tag:theconversation.com,2011:/us/topics/gempa-palu-60411/articlesgempa palu – The Conversation2019-07-09T02:39:13Ztag:theconversation.com,2011:article/1190932019-07-09T02:39:13Z2019-07-09T02:39:13ZKomunikasi risiko bencana satu arah di zona rawan gempa-tsunami tak efektif cegah jatuh korban<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/282603/original/file-20190704-126369-y275hh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Potret kerusakan di Palu Sulawesi Tengah setelah dihantam gempa bumi dan tsunami, 15 Otober 2018.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/drone-photo-palu-sulawesi-indonesia-after-1203429754?studio=1">Capture63/Shuttestock</a></span></figcaption></figure><p>Sistem komunikasi risiko bencana alam di Indonesia perlu disusun dengan melibatkan organisasi dan masyarakat lokal di <a href="http://vsi.esdm.go.id/gallery/index.php?/category/18">daerah yang rawan bencana</a>. </p>
<p>Komunikasi risiko yang mengandalkan media massa, yang sifatnya satu arah dan tak ada dialog, tidak efektif menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Umumnya di daerah terpencil tidak ada akses terhadap saluran televisi, media online dan cetak, maupun radio. </p>
<p>Lokasi Indonesia di Cincin Api Pasifik membuatnya rentan terhadap gempa, tsunami dan letusan gunung api. Tanpa sistem komunikasi risiko yang tepat dan relevan, korban jiwa akan terus berjatuhan. </p>
<h2>Informasi tidak sampai pada warga</h2>
<p>Minimnya infrastruktur telekomunikasi di daerah rawan bencana membuat warga terlambat atau bahkan tidak memperoleh sama sekali informasi risiko bencana yang disampaikan oleh otoritas kebencanaan dari Jakarta atau ibu kota provinsi/kabupaten. </p>
<p>Masalah itu yang tampaknya menjelaskan salah satu penyebab banyaknya korban gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah pada September 2018. Bencana itu menewaskan sekitar 2.250 orang, <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/10/21/central-sulawesi-quake-tsunami-inflicted-us911-million-in-losses-govt.html">dengan pengungsi mencapai hampir 224.000 orang</a>. Saat bencana melanda, <a href="https://www.reuters.com/article/us-indonesia-quake-warnings-idUSKCN1MH048">sirene tanda bencana tidak dapat beroperasi</a> dan <em><a href="https://news.nationalgeographic.com/news/2014/12/141226-tsunami-indonesia-catastrophe-banda-aceh-warning-science/">buoy</a></em> pendeteksi tsunami <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-45663054">tidak berfungsi</a>. </p>
<h2>Analisis sistematik</h2>
<p>Untuk mengidentifikasi kriteria dan indikator yang tepat untuk merancang sistem komunikasi risiko, <a href="https://theieca.org/sites/default/files/conference-papers/COCE%202019%20Vancouver/selamet_juhri_-juhri_selamet_coce_2019-1195557709.pdf">saya mengumpulkan data dan menganalisis dokumen-dokumen <em>best practice</em> terkait program komunikasi risiko bencana</a> yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Palang Merah, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat, dan Sekretariat Antar-Badan PBB untuk Strategi Pengurangan Bencana. </p>
<p>Saya menganalisis secara kualitatif 12 dokumen dengan total 956 halaman. Dokumen-dokumen tersebut diterbitkan pada 2016-2018 dan berisikan praktik komunikasi risiko bencana yang bisa di adaptasikan di daerah rawan bencana.</p>
<p>Temuan menarik dari analisis dokumen ini adalah bahwa saat terjadi gempa dan tsunami di Palu, <a href="https://bnpb.go.id">Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)</a> secara substansial hanya bergantung pada komunikasi satu arah melalui media massa untuk menginformasikan risiko bencana kepada publik. </p>
<p>Selain itu, komunikasi risiko yang dikelola oleh institusi pemerintah saat ini bergantung pada komunikasi risiko teknis, tanpa benar-benar mempertimbangkan model komunikasi risiko dengan pendekatan budaya yang dapat berfungsi dalam konteks lokal, misalnya di Sulawesi. </p>
<p>Model komunikasi risiko teknis merupakan penyampaian satu arah data-data teknis ilmiah (misalnya kekuatan gempa, peta geologis rawan bencana) yang berisi informasi risiko bencana kepada publik. Sementara model komunikasi risiko berbasis budaya lebih bersifat humanis, tak hanya menyampaikan data teknis, tapi juga mengajak publik (masyarakat lokal) untuk turut serta dalam menilai risiko bencana dan perencanaan untuk menghadapi risiko bencana tersebut. </p>
<p>Tanpa ada perubahan sistem komunikasi risiko bencana, pesan-pesan mitigasi akan terhambat bahkan tidak sampai ke masyarakat yang paling rentan menjadi korban. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/yIQEX6QyOYA?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Mengunakan data lokal untuk meningkatkan peringatan tsunami.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Komunikasi risiko berbasis teknis vs. berbasis budaya</h2>
<p>Komunikasi risiko yang tepat sangat penting karena inilah proses memberi tahu masyarakat tentang potensi bahaya dan bencana di area tempat tinggal mereka. </p>
<p>Peneliti komunikasi risiko bencana menilai model komunikasi risiko <a href="http://us.sagepub.com/en-us/nam/environmental-communication-and-the-public-sphere/book252670">berbasis teknis </a> hanya berfungsi baik untuk menginformasikan temuan risiko data kuantitatif untuk umum, misalnya informasi data-data gempa dan tsunami seperti <a href="http://vsi.esdm.go.id/gallery/index.php?/category/19">pemetaan geologis daerah rawan bencana</a>.</p>
<p>Sedangkan model komunikasi risiko berbasis budaya efektif dalam melibatkan masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana. Model ini pernah digunakan oleh U.S National Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS), University of Wisconsin’s Marine Freswater dan Biomedical Science Center yang menggaet partisipasi kaum minoritas Hmong dalam <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2774177/">kampanye risiko bahaya merkuri di Milwaukee pada 2003</a>. </p>
<p>Masyarakat diajak turut serta dalam menilai risiko dan merancang kampanye komunikasi risiko untuk mendorong dialog demokratis di ruang publik tentang risiko yang akan dihadapi. Model komunikasi risiko berbasis budaya dapat beradaptasi dan merangkul beragam karakter manusia dalam mengedukasi pemahaman penyebab dan tanggapan dalam menghadapi bencana.</p>
<p>Palu Sulawesi Tengah merupakan contoh daerah yang memiliki kelompok etnis yang berbeda dan bahasa lokal yang berbeda dari wilayah Indonesia lainnya. Seperti wilayah Aceh yang pernah mengalami tsunami pada 2004, di Sulawesi memungkinkan dilakukan pendekatan berbeda dalam perancangan sistem komunikasi risiko bencana berbasis tekni dan budaya. Contohnya dengan melibatkan masyarakat daerah rawan bencana dalam edukasi bahaya tsunami melalui pertunjukan musik atau pentas seni yang merakyat.</p>
<h2>Kebijakan: identifikasi kriteria dan indikator</h2>
<p>Komunikasi risiko merupakan bagian inti dalam lingkaran <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/governance/trends-in-risk-communication-policies-and-practices_9789264260467-en">strategi manajeman risiko bencana</a>. Karena itu, identifikasi kriteria untuk perancangan sistem komunikasi risiko sangat penting untuk meningkatkan kesiapan dan ketahanan risiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah bencana. </p>
<p>Dokumen-dokumen yang saya teliti menunjukkan pemetaan identifikasi kriteria sistem komunikasi risiko bencana yang ideal mengakomodasi dua model sistem komunikasi risiko baik yang berbasis teknis (kuantitatif) maupun kultural (kualitatif). Saya menggunakan kriteria dan indikator sistem ini ke dalam kerangka Analisis Pengambilan Keputusan Multi Kriteria (<a href="https://www.springer.com/gp/book/9780792375050">Multi-Criteria Decision Analysis, MCDA</a>) untuk merekomendasikan kebijakan yang tepat dalam menyusun sistem komunikasi risiko bencana.</p>
<p>Model MCDA memungkinkan pembuat keputusan untuk mengidentifikasi dan mengenali kriteria yang relevan dalam topik spesifik, misalnya topik pengambilan keputusan untuk pengelolaan bencana dan lingkungan.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2013.05.007">Studi sebelumnya menunjukkan</a> bahwa MCDA membuka peluang untuk membuat pembobotan dengan mengukur, menilai, dan menimbang berbagai kriteria kuantitatif dan kualitatif. Contohnya, MCDA digunakan untuk memprioritaskan <a href="https://bmchealthservres.biomedcentral.com/articles/10.1186/1472-6963-12-454">kriteria kampanye intervensi kesehatan publik</a> dan membuat skala prioritas jenis program <a href="https://health-policy-systems.biomedcentral.com/articles/10.1186/1478-4505-10-6">kampanye intervensi HIV/AIDS di Thailand</a> pada 2012. Studi ini berhasil mendokumentasikan kelayakan MCDA dalam berkontribusi pada proses penetapan prioritas yang lebih transparan dan akuntabel dalam program penyusunan program kampanye kesehatan publik.</p>
<p>MCDA dapat memecahkan masalah dalam situasi pengambilan keputusan yang kompleks dengan berbagai tujuan yang seringkali saling bertentangan antara kelompok pemangku kepentingan dan pembuat keputusan. Aplikasi MCDA menekankan proses <em>multi-stakeholder</em>. Berbagai pemangku kepentingan diajak untuk mendeteksi masalah dan memfasilitasi dialog bersama untuk menyepakati tindakan alternatif untuk memecahkan masalah tersebut. </p>
<p>Melalui penilaian dengan menggunakan kerangka MCDA, di bawah ini adalah kriteria dan indikator yang bisa digunakan untuk menilai kapasitas untuk merancang sistem komunikasi risiko bencana:</p>
<iframe title="Kriteria dan Indikator Kerangka Multi-Criteria Decision Analysis" aria-label="Table" src="https://datawrapper.dwcdn.net/Y8luU/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="927"></iframe>
<h2>Lalu bagaimana?</h2>
<p>Berdasarkan daftar kriteria yang dikumpulkan pada tahap awal Analisis Pengambilan Keputusan Multi Kriteria di atas, saya menyarankan otoritas kebencanaan mengundang pemangku kepentingan (Palang Merah, WHO, <a href="http://www.un-spider.org/links-and-resources/institutions/international-strategy-disaster-reduction-isdr">International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) </a> dan IMF) untuk mempertimbangkan kriteria tersebut. </p>
<p>Evaluasi sistem komunikasi risiko perlu segera dilakukan untuk mendesain ulang rancangan sistem yang dapat mengurangi potensi jatuhnya korban saat terjadi bencana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119093/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Juhri Selamet terafiliasi dengan Center for Science and Technology Policy Research, the University of Colorado-Boulder saat melakukan studi ini pada akhir tahun 2018. Dia berterima kasih atas umpan-balik dan komentar yang diberikan oleh Dr. Matthew Druckenmiller selama pelaksaan riset ini.</span></em></p>Ada sebuah kerangka analisis yang efektif untuk merancang sistem komunikasi risiko bencana yang benar-benar melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat lokal.Juhri Selamet, Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1084382019-01-03T07:37:31Z2019-01-03T07:37:31ZPembelajaran di balik aksi penjarahan pasca gempa Palu<p>Aksi penjarahan toko-toko dan pusat perbelanjaan yang ramai diberitakan menyusul terjadinya bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu cukup menyedot perhatian. </p>
<p>Meski <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45696431">sempat dibantah oleh pemerintah</a>, sejumlah media <a href="https://regional.kompas.com/read/2018/10/01/06075921/di-balik-berebut-bbm-dan-makanan-di-kota-palu-pascagempa">nasional</a> dan <a href="https://www.telegraph.co.uk/news/2018/09/30/indonesia-tsunami-desperate-rescue-efforts-looting-palu-amid/">internasional</a> membenarkan bahwa telah terjadi pengambilan barang secara tidak terkontrol oleh warga yang kekurangan pasokan kebutuhan pokok pasca terjadinya gempa dan tsunami. </p>
<p>Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) juga <a href="https://www.merdeka.com/uang/pengusaha-benarkan-terjadi-penjarahan-di-palu-40-gerai-alfamart-jadi-sasaran.html">membenarkan</a> telah terjadi penjarahan pada sedikitnya 40 swalayan ukuran sedang dan 1 gerai swalayan besar yang ada di sekitar kota Palu.</p>
<p>Bagaimana kita bisa menjelaskan aksi penjarahan ini? Dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya terjadi kembali?</p>
<h2>Dalam bencana, penjarahan adalah mitos?</h2>
<p>Menghadapi bencana, manusia pada umumnya memiliki kecenderungan dasar untuk bersikap <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0002716205284677">pro-sosial</a>, saling membantu secara sukarela agar krisis bisa dilewati dengan lebih mudah. </p>
<p><a href="https://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/JSM-05-2016-0192?journalCode=jsm&">Modal sosial</a> semacam ini dibangun melalui pengerahan berbagai sumber daya yang dimiliki untuk digunakan bersama dalam melewati periode kritis. </p>
<p>Penjarahan pasca-bencana justru merupakan wujud perilaku antisosial yang kontra-produktif, dan sebenarnya jarang terjadi sehingga cenderung dipandang sebagai <a href="http://udspace.udel.edu/handle/19716/590">suatu mitos</a>. </p>
<p>Lalu apa yang sebenarnya terjadi di Palu? </p>
<h2>Hilang kendali</h2>
<p>Aksi penjarahan di Palu dan Donggala awalnya berkembang dari keprihatinan warga akibat kekurangan suplai kebutuhan pokok pasca bencana. </p>
<p>Keprihatinan ini berkembang menjadi kekalapan ketika warga bukan hanya menyasar barang-barang kebutuhan pokok, namun juga yang bukan kebutuhan pokok seperti <a href="https://www.jawapos.com/internasional/01/10/2018/penjarahan-di-palu-usai-gempa-disoroti-media-asing">televisi</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181001134638-20-334608/penjarah-jebol-toko-handphone-di-palu-polisi-turun-tangan">telepon seluler</a>. Selain itu, <a href="https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/10/02/pfxs6t383-polisi-gagalkan-lima-aksi-penjarahan-atm-di-palu">ATM</a> dan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=lfMlkj6jhpI&t=60s">kendaraan-kendaraan yang menyuplai kebutuhan pokok</a> untuk korban juga tak luput menjadi sasaran penjarahan.</p>
<p>Penjelasan pertama untuk aksi semacam ini dapat kita diperoleh dengan memahami kebutuhan manusia untuk memegang kendali atas keadaan sekitarnya. </p>
<p>Rasa memiliki kendali (<em>sense of control</em>) adalah salah satu <a href="https://academic.oup.com/jcr/article-abstract/44/1/99/2736403?redirectedFrom=fulltext">fondasi penting bagi kestabilan psikologis manusia</a>.</p>
<p>Dalam peristiwa bencana, kehilangan harta milik berharga secara tak terduga membawa ancaman terhadap rasa memegang kendali ini, sehingga menimbulkan goncangan psikologis. Dalam situasi demikian, naluri dasar untuk bertahan hidup muncul, dan mendorong individu untuk mencari cara-cara baru untuk memulihkan kendali, termasuk melakukan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4493906/">hal-hal berisiko</a> seperti menjarah. </p>
<p>Di masa-masa awal pasca bencana di Palu, barang-barang yang umumnya dicari warga adalah barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan dan BBM. Barang-barang seperti ini bersifat praktis, yang kerap diasosiasikan dengan <a href="https://academic.oup.com/jcr/article-abstract/43/6/1031/2687775?redirectedFrom=fulltext">kemampuan menyelesaikan masalah</a>. Karena berhubungan dengan penyelesaian masalah, penggunaan barang-barang ini secara psikologis dapat menumbuhkan rasa “memegang kendali”, sehingga amat penting dalam situasi kritis. </p>
<p>Namun, bagaimana dengan penjarahan barang-barang elektronik dan mewah yang juga sempat dilaporkan?</p>
<h2>Individu versus kelompok</h2>
<p>Penjarahan barang-barang mewah pascabencana di Palu ini <a href="https://www.nytimes.com/2010/03/07/weekinreview/07mcneil.html">secara etis mungkin sulit diterima</a>. Perilaku ini mungkin menjadi jelas bila kita memahami aksi penjarahan ini sebagai akibat dari proses
<a href="http://psycnet.apa.org/record/1980-32449-001">pembenaman identitas individual demi kepentingan kelompok</a> atau <em>deindividuation</em> yang ekstrem, di saat warga membangun modal sosial menghadapi bencana. </p>
<p>Menurut teori <em>deindividuation</em>, perilaku seorang individu ketika sedang sendiri cenderung berbeda ketika individu itu sedang berinteraksi dalam kelompok. Di dalam kelompok, nilai dan prinsip-prinsip individu cenderung ditekan agar modal sosial dapat tumbuh. Dalam situasi kritis seperti bencana, prinsip-prinsip moral individu yang awalnya kuat dibenamkan dan diganti dengan norma bersama yang muncul sebagai modal untuk menyelesaikan persoalan yang mendesak. Norma kelompok itu muncul melalui proses saling bertukar informasi.</p>
<p>Dalam bukunya <a href="https://www.amazon.com/Going-Extremes-Minds-Unite-Divide/dp/0199754128"><em>Going to Extremes</em></a>“ (2009), pakar hukum dan ekonomi Universitas Harvard, Cass Sunstein, menyatakan bahwa ketika individu-individu yang sedang menghadapi persoalan bersama saling bertukar informasi sebagai sebuah kelompok, mereka cenderung akan menghasilkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1467-9760.00148">sikap dan tindakan yang lebih ekstrem</a> dibanding sikap dan tindakan mereka sebagai individu. </p>
<p>Ketika warga bertukar informasi dan menyadari bahwa mereka sedang berada dalam krisis, norma "apa saja baik dilakukan agar bisa keluar dari krisis” mudah muncul dan dibenarkan.</p>
<p>Apabila seorang warga melihat warga lain mengambil barang tertentu yang sesungguhnya bukan kebutuhan pokok, maka ia pun mudah membenarkan bahkan meniru perilaku tersebut, karena norma kelompok yang terbentuk telah membenamkan prinsip moral yang dipegangnya. </p>
<h2>Cengkeraman konsumerisme</h2>
<p>Selain alasan di atas, penjarahan terhadap barang-barang mewah pasca bencana di Palu ini juga merefleksikan pola hidup konsumtif dalam masyarakat Indonesia. </p>
<p>Secara makro, Indonesia merupakan negara dengan <a href="https://hkmb.hktdc.com/en/1X0A91HG/hktdc-research/ASEAN-in-Focus-The-Indonesian-Consumer-Market">ekonomi berbasis konsumsi terbesar di Asia Tenggara</a>. Konsumsi rumah tangga di Indonesia merupakan <a href="https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/household_consumption/">penggerak utama pertumbuhan ekonomi</a> selama lebih dari empat dekade. </p>
