tag:theconversation.com,2011:/us/topics/anak-42758/articlesAnak – The Conversation2024-03-08T07:14:57Ztag:theconversation.com,2011:article/2190112024-03-08T07:14:57Z2024-03-08T07:14:57ZPunya anak atau tidak itu pilihan, namun perempuan masih menghadapi paksaan sosial untuk menjadi ibu<p>Bagi kamu yang berusia 20 atau 30-an dan sedang berada dalam hubungan jangka panjang, kemungkinan besar kamu pernah mendapat pertanyaan “kapan punya anak?”. Di banyak negara, termasuk Inggris dan Indonesia, masih ada ekspektasi sosial dari masyarakat bahwa perempuan pada akhirnya akan, bahkan harus, menjadi seorang ibu. </p>
<p>Banyak orang yang <a href="https://today.yougov.com/politics/articles/40911-does-society-pressure-men-and-women-have-children">memiliki anak</a> karena tekanan orang tua yang <a href="https://academic.oup.com/psychsocgerontology/article/75/10/2250/5601159">menantikan kehadiran cucu</a>. Menjadi orang tua tampaknya telah menjadi standar baku, seperti yang digambarkan di dalam film dan televisi, dan bahkan dalam rekomendasi kesehatan masyarakat. </p>
<p>Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 sempat membuat gempar, karena menyarankan agar semua perempuan usia subur menghindari alkohol <a href="https://www.independent.co.uk/life-style/women/who-alcohol-women-pregnancy-report-b1867960.html">jika ingin hamil</a>. </p>
<p>Asumsi dan tekanan ini makin menguat tergantung pada usia dan waktu. Di Inggris dan Wales, misalnya, <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/birthsdeathsandmarriages/livebirths/bulletins/birthcharacteristicsinenglandandwales/2021">pada 2021</a>, usia rata-rata penduduk menjadi orang tua adalah 30,9 tahun untuk perempuan dan 33,7 tahun untuk laki-laki. </p>
<p>Bandingkan dengan <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/birthsdeathsandmarriages/livebirths/bulletins/birthcharacteristicsinenglandandwales/2017#:%7E:text=Usia%20rata-rata%20pertama,%20atau%20kelahiran%20berikutnya%20pada%202017">angka tahun 2017</a> yaitu ketika usia rata-ratanya 28,8 tahun untuk perempuan dan 33,4 tahun untuk laki-laki. Meskipun rata-rata usia untuk menjadi orang tua meningkat, usia untuk menjadi ibu kini jauh lebih tinggi bagi perempuan. </p>
<p>Perempuan yang menjadi ibu di usia yang lebih tua kerap mendapatkan pandangan sosial yang berbeda. Mereka sering <a href="https://doi.org/10.1080/14680777.2012.678073">digambarkan sebagai orang yang egois</a> karena “memilih” menjadi ibu di usia yang lebih tua dan dianggap mempertaruhkan kesehatan bayi karena usianya tersebut. </p>
<p>Namun, bukti ilmiah menunjukkan bahwa menunda menjadi ibu tidak sesederhana itu. Perempuan menjadi ibu di usia <a href="https://doi.org/10.1177/0959353516639615">pertengahan 30-an</a> karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya adalah membangun karier, tidak memiliki pasangan yang cocok, atau memang <a href="https://doi.org/10.1080/13698575.2013.827633">merasa tidak siap</a>.</p>
<p>Di sisi lain, ada juga stigma terhadap perempuan yang memiliki bayi pada usia yang “terlalu muda”. Stigma ini makin memburuk ketika sang ibu adalah seorang perempuan dari <a href="https://doi.org/10.1080/14680770701824779">kelas pekerja</a>.</p>
<h2>Kesenjangan pengasuhan anak berdasarkan gender</h2>
<p>Secara angka, umumnya laki-laki berusia lebih tua saat memiliki anak pertama. Laki-laki dapat terus menjadi ayah pada usia yang lebih tua daripada perempuan pada umumnya. Hanya saja mereka tidak menghadapi tekanan sosial atau “tenggat waktu” yang sama dengan perempuan dalam hal memiliki anak.</p>
<p>Kesenjangan gender ini berlanjut hingga menjadi orang tua. Tengoklah buku-buku tentang pengasuhan anak, narasinya mayoritas ditujukan untuk para ibu. </p>
<p>Bahkan, ketika ada gerakan menjadi “orang tua” yang setara secara gender, sebagian besar narasinya masih tetap <a href="https://doi.org/10.1177/0957926506063126">mengacu pada ibu saja</a>, bukannya pada ayah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengasuhan. Sementara itu, <a href="https://doi.org/10.1177/0957926500011002006">ayah</a> dipandang sebagai asisten paruh waktu yang “membantu” pengasuhan.</p>
<p>Mengasuh anak adalah pekerjaan sulit, memakan waktu, dan mahal. Budaya kerja di banyak negara tidak diatur untuk mendukung orang tua. Sering kali para ibu terpaksa mengurangi jam kerja mereka untuk mengambil alih pengasuhan anak <a href="https://www.jstor.org/stable/48656859">saat bayi lahir</a>. </p>
<p>Melalui <a href="http://www.palgrave.com/gb/book/9781137581563">penelitian</a>, saya menemukan media menggambarkan ayah yang tinggal di rumah (<em>stay-at-home fathers</em>) dipaksa untuk mengambil peran domestik karena tekanan ekonomi. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para ayah yang menjadi pengasuh utama ini kepada saya—mereka melihat pengasuhan anak sebagai sebuah kemitraan yang setara. </p>
<p>Dalam kehidupan berkeluarga, sudah terjadi beberapa kemajuan menuju pengasuhan yang setara (termasuk antara <a href="https://doi.org/10.1146/annurev-devpsych-070220-122704">pasangan gay dan lesbian</a>). Namun, gagasan tentang ibu sebagai pengasuh utama tetap ada, dan itu berarti bahwa perempuan berusia 20-an dan 30-an masih menghadapi tekanan yang tidak semestinya tentang apakah (dan kapan) mereka harus mencoba untuk memiliki anak.</p>
<h2>Memilih untuk tidak memiliki anak</h2>
<p>Perempuan dan laki-laki harus dapat memilih jalan mereka sendiri apakah ingin menjadi orang tua atau tidak. Tentu saja, mengabaikan tekanan sosial lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. </p>
<p>Ada beberapa bukti bahwa perempuan milenial dan generasi Z (Gen Z) cenderung memilih <a href="https://www.bbc.com/worklife/article/20230208-the-adults-celebrating-child-free-lives">tidak memiliki anak</a> (<em>childfree by choice</em>). Di Inggris, setengah dari total populasi perempuan tidak memiliki anak paling tidak hingga <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/birthsdeathsandmarriages/conceptionandfertilityrates/bulletins/childbearingforwomenbornindifferentyearsenglandandwales/2020">usia 30 tahun</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Pasangan muda tersenyum dan saling berpelukan sambil menggendong seekor anjing dachshund kecil." src="https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Memilih tidak memiliki anak semakin populer dan diamini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/happy-black-millennial-couple-hugging-standing-1354297076">fizkes/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tentu saja hal ini memiliki implikasi sosial tersendiri. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15240657.2019.1559515">Penelitian Rebecca Harrington</a> menunjukkan bahwa perempuan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak sering kali mendapat stigma. Mereka dianggap melawan konstruksi sosial bahwa “kodrat perempuan adalah sebagai pengasuh anak” dan seakan menghancurkan harapan sosial bahwa anak perempuan nantinya harus menjadi seorang ibu. </p>
<p><a href="https://doi.org/10.1080/02646839908404595">Pergeseran identitas</a> yang terjadi saat perempuan menjadi ibu dapat berdampak pada pertemanan, terutama antara orang tua dan relasi lainnya. Menjaga hubungan dengan orang lain bisa jadi sulit ketika harus mengelola tuntutan untuk merawat bayi yang masih kecil. Bagi teman yang tidak memiliki anak, kehadiran bayi <a href="https://www.thecut.com/article/adult-friendships-vs-kids.html">bukannya tanpa tantangan</a>.</p>
<p>Dengan segala kekurangannya, media sosial telah membantu mengubah arah diskusi. Pilihan untuk tidak memiliki anak menjadi lebih terlihat dan bahkan dirayakan melalui kampanye seperti <a href="https://www.instagram.com/wearechildfree_/">We Are Childfree</a>. Melihat komunitas <em>online</em> yang terdiri dari orang-orang yang berpikiran sama dengan pilihan hidup yang serupa dapat menunjukkan kepada kita bahwa menjadi orang tua bukanlah satu-satunya pilihan. </p>
<p>Langkah ini juga meyakinkan kita, terutama perempuan, bahwa kita tidak sendirian di jalan apa pun yang kita pilih.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219011/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Abigail Locke tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Laki-laki dan perempuan menghadapi tekanan sosial yang berbeda dalam hal menjadi orang tua.Abigail Locke, Professor of Critical Social and Health Psychology, Keele UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2079192023-07-17T02:10:19Z2023-07-17T02:10:19ZApakah ada bahasa yang lebih sulit dipelajari daripada bahasa yang lain?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/532328/original/file-20230616-27-bb55kq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/child-studying-english-747595933">maroke/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><strong>Beberapa bahasa tampak lebih sulit daripada bahasa lainnya. Apakah itu berarti otak orang yang berbicara bahasa-bahasa tersebut lebih terstimulasi? – Maria Júlia, usia 14 tahun dari São Lourenço, Brasil</strong></p>
<hr>
<p>Apakah beberapa bahasa memang lebih sulit ketimbang bahasa lainnya? Misalnya, apakah bahasa Jepang lebih sulit daripada bahasa Inggris?</p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah membedakan antara bayi yang sedang belajar bahasa pertama dengan anak-anak atau orang dewasa yang sedang belajar bahasa kedua. Bagi bayi yang sedang belajar bahasa pertama mereka, tidak ada bahasa yang lebih sulit dari bahasa lainnya. Semua bayi belajar bahasa pertama mereka dalam jangka waktu yang sama. Hal ini karena <a href="https://www.scientificamerican.com/article/how-babies-learn-language/">mempelajari suatu bahasa adalah hal yang alamiah bagi semua bayi</a>, seperti halnya belajar berjalan.</p>
<p>Otak bayi lahir ke dunia dalam keadaan siap untuk mempelajari berbagai bahasa manusia yang mereka dengar di sekitar mereka. Otak mendapatkan stimulasi yang sama dari paparan terhadap bahasa apapun, meskipun otak lebih ke beradaptasi dengan <a href="https://earlychildhoodmatters.online/2017/big-surprises-from-little-brains/">fitur-fitur tertentu dari bahasa tersebut</a> – seperti bunyi-bunyi tertentu. Tidak ada bukti bahwa beberapa bahasa tertentu membuat k lebih pintar.</p>
<p>Bahkan, bayi bahkan dapat menguasai dua (atau lebih) <a href="https://www.scienceabc.com/humans/babies-learning-language-bilingualism-possible.html#how-babies-learn-their-native-language">bahasa secara bersamaan</a>, jika mereka mendengarnya secara teratur. Bahasa-bahasa tersebut bisa serupa, seperti bahasa Portugis dan Spanyol, atau sangat berbeda, seperti bahasa Inggris dan Cina – tetapi otak bayi bisa mempelajarinya pada saat yang bersamaan.</p>
<p>Namun, hal ini berbeda dengan jika kita sudah bisa berbicara dalam satu bahasa dan sedang belajar bahasa kedua. Bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang sudah kita kuasai akan terasa lebih sulit daripada bahasa yang sangat mirip dengan bahasa pertama kita.</p>
<h2>Mempelajari bahasa kedua</h2>
<p>Misalnya, jika bahasa pertama kita adalah bahasa Inggris, kata-kata dalam bahasa Spanyol seperti <em>león</em> untuk “<em>lion</em>” (singa) atau <em>sal</em> untuk “<em>salt</em>” (garam_ akan lebih mudah dipelajari daripada, misalnya, bahasa Mandarin <em>shīzi</em> dan <em>yán</em>, atau bahasa Turki <em>aslan</em> dan <em>tuz</em>.</p>
<p>Untuk membuat kata dalam bahasa Inggris menjadi bentuk jamak, kita biasanya menambahkan -s atau -es, dan hal yang sama juga berlaku dalam bahasa Spanyol, jadi “<em>lions</em>” adalah <em>leones</em>. Namun dalam bahasa Turki, “<em>lions</em>” adalah <em>aslanlar</em>, dan dalam bahasa Mandarin tidak ada perbedaan sama sekali antara “<em>lion</em>” dan “<em>lions</em>”. <a href="https://blog.duolingo.com/whats-the-easiest-language-to-learn/">Perbedaan dari bahasa pertama kitalah</a> yang dapat membuat bahasa lain menjadi “lebih mudah” atau “lebih sulit”, bukan bahasanya itu sendiri.</p>
<p>Semakin banyak bahasa yang kita ketahui, semakin mudah untuk mempelajari bahasa lain. Bayi yang belajar dua bahasa pada saat yang sama <a href="https://www.sciencedaily.com/releases/2017/10/171002084841.htm">sering kali lebih mudah mempelajari bahasa ketiga atau keempat ketika mereka dewasa</a>. Otak dwibahasa (<em>bilingual</em>) mereka sudah lumayan memahami bagaimana bahasa bisa berbeda-beda. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="kartu bahasa asing" src="https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/507059/original/file-20230130-22-omoysa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Belajar tentang buah-buahan dalam bahasa Portugis dan Inggris.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/portuguese-learning-new-language-fruits-name-507878815">Eiko Tsuchiya/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://clareseltcompendium.wordpress.com/2014/02/10/is-there-a-critical-period-for-language-learning/">Para ilmuwan dulu berpikir</a> bahwa ada titik batas, sekitar usia 12 atau 13 tahun. Mereka mengira bahwa setelah titik itu, tidak mungkin untuk mempelajari bahasa baru sepenuhnya. Sekarang kita tahu bahwa banyak anak muda <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2018/jan/21/the-joys-and-benefits-of-bilingualism">bisa belajar bahasa lain</a> selama <a href="https://news.mit.edu/2018/cognitive-scientists-define-critical-period-learning-language-0501">masa remajanya</a>. Setelah itu, memang menjadi lebih sulit – tetapi bukan tidak mungkin – untuk mencapai tingkat kefasihan yang tinggi dalam bahasa baru.</p>
<p>Alasan mengapa bayi sangat jago dalam belajar bahasa, sebagian karena mereka punya lebih banyak waktu untuk melakukannya. Otak remaja atau otak orang dewasa mungkin <a href="https://medium.com/@chacon/mit-scientists-prove-adults-learn-language-to-fluency-nearly-as-well-as-children-1de888d1d45f">masih cukup fleksibel</a> untuk belajar bahasa lain, tetapi seiring bertambahnya usia, mereka sibuk dengan sekolah, pekerjaan, dan pertemanan. Ketika bayi belajar bahasa-bahasa pertama mereka, mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih. </p>
<h2>Belajar membaca berbeda dari belajar bahasa</h2>
<p>Meskipun memahami dan berbicara dalam suatu bahasa terjadi secara alami, belajar membaca dan menulis adalah hal yang berbeda.</p>
<p>Kemampuan membaca bukanlah sesuatu yang dikembangkan oleh otak kita secara otomatis. Ini benar-benar harus dipelajari. Karena bahasa yang berbeda ditulis dengan cara yang berbeda, maka lebih masuk akal jika kita bilang bahwa beberapa bahasa lebih mudah dipelajari untuk dibaca daripada bahasa lainnya.</p>
<p>Anak-anak yang berbicara bahasa Inggris atau Prancis <a href="https://www.researchgate.net/publication/6876970_Becoming_literate_in_different_languages_Similar_problems_different_solutions">menghabiskan waktu lebih lama di sekolah untuk belajar membaca</a> daripada anak-anak yang berbicara bahasa Italia atau Finlandia. Hal ini karena dalam bahasa Italia atau Finlandia terdapat kesamaan yang erat antara huruf yang tertulis dan bunyi yang diucapkan. Sedangkan, dalam bahasa Inggris atau Perancis, ada banyak pelafalan yang rumit. Jika kamu membaca versi bahasa Inggris dari artikel ini, kamu pasti bisa mengenali beberapa aturan bunyi bahasa yang kompleks tersebut.</p>
<p>Dalam beberapa bahasa yang sudah sejak lama mengenal sistem tulisan, terutama di Asia, ada beberapa tantangan lain. Khususnya dalam bahasa Cina dan Jepang, penulisan didasarkan pada simbol-simbol yang terpisah untuk kata atau bagian dari kata, bukan huruf yang masing-masing mewakili suatu suara. Belajar membaca bahasa-bahasa ini dapat memakan waktu <a href="https://blogs.ntu.edu.sg/blip/does-the-brain-read-chinese-the-same-way-it-reads-english/">lebih lama lagi</a>. Oleh karena itu, dalam beberapa aspek tertentu, beberapa bahasa meamng bisa jadi lebih sulit untuk dipelajari daripada bahasa lainnya.</p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207919/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Antonella Sorace adalah Profesor Bidang Linguistik Perkembangan di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Ia menerima hibah dari Economic and Social Research Council, Leverhulme Trust, Uni Eropa, Carnegie Trust, dan penyandang dana internasional lainnya yang mendukung beberapa penelitian yang disebutkan dalam artikel ini. Ia juga pendiri dan direktur Bilingualism Matters, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mengangkat penelitian tentang bilingualisme dan pembelajaran bahasa kepada orang-orang di berbagai sektor masyarakat.</span></em></p>Apakah ada bahasa yang lebih sulit dipelajari? Jawabannya tergantung apakah kita mempelajari bahasa itu saat masih bayi atau setelah dewasa.Antonella Sorace, Professor of Developmental Linguistics, The University of EdinburghLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2075202023-06-16T14:50:55Z2023-06-16T14:50:55ZSuara apa yang muncul saat kita membaca dalam hati?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/531287/original/file-20230612-146960-byp5nm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Membaca menjadi lebih cepat ketika kita tidak perlu mengucapkan setiap kata dengan keras.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/illustration/propaganda-conceptual-illustration-royalty-free-illustration/1148108285?phrase=brain+speaking+illustration&adppopup=true">Gary Waters/Science Photo Library via Getty Images</a></span></figcaption></figure><hr>
<blockquote>
<p><strong>Suara apa yang muncul di kepala kita saat membaca? - Luiza, usia 14 tahun dari Goiânia, Brasil</strong></p>
</blockquote>
<hr>
<p>Saat pertama kali mulai membaca, kita membaca dengan suara yang keras.</p>
<p>Membaca dengan suara keras bisa membuat teks menjadi lebih mudah dipahami ketika kita adalah pembaca pemula atau ketika kita membaca sesuatu yang menantang. Mendengarkan diri sendiri saat membaca <a href="https://www.carnegielearning.com/blog/5-benefits-reading-aloud/">bisa membantu kita meningkatkan pemahaman</a>.</p>
<p>Setelah itu, kita bisa jadi mulai “<a href="https://www.alamo.edu/siteassets/nvc/academics/tutoring-services/reading-and-english-lab/reading-resources/strategies01.pdf">membaca sambil bergumam</a>”. Kita bergumam, berbisik, atau menggerakkan bibir saat membaca. Namun, kebiasaan ini perlahan-lahan akan memudar seiring dengan berkembangnya kemampuan membaca kita, dan kemudian kita akan mulai “membaca dalam hati”. Saat itulah ketika suara di dalam kepala kita mulai muncul.</p>
<p>Sebagai pakar dalam <a href="https://scholar.google.com/citations?user=rtqNMWcAAAAJ&hl=en">membaca</a> dan <a href="https://scholar.google.com/citations?user=XdcULRkAAAAJ&hl=en">bahasa</a>, kami sering kali melihat transisi ini – dari membaca dengan suara keras menjadi membaca dalam hati. Ini adalah bagian normal dari perkembangan kemampuan membaca seseorang. Biasanya, anak-anak sudah mahir <a href="https://www.dreambox.com/resources/blogs/what-is-silent-reading-fluency-and-how-educators-help-students">membaca dalam hati</a> pada kelas empat atau lima.</p>
<p>Pergeseran dari membaca dengan suara keras ke membaca dalam hati sangat mirip dengan bagaimana anak-anak mengembangkan keterampilan berpikir dan berbicara.</p>
<p>Anak-anak kecil sering berbicara kepada diri mereka sendiri sebagai cara untuk berpikir saat menghadapi tantangan. <a href="https://www.verywellmind.com/lev-vygotsky-biography-2795533">Lev Vygotsky</a>, psikolog dari Rusia, menyebutnya sebagai “<em>private speech</em>” (“pembicaraan pribadi”).</p>
<p>Namun, bukan hanya anak-anak saja yang berbicara kepada diri mereka sendiri. Lihat saja orang dewasa yang mencoba merakit penyedot debu baru. Kita mungkin akan mendengar mereka bergumam sendiri saat mereka mencoba memahami instruksi perakitan.</p>
<p>Seiring kemampuan berpikir anak-anak menjadi lebih baik, mereka beralih untuk berbicara di dalam kepala mereka, bukan dengan suara keras. Hal ini disebut “<em>inner speech</em>” (“pembicaraan dalam hati”). </p>
<p>Saat kita sudah menjadi pembaca yang baik, akan lebih mudah bagi kita untuk membaca dalam hati. Membaca menjadi lebih cepat karena kita tidak perlu mengucapkan setiap kata. Kita juga bisa kembali ke bagian-bagian sebelumnya untuk membaca ulang teks tanpa mengganggu alur bacaan. Kita bahkan dapat melewatkan kata-kata pendek yang sudah kita kenal.</p>
<p>Membaca dalam hati itu lebih fleksibel dan memungkinkan kita untuk fokus pada hal-hal yang penting. Selama membaca dalam hati pula, kita mulai bisa mengenali “suara batin” kita (<em>inner voice</em>). </p>
<h2>Mengembangkan “suara batin”</h2>
<p>Mendengar adanya <em>inner voice</em> atau suara batin saat kita membaca adalah hal yang relatif lumrah. Bahkan, sebuah penelitian menemukan bahwa <a href="https://doi.org/10.1111/sjop.12368">4 dari 5 orang</a> mengatakan mereka sering atau selalu mendengar adanya suara batin ketika mereka membaca dalam hati.</p>
<p>Ada juga yang mengatakan bahwa ada banyak <a href="https://bookriot.com/what-does-your-inner-narrator-sound-and-look-like/">jenis suara batin</a>. Suara batin kita bisa jadi adalah suara <a href="https://doi.org/10.1371%2Fjournal.pone.0025782">kita sendiri</a>: Mungkin saja suara itu terdengar mirip dengan cara kita berbicara atau mungkin sama seperti suara lisan kita. Atau, bisa jadi suara itu punya nada atau warna nada yang sama sekali berbeda.</p>
<p>Sebuah penelitian terhadap <a href="https://www.theatlantic.com/national/archive/2011/07/hearing-voices-your-head-normal-while-reading/353390/">pembaca dewasa</a> menemukan bahwa suara yang kita dengar di dalam kepala bisa berubah tergantung pada apa yang sedang kita baca. Sebagai contoh, jika kalimat-kalimat dalam sebuah buku diucapkan oleh karakter tertentu, kita mungkin mendengar suara karakter tersebut di kepala kita.</p>
<p>Jadi, jangan takut jika mulai muncul banyak suara di kepala kita ketika membaca sebuah buku - itu berarti kita sudah menjadi seseorang yang terampil membaca dalam hati. </p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207520/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>“Suara batin” kita berkembang seiring kita menjadi lebih terampil membaca dalam hati.Beth Meisinger, Associate Professor of Psychology, University of MemphisRoger J. Kreuz, Associate Dean and Professor of Psychology, University of MemphisLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2075062023-06-12T10:10:40Z2023-06-12T10:10:40ZBagaimana gangguan kecemasan pada masa kecil dan remaja berdampak saat kita dewasa? Ini kata riset terbaru<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/531296/original/file-20230612-63747-fgkkaa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/black-african-mother-embrace-little-preschool-1192766260">(fizkes/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Angka kecemasan di antara anak-anak dan kaum muda <a href="https://digital.nhs.uk/news/2021/rate-of-mental-disorders-among-children-remained-stable-in-2021-after-previous-rise-report-shows">terus meningkat</a> dalam beberapa tahun terakhir. Situasi ini menjadi semakin parah, <a href="https://www.who.int/news/item/02-03-2022-covid-19-pandemic-triggers-25-increase-in-prevalence-of-anxiety-and-depression-worldwide">sebagian akibat dampak pandemi</a>.</p>
<p>Sesekali merasakan kecemasan adalah hal yang normal, <a href="https://theconversation.com/we-shouldnt-worry-so-much-about-our-kids-anxiety-its-a-normal-part-of-growing-up-67963">bahkan saat masa kecil</a>. Misalnya, seorang anak bisa saja merasa cemas karena ada ujian sekolah yang mendatang. </p>
<p>Namun, jika rasa cemas tersebut menjadi parah, terjadi secara jangka panjang, dan mengganggu kegiatan sehari-hari sang anak, ini kemudian dapat dikatakan sebagai gangguan kecemasan (<em>anxiety disorder</em>).</p>
<p><a href="https://acamh.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jcv2.12149">Riset terbaru kami</a> telah menemukan bahwa gangguan kecemasan di antara kaum muda bisa berdampak pada masalah kesehatan mental saat dewasa, nilai akademik yang lebih buruk di sekolah, hingga penghasilan yang lebih rendah.</p>
<p>Namun, <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s00787-019-01388-4">orang tua</a> dan bahkan <a href="https://bmjopen.bmj.com/content/9/4/e023876.abstract">dokter</a> bisa saja mengalami kesulitan dalam membedakan rasa takut dan cemas sehari-hari yang sesuai dengan usia seseorang, dengan masalah kecemasan yang benar-benar bisa mengganggu kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Ketika keluarga memutuskan untuk mencari bantuan, mereka kemudian kesulitan mendapatkan bantuan layanan kesehatan mental yang aksesnya terbatas. Banyak anak dengan gangguan kecemasan akhirnya tidak <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s00787-019-01388-4">menerima bantuan dan pengobatan</a>. Namun, riset kami menunjukkan pentingnya anak-anak dengan gangguan kecemasan untuk menerima intervensi secara tepat waktu – sebelum gejalanya menjadi lebih parah.</p>
<h2>Kata riset</h2>
<p>Kami melakukan peninjauan sistematis (<em>systematic review</em>) – suatu studi untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menyintesis seluruh publikasi riset yang ada terkait suatu tema riset spesifik.</p>
<p>Dengan melihat temuan-temuan dari beragam riset ini, kami menemukan bahwa orang-orang yang menderita masalah kecemasan saat masa kecil atau remaja lebih berkemungkinan untuk punya gangguan kecemasan ketika mereka mulai masuk masa dewasa muda. Banyak studi menunjukkan adanya hubungan antara gangguan kecemasan remaja dengan depresi saat dewasa.</p>
<p>Kami juga menemukan bahwa remaja yang mengalami masalah kecemasan sering kali <a href="https://acamh.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jcv2.12149">lebih banyak absen dari sekolah</a> serta <a href="https://jamanetwork.com/journals/jamapsychiatry/fullarticle/2763443">meraih nilai yang lebih rendah</a> ketimbang teman-temannya yang tidak mengidap gangguan kecemasan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Pensive teenage boy in glasses sat with back to wall" src="https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/522570/original/file-20230424-28-hqb686.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Gangguan kecemasan saat masa kecil bisa mempengaruhi capaian akademik dan karier pada masa depan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/intelligent-teen-hispanic-boy-thinking-547979938">cheapbooks/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165032713008860?via%3Dihub">Salah satu studi yang kami pelajari</a> menemukan bahwa orang-orang berusia 30 tahun yang pernah menderita gangguan kecemasan saat remaja, lebih dari dua kali lipat berkemungkinan untuk berstatus sebagai pengangguran saat disurvei. Mereka juga bisa menjumpai sejumlah hambatan di tempat kerja. Riset tersebut menunjukkan bahwa orang dewasa yang <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165032713008860?via%3Dihub">mengalami gangguan kecemasaan</a> saat kecil lebih berpotensi terhambat dalam kerjaan dan merasakan stres.</p>
<p>Tak mengejutkan, semua ini mengakibatkan adanya beban ekonomi yang cukup besar bagi anak-anak pengidap gangguan kecemasan ketika mereka dewasa, bagi keluarga mereka, maupun masyarakat luas. Satu studi menemukan bahwa anak laki-laki yang menderita masalah kecemasan saat kecil mendapatkan <a href="http://eprints.lse.ac.uk/38200/">penghasilan lebih rendah sebanyak 3%</a> ketika masa bekerja.</p>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10802-007-9194-4">Penelitian di Belanda</a> yang terbit pada 2008 menemukan bahwa orang tua membayar biaya pribadi rata-rata €96 (sekitar Rp 1,5 juta) per tahun untuk pengobatan anak mereka. Orang tua yang punya anak dengan kecemasan juga bisa membuat mereka <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10802-020-00626-7">absen dari kerjaan</a>. Studi di AS yang terbit tahun 2020 menemukan untuk hari-hari absen dari kerjaan ini, per anak, akan membebani masyarakat sekitar US$ 856 (hampir Rp 13 juta).</p>
<h2>Membantu anak yang cemas</h2>
<p>Anak-anak biasanya mengandalkan orang tua untuk mencarikan bantuan untuk mereka. Kecemasan mereka bisa jadi hanya <a href="https://theconversation.com/we-shouldnt-worry-so-much-about-our-kids-anxiety-its-a-normal-part-of-growing-up-67963">bagian dari proses tumbuh dewasa</a>. </p>
