tag:theconversation.com,2011:/us/topics/gizi-buruk-51363/articlesgizi buruk – The Conversation2023-09-14T07:37:14Ztag:theconversation.com,2011:article/2069502023-09-14T07:37:14Z2023-09-14T07:37:14ZEkonomi Indonesia terbesar di ASEAN, tapi 1 dari 5 anak mengalami ‘stunting’, mengapa?<p>Indonesia telah menjadi negara dengan <a href="https://www.uobgroup.com/asean-insights/indonesia-fact-sheet.page">ekonomi terbesar di Asia Tenggara</a> dan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/02/daftar-20-negara-ekonomi-terkuat-di-dunia-2022-indonesia-masuk-daftar#:%7E:text=Secara%20global%2C%20Indonesia%20masuk%20dalam%2020%20negara%20dengan%20ekonomi%20terbesar.&text=Sementara%20Indonesia%20berada%20di%20posisi,diapit%20Spanyol%20dan%20Arab%20Saudi.">terbesar ke-17</a> di dunia pada 2022. Meski demikian, satu dari lima anak di bawah dua tahun di negeri ini mengalami kurang gizi kronis. </p>
<p>Angka <em>stunting</em> (anak dengan ukuran tinggi kurang dari standar) di Indonesia <a href="https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/angka-stunting-tahun-2022-turun-menjadi-216-persen/">mencapai 21,6% pada 2022</a>, sebuah angka <a href="https://kidb.adb.org/explore?filter%5Bindicator_id%5D=3020005&filter%5Beconomy_code%5D=AFG%2CARM%2CAUS%2CAZE%2CBAN%2CBHU%2CBRU%2CCAM%2CCOO%2CFIJ%2CFSM%2CGEO%2CHKG%2CIND%2CINO%2CJPN%2CKAZ%2CKGZ%2CKIR%2CKOR%2CLAO%2CMAL%2CMLD%2CMON%2CMYA%2CNAU%2CNEP%2CNIU%2CNZL%2CPAK%2CPHI%2CPLW%2CPNG%2CPRC%2CRMI%2CSAM%2CSIN%2CSOL%2CSRI%2CTAJ%2CTAP%2CTHA%2CTIM%2CTKM%2CTON%2CTUV%2CUZB%2CVAN%2CVIE&filter%5Byear%5D=2000%2C2001%2C2002%2C2003%2C2004%2C2005%2C2006%2C2007%2C2008%2C2009%2C2010%2C2011%2C2012%2C2013%2C2014%2C2015%2C2016%2C2017%2C2018%2C2019%2C2020%2C2021%2C2022%2C2023&grouping=indicators&showRegions=1">tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste</a>. Masalah ini masih menjadi masalah kesehatan utama yang dihadapi Indonesia. </p>
<p><em>Stunting</em> selama masa kanak-kanak akan berdampak terhadap kesehatan seumur hidup. </p>
<p>UNICEF <a href="http://kesmas.ulm.ac.id/id/wp-content/uploads/2019/02/BUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-STUNTING_2018.pdf">menyatakan Indonesia</a> adalah salah satu negara berkembang dengan prevalensi <em>stunting</em> yang tinggi karena masuk dalam lima besar kasus <em>stunting</em> dari 88 negara di dunia.</p>
<p>Meski terjadi penurunan kejadian <em>stunting</em> di Indonesia selama dekade terakhir, tapi angka ini masih belum sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2024, yaitu masing-masing di bawah 20% dan <a href="https://paudpedia.kemdikbud.go.id/kabar-paud/berita/19-kl-sepakat-ketahanan-pangan-dan-percepatan-penurunan-stunting-tetap-menjadi-prioritas-rpjm-hingga-tahun-2024?do=MTM5MC01Mzc3NTcwYQ==&ix=MTEtYmJkNjQ3YzA=">14%</a>.</p>
<p>Meski pemerintah telah melakukan beberapa intervensi, prevalensi <em>stunting</em> di Indonesia yang masih tinggi menunjukkan bahwa penanganannya masih berjalan lambat. Kita perlu mengurai penyebabnya yang begitu banyak dan kompleks dari level mikro hingga makro.</p>
<h2>Stunting dan efek domino</h2>
<p><em>Stunting</em> secara luas didefinisikan sebagai pertumbuhan yang terbatas. </p>
<p>Maksudnya, status gizi balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Pengukuran tingkat <em>stunting</em> dilakukan menggunakan <a href="https://www.who.int/data/nutrition/nlis/info/malnutrition-in-children">standar pertumbuhan anak dari WHO</a>.</p>
<p><em>Stunting</em> merupakan penanda dari kekurangan gizi kronis dan dampaknya panjang. Dampak negatif <em>stunting</em> meliputi peningkatan cacat dan angka kematian bayi, serta penurunan kinerja dan perkembangan kognitif. </p>
<p>Selain itu, terjadi peningkatan risiko infeksi, perkembangan psikomotor yang buruk, dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/343022358_Social-cultural_aspect_of_stunting_A_systematic_review">keterlambatan perkembangan anak</a></p>
<p>Dalam jangka panjang, anak dengan <em>stunting</em> dapat memiliki IQ rendah yang mengakibatkan penurunan kinerja di sekolah. Efek dominonya berlanjut: menurunkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang layak. Pada akhirnya, <em>stunting</em> menurunkan kualitas hidup anak saat dewasa. </p>
