>
<p>Penjelasan ini masuk akal, tapi bukti untuk mendukung hubungan antara ciri-ciri kepribadian dan urutan kelahiran beragam. </p>
<p>Beberapa studi menunjukkan hubungan yang kuat antara <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886913012142">kemampuan kepemimpinan dan urutan kelahiran</a>, tapi yang lain <a href="https://articlegateway.com/index.php/JOP/article/view/1094">tidak mendukung temuan ini</a>.</p>
<p>Inkonsistensi dalam temuan mungkin berasal dari faktor-faktor yang terkadang diabaikan, seperti jenis kelamin saudara kandung.</p>
<p>Efek anak sulung (dan kemungkinan menjadi direktur eksekutif) lebih lemah dalam kasus laki-laki yang lahir setelah kakak laki-laki dibandingkan dengan mereka yang memiliki <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/0162-895X.00343">kakak perempuan</a>.</p>
<p>Jarak usia juga perlu diperhitungkan karena kesenjangan usia yang lebih besar antara saudara kandung menyebabkan anak yang lahir lebih dulu memainkan lebih banyak peran sebagai orang tua pengganti dan mengurangi <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/9780203837962">konflik persaingan antara saudara kandung</a>. </p>
<p>Usia kesuburan ibu juga dapat mempengaruhi hasil kepribadian karena ibu berusia lebih tua ketika anak-anak berikutnya lahir dibanding ketika melahirkan anak pertama dan banyak penelitian tidak menghitung faktor ini.</p>
<p>Oleh karen itu, tampaknya profil psikologis si anak sulung ini mungkin terlalu digeneralisasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/132765/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Klara Sabolova tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Inilah temuan studi psikologi tentang urutan kelahiran.Klara Sabolova, Lecturer in Psychology, University of South WalesLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1215632019-08-09T09:14:14Z2019-08-09T09:14:14ZBagi anak-anak, dendam itu alami, balas budi tidak. Riset temukan ternyata balas budi perlu dipelajari<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/287333/original/file-20190808-144862-1wc27br.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/boy-serious-offended-concept-childrens-emotions-1198736056">Natalia Lebedinskaia/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Dahulu kala, ada seorang budak melarikan diri dan bersembunyi di dalam gua hanya untuk menyelamatkan seekor singa yang terluka. Walau takut, budak itu membantu mencabut duri yang tertancap di cakar singa. Singa itu sangat berterimakasih, lalu membagi makanannya dengan sang budak, dan akhirnya menyelamatkan hidup budak itu.</p>
<p>Pernah dengar dongeng ini? Dongeng ini usianya sudah ratusan tahun. Dongeng ini mirip cerita “<a href="https://www.bartleby.com/17/1/23.html"><em>Androcles and the Lion</em></a>” dalam kisah Aesop dan cerita rakyat Romawi, dan cerita ini terus ada dalam <a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/isbn/9780140502770">buku cerita anak-anak zaman sekarang</a>.</p>
<p>Dongeng-dongeng ini menekankan sebuah hikmah yang menurut kita semua orang pasti mengerti dan pahami: “ada budi, ada balas”.</p>
<p>Karena pepatah ini relevan dalam kehidupan sehari-hari, banyak <a href="https://scholar.google.com/citations?user=Rrq6vekAAAAJ&hl=en&oi=ao">ahli psikologi</a>, <a href="https://scholar.google.com/citations?user=zu9eT-YAAAAJ&hl=en">dan orang-orang awam</a> yang <a href="https://scholar.google.com/citations?user=Tt4hKsQAAAAJ&hl=en">berasumsi</a> bahwa prinsip ini umum dipegang dalam berperilaku, bahkan oleh anak-anak.</p>