<p>Namun, jika kamu mengamati bahwa rasa takut dan cemas anakmu tetap bertahan dan bahkan mulai mengganggu kegiatan sehari-hari maupun kehidupan keluarga, mencari bantuan medis adalah langkah yang bijak.</p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lanpsy/article/PIIS2215-0366(17)30149-9/fulltext">Karya kolaboratif kami</a> sebelumnya menunjukkan bahwa satu cara utuk membantu anak dengan gangguan kecemasan adalah untuk mengajarkan orang tua mereka cara menerapkan prinsip-prinsip terapi perilaku kognitif (<em>cognitive behavioural therapy</em> atau CBT) saat memberikan dukungan untuk anak. Para orang tua membedah suatu buku <em>self-help</em> dan menjalani sesi dengan psikolog.</p>
<p>Kami menemukan bahwa pengobatan atau intervensi semacam ini <a href="https://www.thelancet.com/journals/lanpsy/article/PIIS2215-0366(17)30149-9/fulltext">efektif secara klinis</a> sekaligus <a href="https://www.thelancet.com/journals/lanpsy/article/PIIS2215-0366(17)30149-9/fulltext">lebih hemat</a>. Intervensi ini juga telah <a href="https://www.acamh.org/research-digest/cyp-iapt/">diadopsi secara luas</a> oleh lembaga kesehatan Inggris, National Health Service (NHS). Penelitian terkait penggunaannya juga <a href="https://www.cambridge.org/core/services/aop-cambridge-core/content/view/95E025DF1C39213BC65DE31C117DBE55/S1352465822000546a.pdf/parentled_cognitive_behaviour_therapy_for_child_anxiety_problems_overcoming_challenges_to_increase_access_to_effective_treatment.pdf">telah dilakukan</a> di negara-negara seperti AS dan Australia.</p>
<p>Belum banyak <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10567-017-0222-9">bukti ilmiah</a> terkait dampak jangka panjang dari pengobatan kecemasan masa kecil, tapi bukti yang ada menunjukkan bahwa <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3881178/">mengobatinya sejak awal dan secara efektif</a> bisa mengurangi tingkat gangguan kesehatan mental saat dewasa. Mengingat <a href="https://mental.jmir.org/2020/6/e18472">krisis kesehatan mental global</a> yang berdampak besar di <a href="https://www.who.int/news/item/02-03-2022-covid-19-pandemic-triggers-25-increase-in-prevalence-of-anxiety-and-depression-worldwide">banyak negara</a> – sekaligus <a href="https://www.bmj.com/content/380/bmj.p324">sistem kesehatan mereka</a> – pendekatan ini patut dicoba.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207506/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mara Violato menerima dana dari National Institute for Health and Care Research (NIHR) Programme Grants for Applied Research, Nomor: RP‐PG‐0218‐20010; NIHR Oxford Health Biomedical Research Centre; dan NIHR Applied Research Collaboration Oxford and Thames Valley. Seluruh pandangan yang disampaikan dalam artikel ini merupakan milik penulis dan tidak serta merta mewakili pandangan NHS, NIHR, atau Department of Health and Social Care.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jack Pollard menerima dana dari National Institute for Health and Care Research (NIHR) Programme Grants for Applied Research, Nomor: RP‐PG‐0218‐20010. Seluruh pandangan yang disampaikan dalam artikel ini merupakan milik penulis dan tidak serta merta mewakili pandangan NHS, NIHR, atau Department of Health and Social Care.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tessa Reardon menerima dana dari National Institute for Health and Care Research (NIHR) Programme Grants for Applied Research, Nomor: RP‐PG‐0218‐20010. Seluruh pandangan yang disampaikan dalam artikel ini merupakan milik penulis dan tidak serta merta mewakili pandangan NHS, NIHR, atau Department of Health and Social Care.</span></em></p>Anak-anak dengan gangguan kecemasan lebih berkemungkinan untuk absen dari sekolah dan meraih nilai akademik yang lebih rendah ketimbang teman-teman mereka yang tidak mengalami gangguan kecemasan.Mara Violato, Associate Professor, Health Economics, University of OxfordJack Pollard, Researcher in Health Economics, University of OxfordTessa Reardon, Postdoctoral researcher, University of OxfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2056352023-05-16T15:58:14Z2023-05-16T15:58:14ZCara mendiskusikan topik yang menantang dengan anak remaja kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/526204/original/file-20230515-12435-auampt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=25%2C25%2C5725%2C3802&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang ayah berbincang dengan anak remajanya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/african-american-father-son-deep-conversation-476477086">pixelheadphoto digitalskillet/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Percakapan penting dengan remaja menjadi salah satu <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352250X1630135X?casa_token=rFl4YOv2OF4AAAAA:WJaOg5uUsgZOCgMtOQ2SZ-EmDszH7VHY7mKvr-g09l2HoXQXwZAepQq3Fm0sWFaswGL9GvmuCQo">tantangan dalam pengasuhan</a>. Obrolan-obrolan ini rasanya bisa seperti berjalan di atas tali tambang. Terlalu banyak – atau terlalu sedikit – memberikan perintah dan batasan bisa membuat diskusi sensitif semacam ini berjalan kurang mulus.</p>
<p>Saat mempersiapkan artikel ini, saya meminta putri saya memberikan nasihat untuk para orang tua yang memiliki anak remaja. Responsnya adalah bahwa “remaja bisa frustrasi jika orang tua tidak mendengarkan mereka dengan baik, atau mengatakan satu hal tetapi justru melakukan hal lain. Pikirkan dulu apa yang ingin kamu katakan jauh sebelum kamu mengatakannya kepada anak remajamu.”</p>
<p>Yang mengejutkan, intuisinya selaras dengan temuan berbagai penelitian (dan saya menduga itu adalah pesan darinya untuk saya juga).</p>
<p>Berdiskusi dengan anak remaja bisa menjadi sulit karena berbagai alasan. Pertama, masa remaja adalah masa ketika anak muda <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0273229799904835">tengah mencari identitas mereka sendiri</a>. Dalam bereksperimen dengan berbagai bagian identitas tersebut, mereka <a href="https://www.jstor.org/stable/1130361?casa_token=h6CdhSHbkIsAAAAA%3AS8kAYuPV5JdThkfyU1Un4f2zmmWQ5vcB1sgDGyEln63AQ_raNzg4idwnJ4rG34-0pth2FN-lRgT0vGIAOodJYhfOV4JsMC1WLpgTD3AXLSLC17gK3kBZ">sering kali membuat keputusan</a> tanpa diketahui orang tua mereka, dan beberapa di antaranya <a href="https://www.researchgate.net/profile/Lawrence-Cohn/publication/15556818_Risk-Perception_Differences_Between_Adolescents_and_Adults/links/53eb77d20cf202d087ccea8d/Risk-Perception-Differences-Between-Adolescents-and-Adults.pdf">cukup berisiko</a>.</p>
<p>Namun, anak remaja masih bergantung pada orang tua mereka, serta masih membutuhkan kasih sayang dan persetujuan orang tua – bahkan ketika mereka tidak mau mengakuinya. Obrolan yang <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1006/jado.1998.0155?casa_token=Os8T58cvDv8AAAAA:lzxq7WYhd9buUWVNFPaVl563bcWgo929kKk0-s-gyAggWLXMfi4GJck3XI5uWArUBEXWvFUIDSZKsohr">bisa memfasilitasi kebutuhan yang kompleks ini</a> sering kali membutuhkan fleksibilitas, daya tanggap, dan kesabaran.</p>
<p>Para peneliti masih mempelajari tentang bagaimana orang tua dapat mendukung kebutuhan anak remaja mereka dengan sebaik-baiknya, tetapi penelitian yang dilakukan sejauh ini menunjukkan beberapa hal penting yang perlu dicatat.</p>
<h2>Sering-seringlah membicarakan topik yang rumit</h2>
<p>Bicaralah dengan anak remajamu sesering mungkin dan dengan menunjukkan antusiasme. Libatkan mereka dalam topik yang mereka rasa penting atau berkaitan dengan mereka.</p>
<p>Umumnya anak remaja akan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140197108000626?casa_token=Q4mo3TLDsbgAAAAA:P1a4z2AXU2VsPpAPK7-OF0IQwjzygUwr5YsIi6aNCjlHVD8LqCo8Q4lEAl3AQ-szIZG4tGFS_Xc">lebih terbuka</a> ketika mereka merasa bisa berbicara dengan orang tua yang tidak menghakimi mereka tentang topik-topik penting.</p>
<p>Selain kualitas percakapan, frekuensi juga penting. Lebih sering memulai percakapan akan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF01537077">membuat anak remaja</a> mau berbagi lebih banyak hal dengan kita. </p>
<p>Sebagai persiapan memulai pembicaraan, ada baiknya kamu membangun pemikiran bahwa kamu memang berminat mendengarkan anakmu, serta <a href="https://papyrus.bib.umontreal.ca/xmlui/bitstream/handle/1866/22373/AS%20parenting%202008%20post_public.pdf?sequence=1">menghargai dan mempercayai</a> mereka, bahkan sebelum memulai perbincangan yang berat.</p>
<h2>Dengarkan dengan kasih sayang</h2>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0022096521000965?casa_token=rGd1Wfed2dwAAAAA:cVQ0NU__mEk1dqQ20XxWLBCiReBUrHSoxPGYEmfBdVFdsOYKX54C-9pL1P2d-yc5eoNXmH_FHy8">Penelitian saya</a> menunjukkan bahwa mendengarkan anak remaja dengan sebaik-baiknya dapat membuat mereka lebih bahagia dan, ke depannya, bersedia untuk berbagi lebih banyak hal lagi padamu.</p>
<p>Untuk <a href="https://compass.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/spc3.12651">mendengarkan dengan baik</a>, kamu sebaiknya benar-benar “hadir” untuk mendengar apa yang dikatakan anakmu, mencoba memahami masalah dari sudut pandang mereka dan menyampaikan bahwa kamu menghargai dan mencintai mereka – bahkan jika kamu belum tentu setuju dengan apa yang telah mereka lakukan atau apa yang mereka katakan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Ayah dan anak perempuan duduk di sofa sambil berbincang dan tersenyum" src="https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/523019/original/file-20230426-24-t6jgr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dengarkan dengan pikiran terbuka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/happy-young-indian-father-teenage-child-1947553360">Ground Picture/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam mendengarkan, bukan berarti orang tua harus menyetujui permintaan anak tanpa alasan yang kuat. Di awal percakapan, kamu bisa lebih dulu menjelaskan pada anakmu perbedaan antara “ingin memahami” dengan “siap sedia mengakomodasi keinginan mereka”.</p>
<h2>Jelaskan alasanmu</h2>
<p>Sekadar mendengarkan saja memang tidak selalu cukup. Orang tua juga diharapkan bisa menanggapi dan mengarahkan, tindakan anak remaja mereka. Tapi, <a href="https://papyrus.bib.umontreal.ca/xmlui/bitstream/handle/1866/22373/AS%20parenting%202008%20post_public.pdf?sequence=1">caramu mengarahkan mereka</a> dapat membantu mereka memahami makna di balik permintaan dari orang tua, tak hanya sebatas sebagai perintah.</p>
<p>Misalnya, orang tua bisa saja memberikan perintah: “Letakkan ponselmu sekarang!” Tapi, mereka juga bisa meminta mereka melakukannya sembari menjelaskan: “Sebaiknya kamu meletakkan ponselmu saat kita sedang menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga. Ini penting agar kita bisa saling berbincang.”</p>
<p>Dengan menjelaskan keputusanmu dan permintaanmu, memang tidak serta merta akan membuat anakmu langsung setuju tanpa protes. Tetapi, paling tidak, cara ini dapat membantumu menyampaikan nilai-nilaimu. Ini juga memberikan anakmu kesempatan untuk memutuskan mereka akan berperilaku seperti apa.</p>
<p>Hal ini pada akhirnya akan membantu mereka untuk menginternalisasi atau <a href="https://psycnet.apa.org/record/2009-09998-008">menerima aturan dan norma orang tua</a>.</p>
<h2>Perhatikan nada bicaramu</h2>
<p>Yang penting bukan hanya tentang apa yang kamu, sebagai orang tua, katakan pada anakmu, tapi juga tentang bagaimana caramu mengatakannya.</p>
<p><a href="https://orca.cardiff.ac.uk/id/eprint/125529/1/Weinstein.%20Listen%20to%20your%20mother.pdf">Penelitian saya</a> menunjukkan bahwa nada suara yang hangat, merangkul, dan lembut dapat diterima dengan lebih baik oleh remaja. Ini karena nada suara yang demikian dapat membantu mereka memahami pesan orang tua, merasakan emosi positif, dan merasa terhubung dengan orang tua mereka.</p>
<p>Sebaliknya, nada suara yang cenderung menekan dapat membuat mereka <a href="https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/bjep.12567">merasa terasingkan</a> dan merusak upaya komunikasi efektif yang seharusnya bisa memicu perubahan positif.</p>
<h2>Pikirkan juga kesehatanmu sendiri</h2>
<p>Mendengarkan dengan baik, serta menggunakan nada suara dan kata-kata yang ideal untuk menyampaikan pesan kepada remaja, bisa jadi sulit bagi orang tua ketika sedang <a href="https://idp.springer.com/authorize/casa?redirect_uri=https://link.springer.com/article/10.1007/s10826-019-01428-2&casa_token=DSjGFex0In4AAAAA:0rWbm5h21sWygjrP9yMsg-z64YNrO6N6B29fCRTNZDrUmw0DIiLYvLABwttQ9W1pamLeBBfW5wz2hkPomA">lelah</a>, <a href="https://www.researchgate.net/profile/Wendy-Grolnick/publication/11551931_Antecedents_and_Consequences_of_Mothers%27_Autonomy_Support_An_Experimental_Investigation/links/02bfe510c100f9ec11000000/Antecedents-and-Consequences-of-Mothers-Autonomy-Support-An-Experimental-Investigation.pdf">berada dalam tekanan</a>, atau sedang <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10964-020-01309-8">menghadapi perilaku yang menantang dari anak-anak mereka </a>.</p>
<p>Oleh karena itu, melakukan pembicaraan penting setelah istirahat yang cukup, atau setidaknya lebih dulu menarik napas dalam-dalam, bisa jadi lebih bermanfaat orang tua maupun anak. Cara ini dapat membantumu untuk mengenali suasana hatimu sendiri, sehingga kamu dapat menghnidari diskusi penting ketika pikiran sedang penat.</p>
<p>Penting juga untuk berhati-hati terhadap <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0272431612449385?casa_token=Ii6Bnf8SE0oAAAAA:xkV79X8nPO2b4ejLbGrKjK3SXl_3cr-Kt95lQQbNPW-J9VsKJ4lxBpfaOZclAo8R6gBypKIwoP4OEw">rasa terancam dan rasa takutmu</a> sendiri yang bisa timbul selama perbincangan dengan anakmu. Emosi-emosi ini bisa menghambat sikap responsif, kasih sayang, namun tetap dengan ketegasan – sesuai kebutuhan – yang dibutuhkan orang tua saat diskusi menjadi alot.</p>
<h2>Pahami bahwa percakapan tidak serta merta menyelesaikan semua masalah</h2>
<p>Ketika masa remaja, anakmu sedang menempuh <a href="https://books.google.co.uk/books?hl=en&lr=&id=xcB8R9DVOUwC&oi=fnd&pg=PA1&dq=limits+of+parental+control+over+behavior&ots=HSUAP0u3oE&sig=sE0Ad1jKH1vyo6yMq8rBknYCb1s&redir_esc=y#v=onepage&q=limits%20of%20parental%20control%20over%20behavior&f=false">perjalanan untuk bertumbuh</a>. Sering kali, perjalanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0306460305000961?casa_token=lJAF5rNPdJkAAAAA:XyCr4PDKDAqqgoSj8shJ6e6NxvRyk8mqSFc6x8IAHYH38LKAoPPNt7bItgXthZQzubp4L6a0l9E">kepribadian</a>, <a href="https://link.springer.com/content/pdf/10.1023/A:1015493316865.pdf">pengaruh teman sebaya</a>, dan <a href="https://jamanetwork.com/journals/jamapediatrics/article-abstract/203918">kesehatan mental</a> yang sering kali kompleks.</p>
<p>Orang tua tentu punya kemampuan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0265407517705228?casa_token=U6IP7V_EgnIAAAAA:0B2NhmworQZAWdTv_M9WWFlg--dvyseH3TuvX2sgfZ3Mw2oBdpj9YJtzZzx_EVTHcDrE7lnrLdaIVg">untuk mendorong</a> remaja untuk berbicara tentang masalah yang mempengaruhi mereka, dan mendukung <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0022022101032005006?casa_token=K_PWmn_6eW4AAAAA:EzmcRnIkSSkStpwPnRyyTIxyjRDnwMJckTHHaiDvM1tAFeYrmq99Tj6PVbHn1bgTSvBTXYSuN0e31A">kebahagiaan mereka</a>. Tetapi, orang tua juga berhak untuk <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s12671-020-01401-x">menyayangi diri mereka sendiri</a> seperti mereka menyayangi anaknya. Tidak ada orang tua yang sempurna; yang bisa mereka lakukan adalah melakukan yang terbaik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205635/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Netta Weinstein menerima dana dari European Research Council, Leverhulme Trust, dan the Templeton World Charity Foundation. Ia juga bekerja sebagai research associate di Oxford Internet Institute, University of Oxford, Inggris.</span></em></p>Dengarkan anakmu dengan baik.Netta Weinstein, Professor, School of Psychology, University of ReadingLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996022023-03-19T05:34:10Z2023-03-19T05:34:10ZMengapa tuntutan bagi orang tua untuk mendampingi anak belajar justru berpotensi mendiskriminasi rumah tangga miskin<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/516085/original/file-20230317-28-2gi0m3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/yogyakarta-indonesia-13-march-2023-asian-2274206047">(Shutterstock/Mbah Purwo)</a></span></figcaption></figure><p>Situasi pandemi lalu yang memaksa sekolah tutup semakin mendorong orang tua untuk terlibat dalam pendidikan anak. Sebagian bahkan harus <a href="https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5586533/peran-orang-tua-mendidik-anak-di-masa-pandemi">menggantikan peran guru</a> di rumah.</p>
<p><a href="https://www.povertyactionlab.org/project/learning-home-during-pandemic-experiences-parents-and-teachers">Studi</a> dari lembaga riset Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2020, misalnya, menunjukkan rata-rata orang tua menghabiskan 4-5 jam sehari untuk mendampingi anak belajar di rumah. Di luar Jakarta, <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">riset yang saya lakukan</a> menunjukkan orang tua menghabiskan 1-3 jam sehari. </p>
<p>Sebagian peneliti terus mendorong peran orang tua dalam pembelajaran anak <a href="https://theconversation.com/pembelajaran-jarak-jauh-masih-akan-tetap-di-sini-kita-harus-buat-kualitasnya-setara-sekolah-tatap-muka-164397">selepas pandemi</a>. Argumennya, keterlibatan orang tua berkaitan dengan hasil belajar siswa. Contohnya, <a href="https://theconversation.com/studi-tegaskan-masifnya-dampak-orang-tua-dalam-pembelajaran-anak-kita-harus-bangun-terus-peran-mereka-selepas-pandemi-169375">lembaga riset SMERU</a> menemukan peningkatan capaian belajar murid di Bukittinggi, Sumatra pada periode 2019-2020 selama mereka didampingi orang tua di rumah.</p>
<p>Namun, melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan mengapa pelibatan orang tua dalam pendidikan justru berpotensi mendiskriminasi rumah tangga dari ekonomi menengah ke bawah.</p>
<p>Selain bukti yang belum konsisten – misalnya bagaimana studi di <a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674725102">Amerika Serikat (AS)</a> dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01425692.2021.1872364?journalCode=cbse20">Cina</a> menunjukkan bahwa pendampingan oleh orang tua belum tentu berkontribusi pada peningkatan hasil belajar anak – narasi ini juga bisa memperparah stigma dan mengkambinghitamkan orang tua miskin. </p>
<h2>Orang tua miskin berpotensi jadi kambing hitam</h2>
<p>Berbagai praktik pendampingan belajar yang dianggap baik sering berfokus pada teori perkembangan anak yang cenderung <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0022022117746241">bias kelas dan budaya</a>. Umumnya, praktik tersebut menuntut keterlibatan intens orang tua, khususnya ibu, untuk menemani dan membantu anak memahami materi ajar, hingga berkomunikasi erat dengan guru untuk memonitor capaian anak.</p>
<p>Hal tersebut memerlukan komitmen orang tua, terutama dalam hal waktu, uang, gawai dan infrastruktur pembelajaran seperti laptop dan internet. </p>
<p>Praktik pendampingan semacam ini lebih umum menjadi <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1111/j.1467-954X.2005.00575.x">standar pada ekonomi maju</a> yang banyak mengadopsi model keluarga inti dengan jumlah anak yang sedikit, gelar pendidikan formal yang tinggi, serta kondisi finansial yang baik.</p>
<p>Pada akhirnya, keterbatasan sumber daya dan pengalaman pendidikan orang tua miskin untuk memenuhi <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0022022117746241">standar ala rumah tangga menengah ke atas</a>, berujung membuat mereka berpotensi jadi kambing hitam atas masalah pendidikan anak.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/8/2/64">riset tahun 2019</a> dari PUSKAPA Universitas Indonesia yang dilakukan pada wilayah rural di Sulawesi menunjukkan bahwa pekerja garis depan – guru, bidan, dan pekerja sosial – kerap menyalahkan orang tua di desa. Mereka dianggap sebagai biang keladi atas masalah yang dialami anak, termasuk masalah belajar.</p>
<p>Pandangan ini mengabaikan faktor-faktor struktural yang mempengaruhi <a href="http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0038040719861363">praktik pola asuh dari orang tua</a> dan <a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">kesuksesan anak</a> di sekolah.</p>
<h2>Bahaya narasi tunggal pendampingan anak</h2>
<p>Literatur menunjukkan orang tua miskin sebenarnya memiliki kepedulian pada pendidikan anaknya. Sama dengan orang tua dari ekonomi menengah ke atas, mereka <a href="https://theconversation.com/sekolah-swasta-berbiaya-rendah-melayani-masyarakat-miskin-tapi-terpinggirkan-83895">ingin anak mereka bisa belajar di sekolah yang bagus</a>.</p>
<p>Namun, pandangan yang bias kelas membuat banyak pihak menganggap <a href="https://uncpress.org/book/9781469627304/whats-wrong-with-the-poor/">pendekatan pendampingan anak di kelompok miskin dan marginal</a> tidak ideal, terbelakang, dan mengabaikan kesejahteraan anak. </p>
<p><a href="https://www.ucpress.edu/book/9780520271425/unequal-childhoods">Studi tahun 2011</a> di sekolah negeri AS, misalnya, menunjukkan bahwa orang tua dari kelas ekonomi yang berbeda memiliki pendekatan berbeda pula terhadap sekolah.</p>
<p>Orang tua miskin, yang pengalaman pendidikannya relatif terbatas, lebih mungkin percaya pada institusi pendidikan – mereka “menitipkan” pendidikan anak mereka pada sekolah. Keputusan ini berorientasi pada kebutuhan anak, bukan menggambarkan ketidakpedulian mereka pada proses belajar anak.</p>
<p>Sebaliknya, kelompok profesional dari ekonomi menengah atas lebih mudah berdiskusi dengan sekolah terkait pendidikan anak. Mereka familier dengan bahasa dan aktivitas sekolah yang mereka dapatkan dari pengalaman pendidikan sebelumnya.</p>
<p>Perbedaan ini tidak lantas memposisikan kelompok orang tua satu lebih baik dibandingkan dengan kelompok orang tua lainnya. Perbedaan pendekatan terjadi karena perbedaan sumber daya dan pengalaman pendidikan.</p>
<p>Jika tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh sekolah digeser ke rumah, hasilnya bisa sangat bervariasi tergantung sumber daya yang ada di rumah. Akhirnya, alih-alih mengatasi ketimpangan, fokus berlebihan pada pelibatan orang tua justru berpotensi melanggengkan ketimpangan yang sudah terjadi di luar sekolah.</p>
<h2>Beban lebih pada ibu miskin</h2>
<p>Dalam rumah tangga heteroseksual, narasi pendampingan belajar ini juga lebih banyak berdampak pada ibu miskin.</p>
<p>Secara umum, Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) memang <a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">menemukan</a> bahwa mayoritas pendampingan belajar selama pandemi dilakukan oleh ibu (hingga hampir 70%) – bahkan pada keluarga yang kedua pasangannya sama-sama bekerja.</p>
<p>Meskipun kini perempuan punya kesempatan lebih banyak di pasar kerja, ekspektasi sosial terkait gender hingga kebijakan cuti yang belum inklusif membuat tugas-tugas domestik, termasuk pendampingan belajar, masih banyak dikerjakan perempuan. Arlie R. Hocschild, sosiolog di University of California-Berkeley di AS menggambarkan ini sebagai “<a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/310593/the-second-shift-by-arlie-hochschild-with-anne-machung/"><em>shift</em> kedua</a>” pekerjaan ibu setelah pulang dari tempat kerja.</p>
<p>Diane Reay, profesor sosiologi pendidikan di Cambridge University di Inggris menjelaskan bahwa di negara tersebut, banyak <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1111/j.1467-954X.2005.00575.x">ibu kelas pekerja</a> harus mengemban “beban ganda” pekerjaan profesional dan domestik, sehingga waktunya sudah sangat minim untuk mendampingi belajar anak. Mereka tidak bisa menutup ini dengan menyewa tutor pribadi, seperti yang dilakukan ibu kelas menengah.</p>
<p>Tuntutan yang makin besar untuk mendampingi anak bisa membuat ibu mengeluarkan tenaga berlebih sehingga berpotensi mengancam <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20201111113804-255-568443/8-bulan-pandemi-56-persen-ibu-rumah-tangga-alami-stres">kesehatan fisik maupun mental</a> mereka. Selain itu, kondisi mereka bisa jadi <a href="https://www.hks.harvard.edu/publications/high-stakes-time-poverty-testing-and-children-working-poor">semakin dilematis</a> untuk memilih lanjut bekerja atau fokus pada pendampingan belajar anak.</p>
<p>Di beberapa negara tetangga Indonesia, salah satunya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01425692.2021.1872368">Singapura</a> yang posisi ibu sangat terlibat dalam pendidikan anak, pemerintahnya justru mendorong orang tua untuk tidak terlalu aktif dalam pendidikan anak. Selain untuk menurunkan kompetisi antaranak, praktik ini juga dianggap lebih berpihak pada kesehatan mental ibu dan anak. </p>
<h2>Pelibatan secara kolektif</h2>
<p>Sebenarnya, inisiatif pelibatan orang tua pada pendidikan anak memiliki potensi membuat insitusi sekolah menjadi lebih adil dan demokratis.</p>
<p>Namun, bentuk pelibatan orang tua sebaiknya tidak fokus pada menggeser tanggung jawab sekolah ke orang tua – apalagi menggantikan tugas guru di rumah. Program justru harus bertujuan pada <a href="https://www.routledge.com/Parents-And-Teachers-Power-And-Participation/Vincent/p/book/9780750705189">pembagian kekuasaan antara orang tua dan sekolah</a>, misalnya melalui pelibatan orang tua dalam kebijakan sekolah.</p>
<p>Dalam hal ini, ada dua pendekatan keterlibatan orang tua di sekolah: pendekatan kolektif (berfokus pada kepentingan semua anak) dan individualis (berfokus pada kepentingan anak sesuai keterlibatan atau permintaan tiap orang tua). <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0002831209345791">Studi</a> menunjukkan bahwa pendekatan kolektif lebih baik karena berpotensi mengatasi ketimpangan dan membantu semua anak – terlepas orang tua tersebut mendampingi belajar anaknya ataupun tidak, kaya maupun tidak.</p>
<p>Selama ini, misalnya, keterlibatan orang tua dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan Biaya Operasional Sekolah (BOS) masih <a href="https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--penyaluran-dana-bos-2020-wujudkan-merdeka-belajar">terbatas</a>. Ini adalah peluang untuk melibatkan masukan orang tua dalam perumusan kebijakan kolektif.</p>
<p>Tak hanya itu, pelibatan orang tua juga perlu lebih banyak mendorong keterlibatan ayah dan komunitas.</p>
<p>Dalam rumah tangga heteroseksual, keterlibatan ayah harus lebih dari sekadar mewakilkan ibu di pertemuan – tapi sebagai satu kesatuan orang tua – untuk memutuskan hal-hal penting dalam kebijakan sekolah. Hal ini bermanfaat untuk mengurangi tugas ganda ibu di rumah. Di masyarakat, komunitas juga bisa berperan dan melengkapi fungsi sekolah dalam membantu anak-anak dari keluarga marginal, utamanya yang punya keterbatasan untuk mendukung pembelajaran anak.</p>
<p>Pelibatan orang tua dimulai dengan landasan bahwa orang tua berdaya untuk mendukung sekolah. Keberdayaan ini perlu kita “manfaatkan” lebih jauh, tidak untuk menggantikan tanggung jawab sekolah, melainkan membuat sekolah menjadi lebih demokratis dan adil untuk semua anak – terlepas dari orangtuanya bisa terlibat mendampingi anak atau tidak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199602/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterbatasan sumber daya dan pengalaman pendidikan orang tua miskin untuk memenuhi standar ala rumah tangga menengah ke atas kerap membuat mereka jadi kambing hitam atas masalah pendidikan anak.Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2010912023-03-05T17:13:29Z2023-03-05T17:13:29ZIngin punya anak di tengah dunia yang sedang kolaps? Tanyakan dulu 5 hal ini pada diri sendiri<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/513461/original/file-20230304-2760-9u5cbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C31%2C7000%2C4631&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi bayi sedang duduk di samping boneka beruang.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/baby-teddy-bear-rear-view-with-design-space_15606930.htm#query=baby%20newborn&position=12&from_view=search&track=ais">Freepik</a></span></figcaption></figure><p>Apakah kamu ingin punya anak?</p>