<p>Dalam masyarakat yang cenderung konsumtif, identitas, kesuksesan dan makna hidup seringkali diukur dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0267257X.2014.967929">akumulasi harta milik dan “kemampuan berpartisipasi”</a> dalam berbagai aktivitas konsumsi di pasar modern. Bagi kalangan masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang mapan, hal ini sudah normal dan tidak terlalu menjadi soal. Namun bagi masyarakat yang kurang berdaya secara sosial-ekonomi, kehidupan semacam ini adalah sumber perasaan <a href="https://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/01443330910986315">ketertinggalan dan keterasingan</a>. Runtuhnya pranata sosial akibat peristiwa destruktif seperti bencana dapat menjadi momentum untuk merekonstruksi identitas dan “mengusir” perasaan ketertinggalan itu. </p>
<h2>Pembelajaran untuk mitigasi bencana</h2>
<p>Sebagai negara konsumtif sekaligus <a href="http://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home/presscenter/articles/2018/salah-satu-negara-yang-paling-rawan-bencana-di-dunia--indonesia-.html">paling rawan bencana</a> di dunia, aksi penjarahan di Palu dan Donggala ini menyisakan sejumlah pembelajaran bagi penanganan bencana di Indonesia. </p>
<p>Penciptaan sistem penyediaan dan distribusi logistik darurat bencana yang tangguh di Indonesia amat penting. Pusat-pusat aktivitas konsumsi justru dapat memainkan peran sentral dalam hal ini, sehingga membutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan pihak keamanan.</p>
<p>Kontrol yang lebih baik terhadap pasokan informasi ke masyarakat dalam periode kritis pascabencana juga diperlukan. Hal ini untuk mengurangi ketidakpastian dan mengendalikan dinamika kelompok warga yang terdampak.</p>
<p>Hanya dengan kolaborasi dan protokol penanganan situasi krisis pascabencana yang lebih komprehensif antara pemerintah, pelaku usaha, pihak keamanan dan juga media, kesimpangsiuran informasi serta goncangan psikologis masyarakat dapat dikendalikan, agar tidak berujung pada aksi-aksi destruktif seperti penjarahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/108438/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joseph Robert Daniel tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana kita bisa menjelaskan aksi penjarahan pasca bencana yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.Joseph Robert Daniel, Associate Researcher, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) KupangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1069362018-11-14T10:30:29Z2018-11-14T10:30:29ZSetelah bencana Palu dan Lombok: sebuah babak baru tata kelola bencana di Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/245505/original/file-20181114-194516-bcpsh8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rumah rusak akibat gempa bumi di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, 11 Oktober 2018. Setidaknya 2,045 orang tewas akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.</span> <span class="attribution"><span class="source">EPA/Hotli Simanjuntak</span></span></figcaption></figure><p>Dua peristiwa besar bencana baru-baru ini di <a href="https://theconversation.com/why-indonesias-tsunamis-are-so-deadly-104158">Palu pada September</a> dan <a href="https://theconversation.com/two%20-tipe-tektonik-lempeng-kegiatan-menciptakan-gempa-dan-tsunami-risiko-on-lombok-101177">Lombok pada Agustus</a> telah menguji tata kelola risiko bencana yang ada saat ini di Indonesia. <a href="https://www.aljazeera.com/news/2018/10/indonesia-quake-tsunami-death-toll-rises-2000-181009112317744.html">Ribuan orang meninggal</a> akibat bencana ini. Besarnya skala dampak di kedua lokasi menunjukkan bahwa tata kelola yang efektif dalam pengurangan risiko bencana (PRB) sebelum terjadinya bencana masih menjadi tantangan.</p>
<p>Apakah kita sudah melakukan tata kelola risiko bencana dengan benar? Sudahkah masyarakat dilibatkan secara aktif untuk mengembangkan budaya keselamatan dalam kehidupan sehari-hari mereka?</p>
<p>Indonesia harus mengevaluasi kembali pendekatan manajemen bencana yang telah berevolusi sejak peristiwa <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/2004_Indian_Ocean_earthquake_and_tsunami">gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004</a>.</p>
<h2>Aksi pencegahan</h2>
<p>Indonesia mengesahkan <a href="https://www.bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf">Undang-Undang Penanggulangan Bencana pada 2007</a> dan telah membentuk badan penanggulangan bencana di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten.</p>
<p>Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai agenda pengurangan risiko bencana global, termasuk <a href="https://www.unisdr.org/2005/wcdr/intergover/official-doc/L-docs/Hyogo-framework-%20for-action-english.pdf">Kerangka Kerja Aksi Hyogo</a> dan <a href="https://www.preventionweb.net/files/43291_sendaiframeworkfordrren.pdf">Kerangka Kerja Sendai</a>. Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui kerangka kerja ini sebagai cetak biru untuk mencapai komunitas yang tahan terhadap bencana. Mereka setuju untuk mengubah perilaku masyarakat agar lebih siap menghadapi guncangan yang tak terelakkan dan membuat bagian budaya keselamatan dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.</p>
<p>Beberapa inisiatif telah dilakukan untuk mendukung implementasi PRB. Sekitar satu dekade lalu, <em>United Nations for Development Programmes</em> (UNDP) dan pemerintah Indonesia meluncurkan program <a href="http://www.undp.org/content/undp/en/home%20/librarypage/crisis-prevention-and-recovery/safer-communities-through-disaster-risk-reduction--sc-drr--in-de.html">Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR)</a>.</p>
<p>Program ini membantu penetapan kebijakan dan peraturan dalam mengurangi risiko bencana. Ini membantu pemerintah daerah untuk menyertakan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan mereka. Juga memperkuat program pendidikan dan kesadaran risiko bencana, dan menunjukkan inisiatif-inisiatif yang telah berhasil menjaga keselamatan masyarakat. </p>
<p>Menariknya, Kota Palu adalah salah satu lokasi untuk kegiatan percontohan ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan dukungan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) juga melakukan <a href="https://www.jica.go.jp/project/indonesia/010/newsletter/ku57pq00001gh8nf-%20att%20/%20newsletter_04.pdf">sebuah proyek serupa</a> untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana di Pulau Lombok dari 2011 hingga 2015.</p>
<p>Dengan begitu banyak investasi dan kegiatan PRB selama lebih dari satu dekade, masyarakat dan pemerintah seharusnya lebih siap. Tapi, <a href="https://theconversation.com/tsunami-palu-bagaimana-media-sosial-dan-lagu-nina-bobo-dapat-selamatkan-nyawa-dalam-bencana-masa-depan-105062">berdasarkan video amatir</a>, kita dapat melihat bagaimana sepeda motor dan mobil masih melintas di sepanjang pantai Palu sementara gelombang tsunami semakin mendekat.</p>
<p>Meski terdapat debat publik tentang <a href="https://theconversation.com/reviewing-indonesias-tsunami-early-warning-strategy-reflections-from-sulawesi-%20island-104257">kegagalan sistem peringatan dini tsunami Indonesia (INA-TEWS) selama bencana ini</a>, kesiapsiagaan bencana tidak selalu tentang teknologi. Ini juga terkait kewaspadaan publik dan persepsi risiko. Dan ini dibentuk oleh tata kelola pengurangan risiko bencana pada saat bencana belum terjadi.</p>
<h2>Mengapa Indonesia lambat mengadopsi PRB?</h2>
<p><a href="http://www.rcrc-resilience-southeastasia.org/wp-content/uploads/2018/09/Paper36.pdf">Penelitian kami sebelumnya</a> menyoroti beberapa hal mengapa proses pembangunan di Indonesia lambat memasukkan risiko bencana pengurangan.</p>
<p>Pertama, pengurangan risiko bencana bukan benar-benar menjadi bagian dari tugas utama pemerintah daerah-kota, kabupaten, provinsi-hingga 2014, sebelum Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah diberlakukan, sepuluh tahun setelah tsunami Aceh. Akibatnya, inisiatif pengurangan risiko bencana yang dikembangkan setelah peristiwa itu lambat untuk diimplementasikan di tingkat lokal.</p>
<p>Saat ini, dengan adanya sistem desentralisasi, pemerintah daerah bekerja sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh pemerintah pusat.</p>
<p>Kedua, banyak kota atau kabupaten masih belum menerapkan atau bahkan memiliki rencana tata ruang yang mencakup strategi khusus untuk mitigasi bencana. Idealnya, hal-hal seperti regulasi bangunan dan infrastruktur evakuasi harus diatur dengan jelas dan direncanakan pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Namun, sebagian besar kota dan kabupaten belum menyelesaikan dan mengesahkan RDTR mereka. <a href="http://www.beritasatu.com/nasional/505385-iap-%20dorong-percepatan-penyusunan-rdtr.html">Dari 540 kabupaten dan kota di Indonesia, hanya 40 yang sudah menetapkan RDTR</a>.</p>
<p>Selain itu, pedoman pada tingkat menteri dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk rencana tata ruang berbasis PRB belum ditetapkan hingga saat ini. Hal ini menandakan pemerintah daerah tidak memiliki panduan perencanaan tata ruang yang terperinci.</p>
<p>Ketiga, ketika harus menerapkan PRB, pemerintah daerah selalu menghadapi keterbatasan dana. Jumlah yang disisihkan untuk PRB dalam alokasi anggaran tahunan pemerintah daerah hanya meningkat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut bukan prioritas. Pemerintah daerah menghabiskan lebih banyak untuk masalah lokal lainnya, seperti kemiskinan dan kesehatan.</p>
<p>Sumber lain untuk pembiayaan PRB dari anggaran pemerintah pusat adalah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun, <a href="https://bisnis.tempo.co/read/906199/penerimaan-pajak-turun-sri-mulyani-tahun-lalu-ada-tax-amnesty/full&view%20=%20ok">pendapatan pajak terus menurun dalam beberapa tahun terakhir</a>, yang berarti kesenjangan pendapatan dan belanja nasional melebar.</p>
<h2>Babak baru</h2>
<p>Dua bencana besar terakhir menunjukkan bahwa Indonesia harus menyongsong babak baru dalam tata kelola risiko bencana. Hal tersebut harus fokus pada upaya untuk memastikan bahwa PRB tertanam dalam perencanaan pembangunan, terutama di tingkat lokal. Kota dan kabupaten di Indonesia harus memiliki perencanaan tata ruang yang sensitif terhadap bencana atau bahkan mempromosikan budaya keselamatan dalam kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Untuk memulai bab baru itu, kami menyarankan empat rekomendasi utama.</p>
<p><em>Pertama</em>, memperkuat dan memantau pengurangan risiko bencana ke berbagai sektor pembangunan (misalnya perumahan dan pendidikan) sehingga setiap sektor dapat secara langsung berkontribusi untuk mengurangi risiko dan mengalokasikan anggaran untuk PRB. PRB mencakup berbagai kegiatan dan membutuhkan peran multisektor dan institusi yang berbeda. Namun, berdasarkan peraturan saat ini, PRB masih dilihat sebagai masalah sektoral di Indonesia, seperti kesehatan dan pendidikan.</p>
<p><em>Kedua</em>, meningkatkan jangkauan kegiatan yang terkait dengan peningkatan kesadaran, kapasitas, dan kolaborasi di antara para pemangku kepentingan lokal. PRB adalah tindakan lokal, tapi pemerintah daerah dan masyarakat lokal sering memiliki kesadaran dan kapasitas yang rendah dalam merencanakan dan menerapkan strategi PRB.</p>
<p><em>Ketiga</em>, temukan sumber dan skema pembiayaan alternatif, seperti melalui asuransi, atau dana perwalian internasional untuk memastikan kemampuan pembiayaan untuk menangani dampak bencana. Karena biaya bencana sangat besar, asuransi akan sangat berguna untuk transfer risiko dan kapasitas untuk membangun kembali dan merekonstruksi setelah bencana. Kolaborasi dengan mitra internasional juga akan mempercepat proses dan mengatasi lambatnya birokrasi.</p>
<p>Terakhir, mengembangkan pusat atau platform pertukaran pengetahuan bagi pemerintah daerah untuk berbagi opsi inovatif agar meningkatkan kapasitas dan kesadaran, terutama pertukaran praktik terbaik dalam mitigasi bencana. Pelajaran dari Aceh, Padang, dan Yogyakarta akan berguna untuk Palu dan Lombok, serta tempat-tempat lain yang rawan bencana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/106936/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Saut Sagala received various research and project funding from various sources related to some information presented in this article, among others from International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (2017), World Bank (2018), Knowledge Frontiers (through Coventry University & Resilience Development Initiative), (United Nations Development Programme 2018). However, this article is his personal opinion.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ramanditya Wimbardana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kota dan kabupaten di Indonesia harus memiliki perencanaan tata ruang yang peka terhadap bencana atau bahkan mempromosikan budaya keselamatan dalam kehidupan sehari-hari publik.Ramanditya Wimbardana, A PhD Student at United Nations University - the Advanced Institute for Sustainability (UNU-IAS), United Nations UniversitySaut Sagala, Assistant Professor, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi BandungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1053892018-10-29T06:17:03Z2018-10-29T06:17:03ZMengapa daerah rawan bencana di Semarang dan Aceh tetap dihuni penduduk?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/241584/original/file-20181022-105761-14wdx7c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penduduk mengambil foto dengan ponsel mereka di dekat reruntuhan rumah di Desa Petobo, Palu, 11 Oktober 2018.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://photos.aap.com.au/search/Tsunami%20Palu?q=%7B%22pageSize%22:100,%22pageNumber%22:1%7D">HOTLI SIMANJUNTAK/EPA</a></span></figcaption></figure><p>Gempa bumi yang disusul tsunami di Sulawesi Tengah akhir September lalu tidak hanya menyisakan duka mendalam dengan kematian <a href="https://nasional.tempo.co/read/1138400/jumlah-korban-tewas-terkini-gempa-dan-tsunami-palu-2-113-orang">lebih dari 2000 orang</a>, tapi juga menghadirkan pentingnya penyelidikan soal relasi manusia, teknologi, dan alam. </p>
<p>Apakah bencana yang terjadi di Palu, sebelumnya gempa di Lombok, tsunami di Aceh, dan <a href="https://regional.kompas.com/read/2018/02/12/19354111/banjir-rob-di-pantura-semarang-tak-kunjung-surut-ini-kata-menteri-basuki">banjir rob di Semarang</a> menunjukkan kegagalan manusia memanfaatkan teknologi dalam penanganan bencana? Ataukah ketidakharmonisan hubungan antara manusia dan alam yang menjadi faktor utama bencana yang mematikan terjadi? </p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/project/Communication-and-Politics-of-Disaster-in-Indonesia-Analysis-of-the-Multi-Layered-Responses-to-Maritime-Disasters-in-Semarang-and-Aceh">Riset yang kami lakukan di Semarang dan Banda Aceh</a> menunjukkan dua poin penting untuk membaca relasi manusia, alam dan teknologi dalam konteks kebencanaan. <em>Pertama</em>, relasi manusia dengan alam sedikit banyak ditentukan oleh dua aspek penting yaitu aspek ekonomi dan kebijakan. <em>Kedua</em>, perkembangan dan pemanfaatan berbagai jenis teknologi dalam penanganan bencana tidak akan optimal ketika persoalan kesenjangan digital masih terjadi. </p>
<h2>Manusia-teknologi-alam</h2>
<p>Teknologi dalam pengertiannya yang paling dasar adalah segala sesuatu yang memudahkan kehidupan manusia. Dalam konteks bencana alam, teknologi berguna untuk sebisa mungkin mengurangi dampak bencana, <a href="https://theconversation.com/riset-2012-telah-memetakan-desa-desa-di-palu-yang-tanahnya-berpotensi-tinggi-likuifaksi-akibat-gempa-104566">memetakan daerah-daerah rawan</a>, meminimalkan jumlah korban jiwa, mengurangi kerugian material, hingga berbagai hal yang memudahkan manusia baik sebelum, saat, dan pascabencana terjadi. </p>
<p>Relasi manusia dan teknologi umumnya dijelaskan dalam konsep determinisme teknologi. Sedangkan relasi manusia dengan alam lebih dominan dilihat dengan kacamata eksploitatif. Manusia dianggap tidak berdaya di hadapan teknologi, dan pada saat yang sama dianggap destruktif terhadap lingkungan. Ketika bencana alam terjadi, manusia dan segala bentuk teknologi justru tidak berdaya di hadapan kekuatan alam. Relasi antara ketiga elemen ini oleh sebab itu tidak bisa dimaknai dalam satu model yang linear, melainkan bersifat multidimensi, kontekstual, dan sekaligus temporal. </p>
<p>Adanya pemukiman penduduk di daerah-daerah yang telah terpetakan rawan bencana seperti di <a href="http://geospasial.bnpb.go.id/2010/06/23/peta-indeks-risiko-bencana-tsunami-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam/">Banda Aceh</a>, <a href="http://geotek.lipi.go.id/?p=9853">Lembang Bandung</a> atau <a href="http://geodesi.undip.ac.id/gis/">Semarang</a> menunjukkan bahwa relasi manusia dengan alam berjalan tidak harmonis. </p>
<p>Di Banda Aceh misalnya, daerah pesisir yang terdampak tsunami pada 2004 dan merupakan daerah rawan bencana, saat ini justru kembali dipadati oleh pemukiman karena <a href="http://nationalgeographic.grid.id/read/13295948/mengapa-warga-aceh-kembali-bermukim-di-wilayah-rawan-tsunami?page=2#">beberapa alasan</a>. Gambar di bawah ini menunjukkan kondisi daerah Ulee Lheue pada April 2018, setelah 14 tahun diluluhlantahkan oleh tsunami. </p>
<p>Fenomena seperti di Ulee Lheu jelas menunjukkan bahwa masyarakat yang bermukim di wilayah-wilayah rawan bencana kadang terlalu percaya diri dengan pengetahuan dan kemampuan seadanya dan lebih mengandalkan firasat dalam banyak hal ketimbang alasan-alasan rasional dan kemampuan menghadapi bencana yang memadai. </p>
<p>Namun, hal ini tentu tidak bisa dilihat dalam dimensi tunggal faktor manusia semata. Dengan kata lain, manusia atau masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena aspek sosial, budaya, politik (kebijakan), pendidikan, dan ekonomi menjadi latar belakang pilihan-pilihan tidak rasional yang diambil oleh masyarakat di daerah bencana. </p>
<h2>Perlunya kebijakan yang tegas</h2>
<p>Motif ekonomi, baik menyangkut keterbatasan finansial maupun keinginan untuk mendapatkan keuntungan, merupakan salah satu alasan banyak orang tetap tinggal di wilayah-wilayah berbahaya dan mengabaikan risiko bencana yang mungkin terjadi. </p>
<p>Dalam kasus di Semarang misalnya, <a href="https://www.researchgate.net/publication/227781236_Climate_change_adaptation_in_practice_People's_responses_to_tidal_flooding_in_Semarang_Indonesia">faktor ekonomi</a> menjadi alasan kuat penduduk tetap tinggal di daerah rob dengan kondisi yang tidak layak huni. Sumber pendapatan masyarakat yang berada di wilayah pesisir, misalnya nelayan di daerah Tambak Lorok Semarang, membuat mereka tidak punya banyak pilihan selain hidup berdampingan dengan bencana meski dengan segala keterbatasan dan risiko yang harus dihadapi. </p>
<p>Pada titik ini, faktor kebijakan pemerintah akan sangat menentukan relasi antara manusia dengan alam, utamanya dalam konteks bencana. Pemerintah harus tegas untuk melarang masyarakat mendiami wilayah-wilayah rawan bencana. Namun, pemerintah sebelum itu perlu menyiapkan solusi relokasi yang tidak hanya menjamin keamanan fisik dari bencana tetapi juga keamanan finansial masyarakat. </p>