<p>Selain itu, anak dengan <em>stunting</em> juga berisiko menderita <a href="https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD011695.pub2/full">obesitas</a>. Dampak lanjutannya adalah dapat meningkatkan risiko berbagai <a href="https://prosiding.respati.ac.id/index.php/PIC/article/view/114/109">penyakit tidak menular</a> seperti diabetes, hipertensi, dan kanker suatu hari nanti.</p>
<h2>Banyak sekali penyebabnya</h2>
<p><em>Stunting</em> umumnya disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung yang terjadi dalam jangka waktu lama. Penyebab langsung <a href="https://stikes-nhm.e-journal.id/JOB/article/view/531">yaitu</a> asupan makanan yang tidak memadai (energi, makronutrien, dan mikronutrien) dalam jangka waktu lama, kelahiran prematur, dan infeksi. </p>
<p>Penyebab tidak langsung <a href="https://oamjms.eu/index.php/mjms/article/download/4659/5262/34102#:%7E:text=Stunting%20can%20be%20caused%20by,poor%20health%20services%20%5B4%5D.">meliputi</a> usia ibu saat hamil, ibu kurang gizi, kondisi sosial ekonomi budaya, pendidikan, sistem pangan, perawatan kesehatan, infrastruktur dan layanan air dan sanitasi. </p>
<p>Berat badan dan khususnya panjang saat lahir adalah indikator yang baik dari status gizi anak pada masa depan. Bayi yang terlahir dengan berat rendah (<2,5 kg) berisiko terkena <em>stunting</em> 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. </p>
<p>Berat saat lahir yang rendah mengindikasikan bayi tidak tumbuh dengan kecepatan normal di dalam rahim selama kehamilan.</p>
<p>Tinggi dan berat badan ibu juga <a href="https://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/prosidingkesmas/article/download/4064/2024">berkorelasi kuat pada kasus stunting</a>. Hal ini berkaitan dengan malnutrisi ibu yang pada akhirnya memengaruhi perkembangan bayi. Walaupun demikian, hal ini tentunya dapat dicegah dengan pemberian asupan nutrisi yang baik pada ibu dan anak. </p>
<p>Menurut WHO, praktik menyusui yang tidak optimal, termasuk menyusui yang tertunda, pemberian ASI yang tidak eksklusif, dan penghentian menyusui dini berperan signifikan terhadap terjadinya kasus <em>stunting</em>. </p>
<p>Pemberian makanan pendamping ASI yang prematur atau sebelumna waktunya juga memiliki efek merugikan pada bayi karena lebih berisiko terjangkit <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0939475312001512">penyakit menular (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11053507/)</a></p>
<p>Selain itu, pemberian makanan pada bayi sebelum 6 bulan ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan panjang atau berat badan anak. </p>
<p>Faktor lainnya yang mempengaruhi <em>stunting</em> pada anak adalah <a href="https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD011695.pub2/full">infeksi diare berulang</a> . </p>
<p>Diare akut (lebih dari tiga kali sehari) dalam empat minggu dikaitkan dengan risiko mengalami <em>stunting</em> yang lebih tinggi. Anak kecil lebih rentan terhadap diare dan infeksi cacing ketika rumah memiliki fasilitas kebersihan yang buruk atau minum dari air yang tidak layak konsumsi. </p>
<p>Infeksi ini menyebabkan anak kehilangan nafsu makan, sehingga mengkonsumsi makanan lebih sedikit dari yang dibutuhkan. </p>
<p>Selain itu, diare dapat mengurangi penyerapan nutrisi di usus karena makanan tidak sempat diserap tapi segera keluar dari tubuh. Infeksi juga dapat menyebabkan demam sehingga tubuh membakar lebih banyak makanan dan mengerahkan energi untuk melawan infeksi, alih-alih menggunakannya untuk perkembangan fisik. </p>
<p>Oleh karena itu, diare dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bila tidak diimbangi dengan makanan berkualitas dan tidak segera diobati. </p>
<h2>Faktor tidak langsung</h2>
<p>Keluarga yang tinggal di daerah <a href="http://ejournal2.bkpk.kemkes.go.id/index.php/bpk/article/view/1349">pedesaan lebih berisiko mengalami <em>stunting</em></a> . Penyebabnya, mereka kekurangan akses layanan kesehatan dan infrastruktur terkait, seperti jalan raya, yang mempermudah akses ke dokter, klinik, dan sumber pangan bergizi tinggi. </p>