<p>Di planet yang tengah mengalami guncangan akibat krisis iklim, keruntuhan ekosistem, ancaman kelaparan dan kemiskinan, bukankah memiliki anak hanya akan menambah masalah dan, karena itu, tidak etis?</p>
<p>Sebagai seorang kandidat PhD di Monash Bioethics Centre, Australia, saya meneliti tentang etika prokreasi pada masa perubahan iklim. Saya menemukan bahwa tidak ada jawaban sederhana “ya” atau “tidak” mengenai apakah kita harus melahirkan lebih banyak anak di saat planet Bumi berada dalam kesulitan seperti ini.</p>
<p>Orang-orang yang ingin punya anak kerap menghadapi dilema. Melahirkan seorang anak, artinya anak tersebut akan berkontribusi menghasilkan emisi sepanjang hidup mereka, dan artinya akan ada orang lain yang tetap berada dalam garis kemiskinan (jika planet ini beroperasi dalam batas kapasitas fisiknya). Hal ini, yang dapat dengan mudah diperdebatkan, akan memperpuruk kondisi ketidakadilan dan ketidaksetaraan.</p>
<p>Tetapi tetap saja banyak dari kita yang ingin memiliki anak, karena menganggap hal itu akan menjadi sesuatu paling berarti yang kita lakukan dalam hidup.</p>
<p>Apa yang harus kita lakukan?</p>
<p>Berdasarkan ilmu etika, ada kewajiban moral bagi individu untuk mempertimbangkan efek dari memiliki anak, tanpa perlu memaksa orang lain untuk tidak memiliki anak.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="man and women lie on bed with baby" src="https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513065/original/file-20230302-17-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Memiliki anak dapat menjadi salah satu hal paling berarti yang kita lakukan bersama hidup. Tapi apakah itu etis di masa-masa sulit seperti ini?</span>
<span class="attribution"><span class="source">Natacha Pisarenko/AP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Apa itu overpopulasi?</h2>
<p>Banyak pendapat bahwa dunia saat ini menghadapi masalah kelebihan populasi (biasa disebut <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12281798/">overpopulasi</a>), keadaan ketika ada lebih banyak orang di Bumi – daripada kapasitas semestinya yang memungkinkan manusia bisa hidup dengan nyaman, bahagia, dan sehat – namun Bumi ini masih dianggap sebagai tempat yang cocok untuk generasi mendatang.</p>
<p>Tetapi definisi ini masih terbuka untuk interpretasi lainnya. Overpopulasi bukan hanya tentang jumlah, tetapi juga nilai-nilai. Jika orang-orang di negara-negara makmur memenuhi gaya hidup mereka – dan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk memiliki gaya hidup yang sama – maka dunia akan kelebihan penduduk.</p>
<p>Saya tinggal di dalam kota Melbourne. Ketika saya menghitung <a href="https://www.footprintcalculator.org/home/en">jejak ekologis</a> saya, ternyata akan butuh sekitar 4 Bumi untuk dapat memenuhi kebutuhan kita secara adil jika semua orang memiliki gaya hidup seperti saya. Jika gaya hidup setiap orang sama seperti orang Amerika pada umumnya, kita akan membutuhkan lebih dari 5 Bumi.</p>
<p>Para <a href="https://www.academia.edu/10991141/Will_Limited_Land_Water_and_Energy_Control_Human_Population_Numbers_in_the_Future">ahli ekologi</a> dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/356572845_Climate_ethics_and_population_policy_A_review_of_recent_philosophical_work">filsuf</a> telah memperkirakan bahwa seseorang yang lahir di dunia yang sudah maju dapat memenuhi gaya hidup mereka hanya jika tidak ada lebih dari 2 atau 3 miliar manusia di planet ini. Sekarang jumlah manusia di Bumi ada lebih dari <a href="https://www.worldometers.info/world-population/">8 miliar</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/why-we-should-be-wary-of-blaming-overpopulation-for-the-climate-crisis-130709">Why we should be wary of blaming 'overpopulation' for the climate crisis</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<figure class="align-center ">
<img alt="people walking on a crowded street" src="https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/364900/original/file-20201022-18-iwc4eu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Banyak yang berpendapat bahwa dunia tengah menghadapi masalah overpopulasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Jadi apa yang bisa kita lakukan?</h2>
<p>Salah satu yang dapat kita lakukan untuk mengatasi dilema ini adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca per kapita. Namun, ini saja tidak cukup. Mengapa?</p>
<p><strong>Pertama</strong>, sulit untuk mengurangi emisi secepat yang diperlukan untuk mengurangi bencana perubahan iklim. Ada <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement">Perjanjian Paris</a> yang bertujuan mencegah pemanasan dunia sebesar 2°C dari sebelum periode industri. Untuk mencapai tujuan ini, <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/science.aah3443">kita harus</a> mengurangi separuh emisi saat ini pada tahun 2030, mengurangi separuhnya lagi pada 2040, dan separuh berikutnya pada 2050.</p>
<p>Sayangnya, kita <a href="https://climateactiontracker.org/publications/glasgows-2030-credibility-gap-net-zeros-lip-service-to-climate-action/">belum berada berada di jalur yang benar</a> dalam mencapai tujuan Perjanjian Paris tersebut. Kegagalan ini dapat menyebabkan penderitaan yang signifikan dan <a href="https://www.ipcc.ch/report/ar6/wg2/">jutaan kematian</a>. Dan masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi akan terkena dampak paling pertama dan paling parah. Ini tidak adil.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, negara berkembang harus diizinkan untuk meningkatkan emisi mereka guna <a href="https://www.ecologicalcitizen.net/pdfs/epub-048.pdf">menghindari kemiskinan</a>. Orang-orang yang hidup dalam kemiskinan, terutama yang tinggal di negara miskin dan berkembang, mengonsumsi sangat sedikit sumber daya. Membiarkan mereka tetap berada pada tingkat konsumsi yang rendah ini adalah hal yang tidak manusiawi. Kita perlu mengadvokasi mereka untuk lebih konsumtif.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, memiliki anak lebih sedikit dapat membantu menyelesaikan masalah ketidakadilan yang disebabkan oleh kerusakan iklim. Jika tingkat kesuburan global turun sebesar 0,5 kelahiran per perempuan, <a href="https://philpapers.org/archive/HICPEA.pdf">kita bisa menghemat</a> sekitar 5,1 miliar ton karbon per tahun sampai akhir abad ini. Ini sama dengan menghemat <a href="https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1004581107">16% sampai 29%</a> dari total penghematan emisi yang kita perlukan untuk menghindari bencana perubahan iklim.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="people wade through floodwaters" src="https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513070/original/file-20230302-19-plcira.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Memiliki lebih sedikit anak membantu menyelesaikan ketidakadilan yang disebabkan oleh kerusakan iklim, seperti banyaknya pengungsian akibat banjir.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Zahid Hussain/AP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Keempat</strong>, bahkan jika rata-rata emisi per kapita dunia menurun, pertumbuhan populasi tetap akan melipatgandakan emisi.</p>
<p>Emisi cenderung tumbuh dengan rasio satu banding satu dengan meningkatnya populasi. Antara tahun 1975 dan 2009, misalnya, populasi dan emisi <a href="https://overpopulation-project.com/wp-content/uploads/2018/12/2010_Ryerson_TheMultiplierofEverythingElse_PostCarbonReaderSeries5221.pdf">naik sebesar 43%</a> di Amerika Serikat (AS). Percuma kita berusaha dengan baik mengurangi emisi per kapita jika kita tidak menangani masalah pertumbuhan populasi juga.</p>
<p><strong>Terakhir</strong>, kita tidak dapat mengatasi masalah emisi per kapita tanpa membahas reproduksi. Keputusan untuk tidak melahirkan anak berkontribusi mengurangi emisi individu <a href="https://www.biologicaldiversity.org/programs/population_and_sustainability/pdfs/OSUCarbonStudy.pdf">20 kali lebih efektif</a> dibandingkan jumlah total perilaku “hijau” lainnya yang kita lakukan, seperti mendaur ulang dan mengurangi penggunaan kendaraan.</p>
<p>Di negara maju, misalnya, memiliki satu anak lebih sedikit bisa <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/aa7541">menghemat sekitar 58 ton</a> emisi per tahun. Cara terbaik berikutnya yang dapat dilakukan untuk membatasi emisi mereka adalah dengan hidup tanpa mobil. Namun, ini hanya akan menghemat sekitar <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/aa7541">2,4 ton emisi per tahun</a>.</p>
<p>Para ahli etika <a href="https://commons.pacificu.edu/work/sc/f69d70ba-8600-4198-b467-266a3435e91e">menegaskan</a> bahwa jika kita punya kewajiban untuk mengurangi emisi per kapita, maka kita juga punya kewajiban untuk membatasi jumlah anak yang kita miliki.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bob-brown-is-right-its-time-environmentalists-talked-about-the-population-problem-148347">Bob Brown is right – it's time environmentalists talked about the population problem</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<figure class="align-center ">
<img alt="man opens lid to recycling bin" src="https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513074/original/file-20230302-22-hr8cj6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tidak memiliki anak jauh lebih bermanfaat bagi planet ini dibandingkan keseluruhan perilaku ‘hijau’ yang kita lakukan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">James Ross/AAP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Menyelesaikan dilema</h2>
<p>Saya memang tidak memiliki pengalaman hidup sebagai perempuan atau individu yang dapat mengandung. Saya juga belum punya anak.</p>
<p>Namun, saya yakin dunia harus mengatasi overpopulasi. Saya sangat paham bahwa ini <a href="https://teachersinstitute.yale.edu/curriculum/units/1998/7/98.07.03.x.html">bukan topik yang mudah dan nyaman</a> untuk dibicarakan. Diskusi ini akan melibatkan topik seksualitas dan kontrasepsi, serta hak-hak privasi dan agama. </p>
<p>Dan saya menyadari tidak ada cara yang dapat benar-benar menyelesaikan seluruh masalah ketidakadilan.</p>
<p>Jika orang-orang di negara-negara makmur terus melahirkan anak, tidak akan ada cukup sumber daya bagi orang yang hidup saat ini dan di masa mendatang untuk bisa berkembang.</p>
<p>Tapi, menuntut individu untuk berhenti bereproduksi juga <a href="https://www.academia.edu/27846638/Whose_Job_Is_It_to_Fight_Climate_Change_A_Response_to_Hickey_Rieder_and_Earl">tidak adil</a>. Bagi banyak orang, kebebasan untuk memutuskan akan melahirkan keturunan adalah soal <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10790-021-09797-y">martabat dan makna penting dalam hidup</a>.</p>
<p>Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB juga <a href="https://humanrights.gov.au/our-work/commission-general/universal-declaration-human-rights-human-rights-your-fingertips-human#:%7E:text=Article%2016&text=Men%20and%20women%20of%20full,marriage%20and%20at%20its%20dissolution">menjamin</a> bahwa setiap laki-laki dan perempuan berhak untuk membangun keluarga.</p>
<p>Jadi, jawaban yang paling tepat bukanlah menghilangkan ketidakadilan secara keseluruhan, tapi meminimalisir ketidakadilan sebisa mungkin.</p>
<p>Menyuruh orang untuk tidak memiliki anak, atau memiliki lebih sedikit anak, sepertinya terlalu keras. Solusinya harus <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/japp.12099">lebih halus</a>.</p>
<p>Lalu bagaimana caranya?</p>
<p>Dengan mengajak orang-orang untuk menyadari adanya kewajiban moral untuk mempertimbangkan masalah lingkungan dan keadilan sebelum melahirkan generasi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="man and women look lovingly at baby" src="https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513062/original/file-20230302-23-jdw7rk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kita harus mempertimbangkan masalah lingkungan dan keadilan sebelum memutuskan untuk memiliki anak.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Lima pertanyaan besar</h2>
<p>Bagi kalian yang ingin punya anak, <a href="https://www.theglobaljusticenetwork.org/index.php/gjn/article/view/96/71">tidak cukup</a> hanya mengajukan pertanyaan – untuk diri sendiri – seperti: Apakah saya akan mampu menjadi orang tua yang baik? Sudahkah saya memiliki seluruh sarana yang dibutuhkan untuk menghidupi seorang anak?</p>
<p>Siapa pun yang memiliki akses untuk mengontrol kesuburan mereka wajib menanyakan lima pertanyaan berikut kepada diri mereka sendiri:</p>
<ol>
<li><p>Apakah anak saya nantinya akan memiliki gaya hidup yang menyebabkan emisi tinggi dan kemudian membuat orang lain harus hidup dalam kemiskinan? Jika demikian, apakah ini dapat dibenarkan?</p></li>
<li><p>Apakah saya ingin menjadi orang tua secara biologis - punya anak yang memiliki gen saya? - Atau saya hanya ingin menjadi orang tua - ingin membesarkan anak dalam lingkungan yang penuh kasih menurut nilai-nilai saya, terlepas dari gen mereka?</p></li>
<li><p>Jika saya memiliki ikatan biologis yang kuat ketika saya sudah punya anak, apakah saya dapat membesarkan anak yang bukan anak kandung saya?</p></li>
<li><p>Jika saya hanya ingin menjadi orang tua, dapatkah saya <a href="https://philpapers.org/archive/RULPAG-3.pdf">memenuhi keinginan ini dengan cara lain</a> seperti dengan mengasuh, mengajar, menjadi pendamping atau, jika memungkinkan, mengadopsi anak?</p></li>
<li><p>Apakah saya bisa memenuhi keinginan saya menjadi orang tua dengan cara lain jika saya sudah sudah memiliki satu anak kandung?</p></li>
</ol>
<p>Seringkali orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak merasa perlu menjelaskan alasan keputusannya kepada orang lain. Namun, lima pertanyaan di atas memiliki pendekatan yang sebaliknya: bahwa orang yang ingin melahirkan anak secara etis harus lebih dulu menjawab pertanyaan sulit itu untuk dirinya sendiri.</p>
<p>Masyarakat yang adil menghargai pilihan individu yang menginginkan dan berusaha memiliki anak. Namun, setiap orang juga perlu dituntut untuk mempertimbangkan konsekuensi dari apa yang akan mereka lakukan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201091/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Craig Stanbury tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tidak ada jawaban sederhana “ya” atau “tidak” mengenai apakah kita harus melahirkan lebih banyak anak di saat planet Bumi berada dalam kesulitan seperti ini.Craig Stanbury, PhD Candidate, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2002452023-02-20T11:11:08Z2023-02-20T11:11:08ZTentang childless: Apa kata para perempuan yang hidup tanpa anak – tapi bukan karena pilihan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/511122/original/file-20230220-14-hzb84a.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=3%2C0%2C664%2C365&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Serial animasi Bluey.</span> <span class="attribution"><span class="source">ABC</span></span></figcaption></figure><p>Dalam suatu episode Film Bluey (serial animasi produksi Disney), <a href="https://iview.abc.net.au/show/bluey/series/3/video/CH2003Q044S00">Onesies</a>, Bluey yang berusia enam tahun bertanya kepada ibunya, Chilli, ada apa dengan Bibi Brandy, yang datang berkunjung untuk pertama kalinya dalam empat tahun.</p>
<p>“Apakah dia sedang sedih?” Bluey bertanya. “Dan mengapa kita hanya bertemu dengannya sekali dalam hidup kita?”</p>
<p>Film tersebut mengisyaratkan bahwa Brandy tidak dapat memiliki anak.</p>
<p>“Maaf, sudah lama sekali,” kata Brandy kepada saudara perempuannya. “Sulit rasanya untuk bertemu dengan kalian semua, paham kan?”</p>
<p>“Aku tahu,” jawab Chilli, meraih tangan kakaknya.</p>
<p>Adegan tersebut menjadi salah satu contoh bagaimana tayangan ini mencoba menyentuh <a href="https://www.chicagotribune.com/entertainment/tv/sc-ent-bluey-disney-1023-20191017-fbd55bc67ncbjph4s6hvzdnwc4-story.html">masalah kompleks</a> yang terjadi di masyarakat, dan mengundang tanggapan positif dari penontonnya. Contohnya adalah komentar seseorang di akun Facebook film tersebut, “terima kasih Bluey, karena menampilkan pihak yang ‘tidak memiliki anak bukan karena pilihan’”.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/ra90TmjLIOk?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Hampir <a href="https://www.jeanhailes.org.au/health-a-z/fertility-pregnancy/having-trouble-conceiving">satu dari enam pasangan</a> di seluruh dunia pernah mengalami infertilitas. Mereka yang tidak, memiliki anggota keluarga, kolega, atau teman yang mengalaminya.</p>
<p>Menyoroti pengalaman-pengalaman semacam ini dapat membantu banyak orang yang mengalaminya merasa tidak terlalu sendirian dan dapat mengurangi rasa malu mereka akan stigma negatif yang, sayangnya, kerap menghantui orang yang didiagnosis infertil.</p>
<p>Liputan media cenderung hanya fokus pada program bayi tabung (<em>in vitro fertilization</em>/IVF). Tapi Film Bluey menyoroti aspek penting lain dari infertilitas: dampak emosional dan sosial dari tidak memiliki anak terus berlanjut walaupun sudah melewati masa produktif untuk bisa berupaya hamil.</p>
<h2>‘Permintaan maaf dan kegagalan’</h2>
<p>Sebagai bagian dari <a href="https://scholars.latrobe.edu.au/shealy">penelitian saya</a> tentang pengalaman infertilitas, saya mewawancarai perempuan generasi tua yang hidup tanpa anak karena terpaksa. Bagi para perempuan ini, yang sekarang berusia 60-an dan 70-an, pengalaman mereka tentang infertilitas – yang kerap tidak terlihat dalam diskusi publik – telah berdampak panjang pada kesehatan mental dan rasa inklusi mereka.</p>
<p>Beberapa dari mereka berbagi cerita ketika mengalami keguguran berkali-kali; beberapa dari mereka tidak pernah menemukan penyebab pasti ketidaksuburannya; beberapa akhirnya bisa punya anak, sementara yang lain tidak.</p>
<p>Bagi perempuan yang tidak dapat memiliki anak, mereka merasakan dampak ketidaksuburan pada identitas dan hubungan sosial dalam waktu yang lama, bergema sepanjang hidup mereka selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun bahkan setelah mereka berusaha memiliki bayi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1537571146421645312"}"></div></p>
<p>Heather* dan suaminya kini berusia 60-an. Pada usia 36 tahun, setelah mencoba hamil selama tiga tahun, Heather mengalami keguguran di usia delapan minggu kehamilannya. Mereka kemudian menjalani delapan siklus IVF, tanpa hasil, dan akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengobatan.</p>
<p>Keguguran itu, yang terjadi setelah dia melihat detak jantung bayinya dan mengalami mual hebat di pagi hari, membuatnya sangat trauma. Baginya, kehamilannya tetap terasa istimewa dan berarti.</p>
<p>Hampir 30 tahun kemudian, ada situasi yang masih dia hindari karena dapat memicu emosi dirinya. Sejak pensiun, dia menjadi aktif di University of the Third Age (gerakan internasional untuk pendidikan dan stimulasi bagi orang lanjut usia) namun menghindari beberapa kelas karena terus-menerus ada percakapan tentang cucu:</p>
<blockquote>
<p>Mereka bertanya kepada saya tentang anak dan cucu, dan saya harus memberi tahu mereka “tidak, kami tidak punya”. Dan itu hampir terasa seperti meminta maaf […] permintaan maaf dan kegagalan.</p>
</blockquote>
<p>Bagi Mary*, yang berusia 70-an pada saat kami wawancarai, menjadi tua berarti menghidupkan kembali trauma ketika menghadiri pesta ulang tahun anak-anak teman-temannya.</p>
<p>Dia ingat ketika berusia 30-an, ia harus meninggalkan pesta itu karena terasa “terlalu berat” baginya, dan perasaan itu muncul kembali ketika teman-temannya sudah menjadi kakek-nenek. Dia merenungkan, “saya kehilangan teman-teman saya lagi.”</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1537773258119909377"}"></div></p>
<p>Renee*, usia 59 pada saat wawancara, mengatakan bahwa kini tidak ada lagi orang yang bertanya apakah dia punya anak. “Sekarang, yang ditanyakan adalah cucu,” katanya.</p>
<p>Dampak berkelanjutan dari tidak memiliki anak juga dirasakan di dalam keluarga.</p>
<p>Greta*, 54 tahun, tidak punya anak, sementara saudara perempuannya punya. Ibunya telah pindah ke negara bagian lain untuk tinggal bersama putri dan cucunya itu di bulan-bulan terakhirnya.</p>
<blockquote>
<p>Saya sangat senang, sekarang, karena ibu saya punya waktu untuk bersama mereka, walaupun pada saat itu rasanya cukup memilukan.</p>
</blockquote>
<p>Dia merenungkan berapa banyak orang yang tidak punya anak jadi kehilangan hubungan dengan keluarga mereka secara dari generasi ke generasi. “Itu dampak jangka panjangnya. Kalau saya sudah tua, siapa yang akan mempedulikan saya?”, katanya.</p>
<h2>Hidup yang berwarna dan lengkap</h2>
<p>Terlepas dari kesedihan berkelanjutan mereka, para perempuan yang saya ajak bicara menekankan bahwa hidup mereka tetap berwarna dan terasa lengkap meskipun tidak memiliki anak. Ini termasuk memiliki karier internasional yang sukses, sekolah lebih tinggi dan perubahan karier, menjalankan bisnis sendiri, menjadi orang tua tiri dan kakek-nenek tiri.</p>
<p>Tetapi orang-orang yang tidak memiliki anak bukan karena pilihan bisa terus hidup dengan kenyataan ini lama setelah bertahun-tahun mencoba untuk hamil.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1537641376929746957"}"></div></p>
<p>Kita semua perlu mendengar cerita yang mencerminkan pengalaman hidup kita sendiri, untuk merasa dilihat, untuk merasa memiliki. Membawa pendekatan yang lebih inklusif dan perspektif yang lebih panjang ke diskusi-diskusi publik tentang infertilitas akan membantu menghilangkan rasa terisolasi yang sering dirasakan oleh perempuan yang tidak memiliki anak bukan karena pilihan.</p>
<p>Mungkin kelihatannya ironis dan pahit, bahwa perlu film animasi anak-anak untuk bisa menyadarkan kita akan hal ini.</p>
<p><em>*Nama-nama yang disebutkan merupakan nama samaran.</em></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/half-of-women-over-35-who-want-a-child-dont-end-up-having-one-or-have-fewer-than-they-planned-173151">Half of women over 35 who want a child don't end up having one, or have fewer than they planned</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/200245/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sianan Healy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dampak emosional dan sosial dari tidak memiliki anak terus berlanjut walaupun sudah melewati masa produktif untuk bisa berupaya hamilSianan Healy, Tracey Banivanua Mar Research Fellow, La Trobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1972592023-01-19T08:48:12Z2023-01-19T08:48:12ZSejak Orde Baru, majalah anak pengaruhi tumbuh kembang sosial anak – termasuk pandangan mereka akan negara dan gender<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505299/original/file-20230119-14-w8ubr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/bored-girl-reading-house-garden_2525633.htm#from_view=detail_alsolike">(Freepik/Jcomp)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa majalah anak di Indonesia pelan-pelan berhenti beredar. Setelah <a href="https://kutubukukartun.com/seperti-terbunuh-nya-media-cetak-anak-majalah-bobo-junior-dan-mombi-berhenti-terbit/">majalah <em>Kiddo</em></a> mandek cetak pada Desember 2016, kini giliran Kompas Gramedia yang menyetop penerbitan majalah <em>Bobo Junior</em> beserta majalah <em>Mombi</em> dan <em>Mombi SD</em> per Januari 2023.</p>
<p>Di samping nostalgia yang beberapa dari kita miliki terkait majalah-majalah tersebut, majalah anak memang merupakan salah satu media yang turut andil membangun kesadaran anak atas realitas di sekitarnya.</p>
<p>Menurut peneliti komunikasi Stewart Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku mereka <a href="https://onesearch.id/Record/IOS2893.JABAR000000000006995">“<em>Human Connection</em>”</a>, anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan. </p>
<p>Mengingat mereka ada pada fase produktif dalam pembentukan segala hal, psikolog kenamaan <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/Transmission-of-aggression-through-imitation-of-Bandura-Ross/bfbf8dcd615e36d9d0797208acc437c12a08f0e7">Albert Bandura</a> mengatakan anak adalah “peniru ulung”. Imajinasi anak tentang apa yang ideal tentang dunia, sangat mungkin terbangun lewat konsumsi mereka atas buku dan majalah.</p>
<p>Jadi, seperti apa bacaan yang sudah dikonsumsi anak-anak Indonesia selama beberapa dekade ke belakang?</p>
<p>Dengan merujuk pada berbagai pandangan akademisi dan riset terkini, termasuk <a href="https://ejournal.umm.ac.id/index.php/progresiva/article/view/18712">penelitian saya sendiri</a>, saya ingin menjelaskan seperti apa muatan majalah anak yang telah beredar di Indonesia sejak era Orde Baru hingga kini.</p>
<h2>Majalah anak pada Orde Baru: propaganda pembangunan hingga pembentuk peran gender</h2>
<p>Sejarah mencatat, majalah anak di Indonesia pertama kali hadir pada 1949, yakni majalah <a href="https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/20/majalah-anak-anak-masa-lalu-yang-selalu-dirindu"><em>Kunang-Kunang</em></a> terbitan Balai Pustaka.</p>
<p>Namun, popularitas majalah anak mungkin baru terlihat ketika <a href="https://www.validnews.id/opini/Menoleh-Jejak-Majalah-Anak-TTU"><em>Si Kuntjung</em></a> muncul pada 1956. Majalah tersebut terbit sebulan sekali dan berisi 16 halaman yang mencakup cerita-cerita pendek ramah anak. Pada eranya, kehadiran majalah ini sangat dinantikan anak-anak.</p>
<p>Yang menarik adalah <em>Si Kuntjung</em> merupakan majalah pertama, dan mungkin satu-satunya, yang <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ihis/article/view/3724">menjalin relasi yang sangat dekat</a> dengan pemerintah di masa Orde Baru.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1021357839799865344"}"></div></p>
<p>Pada kisaran 1976, pemerintahan Soeharto mendaulat majalah ini secara resmi sebagai majalah anak nasional. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah juga turut membantu penerbitan <em>Si Kuntjung</em> dari segi pemasaran dan pembiayaan.</p>
<p>Tonggak bersejarah selanjutnya adalah ketika pada tahun 1973, Kompas Gramedia menerbitkan majalah anak serupa bernama <a href="https://www.superkidsindonesia.com/super-smart/superenrichment/mengintip-masa-lalu-sejarah-majalah-anak-di-indonesia/"><em>Bobo</em></a> yang <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">populer hingga saat ini</a>. <em>Bobo</em> adalah majalah anak pertama yang berwarna dan menampilkan banyak komik di dalamnya. Senada dengan <em>Si Kuntjung</em>, majalah <em>Bobo</em> dianggap berkontribusi membentuk karakter anak pada era Orde Baru.</p>
<p><a href="https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/historiografi/article/view/32860">Kajian tahun 2021</a> dari Universitas Diponegoro, misalnya, memetakan bagaimana majalah <em>Bobo</em> memuat 18 nilai pembentuk karakter yang selaras dengan cita-cita pendidikan era tersebut. Nilai-nilai ini seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, dan seterusnya. </p>
<p>Namun, majalah ini masih tampak <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">memposisikan anak sebagai “komoditas”</a>. Produksi majalah <em>Bobo</em>, beserta berbagai teks dan penggambaran karakter di dalamnya, lekat dengan selara pasar, paham pembangunan, dan kepentingan elit. <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">Kontennya banyak menampilkan</a> sosok selebritas anak papan atas, representasi kecantikan dengan postur tubuh proporsional dan kulit putih, dan penyajian wahana bermain yang eksklusif, bergengsi, dan mahal.</p>
<p>Selain majalah, buku-buku pelajaran di Indonesia juga dijamin jadi “<em>best-seller</em>”. Dalam proses distribusi, pemerintah Orde Baru mendorong besar-besaran agar bacaan-bacaan tersebut menjadi bacaan wajib di sekolah. Hal tersebut menegaskan bahwa bacaan anak di masa Orde Baru dikontrol ketat oleh negara, dan akibatnya pun menjadi laku di pasaran.</p>
<p>Tapi mengapa negara melakukan ini?</p>