<p>Kebijakan penanganan bencana, baik lewat regulasi maupun berbagai program, yang disusun oleh pemerintah juga harus mampu memastikan tidak adanya kesenjangan antara kesadaran dan kemampuan masyarakat dengan ketersediaan teknologi dan infrastruktur keselamatan. </p>
<p>Dalam kasus Aceh, temuan dari <a href="http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/56/1/012022/meta">penelitian Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala</a> menunjukkan masih ada kesenjangan antara mekanisme evakuasi bencana dengan fasilitas yang tersedia. Pembangunan gedung-gedung evakuasi yang dibangun khusus di daerah-daerah pesisir yang rawan tsunami harus sejalan dengan upaya peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat menghadapi bencana ini. </p>
<h2>Kesenjangan digital</h2>
<p>Dalam konteks masyarakat digital, manusia sangat mengandalkan teknologi komunikasi dan informasi dalam berbagai kebutuhan, tidak terkecuali dalam menghadapi bencana. Tapi, salah satu persoalan serius yang muncul di tengah perkembangan pesat teknologi saat ini adalah kesenjangan digital. </p>
<p>Kesenjangan digital tidak dipahami hanya sebatas keterbatasan akses material. Aspek motivasi, kemampuan teknis, dan tujuan penggunaan teknologi adalah <a href="https://uk.sagepub.com/en-gb/asi/the-network-society/book238000#contents">tiga dimensi lain</a> persoalan kesenjangan digital yang perlu diselesaikan secara utuh untuk mendukung upaya penanganan bencana. Teknologi yang berfungsi dengan baik tidak berarti banyak ketika respons manusia sebagai pengguna tidak optimal. </p>
<p>Dalam bencana tsunami, teknologi peringatan dini bukan hadir untuk mencegah tsunami terjadi, tapi untuk memperingatkan masyarakat agar bereaksi dengan baik dan menyelamatkan diri ke tempat yang aman. Sama halnya dengan dengan teknologi <a href="http://gama-inatek.ugm.ac.id/gama-ews/">Sistem Peringatan Dini Longsor (LEWS)</a> yang dikembangkan oleh GAMA-InaTEK Universitas Gadjah Mada untuk memperingatkan masyarakat akan ancaman tanah longsor. </p>
<p>Ketika bencana tsunami terjadi di Palu, sebagian masyarakat Palu mungkin memiliki akses terhadap peringatan dini yang dikeluarkan oleh <a href="https://www.bmkg.go.id">Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)</a> lewat telepon pintar masing-masing, sebagian lainnya tidak. Dalam kasus di Semarang, <a href="http://pkmbrp.undip.ac.id/">PKMBRP</a> telah menyediakan <a href="https://play.google.com/store/apps/details?id=com.hafidhaulia.kalenderRob&hl=en_US">aplikasi Kalender Rob</a> yang bisa membantu masyarakat di daerah terdampak banjir rob. </p>
<p>Namun motivasi masyarakat untuk menggunakan teknologi ini masih terbatas yang ditunjukkan masih minimnya unduhan aplikasi ini di Play Store. Penyebaran <a href="https://tekno.tempo.co/read/1132827/ini-hoax-terkait-tsunami-palu-jumlah-korban-hingga-foto-fpi?page_num=2">hoax</a> mengenai bencana juga merupakan salah satu permasalahan serius dalam kerangka kesenjangan digital yang bisa mengganggu upaya penanganan bencana. </p>
<h2>Teknologi massal dan integratif</h2>
<p>Personalisasi teknologi atau ketersediaan teknologi bagi setiap individu di daerah rawan bencana misalnya lewat telepon pintar dan berbagai fiturnya tidak menjamin proses penanganan dan pengurangan dampak bencana berjalan efektif. Bencana bagaimana pun merupakan permasalahan kolektif, bukan individual. Kebutuhan atas teknologi massal dan integratif diperlukan untuk menjamin penanganan bencana berjalan dengan baik, kolektif dan tidak parsial. </p>
<p>Sistem peringatan dini tsunami misalnya perlu dikembangkan lagi dengan kolaborasi lebih banyak <a href="https://theconversation.com/kami-menemukan-sistem-peringatan-dini-tsunami-mutakhir-yang-lebih-cepat-91667">teknologi baru</a> dan diintegrasikan dengan sistem penanganan bencana-bencana lain seperti gempa bumi, banjir, letusan gunung, sampai tanah longsor. </p>
<p><a href="http://news.metrotvnews.com/peristiwa/4KZ4DxYb-lapan-perkenalkan-sistem-komunikasi-via-satelit-amatir">Sistem komunikasi alternatif</a> juga sesuatu yang mendesak disiapkan ketika bencana terjadi yang menyebabkan jaringan komunikasi terputus total seperti kasus di Palu. </p>
<p>Pada akhirnya, aspek penggunaan teknologi dalam berbagai momen bencana (sebelum, ketika, dan pasca) harus sejalan dengan aspek-aspek lain secara utuh agar manusia tidak terjebak dalam ketergantungan berlebih atas teknologi pada satu sisi dan pengabaian teknologi pada sisi lain. Selain itu, pemahaman lebih dalam manusia atas perubahan-perubahan lingkungan dan fenomena alam juga akan memberikan peluang lebih besar untuk menghindari dampak bencana yang mematikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/105389/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hermin Indah Wahyuni receives funding from Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Andi Awaluddin Fitrah, Muhammad Rum, dan Theresia Octastefani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Faktor kebijakan pemerintah akan sangat menentukan relasi antara manusia dengan alam, utamanya dalam konteks bencana.Hermin Indah Wahyuni, Associate Professor of Communication Science and the Director of the Centre for Southeast Asian Social Studies (CESASS), Universitas Gadjah Mada Andi Awaluddin Fitrah, Researcher at Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS), Universitas Gadjah Mada Muhammad Rum, Lecturer at the Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada Theresia Octastefani, Lecturer at the Department of Politics and Government and Researcher at Center for Southeast Asian Social Studies (CESASS), Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1053882018-10-23T10:02:08Z2018-10-23T10:02:08ZSmong, cerita lisan Simeulue yang selamatkan penduduk dari amukan tsunami terdahsyat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/241578/original/file-20181022-105761-4s59o6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Laki-laki melihat daftar dan foto orang-orang yang hilang setelah gempa dan tsunami di Palu, 8 Oktober 2018.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://photos.aap.com.au/search/Tsunami%20Palu?q=%7B%22pageSize%22:100,%22pageNumber%22:1%7D">STR/EPA</a></span></figcaption></figure><p>Gempa bumi disusul <a href="https://theconversation.com/riset-2012-telah-memetakan-desa-desa-di-palu-yang-tanahnya-berpotensi-tinggi-likuifaksi-akibat-gempa-104566">likuifaksi</a> dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, akhir September lalu, telah menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur dengan nilai kerugian sementara <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181021160800-20-340194/kerugian-dan-kerusakan-gempa-di-sulteng-capai-rp1382-triliun">mencapai hampir Rp14 triliun</a>. </p>
<p>Data terbaru menyebut, setidaknya, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1138400/jumlah-korban-tewas-terkini-gempa-dan-tsunami-palu-2-113-orang/full&view=ok">lebih dari 2000 orang tewas</a>. Masa tanggap darurat gempa dan tsunami di sana akan berakhir 26 Oktober 2018 dan kini pemulihan untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi, layanan medis, dan pembenahan infrastruktur dasar dikebut oleh Badan Penanggulangan Bencana dan tim tanggap darurat lainnya. </p>
<p>Setelah gempa bumi dan tsunami menghantam Aceh pada 2004, serangkaian upaya peningkatan kapasitas telah dilakukan pemerintah. Salah satunya membuat <a href="https://www.bnpb.go.id/ppid/file/UU_24_2007.pdf">Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007</a> tentang Penanggulangan Bencana untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak dan pemulihan pascabencana. Pengelolaan bencana Indonesia mulai bergerak dari yang sebelumnya bersifat responsif menjadi lebih komprehensif. Pemerintah membentuk Badan Penanggulangan Bencana pada level nasional, provinsi, dan kabupaten. </p>
<p>Indonesia juga telah mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang dikenal dengan <a href="https://inatews.bmkg.go.id/">Indonesia Early Warning System (InaTEWS)</a>, walau dalam <a href="https://theconversation.com/meninjau-ulang-strategi-peringatan-dini-tsunami-di-indonesia-cermin-dari-palu-104238">kasus tsunami di Palu dipertanyakan</a> kemampuan sistem tersebut menyelamatkan orang-orang di tepi pantai saat terjadi tsunami. </p>
<p>Apa yang terjadi di Palu dan Donggala memperlihatkan bahwa kompleksitas bencana masih jauh dari apa yang telah diupayakan selama ini. Bukan hanya soal teknologi mitigasi yang perlu ditingkatkan, tapi juga budaya dan tradisi masyarakat ikut berperan meminimalkan risiko bencana. Lalu bagaimana peran budaya dan tradisi “anti-bencana” ikut menyelamatkan penduduk?</p>
<h2>Pentingnya tradisi lokal</h2>
<p>Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki budaya dan pengetahuan lokal yang kaya dan beragam. Pengetahuan lokal tersebut lahir sebagai wujud dari adaptasi masyarakat dengan perubahan lingkungannya. Salah satunya adalah cerita tentang pengetahuan lokal masyarakat Kepulauan Simeulue, yang disebut <a href="https://theconversation.com/tsunami-palu-bagaimana-media-sosial-dan-lagu-nina-bobo-dapat-selamatkan-nyawa-dalam-bencana-masa-depan-105062"><em>Smong</em></a>. Pulau Simeulue yang terletak di pantai Barat Provinsi Aceh ini menyimpan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan tsunami. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420917301656">Riset kami yang baru-baru ini dimuat di <em>International Journal of Disaster Risk Reduction</em></a> memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal masyarakat Simeulue tentang <em>Smong</em> mengalami pasang surut. Pengetahuan ini redup sebelum 1907 dan menguat kembali setelah era itu hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari badai <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/2004_Indian_Ocean_earthquake_and_tsunami">tsunami terdahsyat pada 2004</a>. </p>
<p>Pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut telah menyelamatkan mereka dari amukan tsunami pada 2004. Di pulau ini, hanya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420917301656">tiga orang</a> dari sekitar <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/05/12/jumlah-penduduk-di-kabupaten-simeulue-aceh-2001-2013">70 ribu</a> penduduknya saat itu dilaporkan meninggal akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut. Pengetahuan itu yang menggerakkan dan menyelamatkan mereka. Total korban tewas akibat gelombang tsunami setinggi 30 meter itu <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_dan_tsunami_Samudra_Hindia_2004">mencapai 230.000–280.000 jiwa di 14 negara</a>, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya. </p>
<p>Adapun nenek moyang orang Palu menyebut gempa bumi sebagai <a href="https://kompas.id/baca/utama/2018/10/03/nalodo-bencana-kedua-yang-menghancurkan-palu/"><em>Linu</em></a>, tsunami dinamakan <a href="https://kompas.id/baca/utama/2018/10/03/nalodo-bencana-kedua-yang-menghancurkan-palu/"><em>Bombatalu</em></a>. Sedangkan likuifaksi mereka sebut sebagai <a href="https://kompas.id/baca/utama/2018/10/03/nalodo-bencana-kedua-yang-menghancurkan-palu/"><em>Nalodo</em></a> yang berarti amblas ditelan bumi. </p>
<p>Masyarakat di daratan Singkil, menyebut tsunami dengan sebutan <a href="http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/56/1/012018"><em>Gloro</em></a>, sedangkan masyarakat yang tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar menyebut tsunami sebagai <a href="http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/56/1/012018"><em>Ie-Beuna</em></a>. </p>
<h2>Smong yang menggerakan</h2>
<p>Kisah <em>Smong</em> diperkirakan telah lama dikenal oleh masyarakat Simeulue, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420917301656">bahkan jauh sebelum terjadinya tsunami 1907</a>. Gempa bumi pada 1907 dengan Magnitudo <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5524937/">7,6</a> diikuti tsunami merupakan sejarah kelam kebencanaan dalam kehidupan masyarakat Simeulue. </p>
<p>Banyak yang menceritakan bahwa lebih dari setengah penduduk Simeulue tewas akibat peristiwa tersebut (tidak ada catatan pasti berapa jumlah penduduk Simeulue saat itu). Peristiwa kelam itu akhirnya dituangkan ke dalam kisah <em>Smong</em> yang dituturkan secara lisan. Tetua masyarakat Simeulue meyakini bahwa peristiwa tersebut dapat berulang di kemudian hari. </p>
<p>Meski <em>Smong</em> telah dikenal jauh sebelum peristiwa tsunami 1907, <em>Smong</em> tersebut tidak mampu menyelamatkan mereka dari amukan gelombang dahsyat yang terjadi lebih dari seabad lalu. Perkembangan <em>Smong</em> mulai tertanam dan terkuatkan setelah kejadian tersebut.</p>
<p>Kata <em>Smong</em> berasal dari bahasa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420917301656">Devayan</a>, artinya hempasan gelombang. Penutur bahasa Devayan pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di bagian selatan Pulau Simeulue. Sementara itu terdapat bahasa daerah lain yaitu bahasa Sigulai yang dituturkan oleh masyarakat yang tinggal di bagian utara pulau tersebut. </p>
<p>Sedangkan masyarakat yang tinggal di Desa Langi dan Lafakha, yang terletak di barat daya Pulau Simeulue, menggunakan bahasa Lekon. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ke tiga penutur bahasa daerah tersebut dalam penyebutan <em>Smong</em>.</p>
<h2>Kisah dalam <em>Nafi-nafi</em></h2>
<p>Kisah <em>Smong</em> tersimpan dalam salah satu budaya lokal masyarakat Simeulue yang disebut <em><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420917301656">Nafi-nafi</a></em>. <em>Nafi-nafi</em> adalah salah satu budaya tutur masyarakat Simeulue berupa cerita (<em>story telling</em>) yang berkisah tentang kejadian pada masa lalu. </p>
<p>Cerita ini mengandung pembelajaran untuk disampaikan kepada masyarakat terutama anak-anak pada waktu-waktu tertentu seperti setelah memanen cengkeh, saat anak-anak berkumpul selepas salat Magrib dan membaca Al-Quran. Kisah yang terdapat di dalam <em>Nafi-nafi</em> sangat bervariasi, dan salah satunya adalah kisah tentang <em>Smong</em>. </p>
<p><em>Smong</em> di dalam <em>Nafi-nafi</em> berkisah tentang kejadian tsunami pada 1907. Kisah ini menceritakan runut kejadian tsunami yaitu gempa bumi besar, air laut surut, dan air laut naik ke darat. </p>
<p>Salah satu contoh kisah <em>Smong</em> dalam <em>Nafi-nafi</em> sebagai berikut:</p>
<p><em>“Ini adalah kisah penuh hikmah, pada zaman dahulu kala, tahun tujuh. Para kakek kalian yang mengalaminya. Mereka menceritakan kisah ini, agar menjadi pengalaman hidup. Waktu itu hari Jum'at, masih termasuk pagi hari. Tiba tiba terjadi gempa bumi. Sangking kuatnya, orang-orang tidak dapat berdiri dan setelahnya air laut surut, ikan-ikan menggelepar di pantai sehingga menarik sebagian orang dan mengambilnya.</em></p>
<p><em>Tidak lama kemudian tampak gelombang besar dari tengah lautan, menuju ke daratan. Orang tua berteriak ‘Smong! Smong! Smong!’ Namun, banyak orang tidak sempat menyelamatkan diri ke atas gunung. Setelah Smong reda, orang-orang mencoba kembali ke desa dan menemukan banyak penduduk yang meninggal. Banyak korban tersangkut di atas pohon dan bahkan dijumpai pula korban yang terdampar di kaki bukit atau gunung”.</em></p>
<p>Kisah <em>Smong</em> juga menceritakan tindakan yang perlu dilakukan yaitu segera menjauhi pantai atau menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi seperti bukit. Di samping itu perlu membekali diri dengan membawa beberapa barang seperti beras, gula, garam, korek api, baju dll. Bekal tersebut diperlukan selama di tempat pengungsian sementara. </p>
<p>Kisah <em>Smong</em> dalam <em>Nafi-nafi</em> tersebut mengandung pula anjuran untuk mendiseminasikannya kepada generasi selanjutnya. </p>
<h2>Penguatan pengetahuan lokal</h2>
<p>Pascatsunami 2004, penguatan <em>Smong</em> dilakukan melalui saluran tradisional masyarakat Simeulue lainnya yaitu <em>Nandong</em> dan berbagai upaya lainnya. <em>Nandong</em> adalah seni tradisional masyarakat Kepulauan Simeulue berupa nyanyian. Namun kebanyakan upaya tersebut belum tersistematis dan berkelanjutan. </p>
<p>Penguatan ini lebih didominasi oleh inisiasi dari pihak luar seperti LSM dan lembaga donor dibandingkan dengan kebijakan yang berkelanjutan dari pemerintah daerah.</p>
<p>Pada umumnya inisiasi tersebut terlihat massif pada masa pemulihan dan semakin menurun intensitas dan keberlanjutannya seiring berjalannya waktu. Padahal, gempa bumi dan tsunami bisa terjadi kapan pun. Artinya, perlu dipastikan bahwa penguatan harus berkelanjutan sepanjang waktu karena generasi terus berganti. Generasi tua meninggal digantikan oleh generasi yang baru lahir, yang belum pernah menyaksikan peristiwa tsunami secara langsung. </p>
<p>Memperkuat kapasitas pengelolaan kebencanaan yang lebih komprehensif tetap harus dilakukan tanpa melupakan pengetahuan lokal yang telah ada di masyarakat itu sendiri. Diperlukan upaya pencatatan pengetahuan lokal ini dengan mendokumentasikannya sehingga dapat lebih mudah diakses, berkelanjutan, dan bahkan perlu pula diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/105388/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alfi Rahman mendapatkan dana dari Lembaga Pengelona Dana Pendidikan Kementerian Keuangan untuk riset ini dengan nomor grant 20160962100263.</span></em></p>Pengetahuan lokal redup sebelum 1907 dan menguat kembali setelah era itu hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari badai tsunami terdahsyat pada 2004.Alfi Rahman, Researcher at Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah KualaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1050622018-10-17T08:20:49Z2018-10-17T08:20:49ZTsunami Palu: bagaimana media sosial (dan lagu nina bobo) dapat selamatkan nyawa dalam bencana masa depan<p>Penggunaan media sosial tersebar luas di Indonesia, sehingga orang-orang yang sering merekam adegan sehari-hari terkadang secara tidak sengaja menangkap peristiwa yang luar biasa. </p>
<p>Dari berbagai video “viral” <a href="https://www.theguardian.com/world/video/2018/oct/09/tsunami-floods-into-indonesian-city-in-terrifying-new-footage-video">gempa bumi dan tsunami</a> di Sulawesi, misalnya, ada <a href="https://www.youtube.com/watch?v=vpFOAsN2Ppw">satu yang menonjol</a>: video tersebut adalah panggilan putus asa seorang laki-laki pada orang-orang di bawahnya ketika tsunami mendekati Kota Palu–dan kemudian isak tangisnya setelah ombak menghantam daratan.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/vpFOAsN2Ppw?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Kesedihan laki-laki tersebut dapat dirasakan siapa pun secara universal. Kita semua tidak berdaya menghadapi kehancuran yang terjadi dalam beberapa menit. Tapi rekaman seperti ini juga dapat membantu mengubah sikap masyarakat terhadap bencana dan risiko yang ditimbulkannya. </p>