<p>Sarana prasarana kesehatan fisik seperti dokter, inkubator yang berfungsi, fasilitas laboratorium, dan poliklinik rawat jalan, juga lebih terbatas di daerah pedesaan. Padahal, fasilitas ini mendukung diagnosis, penyembuhan, dan monitoring perkembangan kesehatan ibu dan anak.</p>
<p>Hubungan antara lama pendidikan ibu dan risiko <em>stunting</em> juga didukung oleh <a href="https://stikes-nhm.e-journal.id/JOB/article/view/531">berbagai penelitian</a>. Pengasuh yang berpendidikan lebih tinggi biasanya memiliki pengetahuan gizi dan cenderung lebih memberikan vitamin A, garam beryodium, imunisasi lengkap, akses sanitasi yang lebih baik untuk anak. </p>
<p>Kesehatan mental pada ibu juga dapat menjadikan anak terabaikan gizinya, sehingga berkontribusi pada munculnya kasus <em>stunting</em>. </p>
<p>Selain itu, pendidikan juga berkontribusi pada ekonomi, yang juga berkaitan dengan <em>stunting</em>. Anak-anak dari rumah tangga miskin juga lebih berisiko mengalami <em>stunting</em> karena keterbatasan konsumsi makanan bergizi berkualitas tinggi dan akses layanan kesehatan.</p>
<p>Program dan pengamatan gizi di desa pada 1980-an juga <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0260265">diakui Bank Dunia</a> berperan penting dalam menurunkan prevalensi <em>stunting</em> di Indonesia. Namun, program ini mengalami kemunduran dan kehilangan perhatian dari pemerintah sejak 2014. </p>
<p>Kemunduran ini terkait dengan desentralisasi kekuasaan yang juga mengurangi efektivitas program peningkatan status gizi anak. Karena manajemen yang <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/913341532704260864/pdf/128954-REVISED-WB-Nutrition-Book-Aiming-High-11-Sep-2018.pdf">lemah dan tata kelola yang buruk</a> dan tidak merata di setiap daerah.</p>
<p>Kemampuan mengatasi beragam penyebab di atas, yang begitu banyak, baik melalui kebijakan, anggaran, sumber daya maupun implementasi akan menentukan seberapa cepat Indonesia mampu keluar dari masalah rumit <em>stunting</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206950/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tantri Liris Nareswari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengasuh yang berpendidikan lebih tinggi biasanya memiliki pengetahuan gizi dan cenderung lebih memberikan vitamin A, garam beryodium, imunisasi lengkap, akses sanitasi yang lebih baik untuk anak.Tantri Liris Nareswari, Lecturer, Institut Teknologi SumateraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1311482020-03-03T02:40:34Z2020-03-03T02:40:34ZYang perlu Indonesia lakukan untuk mengurangi jumlah anak stunting<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/317524/original/file-20200227-24676-5415a7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pemeriksaan bayi secara rutin merupakan langkah penting untuk memantau kesehatan bayi dan ibunya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/planasia/8163398507/in/album-72157627976670129/">Plan Asia/Flickr</a></span></figcaption></figure><p>Survei <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">terbaru Badan Pusat Statistik (BPS)</a> menunjukkan masalah gizi dan tumbuh kembang anak masih menjadi hambatan besar bagi pemerintah Indonesia untuk mendongkrak kualitas sumber daya manusia. </p>
<p>Secara statistik pada September 2019, angka kemiskinan Indonesia menjadi <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/01/15/1743/persentase-penduduk-miskin-september-2019-turun-menjadi-9-22-persen.html">9,22 persen</a>, turun 0,19 persen dibanding Maret 2019. Namun pada akhir Desember lalu BPS merilis <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">prevalensi bayi di bawah lima tahun yang menderita <em>stunting</em> (bertubuh pendek) mencapai 27,7 persen pada 2019</a>. Artinya 28 dari 100 balita masih memiliki tinggi badan kurang dari ukuran normal.</p>
<p>Walau angka tersebut turun sekitar tiga persen dibanding tahun sebelumnya, tapi jumlah tersebut tetap tinggi karena <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/292779-angka-stunting-di-indonesia-masih-lebih-tinggi-dari-toleransi-who">WHO menetapkan batas atasnya 20%</a>. </p>
<p>Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan angka stunting turun lebih drastis menjadi <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/kementerian-kesehatan-fokus-pada-pencegahan-stunting">19 persen pada 2024</a>. </p>