<p>Menurut filsuf Prancis ternama, Louis Althusser, negara memang memiliki apa yang ia sebut sebagai “aparatus ideologis” (<a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt9qgh9v"><em>ideological state apparatus</em></a>). Negara, dengan berbagai instrumen, melakukan penanaman ideologi secara masif yang sekaligus juga berfungsi sebagai alat represi secara halus dan tak sadar. Berlandaskan konsep ini, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/1722127.Pahlawan_pahlawan_Belia">penulis Saya Shiraishi dalam bukunya</a> juga menegaskan bahwa bacaan anak Indonesia merupakan sarana ideologis yang ampuh karena anak tidak terlalu mengontrol apa yang ia baca.</p>
<p>Tak hanya sebagai propaganda pembangunan, bacaan anak sejak Orde Baru telah menjadi <a href="https://www.goodreads.com/book/show/49193009-kitab-cerita">menjadi arena politisasi</a> terkait peran gender.</p>
<p>Peneliti gender di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), <a href="https://komunitasbambu.id/product/ibuisme-negara-state-ibuism-konstruksi-sosial-keperempuanan-orde-baru/">Julia Suryakusuma</a> berargumen bahwa pemerintah Orde Baru mengusung ideologi “Bapak-Ibuisme”. Sosok “bapak” berperan memimpin kekuasaan formal (misal di pemerintahan atau ekonomi), sementara “ibu” berperan memimpin kekuasaan informal (seperti di ranah domestik). Dengan ideologi ini, perempuan didefinisikan sesuai relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya.</p>
<p>Cara pandang negara yang bias gender ini pun mempunyai implikasi pada kebanyakan bacaan anak. </p>
<p>Misalnya, banyak cerita anak bergenre kisah rakyat (<em>folklore</em>) yang populer pada Orde Baru seperti <em>Sangkuriang</em>, <em>Bawang Merah Bawang Putih</em>, hingga <em>Malin Kundang</em> memiliki tendensi untuk <a href="https://www.jcreview.com/admin/Uploads/Files/61c9ca6341f665.95168726.pdf">menanamkan karakter yang tidak adil gender</a>. Gambaran dominan tentang perempuan adalah berdasar standar kecantikannya, serta selalu ditempatkan di ranah domestik. Ilustrasi tentang perempuan yang terdiskriminasi dalam wilayah privat dan cenderung gemar berkonflik untuk merebutkan laki-laki juga masih sangat kuat dalam cerita-cerita tersebut. </p>
<h2>Evolusi bacaan anak selepas reformasi</h2>
<p>Meski butuh waktu beberapa tahun terlebih dahulu, menurunnya kontrol ketat negara pasca-Orde Baru membuka keran bagi karya-karya baru yang progresif. Banyak penulis mulai mengekpresikan karyanya secara terbuka dan visioner.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mata di Tanah Melus (2018)</span>
<span class="attribution"><span class="source">Okky Madasari/Kompas Gramedia Utama</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa contohnya adalah bacaan anak karya pengarang Okky Madasari yang berjudul <a href="https://theconversation.com/mata-di-tanah-melus-gabungan-antara-yang-realis-and-utopis-untuk-sastra-anak-yang-progresif-105818"><em>Mata di Tanah Melus</em></a>. Buku ini mengisahkan perjalanan seorang remaja perempuan yang menjumpai Suku Melus yang menutup diri ketika sedang diajak ibunya berlibur ke satu perbatasan Timor Leste. Tak seperti kebanyakan bacaan anak sebelumnya, Okky memposisikan perempuan secara otonom, tidak tersubordinasi dan tak terpinggirkan.</p>
<p>Selain itu, ada juga bacaan anak menarik berjudul <a href="https://www.goodreads.com/id/book/show/39288962-na-willa-dan-rumah-dalam-gang"><em>Na Willa</em> karya Reda Gaudiamo</a>. Willa sosok anak perempuan yang lincah, kuat dan jenaka – sebuah cerita yang yang menempatkan anak perempuan secara berbeda. Cerita anak ini pun unik menawarkan penggambaran sekaligus kritik yang unik atas pola asuh keluarga, harmoni beragama, sampai masalah rasisme. </p>
<p>Namun demikian, kemajuan ini masih cenderung lambat. Kita masih melihat ada banyak bacaan anak dengan penggambaran gender yang masih tertinggal meski telah lama memasuki era Reformasi.</p>
<p><a href="https://ejournal.umm.ac.id/index.php/progresiva/article/view/18712">Penelitian</a> tentang bacaan anak bertemakan agama Islam selepas Orde Baru yang saya lakukan pada 2021, menemukan bahwa tradisi pelanggengan narasi patriarki dalam bacaan anak masih cenderung kuat, dengan penggambaran posisi laki-laki yang dominan ketimbang perempuan.</p>
<p>Ini menegaskan bahwa bacaan anak selama ini lagi-lagi masih sekadar menjadi komoditas. Apa yang menarik di mata pasar akan disajikan kepada anak tanpa ada kesadaran kritis atas nilai-nilai adil gender. </p>
<p>Seiring mulai banyak majalah cetak yang berhenti beredar untuk anak, bacaan-bacaan anak bertransformasi <a href="https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/pengenalan-literasi-digital-sejak-usia-dini-dapat-bentuk-generasi-emas-anak-indonesia/">menjadi digital</a>. Kini bacaan-bacaan anak mulai banyak disajikan dalam bentuk audiovisual dengan akses digital yang mudah, sehingga mengubah pola konsumsi anak atas bacaan sering semakin dekatnya mereka dengan gawai.</p>
<p>Beberapa pihak bisa jadi memperdebatkan potensi dampak negatif ketika anak lebih intens mengakses bacaan dan konten di internet.</p>
<p>Tapi ini tak boleh membuat kita lengah mempertanyakan hal yang juga penting: apakah bacaan dan konten yang dikonsumsi anak sudah mengusung nilai adil gender dan nilai-nilai progresif lain?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197259/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Radius Setiyawan menerima dana dari LPDP.</span></em></p>Anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan. Bagaimana muatan majalah anak sejak era Orde Baru?Radius Setiyawan, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial FISIP, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1879762022-09-21T06:36:57Z2022-09-21T06:36:57ZData pribadi anak rawan disalahgunakan platform teknologi pendidikan, apakah UU PDP yang baru mampu melindunginya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/485813/original/file-20220921-12-xdg55v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Freepik/rawpixel.com)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Lebih dari dua tahun pandemi dan juga berkembangnya <em>online learning</em> di Indonesia membuat anak-anak dan pelajar berbondong-bondong memakai berbagai platform teknologi pendidikan (<em>education technology</em> atau <em>edtech</em>).</p>
<p>Hal ini membawa para siswa kepada berbagai peluang pembelajaran — sekaligus ancaman terhadap data pribadi.</p>
<p>Laporan pada Mei 2022 dari Narasi dan Human Rights Watch (HRW) bersama 14 media dari 23 negara yang berjudul “<a href="https://narasi.tv/buka-mata/ada-penyusup-di-balik-aplikasi-pendidikan-tambang-dan-jual-data-pengguna-anak?utm_source=yt&utm_medium=description-narasinewsroom&utm_campaign=bukamata-full&utm_content=ada-penyusup-di-balik-aplikasi-pendidikan-tambang-dan-jual-data-pengguna-anak"><em>Data Anak Dijual oleh Aplikasi Pendidikan</em></a>” membuktikan bagaimana banyak platform <em>edtech</em> di seluruh dunia mengambil data anak secara diam-diam dan menjualnya ke perusahaan iklan. </p>
<p>Anak merupakan pihak yang <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-batasan-usia-cakap-hukum-dalam-peraturan-perundang-undangan-lt4eec5db1d36b7">belum cakap secara hukum</a> dan belum memahami konsekuensi dari pemrosesan data pribadi. Hal ini menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan dieksploitasi oleh berbagai platform tersebut.</p>
<p>Pengesahan <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/sah-dpr-setujui-ruu-perlindungan-data-pribadi-menjadi-uu">Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)</a> baru-baru ini tentu menjadi <a href="https://www.tempo.co/dw/7780/sah-indonesia-miliki-uu-perlindungan-data-pribadi">angin segar</a> bagi pencegahan risiko-risiko tersebut. Dalam UU PDP, data anak masuk dalam kategori data pribadi yang bersifat spesifik, dan memerlukan ‘pemrosesan secara khusus’ oleh pemerintah maupun perusahaan.</p>
<p>Tapi, apakah ini cukup untuk melindungi anak dari pelanggaran privasi?</p>
<p>Melalui tulisan ini, saya ingin memberikan gambaran seperti apa risiko yang mengancam data anak di dunia digital, khususnya dalam layanan pendidikan daring – dan mengapa regulasi yang ada saat ini belum cukup untuk mengatasinya.</p>
<h2>Data anak rentan dieksploitasi platform daring</h2>
<p>Dalam laporan mereka, Narasi dan Human Rights Watch bersama 14 media internasional menginvestigasi <a href="https://narasi.tv/buka-mata/ada-penyusup-di-balik-aplikasi-pendidikan-tambang-dan-jual-data-pengguna-anak?utm_source=yt&utm_medium=description-narasinewsroom&utm_campaign=bukamata-full&utm_content=ada-penyusup-di-balik-aplikasi-pendidikan-tambang-dan-jual-data-pengguna-anak">165 platform pendidikan daring di 49 negara</a>. Hampir 90% di antaranya terlibat praktik penyalahgunaan data anak. </p>
<p>Semua perusahaan yang mereka wawancarai secara implisit maupun eksplisit menyatakan melakukan <em>data mining</em> (pengolahan dan pengamatan pola) atas data anak, bahkan ada yang secara gamblang menyatakan menjualnya kepada pihak ketiga.</p>
<p>Semuanya merupakan platform <em>edtech</em> dari perusahaan rekomendasi pemerintah – di Indonesia misalnya Ruang Guru, Kelas Pintar, dan Zenius. Ini juga termasuk aplikasi yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) seperti Rumah Belajar.</p>
<p>Namun, yang menarik, laporan tersebut juga menemukan bahwa dari seluruh aplikasi pendidikan milik pemerintah di berbagai negara yang diteliti, hanya platform di Indonesia yang secara jujur mengaku menjual data anak ke perusahaan iklan.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/l5AtwMKGc2o?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Ancaman privasi ini pun diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui <a href="https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G21/053/43/PDF/G2105343.pdf?OpenElement">Komentar Umum No. 25 (2021) dari Konvensi Hak-Hak Anak</a> khususnya mengenai hak anak di lingkungan digital.</p>
<p>Berdasarkan dokumen ini, ancaman privasi anak bisa muncul dari pengumpulan data oleh institusi publik, bisnis, dan organisasi lainnya. Beberapa praktik digital – misalnya seperti penyusunan profil pengguna, penargetan perilaku, hingga pengawasan massal – menjadi praktik rutin di antara berbagai institusi ini, termasuk di sektor <em>edtech</em>.</p>
<p>Apalagi, sebagai kelompok yang belum memiliki kecapakan hukum, anak (dan data mereka) semakin berpotensi terjerat praktik tersebut, serta lebih rawan terkena dampak buruk jika data mereka bocor.</p>
<p>Apakah UU PDP yang baru akan mampu mengatasi ancaman ini?</p>
<h2>UU PDP masih minimalis</h2>
<p>Hak atas privasi, termasuk di ranah digital, merupakan salah satu hak anak yang dijamin dalam <a href="https://www.unicef.org/child-rights-convention/convention-text#">Konvensi Hak-Hak Anak</a> PBB. Sebagai salah satu negara yang meratifikasi konvensi itu, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak tersebut, serta wajib memiliki landasan hukum yang kuat untuk mendukungnya. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/09/20/11042711/tok-dpr-sahkan-ruu-pdp-jadi-undang-undang">Hadirnya UU PDP</a> adalah langkah awal yang baik.</p>
<p>Kendati demikian, pengaturan mengenai data pribadi anak dalam UU PDP masih tergolong minimalis. </p>
<p>Dalam UU PDP, seluruh data pribadi anak masuk sebagai kategori data yang bersifat ‘spesifik’. Ini berarti data yang sensitif dan punya risiko tinggi terhadap subyek (pemilik) data pribadi –- setara dengan data finansial, data medis, atau catatan kejahatan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/panel-ahli-uu-perlindungan-data-pribadi-rentan-makan-korban-dan-belum-jamin-proteksi-data-yang-kuat-191018">Panel ahli: UU Perlindungan Data Pribadi rentan makan korban dan belum jamin proteksi data yang kuat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Oleh karena itu, UU PDP pun mengatur bahwa platform yang memegang data anak harus ‘menyelenggarakannya secara khusus’ dan wajib mendapat persetujuan orang tua dan/atau wali. Sayangnya, selain terkait persetujuan orang tua, UU PDP belum secara tegas mengatur ‘penyelenggaraan khusus’ ini harus seperti apa.</p>
<p>Ini membuat para penyelenggara dan platform kurang memiliki standar perlindungan hukum yang jelas dalam memproses data anak.</p>
<p>UU PDP pun belum mengatur standar usia yang masuk kategori data anak.</p>
<p>Padahal, standar ‘usia anak’ bervariasi dalam hukum Indonesia – dari <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38723/uu-no-35-tahun-2014">UU Perlindungan Anak</a> hingga <a href="http://www.dilmil-jakarta.go.id/wp-content/uploads/2018/09/Kitab-Undang-Undang-Hukum-Perdata.pdf">Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata</a>. Perbedaan ini dapat menimbulkan interpretasi ganda mengenai batas usia anak yang berpotensi besar disalahgunakan platform.</p>
<p>Ketentuan perlindungan data anak yang minimalis ini menjadi dilematis, terutama di sektor pendidikan. </p>
<p>Dunia digital yang menawarkan peluang bagi anak-anak untuk belajar dan bersosialisasi, saat ini justru <a href="https://brill.com/view/journals/chil/28/4/article-p833_833.xml?language=en">makin mengalami komersialisasi</a>. Platform pendidikan pun telah terbukti menjual data anak untuk mengembangkan bisnisnya – ini tercermin dengan jelas dalam laporan Narasi dan Human Rights Watch.</p>
<p>Dengan memperhatikan perkembangan teknologi pendidikan yang ada saat ini, bisa saja ke depannya seorang anak, yang berdasarkan hukum diharuskan menerima pendidikan, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0267364922000127">mau tidak mau harus pasrah</a> menerima praktik data yang invasif dari platform teknologi pendidikan, yang saat ini ironisnya dianggap lumrah.</p>
<h2>Peran pemerintah, platform, dan orang tua</h2>
<p>Melihat berbagai ancaman pelanggaran privasi ini, kita perlu langkah bersama untuk melindungi privasi anak di dunia digital, utamanya di sektor pendidikan.</p>
<p>Bagi pemerintah (dan DPR), pengesahan UU PDP adalah langkah yang patut diapresiasi karena akhirnya Indonesia memiliki landasan hukum yang lebih kuat dalam melindungi data masyarakat – meski ketentuan pelindungan data anak masih minimal.</p>
<p>Namun demikian, mengamini salah satu poin dalam <a href="https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G21/053/43/PDF/G2105343.pdf?OpenElement">Komentar Umum No. 25 (2021) dari Konvensi Hak-Hak Anak</a>, UU PDP dan aturan turunannya nantinya perlu memberikan perlindungan yang lebih kuat dan transparan, disertai pengawasan yang independen, serta menjamin akses upaya pemulihan (hukum).</p>
<p>Lebih lanjut, pemerintah juga harus menjamin bahwa bisnis dan perusahaan <em>edtech</em> yang memproses data anak tidak menargetkan mereka secara khusus menggunakan berbagai mekanisme yang memprioritaskan kepentingan komersial dibandingkan kepentingan anak.</p>
<p>Bagi platform <em>edtech</em>, pelaksanaan bisnis yang melibatkan data anak harus menerapkan standar keamanan siber dan privasi yang tinggi, termasuk konsep <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mewujudkan-uu-perlindungan-data-pribadi-yang-kuat-di-indonesia-132498">‘<em>privacy-by-design</em>’ dan ‘<em>safety-by-design</em>’</a> (sejak awal mempertimbangkan privasi dan keamanan data) dalam segala layanan mereka. Ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap UU PDP dan standar perlindungan data internasional lain, sekaligus meminimalisir pelanggaran privasi anak.</p>
<p>Pemerintah pun perlu terus menggalakkan program literasi digital bagi orang tua dan anak tentang ancaman privasi ini.</p>
<p>Ini penting agar orang tua juga bisa memberi pengertian dan pemahaman mengenai privasi ketika anak memanfaatkan platform <em>edtech</em>. Orang tua juga bisa mendorong sekolah untuk tidak menggunakan platform <em>edtech</em> yang terindikasi tidak menghormati dan melindungi privasi anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187976/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Faiz Rahman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak platform pendidikan daring terbukti terlibat praktik penyalahgunaan data anak. Seperti apa risikonya, dan apakah UU PDP yang baru disahkan sudah cukup untuk mengatasinya?Faiz Rahman, Lecturer at Constitutional Law Department Faculty of Law UGM, Adjunct Researcher at Center for Digital Society UGM, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1877832022-07-27T11:25:35Z2022-07-27T11:25:35ZYang harus dilakukan jika anak Anda justru adalah pelaku bullying, bukan korban<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/476290/original/file-20220727-19-boaswc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Pexels/Mikhail Nilov)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Perundungan atau <em>bullying</em> adalah masalah serius. Tapi, yang jarang menjadi topik dalam bahasan atau riset adalah pengalaman orang tua yang anaknya menjadi pelaku <em>bullying</em> dan telah membuat anak lain menderita.</p>
<p>Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan orang tua?</p>
<h2><em>Bullying</em> di sekolah</h2>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir, di Australia – tempat para penulis mengajar – muncul berbagai kebijakan untuk merespons kereasahan masyarakat terkait peran penting sekolah dalam mencegah dan menangani insiden <em>bullying</em>.</p>
<p>Berbagai departemen pendidikan, seperti di <a href="http://www.decd.sa.gov.au/mediacentre/pages/decdupdate/49014/">Australia Selatan</a> dan <a href="https://www.det.nsw.edu.au/policies/student_serv/discipline/bullying/PD20100415.shtml">New South Wales</a>, mewajibkan sekolah untuk memiliki kebijakan anti-perundungan. Sekolah wajib menjabarkan mekanisme untuk menangani <em>bullying</em>, dan juga program yang membantu para anak yang menjadi korban.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kebijakan anti-perundungan kerap memberi arahan bagi mereka yang menjadi korban, tapi tidak untuk yang menjadi pelaku.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meski demikian, fokus utamanya seringkali pada murid yang menjadi korban <em>bullying</em>, bukan pelakunya. Tentu ini bisa dipahami. Bahkan <a href="http://www.bullyingnoway.gov.au/index.html">program anti-perundungan nasional di Australia</a> tidak memberikan informasi spesifik bagi sekolah terkait bagaimana cara bekerja sama dengan orang tua dari anak yang menjadi pelaku. Padahal, ada <a href="http://www.schoolatoz.nsw.edu.au/wellbeing/behaviour/bullying-advice-for-parents1/what-if-my-child-is-bullying">riset</a> yang mengatakan bahwa ini juga merupakan hal penting.</p>
<p>Studi tersebut juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah dan orang tua untuk mencapai solusi yang sebaik mungkin untuk anak yang menjadi pelaku <em>bullying</em>.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan sekolah?</h2>
<p>Tidak ada orang tua yang ingin mendengar kabar bahwa anak mereka merundung anak lain di sekolah, sehingga perlu pendekatan tertentu. Penting bagi sekolah dan orang tua untuk bersama-sama membicarakan isu apa saja, entah di rumah atau sekolah, yang bisa mendorong mereka melakukan <em>bullying</em>.</p>
<p>Sekolah, bersama orang tua dan murid (jika memungkinkan) harus mengembangkan rencana dan strategi yang jelas untuk menangani perilaku <em>bullying</em>. Strategi tersebut harus menyentuh akar masalah yang dialami oleh murid yang menjadi pelaku. Rencana itu juga harus merincikan berbagai ekspektasi yang diharapkan dari murid tersebut, serta konsekuensi dari segala pilihan – baik yang negatif maupun positif – yang diambil sang anak.</p>
<p>Strategi tersebut juga harus mengandung langkah-langkah yang mendukung sang murid untuk memahami tindakan dan perilaku mereka. Ini bisa termasuk memberikan dukungan tambahan seperti akses ke layanan konseling sekolah.</p>
<p>Terakhir, sekolah perlu menyadari bahwa bisa jadi ada beberapa keluarga yang enggan menghubungi sekolah jika anaknya menjadi pelaku. Para orang tua bisa jadi khawatir bahwa mereka akan dihakimi secara tidak adil atau keras oleh staf pengajar sekolah.</p>
<p>Oleh karena itu, sekolah harus memastikan bahwa dialog seperti ini terjadi di lingkungan yang nyaman dan bisa membuat orang tua (dan anak mereka jika hadir) berbicara dengan terbuka.</p>
<h2>Hubungan anak dan orang tua dalam dinamika <em>bullying</em></h2>
<p>Mencari solusi yang tepat jika anak Anda menjadi pelaku <em>bullying</em> nampaknya lebih sulit ketimbang jika anak Anda menjadi korban.</p>
<p>Reaksi para orang tua bisa jadi sejalan dengan kerangka psikologi <a href="http://psychcentral.com/lib/the-5-stages-of-loss-and-grief/000617">‘Lima Tahap Kesedihan’ (<em>Five Stages of Grief</em>)</a>, utamanya fase penolakan (<em>denial</em>) dan amarah (<em>anger</em>). </p>
<p>Contoh reaksi orang tua pasca mendengar kabar dari kepala sekolah bisa jadi semacam ini:</p>
<blockquote>
<p>Masa’ sih, Pak/Bu? Saya bisa menjamin bahwa anak saya tidak pernah bersikap seperti itu. Saya sangat tersinggung atas tuduhan ini. Saya akan segera mencabut anak saya dari sekolah Anda!</p>
</blockquote>
<p>Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua atau wali mudi, yang biasanya paling dekat dengan anak mereka, justru bisa jadi pihak terakhir yang mengetahui atau menerima kabar seperti ini. Suatu <a href="http://link.springer.com/article/10.1007/s00127-008-0395-0">studi di Finlandia</a> pada tahun 2009 menggambarkannya pada tabel di bawah:</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=110&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=110&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=110&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=138&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=138&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=138&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anaklah yang paling sering melaporkan insiden <em>bullying</em> (6,6% dan 2,0%), disusul laporan dari guru (2,3% dan 6,6%), baru orang tua murid (1,8% dan 1,0%). (Australian Institute of Family Studies)</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Saran buat orang tua</h2>
<p><a href="https://www.psychology.org.au/publications/tip_sheets/bullying/">Australian Psychological Society</a> menyarankan bahwa orang tua sebaiknya menanyakan anak mereka bagimana perasaan mereka jika berada dalam posisi sebagai korban <em>bullying</em>, lalu memberikan pujian jika mereka berperilaku baik dan penuh hormat terhadap rekan-rekan mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Banyak orang tua kesulitan menerima bahwa anak mereka merundung anak lain.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Masalah <em>bullying</em> bisa diatasi dengan cara mengganti perilaku negatif dengan stimulus perilaku positif (<em>positive reinforcement</em>). Secara umum, perubahan perilaku secara perlahan bisa terjadi ketika ada pemahaman bahwa sang anak telah berperilaku buruk, dan dialog terbuka semacam itu bisa membantu mereka. </p>
<p>Tentu, layaknya berbagai isu psikologis, disfungsi keluarga yang serius – seperti jika anak terdampak dari pendisiplinan yang keras di rumah – akan mengganggu kemampuan anak untuk memahami efek buruk <em>bullying</em> terhadap orang lain. Pengembangan empati adalah kunci bagi anak untuk memahami dampak buruk dari <em>bullying</em>.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Kebanyakan orang tua akan mengalami campuran rasa kaget, malu, dan ketidakpercayaan tentang kemungkinan bahwa anak mereka adalah pelaku <em>bullying</em>. </p>
<p>Naman, perasaan untuk membela anak Anda dari tuduhan semacam itu tidak berarti bahwa Anda sebagai orang tua bisa serta merta mengabaikan munculnya masalah tersebut. Sebaliknya, Anda juga sebaiknya tidak langsung berasumsi bahwa seluruh komplain tersebut objektif, atau membuat Anda dan sekolah terburu-buru <a href="http://raisingchildren.net.au/articles/bullying_-_your_child_bullying.html">memberikan sanksi</a>. </p>
<p>Anda sebaiknya tetap tenang dan mendiskusikan hal ini secara privat dengan anak. Bahaslah insiden yang terjadi dan gunakan sumber daya dan dukungan sekolah, seperti layanan konseling dan program pengembangan keterampilan sosial murid.</p>
<p>Sekolah juga berperan penting memfasilitasi intervensi yang tepat, sesuai <a href="https://aifs.gov.au/cfca/publications/working-families-whose-child-bullying/supporting-children-who-bully-and-their-families">tingkat keparahan kejadian <em>bullying</em></a> – dari konferensi orang tua yang terstruktur, rujukan ke spesialis konseling, hingga pelibatan aparat penegak hukum jika ada urgensi tertentu terkait keselamatan anak.</p>
<p>Tidak cukup untuk melemparkan semua tanggung jawab kepada orang tua saja. Kejadian yang muncul di lingkungan sekolah juga menuntut partisipasi dari institusi pendidikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187783/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perundungan adalah masalah serius. Tapi, yang jarang menjadi topik dalam bahasan atau riset adalah pengalaman orang tua yang anaknya menjadi pelaku bullying dan telah membuat anak lain menderita.Christopher Boyle, Professor of Inclusion and Educational Psychology, University of AdelaideDr Joanna Anderson, Lecturer in Inclusive Education, University of New EnglandNatalie Swayn, Lecturer, Inclusive Education and Psychology, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1877802022-07-27T11:07:23Z2022-07-27T11:07:23ZLima cara membantu anak Anda ketika menjadi korban ‘bullying’ di sekolah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/476289/original/file-20220727-3609-vjg1lf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Perundungan atau <em>bullying</em> adalah salah satu kekhawatiran terbesar orang tua terhadap keamanan dan kesejahteraan anak mereka – dan ini sering membuat banyak dari kita stres dan pusing.</p>
<p>Suatu studi yang pernah dilakukan oleh <a href="https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/182409/DFE-RR001.pdf">National Centre for Social Research (NatCen)</a> di Inggris menemukan bahwa 47% anak-anak melaporkan bahwa mereka mengalami <em>bullying</em> pada usia 14 tahun. Yang sering menjadi korban adalah minoritas dan kelompok yang termarjinalkan.</p>
<p>Namun, studi itu juga menemukan bahwa anak yang menceritakan pengalaman tersebut ke orang tua mereka lebih mungkin untuk ‘keluar’ dari jeratan <em>bullying</em>. Berikut lima cara penting untuk membantu mereka:</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-trauma-perundungan-yang-dialami-anak-saat-kecil-terbawa-hingga-dewasa-studi-kasus-di-aceh-147253">Riset tunjukkan trauma perundungan yang dialami anak saat kecil terbawa hingga dewasa: studi kasus di Aceh</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1) Kenali tanda-tanda <em>bullying</em></h2>
<p><a href="https://www.nspcc.org.uk/preventing-abuse/child-abuse-and-neglect/bullying-and-cyberbullying/signs-symptoms-effects/">Tanda-tanda <em>bullying</em></a> termasuk jika anak menunjukkan perubahan perilaku, menjadi lebih tertutup, tidak ingin berangkat ke sekolah, atau bahkan mengalami berbagai komplikasi penyakit.</p>
<p>Jika anak Anda mengungkapkan bahwa mereka menjadi korban <em>bullying</em>, pertama-tama ucapkan terima kasih pada mereka karena sudah berani menceritakannya. Jelaskan pada mereka bahwa hal ini adalah langkah awal yang penting untuk menyelesaikan masalahnya.</p>
<p>Cobalah sebaik mungkin untuk mendengarkan mereka tanpa merasa kesal atau marah. Tetap tenang dan yakinkan mereka bahwa Anda pasti siap membantu. Secara sensitif, tanyakan baik-baik apa yang telah terjadi, seperti apa <em>bullying</em> yang mereka alami, bagaimana perasaan mereka setelah mengalami ini, sehingga Anda bisa menenangkan dan mulai berempati dengan mereka.</p>
<p>Memang, bisa jadi Anda akan merasakan godaan besar untuk langsung bertindak. Namun cobalah untuk memikirkan solusinya bersama-sama dengan anak Anda Tanyakan pada mereka bagaimana cara terbaik agar Anda bisa membantu.</p>
<p>Pengalaman <em>bullying</em> bisa menjatuhkan rasa percaya diri seorang anak. Jadi, yakinkan mereka akan keunggulan yang mereka miliki. Temani mereka melakukan kegiatan apapun yang bisa meredakan keresahan mereka. Selalu ingatkan mereka bahwa Anda akan selalu ada untuk mereka.</p>
<p>Di berbagai negara, ada juga <a href="https://www.childline.org.uk/#:%7E:text=Contacting%20Childline,we're%20here%20for%20you.">sejumlah layanan</a> dan <a href="http://www.bullying.co.uk/advice-for-parents/">platform</a> yang bisa membantu memberikan saran-saran yang tepat bagi orang tua dari korban <em>bullying</em>.</p>