<h2>Kenapa hal ini dapat terjadi?</h2>
<p>Untuk memahami mengapa bencana terjadi kita harus mencari tahu berbagai penjelasan yang kompleks. Penting untuk memisahkan konsep rantai kausalitas dari isu-isu yang lebih luas soal kesalahan dan tanggung jawab. Banyak orang di negara maju fokus pada kemungkinan <a href="https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-45663054">kegagalan sistem peringatan</a> dan penyelidikan “risiko forensik” peristiwa-peristiwa yang mengarah pada kejadian tersebut. Tapi banyak orang juga mungkin sulit memahami bagaimana faktor tersebut bukan perhatian utama banyak orang Indonesia setelah bencana.</p>
<p>Untuk sejumlah besar orang Indonesia, pertanyaan tentang mengapa hal-hal seperti itu terjadi tidak dapat dijawab oleh sains, tapi oleh iman. Iman melibatkan kerelaan menerima penderitaan dan keyakinan bahwa malapetaka semacam itu adalah ujian dari Tuhan. Bagi mereka yang melihatnya dengan cara ini, pertanyaan mengapa bencana terjadi <a href="https://www.ifrc.org/Global/Documents/Secretariat/201410/WDR%202014.pdf">tidak dijawab menggunakan pengukuran</a> dari dasar laut dan rincian teknologi sistem pemantauan. Memisahkan sains dan agama untuk membingkai bencana juga tidak membuat bencana lebih mudah dipahami. </p>
<p>Namun demikian, penting untuk mengakui bahwa tingginya jumlah korban tewas di Palu sebagian karena rendahnya kesiapsiagaan. Banyak orang gagal menyelamatkan diri karena tidak paham secara jelas ancaman yang ditimbulkan oleh tsunami setelah gempa bumi dan betapa mematikannya mereka. </p>
<p>Terlepas dari informasi yang dimiliki orang-orang di Palu setelah gempa bumi dan apakah mereka mempercayainya, jumlah korban akan lebih kecil jika <a href="https://www.foxnews.com/world/the-%20last-fate-of-beach-festival-goers-unknown-since-quake">lebih banyak orang yang menjauh dari garis pantai</a>.</p>
<p>Bahwa banyak orang tampaknya gagal melakukan hal ini, mungkin mengejutkan mengingat ingatan kelam dari tsunami <a href="https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/11303114/2004-Boxing-%20Day-tsunami-facts.html">dengan gelombang tertinggi pada 2004</a> yang menghancurkan, sebagian Pulau Sumatra, Indonesia dan tempat lain. Meskipun demikian, bahkan orang-orang di Banda Aceh–salah satu daerah terparah pada 2004–tetap rentan terhadap tsunami seperti ditunjukkan oleh <a href="https://news.nationalgeographic.com/news/2014/%2012/141226-tsunami-indonesia-catastrophe-banda-aceh-warning-science%20/">peristiwa gempa bumi pada 2012</a>. </p>
<p>Pada saat itu, alih-alih mengikuti rute evakuasi atau pergi ke penampungan tsunami, orang-orang mencoba pulang dulu atau menjemput anak-anak mereka dari sekolah, sehingga dalam prosesnya menimbulkan kemacetan lalu lintas dan kekacauan.</p>
<h2>Tak terhindarkan?</h2>
<p>Namun, banyaknya korban jiwa dalam bencana ekstrem bukan hal yang harusnya dianggap tidak bisa dihindari. Sistem peringatan dini dapat berperan dalam mencegah korban jatuh, begitu juga dengan solusi menggunakan budaya. </p>
<p>Contohnya di Simeulue, sebuah pulau di Indonesia yang juga dilanda tsunami 2004. Sementara provinsi Aceh adalah salah satu daerah terparah, <a href="http://news.bbc.co.uk/1/hi/programmes/from_our_own_correspondent/6435979.stm">sangat sedikit di pulau tersebut orang tewas</a> dibandingkan dengan komunitas lain di wilayah. Hal ini, sebagian, karena tradisi lagu pengantar tidur yang bercerita tentang <a href="https://books.google.co.uk/books?id=Hj5vDwAAQBAJ&pg=PA251&lpg=PA251&dq=smong+disaster+risk+reduction+sagala&source=bl&ots%20=%20s3s_MCAJXZ%20&%20sig%20=%20MU7Dvsfw02kaBeaemn8qyncgZN8%20&%20hl%20=%20en%20&%20sa%20=%20X%20&%20ved%20=%202ahUKEwjS5L2jgYHeAhXoCMAKHS2uDi4Q6AEwAnoECAcQAQ%20#%20v%20=%20onepage%20&%20q%20=%20smong%%2020disaster%%2020risk%%2020reduction%%2020sagala%20&%20f%20=%20false">“smong” (ombak besar yang menerjang daratan setelah gempa)</a>.</p>
<p>Nenek-nenek menyanyikan lagi pengantar tidur ini kepada anak-anak untuk memberitahu mereka agar lari ke tempat yang lebih tinggi ketika gempa terjadi–dan ini persis apa yang dilakukan banyak orang, karena tindakan yang tepat telah menjadi bagian dari budaya bencana mereka. Tentu saja, globalisasi berarti bahwa perubahan budaya semakin cepat di Indonesia, tapi terkadang solusi yang paling jelas terukur, seperti <em>smong</em>, juga paling sederhana.</p>
<p>Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) <a href="http://apps.bmkg.go.id/">memiliki sebuah aplikasi telepon</a> yang mengirimkan peringatan cepat tentang aktivitas seismik dan potensi tsunami bagi mereka yang menggunakannya. </p>
<p>Kami menerima peringatan tentang gempa bumi dan potensi tsunami di Sulawesi pada telepon kami sendiri di Bandung, 1.000 kilometer jauhnya di Pulau Jawa. Kami terutama khawatir dan berharap orang-orang akan bereaksi dan menyelamatkan diri secara efisien. Yang terjadi di Palu menunjukkan bahwa peringatan semacam itu menjadi tidak berguna jika orang tidak sadar, gagal mempercayai atau memahaminya, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan.</p>
<h2>Kebutuhan akan kemarahan kolektif</h2>
<p>Bahasa bencana di masa pasca-kolonial, <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/tsunami-hits-small-sulawesi-city-after-major-quake-%20korban-tidak%20diketahui">secara ironis, sangat Inggris</a>. Pesan utamanya adalah: “Tetap tenang dan lanjutkan (<em>Keep calm and carry on</em>).” Orang-orang diminta untuk bersabar ketika mereka menunggu bantuan dan bantuan.</p>
<p>Orang Indonesia memiliki cadangan ketahanan yang sangat besar dan kekuatan pemulihan yang mengesankan. Hal ini merupakan kabar baik bagi warga setempat untuk membangun kembali. Tapi, meski kemarahan eksplisit bukanlah karakteristik yang menonjol dari orang Indonesia, dalam hal ini kemarahan bisa menjadi produktif.</p>
<p>Indonesia sekarang resmi memasuki periode kampanye pemilihan umum dan sangat penting untuk menekan politikus untuk berinvestasi dengan benar dalam kesiapsiagaan bencana. <a href="https://www.youtube.com/watch?v=X-HRYoO5qHE">Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi bencana dua kali</a> dalam ritual yang biasa dilakukan oleh politikus yang berada dalam sorotan internasional. </p>
<p>Hal ini terlihat bagus di televisi dan bisa menarik simpati pemilih, tapi perhatian yang nyata membutuhkan investasi pemikiran, waktu, dan uang. Berbicara dengan rekan-rekan Indonesia, ada kesadaran bahwa kesiapsiagaan bencana perlu dipolitisasi sebagai bagian dari perubahan budaya yang lebih luas.</p>
<p>Organisasi seperti <a href="https://www.gfdrr.org/sites/default/files/publication/country-profile-2016-indoensia.pdf">Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR)</a> melaporkan bahwa pemerintah Indonesia “menghabiskan AS$300 juta hingga AS$500 juta per tahun untuk rekonstruksi pascabencana” dan “biaya selama bertahun-tahun bencana besar mencapai 0,3% dari PDB nasional dan setinggi 45% dari PDB di tingkat provinsi”.</p>
<p>Anggaran jelas perlu ditingkatkan, tapi dana ini juga harus digunakan untuk melakukan berbagai hal secara berbeda–misalnya, lebih fokus pada menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan melibatkan komunitas dan budaya mereka yang ada. Ketika bencana terjadi di tingkat lokal, pemerintah daerah harus mengambil peran sentral dalam hal ini. Program sosialisasi yang ada tidak berfungsi dan bahkan jika semua orang di pantai di Kota Palu memiliki aplikasi BMKG di ponsel mereka, apakah mereka akan tahu persis apa yang harus dilakukan untuk menyelematkan diri dan orang lain? </p>
<h2>Mengerti isi pesan</h2>
<p>Pemantauan bencana dan sistem peringatan tidak akan berguna jika orang tidak memahami pesan, tidak mempercayai pembawa pesan, dan tidak memiliki tempat yang aman untuk dituju. Indonesia dapat menjadi pemimpin dunia dalam kesiapsiagaan bencana, tidak harus dengan meniru <a href="http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2058390,00.html">negara-negara rentan bencana seperti Jepang</a>, tapi dengan memanfaatkan energi kreatif dan kesediaan orang muda khususnya untuk menantang cara-cara lama. Kuncinya adalah menemukan solusi yang paling bermanfaat dan paling masuk akal bagi komunitas yang harus dilindungi.</p>
<p>Kemarahan dan aksi kolektif di antara orang-orang muda–dan penggunaan media sosial–bisa menjadi langkah pertama untuk mengubah budaya nasional di mana bencana seperti ini tidak hanya dilihat sebagai satu lagi fakta kehidupan yang tak terelakkan, tapi dibicarakan dan direncanakan dengan cara yang benar-benar akan menyelamatkan kehidupan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/105062/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gavin Brent Sullivan menerima dana dari British Academy untuk proyek riset "Seismic Cities Bandung". Dr. Sullivan merupakan fellow riset senior di lembaga think-tank Resilience Development Initiative di Bandung, Indonesia.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Saut Sagala menerima dana dari British Academy untuk proyek riset "Seismic Cities Bandung". Dr. Sagala terafiliasi dengan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung. Dia juga fellow peneliti senior di lembaga think-thank Resilience Development Initiative di Bandung, Indonesia.</span></em></p>Pemantauan bencana dan sistem peringatan tidak akan berguna jika orang tidak memahami pesan, tidak mempercayai pesan, dan tidak memiliki tempat yang aman untuk dituju.Gavin Brent Sullivan, Reader in Social and Political Psychology, Coventry UniversitySaut Sagala, Assistant Professor, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi BandungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1044012018-10-09T04:24:00Z2018-10-09T04:24:00ZGempa Palu: mendesaknya evaluasi kebijakan mitigasi bencana, belajar dari Jepang<p>Belum hilang kepedihan akibat gempa bumi di Lombok Agustus lalu yang menyebabkan lebih dari <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/10/01/21091241/hampir-2-bulan-berlalu-ini-update-korban-gempa-lombok-dari-bnpb">500 orang tewas</a>, kini dampak gempa bumi yang diikuti tsunami di Sulawesi Tengah menyebabkan <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3661469/bnpb-korban-meninggal-gempa-palu-donggala-menjadi-1763-orang">kematian lebih dari tiga kali lipat</a> dibanding gempa Lombok. Puluhan ribu orang di Sulawesi jadi pengungsi secara tiba-tiba karena rumah mereka hancur.</p>
<p>Selain faktor episentrum, kedalaman gempa, dan kekuatan gempa, kerusakan akibat gempa diyakini karena struktur dan mutu bangunan yang tidak tahan gempa. Bahkan bangunan publik penting seperti menara <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/29/124810926/staf-airnav-jadi-korban-robohnya-menara-atc-saat-bertugas.">Air Traffic Controller (ATC) Bandar Udara Mutiara Sis Al Jufri Palu</a> ikut roboh. </p>
<p>Gempa Lombok yang menyebabkan sekitar <a href="https://regional.kompas.com/read/2018/08/24/10231051/gempa-lombok-555-korban-meninggal-390529-mengungsi">390.000 orang mengungsi</a>, 125.000 rumah rusak, 18 jembatan ambruk, dan 153 ruas jalan dan tiga tanggul rusak menunjukkan mutu bangunan menjadi salah satu yang memperburuk jatuhnya korban. Dalam gempa dan tsunami Palu, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1134045/bnpb-gempa-dan-tsunami-palu-merusak-66-926-rumah/full&view=ok">hampir 70.000 rumah rusak</a>. </p>
<p>Data <a href="https://www.bnpb.go.id/uploads/24/seminar/Pemutahiran_Sumber_dan_Peta_Gempa_Indonesia.pdf">Tim Pemutakhiran Peta Gempa Indonesia 2010 dan 2017 </a> mengungkap bahwa gempa bumi dan tsunami menjadi penyebab utama kerusakan rumah dan bangunan (73%) serta penyebab korban tewas (62%) dibanding bencana lainnya yang terjadi di Indonesia.</p>
<p>Dengan kesadaran bahwa Indonesia berada di Cincin Api dan gempa bisa terjadi kapan saja, sebenarnya seberapa siap kita dan pemerintah mengantisipasi dan memitigasi bencana gempa bumi? </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/239439/original/file-20181005-52672-soenzk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kejadian bencana di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://bnpb.cloud/dibi/laporan4">BNPB</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Implementasi mitigasi gempa</h2>
<p>Setelah bencana tsunami Aceh 2004, meski belum sempurna, Indonesia telah mengadopsi berbagai kebijakan pengurangan risiko bencana–termasuk kebijakan untuk pembangunan gedung dan rumah tahan gempa. </p>
<p>Bahkan sebelum 2004, Menteri Pekerjaan Umum telah mengeluarkan <a href="https://mitigasibencana.lipi.go.id/wp-content/uploads/2016/01/20275_SNI-03-1726-2002-bangunan-gempa.pdf">Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 03-1726-2002</a> tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung. Tata cara perencanaan ketahanan gempa tersebut diperkuat dengan <a href="http://jdih.pu.go.id/produk-hukum-detail.html?id=2212">Peraturan Menteri No. 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan</a>.</p>
<p>Sayangnya, kebijakan tersebut bagus di atas meja, tapi mandul dalam pelaksanaan. Banyak masyarakat, pengembang, kontraktor, dan aparatur pemerintah yang tidak mematuhi dan menerapkan peraturan tersebut. Dengan sistem desentralisasi, kewenangan pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berada di kabupaten dan kota, yang pelaksanaan pengendalian IMB-nya seringkali masih lemah. </p>
<p>Meski belum detail, sejak 2010 pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait telah merilis <a href="http://puskim.pu.go.id/wp-content/uploads/2018/02/BUKU-PUSGEN-Feb-2018s.pdf">Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia</a>. Namun, peta gempa ini belum tersebar di masyarakat, salah satu faktor pembangunan rumah tahan gempa terhambat. </p>
<p>Peta ini mestinya menjadi dasar untuk menyusun kebijakan pengurangan risiko bencana. Peta bahaya yang telah diperbaharui pada 2017 lalu, dengan jelas memberikan informasi zona merah (rawan gempa) di provinsi dan kabupaten kota di seluruh Indonesia. Belum tersebarnya informasi ini menjadi penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap mitigasi bencana. </p>
<p>Selain itu, ada persepsi di masyarakat bahwa biaya pembangunan rumah tahan gempa mahal. Padahal sudah banyak yang membuat dan mempromosikan rumah tahan gempa lebih murah. Meski bervariasi, menurut <a href="https://nehrp.gov/pdf/NIST%20GCR%2014-917-26_CostAnalysesandBenefitStudiesforEarthquake-ResistantConstructioninMemphisTennessee.pdf">sebuah penelitian di Tennessee Amerika Serikat</a>, penambahan biaya pembangunan rumah baru tahan gempa mulai sekitar 5–10% dari biaya pembangunan rumah yang tidak tahan gempa. </p>
<p>Sedangkan biaya tambahan untuk <a href="http://www.rumahamangempa.info/isi/artikel/retrofitting-bangunan-rusak-berat-tanpa-merobohkan"><em>retrofitting</em></a> atau memperkuat rumah supaya tahan gempa bisa lebih murah lagi, hanya sekitar 1-3% dari biaya pembangunan rumah yang tidak tahan gempa. Biaya tambahan juga tergantung jenis bangunannya. Meski lebih mahal, mestinya masyarakat diberikan kesadaran bahwa biaya ekstra tersebut harus dilihat sebagai investasi. Manfaatnya akan terasa bila rumah kita diguncang gempa. </p>
<p>Masyarakat dan arsitek bangunan juga tidak familiar dengan pedoman pembangunan rumah tahan gempa. Padahal rancangan bangunan dan rumah tahan gempa tidak terlalu sulit. Rumah tahan gempa misalnya, cukup berbahan ringan seperti kayu, bambu, atau baja ringan. </p>
<p>Dalam pedoman tersebut sebenarnya juga sudah dijelaskan secara detail dan dilengkapi dengan gambar. Setelah gempa Yogyakarta 2006, pemerintah daerah mensosialisasikan kepada insinyur dan para mandor bagaimana cara membangun rumah tahan gempa. Hal ini perlu kampanye dan sosialisasi yang lebih baik lagi dan terus menerus.</p>
<h2>Pengalaman Jepang</h2>
<p>Untuk efektivitas kebijakan mitigasi gempa, tak ada salahnya kita belajar dari Jepang. Negara ini menghadapi ancaman bencana yang besarannya hampir sama dengan Indonesia. </p>
<p>Kebijakan pembangunan gedung dan rumah tahan gempa telah menjadi kebijakan yang luas dan mengikat ketat warga negaranya. Sejak <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/1923_Great_Kant%C5%8D_earthquake">Gempa Besar Tokyo 1923</a> yang menewaskan 143.000 orang, Jepang mulai memperkenalkan bangunan tahan gempa. Pada 1950-an ketentuan bangunan gempa diterapkan dan telah beberapa kali direvisi dengan adanya gempa bumi besar, yaitu <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/1964_Niigata_earthquake">Niigata (1964)</a>, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/1978_Miyagi_earthquake">Miyagi (1978)</a>, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Great_Hanshin_earthquake">Kobe (1995)</a> dan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/2011_T%C5%8Dhoku_earthquake_and_tsunami">Sendai (2011)</a>. </p>
<p>Setiap izin pembangunan gedung dan rumah wajib menyertakan persyaratan teknis bukti tahan gempa. Bila tidak, pemerintah tidak akan memberikan izin.</p>
<p>Bagaimana dengan bangunan yang sudah berdiri dan belum mengadopsi bangunan tahan gempa? Untuk bangunan publik yang masih berdaya guna lama, pemerintah menerapkan <em>retrofitting</em>. Sedangkan bangunan yang masa pakainya tidak lama, diganti dengan bangunan baru yang tahan gempa. </p>
<p>Dalam menegakkan kebijakan untuk rumah tahan gempa, pemerintah memberikan subsidi dan bantuan teknis kepada warga yang ingin <em>retrofitting</em> rumahnya. Pemerintah secara berkala melalui berbagai media menyebarluaskan pentingnya dan tata cara membangun dan melakukan <em>retrofitting</em>. Arsitek dan mandor diberi pelatihan dan diberi sertifikasi terkait pengetahuan pembangunan rumah tahan gempa dan bahaya kebakaran serta hemat energi.</p>
<p>Tidak hanya itu, pemerintah Jepang juga memberikan bantuan kepada warga yang berupaya mencegah bencana. Misalnya pemerintah memberikan bantuan peralatan seperti plat baja khusus pengikat lemari atau perabot rumah tangga yang rawan jatuh ketika terjadi gempa. </p>
<p>Beberapa pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah di sana memberikan bantuan peralatan siaga bencana seperti senter, obat-obatan, makanan siap saji tahan lama, air minum dan wadahnya yang tahan lama disimpan dalam menghadapi bencana. Semua kebijakan itu tanpa diminta oleh warga, tapi disediakan dan difasilitasi oleh pemerintah.</p>
<h2>Rumah tahan gempa dan asuransi bencana</h2>
