Menu Close
Harimau Sumatra mendesak diselamatkan dari ancaman perburuan dan deforestasi. Grey82/Shutterstock

Untuk melindungi harimau Sumatra, kami petakan desa-desa di Jambi dengan tingkat risiko konflik manusia-harimau tinggi

Harimau Sumatra makin terancam populasinya karena deforestasi dan perburuan ilegal. Manusia adalah faktor ancaman terbesar terhadap harimau, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sekarang ini, menurut catatan resmi The International Union for Conservation of Nature (IUCN), populasi harimau Sumatra ada pada kisaran antara 400-500 individu. Namun keberadaannya menjadi sangat kritis karena ancaman kehilangan habitat, berkonflik dengan manusia, dan juga perburuan.

Dahulu, harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica) hidup di hutan di Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali. Tapi kini mereka hanya tersisa di Sumatra. Mereka kerap berkonflik dengan penduduk lokal karena makin mengecil habitatnya. Pada saat bersamaan penduduk kerap memburu mereka untuk diperjual-belikan bagian tubuh “kucing gede” ini di pasar gelap.

Dalam upaya mempelajari dan meminimalkan konflik, kami meneliti secara interdisiplin dengan cara memetakan desa-desa di Jambi dengan risiko tinggi pertemuan harimau-manusia. Kami juga meneliti di mana penduduknya memiliki toleransi rendah terhadap satwa liar. Desa-desa ini perlu dijadikan prioritas untuk intervensi konflik harimau-manusia dengan menggunakan pendekatan budaya dan agama.

Pendekatan yang tak membuat jera

Selama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil pendekatan penegakan hukum pidana saat terjadi harimau mati. Namun, pendekatan ini tampaknya tidak menimbulkan efek jera dalam mengurangi serangan penduduk terhadap harimau. Tatkala tekanan datang, seperti ancaman bahaya harimau dianggap mengganggu, maka masyarakat tidak segan untuk membunuhnya.

Dalam riset sebelumnya oleh Chris R Shepherd dari Monitor Conservation Research Society (Monitor) terungkap pula bahwa perburuan didorong oleh adanya praktik komersial atau permintaan pasar. Dengan kata lain, tidak jarang ditemukan niat membunuh harimau didorong oleh adanya keperluan uang.

Di lain pihak, para ilmuwan, salah satunya Shonil A. Bhagwat dari Open University, mengemukakan bahwa pendekatan budaya dan agama dapat mendukung perlindungan terhadap biodiversitas yang kemudian dapat menjadi elemen penting untuk mencegah perburuan tersebut.

Intervensi konflik manusia-harimau

Selama tiga tahun, 2014-2017, kami mendata 2.386 responden dari 72 desa di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Kami kemudian menggabungkan analisis spasial risiko perjumpaan dengan harimau dengan informasi tentang toleransi untuk mengungkapkan penyebab konflik manusia-harimau.

Kami memetakan desa-desa yang memiliki risiko pertemuan harimau sangat tinggi–yaitu desa yang dekat hutan atau sungai, dan memiliki toleransi rendah terhadap harimau. Kami memetakan ini melalui penyatuan peta profil geografis yang di lapis (overlay) dengan sikap toleransi penduduk terhadap satwa liar. Identifikasi desa bertoleransi rendah dengan risiko pertemuan harimau tinggi penting untuk menentukan prioritas bagi perlindungan harimau.

Dalam model yang kami buat, jika dilakukan pencegahan atau penanggulangan yang tepat pada desa-desa tadi, maka 54% serangan terhadap harimau dapat dihindari. Pendekatan seperti ini berpotensi menyelamatkan 15 harimau liar. Apabila itu terjadi, berarti hal tersebut adalah 10% dari seluruh populasi harimau Kerinci Seblat.

Riset ini, yang baru-baru ini dipublikasikan Nature Communication, menggabungkan pendekatan multidisiplin dengan melibatkan 12 ilmuwan ekologi spasial dan ilmuwan sosial dari Inggris dan Indonesia. Riset kolaborasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan universitas ini juga menggunakan 13 tahun catatan perjumpaan manusia-harimau dan profil geografis. Teknik ini biasa digunakan di seluruh dunia untuk menangkap kejahatan yang berulang terhadap satwa.