<h2>2) Pahami dinamika <em>bullying</em></h2>
<p><em>Bullying</em> kerap <a href="http://anti-bullyingalliance.org.uk/">didefinisikan</a> sebagai tindakan yang disengaja dan berulang, yang mengandalkan suatu ketimpangan kuasa. Tapi, bahkan jika hanya terjadi sekali, kejadian <em>bullying</em> tetap harus Anda anggap serius – apalagi jika anak Anda memutuskan untuk menceritakannya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Membicarakan suatu kejadian <em>bullying</em> adalah langkah awal yang baik.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic-362082206/stock-photo-teacher-and-cute-boy-looking-at-each-other-supporting-child.html?src=2EI6dYoLcjC0NRfoxCT3kw-1-0">(Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Berbicaralah pada mereka tentang berbagai bentuk <em>bullying</em>, dan bagaimana wujudnya: bisa saja tak hanya serangan atau ancaman fisik, tapi juga mengejek, mengucilkan, menyebarkan rumor, hingga memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Jelaskan pada anak Anda bahwa ini bisa juga <a href="http://www.bullying.co.uk/cyberbullying/">difasilitasi teknologi dan media sosial</a> (misalnya melalui <em>cyberbullying</em>). Tunjukkan Anda memahami bahwa <em>bullying</em> bisa menyasar berbagai individu dan kelompok dengan intensitas yang berbeda-beda.</p>
<p>Ini bisa membantu mengajarkan anak untuk mengenali dan memahami <em>bullying</em> sekaligus mendemonstrasikan empati pada orang lain.</p>
<p>Kita juga perlu mendorong anak untuk senantiasa melihat di sekitar mereka apakah ada kejadian <em>bullying</em>. Pasalnya, dalam banyak insiden ada saksi mata – misalnya rekan sepermainan mereka – yang enggan melapor karena takut akan jadi korban atau merasa tidak baik untuk “menyebarkan aib”.</p>
<h2>3) Jangan balas dendam</h2>
<p>Dorong mereka untuk tidak <a href="http://theconversation.com/fighting-back-may-stop-some-children-from-being-bullied-44131">balas dendam</a> secara agresif. Keinginan melawan balik adalah hal yang bisa dipahami. Tapi, biasanya hal ini cenderung memperparah keadaan dan bisa menyebabkan anak Anda semakin terluka, diketawai, atau bahkan berujung menjadi pihak yang menerima sanksi.</p>
<p>Kita harus mengutamakan pendekatan yang lebih asertif dalam menangani <em>bullying</em>, ketimbang yang agresif atau bahkan pasif. Ingatkan mereka untuk segera keluar dari situasi <em>bullying</em> sebisa mungkin dan melaporkannya pada orang dewasa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penting untuk tidak memperparah suasana.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/dl2_lim.mhtml?src=I93gpmUT3uz5S1wnVpKu-w-1-12&id=92335573&size=medium_jpg">(Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4) Laporkan</h2>
<p>Jika anak Anda merasa kesulitan menangani <em>bullying</em> bahkan dengan bantuan Anda, segera hubungi pihak sekolah. Namun, pastikan Anda berbicara dengan anak terlebih dahulu. Jelaskan pada mereka bahwa ini adalah langkah yang memang harus diambil.</p>
<p>Anda bisa jadi berkeinginan untuk mengonfrontasi orang tua dari anak yang merundung anak Anda. Namun, hal ini bisa menimbulkan konsekuensi negatif untuk Anda dan anak.</p>
<p>Semua sekolah <a href="https://www.gov.uk/bullying-at-school/the-law">di Inggris</a>, misalnya, wajib secara hukum memiliki kebijakan anti-perundungan yang merincikan bagaimana mekansime pelaporan dan penanganan <em>bullying</em>. Tanyakan pada sekolah bagaimana cara melakukannya.</p>
<p>Dukung dan kawal sekolah selama proses ini berjalan, karena sama-sama punya tujuan untuk menghentikan <em>bullying</em>. Jangan lupa juga untuk melakukan diskusi awal dengan guru anak Anda. Mereka kemungkinan bisa melibatkan kolega-kolega yang lain dalam membantu anak Anda melalui sumber daya sekolah. Bersama-sama, buatlah strategi untuk menangani insiden tersebut, termasuk langkah-langkah selanjutnya.</p>
<p>Setelah anak Anda menceritakan insiden <em>bullying</em>, Anda juga bisa menuliskan dalam buku catatan siapa yang menjadi pelakunya, dan apa yang mereka lakukan atau katakan – serta seberapa sering, kapan, dan di mana kejadian tersebut. Simpan data atau catatan terkait pesan atau SMS, dan juga unggahan atau komentar di media sosial. Tapi tetap beri juga ruang bagi sekolah untuk menyelesaikan masalahnya bersama anak Anda.</p>
<p>Namun, jika Anda merasa sekolah masih belum berusaha dengan maksimal, Anda bisa pertimbangkan untuk melapor kepada kepala sekolah, komite sekolah, pejabat pendidikan setempat, atau, di Inggris ada lembaga <a href="https://www.gov.uk/government/organisations/ofsted">Ofsted</a> yang mengawasi dan mengatur sekolah.</p>
<h2>5) Jangan sampai <em>bullying</em> mengganggu pendidikan anak</h2>
<p>Seburuk apapun situasinya, pastikan anak Anda jangan berhenti bersekolah. Hal ini bisa memperparah situasinya, dan artinya justru anak Anda yang akan melewatkan pendidikan.</p>
<p>Apapun yang Anda lakukan, ingat bahwa respons yang tenang, sistematis, dan gradual adalah langkah yang terbaik untuk menangani <em>bullying</em>.</p>
<p><em>Bullying</em> adalah masalah serius di sekolah dan masyarakat luas. <em>Bullying</em> itu salah, dan kita harus mendukung sekolah untuk mewujudkan lingkungan di mana semua anak merasa aman untuk berkembang dan belajar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187780/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mark Heaton tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perundungan atau bullying adalah salah satu kekhawatiran terbesar orang tua terhadap keamanan dan kesejahteraan anak mereka. Bagaimana cara membantu mereka?Mark Heaton, Principal Lecturer, Sheffield Institute of Education, Sheffield Hallam UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1874502022-07-21T09:12:01Z2022-07-21T09:12:01ZCitayam Fashion Week: bukti pentingnya kota ramah anak, bagaimana mewujudkannya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/475373/original/file-20220721-9733-rf13tn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/Cf1XGc4P_Cu/?utm_source=ig_web_copy_link">(@aep_008/Instagram)</a></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/7Ck7RqvWZc4cwC30FlXi4f?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Hingga kini, fenomena ‘<a href="https://theconversation.com/citayam-fashion-week-mengurai-munculnya-subkultur-fesyen-jalanan-para-remaja-pinggiran-186934">Citayam Fashion Week</a>’ masih merajai perbincangan publik di <a href="https://www.instagram.com/p/CgOnvuxDf93/">jagat media sosial</a>.</p>
<p>Aksi para remaja dari kawasan penyangga ibu kota – termasuk Citayam, Bojonggede, dan Depok – yang membanjiri kawasan Sudirman-Dukuh Atas di Jakarta tak hanya merebut hati masyarakat dengan gaya unik mereka, tapi juga memicu perdebatan penting terkait <a href="https://projectmultatuli.org/citayam-fashion-week-jalan-panjang-anak-muda-mencari-ruang-publik-yang-asik/">pembangunan kota dan ruang publik</a> yang <a href="https://www.instagram.com/tv/Cf86GG6hdY5/?utm_source=ig_web_copy_link">inklusif dan ramah anak</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/citayam-fashion-week-mengurai-munculnya-subkultur-fesyen-jalanan-para-remaja-pinggiran-186934">Citayam Fashion Week: mengurai munculnya subkultur fesyen jalanan para remaja pinggiran</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bahkan, belum lama ini, Wakil Wali Kota Depok menyatakan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2022/07/18/12130391/respons-fenomena-citayam-fashion-week-pemkot-depok-ingin-trotoar-margonda?page=all">keinginannnya memperlebar trotoar di daerah Margonda</a> di kotanya untuk mereplikasi kenyamanan berjalan (<em>walkability</em>) serupa dengan kawasan Sudirman agar para remaja tak harus jauh-jauh main ke Jakarta. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Bandung juga memerintahkan pemerintah kotanya untuk <a href="https://regional.kompas.com/read/2022/07/19/155933178/belajar-dari-citayam-fashion-week-pemkot-bandung-diminta-tambah-ruang">menambah ruang publik</a> yang inklusif untuk semua golongan.</p>
<p>Bagaimana cara mewujudkan kota yang ramah anak, supaya keramaian ala Citayam Fashion Week tak hanya bertempat di kawasan Sudirman-Dukuh Atas, tapi juga seluruh wilayah Indonesia?</p>
<p>Dalam episode terbaru podcast SuarAkademia, kami berbicara dengan Rendy Diningrat, peneliti pembangunan dan ketimpangan sosial di SMERU Research Institute.</p>
<p>Ia menceritakan dampak dari nihilnya ruang publik bagi anak terhadap tumbuh kembang dan kesejahteraan mereka, pentingnya mendayagunakan forum anak yang inklusif dalam pembangunan kota, dan perbandingan akses taman di luar negeri termasuk Australia.</p>
<p>Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng peneliti dan akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187450/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Bagaimana cara mewujudkan kota yang ramah anak, supaya Citayam Fashion Week tak hanya berhenti di sekadar viral di media sosial?Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorMuammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1862032022-07-07T09:20:44Z2022-07-07T09:20:44ZMengapa sekolah perlu memperkenalkan dunia kerja pada anak sedini mungkin?<p>Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan <a href="https://www.unicef-irc.org/research/child-labour/">152 juta anak di dunia</a> terlibat pekerjaan berbahaya dan eksploitatif. Hal ini juga mendorong lahirnya target penghapusan pekerja anak dalam berbagai agenda global, terutama <a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/">Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG</a> (<a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/economic-growth/">poin 8.7</a>).</p>
<p>Meski demikian, berdasarkan hasil <a href="http://smeru.or.id/sites/default/files/publication/eclt_id.pdf">studi kami di SMERU Research Institute</a>, pemerintah sebenarnya telah membedakan konsep ‘pekerja anak’ dan ‘anak yang bekerja’.</p>
<p>Pemerintah menyediakan ruang bagi anak untuk mendalami dunia kerja, tetapi mengharamkan pekerja anak, sebagaimana yang digambarkan ILO di atas. </p>
<p>Anak usia 5–17 tahun boleh berlatih bekerja sepanjang pekerjaannya dalam rangka membantu orang tua, melatih keterampilan baru, atau mendidik anak bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan. Persyaratan lainnya adalah anak harus tetap bersekolah, hanya bekerja pada waktu senggang, dan keselamatan dan kesehatan mereka terjamin.</p>
<p>Saya berpendapat bahwa, dengan memenuhi rambu-rambu di atas secara ketat, sistem pendidikan Indonesia bisa mulai memperkenalkan dunia kerja pada anak sejak dini. Mengapa?</p>
<p>Pada 2021, <a href="https://www.bps.go.id/indicator/28/304/1/angka-partisipasi-murni-a-p-m-.html">data Badan Pusat Statistik (BPS)</a> menunjukkan <a href="https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/568">angka partisipasi murni (APM)</a> di Indonesia – persentase anak yang bersekolah untuk tiap usia jenjang tertentu – mulai menurun pasca level SD.</p>
<p>Anak usia SD (7-12 tahun) yang bersekolah sebesar 97,8%, sementara angkanya menurun menjadi 80,6% untuk SMP (13-15 tahun), dan makin anjlok menjadi 61,7% pada level SMA/K (16-18 tahun).</p>
<p>Artinya, selain 60% anak usia sekolah tidak bersekolah, mereka juga berhenti menempuh pendidikan sebelum mencapai tingkat di mana mereka umumnya diperkenalkan dan dilatih dengan kompetensi dan pengalaman dunia kerja – yakni <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Jumlah <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/19/123946879/jumlah-penduduk-indonesia-2020-berdasarkan-komposisi-usia">penduduk usia SMA yang tidak bersekolah</a> pada tahun 2020, misalnya, setara 14 juta jiwa. Bisa jadi, mereka berujung menjadi pekerja anak. Nasib ini menjadi realitas bagi banyak anak lainnya yang putus sekolah selepas lulus SD dan SMP.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10564434/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:350px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10564434/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10564434" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Namun, akibat level pendidikan mereka yang rendah, ditambah belum dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, mereka umumnya bekerja sebagai pekerja domestik atau buruh kasar dengan upah yang rendah.</p>
<p>Beriringan dengan upaya meredam angka putus sekolah demi mencegah banyaknya pekerja anak ini, sistem pendidikan Indonesia juga bisa mulai memasukkan kompetensi dan pengenalan dunia kerja pada pengajaran di sekolah.</p>
<p>Selain membekali pekerja yang berpendidikan rendah, ini pun bermanfaat bagi seluruh murid dari segi pembelajaran maupun penentuan aspirasi karir.</p>
<p>Sayangnya, <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">beberapa akademisi</a> telah menjelaskan bagaimana kurikulum sekolah di Indonesia masih miskin dalam pengenalan kompetensi semacam ini.</p>
<p>Dalam buku mereka <a href="https://www.pearson.com/us/higher-education/program/Niles-Career-Development-Interventions-with-My-Lab-Counseling-with-Pearson-e-Text-Access-Card-Package-5th-Edition/PGM334442.html"><em>Career Development Interventions</em> (2017)</a>, peneliti pendidikan Spencer Niles dan JoAnne Harris-Bowlsbey mengatakan bahwa meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil adalah layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.</p>
<h2>Mengenalkan kerja melalui sekolah</h2>
<p>Hasil <a href="https://www.educationandemployers.org/wp-content/uploads/2021/03/Starting-early-Building-the-foundations-for-success.pdf">penelitian di beberapa negara maju </a> dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pengenalan berbagai jenis kerja memberi banyak manfaat bagi murid. </p>
<p>Pertama, membantu murid melihat relevansi pelajaran dalam kehidupan. Kedua, meningkatkan mobilitas sosial murid-murid dari level ekonomi rendah. Ketiga, membantu murid untuk tidak mengesampingkan pilihan kerja tertentu tanpa memahami kelebihan dan kekurangannya.</p>
<p>Hasil studi ini juga melaporkan bahwa setelah mengikuti pelajaran terkait karir, 82% dari 9.300 responden murid menyetujui bahwa “<em>Saya sekarang mengerti bagaimana belajar matematika, bahasa Inggris, atau sains bermanfaat dalam banyak jenis pekerjaan</em>”.</p>
<p>Dari 1.200 murid di sekolah dengan anak dari keluarga kurang mampu, 78% mengatakan “<em>Saya sekarang tahu ada banyak pekerjaan yang tersedia ketika saya dewasa</em>”. Selain itu, 74% juga menyatakan “<em>Saya merasa lebih percaya diri dengan apa yang dapat saya lakukan kelak</em>”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">Banyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Temuan di atas mengisyaratkan bahwa pengenalan kerja kepada murid memperkaya kualitas pembelajaran dan memberi pemahaman bermakna bagi masa depan kehidupan karir mereka.</p>
<p>Program <a href="https://myfuture.edu.au">Myfuture</a>, yakni layanan informasi karir tingkat nasional di Australia, menyarankan bahwa dalam mengembangkan pengenalan kerja di sekolah, perlu menimbang antara lain beberapa hal berikut:</p>
<ul>
<li><p>Pastikan guru merasa nyaman. Untuk menjadi pelaku utama program ini, guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan yang memadai dalam membawakan materi dan program terkait karir dan pekerjaan. </p></li>
<li><p>Kaitkan program pengenalan kerja di dalam kurikulum, dan tidak memperlakukannya sebagai sesuatu di luar kurikulum. Pengenalan kerja ini harus bisa memperkaya pembelajaran berbagai mata pelajaran.</p></li>
<li><p>Libatkan komunitas di sekitar sekolah. Diskusikan dengan orang tua, pelaku bisnis, serikat pekerja, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat tentang berbagai ide yang mungkin dapat mereka sumbangkan.</p></li>
<li><p>Mulailah lebih awal. Namun, penting untuk menyesuaikan semua kegiatan dengan tingkat kesiapan murid. Hindari cara “satu pendekatan untuk semua” (<em>one size fits all</em>).</p></li>
</ul>
<p>Program pengenalan kerja pada dasarnya sesuai dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tentang <a href="https://www.youtube.com/watch?v=T2-s6yY9yoI">Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar</a>. Tujuannya adalah memberikan otonomi kepada sekolah, guru, dan bahkan murid.</p>
<p>Profesor pendidikan karir di Inggris, Tristram Hooley menyatakan bahwa karir adalah perjalanan seumur hidup yang <a href="https://myfuture.edu.au/docs/default-source/insights/career-education-in-primary-school.pdf">dimulai jauh lebih awal</a> dari kesadaran banyak orang.</p>
<p>Di masa lalu, kaum muda kerap kali mengenal jalur karir ketika berada di ambang transisi ke dunia kerja. Ini <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">bisa jadi merupakan salah satu alasan</a> mengapa ada banyak sekali mahasiswa dan lulusan kampus di Indonesia yang <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya">salah jurusan</a>.</p>
<p>Sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk mengenalkan lika-liku kerja melalui sekolah.</p>
<p>Komunitas internasional tentu mengutuk adanya pekerja anak, tetapi nyatanya banyak anak yang terpaksa harus bekerja tanpa persiapan sama sekali. Sembari berupaya mengatasi masalah itu, program pengenalan kerja kepada murid akan membantu mengantar mereka agar kelak berpenghidupan layak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/186203/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil anak itu layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1738382021-12-22T07:34:10Z2021-12-22T07:34:10ZApakah anak Anda takut pada jarum suntik? Berikut cara mempersiapkan mereka untuk vaksin COVID<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/437691/original/file-20211215-15-i0pp86.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/vaccinating-child-174165788">Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pengalaman anak Anda pada jarum suntik pada tahun-tahun awal mereka dapat <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7636457/">mempengaruhi persepsi mereka</a> tentang jarum suntik dan bagaimana mereka bereaksi terhadap vaksinasi berikutnya. Jadi, penting untuk mengurangi kemungkinan pengalaman negatif.</p>
<p>Tapi apa yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu mempersiapkan anak mereka untuk vaksin COVID-19 atau suntikan lainnya?</p>
<h2>Ketakutan atau fobia?</h2>
<p>Kebanyakan anak <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/jan.13818">takut pada jarum</a>. Tapi untuk beberapa anak tertentu, ketakutan ini lebih serius dan dapat didefinisikan sebagai fobia jarum.</p>
<p>Fobia jarum adalah respons atau reaksi yang sangat menakutkan terhadap kehadiran jarum, misalnya, untuk diambil darah atau disuntik. Kecemasan dan ketakutan ini tidak sebanding dengan ketakutan yang muncul saat ada ancaman, dan orang-orang akan menghindari jarum suntik sebisa mungkin.</p>
<p>Dalam beberapa kasus serius, tingkat kecemasan yang disebabkan hanya dengan melihat jarum dapat menyebabkan perasaan pusing, mual, peningkatan keringat, kehilangan kesadaran, dan pingsan.</p>
<p>Hampir <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2377960818759442">satu dari lima</a> anak (19%) berusia 4-6 memiliki fobia jarum, dan ini menurun menjadi satu dari sembilan (11%) pada usia 10-11. Di antara orang dewasa, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2377960818759442">sekitar 3,5-10%</a> memiliki fobia jarum.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-anak-anak-butuh-risiko-rasa-takut-dan-keriangan-ketika-bermain-82336">Mengapa anak-anak butuh risiko, rasa takut, dan keriangan ketika bermain</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Saat bekerja sebagai perawat, saya masih mengingat Emma, gadis berusia lima tahun, yang ketakutan akan jarum suntik. Saya ingat wajah kecilnya, kemarahan dan ketakutan, air mata, serta jeritannya hanya karena melihat jarum.</p>
<p><a href="https://www.routledge.com/Clinical-Applications-of-the-Therapeutic-Powers-of-Play-Case-Studies-in/Prendiville-Parson/p/book/9780367341091">Ketakutannya yang meningkat</a> ini disebabkan oleh tes darah, suntikan, dan prosedur medis yang sebelumnya ia alami. Dan itu tidak menjadi lebih mudah dijalani sampai dia mendapat bantuan terapi profesional.</p>
<h2>Mengurangi kemungkinan pengalaman negatif</h2>
<p>Saat membuat jadwal vaksinasi, pertimbangkan untuk meminta perawat menyisihkan waktu ekstra untuk bersiap.</p>
<p>Ketika anak-anak datang untuk divaksinasi, sebagian besar perawat mengantisipasi bahwa anak tersebut mungkin khawatir dan gugup, atau sangat takut akan suntikan.</p>
<p>Perawat dapat membantu dengan meminta anak untuk menegangkan dan mengendurkan otot-otot mereka agar tidak pingsan. Mereka bisa menyarankan anak-anak untuk mengambil napas dalam-dalam, menahannya, dan menghembuskannya perlahan. Mereka juga dapat meminta anak untuk menggoyangkan jari kaki mereka sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Worried girl sits on her mother's lap, looking at a tablet." src="https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mengalihkan perhatian anak pada suatu hal lain dapat membantu mereka untuk terlena dari ketakutan mereka atas jarum suntik.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/small-girl-her-mother-wearing-protective-1858030414">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jika anak benar-benar tertekan – misalnya, dengan berteriak, menendang, dan mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan suntikan itu – orang tua dapat menunda jadwal sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan beberapa strategi koping. Ini berpotensi mencegah berkembangnya fobia jarum.</p>
<p>Orang tua adalah advokat terbaik untuk anak mereka, yang mengetahui cara untuk mendukung mereka selama imunisasi.</p>
<h2>Bagaimana cara mempersiapkan anak Anda untuk ini?</h2>
<p>Langkah pertama adalah mempertimbangkan kapan harus memberitahu mereka jadwal vaksin yang akan diambil. Untuk anak di bawah lima tahun, kerangka waktu yang lebih pendek akan lebih baik; misalnya pada hari yang sama.</p>
<p>Untuk anak-anak berusia lima hingga enam tahun, Anda dapat memberi tahu mereka satu atau dua hari sebelumnya; dan untuk yang berumur tujuh tahun, bisa seminggu sebelumnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Little boy plays with stuffed toys wearing face masks." src="https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pertimbangkan waktu yang tepat, sesuai dengan usia mereka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/child-plays-roleplaying-games-baby-bay-2046114410">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tapi jika anak Anda memang memiliki fobia jarum, mereka mungkin memerlukan bantuan yang signifikan di lingkungan yang aman untuk mencurahkan pikiran dan perasaan mereka, dan mempelajari beberapa strategi manajemen stres.</p>
<h2>Mendapatkan bantuan dari terapis</h2>
<p>Terapis yang berkualifikasi, terapis kehidupan anak, dan psikolog anak dapat membantu. Setelah membangun hubungan saling percaya dengan terapis, sesi terapi medis melibatkan skenario bermain peran untuk membuat anak tidak sadar akan hadirnya peralatan medis.</p>
<p>Ini sering dimulai dengan peralatan medis mainan lalu beralih ke peralatan medis asli.</p>
<p>Terapis memberikan informasi kepada anak dengan menunjukkan kepada mereka bagaimana segala sesuatunya bekerja. Anak kemudian dapat mengembangkan penguasaan dengan menyuntikkan boneka atau <em>teddy</em> mereka, sementara terapis memberikan isyarat untuk mengatasi strategi dan ketahanan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dapatkah-yoga-membantu-menyembuhkan-gangguan-mental-98795">Dapatkah yoga membantu menyembuhkan gangguan mental?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa anak membutuhkan satu atau dua sesi, tapi mereka yang memiliki fobia jarum mungkin memerlukan hingga sepuluh sesi atau lebih.</p>
<p>Terapis juga dapat mengajarkan beberapa tips atau prosedur medis lainnya pada orang tua untuk mendukung anak mereka selama masa penyuntikan.</p>
<h2>Menggunakan teknik terapi bermain di rumah</h2>
<p>Perkenalkan beberapa mainan peralatan medis dalam waktu bermain anak Anda dan perhatikan apakah mereka penasaran atau menghindarinya.</p>
<p>Jika mereka penasaran dan mencari informasi lebih lanjut, tunjukkan dan beri tahu mereka tentang jadwal vaksin mereka yang akan datang dan mengapa mereka membutuhkannya. Anda bisa mengatakan, misalnya, bahwa vaksin itu akan membantu menghentikan mereka, dan banyak orang lain, dari penularan virus corona, dan itu juga akan menjaga kakek-nenek mereka.</p>
<p>Anak-anak sudah tahu dari media dan sekolah bahwa COVID telah membuat kita semua tinggal di rumah karena COVID telah membuat banyak orang sakit, dan mereka tidak bisa bernapas dengan baik. Anda dapat menjelaskan bahwa perlindungan dari vaksin akan membantu mereka untuk dapat kembali ke taman kanak-kanak atau sekolah dan bertemu dengan teman-teman mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Child practices vaccinating a doll." src="https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perhatikan bagaimana anak Anda merespons mainan alat-alat medis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/girl-child-makes-injection-wooden-syringe-1994012915">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Untuk anak yang menghindari mainan alat medis ini, teknik distraksi dapat membantu. Pertimbangkan untuk memperkenalkan mainan atau benda baru yang dapat menarik perhatian anak segera sebelum dan selama penyuntikan. Bisa dengan mainan sensorik, game, atau aplikasi digital.</p>
<h2>Alat apa yang digunakan para terapis bermain?</h2>
<p>Untuk Emma, setelah mengembangkan hubungan bermain terapeutik, saya memperkenalkan dan mempraktikkan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=cyApK8Z_SQQ">Teknik Sarung Tangan Ajaib</a>. Untuk anak-anak dengan imajinasi yang baik, mereka dapat belajar untuk rileks dan berpura-pura memiliki <a href="https://doi.org/10.1111/j.1460-9592.2012.03860.x">sarung tangan tak terlihat ajaib</a> yang membuat lengan mereka – dan diri mereka sendiri – merasa tenang dan rileks.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/cyApK8Z_SQQ?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Leora Kuttner berlatih teknik sarung tangan ajaib.</span></figcaption>
</figure>
<p>Untuk anak-anak lain, saya telah menggunakan <a href="https://www.buzzy4shots.com.au/">Buzzy</a>, alat getar mekanis yang terlihat seperti lebah, yang dikembangkan oleh dokter dan seorang peneliti penyakit asal Amerika, Amy Baxter. Alat ini memiliki satu set pendingin dan getaran yang <a href="https://www.buzzy4shots.com.au/pages/buzzy-research-clinical-trials">menghambat sensasi rasa sakit</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-psikologi-kenapa-badut-itu-menakutkan-bagi-kita-124698">Analisis psikologi kenapa badut itu menakutkan bagi kita</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika anak Anda memiliki pengalaman negatif selama vaksinasi, dan Anda ingin mengakses bantuan profesional, mintalah saran kepada dokter umum Anda untuk mendapatkan penanganan dari terapis bermain atau terapis kehidupan anak atau psikolog anak di daerah Anda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173838/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Judi Parson tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Australia telah menyetujui vaksin Pfizer COVID untuk anak berusia 5-11 tahun, dengan peluncuran pada 10 Januari. Berikut cara mempersiapkan anak Anda jika mereka takut jarum suntik.Judi Parson, Senior Lecturer, Child Play Therapy, Deakin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1700222021-12-21T03:24:15Z2021-12-21T03:24:15ZMeneliti kekerasan secara beretika? Yuk, bisa yuk!<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/438378/original/file-20211220-48933-13xpejc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=35%2C0%2C4000%2C2664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">M Risyal Hidayat/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>“Permisi, boleh minta waktu untuk wawancara survei?” </p>
<p>Kalau kita pernah didatangi petugas survei ke rumah, kalimat semacam itu mungkin kita dengar. </p>