<p>Belajar dari gempa Lombok dan Palu, seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia bangkit dan sadar akan pentingnya dan gentingnya upaya pengurangan risiko bencana. </p>
<p>Sebagai gambaran, menurut data Badan Nasional Penanggunalan Bencana (BNPB), pada 2017 terdapat <a href="http://dibi.bnpb.go.id/dibi/">mencapai 2.862 bencana</a>. Dana kebencanaan di Indonesia minim. Tapi lebih dari itu program-program kebencanaan kurang sistematis dan kurang terkoordinasi.</p>
<p>Program-program seperti pembangunan gedung dan rumah yang tahan gempa harus menjadi prioritas. Masyarakat yang hidup di zona merah gempa perlu diberikan pemahaman pentingnya membangun rumah tahan gempa. Pemerintah perlu menyebarkan pedoman dan bahan informasi yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat awam. Pemerintah juga perlu memberikan subsidi bagi masyarakat yang mau membangun rumah baru tahan gempa dan yang melakukan <em>retrofitting</em>.</p>
<p>Kebijakan lainnya adalah mengembangkan asuransi bencana. Model transfer risiko bencana telah menjadi kebijakan penting <a href="https://www.oecd.org/daf/fin/insurance/OECD_APEC_DisasterRiskFinancing.pdf">di negara-negara lain seperti Cile, Selandia Baru, Cina, Malaysia, dan Singapura</a>. Asuransi bencana secara prinsip sama dengan asuransi pertanian yang juga sudah mulai dilaksanakan di Indonesia. </p>
<p>Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga keuangan, swasta dan pemerintah sebaiknya duduk bersama untuk mendorong penerapan asuransi bencana. Untuk mencegah dampak gempa seperti di Lombok dan Palu serta gempa-gempa sebelumnya terjadi lagi perlu penerapan kebijakan dan program mitigasi bencana yang konsisten dan sungguh-sungguh. </p>
<hr>
<p><em>CATATAN EDITOR: Artikel ini telah diperbarui untuk memperbaiki kesalahan tata bahasa.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104401/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wignyo Adiyoso bekerja sebagai perencana pembangunan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).</span></em></p>Belajar dari gempa Lombok dan Palu, seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia bangkit dan sadar pentingnya dan gentingnya beraksi mengurangi risiko bencana.Wignyo Adiyoso, Visiting Researcher at Research Centre of Conflict and Policy (RCCP) of Faculty of Administrative Sciences, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1045662018-10-08T10:03:44Z2018-10-08T10:03:44ZRiset 2012 telah memetakan desa-desa di Palu yang tanahnya berpotensi tinggi likuifaksi akibat gempa<p>Gempa berkekuatan 7,5 pada Jumat 28 September yang mengguncang Donggala dan Palu di Sulawesi Tengah menyebabkan tsunami dan kehancuran yang menelan korban lebih dari 1700 orang. Tak lama, banyak masyarakat terkejut melihat di media sosial <a href="https://edition.cnn.com/2018/10/01/world/indonesia-earthquake-tsunami-satellite-trnd/index.html">gambar</a> dan video dari lokasi bencana yang memperlihatkan tanah yang mengalir seperti sungai menyeret bangunan rumah, pohon dan langsung menenggelamkannya. </p>
<p>Proses bergeraknya tanah itu disebut likuifaksi, yaitu kondisi tanah yang kehilangan kekuatannya akibat gempa sehingga daya dukung tanah turun secara mendadak. Selain guncangan dan potensi air bah dari tsunami, likuifaksi adalah fenomena alam yang juga perlu diwaspadai ketika terjadi gempa. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1048284995150737408"}"></div></p>
<p>Likuifaksi dapat berbahaya bagi manusia jika pemukiman berada di atas tanah yang mengalami likuifaksi tersebut. Perumahan Balaroa di Palu Barat, Petobo di Palu Selatan dan Jalan Dewi Sartika di Palu Selatan terlihat masih utuh setelah gempa dan tidak pula dihanyutkan gelombang tsunami. Tapi beberapa saat setelah gempa, ribuan rumah rakyat di dua desa itu lenyap ditelan bumi karena likuifaksi.</p>
<p><a href="https://www.kompas.tv/content/article/33618/video/berita-kompas-tv/likuifaksi-tenggelamkan-permukiman-balaroa-dan-petobo">Kompas TV melaporkan</a> luas kawasan yang terdampak likuifaksi di Palu mencapai 320 hektare. Walau likuifaksi baru menjadi populer minggu ini, kerentanan daerah Palu terhadap likuifaksi sebenarnya sudah dikaji. Pada 2012, <a href="http://katalog.pag.geologi.esdm.go.id/dokumenview.php?ID_DOKUMEN=15540">peneliti Risna Widyaningrum dari Badan Geologi Indonesia melakukan kajian geologi teknik potensi likuifaksi di Palu</a>. Risna menyimpulkan bahwa daerah di Palu sebagian besar memiliki potensi sangat tinggi terhadap likuifaksi.</p>
<h2>Tekstur tanah</h2>
<p>Ilmu tanah dapat menjelaskan bagaimana tanah yang padat, kuat, dan diduduki bangunan bisa menghanyutkan ribuan rumah. </p>
<p>Tanah terdiri dari partikel-partikel berbagai ukuran yang lebih kecil dari 2 milimeter. Partikel-partikel tersebut dikelompokkan berdasarkan ukurannnya: yang terbesar adalah pasir (diameter 0,05 sampai ≤ 2 mm), debu (2 mikron sampai ≤ 0,05 mm), dan yang paling halus disebut liat (≤ 2 mikron). </p>
<p>Kombinasi kadar ketiga kelompok tanah tersebut menentukan tekstur atau jenis tanah. Ada tanah yang mempunyai tekstur kasar bila pasir lebih dominan dibandingkan liat dan debu dalam pasir tersebut. Ada tanah yang dikelompokkan bertekstur sedang dan bertekstur halus. Semakin kasar tekstur tanah maka semakin rentan tanah tersebut mengalami likuifasi.</p>
<p>Partikel liat berperan sebagai perekat partikel-partikel tanah yang lebih besar sehingga mereka bersatu membentuk <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Agregat">agregat</a>. Agregat tanah yang kuat dan mantap akan menyokong pertumbuhan akar. Pohon menjadi besar dan tinggi karena tumbuh dengan baik pada tanah beragregat kuat sehingga bisa mendukung perkembangan akar dan batangnya kokoh. Tanah beragregat kuat dan mantap menjadi tapak dan fondasi untuk rumah dan bangunan lain yang ada di atasnya.</p>
<p>Di antara partikel tadi atau agregat tanah, terdapat rongga atau kita sebut pori tanah. Pori-pori tanah tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyediakan air dan udara kepada akar tanaman. Semakin halus ukuran pori semakin kuat daya pegang airnya. Sebaliknya pori yang besar mudah kehilangan air. </p>
<p>Tanah menjadi kering jika tidak ada air yang tersimpan pada pori tanah. Ketika hujan, butiran air yang masuk ke dalam tanah akan mengisi pori tersebut. Jika seluruh pori terisi air maka tanah akan jenuh air dan selanjutnya tergenang. Saat pori-pori tanah jenuh dengan air, maka kekuatan tanah akan berkurang. Molekul air mengisi pori-pori tanah dan membentuk lapisan-lapisan dengan partikel tanah. </p>
<p>Semakin banyak lapisan air yang terbentuk, maka ikatan antar partikel tanah menjadi lemah. Liat sebagai partikel tanah terhalus akan terdispersi atau terpisah dan menyebabkan air hujan yang bening menjadi keruh. </p>
<p>Dalam bentuk yang sederhana dapat kita amati pada kehidupan sehari-hari misalnya setelah hujan, tanah menjadi becek dan berlumpur. Tanah sawah sesudah digenangi air dan dibajak akan menjadi lumpur. Bencana tanah longsor terjadi setelah hujan lebat karena tanah jenuh air dan kehilangan kekuatan daya ikatnya.</p>
<h2>Penyebab dan potensi likuifaksi</h2>
<p>Sewaktu gempa di Palu, guncangan kuat di bawah bumi mengakibatkan air tanah naik ke permukaan dengan tekanan yang tinggi. Tekanan air dalam pori-pori dengan cepat menjenuhi tanah mengakibatkan partikel-partikel tanah terpisah, dan tanah kehilangan kekuatannya. Dengan cepat tanah menjadi lumpur dan bangunan di atasnya roboh. Kekuatan guncangan juga mengaduk air tanah sehingga tanah yang telah menjadi lumpur mengalir seperti sungai menghanyutkan apapun yang ada di atasnya, bangunan rumah, jembatan, dan tanaman.</p>
<p>Secara sederhana kita dapat menguji dengan mengambil segumpal tanah berpasir dan tanah liat. Kita tuangkan air ke tanah liat, lalu diremas maka akan terbentuk bongkahan yang padat. Sebaliknya pada tanah berpasir tidak akan terbentuk bongkahan malah tanah mencair.</p>
<p>Bagaimana tekstur tanah mempengaruhi kekuatannya menyokong bangunan di atasnya ketika terjadi gempa? Tanah bertekstur halus akan kuat menyangga bangunan jika terguncang gempa walau ada air tanah naik ke atas. Sebaliknya, tanah bertekstur pasir akan bertransformasi menjadi fase cair dan tidak sanggup menahan beban bangun di atasnya. Likuifaksi lebih rentan terjadi di daerah dataran rendah aluvial yang tanahnya didominasi oleh pasir dengan muka air tanah yang dangkal. </p>
<p>Kerentanan suatu kawasan terhadap bahaya likuifaksi dapat diketahui dengan menggunakan indeks potensi likuifaksi (<a href="http://yo-1.ct.ntust.edu.tw/jge/files/articlefiles/v1i1200707031332604692.pdf">Liquefaction Potential Index </a>= LPI). Akibat seringnya Jepang dilanda gempa bumi yang disusul likuifaksi, Toshio Iwasaki (1978) menyusun LPI. Indeks potensi likuifaksi berkisar antara nilai 0 (nol) artinya indeks sangat rendah; nilai antara 0 dan 5, tergolong rendah; nilai antara 5 dan 15, termasuk tinggi; dan nilai indeks >15 sangat tinggi. </p>
<p>Indeks ini diformulasi dengan memperhitungkan kelompok tanah dan skala kekuatan gempa. Tanah yang didominasi oleh pasir tergolong sangat rentan dan memiliki LPI > 15. Sedangkan tanah yang bertekstur halus memiliki LPI < 5. </p>
<p>Tidak hanya menyusun LPI, Iwasaki juga menyarankan cara mendesain bangunan di wilayah rentan likuifaksi jika kondisi ini tak bisa dihindarkan. Di Jepang, temuan dan saran para ahli ini sangat dihargai dan dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, praktisi dan pengusaha serta masyarakat awam.</p>
<h2>Penelitian yang diabaikan</h2>
<p>Para ahli melaporkan bahwa potensi likuifaksi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: </p>
<ol>
<li> Di bawah permukaan tanah terdapat lapisan berpasir kurang dari 12 meter. </li>
<li> Kedalaman muka air tanah < 10 m. </li>
<li> Kekuatan gempa.<br></li>
</ol>
<p>Laporan hasil penelitian Risna Widyaningrum, memaparkan geologi, dan kegempaan yang sering berulang di kawasan sesar Palu Koro ini. Sesar Palu Koro memanjang sampai 60 kilometer dari utara ke selatan melintasi Kota Palu dan masuk ke teluk Palu bersisian dengan Kota Donggala. Sesar Palu Koro ini dilaporkan para ahli geologi bergerak 40 milimeter per tahun ke arah utara dan termasuk yang tercepat bila dibandingkan sesar Semangko Sumatra yang bergerak 15 milimeter ke Tenggara. </p>
<p>Tanah yang terdapat di daerah Palu berasal dari batuan Kuarter aluvium yang masih tergolong muda, yang disebut tanah aluvial. Tanah lapisan atas (1-7 m) terutama bertekstur pasir, lempung di lapisan tengah, dan liat di lapisan bawah. Peta muka air tanah menunjukkan air tanah yang dangkal (< 12 m) di daerah tersebut. Dari kesaksian masyarakat, Perumahan Bolaroa sebelumnya adalah daerah rawa, kemudian diurug dan ditimbun untuk dijadikan perkampungan baru. Semua hasil kajian tahun 2012 tersebut menunjukkan daerah Palu rentan likuifikasi.</p>
<p>Pada bagian akhir laporan tersebut, ada peta zonasi bahaya likuifaksi dengan zonasi bahaya mulai dari potensi sangat rendah dan rendah, potensi tinggi dan sangat tinggi. Desa Petobo dan perumahan Balaroa ternyata berada di perbatasan zona sangat tinggi. </p>
<p>Risna menyarankan fondasi bangunan sebaiknya tidak diletakkan pada lapisan pasir, sehingga lebih aman terhadap liquifaksi. Dan penataan ruang terhadap kawasan pemukiman, industri dan bangunan vital lainnya sebaiknya ditempatkan pada area yang memiliki indeks potensi likuifaksi (LPI) < 5.</p>
<p>Seperti umumnya terjadi di Indonesia, dan banyak negara lain, temuan para ahli banyak yang tidak ditindaklanjuti oleh yang berkepentingan. Pengalaman bencana Palu harus menjadi pembelajaran agar hasil penelitian tidak hanya disimpan rapi di rak buku perpustakaan setelah penelitian selesai. Diseminasi hasil penelitian yang penting seperti potensi likuifaksi suatu daerah harus sampai kepada pembuat kebijakan. </p>
<p>Musibah ini bisa dihindari jika kita waspada dan mempertimbangkan keadaan, kondisi dan perilaku alami dari lapisan litosfir dari bumi ini ketika membangun infrastruktur diatasnya. Dalam pembangunan pemukiman baru pascabencana, para pembuat kebijakan dan perencana kota perlu memperhatikan peta zonasi bahaya likuifaksi agar bencana ini tidak terulang lagi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104566/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walaupun likuifaksi baru menjadi populer minggu ini, kerentanan daerah Palu terhadap likuifaksi sebenarnya sudah dikaji.Dian Fiantis, Professor of Soil Science, Universitas AndalasBudiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1043202018-10-05T05:48:34Z2018-10-05T05:48:34ZAncaman penyakit menular setelah gempa dan tsunami Palu, bagaimana mencegahnya<p>Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan korban meninggal karena dampak gempa dan tsunami di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah mencapai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45728399">setidaknya 1400 orang</a> dan sekitar 2500 orang terluka berat sampai hari keenam bencana. Kemungkinan angka korban terus bertambah karena upaya pencarian korban masih berlangsung.</p>
<p>Dalam situasi bencana, apa pun bentuk dan penyebabnya, akan ada implikasi pada meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular atau penyakit berpotensi wabah setelah bencana. </p>
<p>Ancaman penyakit ini muncul sebagai dampak dari buruknya sanitasi, kesulitan air bersih, dan membusuknya mayat yang belum ditemukan ataupun belum dikubur. Kondisi semacam ini, jika tidak diantisipasi akan berdampak pada korban bencana yang masih hidup, bahkan terhadap para tim relawan dan petugas yang membantu penanganan pascabencana di lapangan.</p>
<p>Video kesaksian <a href="http://viral.solopos.com/read/20181002/486/943291/curhat-dokter-sukarelawan-gempa-palu-mayat-berserakan-baunya-menyengat">dokter Hisbullah Amin</a> dari halaman depan instalasi gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Undata Palu menggambarkan kekhawatiran mengenai banyaknya jenazah korban bencana yang belum ditangani secara baik. Sejak tiga hari, banyak <a href="https://news.detik.com/berita/d-4238698/mayat-korban-gempa-masih-tergeletak-di-luar-rs-undata-palu">mayat tidak dikenali bergelimpangan di halaman rumah sakit tersebut</a> yang sudah mulai membengkak dan menimbulkan bau. </p>
<h2>Penyakit menular pascabencana</h2>
<p>Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam <a href="http://www.who.int/hac/techguidance/management-of-dead-bodies/en/">petunjuk manajemen evakuasi jenazah pascabencana</a> menyatakan bahwa mayat korban bencana alam sebenarnya tidak menyebabkan wabah penyakit. Karena mereka tewas akibat trauma, tenggelam, atau tertindih reruntuhan sehingga tidak mengandung organisme penyebab epidemi, kecuali kalau mereka meninggal akibat wabah penyakit menular, misalnya <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_virus_Ebola">virus Ebola</a> di Afrika. </p>
<p>Namun manajemen perawatan jenazah perlu diperhatikan karena jika terlambat ditangani atau lama baru ditemukan, vektor tertentu seperti lalat, kutu, binatang pengerat, atau lainnya dapat menyebarkan mikro organisme di dalam mayat. Jenazah korban bencana yang tidak ditangani baik atau lama baru ditemukan juga dapat menulari sumber air minum. </p>
<p>Terlepas dari alasan kesehatan, penanganan jenazah pascabencana yang baik juga merupakan penghargaan atas harkat dan martabat manusia. </p>
<p>Beberapa penyakit menular pascabencana, <a href="https://www.theguardian.com/society/2004/dec/29/internationalaidanddevelopment.indianoceantsunamidecember20041">terutama setelah tsunami</a> yang harus diwaspadai antara lain kolera, diare, malaria, infeksi dada, demam berdarah dengue, <a href="https://www.medicalnewstoday.com/articles/156859.php">typhoid</a>, Hepatitis A, infeksi vagina, dan penyakit anak-anak.</p>
<p>Dalam kondisi darurat, penyakit yang paling gampang menimbulkan Kejadian Luar Biasa adalah campak dan malaria. Virus campak gampang menular pada kondisi pengungsian yang padat dan lingkungan jelek, serta malaria merupakan ancaman karena pengungsi tidur di luar rumah tanpa perlindungan terhadap gigitan nyamuk. Patut diperhitungkan juga ancaman tambahan, jika musim hujan akan segera tiba. </p>
<p>Hal ini sudah terbukti di <a href="https://news.detik.com/berita/d-265855/wabah-penyakit-jadi-pembunuh-kedua-pasca-tsunami-">Aceh pascatsunami 2004</a> dan Lombok, Nusa Tenggara Barat baru-baru ini. Pascagempa Lombok Agustus lalu, <a href="https://news.okezone.com/read/2018/09/08/340/1947787/malaria-mewabah-di-lombok-barat-pasca-gempa-ibu-hamil-hingga-bayi-ikut-terserang">media melaporkan wabah malaria</a> yang menyerang ibu hamil dan anak-anak. Media juga melaporkan serangan penyakit <a href="https://kompas.id/baca/utama/2018/08/29/pengungsi-di-lombok-utara-terserang-cacar-air/">varicella (cacar air) dan pneumonia (paru-paruh basah)</a>.</p>
<p>Hal lain yang perlu diperhatikan adalah imunisasi tetanus untuk mencegah penyakit tetanus akibat banyak korban bencana yang luka atau kemungkinan luka pada saat tindakan pertolongan pascabencana. </p>
<h2>Sumber risiko</h2>
<p>Risiko penyakit menular dan kematian pascabencana umumnya disebabkan oleh beberapa kondisi yang tidak bisa dielakkan. </p>
<p><em>Pertama</em>, terjadinya pengungsian besar-besaran secara mendadak dalam waktu singkat menyebabkan pengelompokan orang pada titik tertentu, dengan kondisi apa adanya. </p>
<p>Pengungsian biasanya memiliki populasi padat tapi tanpa fasilitas <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45729112">sanitasi dasar</a> dan air minum yang memadai. BNBP merilis jumlah pengungsi <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45728399">mencapai 73 ribu orang</a> di <a href="https://www.voaindonesia.com/a/bnpb-korban-di-donggala-dan-palu-sulawesi-tengah-tembus-1-234/4596103.html">109 titik</a> dengan pelayanan dan fasilitas yang tidak memadai.</p>
<p><em>Kedua</em>, rusaknya berbagai fasilitas kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas serta terbatasnya persediaan obat dan logistik kesehatan serta personil di lapangan membatasi pelayanan kesehatan bagi korban bencana. Dalam kondisi bencana, petugas kesehatan di lokasi bencana mengalami trauma dan dilema. Mereka adalah korban, tapi di lain pihak mereka juga harus menolong orang lain karena kompetensi dan keahliannya. </p>
<p>Risiko pengungsi terinfeksi penyakit menular meningkat dengan melemahnya kondisi fisik mereka. Menurunnya daya tahan tubuh manusia mengingkatkan kemampuan kuman menularkan penyakit dalam lingkungan yang buruk. </p>
<p><em>Ketiga</em>, dalam kondisi darurat, kita sulit memprediksi kapan kondisi ini akan berakhir. Semua tergantung pada jenis dan seberapa besar bencana yang terjadi, populasi yang terkena dampak serta juga berat-ringannya dampak yang ditimbulkan oleh bencana, baik pada manusia maupun infrastruktur pendukung kehidupan, serta cepat lambatnya upaya pertolongan berlangsung.</p>