<p>Namun, <a href="https://doi.org/10.31234/osf.io/vjb6q">percobaan kami baru-baru ini</a> menunjukkan bahwa perbuatan balas budi bukanlah sikap yang muncul secara alami ataupun intuitif. Kami menemukan bahwa anak-anak hampir tidak punya kesadaran bahwa mereka perlu membalas budi pada orang yang telah membantu mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=428&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=428&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=428&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=538&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=538&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/286275/original/file-20190730-186819-2y6trw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=538&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seekor singa mengingat kebaikan Androcles dan membalas budi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File%3AJean-L%C3%A9on_G%C3%A9r%C3%B4me_-_Androcles.jpg">Jean-Léon Gérôme/Wikimedia Commons</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Membantu orang yang membantu kita</h2>
<p>Prinsip balas budi – membalas kebaikan seseorang yang telah membantu kita – sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sering dilekati dengan status moral. Dalam banyak masyarakat, termasuk di Amerika Serikat (AS), <a href="http://dx.doi.org/10.1037/a0021201">tidak membalas budi</a> bisa dianggap sebagai pelanggaran besar.</p>
<p>Di luar ranah pribadi, peneliti berpendapat bahwa balas budi langsung dapat menjadi alasan <a href="https://www.jstor.org/stable/2092623">keberhasilan masyarakat</a> dan alasan terjadinya <a href="https://doi.org/10.1016/j.tics.2013.06.003">evolusi kerja sama</a> secara umum. </p>
<p>Jika balas budi adalah memang sesuatu yang telah berevolusi menjadi landasan manusia saling berinteraksi, maka menurut kami balas budi pastilah dipahami oleh anak-anak secara alami.</p>
<p>Untuk menguji hipotesis ini, kami menyiapkan permainan komputer sederhana untuk anak berusia empat sampai delapan tahun. Anak-anak ini berinteraksi dengan empat avatar; kami beritahu peserta bahwa avatar ini adalah anak-anak lain yang juga bermain. </p>
<p>Pada satu versi permainan ini, semua avatar mendapatkan stiker dan si peserta tidak mendapat stiker. Namun, kemudian, satu avatar memberikan stiker kepada peserta.</p>
<p>Pada tahap selanjutnya, anak tersebut mendapatkan stiker kedua yang bisa dia berikan kepada pemain lainnya. Tentu, pilihan yang paling jelas adalah membalas budi dengan memberikan stiker tersebut kepada avatar yang telah berbuat baik sebelumnya bukan?</p>
<p>Ternyata tidak. Bahkan ketika dipaksa untuk memberikan stiker barunya, dan ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari kelompok sosial yang sama, anak-anak umur berapapun memberikan stikernya secara acak kepada pemain lainnya. </p>
<p>Perilaku tersebut menunjukkan tidak adanya perilaku balas budi langsung.</p>
<p>Apakah ada yang salah dengan tugas yang kami berikan? Atau apakah terlalu sulit untuk anak kecil mengingat siapa yang telah berbuat baik padanya? Sepertinya tidak – ketika kami tanya, hampir semua anak ingat siapa yang memberinya stiker.</p>
<p>Kami menemukan hasil yang sama beberapa kali dalam kelompok-kelompok anak-anak lainnya. Lagi-lagi, tidak ditemukan bukti bahwa anak kecil menghargai prinsip “ada budi, ada balas”.</p>
<p>Apakah ini berarti anak-anak tidak pernah menunjukkan kemampuan membalas perlakuan orang lain secara langsung? Tidak sepenuhnya. Mereka mampu, hanya saja dalam bentuk dendam bukan rasa berterimakasih.</p>
<h2>Membalas dengan hukuman</h2>
<p>Sebenarnya ada dua bentuk cara membalas perlakuan secara langsung: bentuk positif – menunjukkan rasa berterimakasih – dan bentuk negatif – menyimpan dendam. Bentuk negatif ini tersurat dalam pepatah seperti “mata ganti mata”.</p>
<p>Kami menguji bentuk negatif ini dengan kelompok anak yang berbeda; mereka memainkan permainan yang mirip dengan yang pertama, namun ini versi “mencuri”.</p>
<p>Setiap anak mulai dengan satu stiker yang nantinya akan direbut oleh satu dari empat avatar. Pada kesempatan berikutnya para avatar memiliki stiker dan peserta yang diambil stikernya punya kesempatan untuk mengambil dari salah satu avatar. Yang terjadi, anak-anak membalas dendam, kadang dengan puas, dan merebut stiker dari si pencuri agar impas.</p>