<p>Selain intervensi langsung untuk meningkatkan status gizi ibu mengandung dan anak, untuk mengatasi stunting, akses pada air bersih, penanggulanan kemiskinan dan ketimpangan gender serta edukasi orang tua mengenai gizi, sangat penting untuk mengurangi prevalensi stunting. </p>
<h2>Beban ganda karena gizi</h2>
<p>Jutaan anak dan remaja Indonesia masih menderita <em>stunting</em> (bertubuh pendek) dan <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/wasting-adalah-masalah-gizi-anak/"><em>wasting</em> (bertubuh kurus)</a> karena kurang gizi. Di sisi lain, banyak juga anak Indonesia yang kegemukan karena kelebihan gizi.</p>
<p>Pada 2018, misalnya, menurut UNICEF, hampir 30 dari 100 anak berusia di bawah lima tahun menderita stunting, sedangkan pada tahun yang sama 10 dari 100 anak kekurangan berat badan atau terlalu kurus untuk usia mereka. <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/status-anak-dunia-2019">Seperlima anak usia sekolah dasar kelebihan berat badan atau obesitas</a>. </p>
<p>Kedua masalah ini sama-sama membutuhkan penyelesaian, tapi saat ini pemerintah Indonesia lebih fokus menurunkan angka stunting.</p>
<p><em>Stunting</em> pada balita merupakan <a href="http://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104">kondisi kurang gizi kronis</a> pada anak berusia 0–59 bulan yang diukur berdasarkan <a href="https://hellosehat.com/parenting/nutrisi-anak/penentuan-status-gizi-anak/">indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)</a>. Anak yang menderita <em>stunting</em> memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (pendek atau sangat pendek). </p>
<p><a href="http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-04/S55589-Maya%20Adiyanti.">Penyebab utama stunting adalah</a> pola asuh gizi yang kurang baik dan sanitasi yang kurang layak. Tim Nusantara Sehat di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, misalnya, menemui bahwa keluarga balita yang mengalami stunting kebanyakan mengalami keadaan tersebut. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli lauk pauk yang bergizi dan tidak memiliki akses air bersih. Hal kecil menyangkut kebersihan juga kurang diperhatikan, seperti kuku anak yang hitam dan kotor dibiarkan saja. Ini menunjukkan kurangnya pengetahuan ibu. </p>
<p>Dampak dari keadaan anak kurang tinggi tidak hanya berpengaruh pada fisik melainkan juga mental dan emosional khususnya pada perkembangan <a href="https://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104">kecerdasan dalam berpikir</a>. Selain itu, dampak jangka panjangnya anak yang kekurangan gizi kronis pada masa pertumbuhan juga dapat <a href="https://theconversation.com/stunted-growth-and-obesity-the-double-burden-of-poor-nutrition-on-our-doorstep-50385">meningkatkan penyakit degeneratif</a> seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke, jantung dan lain-lain. Orang yang mudah sakit menyebabkan produktifitas menurun dan dapat merugikan perekonomian negara. Selain itu, orang tidak produktif dekat dengan kemiskinan. </p>
<p>Masalah serupa juga banyak terjadi di negara lain. <a href="https://www.unicef.org/reports/state-of-worlds-children-2019">Laporan terbaru UNICEF</a> menyatakan sampai saat ini masih terdapat 149 juta balita <a href="https://www.alodokter.com/bayi-lahir-stunting-faktor-penyebab-dan-risiko">stunting</a> dan 50 juta balita <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/wasting-adalah-masalah-gizi-anak/">berbadan kurus</a> di seluruh dunia. </p>
<h2>Intervensi langsung dan tidak langsung</h2>
<p>Balita stunting dapat dicegah sejak masa kandungan. Ibu hamil harus sehat dan tidak mengalami anemia. Ibu hamil dengan anemia memiliki <a href="https://www.halodoc.com/anemia-saat-hamil-tingkatkan-risiko-stunting-pada-anak">risiko melahirkan bayi <em>stunting</em>. </a></p>
<p>Untuk meningkatkan status gizi ibu yang mengandung dan anak sesudah ibu melahirkan, pemerintah telah menjalankan intervensi langsung yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode ini merupakan periode emas seorang anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. </p>