<p>Bila kita setuju wawancara, petugas survei biasanya memulai dengan bertanya tentang kondisi rumah tangga, pendidikan, dan pekerjaan. Tapi jika kemudian petugas menanyakan hal sensitif, seperti pengalaman kekerasan, masihkah kita bersedia menjawab?</p>
<p>Dalam satu dekade terakhir, Indonesia semakin sering mengumpulkan data kekerasan terhadap anak (KTA) melalui survei. </p>
<p>Ada <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/0e33f-skta-2013.pdf">Survei Kekerasan terhadap Anak (SKTA) pada 2013</a>, <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/49b98-infografis-snphar-2018.pdf">Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018</a>, dan <a href="https://www.kpai.go.id/publikasi/ada-246-aduan-di-kpai-soal-belajar-daring-siswa-keluhkan-tugas-menumpuk-kuota">SKTA daring Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2020</a>. Survei serupa akan ada lagi tahun ini.</p>
<p>Meski ada kebutuhan data, survei Kekerasan terhadap Anak (KTA) memiliki beban etika penelitian yang berat. Oleh karena itu, proses perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan survei KTA tidak boleh setengah-setengah.</p>
<h2>Tuntutan dan beban survei</h2>
<p>Survei KTA adalah salah satu jenis <a href="https://data.unicef.org/wp-content/uploads/2014/11/Measuring-Violence-against-Children-%E2%80%93-Inventory-and-assessment-of-quantitative-studies.pdf">penelitian yang paling kompleks untuk diselenggarakan</a>, mulai dari perumusan pertanyaan, pengumpulan data, hingga analisis. </p>
<p>Peneliti perlu membangun kepercayaan antara pewawancara dengan responden. Kuncinya ada pada etika penelitian. Jika peneliti gagal menjaga etika penelitian, maka responden akan enggan menceritakan pengalamannya atau menolak berpartisipasi. </p>
<p>Ini akan menimbulkan salah satu jenis <em>response error</em> (kesalahan dalam mengumpulkan jawaban) yang khas dalam penelitian tentang kekerasan, yaitu <em>underreporting</em>, atau kejadian yang dilaporkan lebih sedikit daripada kejadian sebenarnya. <a href="https://data.unicef.org/wp-content/uploads/2014/11/Measuring-Violence-against-Children-%E2%80%93-Inventory-and-assessment-of-quantitative-studies.pdf">Jenis <em>error</em> ini akan berdampak pada akurasi data penelitian</a>.</p>
<p>Penelitian tentang pengalaman kekerasan juga berisiko mengungkap insiden traumatis, yang mungkin pernah atau masih dialami responden. Akibatnya, responden dapat terpicu merasakan emosi negatif, seperti cemas, takut, sedih, atau marah. <a href="https://data.unicef.org/wp-content/uploads/2015/12/EPDRCLitReview_193.pdf">Risiko jadi semakin besar jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat</a>. </p>
<p>Data memang penting dalam penyusunan kebijakan. Namun, dalam penanganan KTA, data survei seharusnya menjadi bagian dari <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6158784/">sistem surveilans</a> yang lebih besar, bersama dengan data laporan kasus.</p>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6158784/">Survei KTA dapat diulang jika survei tersebut merupakan satu-satunya sumber data kekerasan</a>. Perlu pertimbangan juga berapa rentang waktu ideal antara survei yang satu dengan yang lainnya.</p>
<p>Karena tuntutan dan beban tersebut, sebelum memutuskan untuk melakukan survei KTA, peneliti perlu menjawab empat poin berikut.</p>
<h2>1. Apakah data sekunder sudah tersedia dan cukup untuk penelitian tanpa harus mengumpulkan data baru?</h2>
<p>Dengan banyaknya survei di Indonesia, ada kemungkinan satu rumah tangga berkali-kali diwawancarai. Kondisi ini bisa menyebabkan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0038038508094573?casa_token=V8Bw6j29eOQAAAAA:Yx82-gUyIJiuROl7w6DXkwfnIa6_DqJ1T1mSp9ZYnNUN3oUg8lAkpT_XS_ylJuW0VCm8k-r1q1Q9fBo"><em>research fatigue</em></a>, atau kelelahan akibat terlalu sering disurvei. Akibatnya, responden bisa menolak atau enggan berpartisipasi, yang berpengaruh terhadap kualitas data.</p>
<p>Sebelum mengumpulkan data survei, peneliti perlu mengecek apakah tersedia data sekunder, atau data yang sudah dikumpulkan, yang bisa menjadi sumber informasi untuk menjawab pertanyaan penelitian. </p>
<p>Tujuan penelitian mungkin saja bisa terjawab oleh data layanan atau data dari survei sebelumnya. Tren kekerasan, baik nasional maupun per wilayah, pada dasarnya telah digambarkan dengan data dari laporan kekerasan (seperti <a href="https://kekerasan.kemenpppa.go.id/">SIMFONI PPA</a>) atau data layanan swasta. </p>
<p>Meski data laporan kekerasan berasal dari layanan yang jumlahnya masih terbatas, namun datanya tersedia secara <em>real-time</em> dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja layanan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/indonesia-darurat-data-kekerasan-terhadap-anak-159146">Indonesia darurat (data) kekerasan terhadap anak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2. Apakah riset kekerasan terhadap anak akan menimbulkan risiko yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang anak dapatkan?</h2>
<p>Ada beberapa etika yang harus dijunjung tinggi saat melakukan penelitian dengan anak maupun orang dewasa. </p>
<p>Salah satunya, kepentingan dan manfaat dari survei harus <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/088626000015007004">lebih besar dari risiko yang muncul</a>.</p>
<p>Survei KTA memiliki <a href="https://data.unicef.org/resources/measuring-violence-against-children-inventory-and-assessment-of-quantitative-studies-publication/">risiko bahaya yang cukup tinggi</a>, baik untuk responden atau pewawancara. Misalnya, jika responden masih mengalami kekerasan dan pelakunya tinggal serumah. </p>
<p>Saat merancang desain riset KTA, peneliti perlu jujur dan kritis mengidentifikasi potensi risiko. Niat baik saja tidak cukup mengurangi <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014521341930167X">dampak buruk terhadap responden atau peneliti.</a>.</p>
<p>Pertimbangan risiko pertama adalah usia responden. Risiko untuk anak tentu berbeda dengan orang dewasa. Implikasinya, mitigasi risiko juga akan berbeda. Keterlibatan dalam riset KTA dapat memicu ketidaknyamanan, stres, atau reaksi trauma, apalagi pada anak yang belum mampu mengelola emosi.</p>
<p>Dalam wawancara, petugas survei juga bisa mengalami trauma sekunder yang disebut dengan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2059799120926085"><em>vicarious trauma</em></a>, yang timbul dari empati peneliti. </p>
<p>Ingat juga bahwa risiko survei mungkin bergantung pada norma yang berlaku di lingkungan tempat tinggal responden. Tim peneliti dapat melakukan konsultasi dengan perwakilan masyarakat di berbagai lokasi survei mengenai konteks lokal.</p>
<h2>3. Apakah layanan tersedia untuk merespons kebutuhan anak atau responden selama proses pengumpulan data?</h2>
<p>Saat pengumpulan data, peneliti mungkin menemukan banyak responden yang butuh layanan rujukan tapi kesulitan mengakses. </p>
<p>Jika responden bersedia, peneliti perlu menghubungkan responden dengan layanan. Peneliti juga perlu menyiapkan referensi layanan, seperti fasilitas kesehatan, psikososial, dan/atau hukum. Saat ini, baru <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/06/16/15402771/menteri-pppa-dorong-pemerintah-daerah-bentuk-uptd-ppa">134 kabupaten/kota (dari 514 total kabupaten di Indonesia) yang punya unit layanan pemerintah untuk merespons kasus kekerasan perempuan dan anak (UPTD PPA)</a>. </p>
<p>Sebagai alternatif, peneliti bisa membentuk tim <em>ad hoc</em> berupa pos aduan di tingkat kelurahan/desa yang khusus bekerja selama survei. Tim ini adalah perwakilan dari masyarakat yang dilatih untuk merespons kasus dan menghubungkan korban ke layanan terdekat, khusus untuk daerah yang jauh dari layanan rujukan.</p>
<p>Layanan darurat itu juga dapat menjadi rintisan untuk layanan jangka panjang.</p>
<p>Jika layanan, baik yang sudah ada atau <em>ad hoc</em>, tidak tersedia atau tidak berkualitas, maka penulis perlu mempertimbangkan ulang untuk mengumpulkan data di wilayah tersebut.</p>
<h2>4. Apakah peneliti sudah menyiapkan rencana analisis dan tindak lanjut dari hasil survei?</h2>
<p>Peneliti bertanggung jawab mempublikasikan temuan, baik kepada populasi yang diteliti, maupun kepada pembuat kebijakan dan publik secara umum. Ini dimulai dengan menyusun rencana analisis dan rencana pemanfaatan data, dengan mempertimbangkan keragaman konteks sesuai lokasi penelitian. </p>
<p>Data kekerasan tidak dapat dilihat sebagai angka saja. Pembuat kebijakan perlu memahami konteks yang melatarbelakangi munculnya kekerasan agar layanan bisa efektif dan berkualitas. </p>
<p>Belajar dari pengalaman Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja, data yang kaya tidak akan berguna jika analisis dan publikasinya setengah jalan. Peneliti juga perlu melihat kesesuaian antara data survei dengan sumber data lain yang sudah ada.</p>
<p>Data administrasi layanan bisa memberi informasi tentang jumlah kasus yang dilaporkan, cakupan layanan, dan respons layanan terhadap kasus. Data survei dan data administrasi layanan bisa disandingkan untuk analisis yang komprehensif.</p>
<p>Peneliti mungkin menemukan kesenjangan hasil antara kedua jenis data, misalnya angka kekerasan jauh lebih tinggi pada survei daripada di data layanan. Temuan seperti ini bisa menjadi evaluasi untuk kedua data.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melindungi-anak-anak-dan-remaja-dari-kekerasan-di-media-133794">Melindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Niat baik tidak cukup</h2>
<p>Survei nasional didanai APBN. Maka, sudah sepantasnya publik mendapat akses atas data tersebut sebagai bentuk akuntabilitas; terlebih karena subyek penelitiannya adalah masyarakat. </p>
<p>Perlu mekanisme agar publik bisa mengakses data seperti survei nasional lainnya, contohnya SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Akses terbuka terhadap data survei akan membuka kesempatan bagi para peneliti untuk bersama-sama menganalisis dan memberi masukan pada kebijakan. Seperti halnya publikasi ilmiah, <em>peer review</em>, atau tinjauan oleh sesama peneliti, adalah proses esensial untuk menghasilkan interpretasi data berkualitas. </p>
<p>Peneliti dan pembuat kebijakan punya tanggung jawab moral kepada para responden yang telah bersedia berbagi cerita mereka, termasuk risiko trauma yang mereka hadapi. </p>
<p>Survei KTA harus mengutamakan kepentingan anak sebagai subjek di atas kepentingan penelitian.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170022/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Survei Kekerasan terhadap Anak memiliki beban etika penelitian yang berat. Proses perancangan, pelaksanaan, dan pelaporan survei KTA tidak boleh setengah-setengah.Windy Liem, Researcher Advocacy & Associate, PUSKAPAAndrea Andjaringtyas Adhi, Lead for Social Inclusion and Protection, PUSKAPAPutri K. Amanda, Head of Programs, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1728862021-12-03T11:11:45Z2021-12-03T11:11:45ZTumbuh kembang anak usia dini sangat memengaruhi capaian pendidikan: 3 aspek yang perlu Indonesia perhatikan<p>Selama dua dekade terakhir, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan progresif dari <a href="https://indonesiabaik.id/infografis/anggaran-pendidikan-terus-bertambah">segi anggaran</a> hingga <a href="https://ojs.stkippgri-lubuklinggau.ac.id/index.php/JS/article/view/1192">kurikulum</a>. Namun, ini tidak serta merta diikuti dengan peningkatan capaian belajar siswa.</p>
<p>Skor murid Indonesia dalam tes global <a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310"><em>Programme for International Students Assessment</em> (PISA)</a> yang mengukur capaian belajar di usia 15 tahun, misalnya, cukup rendah dari 2009-2018. Indonesia hampir selalu menduduki <a href="https://www.oecd.org/pisa/PISA-results_ENGLISH.png">10 peringkat terbawah</a> dengan skor <a href="https://qz.com/1759506/pisa-2018-results-the-best-and-worst-students-in-the-world/">di bawah rerata 79 negara peserta</a>.</p>
<p><a href="https://www.tanotofoundation.org/en/media/publications/unlocking-childrens-potential-to-learn/">Penelitian kami</a> dengan Tanoto Foundation tahun ini menunjukkan bahwa intervensi yang lebih baik pada anak usia dini (0-6 tahun) bisa jadi solusi untuk mendukung upaya peningkatan capaian pendidikan.</p>
<p>Studi kami menekankan perlunya perbaikan pada setidaknya tiga aspek: sistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pemenuhan asupan gizi anak, hingga pola pengasuhan anak (<em>parenting</em>) oleh orang tua.</p>
<p>Hal ini selaras dengan <a href="https://www.unicef.org/media/57926/file/A-world-ready-to-learn-advocacy-brief-2019.pdf.">riset</a> yang mengatakan bahwa sekitar 85% proses pembentukan kognisi dan otak anak terjadi hingga usia 6 tahun.</p>
<p>Kualitas hidup anak pada usia dini memiliki <a href="https://www.unicef.org/media/57926/file/A-world-ready-to-learn-advocacy-brief-2019.pdf">dampak yang signifikan</a> pada perkembangan kognitif mereka saat tumbuh dewasa, dan pada akhirnya memengaruhi capaian pendidikan pada jenjang berikutnya di sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah (SMP-SMA).</p>
<h2>1. Perbaikan pada sistem PAUD</h2>
<p>Di Indonesia, PAUD dirancang untuk anak usia 0-6 tahun. <a href="https://jdihn.go.id/files/4/2003uu020.pdf">Bentuknya bisa berupa</a> pendidikan formal (seperti Taman Kanak-Kanak), pendidikan non-formal (seperti Kelompok Bermain (KB) atau Taman Penitipan Anak (TPA)), dan pendidikan informal yang diselenggarakan keluarga atau lingkungan sekitar.</p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2843915">Studi yang diinisiasi oleh Bank Dunia</a> selama 2009-2016 menunjukkan bahwa PAUD berkontribusi pada capaian belajar kelompok anak usia 0-6 tahun, dan bahkan hingga masa awal SD yakni 6-9 tahun.</p>
<p>Studi tersebut juga menunjukkan bahwa anak yang mengakses PAUD mengembangkan kemampuan berbahasa dan kemampuan sosial mereka lebih awal.</p>
<p>Sayangnya, sistem PAUD di Indonesia masih belum optimal – dari segi akses, kualitas, pendanaan, hingga sumber daya yang tersedia di berbagai institusi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kb-vaksinasi-dan-sd-inpres-telah-bantu-indonesia-kurangi-kemiskinan-selama-75-tahun-tapi-tantangan-ke-depan-masih-banyak-144498">KB, vaksinasi, dan SD Inpres telah bantu Indonesia kurangi kemiskinan selama 75 tahun, tapi tantangan ke depan masih banyak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Saat ini, terdapat <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">ketimpangan jumlah PAUD</a> di berbagai wilayah. Dari total sekitar 205.000 PAUD di Indonesia, sebanyak sekitar 38.000 berada di Jawa Timur, sedangkan hanya terdapat 939 dan 629 berada di Papua dan Kalimantan Utara.</p>
<p>Kualitas PAUD di Indonesia pun masih perlu banyak perbaikan.</p>
<p>Hanya terdapat <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">32% tenaga pengajar PAUD</a> yang memiliki gelar sarjana pendidikan, sementara 68% lainnya merupakan lulusan SMA.</p>
<p>Sekitar 80% PAUD di Indonesia juga <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">tidak memegang akreditasi</a> dari Badan Akreditasi Nasional (BAN). Padahal, ini penting untuk menjamin mutu dari pendidikan anak usia dini.</p>
<p>Mayoritas PAUD yang belum terakreditasi ini berupa layanan non-formal, dan biasanya beroperasi di rumah warga, garasi, maupun posyandu.</p>
<p>Selain itu, dari total anggaran pendidikan nasional (tahun ini sekitar <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/01/pagu-anggaran-kemendikbud-tahun-2021-sebesar-rp815-triliun">Rp 550 triliun</a>, hanya <a href="https://ptk.datadik.kemdikbud.go.id/">1,33%</a> dialokasikan untuk PAUD. Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) merekomendasikan setidaknya <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">10% anggaran pendidikan</a> setiap negara dialokasikan untuk PAUD.</p>
<p>Banyak PAUD, misalnya di <a href="https://bppauddikmasntt.kemdikbud.go.id/index.php/11-artikel/71-pendidikan-anak-usia-dini-paud-merupakan-investasi-masa-depan-anak-bangsa">provinsi Nusa Tenggara Timur</a>, juga terletak cukup <a href="https://bppauddikmasntt.kemdikbud.go.id/index.php/11-artikel/71-pendidikan-anak-usia-dini-paud-merupakan-investasi-masa-depan-anak-bangsa">jauh dari tempat tinggal penduduk</a>.</p>
<p>Berbagai hal di atas membuat orangtua cenderung memilih anak tetap tinggal di rumah tanpa merasa perlu mengakses PAUD. Akhirnya, mereka melewatkan periode emas dalam tumbuh kembang anak.</p>
<h2>2. Pentingnya asupan gizi anak</h2>
<p><a href="https://www.thelancet.com/series/ECD2016">Rangkaian riset tahun 2016</a> yang diterbitkan jurnal terkemuka <em>The Lancet</em> mengatakan bahwa aspek lain yang harus diperhatikan untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak pada usia 0-3 tahun adalah kesehatan dan gizi.</p>
<p>Kumpulan studi tersebut juga mengungkapkan bahwa pemenuhan gizi yang baik meningkatkan kesejahteraan anak saat dewasa – termasuk pendapatan dan capaian belajar.</p>
<p>Salah satu indikator capaian Indonesia dalam asupan gizi anak bisa dilihat dari angka <a href="https://theconversation.com/strategi-menurunkan-angka-stunting-di-indonesia-memetakan-status-gizi-balita-hingga-tingkat-desa-121049"><em>stunting</em></a> (tubuh pendek akibat kekurangan gizi).</p>
<p><a href="https://globalnutritionreport.org/resources/nutrition-growth-commitment-tracking/indonesia/">Laporan Nutrisi Global (GNR)</a> pada tahun 2018 menunjukkan adanya penurunan angka <em>stunting</em> pada balita di Indonesia. Angkanya turun dari 42% pada tahun 2000, menjadi 27.67% pada tahun 2019.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/strategi-menurunkan-angka-stunting-di-indonesia-memetakan-status-gizi-balita-hingga-tingkat-desa-121049">Strategi menurunkan angka stunting di Indonesia: memetakan status gizi balita hingga tingkat desa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meski laporan tersebut menunjukkan progres di tingkat nasional, hal ini tidak terjadi secara seragam di tingkat daerah.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/event8-02.pdf">data tahun 2019 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes)</a>, misalnya, provinsi seperti Bali dapat menekan proporsi stunting hingga 14,42%, sementara di Nusa Tenggara Timur angkanya menyentuh 43,82%.</p>
<p><a href="https://smeru.or.id/id/content/pengujian-metode-small-area-estimation-sae-untuk-pembuatan-peta-status-gizi-di-indonesia">Studi yang dilakukan lembaga riset SMERU</a> di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, menunjukkan bahwa penuntasan stunting didorong berbagai faktor di tingkat daerah – dari akses ke air bersih dan sanitasi, suplai pangan, akses transportasi, hingga komitmen pemerintah desa.</p>
<p>Memperhatikan masalah gizi ini adalah langkah penting untuk mendukung peningkatan capaian pendidikan di Indonesia.</p>
<p>Sebuah <a href="https://bmcresnotes.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13104-018-3909-1">riset di Etiopia</a> mengungkapkan bahwa capaian pendidikan yang rendah secara statistik banyak terjadi pada anak-anak yang mengalami masalah gizi buruk dibandingkan pada anak-anak yang asupan gizinya baik.</p>
<h2>3. Gaya pengasuhan (<em>parenting</em>) berperan besar</h2>
<p>Rangkaian riset <a href="https://www.thelancet.com/series/ECD2016"><em>The Lancet</em></a> di atas juga menekankan bahwa tumbuh kembang dan kemampuan kognitif anak dapat semakin optimal jika diperkuat dengan gaya pengasuhan yang baik dari orang tua.</p>
<p>Ini berarti menjamin lingkungan yang stabil bagi anak, melindungi mereka dari ancaman, serta memastikan relasi dengan orang di sekitar yang penuh dengan kasih sayang.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/30992">studi tahun 2018 dari Bank Dunia</a>, gaya pengasuhan baik beserta pemberian bantuan uang tunai (<em>cash transfer</em>) – terutama pada keluarga kurang mampu – membantu memesatkan perkembangan kognitif, linguistik, dan sosio-emosional anak di Kolumbia, Meksiko, Nigeria, dan Peru.</p>
<p>Saat ini, berbagai instansi pemerintah maupun lembaga non-pemerintah (NGO) berupaya mengembangkan berbagai program untuk meningkatkan kualitas pengasuhan dari orang tua di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/antara-pola-asuh-otoritatif-dan-otoriter-mana-yang-lebih-baik-untuk-anak-indonesia-145713">Antara pola asuh otoritatif dan otoriter: mana yang lebih baik untuk anak Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), misalnya, memperkenalkan <a href="https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2135/kemen-pppa-membangun-anak-dengan-road-map-pengasuhan-berbasis-hak-anak">Peta Jalan Pengasuhan Anak</a> yang berisi panduan menerapkan gaya pengasuhan yang baik bagi anak di berbagai lingkungan, termasuk keluarga. Tanoto Foundation juga memiliki <a href="https://sigap.tanotofoundation.org/p/pengasuhan-anak-0-3-tahun/">jaringan Rumah Anak SIGAP</a> yang menawarkan edukasi kepada masyarakat terkait pengasuhan dan pembelajaran anak.</p>
<p>Sayangnya, masih terdapat tantangan dalam implementasinya di Indonesia.</p>
<p><a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/the-promise-of-education-in-indonesia">Kajian lain dari Bank Dunia</a> menunjukkan bahwa berbagai program terkait pola pengasuhan anak sering mengalami kendala dalam komunikasi dengan target orang tua. Banyak orang tua sering melewatkan informasi krusial di tahap usia tertentu pada masa perkembangan anak.</p>
<p>Baik pemerintah maupun non-pemerintah yang menyelenggarakan program harus berkoordinasi dengan lebih baik terkait keterampilan yang ingin dibangun pada orang tua, serta cara sosialisasinya supaya lebih mudah diadopsi.</p>
<h2>Butuh kerjasama lintas bidang dan sektor</h2>
<p>Intervensi anak usia dini adalah upaya yang kompleks, bersifat lintas disiplin, dan memerlukan dukungan lintas sektor – dari pendidikan hingga kesehatan.</p>
<p>Studi yang kami lakukan, misalnya, menegaskan pentingnya pemerintah menjamin kerjasama antar kementerian dan dinas, serta ketersediaan dana yang optimal untuk menyusun kebijakan yang menyasar pemenuhan asupan gizi dan pendidikan anak pada usia dini.</p>
<p>Riset kami juga menekankan pentingnya data mengenai kemajuan belajar anak (seperti PISA) yang diinisiasi oleh pemerintah di tingkat nasional maupun daerah. </p>
<p>Harapannya, hal ini bisa membantu pemetaan yang lebih akurat bagi pembuatan kebijakan, program, dan pengembangan riset terkait pendidikan anak.</p>
<p>Hal-hal di atas adalah pekerjaan bersama yang menantang, namun intervensi pada anak usia dini yang lebih optimal akan memberi dampak yang signifikan bagi peningkatan capaian belajar siswa di Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation. Monica Agnes Sylvia, Innovation Analyst di Tanoto Foundation dan juga Belynda McNaughton, konsultan pendidikan independen, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172886/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gita Nasution merupakan Visiting Scholar di Department of Anthropology, School of Culture, History and Language, College of Asia and Pacific, Australian National University (ANNU). Ia memperoleh gelar PhD Antropologi dari departemen yang sama, dengan fokus penelitian pada bidang gender dan pola asuh anak di Indonesia.</span></em></p>Studi kami menyarankan pentingnya tiga intervensi tumbuh kembang pada anak usia dini: perbaikan sistem PAUD, pemenuhan asupan gizi anak, hingga pola pengasuhan anak oleh orang tua.Gita Nasution, PhD Candidate, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1697282021-11-05T04:52:07Z2021-11-05T04:52:07ZPenghapusan syarat NIK langkah awal atasi kesenjangan vaksinasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/426619/original/file-20211015-15-17xi9d8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C83%2C4000%2C2574&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang warga lansia menerima suntikan vaksin COVID-19 di Kota Tangerang, Banten, pada Mei 2021.</span> <span class="attribution"><span class="source">Fauzan/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari serial empat artikel tentang pencatatan sipil dan pengelolaan data penduduk di Indonesia yang berjudul “Data yang Mencatat dan Melindungi Semua”.</em></p>
<p>Sampai 10 Oktober 2021, baru <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/12/203000523/vaksinasi-covid-19-dosis-pertama-capai-100-juta-bisakah-mencegah-gelombang?page=all">100.059.481 orang</a> menerima dosis pertama vaksin COVID-19 yang telah diberikan; sekitar 48% dari total target sasaran di Indonesia. Artinya, ada lebih dari setengah populasi yang belum mendapatkan vaksinasi, termasuk <a href="https://theconversation.com/klaim-herd-immunity-di-jakarta-berbahaya-2-juta-anak-belum-divaksin-dan-belum-aman-dari-ancaman-covid-16858">anak-anak</a>.</p>
<p>Persyaratan Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah salah satu faktor penghambat cakupan vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Ditambah lagi ada aturan kesesuaian domisili dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga untuk mengakses layanan vaksinasi.</p>
<p>Syarat NIK ada satu dari beberapa faktor yang memengaruhi cakupan vaksinasi, termasuk jumlah pasokan, rantai dingin, infrastruktur pendukung, dan sumber daya manusia. </p>
<p>Setelah mencapai titik tertinggi pada 24 Juli 2021 dengan 574 ribu kasus aktif, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia memang menurun drastis; <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/14/kasus-aktif-covid-19-di-indonesia-sedang-di-titik-terendah">jumlah kasus aktif sebanyak 19.852 </a> pada 14 Oktober 2021, merupakan yang terendah dalam 15 bulan terakhir.</p>
<p>Total jumlah kasus COVID-19 tercatat 4.228.552 sejak 3 Januari 2020 sampai 11 Oktober 2021, dengan kematian akibat COVID-19 142.716 sebagaimana yang dilaporkan pemerintah kepada <a href="https://covid19.who.int/region/searo/country/id">Badan Kesehatan Dunia (WHO)</a>.</p>
<p>Meski ada penurunan dalam beberapa bulan terakhir, kita semua tidak boleh terlena dan harus waspada. Kelengahan pada awal 2021 setelah menghadapi gelombang akhir 2020 telah membawa kita pada situasi yang mencekam pada Juni-Juli lalu. </p>
<p>Selain terus memitigasi risiko dengan pengetesan, pelacakan yang diikuti respons yang sesuai, pemakaian masker, mengelola kontak fisik, dan memperbaiki sistem ventilasi dan sirkulasi udara di ruang-ruang umum (seperti ruang kelas, penitipan anak, dan kantor), vaksinasi adalah salah satu cara untuk mengelola COVID-19. </p>
<p><a href="https://mediaindonesia.com/humaniora/429011/warga-tanpa-nik-bisa-vaksinasi-di-sentra-vaksinasi-sinergi-sehat-hingga-3-september">Beberapa wilayah sudah melunakkan syarat domisili untuk vaksinasi dan ini patut dipuji dan ditiru oleh semua</a>. Namun persyaratan NIK masih menjadi penghambat bagi akses terhadap vaksinasi, terutama untuk kelompok rentan - misalnya anak-anak dan lansia dari keluarga miskin.</p>
<p>Penghapusan syarat NIK untuk vaksinasi COVID-19 adalah langkah awal untuk mengatasi kesenjangan akibat ketiadaan dokumen kependudukan, terutama di antara kelompok rentan. Tanpa mensyaratkan NIK, pemerintah memperbesar kesetaraan akses pada layanan dasar dan perlindungan yang sangat diperlukan sekarang dan nanti di masa pemulihan pandemi.</p>
<p>Kabar baiknya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada awal Agustus 2021 telah mengeluarkan <a href="https://covid19.go.id/p/regulasi/surat-edaran-nomor-hk0202iii152422021">surat edaran</a> tentang vaksinasi masyarakat rentan dan masyarakat lainnya yang belum memiliki NIK. Surat edaran itu ditujukan kepada seluruh kepala dinas kesehatan provinsi, kabupaten, dan kota, untuk meningkatkan dukungan dan kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan terkait.</p>
<p>Kita harus mengapresiasi surat edaran dari Kemenkes dan kolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri ini (Kemendagri), karena hal ini dapat memastikan kelompok-kelompok rentan tanpa NIK bisa divaksinasi. Siapakah yang akan terbantu?</p>
<h2>Penghapusan syarat NIK lindungi kelompok rentan</h2>
<p><a href="https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/dasar/view?kd=1558&th=2020">Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020</a> yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan sekitar 3,99% dari 270,3 juta penduduk belum memiliki NIK. </p>