<p>Mengapa anak-anak dalam rentang umur yang sama lebih ingin membalas dendam tetapi tidak mau membalas budi? Dalam kasus ini pun, kesalahan ingatan atau ingatan yang bias juga tidak berlaku: anak-anak mampu mengingat orang yang berbuat baik dan yang berbuat jahat, tetapi mereka hanya membalas perbuatan yang jahat.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/286491/original/file-20190731-186814-gpw7pn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Siapa yang pantas mendapat stiker?</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/kid-gluing-sticker-on-applique-750057400">Dmytro Yashchuk/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sebuah ekspektasi yang harus dipelajari</h2>
<p>Anak-anak mungkin bisa menghiraukan kewajibannya, tetapi menurut penelitian mereka <a href="http://dx.doi.org/10.1037/0012-1649.44.3.875">mencoba mematuhi ekspektasi sosial</a>.</p>
<p>Kami mengira-ngira apakah mereka tidak menyadari adanya norma untuk balas budi. Bisa jadi mereka memang tidak sadar perlunya membalas budi terhadap kebaikan yang mereka terima.</p>
<p>Maka kami bertanya kepada mereka. Kami menggunakan permainan yang sama seperti sebelumnya dan mereka masih menerima stiker, namun kali ini, kami hanya bertanya “siapa yang pantas dapat stiker?” </p>
<p>Pada kasus ini, kelompok anak dengan umur paling tua - tujuh dan delapan tahun - secara sistematis memilih orang yang pernah memberi stiker kepadanya. Sementara kelompok anak dengan umur lebih muda, memilih secara acak; sepertinya mereka memang tidak sadar adanya aturan ini.</p>
<p>Hasil penelitian kami menunjukkan adalah anak-anak harus belajar prinsip balas budi langsung agar mampu menerapkannya.</p>
<p>Kami melakukan satu eksperimen terakhir untuk mengetahui kemungkinan ini. Satu kelompok anak-anak mendengarkan cerita tentang dua anak yang saling berbalas budi, cerita ini disampaikan seakan-akan sebagai sebuah ketentuan: “karena Tom memberikan stiker pada saya kemarin, maka hari ini saya harus membalas.” Sekelompok anak-anak lainnya mendengarkan cerita tentang dua anak yang berperilaku baik, namun tidak dalam bentuk balas budi.</p>
<p>Kedua kelompok anak tersebut kemudian bermain permainan yang sama seperti sebelumnya. </p>
<p>Hasilnya, kelompok anak pertama yang mendengar cerita tentang balas budi cenderung “membalas kembali” anak lain yang pernah memberinya, dibanding kelompok anak yang mendengar cerita tentang perilaku baik. Dengan kata lain, cerita sederhana tentang sikap berterimakasih cukup untuk membuat anak-anak mengikuti norma sosial tentang balas budi.</p>
<p>Pada akhirnya, kesimpulannya tidak begitu buruk. Rasa dendam mungkin muncul lebih alami daripada rasa berterima kasih, tapi sikap berterimakasih bisa dipelajari. </p>
<p>Mungkin itulah alasan mengapa ada banyak dongeng tentang balas budi seperti “<em>Androcles and the Lion</em>” bukan karena perilaku itu muncul secara alami. Namun, karena kita butuh untuk mempelajari balas budi.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121563/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nadia Chernyak receives funding from the National Science Foundation. She previously received funding from the John Templeton Foundation and the Greater Good Science Center.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Peter Blake dan Yarrow Dunham tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian kami menunjukkan bahwa anak-anak tidak secara alami memiliki sikap membalas budi.Nadia Chernyak, Assistant Professor of Cognitive Science, University of California, IrvinePeter Blake, Associate Professor of Psychological and Brain Sciences, Boston UniversityYarrow Dunham, Assistant Professor of Psychology and Cognitive Science, Yale UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/993772018-07-09T10:49:17Z2018-07-09T10:49:17ZMengapa anak-anak berbohong, dan apakah ini normal?