<p>Pemerintah melaksanakan intervensi ini melalui program-program <a href="https://cegahstunting.id/program/gizi-spesifik/">pemberian makanan tambahan untuk ibu, konseling gizi selama hamil, pemberian imunisasi, dan kegiatan lainnya</a>. </p>
<p>Meski demikian, hasil <a href="https://www.antaranews.com/berita/764584/hampir-separuh-ibu-hamil-di-indonesia-alami-anemia">Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) BPS</a> menyatakan prevalensi anemia pada ibu hamil pada 2018 mencapai 48,9 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2013 yang 37,1 persen. </p>
<p>Karena status gizi buruk pada ibu mengandung dan anak disebabkan juga oleh faktor infrastruktur–seperti akses pada air bersih-serta faktor sosial-seperti diskriminasi terhadap perempuan-dan kemiskinan, intervensi langsung pada ibu dan anak tidak cukup. </p>
<p>Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan intervensi yang tidak langsung untuk mengatasi stunting. Contoh kegiatan dalam intervensi tidak langsung ini adalah penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan pemberdayaan perempuan.</p>
<p>Tidak hanya bagi ibu hamil dan balita pada 1000 HPK, masyarakat secara umum juga menjadi <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">sasaran dari intervensi tak langsung ini</a>. </p>
<h2>Edukasi calon orang tua</h2>
<p>Upaya pemerintah untuk fokus pada intervensi kesehatan anak dan ibu hamil sudah cukup tepat karena titik dimulainya pembangunan sumber daya manusia (SDM) dimulai dari usaha untuk memastikan keadaan ibu sehat. Para ibu mendapatkan asupan makanan sesuai dengan kebutuhan, tidak mengalami anemia dan penyakit menular melalui cek kehamilan rutin, serta sanitasi yang baik seperti memiliki akses air bersih dan jamban sehat.</p>
<p>Namun, minimnya pengetahuan orang tua mengenai gizi turut <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/nutrisi">menyebabkan tingginya angka gizi buruk</a>. Pengetahuan tentang kesehatan bayi dan balita, serta pentingnya pemberian gizi yang cukup menjadi modal yang penting. </p>
<p>Oleh karena itu, perlu pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan pekarangan rumah untuk dijadikan kebun gizi yang ditanami sayur-sayuran dan buah-buhan, serta petingnya peningkatan kegiatan ibu-ibu PKK dalam pengolahan makanan beragam, bergizi, aman dan seimbang.</p>
<p>Pemerintah bisa memberdayakan para tenaga kesehatan untuk mengedukasi baik calon ibu maupun ayah untuk memastikan ibu dan anak sehat. Dalam RAPBN 2020, Kementerian Kesehatan mendapat alokasi anggaran Rp 132 triliun untuk seluruh fungsi kesehatan. Hal itu membuat Kemenkes menjadi pemilik <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/kementerian-kesehatan-fokus-pada-pencegahan-stunting">anggaran terbesar keenam di APBN 2020</a>. Anggaran ini bisa digunakan untuk mendukung optimalisasi edukasi calon orang tua. </p>
<p>Perlu sinergi yang lebih kuat dari masyarakat dan pemerintah ke depan untuk memperkuat sistem pemberian layanan gizi. Organisasi internasional seperti UNICEF juga bisa menjadi partner pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama masyarakat yang lebih sehat dan produktif.</p>
<p><em>Fauziyah Wulandari, anggota Tim Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan yang bertugas di Kabupaten Halmahera Tengah, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131148/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Annisa Nurul Ummah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perlu kolaborasi pemerintah dan masyarakat luas untuk mengurangi jumlah anak stunting di IndonesiaAnnisa Nurul Ummah, Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Badan Pusat StatistikLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1101042019-01-22T07:27:53Z2019-01-22T07:27:53ZEmpat dampak stunting bagi anak dan negara Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/254690/original/file-20190121-100279-1yjz6a9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Potret perkembangan tubuh anak. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU0ODA4NDg5MywiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTA4NDc2MzA2OSIsImsiOiJwaG90by8xMDg0NzYzMDY5L2h1Z2UuanBnIiwibSI6MSwiZCI6InNodXR0ZXJzdG9jay1tZWRpYSJ9LCIyeGxXNXVUOVVuOXhXZlE4WHR2NCt1UUZ2cmMiXQ%2Fshutterstock_1084763069.jpg&pi=41133566&m=1084763069&src=HpGkX8c-7MUapjav13-IyA-1-42">Ann131313/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini diterbitkan untuk menyambut <a href="http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Panduan-HGN-2019_1262.pdf">Hari Gizi Nasional</a> yang diperingati pekan ini, 25 Januari.</em> </p>