<h2>Pentingnya tindakan segera</h2>
<p>Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (APHA) menegaskan <a href="http://disaster-relief.org/pdf/DisasterBook.pdf">pentingnya tindakan segera</a> untuk mengurangi ancaman penyakit menular dan wabah pascabencana. Pemerintah dan para tim relawan di lapangan harus menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan di lapangan berangsur-angsur normal. </p>
<p>Monitoring dan surveilans ketat terhadap faktor lingkungan (air, sanitasi, penanganan sampah) dan pengendalaian vektor penyakit (nyamuk dan lalat) harus mulai diperhatikan. Kelompok-kelompok rentan seperti ibu hamil, bayi, anak-anak, orang tua, serta orang cacat harus didata agar bisa mendapat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya. </p>
<p>Tindakan promosi kesehatan dan imunisasi terhadap penyakit berpotensi wabah harus mulai dilakukan di lapangan, dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan setempat. </p>
<p><a href="https://www.ifrc.org/PageFiles/95530/The-Sphere-Project-Handbook-20111.pdf">Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian Response</a> yang diterbitkan oleh The Sphere Project merupakan salah satu standar yang secara international diakui dan digunakan untuk tindakan perlindungan dalam kondisi emergensi. Panduan yang dibuat oleh International Red Cross and Red Crescent Movement dan lembaga swadaya masyarakat bidang bencana ini memuat beberapa prinsip pelayan minimum yang harus dijalankan pascabencana. </p>
<p>Berdasarkan standar ini, yang harus dilakukan antara lain menyediakan sarana air minum dan sanitasi dasar, pembuangan tinja (toilet), mengendalikan vektor penyakit dan manajemen sampah termasuk pengelolaan air limbah. Pengelolaan tinja di lokasi pengungsian juga merupakan faktor yang sangat penting mengingat ini adalah kebutuhan dasar. Kalau tidak dikelola baik, akan menjadi sumber bencana baru. </p>
<p>Standar ini juga memberikan acuan untuk standar minimal untuk asupan gizi dan keamanan makanan, standar minimal untuk tenda atau tempat tinggal sementara dan standar minimal pelayanan kesehatan. </p>
<p>Untuk mencegah penyakit dan kejadian luar biasa pascagempa peran pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mutlak diperlukan. Pemerintah perlu menyediakan infrastuktur kesehatan termasuk fasilitas dasar dengan dan jumlah staf kesehatan yang kompeten. </p>
<p>Pemerintah juga perlu menjamin obatan-obatan dan logistik, termasuk peralatan yang disediakan sesuai dengan standar dan aturan pemerintah Indonesia. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelayan obat-obatan dan logistik kesehatan adalah pemilihan item yang relevan dengan prioritas kondisi kesehatan setempat dan harus tersedia setiap saat di fasilitas kesehatan. </p>
<p>Melihat besarnya gempa dan tsunami yang terjadi di Palu yang berdampak luas bagi masyarakat, sudah saatnya hal-hal ini kita antisipasi. Pemerintah dan petugas tanggap bencana harus segera melaksanakan tindakan sesuai prinsip-prinsip dan standard internasional agar tidak terjadi bencana di atas bencana, akibat wabah dan penyakit menular pascabencana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104320/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ermi Ndoen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam kondisi darurat, penyakit yang paling gampang menimbulkan kejadian luar biasa adalah campak dan malaria.Ermi Ndoen, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) KupangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1044112018-10-04T08:08:12Z2018-10-04T08:08:12ZMenerima bantuan asing untuk Sulawesi Tengah: Ini langkah-langkah yang perlu disiapkan<p>Presiden Joko Widodo <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20181001113740-4-35453/jokowi-terima-bantuan-asing-untuk-tangani-gempa-palu">memutuskan menerima bantuan internasional</a> untuk membantu penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah. </p>
<p><a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181001214347-20-334809/wiranto-sebut-18-negara-tawarkan-bantuan-untuk-sulteng?">Sebanyak 18 negara dan beberapa lembaga internasional</a> dilaporkan telah menawarkan bantuan kepada Indonesia. Selain menewaskan ribuan orang, bencana tersebut meruntuhkan bangunan hunian serta infrastruktur lain seperti jalan dan jembatan. </p>
<h2>Belajar dari gempa Aceh dan Yogyakarta</h2>
<p>Komunitas internasional telah beberapa kali membantu penanganan dan pemulihan pascabencana di Indonesia. </p>
<p>Pascagempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada 2004, hampir separuh dari biaya pemulihan yang dimanfaatkan antara 2005 dan 2009 berasal dari bantuan negara sahabat dan lembaga internasional. </p>
<p>Sementara, sekitar 30% dari biaya pemulihan pascagempa Yogyakarta 2006 berasal dari bantuan asing. </p>
<p>Dengan cukup besarnya porsi pembiayaan dari sumber bantuan asing di Aceh-Nias dan Yogyakarta, pemerintah membentuk sebuah lembaga yang bertanggung jawab dalam mengelola pembiayaan yang bersumber dari berbagai mitra pemerintah. Untuk Aceh-Nias lembaga ini dinamai <a href="http://documents.worldbank.org/curated/en/965501468041948774/pdf/31952.pdf"><em>Multi Donor Trust Fund</em> </a>(MDTF). Untuk Yogyakarta disebut <a href="https://reliefweb.int/report/indonesia/java-reconstruction-fund-progress-report-2011-building-success-effectively"><em>Java Reconstruction Fund</em></a>.</p>
<p>Dan pada 2010 Pemerintah melalui kesepakatan dengan Bank Dunia dan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan (UNDP), membentuk Indonesia Disaster Financing Facility for Disaster Recovery (IMDFF-DR) yang dikenal dengan <a href="http://mptf.undp.org/factsheet/fund/IDR00">Indonesia Disaster Fund (IDF)</a>. Namun, IDF ternyata tidak terlalu efektif karena tidak ada kebutuhan untuk membuka keran bantuan asing dalam penanganan berbagai bencana alam berskala sedang dan kecil yang terjadi selama kurun waktu 2010 hingga 2018.</p>
<h2>Apa yang perlu dipersiapkan untuk Sulawesi Tengah?</h2>
<p>Dengan dibukanya keran bantuan asing untuk penanganan bencana Sulawesi Tengah, beberapa langkah kebijakan yang perlu dipertimbangkan. </p>
<p>Dengan memperhitungkan porsi dukungan bantuan asing secara relatif dengan kebutuhan pembiayaan secara menyeluruh, pemerintah perlu menyiapkan lembaga pembiayaan penanganan pascabencana. Ini bisa dengan mengaktifkan kembali Indonesia Disaster Fund yang sudah pernah ada atau membentuk lembaga baru yang khusus mengelola pembiayaan yang bersumber dari bantuan asing untuk penanganan pascabencana Sulawesi Tengah. </p>
<p>Sementara, khususnya untuk tahap tanggap darurat, pemerintah perlu mengidentifikasi kebutuhan untuk penanganan kedaruratan yang dapat disediakan oleh negara lain. Contohnya, seperti disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Indonesia memerlukan Pesawat C-130 yang dapat digunakan untuk menyalurkan bantuan ke lokasi yang sulit dijangkau. Indonesia juga memerlukan peralatan berat untuk membersihkan sampah tsunami dan puing-puing bangunan. </p>
<p>Selain menentukan kebutuhan peralatan untuk tanggap darurat, Indonesia juga perlu mengidentifikasi bantuan dalam bentuk kepakaran dalam penanganan kedaruratan dan transisi kedaruratan. Contohnya, untuk menganalisis lokasi pemukiman yang mengalami kehancuran akibat gempa bumi dan <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4240195/lipi-ungkap-penyebab-likuifaksi-yang-telan-kampung-di-petobo">likuifaksi (pencairan tanah)</a> dan menentukan calon lokasi pemukiman baru yang lebih aman, ahli geologi akan dibutuhkan. </p>
<p>Pemerintah juga perlu menghitung kerusakan dan potensi kerugian dan menentukan apa yang pihak asing dapat bantu dalam pemulihan sarana dan prasarana fisik. Misalnya, sarana transportasi dan telekomunikasi, penyedia tenaga listrik, sekolah, fasilitas kesehatan, pasar, dan lain-lain. </p>
<p>Pemerintah perlu mengatur skema penyaluran dan pengelolaan bantuan asing, baik dalam bentuk uang maupun jasa, serta mengatur pemantauan dan pelaporannya. Ini untuk memastikan administrasi bantuan asing dilakukan secara transparan dan akuntabel. </p>
<p>Pemerintah nasional dan pemerintah daerah perlu membagi peran dengan jelas. Terutama kapasitas pemerintah daerah kabupaten dan kota yang terdampak, perlu diperkuat agar mampu mengelola pemanfaatan bantuan asing untuk penanganan wilayah terdampak. </p>
<p>Indonesia perlu memastikan langkah-langkah di atas agar pengelolaan bantuan asing efektif mendukung upaya percepatan penanganan pascabencana di Sulawesi Tengah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104411/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Suprayoga Hadi terafiliasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai Perencana Ahli Madya. </span></em></p>Dengan dibukanya keran bantuan asing untuk penanganan bencana Sulawesi Tengah, beberapa langkah kebijakan yang perlu dipertimbangkan.Suprayoga Hadi, Vice Chair, Ikatan Ahli Kebencanaan IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1043212018-10-04T04:18:18Z2018-10-04T04:18:18ZMengapa tsunami di Palu, Indonesia begitu dahsyat dan mematikan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/239093/original/file-20181003-52681-1g2s2p0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">MAST IRHAM/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Gempa bumi berkekuatan 7,5 Skala Richter yang disusul tsunami, yang menimpa Indonesia beberapa hari lalu telah memakan korban setidaknya <a href="https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-45716915">1.300 jiwa</a>. </p>
<p>Pihak berwenang masih menyelidiki seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan, tapi sudah jelas bahwa gempa bumi dan tsunami itu telah membuat daerah Sulawesi porak-poranda, terutama kota Palu.</p>
<p>Ini bukan kali pertama gempa bumi menyebabkan kerusakan massal dan kematian di Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya tsunami. Tapi mengapa?</p>
<p>Jawabannya adalah kombinasi keberadaan lempeng tektonik di wilayah, bentuk garis pantai, masyarakat yang rentan dan sistem peringatan dini yang kurang prima. Semua hal itu punya peranan yang membuat tsunami di Indonesia amat berbahaya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/meninjau-ulang-strategi-peringatan-dini-tsunami-di-indonesia-cermin-dari-palu-104238">Meninjau ulang strategi peringatan dini tsunami di Indonesia: cermin dari Palu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lempeng tektonik</h2>
<p>Indonesia berada di atas beberapa lingkungan tektonik yang kompleks. Banyak hal rinci dari lempeng tektonik ini yang belum dimengerti, sehingga menghalangi kemampuan kita dalam memprediksi risiko gempa bumi dan tsunami.</p>
<p>Gempa-gempa terbesar yang ada di Bumi adalah gempa “zona subduksi”, yang terjadi di tempat bertemunya dua lempeng tektonik.</p>
<p>Pada Desember 2004 dan Maret 2005, ada sepasang gempa zona subduksi di sepanjang lepas laut Palung Sunda, di pesisir barat Sumatra. </p>
<p>Gempa 9,1 Richter di Aceh, Desember 2004 itu sendiri menimbulkan tsunami yang menewaskan hampir <a href="https://web.archive.org/web/20130507101448/http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/world/most_destructive.php">250 ribu orang</a> di negara-negara dan kepulauan di tepian Samudra Hindia. </p>
<p>Tapi jika perhatian kita hanya terpaku pada jenis gempa seperti ini, kita akan lengah terhadap bahaya lain. Bagian timur Indonesia memiliki banyak lempeng kecil, yang saling bersinggungan akibat pergerakan lempeng besar Australia, Sunda, Pasifik, dan Laut Filipina.</p>
<p>Gempa September 2018 disebabkan oleh apa yang disebut “<a href="https://www.britannica.com/science/strike-slip-fault">sesar geser (<em>strike-slip</em>)</a>” di dalam salah satu lempeng kecil ini. Gempa seperti ini amat jarang menimbulkan tsunami.</p>
<p>Sistem sesar/patahan ini lumayan besar, dan akibat proses erosi, telah menghasilkan lembah sungai dan estuari yang lebar. Lembah sungai Palu, beserta estuarinya yang menjadi lokasi ibu kota Palu, telah terbentuk oleh sistem sesar yang kompleks ini.</p>
<p>Penelitian terhadap <a href="https://www.researchgate.net/publication/223489047_Fission_track_and_fault_kinematic_analyses_for_new_insight_into_the_Late_Cenozoic_tectonic_regime_changes_in_West-Central_Sulawesi_Indonesia">gempa prasejarah</a> di sepanjang sistem sesar ini menunjukkan, patahan ini menimbulkan gempa berkekuatan 7-8 Richter setiap kira-kira 700 tahun.</p>
<h2>Lantai laut membentuk gelombang</h2>
<p>Faktor penting tsunami lainnya adalah kedalaman dan bentuk lantai laut, yang menentukan kecepatan gelombang awal. Gempa zona subduksi yang kuat di lantai laut dapat menyebabkan seluruh kolom air terangkat, lalu jatuh kembali. </p>
<p>Karena air memiliki momentum, maka air dapat jatuh lebih rendah dari permukaan air dan menciptakan osilasi/ayunan yang kuat.</p>
<p>Tonjolan air yang bergerak menjauhi pusat gempa mungkin tidak terlalu tinggi (jarang melebihi satu meter), tetapi massa airnya sangat sangat besar (tergantung area permukaan yang berpindah akibat gempa).</p>
<p>Gelombang tsunami dapat bergerak sangat cepat, mencapai kecepatan pesawat jet. Pada laut sedalam 2 km, tsunami dapat bergerak 700 km/jam. Pada laut yang amat dalam, tsunami dapat mencapai 1000 km/jam.</p>
<p>Ketika gelombang mendekati pesisir yang lebih dangkal, kecepatannya <em>berkurang</em> dan ketinggiannya <em>bertambah</em>. Tsunami mungkin saja hanya setinggi 1 meter di laut terbuka, tapi meningkat hingga 5-10 meter di pesisir.</p>
<p>Jika pantainya curam, maka dampak ini bisa berlipat ganda dan menimbulkan gelombang setinggi puluhan meter.</p>
<p>Gelombang air memang semakin pelan mendekati pesisir, tetapi tetap dapat menggenangi wilayah daratan beberapa kilometer dari bibir pantai karena kecepatan awalnya sudah sedemikian tinggi.</p>
<p>Sementara itu, topografi lantai laut berdampak pada kecepatan gelombang tsunami, yang bergerak lebih cepat pada area dalam dan lebih lambat pada area dangkal. Tanah yang curam, baik di atas maupun di bawah air, dapat membengkokkan dan memantulkan gelombang.</p>
<p>Garis pantai di kepulauan Indonesia teraksentuasi, terutama di bagian timur dan khususnya Sulawesi. Palu memiliki teluk yang sempit, panjang, dan dalam—sempurna untuk membuat tsunami lebih dahsyat dan mematikan. </p>
<p>Konfigurasi kompleks ini juga menyulitkan untuk membuat pemodelan potensi tsunami, sehingga sukar untuk mengeluarkan peringatan yang akurat dan cepat kepada orang-orang yang mungkin terdampak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-sistem-peringatan-tsunami-yang-lebih-canggih-bisa-cegah-jatuhnya-korban-di-sulawesi-104255">Apakah sistem peringatan tsunami yang lebih canggih bisa cegah jatuhnya korban di Sulawesi?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pergi ke arah bukit</h2>
<p>Saran paling aman dan sederhana bagi orang-orang di daerah pesisir yang terkena gempa adalah, secepatnya pergi ke bukit atau tanah tinggi, dan menetap di sana selama beberapa jam.</p>
<p>Tapi pada kenyataannya, ini masalah yang lumayan rumit.</p>
<p>Hawaii dan Jepang memiliki sistem peringatan dini yang canggih dan efisien. Menerapkan sistem serupa di Indonesia merupakan sebuah tantangan, mengingat kurangnya infrastruktur komunikasi dan beragamnya bahasa yang digunakan masyarakat di kepulauan yang sangat besar ini.</p>
<p>Setelah bencana tsunami Aceh 2004, ada upaya internasional untuk meningkatkan jaringan peringatan tsunami di wilayah. Hari ini, sistem peringatan tsunami Indonesia mengoperasikan jaringan yang terdiri dari 134 stasiun pengukuran pasang-surut, 22 pelampung yang terhubung ke sensor lantai laut untuk mengirimkan peringatan permulaan, seismograf di darat, sirene di sekitar 55 lokasi, dan sebuh sistem untuk mengeluarkan peringatan via SMS.</p>
<p>Namun demikian, pembiayaan dan dukungan sistem peringatan dini dalam jangka panjang adalah masalah yang tidak kecil. Masing-masing pelampung tsunami sendiri memakan biaya $250 ribu untuk pemasangan dan $50 ribu per tahun untuk pemeliharaan.</p>
<p>Tiga badan pemerintahan di Indonesia yang bertanggung jawab untuk mitigasi bencana tsunami dan gempa bumi telah menderita akibat pemotongan anggaran, serta usaha internal untuk memperjelas peran dan tanggung jawab mereka.</p>
<p>Akhir kata, kejadian tsunami Palu telah menunjukkan bahwa pemodelan tsunami yang saat ini kita punya tidaklah cukup. Pemodelan itu tidak memasukkan gempa bumi yang berulang ke dalam perhitungan secara memadai, atau longsor bawah laut yang tercipta akibat gempa. </p>
<p>Tidak ada satu pun sistem peringatan yang dapat mencegah gempa kuat. Tsunami, dan kematian korban serta kerusakan infrastruktur, hampir pasti akan terjadi di masa depan. </p>
<p>Tetapi dengan sistem peringatan dini yang mumpuni dan tepercaya, <em>juga</em> komunikasi dan kesadaran publik yang lebih baik, kita dapat mengurangi dampak tragis.</p>
<p>Untuk gempa yang terjadi sangat dekat dengan pantai—seperti yang kerap berlangsung di Indonesia—bahkan sistem yang ideal pun tidak akan sanggup menyebarkan informasi penting dengan cukup cepat.</p>
<p>Geografi Indonesia dan kehidupan masyarakat di pesisir yang rawan membuat tsunami makin berbahaya, jadi kita perlu upaya yang lebih banyak dan lebih giat untuk menciptakan masyarakat yang tahan gempa dan tsunami.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104321/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anja Scheffers tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kombinasi lempeng tektonik, geografi, serta infrastruktur buruk membuat Indonesia rentan terhadap tsunami yang mematikan.Anja Scheffers, Professor, Southern Cross UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1042202018-10-04T04:04:16Z2018-10-04T04:04:16ZGempa dan tsunami Palu runtuhkan salah satu upaya aktivisme HAM terpenting di Indonesia<p>Gempa bumi dan tsunami yang melanda kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat lalu, tidak hanya membawa kehancuran dan kematian. Bencana kembar tersebut juga meruntuhkan upaya para aktivis dan pemerintah kota dalam mendukung para penyintas kekerasan anti-komunis di Indonesia pada 1965-1966. Pada umumnya di Indonesia, penyintas kekerasan anti-komunis masih sangat terpinggirkan.</p>
<p>Di <a href="http://palukota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/10">Palu</a>, kota dengan 350.000 penduduk dan ibu kota provinsi Sulawesi Tengah, para aktivis telah meyakinkan para pemimpin pemerintah daerah untuk bersama-sama membantu para penyintas. Palu adalah satu-satunya daerah di Indonesia di mana seorang pejabat pemerintah menyatakan permintaan maaf resmi kepada korban kekerasan antikomunis di daerah tersebut. Sekitar lima hari setelah bencana alam terjadi, nasib sebagian aktivis masih belum diketahui.</p>