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/226662/original/file-20180709-122274-1bs13pu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C2%2C997%2C663&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">"Tidak, saya tidak memakan kuenya." </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Anak-anak biasanya mulai berbohong ketika memasuki usia prasekolah, atau di antara usia <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2612240/">dua atau empat tahun</a>. Upaya tipu muslihat yang disengaja ini membuat orang tua khawatir bila anak mereka kelak menjadi pelaku penyimpangan sosial dalam skala yang kecil. </p>
<p>Namun dari perspektif psikologi perkembangan, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Pada kenyataannya, berbohong merupakan satu hal yang menandai adanya perkembangan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26431737">pikiran</a> anak, atau kesadaran diri anak bahwa orang lain memiliki keinginan, perasaan, dan keyakinan yang berbeda dengan dirinya. </p>
<p>Ketika seorang anak melakukan klaim palsu semisal “Ayah bilang aku boleh makan es krim”, mereka menggunakan kesadaran pikiran orang lain untuk menanamkan pengetahuan yang palsu.</p>
<p>Ketika berbohong itu sendiri mungkin tidak dibenarkan secara sosial, kemampuan untuk mengetahui apa yang orang lain pikirkan dan rasakan adalah kecakapan sosial yang penting. Ini mungkin <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27337508">berhubungan dengan</a> empati, sifat kerja sama, dan kepedulian terhadap orang lain ketika mereka merasa kecewa.</p>
<h2>Bagaimana berbohong berubah seiring bertambahnya usia</h2>
<p>Ketika anak kecil berbohong untuk pertama kalinya, mereka lebih melakukannya sebagai humor ketimbang kebohongan efektif. Misalnya, anak-anak yang mengklaim bahwa mereka tidak memakan kue apa pun sedangkan mulutnya masih mengunyah kue, atau menyalahkan anjingnya karena telah mencoret tembok rumah. </p>
<p>Anak kecil mungkin mengetahui mereka dapat mengelabui orang lain, tapi mereka belum bisa melakukannya dengan mahir. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/uFlO7lPUeIc?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Sebelum usia delapan tahun, anak-anak sering kali mengaku bahwa mereka telah berbohong. Sebuah <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1080/01650250143000373">studi</a> menunjukkan, anak-anak usia tiga sampai tujuh tahun diminta untuk tidak melihat mainan yang dirahasiakan (Barney) yang diletakkan di samping mereka. Tetapi hampir semua anak melakukan itu, dan hampir semua berbohong (yang meningkat seiring bertambahnya usia).</p>
<p>Tapi secara keseluruhan, anak-anak dalam kelompok tersebut juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan kebohongan mereka. Mereka yang berusia tiga sampai lima tahun dapat menjaga raut muka datar mereka saat berbohong, meskipun pada akhirnya cenderung mengakui kebohongan mereka. </p>
<p>Sedangkan mereka yang berusia enam dan tujuh tahun akan lebih ahli dalam menyembunyikan kebohongan mereka, misalnya dengan pura-pura tidak tahu atau pun dengan sengaja tidak menyebut nama Barney. </p>
<p>Seiring pertambahan usia dan berkembangnya kemampuan memahami cara pikir orang lain, mereka semakin lihai melakukan kebohongan yang mudah dipercaya oleh orang lain. Mereka juga semakin pandai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3483871/">menjaga kebohongannya</a> secara berkelanjutan. </p>