<hr>
<p>Di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat dalam kurun 20 tahun terakhir, masih banyak ditemukan <a href="https://theconversation.com/sains-sekitar-kita-ancaman-stunting-di-indonesia-dan-cara-mengatasinya-98786">anak kekurangan gizi</a> di berbagai daerah. </p>
<p>Fakta ini menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik tidak sinkron dengan <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/01/18/12171331/sehari-di-rumah-sakit-anak-gizi-buruk-mulai-bisa-minum-susu">perbaikan gizi masyarakat</a>. Walau masalah ini sangat penting, sejauh ini dalam musim kampanye pemilihan umum 2019, isu ini tidak memperoleh banyak perhatian dari para calon anggota parlemen (caleg) baik nasional maupun daerah, juga calon presiden dan wakilnya. Padahal mereka yang akan menentukan kebijakan dan arah pembangunan dalam lima tahun ke depan, termasuk pembangunan kesehatan dan gizi.</p>
<h2>Hanya sedikit berubah dalam lima tahun</h2>
<p>Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan mengkonfirmasikan kondisi ketimpangan gizi tersebut. Laporan tahun lalu menyebutkan <a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf">terdapat 13,8% anak usia di bawah lima tahun dengan gizi kurang dan 3,9% gizi buruk</a>. Artinya secara nasional dari estimasi <a href="https://www.bappenas.go.id/files/5413/9148/4109/Proyeksi_Penduduk_Indonesia_2010-2035.pdf">populasi balita sebesar 23,8 juta jiwa</a> yang digunakan pada kajian tersebut, terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk. </p>
<p>Data ini hanya mengalami sedikit sekali perbaikan dibandingkan lima tahun sebelumnya (<a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf">Riskesdas 2013</a>) yang menyatakan ada 13,9% gizi kurang dan 5,7% gizi buruk pada rata-rata nasional. </p>
<p>Di beberapa provinsi, angka gizi kurang dan gizi buruk ada yang jauh di atas rata-rata nasional. Bahkan angkanya lebih dari 25%, di antaranya <a href="https://theconversation.com/gizi-buruk-pada-balita-di-ntt-mengapa-sulit-diakhiri-91841">Nusa Tenggara Timur</a>, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Bahkan gizi kurang dan gizi buruk juga terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta meski dengan angka yang lebih rendah dari rata-rata nasional.</p>
<h2>Dampak kurang gizi</h2>
<p>Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan kronis. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi akut akan terlihat lemah secara fisik. Anak yang mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, terutama yang terjadi sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan fisiknya sehingga menjadi pendek (<em>stunted</em>). </p>
<p>Kondisi ini lebih berisiko jika masalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5081104/pdf/emss-69666.pdf">gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan</a>. Data-data secara nasional di Indonesia membuktikan bahwa angka stunting yang tinggi beriringan dengan kejadian kurang gizi. Seperti disebut dalam laporan Riskesdas terakhir, ada 30,8% atau 7,3 juta anak di Indonesia mengalami <em>stunting</em>, dengan 19,3% atau 4,6 juta anak pendek, dan 11,5% atau 2,6 juta anak sangat pendek. </p>
<p>Lalu apa saja dampak gizi buruk, baik langsung maupun langsung, terhadap anak dan ketahanan negara Indonesia?</p>
<p><strong>1. Kognitif lemah dan psikomotorik terhambat</strong></p>
<p>Bukti menunjukkan anak yang tumbuh dengan <em>stunting</em> mengalami masalah perkembangan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5084763/">kognitif dan psikomotor</a>. Jika proporsi anak yang mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan <em>stunting</em> besar dalam suatu negara, maka akan berdampak pula pada proporsi kualitas sumber daya manusia yang akan dihasilkan. Artinya, besarnya masalah <em>stunting</em> pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas bangsa masa depan. </p>