Toleransi antar makhluk hidup

Dalam penelitian ini, kami mencoba memahami apakah toleransi manusia terhadap harimau merupakan “kunci” guna dalam mengendalikan konflik untuk menghadapi spesies berbahaya seperti harimau.

Penelitian ini berupaya menemukan faktor yang mendorong adanya perilaku yang dapat mengendalikan perburuan harimau, utamanya yang dirasakan oleh mereka yang hidup berdampingan dengan harimau. Selain itu juga kami mencari apa yang menjadi pemicu terkuat, niat berburu harimau.

Dalam penelusuran, kami menelaah tentang apa yang mempengaruhi niat masyarakat untuk memburu atau melindungi harimau, kami menemukan bahwa meningkatnya pengetahuan konservasi semata tidak mampu mengekang perburuan. Hal serupa kami jumpai di Aceh, di mana sikap, norma, dan perilaku yang dipengaruhi oleh keyakinan – dalam hal ini fatwa dan tokoh agama – dapat menjadi penentu atas keinginan untuk berpartisipasi dalam konservasi.

Masyarakat biasanya memburu harimau karena hewan ini menyerang ternak dan manusia. Namun dalam penelusuran kami mengenai tingkat toleransi masyarakat terhadap harimau, dijumpai pula responden yang menghendaki eksistensi populasi harimau yang mengindikasikan adanya sikap pro konservasi.

Tingkat toleransi yang kami ukur adalah berkait dengan sikap, emosi, norma, dan latar belakang keyakinan spiritual yang mereka miliki. Dalam penelitian yang dipublikasikan Freya St John dan kawan-kawan, tergambar bahwa sikap keyakinan spiritual yang berlandaskan norma adat, juga menjadi penentu tingkat toleransi.

Misalnya,antropolog Bakels mencatat orang Minangkabau dan Kerinci percaya bahwa jiwa leluhur mereka ada di harimau dan dapat memahami manusia dan hanya menyerang seseorang jika mereka melanggar hukum adat.

Ditemukan pula indikasi toleransi terhadap harimau berkurang ketika satwa tersebut berdampak buruk pada kehidupan penduduk. Jadi meski mereka punya sikap, emosi, norma, dan keyakinan spiritual yang bisa mendorong toleransi tinggi, jika mereka pernah mengalami dampak buruk pada kehidupan penduduk, toleransi mereka berkurang.

Dengan menggunakan model dari psikologi, kami mempelajari bagaimana orang membuat penilaian, mengapa responden bertindak, dan apakah keyakinan dan norma mempengaruhi dukungan untuk kebijakan dan intervensi. Dari temuan kami, untuk langkah pencegahan, norma terutama adat yang ada dalam masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan perilaku.

Dari model psikologi ini, ditemukan juga pentingnya menyentuh subjektivitas penduduk. Salah satu caranya adalah menghadirkan tokoh panutan, seperti tokoh agama yang juga tokoh masyarakat yang dapat mendorong perubahan. Selain itu tekanan sosial, di mana masyarakat mendorong sebuah kegiatan yang positif untuk konservasi juga bisa mendorong perubahan perilaku.

Pentingnya interdisiplin

Pendekatan interdisiplin dalam riset yang kami lakukan ini sangat penting. Kegiatan ini adalah sebuah kolaborasi ilmuwan dari dengan berbagai disiplin ilmu yang dapat menggabungkan berbagai pasangan data yang mencakup data sosial dan ekologi yang menjadi pendekatan bermanfaat untuk mengurangi konflik manusia dan satwa. .

Harimau sangat terancam, tapi mereka juga menimbulkan ancaman terhadap penduduk, tatkala habitat mereka terus berkurang. Sumatra menjadi salah satu contoh bahwa harimau sesungguhnya dapat terus hidup berdampingan dengan manusia.

Jutaan dolar dana konservasi telah dihabiskan setiap tahun untuk mengurangi risiko konflik menghadapi harimau, termasuk mengganti kerugian atas ternak dari petani setempat. Penelitian ini, memberikan saran ilmiah, di lokasi mana sesungguhnya investasi konservasi sebaiknya dilakukan.

Pencegahan di daerah konflik yang tinggi antara manusia dan harimau dapat dilakukan dengan meningkatkan perekonomian penduduk di sana dan pada saat bersamaan mengetengahkan norma pro konservasi dan penguatan nilai-nilai masyarakat itu sendiri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now