<p>Perkembangan moral juga terjadi. Anak yang lebih muda cenderung berbohong untuk keuntungannya sendiri, sedangkan mereka yang lebih dewasa lebih mengantisipasi <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1467-8624.00098">perasaan buruk terhadap dirinya</a> apabila berbohong. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kapan-sebaiknya-anak-indonesia-belajar-bahasa-inggris-99450">Kapan sebaiknya anak Indonesia belajar bahasa Inggris?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Anak yang lebih dewasa dan remaja juga dapat lebih menggambarkan hubungan di antara bentuk-bentuk kebohongan yang berbeda. Misalnya, kebohongan dengan tujuan kebaikan, bagi mereka, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2581483/">dianggap lebih tepat</a> dibandingkan kebohongan yang bersifat <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2864928/">membahayakan atau demi melanggar aturan</a>. </p>
<p>Meskipun jarang terdapat studi yang memperkirakan frekuensi berbohong yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, para remaja kerap kali ditemukan berbohong kepada orang tua dan gurunya mengenai sesuatu yang dianggap sebagai urusan pribadi mereka.</p>
<p>Sebuah <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a">studi</a> menemukan bahwa 82% remaja di Amerika Serikat mengakui bahwa dalam setahun terakhir, mereka telah berbohong kepada orang tuan soal uang, konsumsi alkohol, obat terlarang, pertemanan, kencan, pesta, atau melakukan hubungan seks. </p>
<p>Kebanyakan dari mereka berbohong soal pertemanan (67%) maupun konsumsi alkohol dan obat terlarang (65%). Yang mengejutkan adalah hanya sedikit dari mereka yang berbohong soal melakukan hubungan seks (32%). </p>
<p>Ketika membaca skenario singkat para remaja yang berbohong, mereka cenderung menganggap kebohongan tersebut dapat diterima apabila itu untuk membantu seseorang atau menyimpan rahasia pribadi, tetapi tidak jika itu untuk menyakiti atau melukai seseorang.</p>
<h2>Apakah kebohongan dapat menyebabkan permasalahan?</h2>
<p>Terlepas dari prevalensinya, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak jarang sekali menyebabkan permasalahan. Penting juga untuk mengingat banyak dari orang dewasa yang berbohong—terkadang untuk kebaikan, semisalnya berbohong untuk menjaga perasaan orang lain, dan terkadang ketika sakit. Meskipun perkiraanya bervariasi, sebuah <a href="https://msu.edu/%7Elevinet/Serota_etal2010.pdf">studi</a> menunjukkan sekitar 40% dari orang dewasa di AS mengakui bahwa mereka telah melakukan kebohongan dalam 24 jam terakhir.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/tHCDnKhppw8?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Dalam beberapa kasus, kebohongan yang parah dapat membawa masalah, jika mereka melakukan hal tersebut bersamaan dengan beberapa perilaku lain yang tidak semestinya. Misalnya, ketidakjujuran melalui kebohongan yang muncul sebagai bagian dalam gangguan psikologis bagi orang yang memiliki <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3826598/">kecenderungan memberontak</a>.</p>
<p>Anak-anak dengan gangguan tingkah laku atau ODD dapat menyebabkan kekacauan yang cukup besar di rumah atau sekolah melalui upaya perlawanan berulang dan dapat membahayakan orang lain dan benda-benda sekitar. Tapi untuk mendiagnosisnya, perbuatan bohong tersebut harus diikuti dengan sekelompok gejala lain, misalnya menolak untuk patuh terhadap figur otoritas, terus melanggar aturan, dan tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/truth-is-everyone-lies-all-the-time-6749">Truth is, everyone lies all the time</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kasus lainnya dalam masalah pengasuhan orang tua adalah ketika berbohong dapat digunakan anak untuk menutupi masalah kesehatan mental lainnya karena takut atau malu. Sebagai contoh, seorang anak atau remaja yang menderita kecemasan berat mungkin melakukan kebohongan besar untuk menghindari situasi yang membuat mereka takut (misalnya sekolah, pesta, kuman). Mereka juga berbohong untuk menghindar dari <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2904965/">stigma gangguan kesehatan mental</a>. </p>