<h2>Permintaan maaf</h2>
<p>Rezim otoriter Orde Baru Soeharto berkuasa di Indonesia antara 1968 dan 1998. Tahun 1998, Soeharto dipaksa mengundurkan diri. Dari 1965-1966, tentara, di bawah Soeharto, memelopori operasi antikomunis yang menewaskan setengah juta orang sementara ratusan ribu orang lainnya ditahan tanpa pengadilan. </p>
<p>Militer menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas pembunuhan tujuh perwira militer pada malam 30 September dan dini hari 1 Oktober 1965, oleh sebuah kelompok yang menamakan dirinya <a href="https://uwpress.wisc.edu/books/3938.htm">Gerakan Tiga Puluh September</a>. Peringatan ke-53 dari kejadian ini bertepatan dengan bencana yang mengerikan di Sulawesi Tengah.</p>
<p>Pada 2012, Walikota Palu, Rusdy Mastura, meminta maaf kepada korban dan penyintas kekerasan anti-komunis. Dia berjanji untuk memberikan bantuan kepada mereka dan keluarga mereka demi <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/25/rusdy-mastura-the-mayor-who-said-sorry-1965.html">“kesetaraan, keterbukaan dan pertimbangan kemanusiaan”</a>. Dalam pidatonya, Mastura mengingat bagaimana, sebagai seorang anggota Pramuka pada tahun 1965, ia ditugaskan untuk menjaga orang-orang kiri yang ditahan.</p>
<p>Mastura berbicara di acara yang diselenggarakan oleh kelompok hak asasi manusia setempat, SKP-HAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia).</p>
<p>SKP-HAM didirikan pada tahun 2004. Pemimpinnya yang paling dikenal adalah sekretarisnya yang dinamis, <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/17/nurlaela-ak-lamasitudju-truth-and%20-justice-1965-victim.html">Nurlaela Lamasitudju</a>, putri dari ulama setempat, Abdul Karim Lamasitudju.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=293&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=293&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=293&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=368&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=368&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=368&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mantan Walikota Palu Rusdy Mastura (tengah) dan pemimpin SKP-HAM Nurlaela Lamasitudju (kanan).</span>
<span class="attribution"><span class="source">Gambar diam dari dokumenter pendek tentang SKP-HAM SKP-HAM: Inisiatif Lokal untuk Korban Pelanggaran HAM di Kota Palu '/ SKP-HAM Sulteng (2016)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>2012, ‘Tahun Kebenaran’</h2>
<p>SKP-HAM adalah bagian dari Koalisi Nasional untuk Kebenaran dan Keadilan (Koalisi Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan, KKPK), sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia.</p>
<p>Pada tahun 2012, KKPK mencanangkan kampanye “Tahun Kebenaran” dengan mengadakan beberapa acara publik dan “dengar pendapat” masyarakat dalam rangka mendorong administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merehabilitasi korban kekerasan. Pada April 2012, Presiden SBY<a href="http://news.detik.com/read/2012/04/25/141406/1901196/10/sby-akan-minta-maaf-pada-korban-larangan-ham-berat-di-masa-lalu">dilaporkan telah menyatakan niatnya untuk meminta maaf</a> kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama rezim Orde Baru Suharto.</p>
<p><hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-should-indonesia-resolve-atrocities-of-the-1965-66-anti-communist-purge-57885">How should Indonesia resolve atrocities of the 1965-66 anti-communist purge?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
</p>
<p>Permintaan maaf SBY yang dijanjikan tidak pernah terwujud. Namun, rangkaian kegiatan “Tahun Kebenaran” menghasilkan beberapa perkembangan penting di Palu.</p>
<p>Setelah permintaan maafnya, SKP-HAM melobi Mastura untuk memenuhi janjinya dengan menyediakan layanan kesehatan dan beasiswa. Pemerintah Palu kemudian mengeluarkan Peraturan Walikota dan <a href="http://referensi.elsam.or.id/2014/10/peraturan-walikota-palu-nomor-25-tahun-2013-tentang-rencana-aksi-nasional-hak-asasi-manusia-daerah/">Rencana Hak Asasi Manusia atau Ranham</a> untuk pelaksanaannya. Instrumen pemerintah daerah ini dimungkinkan melalui Undang-undang Otonomi Daerah di Indonesia.</p>
<p>Peraturan walikota tersebut juga membentuk komite untuk mengawasi perlindungan hak asasi manusia dan pemulihan hak-hak korban. Pada 20 Mei 2013, Palu dinyatakan sebagai “Kota Sadar Hak Asasi Manusia”. Setiap tahun, kota ini mengadakan serangkaian acara terkait hak asasi manusia. Pada bulan Mei 2015, Badan Perencanaan Daerah Kota Palu mengawasi proses pengecekan dan verifikasi identitas korban dan kebutuhan mereka, menggunakan <a href="http://www.skp-ham.org/wp-konten/unggahan/2015/06/Ringkasan-Eksekutif-Penelitian-dan-Verifikasi-Korban-Peristiwa-1965-1966-di-Kota-Palu-Rev-Ebook.pdf">informasi yang dihimpun oleh kelompok hak asasi manusia</a> sebagai dasar. </p>
<h1>Kota yang progresif</h1>
<p>SKP-HAM telah mengumpulkan 1.200 kesaksian tentang kekerasan 1965-66 dari korban di daerah tersebut. Dari kesaksian ini, itu telah dibuat dan diunggah ke YouTube <a href="https://www.youtube.com/channel/UCsuRnOiDOq4kv8fzcLPuY6A">film pendek tentang para penyintas</a>.</p>
<p><a href="http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/17/sulawesi-testifies-reveals-rare-perspective-1965-massacre.html">SKP-HAM juga menerbitkan sebuah buku tentang peristiwa 1965-66 di Sulawesi</a>, bekerja sama dengan penulis Indonesia, Putu Oka Sukanta. Rusdy Mastura menulis sebuah prakata untuk buku tersebut.</p>
<p>Kelompok ini mendukung koperasi tenun yang melibatkan para perempuan penyintas dan mengelola kafe dan ruang pertemuan, Kedai Fabula, di kantornya di Palu. Bersama dengan kelompok-kelompok agama dan pemerintah setempat, para anggota kelompok tersebut mengadakan kegiatan-kegiatan untuk melibatkan penyintas dalam kehidupan kota.</p>
<p>Mengingat kegiatan SKP-HAM Palu adalah pengingat dari apa yang telah hilang. Palu kota yang pencapaiannya dalam kemajuan hak asasi manusia memberikan <a href="https://www.nytimes.com/2015/07/13/world/asia/a-city-turns-to-face-indonesias-murderous-past.html">model untuk seluruh negeri</a>.</p>
<p>Masyarakat Palu, dengan bantuan dari berbagai pihak, akan membangun kembali, tetapi kita masih menantikan berita lebih lanjut dari kota ini. Sekretaris SKP-HAM, Nurlaela Lamasitudju, selamat dari gempa bumi dan tsunami. Dengan pergelangan kaki terkilir dan kehilangan beberapa anggota keluarga dalam bencana itu, dia bekerja sukarela mengumpulkan dan membagikan informasi mengenai situasi di Palu. Penting bagi Indonesia bahwa kelompok-kelompok seperti SKP-HAM yang mendorong inklusivitas dan persamaan hak tetap berada sebagai bagian dari bangsa dan negara di masa depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104220/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Vannessa Hearman adalah anggota Asian Studies Association of Australia council.</span></em></p>Ibu kota Sulawesi Tengah, Palu, yang terkena gempa dan tsunami, adalah kota dengan inisiatif HAM yang progresif.Vannessa Hearman, Lecturer in Indonesian Studies, Charles Darwin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1041442018-10-03T10:05:46Z2018-10-03T10:05:46ZGempa Palu: bagaimana ban bekas bisa menghentikan gedung runtuh<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/238834/original/file-20181002-195256-18vo2ef.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung rusak di Palu Sulawesi Tengah setelah dihantam gempa bumi, 30 September 2018.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/23359743@N00/44947334122/in/photolist-nGJGQd-2a9m12e-28N4jZw-q3ibCb-nGLXLy-nZ7Nsu-o22FwV-nGJYbV-nGKTW1-nYWGyp-nGLFjx-iJeW41-5Zgate-28N4k5S-28N4k9j-2abfTje-2atphR5-28MbhSs-28N4jY9-2au6mXw-28N4k7A-28N4kdY-PoKnY3-2busek5-Ptba9w-2byrn4Z-2adg4Jv-2bxqVjE-2avr13u-2btQTsu-2btQQuA-MLSxuB-nGLchF-nZ8bkC-2aaBicR-nZ8Zab-2by7SNg-nZ9aaG-nZ99yb-2by7SNX-2aaBib8-MP8WhZ-2btqpEy-2brzu11-2btQTzo-Pt5wDN-28N4kbU-2asth3j-2bvShxT-oSnMDp">ANTARA FOTO BNBP REUTERS/FLICKR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Indonesia baru saja dilanda gempa berkekuatan 7,5 yang diikuti oleh <a href="https://www.theguardian.com/world/2018/oct/01/palu-earthquake-and-tsunami-what-we-know-so-far">tsunami yang besar dengan gelombang hingga 6 meter</a> yang merusak Palu dan Donggala Sulawesi Tengah pada Jumat pekan lalu. </p>
<p>Diperkirakan setidaknya <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-45716915">1300 orang tewas</a>, tapi jumlah korban tewas diperkirakan akan meningkat secara cepat dalam beberapa minggu ke depan mengingat begitu luasnya bangunan rusak dan tanah longsor yang terjadi akibat dari peristiwa seismik tersebut.</p>
<p>Pulau-pulau di Indonesia sedang menderita dengan adanya bencana baru bahkan tidak sampai dua bulan sejak bencana terakhir yang menyebabkan kesedihan mendalam di Pulau Lombok. Pada saat artikel ditulis, setidaknya<a href="https://www.aljazeera.com/news/2018/08/lombok-earthquake-death-toll-rises-555-180824083700478.html"> 555 orang meninggal</a> setelah gempa berkekuatan 6,9 di Lombok dan setelah itu masih banyak gempa susulan. Lebih lanjut, 2.500 orang-orang dirawat di rumah sakit dengan luka serius dan lebih dari 270.000 orang telah mengungsi untuk sementara waktu.</p>
<p>Gempa bumi adalah salah satu bencana alam paling mematikan, terhitung hanya 7,5% peristiwa semacam itu terjadi antara 1994 dan 2013 dan <a href="https://www.emdat.be/sites/default/files/adsr_2016.pdf">menyebabkan 37% korban meninggal</a>. Dan dalam berbagai kejadian bencana alam, bukan negara-negara yang paling sering mengalami bencana alam yang menderita kerugian paling besar. Jumlah orang tewas di suatu negara dari bencana alam terkait dengan <a href="https://www.cred.be/downloadFile.php?file=sites/default/files/PubID266Earthquakes.pdf">seberapa majunya negara tersebut</a>. </p>
<p>Di Lombok, seperti <a href="https://edition.cnn.com/2015/05/10/asia/nepal-earthquake-death-toll/">di Nepal pada 2015</a>, banyak kematian yang disebabkan oleh rumah yang tidak berdiri dengan kokoh sehingga tidak mampu menahan guncangan susulan. Secara umum, bangunan berkualitas rendah dan perencanaan kota yang tidak memadai adalah <a href="https://www.emdat.be/sites/default/files/adsr_2016.pdf">dua alasan utama</a> mengapa peristiwa seismik lebih merusak di negara-negara berkembang.</p>
<p>Menanggapi masalah ini, saya dan rekan-rekan sedang bekerja untuk menciptakan fondasi bangunan murah yang lebih baik dalam menyerap energi gempa dari dalam bumi dan juga dapat mencegah struktur runtuh saat gempa bumi. Dan bahan utama dari fondasi ini adalah karet dari ban bekas, yang sebagian besar sangat sulit untuk dibuang secara aman dan sebagian besar <a href="https://www.thehindu.com/business/Turning-waste-tyre-into-%25E2%2580%2598green-steel%25E2%2580%2599/article14518524.ece">dikirim ke tempat pembuangan akhir</a> atau dibakar, melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar dan gas beracun yang mengandung logam berat.</p>
<h2>Campuran tanah-karet</h2>
<p>Usaha-usaha sebelumnya untuk melindungi gedung-gedung dari gempa bumi dengan mengubah dasar bangunan mereka menunjukkan hasil yang menjanjikan. Misalnya, <a href="https://theconversation.com/our-new-anti-earthquake-technology-could-protect-cities-from-destruction-44028">penghalang getaran bawah tanah</a> yang baru-baru ini dikembangkan dapat mengurangi antara 40% dan 80% dari gerakan tanah permukaan. Tapi sebagian besar metode isolasi canggih ini mahal dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/263556747_Seismic_isolation_for_low-to-medium-rise_buildings_using_granulated_rubber-soil_mixtures_Numerical_study">sangat sulit untuk dipasang</a> di bawah bangunan yang sudah tegak berdiri.</p>
<p>Alternatif dari kami adalah membuat dasar bangunan yang terbuat dari tanah lokal yang dicampur dengan sebagian dari <a href="http://www.etrma.org/uploads/Modules/Documentsmanager/elt-report-v9a---final.pdf">15 juta ton</a> ban bekas yang diproduksi setiap tahun. Campuran karet dan tanah dapat mengurangi efek getaran gempa pada bangunan di atasnya. Hal ini dapat dipasang kembali dengan mudah ke gedung-gedung yang ada dengan biaya rendah, <a href="https://www.researchgate.net/publication/262894408_Seismic_isolation_using_granulated_tire-soil_mixtures_for_less-developed_regions_Experimental_validation">membuatnya sangat cocok untuk negara-negara berkembang</a>. </p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/234720015_Dynamic_properties_of_dry_sandrubber_SRM_and_gravelrubber_GRM_mixtures_in_a_wide_range_of_shearing_strain_amplitudes">Beberapa riset</a> telah menunjukkan bahwa memasukkan partikel karet ke dalam tanah dapat meningkatkan jumlah <a href="https://www.researchgate.net/publication/326573152_Dynamic_behaviour_of_shredded_rubber_soil_mixtures">energinya yang dihamburkan</a>. </p>
<p>Gempa menyebabkan karet berubah bentuk, menyerap energi dari getaran seperti cara yang sama pada bodi mobil <a href="https://auto.howstuffworks.com/car-driving-safety/safety-regulatory-devices/crumple-zone.htm">penyok dalam kecelakaan</a> untuk melindungi orang-orang di dalamnya. Kekakuan partikel pasir di tanah dan gesekan di antara keduanya membantu menjaga konsistensi campuran tersebut.</p>
<p>Saya dan rekan saya <a href="https://www.researchgate.net/project/The-use-of-rubber-sand-mixtures-RSM-for-the-mitigation-of-earthquake-damage-in-structures?_sg=Lt6JDvLryAwjsLhMrpPu5DZ0IhUMO5LKobDzL6YDAfcF_Rc6ZYA0HGAabGeV10GzT_hRYcIgZkjne9GrWuYGGID_b_hsxIjSiJ5-">telah menunjukan</a> bahwa menggunakan campuran karet dan tanah juga dapat mengubah frekuensi alami dari fondasi tanah dan mengubah cara fondasi tersebut berinteraksi dengan struktur bangunan di atasnya. </p>
<p>Ini bisa membantu menghindari fenomena resonansi yang biasanya terjadi ketika gaya seismik memiliki frekuensi yang sama dengan getaran alami bangunan. Jika getaran cocok mereka akan saling memperkuat getaran satu sama lain, secara dramatis memperkuat guncangan gempa dan menyebabkan struktur bangunan runtuh, seperti yang terjadi pada kasus terkenal di jembatan <a href="http://www.wsdot.wa.gov/tnbhistory/connections/connections3.htm">Tacoma Narrows, Washington, Amerika Serikat</a> pada 1940. Menggunakan campuran karet dan tanah dapat mengimbangi getaran sehingga hal seperti ini tidak kembali terjadi.</p>
<h2>Masa depan yang menjanjikan</h2>
<p>Kunci untuk membuat teknologi ini bekerja adalah dengan menemukan persentase karet yang optimal untuk digunakan. Kalkulasi awal kami sejalan dengan hasil kalkulasi dari <a href="https://www.researchgate.net/publication/229742536_Seismic_isolation_by_rubber-soil_mixtures_for_developing_countries">riset lain</a>. Ini menunjukkan bahwa lapisan campuran karet dan tanah dengan tebal antara satu dan lima meter di bawah bangunan akan mengurangi gaya akselerasi horisontal maksimum gempa bumi antara 50% dan 70%. Hal ini adalah elemen yang paling destruktif dari gempa bumi untuk bangunan tempat tinggal.</p>
<p>Kami <a href="https://www.napier.ac.uk/research-and-innovation/impact-case-studies/from-cycle-paths-to-seismic-maths">sekarang mempelajari bagaimana bentuk-bentuk fondasi campuran karet-tanah yang berbeda</a> dapat membuat sistem lebih efisien, dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh berbagai jenis gempa bumi. Bagian dari tantangan ini penelitian ini adalah menguji sistem. </p>
<p>Kami membangun <a href="https://youtu.be/bIqV95gIf9o">model berskala kecil</a> untuk mencoba memahami cara kerja sistem dan menilai keakuratan simulasi komputer. Tapi mengujinya di dunia nyata membutuhkan gempa bumi yang sebenarnya, dan hampir tidak mungkin mengetahui kapan tepatnya dan di mana gempa terjadi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/hSwjkG3nv1c?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Ada beberapa cara untuk mengujinya melalui percobaan skala besar, yang melibatkan pembuatan model bangunan berukuran penuh dan mengguncangnya untuk mensimulasikan kekuatan dari gempa bumi nyata yang tercatat. Tetapi ini membutuhkan dana dari institusi atau perusahaan besar. Maka itu, ini hanya masalah mencoba solusi pada bangunan nyata dengan meyakinkan pemilik properti bahwa cara ini berharga.</p>
<p><em>Penulis menambahkan data terbaru tentang gempa di Sulawesi Tengah.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104144/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Juan Bernal-Sánchez bekerja untuk Edinburgh Napier University.</span></em></p>Usaha-usaha sebelumnya untuk melindungi gedung-gedung dari gempa bumi dengan mengubah dasar bangunan mereka hasilnya menunjukkan sesuatu yang menjanjikan.Juan Bernal-Sánchez, PhD Resarcher, Edinburgh Napier UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1042552018-10-02T09:30:45Z2018-10-02T09:30:45ZApakah sistem peringatan tsunami yang lebih canggih bisa cegah jatuhnya korban di Sulawesi?<p>Jumlah korban tewas dari <a href="https://www.ngdc.noaa.gov/nndc/struts/results?eq_0=10369&t=101650&s=18&d=99,91,95,93&nd=display">gempa bumi berkekuatan 7,5 Skala Richter (SR) dan tsunami</a> yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat malam <a href="http://www.abc.net.au/news/2018-10-01/indonesia-quake-death-toll-rises-preparations-for-mass-burial/10325792">terus meningkat</a>. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah karena beberapa daerah yang belum terjangkau oleh tim penyelamat.</p>
<p>Tapi besar dan lokasi gempa seharusnya tidak terlalu mengejutkan. Palu terletak di ujung teluk sempit yang panjang, yang berada tepat pada permukaan patahan Palu–Koro sangat aktif.</p>
<p>Daerah ini berisiko tinggi terhadap tsunami. Beberapa gempa bumi besar dan tsunami yang terjadi di sepanjang patahan itu dalam 100 tahun terakhir.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/explainer-after-an-earthquake-how-does-a-tsunami-happen-83732">Explainer: after an earthquake, how does a tsunami happen?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Detail mengenai gempa bumi dan tsunami pada Jumat lalu masih terbatas, tapi sudah ada pertanyaan yang diajukan mengenai <a href="http://www.abc.net.au/news/2018-09-30/indonesia-tsunami-sensors-missed-huge-waves-official-says/10321330">keefektifan sistem peringatan tsunami di Indonesia</a>.</p>
<p>Sistem peringatan ini dikembangkan setelah <a href="https://www.ngdc.noaa.gov/nndc/struts/results?eq_0=5823&t=101650&s=18&d=99,91,95,93&nd=display">tsunami besar pada 2004</a> yang terjadi setelah gempa di Aceh, tapi dalam kejadian belum lama ini peringatan itu tidak menjangkau banyak orang yang terdampak.</p>