<p>Ini artinya bahwa sekitar 10,7 juta penduduk, yakni 4,3 juta yang berusia 18 tahun ke atas dan 6,4 juta anak-anak terancam tidak dapat mengakses vaksinasi.</p>
<p>Menurut Susenas 2020, ketiadaan NIK lebih banyak ditemukan di antara rumah tangga miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil dengan ketersediaan dan kapasitas layanan kesehatan yang terbatas. </p>
<p>Karena kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) yang melayani dokumen kependudukan biasanya berada di ibu kota kabupaten, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil seringkali terkendala jarak, waktu, transportasi, dan biaya dalam mengakses layanan Dukcapil. Proses yang rumit dan aturan yang kerap berubah, serta ketiadaan dokumen syarat termasuk faktor-faktor lain yang menghambat kepemilikan NIK. </p>
<p>Penduduk tanpa NIK juga banyak ditemukan di antara lansia dan anak-anak yang juga rentan terinfeksi dan mengalami kesakitan serta kematian jika terinfeksi. Melindungi kelompok-kelompok ini dari kesakitan dan kematian akibat COVID-19 sangat mendesak mengingat tingkat transmisi yang tinggi saat ini, terutama mengingat semakin banyaknya daerah yang mulai menerapkan pertemuan tatap muka. </p>
<p>Selain tiga kelompok di atas, tingkat kepemilikan NIK yang rendah juga ditemukan di tengah kelompok masyarakat yang tersembunyi, tersisihkan, serta memiliki mobilitas tinggi, sehingga lebih rentan terpapar dan menyebarkan COVID-19. </p>
<p>Kelompok-kelompok ini adalah penyandang disabilitas, anak yang dikawinkan, penduduk korban bencana alam atau dalam situasi konflik (termasuk pengungsi dan pencari suaka), dan kelompok masyarakat adat atau penghayat kepercayaan. Selain itu, kelompok minoritas lain yang masih mendapatkan stigma dari masyarakat (misalnya transpuan), termasuk juga kelompok yang tinggal di panti, rumah tahanan, di luar rumah tangga tradisional lainnya. </p>
<p>Ketiadaan NIK ini merepresentasikan kerentanan multidimensi. Hambatan mendapatkan dokumen kependudukan memiliki kesamaan dan kaitan yang erat dengan hambatan kelompok rentan dalam mendapatkan kesempatan vaksinasi COVID-19 seputar jarak, informasi, serta hambatan administrasi. </p>
<p>Selain penduduk miskin dan terpencil, NIK bisa jadi belum dimiliki mereka yang tersembunyi dan memiliki mobilitas tinggi, sehingga lebih rentan terpapar dan menyebarkan COVID-19. </p>
<p>Kelompok-kelompok rentan tersebut harus tetap mendapatkan prioritas layanan vaksinasi meski tidak dapat menunjukkan NIK.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang anak menerima vaksin COVID-19 di Bandung, Jawa Barat, pada Agustus 2021.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Raisan Al Farisi/Antara Foto</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Peluang pendataan individu rentan</h2>
<p>Situasi ini sebenarnya adalah peluang untuk mencatat, menemukan, dan melayani individu rentan dengan memadukan layanan vaksinasi dan administrasi kependudukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. </p>
<p>Tawaran jalan keluar dari kami adalah layanan terpadu vaksinasi dan NIK yang melindungi dan mencatat sekaligus.</p>
<p>Ada tiga pendekatan umum yang bisa dipertimbangkan Disdukcapil dan layanan vaksinasi dalam memadukan layanan ini. Keduanya perlu disepakati oleh Kemendagri dan Kemenkes.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, pendekatan kecepatan dan keringkasan. Layanan terpadu vaksinasi dengan pencatatan dan penerbitan NIK dapat dilaksanakan di sentra-sentra vaksinasi tertentu yang menjangkau banyak orang. </p>
<p>Penduduk yang tidak memiliki NIK bisa diminta untuk mendatangi pos vaksinasi tersebut pada waktu tertentu ketika petugas Disdukcapil dapat hadir dan melakukan perekaman data. </p>
<p>Alternatif lain adalah dengan menempatkan tambahan petugas di pos vaksinasi untuk mencatat informasi individu yang tidak memiliki NIK, dan kemudian meneruskan daftar dan informasi ini kepada Disdukcapil untuk ditindaklanjuti. Sebagai pengganti NIK untuk pencatatan status vaksinasi, petugas bisa menerbitkan nomor tiket unik individu yang nantinya akan digantikan dengan NIK.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, pendekatan keaktifan di tingkat komunitas. Layanan administrasi kependudukan dapat dipadukan dengan kegiatan pendaftaran sasaran vaksinasi secara <em>bottom-up</em>. Di level daerah, Disdukcapil setempat dapat menyediakan data dasar penduduk yang berguna bagi Dinas Kesehatan sebagai daftar awal sasaran vaksinasi. Data dasar ini dapat diambil dari data sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) di Disdukcapil atau data pada Buku Induk Kependudukan di desa/kelurahan.</p>
<p>Oleh kader desa, termasuk satgas COVID-19, data dasar ini kemudian diverifikasi dan divalidasi untuk menemukenali penduduk tanpa NIK, memilih data penduduk yang memiliki dan tidak memiliki NIK. </p>
<p>Praktik ini sebetulnya bukan hal yang baru karena beberapa desa sudah memiliki inisiatif mengidentifikasi kelompok rentan tanpa NIK. Artinya, praktik ini sangat mungkin diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia secara lebih luas.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, dispensasi syarat administratif untuk vaksinasi untuk kelompok khusus. Cara ini perlu untuk menjangkau kelompok masyarakat yang mengalami hambatan secara hukum, misalnya ketiadaan bukti domisili atau dokumen prasyarat seperti Kartu Keluarga. </p>
<p>Pandemi tidak akan berlangsung selamanya, namun kesulitan hidup yang dialami kelompok rentan tidak akan berkurang jika tidak ada upaya tambahan dari pemerintah untuk menemukan dan menghubungkan mereka ke layanan dan bantuan yang dibutuhkan. </p>
<p>Melalui program vaksinasi COVID-19, pemerintah Indonesia dapat melindungi seluruh penduduk, sekaligus menemukenali, menjangkau, dan melayani mereka yang tidak memiliki NIK dengan lebih cepat dan efektif. </p>
<p>Melalui pemenuhan hak NIK dan dokumen kependudukan semua jiwa, pemerintah bisa mengelola program pemulihan pasca pandemi secara lebih efektif.</p>
<p><em>Studi-studi dan program yang berkaitan dengan artikel ini terselenggara atas kerja sama PUSKAPA dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan dukungan Pemerintah Australia lewat program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan). Sebelumnya, studi terkait juga didukung oleh AIPJ (Kemitraan Indonesia-Australia untuk Keadilan).</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169728/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Marsha Habib bekerja di PUSKAPA. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Clara Siagian dan Santi Kusumaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tanpa mensyaratkan NIK, pemerintah memperbesar kesetaraan akses pada layanan dasar dan perlindungan yang sangat diperlukan sekarang dan nanti di masa pemulihan pandemi.Marsha Habib, Communication and Relations Manager, PUSKAPAClara Siagian, Senior Researcher, PUSKAPASanti Kusumaningrum, Director, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1699532021-10-14T14:07:02Z2021-10-14T14:07:02ZIklan rokok hantui pelajar dan remaja: mengepung sekolah, membombardir media sosial<iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/3do4fE28YtLJp5sj7s4atm" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Dengan penjualan lebih dari 315 miliar batang rokok per tahun, Indonesia merupakan <a href="https://theconversation.com/disneyland-untuk-industri-rokok-aturan-yang-lemah-buat-generasi-muda-indonesia-kecanduan-rokok-97857">pasar rokok terbesar kedua</a> di dunia setelah Cina.</p>
<p>Untuk mempertahankan dan memperluas pasar ini, berbagai perusahaan rokok gencar mengiklankan dan menjual rokok – terutama pada remaja serta anak muda.</p>
<p>Bahkan, jaringan penjualan industri rokok juga meliputi berbagai <a href="https://theconversation.com/riset-remaja-yang-sekolahnya-dikepung-iklan-rokok-cenderung-lebih-tinggi-merokok-161658">warung dan kios yang sangat dekat dengan lingkungan sekolah</a> di berbagai daerah di Indonesia.</p>
<p>Studi tahun 2019 mengungkap bahwa <a href="https://theconversation.com/riset-iklan-rokok-kepung-sepertiga-sekolah-di-surabaya-kenapa-risma-tidak-melarangnya-124707">30% dari hampir 1.200 sekolah</a> di Surabaya terpapar banyak iklan rokok dalam radius 300 meter. Data tahun 2014 dari <a href="https://www.who.int/southeastasia"><em>Global Youth Tobacco Survey</em></a> menunjukkan 64% pelajar di Indonesia dapat membeli rokok dengan sangat mudah.</p>
<p>Untuk membedahnya secara lebih dalam, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=2d49964fd18c4a29">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami ngobrol dengan Putu Ayu Swandewi, peneliti kesehatan publik di Universitas Udayana, Bali.</p>
<p>Ayu menjelaskan studi yang ia lakukan di Denpasar dan Yogyakarta tentang jaringan retail rokok terutama di lingkungan sekolah, mudahnya akses siswa dan remaja dalam membeli rokok, perbandingan aturan iklan rokok di seluruh dunia, serta hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk meregulasi penjualan rokok dengan lebih ketat.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=2d49964fd18c4a29">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169953/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pada episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Putu Ayu Swandewi, peneliti kesehatan publik di Universitas Udayana, Bali tentang maraknya iklan dan penjualan rokok di lingkungan sekolah.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1681962021-09-17T09:50:15Z2021-09-17T09:50:15ZMembedah ‘childfree’ secara ekonomi: berapa biaya membesarkan anak?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/421831/original/file-20210917-25-m6kjr0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/7BcRj0y9YNjH8OQ6ycsLF1" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Media sosial akhir-akhr ini ramai setelah <a href="https://tirto.id/arti-childfree-dan-hal-yang-harus-dipertimbangkan-menurut-psikolog-giT5">beberapa</a> <a href="https://mojok.co/ajr/pojokan/memutuskan-childfree-kayak-gitasav-nggak-masalah-yang-penting-bukan-demi-terlihat-edgy/">selebritas</a> mengungkapkan keputusan mereka untuk tidak memiliki anak, atau yang sering disebut keputusan untuk “<em>childfree</em>”.</p>
<p>Hal ini kemudian diikuti dengan pro kontra dari warganet.</p>
<p>Tidak sedikit di antara mereka senada untuk tidak memiliki anak. Mereka menyebut berbagai alasan seperti <a href="https://tirto.id/ketika-lingkungan-menjadi-dasar-untuk-tak-punya-anak-dj5d">parahnya krisis iklim</a>, untuk <a href="https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2020/jul/07/dont-know-if-you-want-a-baby-this-is-how-i-found-my-answer">alasan moral</a>, atau sesederhana karena <a href="https://www.reuters.com/world/china/cost-having-child-china-2021-06-01/">mahalnya biaya</a> membesarkan anak.</p>
<p>Meskipun belum ada risetnya di Indonesia, media online Tirto, misalnya, pada tahun 2016 <a href="https://tirto.id/mahalnya-biaya-membesarkan-anak-bofH">mengestimasi</a> bahwa biaya bagi suatu keluarga kelas menengah untuk membesarkan anak di Jakarta bisa menyentuh hingga Rp 3 miliar.</p>
<p>Untuk membedah lebih dalam tentang hal ini, di episode terbaru <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=TWaTIqdvTb2mDvpQkHHZgw&dl_branch=1">podcast #SuarAkademia</a>, editor ekonomi kami, Yessar Rosendar berbicara dengan Lengga Pradipta, peneliti kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).</p>
<p>Lengga menyampaikan berbagai hal, dari berkembangnya tren childfree di Indonesia, biaya ekonomi dalam membesarkan anak, dampaknya pada populasi, hingga stigma yang ada di masyarakat seputar keputusan untuk <em>childfree</em>.</p>
<p>Dengarkan episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=TWaTIqdvTb2mDvpQkHHZgw&dl_branch=1">SuarAkademia</a> - ngobrol seru isu terkini bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168196/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Untuk membedah lebih dalam tentang tren 'childfree', di episode terbaru SuarAkademia, kami berbicara dengan Lengga Pradipta, peneliti kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1604452021-07-23T12:34:15Z2021-07-23T12:34:15ZDistraksi dan privasi: memakai Youtube dan media sosial dalam pembelajaran punya potensi buruk pada anak<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/412863/original/file-20210723-25-e49mc3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=25%2C225%2C5524%2C3037&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/boy-using-silver-macbook-indoors-3401403/">(Pexels/Agung Pandit Wiguna)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sejak bulan April, pemerintah mengalihkan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/04/perluas-akses-belajar-di-masa-covid19-mendikbud-luncurkan-program-belajar-dari-rumah">program Belajar dari Rumah (BDR) di TVRI</a> – tayangan berisi materi belajar untuk siswa – dari siaran televisi menjadi rangkaian video yang bisa <a href="https://www.youtube.com/channel/UCI1kYAAxqfbrFf3mbKwkflA">diakses kapan saja via Youtube</a>.</p>
<p>Ini dilakukan untuk memenuhi keinginan guru dan orang tua yang <a href="https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/produk/infografis/detail/3239/survei-tayangan-program-belajar-dari-rumah-bdr-melalui-tvri-periode-januarifebruari-2021">menginginkan jadwal belajar yang lebih fleksibel</a> saat menemani anaknya belajar.</p>
<p>Memusatkan pembelajaran di media sosial sudah lebih dulu populer <a href="https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/produk/buku/detail/313733/survei-belajar-dari-rumah-tahun-ajaran-20202021">dilakukan oleh 84,3% guru</a> selama belajar dari rumah, dan memang memiliki beberapa dampak positif.</p>
<p>Misalnya, pembelajaran melalui media sosial memiliki biaya yang rendah dan mudah digunakan guru, sehingga <a href="http://klangable.com/uploads/books/99Z_Dron_Anderson-Teaching_Crowds.pdf">mengurangi kesenjangan</a> antara murid pendidikan informal dan sekolah formal. <a href="https://www.researchgate.net/publication/256461661_Learning_20_-_The_Impact_of_Social_Media_on_Learning_in_Europe_Policy_Brief">Riset dari Eropa</a> juga menunjukkan bahwa penggunaan media sosial meningkatkan interaksi murid saat pembelajaran.</p>
<p>Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial secara intensif dalam pembelajaran juga memiliki potensi untuk mendistraksi aktivitas belajar murid serta mengancam privasi mereka.</p>
<p>Apa yang harus diwaspadai orang tua dan guru?</p>
<h2>Lubang distraksi jagad maya</h2>
<p>Memusatkan pembelajaran di media sosial memungkinkan siswa mengakses kegiatan non-akademik saat aktivitas belajar dilakukan – dari permainan <em>online</em> hingga video yang tidak berkaitan dengan kegiatan belajar.</p>
<p><a href="https://edition.cnn.com/2019/10/29/health/common-sense-kids-media-use-report-wellness/index.html">Survei di Amerika</a> pada tahun 2019, misalnya, menunjukkan 29% waktu yang dihabiskan anak dalam sehari di internet adalah untuk <em>multitasking</em> (melakukan beberapa kegiatan sekaligus).</p>
<p>Selain membuka situs belajar atau mencari materi, siswa sering teralihkan fokusnya untuk membuka portal hiburan atau melakukan obrolan di luar pembelajaran melalui aplikasi <em>chat</em>, sehingga <a href="https://ids.ac.id/microsoft-teams-sekarang-kamu-bisa-turn-off-chat-supaya-meetingmu-nggak-terganggu/">mengganggu aktivitas belajar</a>. Sebagian besar <a href="https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/produk/risalah_kebijakan/detail/313732/mengoptimalkan-pemanfaatan-tayangan-bdr-kemendikbud-di-media-sosial-saran-perbaikan-konten-dan-promosi-tayangan">orang tua</a> juga mengeluhkan bagaimana banyak siswa senang berlama-lama dengan gawai mereka meski aktivitas belajar telah usai.</p>
<p>Padahal, <em>multitasking</em> hanya optimal dilakukan pada <a href="https://www.researchgate.net/publication/341991687_Book_Review_The_Myth_of_Multitasking_How_Doing_It_All_Gets_Nothing_Done/link/5ef10c98299bf1faac6f1c65/download">pekerjaan yang berkaitan dan tingkat kesulitannya setara</a>. </p>
<p>Pada aktivitas yang serupa dan berhubungan, otak manusia lebih mudah mencerna informasi. Misalnya, kegiatan membaca lebih efektif jika bersamaan dengan mendengar penjelasan terhadap materi tersebut, ketimbang mendengarkan tayangan lain di luar aktivitas belajar.</p>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/1541-4329.12206">Riset</a> menemukan bahwa saat anak tidak <a href="https://www.sciencedaily.com/releases/2020/10/201014140932.htm">fokus pada satu tipe pekerjaan</a> ketika belajar, daya konsentrasi mereka menjadi menurun.</p>
<p>Lebih dari sekadar mengalami gangguan fokus, memindahkan tayangan program pembelajaran ke Youtube bahkan berpotensi membuat banyak anak menunda waktu belajar (<em>procrastinating</em>).</p>
<p><a href="https://www.telegraph.co.uk/education/2018/02/23/youtube-bigger-distraction-childrens-homework-television-survey/">Survei di Inggris pada tahun 2018</a> pada 2000 siswa berusia 11-15 tahun menunjukkan bahwa YouTube lebih menganggu pembelajaran ketimbang televisi. Anak-anak yang disurvei menyatakan mereka rela menunda aktivitas belajar demi menonton video Youtube.</p>
<h2>Privasi anak sangat berharga</h2>
<p>Semenjak <em>online learning</em> intensif dilakukan, proses pembelajaran yang dilakukan guru di Youtube atau media sosial lain semakin meningkat.</p>
<p>Akibatnya, semakin banyak siswa yang juga harus memuat data-data yang harusnya bersifat pribadi – foto, tempat sekolah, terkadang juga kontak – misalnya dengan mendaftar akun baru atau mengunggah video perkenalan diri untuk pelajaran bahasa Inggris.</p>
<p>Riset menunjukkan siswa yang menggunakan media sosial <a href="https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/viewFile/2114/89">kebanyakan tidak menutup identitas pribadi</a> atau menyeleksi akses orang lain terhadap akun media sosial mereka.</p>
<p>Pada anak, hal ini <a href="http://web.mit.edu/writing/2012/July_Summary_Readings/Impact_of_Social_Media_on_Children_and_their_Families.pdf">menjadi lebih rawan karena mengekspos mereka</a> pada <a href="https://theconversation.com/merunut-lemahnya-hukum-cyberbullying-di-indonesia-110097"><em>cyberbullying</em> (perundungan digital)</a>, <a href="https://theconversation.com/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-152230">pelecehan</a>, <em>sexting</em> (kiriman pesan berbau seksual), serta pelanggaran lain ketika usia mereka belum dewasa.</p>
<p>Kebanyakan media sosial sebenarnya memiliki <a href="https://kumparan.com/kumparantech/wacana-batas-usia-anak-pengguna-media-sosial-ini-aturan-umur-di-facebook-dkk-1ugNtRJX4x7">batasan usia minimal</a> bagi seseorang untuk membuat akun secara mandiri. Ini dilakukan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan data pribadi khususnya pada anak-anak.</p>
<p>Ironisnya, akibat dorongan pembelajaran di media sosial, tidak sedikit orang tua yang justru <a href="https://scholarship.law.ufl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1796&context=facultypub">secara sadar membagikan informasi anak mereka</a> ketika membuatkan akun di media sosial.</p>
<h2>Yang bisa dilakukan orang tua dan guru</h2>
<p>Beberapa hal bisa dilakukan untuk mengurangi berbagai potensi buruk di atas ketika belajar dilakukan melalui media sosial.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, sekolah harus mendorong guru untuk mampu mengidentifikasi tujuan dan kebutuhan belajar siswa, untuk memastikan apakah media sosial memang perlu digunakan atau tidak.</p>
<p>Riset terhadap <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED579683.pdf">siswa sekolah vokasi di Australia pada tahun 2017</a> menunjukkan bahwa keputusan memilih media sosial dalam pembelajaran hanya diambil ketika ada relevansi yang jelas antara media sosial dengan pekerjaan mereka di masa depan.</p>
<p>Misalnya, siswa bidang pemasaran lebih menyukai menggunakan Instagram dan Twitter karena <em>platform</em> ini lebih banyak digunakan publik untuk mempromosikan produk dan penyelenggaraan acara.</p>
<p>Media sosial juga bisa digunakan untuk mendorong siswa mengembangkan diri melalui <a href="https://www.researchgate.net/publication/260165119_The_Enlightenment_meets_Twitter_Using_social_media_in_the_social_studies_classroom">komunitas dengan keilmuan yang sama</a>. Saat pelajaran seni, misalnya, siswa bisa mencari jaringan komunitas seni atau tergabung dalam <a href="https://mejaseni.com/"><em>platform</em></a> <a href="https://gahita.com/">pembelajaran seni</a> untuk belajar langsung dari sumbernya.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, guru juga harus meningkatkan kompetensi mereka untuk melakukan pendampingan dan asesmen pembelajaran melalui media sosial.</p>
<p><a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED579683.pdf">Riset tahun 2017</a>, misalnya, menemukan bahwa sebagian besar guru di Australia berharap mendapatkan pelatihan formal terkait pembelajaran menggunakan media sosial.</p>
<p>Media sosial sebaiknya tidak hanya dijadikan sekadar alat untuk belajar tapi benar-benar bagian penting dalam kurikulum dan rencana belajar – sehingga hal-hal seperti distraksi dan pelanggaran privasi sudah diantisipasi sejak awal.</p>
<p>Sayangnya, kompetensi pembelajaran berbasis media sosial juga belum ada dalam pendidikan di universitas keguruan atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, orang tua juga memegang peran penting dalam mendampingi aktivitas belajar siswa di media sosial, terutama mengatur batasan waktu dan durasi penggunaannya.</p>
<p>Mereka harus membangun <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180322180229-282-285136/5-cara-efektif-kontrol-pemakaian-ponsel-pada-anak">komitmen dan kesepakatan</a> dua arah dengan anak mengenai waktu penggunaan gawai, batasan penggunaan internet, dan alasan mengapa perlu adanya pembatasan tersebut. Di sini, orang tua juga perlu memberi penghargaan pada anak ketika konsisten menjalankan komitmen yang telah disepakati tersebut.</p>
<p>Selain itu, orang tua juga perlu memiliki pengalaman menggunakan media sosial agar dapat mewaspadai potensi negatif media sosial seperti <a href="https://theconversation.com/merunut-lemahnya-hukum-cyberbullying-di-indonesia-110097"><em>cyberbullying</em></a>, maupun <a href="https://theconversation.com/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-152230">pelecehan dan <em>sexting</em></a> yang mungkin terjadi.</p>
<p>Ketika mendampingi, misalnya, orang tua dapat membangun dialog dengan anak untuk menjelaskan potensi kekerasan melalui media sosial, dan mengapa penting menjaga privasi dari publik.</p>
<p>Memaksakan diri untuk masuk ke dalam jaringan pertemanan media sosial anak <a href="https://www.pewresearch.org/internet/2011/11/09/part-4-the-role-of-parents-in-digital-safekeeping-and-advice-giving/">tidak akan efektif</a> dalam mendeteksi ancaman media sosial, apalagi jika orang tua melakukan itu tanpa mengajak anak aktif berdiskusi tentang aktivitas <em>online</em> mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/160445/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggunaan media sosial secara intensif dalam pembelajaran memiliki potensi untuk mendistraksi aktivitas belajar murid serta mengancam privasi mereka. Apa yang harus diwaspadai orang tua dan guru?Diyan Nur Rakhmah, Peneliti, Indonesian Education Standard, Curriculum, and Assessment Agency (BSKAP Kemdikbudristek)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1644902021-07-21T07:19:40Z2021-07-21T07:19:40ZBagaimana melibatkan anak-anak secara bermakna dalam penelitian?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/412042/original/file-20210720-27-c9v36s.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4744%2C3158&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anak-anak adalah ahli dalam kehidupan mereka sendiri </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/tt9CML2XWyU?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink">Arwan Sutanto/Unsplash</a></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini terbit berkat kerjasama <a href="http://puskapa.org/en/">PUSKAPA</a> dan The Conversation Indonesia, dan merupakan artikel pertama dari serial dua artikel tentang etika, peluang, dan tantangan dalam melibatkan anak dalam penelitian.</em></p>
<p>Berbagai isu seputar anak - dari proses pembelajaran, kekerasan terhadap anak, hingga isu kerja di bawah umur - semakin sering diangkat ke ranah publik, seiring dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya menjamin pemenuhan hak anak. Sejalan dengan itu, meningkat pula minat untuk mempelajari kehidupan dan kondisi anak melalui berbagai penelitian. </p>
<p>Pada umumnya, riset yang mengeksplorasi kehidupan anak dilakukan melalui dialog dengan orang dewasa – baik itu orang tua, wali, guru, dokter, dan sebagainya – yang bertindak sebagai wakil anak. Namun, pihak-pihak yang mewakili mereka tidak selalu dapat mengartikulasikan dengan baik pemikiran dan pengalaman anak-anak yang menjadi fokus penelitian tersebut. </p>
<p>Semakin banyak <a href="https://journals.lww.com/jbisrir/fulltext/2017/06000/Why_we_need_to_research_with_children,_not_on.1.aspx">wacana</a> mengenai pentingnya mendengarkan anak-anak secara langsung untuk memahami pengalaman dan cara pandang mereka dalam suatu penelitian. Namun, mengikutsertakan anak dalam penelitian tidak serta-merta membuat sebuah penelitian bermakna jika tidak disertai perencanaan metodologi dan persiapan etik yang tepat.</p>
<p>Yang perlu diwujudkan adalah suatu penelitian yang melibatkan anak secara aktif, bukan saja sebagai objek yang diteliti. Inilah yang disebut dengan ‘penelitian partisipatif anak’. </p>
<p>Partisipasi anak secara bermakna diperlukan karena kebutuhan dan potensi anak akan terpenuhi secara memadai jika orang dewasa memahami posisi anak serta mendengarkan suara dan pengalaman mereka.</p>
<h2>Model partisipasi anak dalam penelitian</h2>
<p>Pada penelitian ini anak berpartisipasi langsung tanpa perantara dan tidak hanya sebagai responden yang harus menyesuaikan diri dengan norma-norma penelitian tradisional orang dewasa. </p>
<p>Partisipasi anak secara bermakna diwujudkan melalui penelitian yang dibuat lebih kolaboratif dan demokratis, yang memungkinkan anak untuk mengambil peran dalam menentukan jalannya penelitian. </p>
<p><a href="https://smeru.or.id/id/content/studi-baseline-pekerja-anak-di-daerah-perkebunan-tembakau-di-indonesia">Riset seperti ini</a> memerlukan komitmen dari peneliti untuk memahami pengalaman dan cara pandang anak dan menempatkan pengalaman ini setara atau sama berharganya dengan cara pandang atau pengalaman orang dewasa. </p>
<p>Selain itu, peneliti perlu merancang metodologi dan agenda penelitian sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak dan menjalankannya secara etis. </p>
<p>Ada tiga model partisipasi langsung anak dalam penelitian, yaitu sebagai konsultan, sebagai kolaborator, dan sebagai peneliti utama. Peneliti perlu memutuskan jenis keterlibatan langsung yang ingin lakukan dengan anak pada awal proses penelitian.</p>
<p>Anak dapat bertindak sebagai konsultan untuk riset dan memberikan rekomendasi mereka untuk membantu peneliti membuat keputusan penting. Bantuan dari anak dapat diminta di seluruh tahap proses penelitian dan bisa menjadi sangat penting pada tahap pengembangan.</p>
<p>Dalam hal anak sebagai kolaborator (termasuk sebagai peserta aktif), anak mengarahkan satu, beberapa, atau semua tahap proses penelitian bersama dengan peneliti dewasa. Selain itu, mereka mungkin terlibat dalam membentuk desain penelitian, memilih metode, mengumpulkan dan menganalisis data, atau bahkan menulis dan menyebarkan laporan.</p>
<p>Jika anak sebagai peneliti utama, anak bertanggung jawab untuk memimpin semua tahap penelitian dengan sekelompok teman sebaya dengan dukungan dari peneliti dewasa. </p>
<h2>Merancang metode penelitian yang nyaman dan etis bagi anak</h2>
<p>Anak perlu merasa nyaman dalam mengekspresikan pandangan mereka agar dapat berkontribusi secara bermakna. Oleh karena itu, metodologi dan metode harus diadaptasikan sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta anak dalam studi.</p>