<p><strong>2. Kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olahraga</strong></p>
<p>Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak proporsional hari ini, pada umumnya akan mempunyai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5726774">kemampuan secara intelektual di bawah rata-rata</a> dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi yang tumbuh dengan kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang lebih lemah.</p>
<p>Pada saat yang sama, generasi yang tumbuh dengan kondisi kurang gizi dan mengalami stunting, tidak dapat diharapkan untuk berprestasi dalam bidang olah raga dan kemampuan fisik. Dengan demikian, proporsi kurang gizi dan stunting pada anak adalah ancaman bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan dari segala sisi.</p>
<p><strong>3. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif</strong></p>
<p>Kondisi <em>stunting</em> tidak hanya berdampak langsung terhadap kualitas intelektual bangsa, tapi juga menjadi faktor tidak langsung <a href="https://theconversation.com/stunted-growth-and-obesity-the-double-burden-of-poor-nutrition-on-our-doorstep-50385">terhadap penyakit degeneratif (penyakit yang muncul seiring bertambahnya usia)</a>. </p>
<p>Berbagai studi membuktikan bahwa anak-anak yang kurang gizi pada waktu balita, kemudian mengalami stunting, maka pada <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12886432">usia dewasa akan lebih mudah mengalami obesitas </a> dan terserang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4232245">diabetes melitus</a>. </p>
<p>Seseorang yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kekurangan gizi dapat mengalami masalah pada perkembangan sistem hormonal insulin dan glukagon pada pankreas yang mengatur keseimbangan dan metabolisme glukosa. Sehingga, pada saat usia dewasa jika terjadi kelebihan intake kalori, keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu, dan pembentukan jaringan lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah. Dengan demikian, kondisi <em>stunting</em> juga berperan dalam meningkatkan beban gizi ganda terhadap peningkatan penyakit kronis di masa depan. </p>
<p><strong>4. Sumber daya manusia berkualitas rendah</strong></p>
<p>Kurang gizi dan <em>stunting</em> saat ini, menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia usia produktif. Masalah ini selanjutnya juga berperan dalam meningkatkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC589958/">penyakit kronis degeneratif saat dewasa</a>.</p>
<p>Karena itu, Januari merupakan momen yang tepat bagi semua pihak (para orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan parlemen) untuk ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan gizi anak dan <em>stunting</em> tersebut. Perhatian terhadap Hari Gizi Nasional bukan semata seremonial, tapi merupakan sebuah bentuk kewaspadaan terhadap kondisi yang terjadi saat ini, dan kepedulian masa depan bangsa.</p>
<p>Akademisi, peneliti, dan pemerhati kesehatan masyarakat di lapangan dapat melakukan riset, mengedukasi masyarakat, dan mengadvokasi untuk melahirkan kebijakan sesuai dengan rekomendasi riset.</p>
<p>Anggota parlemen dan pemerintah punya peran penting untuk mempercepat mengurangi jumlah penderita gizi buruk dengan kebijakan dan anggaran yang memadai. Pada masa kampanye, para calon anggota parlemen semestinya melihat ini sebagai sebuah permasalahan yang penting yang harus diselesaikan. Kepedulian para caleg terhadap masalah <em>stunting</em> di daerah-daerah mereka menjadi indikator bahwa mereka memahami persoalan daerahnya dan peduli membangun generasi masa depan.</p>