<p>Tsunami terjadi kali ini di daerah yang tidak ada alat pengukur pasang surut (<em>tide gauges</em>). Ala ini dapat memberikan informasi mengenai ketinggian gelombang. Ada <a href="https://www.smh.com.au/world/asia/indonesian-tsunami-warning-system-stuck-in-testing-phase-experts-20181001-p5070a.html">laporan</a> bahwa sistem teknologi yang canggih mungkin dapat menyelamatkan jiwa, jika sistem itu bekerja sebagaimana mestinya</p>
<p>Sebagian besar pelampung peringatan tsunami (<em>tsunameter buoys</em>) di lautan Indonesia, yang dirancang khusus untuk mendeteksi tsunami di lautan
terbuka, <a href="http://www.abc.net.au/news/2018-10-01/indonesia-tsunami-early-detection-buoys-broken-for-six-years/10324200">belum berfungsi sejak 2012</a>.</p>
<p>Sistem Peringatan Tsunami Indonesia mengeluarkan peringatan hanya beberapa menit setelah gempa terjadi, tapi para pejabat BMKG <a href="https://en.tempo.co/read/news/2018/10/01/310922122/BMKG-says-They-are-Completely-Blind-about-Tsunami-in-Palu">belum dapat menghubungi petugas lapangan</a> di daerah Palu. Peringatan tersebut kemudian dibatalkan 34 menit kemudian, tepat setelah gelombang tsunami ketiga menghantam Palu.</p>
<h2>Sejarah tsunami di Palu</h2>
<p>Gempa besar sering terjadi di Palu, dengan <a href="https://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eventpage/us1000h3p4#executive">15 kejadian di atas 6,5 SR</a> dalam 100 tahun terakhir. Yang terbesar adalah peristiwa pada <a href="https://www.ngdc.noaa.gov/nndc/struts/results?eq_0=5428&t=101650&s=18&d=99,91,95,93&nd=display">Januari 1996 dengan besar guncangan 7,9 SR</a> terjadi sekitar 100 km di utara gempa pada Jumat kemarin. </p>
<p>Sejumlah gempa bumi besar telah menghasilkan
tsunami. Pada <a href="https://www.ngdc.noaa.gov/nndc/struts/results?eq_0=3339&t=101650&s=18&d=99,91,95,93&nd=display">1927</a> gempa bumi dan tsunami menyebabkan sekitar 50 orang tewas dan kerusakan bangunan di Palu. Pada 1968 sebuah <a href="https://www.ngdc.noaa.gov/nndc/struts/results?eq_0=4454&t=101650&s=18&d=99,91,95,93&nd=display">gempa bumi
berkekuatan 7,8 SR</a> dekat Donggala menghasilkan gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari 200 orang.</p>
<p>Terlepas dari sejarah ini, banyak warga di Palu tidak sadar akan risiko tsunami setelah gempa bumi. Sepuluh tahun sejak tragedi Tsunami Aceh 2004, yang sedikitnya menewaskan 226.000 orang, ada <a href="https://www.reuters.com/article/us-tsunami-anniversary-warning/ten-years-on-tsunami-warning-stumbles-at-the-last-mile-idUSKBN0JZ03220141222">kekhawatiran</a> mengenai sistem peringatan tsunami di seluruh wilayah ini.</p>
<p>Sebuah <a href="https://www.smh.com.au/world/asia/indonesian-tsunami-warning-system-stuck-in-testing-phase-experts-20181001-p5070a.html">sistem peringatan dengan teknologi maju</a> yang saat ini hanya pada tahap prototipe mungkin tidak membantu warga Palu, ketika tsunami
menghantam pantai dalam 20 menit setelah gempa.</p>
<p>Sistem peringatan dini semacam itu sangat bermanfaat pada ratusan kilometer dari sumber tsunami. Di daerah seperti di Palu, sumber gempa dan tsunami sangat dekat, pendidikan mengenai peringatan dini adalah sistem peringatan yang paling efektif.</p>
<p>Belum jelas apakah tsunami pada Jumat lalu disebabkan oleh pergerakan patahan akibat gempa bumi, atau dari tanah longsor bawah laut Teluk Palu yang disebabkan oleh guncangan akibat gempa.</p>
<p>Sisi teluk yang curam dan tidak stabil, dan <a href="https://www.linkedin.com/pulse/sulawesi-earthquake-tsunami-robert-hall">peta dasar laut</a> menunjukkan bahwa tanah longsor di bawah laut telah terjadi di sana di masa lalu.</p>
<p>Jika tsunami dihasilkan oleh longsoran bawah laut di dalam teluk, sensor tsunami atau alat pengukur pasang surut di bibir teluk tidak akan merasakan gelombang tsunami sebelum menghantam pantai di Palu.</p>
<h2>Jaringan Komunikasi</h2>
<p><a href="https://theconversation.com/chile-earthquake-how-high-tech-warning-systems-save-lives-47693">Sistem peringatan tsunami dengan teknologi canggih</a> dapat mengirimkan peringatan melalui jaringan telepon atau saluran komunikasi lainnya, dan menjangkau orang sekitar melalui pesan teks dan sirene tsunami di pantai.</p>
<p>Tapi di wilayah gempa bumi, infrastruktur ini kerap rusak dan pesan peringatan tidak dapat disampaikan. Di Palu, gempa bumi menghancurkan jaringan telepon seluler lokal sehingga tidak ada informasi yang dapat masuk atau keluar dari daerah tersebut.</p>
<p>Pengaturan waktu juga penting. Peringatan tsunami resmi membutuhkan analisis data dan memakan waktu hingga beberapa menit untuk mempersiapkan dan menyebarluaskannya.</p>
<p>Waktu sangat penting bagi orang yang berada di dekat pusat gempa, di mana tsunami dapat menyerang dalam beberapa menit setelah gempa bumi. Mereka yang tinggal di daerah-daerah seperti itu perlu menyadari perlunya evakuasi dini tanpa menunggu peringatan resmi. Gempa itu sendiri merupakan <a href="https://www.americangeosciences.org/critical-issues/faq/what-are-natural-warning-signs-tsunami">peringatan alami</a> dari potensi tsunami.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/be-prepared-always-the-tsunami-message-from-new-zealands-latest-earthquake-68742">Be prepared, always: the tsunami message from New Zealand's latest earthquake</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran akan risiko menjadi lebih menantang ketika tsunami besar jarang terjadi, seperti di Palu. Banyak penduduk mungkin belum lahir ketika tsunami terakhir berdampak pada kota ini pada 1968.</p>
<p>Jadi sistem peringatan berteknologi tinggi mungkin tidak efektif di area yang dekat dengan pusat gempa. Program kesadaran dan pendidikan yang berkelanjutan adalah bagian terpenting dari sistem peringatan tsunami di daerah pesisir yang berisiko tsunami, tidak peduli seberapa jarang mereka terjadi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104255/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jane Cunneen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Program kesadaran dan pendidikan yang berkelanjutan adalah bagian terpenting dari sistem peringatan tsunami di daerah pesisir seperti Palu yang berisiko tsunami.Jane Cunneen, Research Fellow, Curtin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1042382018-10-02T07:55:23Z2018-10-02T07:55:23ZMeninjau ulang strategi peringatan dini tsunami di Indonesia: cermin dari Palu<p>Gempa bumi <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-45702566">dengan magnitudo 7,5 di Palu dan Donggala</a> di Sulawesi Tengah yang disusul dengan tsunami pada Jumat pekan lalu, hingga artikel ini ditulis, menyebabkan korban tewas setidaknya <a href="https://regional.kompas.com/read/2018/10/02/08121951/korban-meninggal-gempa-dan-tsunami-palu-capai-925-jiwa-799-luka-luka">925 jiwa</a>, 99 orang hilang, 799 orang terluka, dan hampir 60 ribu orang mengungsi tersebar di lebih dari 100 titik.</p>
<p>Setelah investasi teknologi ratusan miliar rupiah paska <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/2004_Indian_Ocean_earthquake_and_tsunami">Tsunami Aceh 2004</a> yang menghasilkan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, <a href="https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=12">InaTEWS</a>, hari ini kembali dipertanyakan efektivitasnya dalam mencegah jatuhnya korban jiwa. </p>
<p>InaTEWS, walau komprehensif secara konseptual, belum mampu memberikan layanan yang memadai ketika dihadapkan pada <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45703709">gempa Palu</a>. </p>
<p>Harga yang dibayar cukup mahal karena begitu banyak kematian akibat ketidakmampuan mengevakuasi diri. Hampir sebagian besar korban tsunami tidak mendapatkan informasi evakuasi paska gempa dari pemerintah. <a href="https://twitter.com/Sutopo_PN/status/1046138149443764226">Tidak ada sirine yang berbunyi</a>. Pada saat yang bersamaan, masyarakat belum memiliki gerakan refleks <a href="http://rsta.royalsocietypublishing.org/content/373/2053/20140370">evakuasi mandiri</a> ke tempat yang lebih tinggi begitu terjadi gempa.</p>
<p>Masalah kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami dan gempa bumi bukan sekadar masalah teknologi melainkan juga masalah sosial budaya dan ekonomi politik yang perlu diselesaikan secara memadai, terus-menerus, dan detail.</p>
<h2>Kontroversi Tsunami Palu</h2>
<p>Politikus <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181001084159-20-334529/komisi-v-dpr-panggil-bmkg-terkait-peringatan-tsunami-palu">Senayan akan memanggil Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)</a> untuk dimintai keterangan terkait diakhirinya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/09/28/17394801/bmkg-cabut-peringatan-tsunami-akibat-gempa-berkekuatan-77-di-sulteng">peringatan dini tsunami oleh BMKG</a>. </p>
<p>Kontroversi muncul karena gelombang tsunami yang mematikan secara empirik tiba di pantai Palu setelah BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami <a href="http://www.bmkg.go.id/tsunami/">pascagempa berkekuatan 7,5</a> dengan kedalaman 10 kilometer di wilayah 27 km Timur Laut Donggala pada Jumat, 28 September 2018, tepatnya pukul 18.02.44 WITA. Peringatan dini tsunami dihentikan 30 menit kemudian sedangkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/09/29/16415971/begini-kronologi-gempa-dan-tsunami-palu-donggala-yang-tewaskan-ratusan-orang">gelombang tsunami telah tiba 15 menit lebih awal</a>. </p>
<p>Keputusan BMKG berdasarkan hasil analisis pemodelan tsunami Palu yang diverifikasi dengan berbasis <em>proxy</em> dari <a href="http://pusatkrisis.kemkes.go.id/apa-itu-tide-gauge"><em>tide gauge</em></a>, yaitu alat pendeteksi pasang surut, di Mamuju (300 km dari Palu). Hasil analisis itu menunjukkan muka air tsunami terdeteksi tapi tidak signifikan untuk sebuah tsunami yang membahayakan.</p>
<p>BMKG dan beberapa ahli menjelaskan bahwa <a href="http://www.abc.net.au/news/2018-09-30/indonesia-tsunami-sensors-missed-huge-waves-official-says/10321330"><em>tide gauge</em> di Palu tidak terkonfirmasi</a> atau tidak berfungsi. Sedangkan kontak untuk verifikasi di Palu tidak aktif karena tidak ada jalur telepon yang hidup di Palu sesaat setelah gempa terjadi. </p>
<p>Pada waktu yang bersamaan, tidak ada sumber data alternatif seperti <a href="https://library.wmo.int/pmb_ged/dbcp-td_36_en/presentations/22_Pandoe-Indonesia-Tsunameters.pdf"><em>tsunami buoys</em> alias pelampung peringatan tsunami</a> yang tersedia. </p>
<p>Informasi mengenai hilang atau rusaknya semua <em>tsunami buoys</em> <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180930160115-20-334439/bnpb-seluruh-buoy-deteksi-tsunami-di-indonesia-rusak">bukan berita baru</a>. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkali-kali mengatakan hal ini, setidaknya sejak <a href="http://www.tribunnews.com/nasional/2011/07/12/indonesia-kehilangan-alat-pendeteksi-tsunami">Juli 2011</a>, lalu <a href="https://nasional.kompas.com/read/2016/03/03/17174271/Semua.Alat.Pendeteksi.Tsunami.Milik.Indonesia.Rusak">Maret 2016</a>, hingga <a href="https://nasional.tempo.co/read/1042840/bnpb-seluruh-alat-pendeteksi-tsunami-di-indonesia-rusak">Desember 2017</a>. Artinya dalam 7 tahun ini, tidak ada penggantian <em>tsunami buoys</em>. </p>
<p>Pertanyaannya: mengapa <em>tsunami buoys</em> tidak diganti bila alat itu penting dalam skenario Gempa Palu 7,7 SR tersebut? Mengapa penggantian alat yang rusak tidak menjadi prioritas pemerintah? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah DPR yang tidak menyetujui proposal anggaran dari lembaga terkait?</p>
<h2>Tingkatan fokus pada kesiap-siagaan masyarakat</h2>
<p>Sistem peringatan dini tsunami (TEWS) yang berpusat pada manusia mensyaratkan komitmen untuk investasi dalam membangun kesadaran kesiapsiagaan terhadap tsunami dan gempa. Investasi pada masyarakat rentan harus rutin dan berkesinambungan dari level kabupaten hingga pada level rumah tangga. </p>
<p>Konsep dan fokus InaTEWS tidak cukup hanya dengan debat soal pemuktahiran teknologi lalu lupa dengan kerja menyiapkan masyarakat siap menghadapi tsunami masa depan. Sudah sejauh mana pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara serius mengimplementasi agenda kesiapsiagaan tsunami dan kegempaan di daerah? </p>
<p>Menyalahkan masyarakat karena <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20181001212900-4-35600/luhut-pencuri-buoy-tsunami-sama-dengan-pembunuh">vandalisme</a> terkait <em>tsunami buoy</em> dan mengatakan masyarakat sebagai pembunuh adalah satu hal. Tapi mereduksi masalah <em>tsunami buoys</em> dalam <a href="https://www.researchgate.net/publication/200053275_When_Heaven_hardly_Meets_the_Earth_Towards_Convergency_in_Tsunami_Early_Warning_Systems">ranah kriminal</a> tentu tidak menyelesaikan masalah.</p>
<p>Kalau pun masih ada <em>tsunami buoys</em> yang mungkin telah berusia di atas 10 tahunan ini, apakah ada perawatan yang rutin? Dalam tradisi pemeliharaan tsunami buoys di Australia misalnya, Badan Meterologi Australia secara berkala <a href="http://www.bom.gov.au/tsunami/about/detection_buoys.shtml">mengganti tsunami buoys</a> di permukaan air laut tiap dua tahun. Sensor tekanan dasar lautnya juga harus rutin dan lebih sering dibersihkan karena sering kemasukan sedimen dan makhluk kecil di laut. </p>
<p>Artinya sejak <a href="http://www.gitews.org/tsunami-kit/id/E2/sumber_lainnya/InaTEWS%20-%20Konsep%20dan%20Implementasi.pdf">diresmikannya InaTEWS dan digunakannya</a> <em>buoys</em> pada 2008, minimal perlu penggantian <em>tsunami buoys</em> sebanyak 3-4 kali. Tentu tergantung tipe dan ketahanannya produknya, perawatannya memang <a href="https://www.gao.gov/assets/310/303677.pdf">mahal dan tidak selalu mumpuni</a>. </p>
<p>Terkait <em>tsunami-buoys</em>, beberapa keterangan pakar justru mengatakan bahwa <a href="http://time.com/5411473/indonesia-tsunami-warning-technology-dispute/">Palu tidak memiliki alat peringatan tersebut</a> karena minimnya dukungan dana dari pemerintah terhadap Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang mengelola alat tersebut.</p>
<p>Kita perlu mempertanyakan, apakah ada anggaran memadai yang dikeluarkan terkait pemeliharaan tsunami bouys dalam InaTEWS dalam 8 tahun terakhir. Artinya mungkin saja tsunami buoys yang hilang memang secara natural sudah tidak berfungsi karena ketiadaan pemeliharaan.</p>
<p>Karena itu, menyalahkan masyarakat yang mengambilnya sebagai ‘<a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20181001212900-4-35600/luhut-pencuri-buoy-tsunami-sama-dengan-pembunuh">pembunuh</a>’ perlu diimbangi dengan kemampuan otokritik pemerintah dalam menyadari perannya dalam jatuhnya korban karena kelalaian menyediakan anggaran pemeliharaan dan pemutakhiran infrastruktur InaTEWS.</p>
<h2>Ketidakpastian teknologi dan sistem TEWS</h2>
<p>Teknologi memiliki kelemahan yang melekat pada sistem tata kelola dan keterbatasan karena konteks. <a href="http://big.go.id/">Badan Informasi Geospasial (BIG)</a> perlu memutakhirkan dan memantau pemeliharaan <em>tide gauge</em> secara berkala. Sistem dan peralatan yang bergantung pada aliran listrik sering menjadi masalah ketika terjadi gempa besar. Pentingnya sistem energi <em>back-up</em> seperti tenaga surya sudah sering dibahas. Lihat <a href="http://iotic.ioc-unesco.org/images/xplod/resources/material/inatews%20guidebook%20ina.pdf">panduan InaTEWS di sini</a>.</p>
<p>Selain soal ketiadaan informasi dari <em>tide gauge</em> Palu dan ketiadaan <em>tsunami buoys</em>, berbagai kritik terkait model analisis tsunami yang wajib memperhitungkan karekteristik dinamika teluk, potensi longsor bawah laut, serta sistem dan teknologi InaTEWS yang tidak mutakhir mungkin ada benarnya. </p>
<p>Namun menyalahkan BMKG saat ini tentu gampang namun tak selalu seperti yang terlihat secara kasat mata dalam Gempa Palu 28 September. Mengoreksi birokrasi lokal (juga nasional) yang abai dalam memelihara <em>tide gauge</em> dan <em>buoys</em> juga perlu. Tapi menyalahkan masyarakat tanpa ada agenda pendidikan publik dan kesadaran mereka terkait aset-aset InaTEWS seperti <em>tsunami buoys</em> tentu lebih mudah lagi. </p>
<p>Aspek kecepatan dan ketepatan menjadi sangat penting dalam sistem peringatan dini tsunami (TEWS) di mana pun. Hukum perkembangan teknologi menurut <a href="https://www.intel.com.au/content/www/au/en/silicon-innovations/moores-law-technology.html">Hukum Moore</a> menghendaki pemuktahiran alat setiap 18-24 bulan. </p>
<p>Bagaimana InaTEWS mengoperasikan sistem yang efektif menyelamatkan rakyat bila sistemnya tidak diperbarui secara berkala seturut perkembangan teknologi? Bagaimana memiliki sistem yang selalu mutakhir bila pengambil kebijakan tidak mendukung proposal anggaran pemuktahiran sistem? </p>
<p>Salah satu komponen utama dari sistem peringatan dini Indonesia <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/27/warning-system-about-people.html">adalah manusia Indonesia itu sendiri</a>. Penekanan yang berlebihan pada teknologi dapat membuat komunitas menjadi pasif. Ini dapat mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan daya antisipasi yang mandiri dan berkelanjutan.</p>
<h2>Reformasi birokrasi bencana di daerah</h2>
<p>Harus ada upaya pendidikan masyarakat secara konsisten. TEWS diciptakan demi penyelamatan manusia. Karena itu penekanan pada <a href="https://www.researchgate.net/publication/232964458_Measuring_the_sustainability_of_tsunami_early_warning_systems_An_interdisciplinary_research_agenda">manusia dan sistem tata kelolanya</a> sangat penting dalam menjamin keberlanjutan layanan peringatan dini.</p>
<p>Transformasi InaTEWS menghendaki <a href="https://www.zef.de/uploads/tx_zefportal/Publications/2efd_GITEWS-Lassa-2009.pdf">reformasi birokrasi TEWS dan penanganan bencana</a> di daerah dalam keseharian. Kehadiran <a href="https://www.bnpb.go.id/pusdalops-garda-terdepan-menggali-informasi-saat-bencana-">Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops)</a> sebagai ujung tombak layanan informasi bencana dan peringatan di tiap kabupaten kota bukanlah pajangan birokrasi tanpa tujuan. </p>
<p>Tanpa perbaikan birokrasi dan reformasi layanan publik sepanjang rantai InaTEWS dari pusat hingga daerah dan yang diikuti dengan penyadaran dan kesiapsiagaan akar rumput, mustahil Indonesia tangguh terhadap gempa tsunamigenik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104238/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jonatan A Lassa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Palu tidak memiliki tsunami buoys alias alat pelampung peringatan tsunami karena minimnya dukungan dana dari pemerintah terhadap BPPT.Jonatan A Lassa, Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.