<p>Di samping itu, partisipasi anak harus diwujudkan secara etis dan bertanggung jawab tanpa mengorbankan ketelitian intelektual penelitian. </p>
<p>Ada tujuh prinsip utama penelitian yang etis dengan anak, yaitu rasa hormat, tidak merugikan (<em>do no harm</em>) dan berbuat baik (<em>do good</em>), keadilan, kepentingan terbaik anak, kesukarelaan, kerahasiaan (termasuk, privasi dan anonimitas), serta hak untuk didengarkan dan diteliti dengan patut. </p>
<p>Terkait dengan prinsip kerahasiaan, privasi dan anonimitas, sebagai bagian dari persetujuan (<em>informed consent</em>) peneliti harus menjelaskan siapa yang akan memiliki akses pada informasi yang dibagikan oleh peserta selama penelitian, serta apa yang akan dilakukan terhadap data tersebut setelah penelitian selesai. </p>
<p>Sebagian besar penelitian yang melibatkan anak sebagai informannya menerapkan persetujuan ganda (<em>dual consent</em>), yaitu mencari persetujuan baik dari anak maupun orang tua, pengasuh, atau wali. Dengan menggunakan persetujuan ganda, penelitian memastikan bahwa seorang anak dapat berpartisipasi hanya jika anak tersebut dan orang tua atau wali mereka telah menyetujui keterlibatan mereka dalam penelitian tersebut.</p>
<p>Terkait dengan prinsip ‘tidak merugikan’, peneliti wajib untuk mengambil tindakan yang dibutuhkan untuk meminimalkan potensi dampak negatif dari suatu penelitian terhadap partisipan. </p>
<p>Selalu ada kemungkinan bahwa peneliti dan penelitian membawa kerugian atau bahaya bagi partisipan anak-anak dan komunitasnya. Tak kalah penting untuk dipahami bahwa kerugian atau bahaya tersebut bisa bermacam-macam, termasuk psikologis, sosial-budaya, ekonomi, serta hukum-politik.</p>
<h2>Mengapa anak perlu berpartisipasi secara bermakna dalam penelitian?</h2>
<p>Perlunya partisipasi anak secara bermakna dalam penelitian berangkat dari pemahaman bahwa orang tua atau pengasuh tidak mampu mewakili anak sepenuhnya. </p>
<p>Anak merupakan ahli dalam kehidupan mereka, dan tidak ada perantara yang dapat benar-benar mewakili suara mereka selain diri mereka sendiri. </p>
<p>Melibatkan anak dalam penelitian juga merupakan suatu bentuk perwujudan hak asasi anak, khususnya hak untuk mengemukakan pendapat seperti yang tertuang dalam <a href="https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/crc.aspx">Konvensi Hak Anak (KHA)</a>. Anak juga memiliki hak agar pendapatnya didengar dan dipertimbangkan dalam keputusan yang menyangkut dirinya atau anak-anak lain, termasuk dalam penelitian yang menyangkut mereka. </p>
<p>Dari segi manfaat, partisipasi anak secara bermakna dalam penelitian mendatangkan berbagai hal positif. Pertama, data dan temuan yang dihasilkan akan lebih menggambarkan kenyataan pengalaman hidup dan cara pandang anak.</p>
<p>Lewat temuan yang lebih merefleksikan pengalaman dan pandangan anak, penelitian partisipatif anak diharapkan dapat mendukung perencanaan dan implementasi program yang lebih baik bagi anak dan komunitasnya. </p>
<p>Ada pula beberapa potensi manfaat praktis lainnya dari partisipasi anak secara aktif, yaitu menciptakan persahabatan baru, serta mengembangkan keterampilan dan potensi baru bagi anak. </p>
<p>Penelitian partisipatif dapat menawarkan lingkungan belajar bagi anak-anak yang terlibat secara aktif dalam penelitian. Ketika anak-anak dilibatkan sebagai rekan peneliti, mereka mempelajari keterampilan tertentu yang bermanfaat untuk perjalanan hidup mereka kelak. </p>
<p>Dalam penelitian yang berorientasi aksi, partisipasi aktif anak-anak tidak hanya berpotensi menciptakan perubahan positif pada topik tertentu tapi juga dapat menjadi bukti bahwa anak-anak memiliki kapasitas untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, sehingga membuka lebih banyak ruang untuk partisipasi publik.</p>
<h2>Risiko yang dapat timbul saat melibatkan anak dalam penelitian</h2>
<p>Penelitian yang melibatkan anak-anak akan menghadapi sejumlah risiko, terutama saat peneliti mengeksplorasi topik sensitif, seperti kekerasan, kesehatan reproduksi, aktivitas kriminal, atau kerja di bawah umur.</p>
<p>Anak-anak bisa jadi lebih rentan dan memiliki risiko yang lebih besar dan berbeda dengan orang dewasa karena karakteristik atau status sosial mereka. </p>
<p>Ada kalanya penelitian justru mengungkap sejumlah isu perlindungan anak, baik di antara partisipan atau individu yang terkait dengannya, termasuk kekerasan, pelecehan, eksploitasi kerja dan seksual, dan penelantaran. </p>
<p>Risiko juga dapat muncul dari berbagai pertanyaan yang diajukan. Panduan praktis yang baik adalah memulai dengan pertanyaan yang umum dan baru melanjutkan ke pertanyaan yang lebih sensitif hanya setelah kepercayaan diperoleh, hubungan baik dibangun, dan privasi terjamin. </p>
<p>Sangat penting bagi para peneliti untuk mengidentifikasi jenis risiko apa yang dapat timbul dan berdampak pada anak-anak dari partisipasi mereka dalam suatu penelitian.</p>
<p>Untuk membantu mengidentifikasi potensi risiko, ancaman, dan dilema etika, Dewan atau Komite Etik dapat membantu tim studi. Selain Komite Etik, kelompok eksternal yang terdiri dari orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat dan berbagai keahlian, termasuk peneliti yang berpengalaman dalam topik dan geografi yang dipelajari, dapat membantu mengidentifikasi risiko, tantangan, dan dilema multidimensi yang terkadang dilupakan atau diabaikan oleh peneliti. </p>
<p>Ada berbagai metode yang dapat dipakai untuk mengurangi risiko selama pengumpulan data. Beberapa di antaranya adalah mengubah cara mengajukan pertanyaan atau menemukan tempat yang aman untuk berinteraksi dengan anak-anak yang berpartisipasi. </p>
<p>Namun, rencana mitigasi harus selalu jelas dan disetujui. Sangat penting untuk memastikan semua protokol penelitian yang melibatkan anak telah menyertakan rencana rinci untuk mencegah dan mengurangi masalah keamanan, mengatasi dilema metodologis dan etika yang mungkin muncul, serta menyertakan rujukan berisi kontak layanan yang relevan.</p>
<hr>
<p><em>Jika Anda tertarik mengikuti diskusi soal etika, peluang, dan tantangan melibatkan anak dalam penelitian yang diadakan PUSKAPA bersama The Conversation Indonesia, UNICEF Indonesia, dan CPC Learning Network at Columbia University, silakan daftar <a href="http://bit.ly/anak-dalam-riset">di sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/164490/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Clara Siagian terafiliasi dengan PUSKAPA dan adalah mahasiswa doktoral di Australian National University</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Marsha Habib terafiliasi dengan PUSKAPA.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Santi Kusumaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Partisipasi anak secara bermakna diperlukan karena kebutuhan dan potensi anak akan terpenuhi secara memadai jika orang dewasa memahami posisi anak serta mendengarkan suara dan pengalaman mereka.Clara Siagian, Senior Researcher, Center on Child Protection and Wellbeing (PUSKAPA); Ph.D. candidate, Australian National University, Universitas IndonesiaMarsha Habib, Communication and Relations Manager, PUSKAPASanti Kusumaningrum, Director, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1641682021-07-08T11:03:50Z2021-07-08T11:03:50ZWacana blokir PUBG karena alasan “kekerasan”: apa kata sains tentang dampak video game?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/410330/original/file-20210708-13-y4mxxu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">antarafoto pajak untuk game online dr</span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/2KF4ZNQxxFO0HLtWZngrmg?theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Akhir bulan lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mempertimbangkan <a href="https://www.antaranews.com/berita/2231634/kominfo-pertimbangkan-permintaan-blokir-pubg">memblokir beberapa <em>game online</em></a> termasuk permainan baku tembak seperti <em>Player Unknown’s Battlegrounds</em> (PUBG), dan permainan arena tempur seperti <em>Mobile Legends</em>.</p>
<p>Niatan tersebut muncul setelah Kominfo menerima pengaduan bupati di Provinsi Bengkulu yang mengatakan <em>game</em> tersebut <a href="https://www.antaranews.com/berita/2231634/kominfo-pertimbangkan-permintaan-blokir-pubg">berdampak negatif</a> terhadap tumbuh kembang anak.</p>
<p>Hal ini menambah daftar panjang wacana pemerintah untuk mencoba membatasi akses masyarakat terhadap <em>game online</em>.</p>
<p>Pada tahun 2019, misalnya, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh <a href="https://theconversation.com/wacana-fatwa-haram-pubg-adalah-reaksi-berlebihan-yang-minim-landasan-ilmiah-peneliti-121510">memberikan fatwa haram</a> terhadap PUBG karena dianggap <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/06/20/15462891/5-fakta-pubg-haram-di-aceh-sarankan-untuk-diblokir-hingga-ancam-simbol-agama?page=1">memicu kebrutalan pada anak-anak dan dapat melecehkan simbol-simbol Islam</a> – disusul keinginan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerapkan fatwa itu secara nasional. </p>
<p>Tapi, benarkah <em>video game</em> menimbulkan perilaku kekerasan? Dan apakah pengaturan game di Indonesia oleh pemerintah via pemblokiran adalah kebijakan yang efektif?</p>
<p>Untuk menjawabnya, di episode terbaru SuarAkademia, kami berbicara dengan <a href="https://hws.academia.edu/iskandarzulkarnain">Iskandar Zulkarnain</a>, peneliti budaya <em>game</em> global dari Hobart and William Smith Colleges di New York, Amerika Serikat (AS).</p>
<p>Iskandar, atau yang lebih akrab dipanggil “Izul” ini, menjelaskan tentang sejarah kepanikan moral pemerintah terhadap media baru dari masa ke masa, riset-riset tentang hubungan <em>game</em> dan kekerasan, serta membandingkan regulasi <em>game</em> di berbagai negara.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=PIac0HSuTMilM3B_L_pIPA&dl_branch=1">podcast SuarAkademia</a> - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/164168/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Apakah video game berdampak negatif pada perkembangan anak? Di episode ini, kami ngobrol dengan Iskandar Zulkarnain, peneliti budaya game dari Hobart & William Smith Colleges di Amerika Serikat (AS).Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1635802021-06-29T09:42:01Z2021-06-29T09:42:01ZMitos keliru soal sifat anak tunggal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/408857/original/file-20210629-17-3w5b85.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=135%2C65%2C1467%2C1011&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">M Risyal Hidayat/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Anak tunggal sering mendapat anggapan jelek. Mereka sering <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/j.1556-6678.2006.tb00405.x">dianggap</a> egois, manja, sering cemas, tidak mudah bergaul, dan kesepian.</p>
<p>Bidang ilmu saya, yaitu psikologi, mungkin bertanggung jawab atas sebagian stereotip negatif ini. Bahkan, Granville Stanley Hall, salah satu psikolog paling berpengaruh dalam seratus tahun terakhir dan juga presiden pertama Asosiasi Psikologi Amerika (American Psychological Association atau APA) sempat berujar bahwa “menjadi anak tunggal adalah penyakit”.</p>
<p>Untungnya, kita telah memiliki banyak kemajuan. Penelitian pada hampir <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1948550619870785">2.000 orang dewasa di Jerman</a> menemukan bahwa anak tunggal tidaklah lebih narsis dibanding mereka yang bersaudara. Penelitian itu diberi judul “Mengakhiri Stereotip”.</p>
<p>Namun banyak stereotip lain masih bertahan. Mari kita tengok bagaimana penelitian yang ada terkait itu.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=817&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=817&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=817&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1027&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1027&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/300488/original/file-20191106-12474-1peoy38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1027&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Stanley Hall memiliki pandangan buruk soal anak tunggal.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://ihm.nlm.nih.gov/images/B13583">Frederick Gutekunst/Wikimedia Commons</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dari sisi <a href="https://www.jstor.org/stable/352302?seq=1#page_scan_tab_contents">kepribadian</a>, tidak ada perbedaan antara anak tunggal dan anak yang memiliki saudara dalam hal ekstroversi, kedewasaan, kemampuan kerja sama, otonomi, kontrol diri, dan kepemimpinan.</p>
<p>Bahkan, anak tunggal cenderung memiliki motivasi lebih tinggi untuk meraih sesuatu (diukur dari aspirasi, usaha, dan keteguhan) dan kemampuan menyesuaikan diri (menyesuaikan dengan lingkungan baru) dibanding orang yang memiliki saudara.</p>
<p>Motivasi yang lebih tinggi pada anak tunggal dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung menempuh <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00224545.1995.9712218">pendidikan</a> lebih banyak dan menduduki <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00223989909599759">pekerjaan</a> berstatus lebih tinggi.</p>
<h2>Lebih pintar dalam masa tertentu</h2>
<p>Beberapa penelitian menemukan bahwa anak tunggal cenderung memiliki kecerdasan lebih dan meraih prestasi akademik lebih tinggi. </p>
<p>Kajian 115 penelitian yang membandingkan intelegensi orang dengan atau tanpa saudara menemukan bahwa anak tunggal memiliki nilai tes IQ lebih tinggi dan lebih berprestasi dibanding orang yang memiliki banyak saudara atau memiliki satu saudara lebih tua.</p>
<p>Satu-satunya kelompok yang memiliki performa lebih baik dalam hal intelegensi dan capaian akademik adalah anak pertama dan mereka yang hanya punya satu kakak.</p>
<p>Penting digarisbawahi bahwa perbedaan ini cenderung ditemukan pada usia prasekolah, dan berkurang pada usia kuliah. Ini menyiratkan bahwa perbedaan yang ada semakin berkurang seiring bertambahnya usia.</p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/profile/Denise_Polit/publication/232576074_Quantitative_Review_of_the_Only_Child_Literature_Research_Evidence_and_Theory_Development/links/0c960522f54b441b73000000.pdf">Kesehatan mental</a> juga diteliti. Lagi-lagi, tidak ada perbedaan di antara kedua kelompok dalam tingkatan kecemasan, rasa harga diri, dan masalah perilaku.</p>
<p>Anak tunggal telah lama dianggap merasa kesepian dan kesulitan berteman. Penelitian telah membandingkan hubungan sebaya dan pertemanan selama sekolah dasar antara anak tunggal, anak pertama dengan satu saudara, dan anak kedua dengan satu saudara. </p>
<p>Temuan menunjukkan bahwa anak tunggal memiliki jumlah teman yang sama dan kualitas pertemanan serupa dengan kelompok lain. </p>
<h2>Anak tunggal lebih baik?</h2>
<p>Secara keseluruhan, temuan-temuan ini tampaknya menunjukkan bahwa memiliki kakak atau adik tidak berpengaruh besar dalam pertumbuhan kita. Bahkan saat ada perbedaan, justru kemungkinan anak tunggal lebih baik. Mengapa demikian?</p>
<p>Tidak seperti anak dengan saudara, anak tunggal menerima perhatian penuh, cinta kasih dan sumber daya materi dari orang tua selama hidupnya. Situasi ini selalu diasumsikan membawa dampak negatif bagi anak tunggal karena membuat mereka manja dan tidak mudah menyesuaikan diri. </p>
<p>Namun, situasi ini juga menunjukkan tidak adanya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya dari orang tua yang mungkin justru menguntungkan bagi anak-anak.</p>
<p>Karena jumlah keluarga dengan satu anak <a href="https://www.theguardian.com/news/datablog/2013/mar/25/family-size">meningkat</a> di seluruh dunia, sudah waktunya untuk menghentikan stigma pada anak tunggal dan orang tua yang memilih untuk punya hanya satu anak.</p>
<p>Anak tunggal tampaknya menjalani hidup baik-baik saja, bahkan lebih baik, dibanding mereka yang memiliki kakak atau adik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163580/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ana Aznar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak tunggal tidaklah banyak berbeda dengan orang-orang lain yang hidup bersaudara.Ana Aznar, Lecturer in Psychology, University of WinchesterLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1591462021-06-17T05:30:32Z2021-06-17T05:30:32ZIndonesia darurat (data) kekerasan terhadap anak<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/403983/original/file-20210602-16-vs6m76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C282%2C2573%2C1706&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Widodo S Jusuf/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kita sering mendengar pernyataan Indonesia darurat kekerasan terhadap anak. Ungkapan ini umumnya kita <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/5272/indonesia-daruratkekerasan-pada-anak/0/sorotan_media">dengar</a> pada sekitar peringatan Hari Anak Nasional atau Hari Ibu dari <a href="https://nasional.kompas.com/read/2016/05/10/18200551/Jokowi.Putuskan.Kekerasan.Seksual.terhadap.Anak.Kejahatan.Luar.Biasa?page=all">mulut pejabat negara</a>.</p>
<p>Apa arti darurat di sini? Apakah Indonesia negara yang tidak aman untuk ditinggali anak-anak? Sebelum terburu-buru panik apalagi berencana pindah negara, ada baiknya kita telaah lagi apa yang menjadi dasar pernyataan tersebut. </p>
<p>Apa buktinya jika Indonesia berada dalam keadaan darurat kekerasan terhadap anak?
Salah satu cara mengetahuinya adalah dengan menilik data kekerasan yang Indonesia miliki.</p>
<p>Sayangnya, data kekerasan yang kita miliki di Indonesia masih jauh dari sempurna dan tidak cukup untuk menjadi acuan kebijakan. </p>
<h2>Dua jenis data yang ada</h2>
<p>Ada dua jenis data kekerasan terhadap anak yang menjadi acuan pengambil kebijakan di Indonesia. </p>
<p>Pertama adalah data survei nasional untuk mengetahui besaran kasus kekerasan terhadap anak, faktor risiko, dan akses masyarakat terhadap layanan penanganan kasus. </p>
<p>Indonesia telah dua kali mengumpulkan data survei nasional kekerasan terhadap anak, <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/0e33f-skta-2013.pdf">pada 2013</a> dan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/49b98-infografis-snphar-2018.pdf">2018</a>. <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3032/kemen-pppa-dan-bps-bahas-persiapan-sphpn-snphar-dan-ipa-tahun-2021">Kabarnya</a> survei sejenis akan diselenggarakan kembali tahun ini.</p>
<p>Kedua adalah data laporan kasus yang dikumpulkan oleh penyedia layanan respons kasus. Salah satunya adalah SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).</p>
<p>Apa perbedaan kedua data tersebut, dan mengapa kita perlu keduanya?</p>
<p>Data laporan kasus dapat digunakan kapan pun oleh pengambil kebijakan karena data ini terus diperbaharui seiring dengan laporan yang masuk. Di sisi lain, tidak perlu biaya tambahan untuk mengumpulkan data seperti survei. </p>
<p>Melalui data ini, kita juga bisa melihat perubahan tren pelaporan kasus dari waktu ke waktu. </p>
<p>Misalnya, saat pandemi COVID-19, berbagai literatur memperkirakan <a href="https://theconversation.com/angka-kdrt-di-indonesia-meningkat-sejak-pandemi-covid-19-penyebab-dan-cara-mengatasinya-144001">peningkatan kekerasan dalam rumah tangga</a> (KDRT) karena kebijakan yang membatasi ruang gerak anak dan perempuan. </p>
<p>Namun, jika data laporan kasus tiba-tiba menurun, maka bisa diasumsikan banyak kasus tidak terlaporkan selama masa pandemi. Salah satu penyebabnya mungkin karena layanan yang tutup atau sulit diakses karena keterbatasan ruang gerak akibat pembatasan sosial.</p>
<p>Sementara itu, data survei nasional akan memberi kita gambaran situasi kasus yang tidak terlaporkan ke layanan, sekaligus alasan korban tidak melapor. </p>
<p>Data survei menggunakan metode pengambilan sampel statistik yang mampu mewakili populasi masyarakat dan memberikan analisis yang tidak mampu ditangkap oleh data laporan kasus. </p>
<p>Melalui survei, kita juga bisa mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan kasus kekerasan yang berguna untuk pencegahan kasus di masa depan. </p>
<p>Namun, karena biayanya cukup besar dan prosesnya rumit, maka survei kekerasan terhadap anak tidak dilaksanakan setiap tahun. </p>
<p>Kesimpulannya, kedua data dapat melengkapi satu sama lain, jika datanya akurat dan digunakan dengan tepat. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tantangan-dalam-pengungkapan-dan-penanganan-kasus-kejahatan-seksual-pada-setahun-pandemi-covid-19-159828">Tantangan dalam pengungkapan dan penanganan kasus kejahatan seksual pada setahun pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Publikasi data setengah matang</h2>
<p>Meski pemerintah sudah merampungkan survei kekerasan terhadap anak pada 2018, namun sampai sekarang publikasinya masih terbatas. </p>
<p>Informasi publik dari hasil survei tersebut hanya berbentuk <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/49b98-infografis-snphar-2018.pdf">infografis</a> dan <a href="https://sidiaperka.kemenpppa.go.id/wp-content/uploads/2019/11/rev3__Slide-Infografis-SNPHAR-2018ZZ.pdf">presentasi</a>, alih-alih laporan lengkap. </p>
<p>Jika kita lihat isinya, informasi yang diberikan masih deskriptif, seputar karakteristik korban dan pelaku, lokasi kejadian, dan akses pada layanan. </p>
<p>Padahal, jika kita melihat komponen yang diteliti dalam survei, ada banyak informasi yang bisa digali, seperti faktor risiko, kondisi kesehatan mental korban, dan kualitas respons layanan. </p>
<p>Lalu, bagaimana informasi terbatas itu akhirnya digunakan untuk merencanakan kebijakan? Apakah prevalensi (proporsi kasus di populasi masyarakat) saja cukup? Padahal melakukan survei yang melibatkan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/49b98-infografis-snphar-2018.pdf">11 ribu rumah tangga di 32 provinsi</a> tentu tidak murah dan tidak mudah.</p>
<p>Harapan untuk punya data survei kekerasan yang bisa dimanfaatkan oleh publik mungkin hanya sebatas angan-angan peneliti seperti kami. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=286&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=286&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=286&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=359&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=359&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/405611/original/file-20210610-25-17dxpif.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=359&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah cuplikan dari infografis Survei Nasional Pengalaman Hidup.
Anak dan Remaja tahun 2018.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/49b98-infografis-snphar-2018.pdf">SNPHAR 2018</a></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melindungi-anak-anak-dan-remaja-dari-kekerasan-di-media-133794">Melindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Data terpecah-pecah dan belum lengkap</h2>
<p>Selain KPPPA, ada lembaga lain yang juga merespons kasus, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak, atau yayasan swasta. </p>
<p>Idealnya, semua data laporan kasus dikumpulkan terpusat agar kasus dapat terpantau dan layanan dievaluasi dengan standar yang sama. </p>
<p>Nyatanya, data yang kita miliki saat ini masih tersebar di berbagai layanan pemerintah dan swasta. Ironisnya, data survei 2018 menemukan bahwa hanya satu dari tiga responden survei yang tahu ada layanan rujukan kekerasan.</p>
<p>Data laporan kasus juga belum mencakup jenis kekerasan yang terjadi secara daring, seperti cyber-bullying, padahal <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/icoie-20/125948032">risikonya terus meningkat</a> seiring dengan meningkatnya penggunaan gawai, apalagi di masa pandemi.</p>
<h2>Dilema peneliti</h2>
<p>Di luar masalah publikasi dan kelengkapan data, kami sebagai peneliti tidak terlalu suka dengan metode survei nasional untuk penelitian bertopik sensitif. Ini mungkin terdengar aneh.</p>
<p>Survei dengan topik sensitif seperti kekerasan terhadap anak bukanlah tanpa risiko. Peneliti kemungkinan besar akan menemukan kasus-kasus kekerasan yang tidak terlaporkan pada responden atau subjek penelitian.</p>
<p>Jika menemui kasus seperti itu, maka sesuai dengan etika penelitian, peneliti wajib memberikan informasi mengenai layanan bantuan yang bisa diakses responden.</p>
<p>Tapi layanan rujukan yang tersedia saat ini belum merata dan sering kali sulit diakses. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/151">data pemerintah</a>, pada 2020 tersedia 37 Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di level kabupaten/kota yang bertugas untuk merespons kasus kekerasan perempuan dan anak. Jumlah ini tentu tidak cukup untuk melayani 514 kabupaten/kota di Indonesia. </p>
<p>Padahal, layanan seharusnya berada sedekat mungkin dengan tempat tinggal masyarakat yang membutuhkan. </p>
<p>Kondisi ini cukup berbahaya karena artinya peneliti akan mengungkap kasus-kasus yang tidak terlaporkan, namun tidak berdaya untuk membantu responden mengakses layanan. </p>
<p>Apalagi, survei sensitif seperti KTA berisiko menimbulkan reaksi psikologis, seperti efek trauma terhadap kasus yang pernah dialami atau rasa ketakutan karena kasus masih terjadi.</p>
<p>Sehingga, tidak bijak jika peneliti meninggalkan responden dalam kondisi yang tidak stabil dan tidak memberikan opsi layanan profesional yang dapat diakses. </p>
<p>Sulit memastikan etika survei kekerasan nasional yang baik, karena akses masyarakat terhadap layanan masih terbatas. Kalau pun ada, jenis layanan masih beragam dan tidak saling terhubung. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-korban-perkosaan-sedarah-sulit-melapor-dan-keluar-dari-tindakan-kekerasan-132589">Mengapa korban perkosaan sedarah sulit melapor dan keluar dari tindakan kekerasan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang perlu pemerintah lakukan</h2>
<p>Pertama, pemerintah perlu mempublikasikan laporan secara utuh. </p>
<p>Sungguh rugi jika kita memiliki kekayaan data dari survei nasional yang kompleks, tapi informasi yang dibagikan ke publik masih sangat sedikit. Padahal data tersebut akan dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh berbagai pihak, misalnya menjadi acuan program organisasi masyarakat. </p>
<p>Kami para peneliti juga akan memiliki kesempatan menganalisis lebih lanjut data mentah dari survei tersebut, dan memberikan rekomendasi bagi kebijakan.</p>
<p>Kedua, perbaiki kualitas dan keterhubungan data laporan. </p>
<p>Jika data antar-layanan, baik milik pemerintah maupun masyarakat saling terhubung secara konsisten, maka kita akan memiliki gambaran kasus kekerasan yang utuh. </p>
<p>Peneliti atau organisasi yang bergerak di isu kekerasan terhadap anak juga akan mengacu pada data yang sama, sehingga penelitian atau program intervensi akan lebih tepat sasaran dan terukur.</p>
<p>Ketiga, untuk memitigasi risiko survei kekerasan terhadap anak, kita perlu memiliki layanan rujukan kekerasan yang tersedia dan mudah dijangkau di tiap lokasi survei. </p>
<p>Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat setempat untuk menyediakan layanan yang cepat tanggap sepanjang survei berlangsung. </p>
<p>Layanan tersebut juga tidak harus bersifat permanen, misalnya dapat berupa pos-pos aduan di tingkat kelurahan/desa yang dibentuk khusus dalam rangka survei.</p>
<p>Petugas pos adalah perwakilan dari masyarakat yang dilatih secara khusus untuk dapat merespons kasus yang menghubungkan korban ke layanan terdekat. </p>
<p>Layanan darurat tersebut juga dapat menjadi rintisan untuk layanan yang lebih jangka panjang. Jika kebutuhan layanan rujukan KTA tidak dapat terpenuhi, maka ada baiknya survei ditunda hingga layanan siap.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/159146/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Data kekerasan terhadap anak masih belum terpublikasi dengan baik. Data dari berbagai institusi juga masih tersebar-sebar.Windy Liem, Researcher on Child Protection, PUSKAPAAndrea Andjaringtyas Adhi, Lead for Social Inclusion and Protection, PUSKAPAPutri K. Amanda, Head of Programs, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.