<p>Dalam hal ini, konsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan mental (seperti psikolog atau psikiater) Anda akan membantu memperjelas apakah kebohongan yang mereka lakukan merupakan indikasi masalah kesehatan mental. </p>
<h2>Orang tua dan guru membuat perubahan</h2>
<p>Ketika berbohong merupakan bagian dari perkembangan anak yang normal, orang tua dan guru dapat membantu anak-anak dalam mengungkap kebenaran dengan tiga cara. </p>
<p>Pertama, hindari memberi hukuman yang berat atau berlebihan. Dalam sebuah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22023095">studi</a> yang membandingkan sekolah di Afrika Barat yang memberlakukan hukuman berat (seperti memukulnya dengan tongkat, menampar, dan mencubit) dengan sekolah yang memberlakukan teguran (seperti disuruh keluar atau diomelin), menunjukkan bahwa siswa di sekolah yang memberlakukan hukuman berat lebih cenderung memiliki murid yang menjadi pembohong yang efektif.</p>
<p>Anak-anak dari keluarga yang memiliki aturan ketat dan tidak mau membuka dialog juga <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a">menunjukkan frekuensi berberbohong</a> yang lebih sering. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dengan mengetahui apakah anak Anda berusaha membohongi Anda dengan sengaja, Anda akan bisa merancang respons yang lebih efektif.</span>
<span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua, ajak anak-anak berdiskusi tentang skenario emosional dan moral. Sesungguhnya “pelatihan emosi ini” dapat membantu anak-anak memahami kapan berbohong dapat dikatakan sangat membahayakan, bagaimana hal tersebut dapat berdampak pada orang lain, dan bagaimana perasaan mereka ketika mereka berbohong. Anak-anak semakin <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-8624.1992.tb03601.x">mengantisipasi kebanggaan</a> ketika menceritakan kebenaran, dan orang tua dapat menekankan aspek positif ketika mereka berkata jujur. </p>
<p>Ketiga, pastikan kebohongan itu benar-benar kebohongan. Anak-anak yang masih sangat muda cenderung untuk memadukan kehidupan nyata dan imajinasi, sementara anak-anak yang lebih dewasa dan orang dewasa seringkali memiliki argumen yang berbeda satu sama lain. Jika anak-anak mengakui adanya kekerasan fisik dan seksual, pernyataannya ini harus selalu diselidiki. Dengan membedakan apakah ada upaya penipuan yang disengaja, orang tua dan guru dapat menargetkan respons mereka secara efektif. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kualitas-buruk-pelajar-indonesia-akibat-proses-belajar-tidak-tuntas-apa-yang-bisa-dilakukan-97999">Kualitas buruk pelajar Indonesia akibat proses belajar tidak tuntas. Apa yang bisa dilakukan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kebohongan yang dilakukan anak adalah perkembangan yang normal</h2>
<p>Berbohong adalah suatu hal yang normal dan sebuah tanda penting bahwa kecakapan kognitif yang lain juga berkembang. </p>
<p>Jika kebohongan dilakukan terus menerus dan merusak kemampuan anak untuk menjalani kehidupan sehari-hari ada baiknya berkonsultasi dengan ahli kesehatan mental atau dokter Anda. </p>
<p>Tetapi dalam situasi lain, ingatlah bahwa berbohong hanyalah satu cara anak belajar untuk mengendalikan dunia sosial. Keterbukaan dan diskusi yang hangat untuk menceritakan kebenaran pada akhirnya akan membantu mengurangi kebohongan anak-anak saat mereka berkembang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99377/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carol Newall terafiliasi dengan Black Dog Institute</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penny Van Bergen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak berbohong bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal tersebut berarti anak Anda berkembang secara normal.Penny Van Bergen, Senior Lecturer in Educational Psychology, Macquarie UniversityCarol Newall, Senior Lecturer in Early Childhood, Macquarie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.