<p>Kita berharap, perbaikan masalah gizi anak dan masyarakat merupakan bagian dari visi dan perjuangan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110104/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hardisman Dasman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak yang tumbuh dengan stunting secara empiris juga terbukti berpengaruh terhadap perkembangannya secara menyeluruh. Terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.Hardisman Dasman, Associate Professor In Healthcare Policy and Ethics, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/991582018-07-01T13:51:55Z2018-07-01T13:51:55ZPerubahan iklim akan membuat kandungan gizi nasi berkurang<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/225495/original/file-20180629-117367-j6f5ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C1000%2C663&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kandungan gizi nasi dapat berkurang dengan meningkatnya level CO2 di udara. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Nasi adalah makanan utama bagi lebih dari tiga miliar manusia di dunia. Banyak dari mereka tidak mampu menyediakan diet yang beragam dengan protein lengkap, biji-bijian, buah, dan sayur-sayuran. Untuk memenuhi sebagian besar asupan kalori, mereka bergantung pada pangan sereal yang terjangkau, termasuk di antaranya nasi. </p>
<p>Penelitian saya fokus pada risiko kesehatan terkait dengan ragam dan perubahan iklim. Dalam sebuah <a href="http://dx.doi.org/10.1126/sciadv.aaq1012">makalah yang baru saya terbitkan</a>, bekerja sama dengan ilmuwan dari Cina, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat saya meneliti bagaimana peningkatan konsentrasi karbon dioksida yang mendorong perubahan iklim dapat mengubah nilai nutrisi nasi. Kami melakukan penelitian lapangan di Asia untuk melihat berbagai galur beras yang berbeda secara genetik. Kami menganalisis bagaimana peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer mengubah tingkat protein, mikronutrien, dan vitamin B. </p>
<p>Data kami menunjukkan bahwa untuk padi yang ditanam pada konsentrasi karbon dioksida yang ilmuwan perkirakan akan terjadi pada 2100, level empat jenis vitamin B menurun. Penemuan ini mendukung penelitian dari bidang ilmu lain yang menunjukkan bahwa padi yang ditanam dalam kondisi demikian <a href="http://www.environment.harvard.edu/sites/default/files/myers_2014_increasing_co2_threatens_human_nutrition_aop_version.pdf">mengandung lebih sedikit protein, zat besi, dan zink</a>, yang penting bagi perkembangan janin dan bayi. Perubahan ini dapat berdampak pada kesehatan ibu <a href="https://doi.org/10.1159/000371618">dan anak</a> di negara-negara paling miskin yang bergantung pada nasi sebagai makanan utama, termasuk Bangladesh dan Kamboja. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=402&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=402&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=402&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=506&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=506&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/222621/original/file-20180611-191962-177718c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=506&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Banyak wilayah di Asia yang miskin bergantung pada nasi sebagai makanan utama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://irri.org/global-effort/poverty-is-where-rice-is-grown">IRRI</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/">CC BY-NC-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Karbon dioksida dan pertumbuhan tanaman</h2>
<p>Tumbuh-tumbuhan mendapatkan karbon yang mereka butuhkan untuk tumbuh utamanya dari karbon dioksida di udara, dan mengambil nutrisi lain dari tanah. Aktivitas manusia–terutama pembakaran bahan bakar dan penebangan hutan–meningkatkan konsentrasi CO2 atmosfer dari sekitar 280 bagian per juta selama periode pra-industri menjadi <a href="https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-change-atmospheric-carbon-dioxide">410 bagian perjuta hari ini</a>. Jika emisi global terus bergerak dalam kecepatan saat ini, konsentrasi CO2 atmosfer dapat mencapai lebih dari 1.200 bagian ber juta pada 2100 (termasuk metana dan emisi gas rumah kaca lainnya). </p>
<p>Konsentrasi CO2 yang tinggi secara umum diakui dapat merangsang fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Ini dapat membuat tanaman pangan sereal yang merupakan sumber makanan paling penting di dunia, seperti beras, gandum, dan jagung lebih produktif, meski riset terbaru mengisyaratkan bahwa memprediksi dampak pada pertumbuhan tanaman itu <a href="https://theconversation.com/will-rising-carbon-dioxide-levels-really-boost-plant-growth-95265">kompleks</a>. </p>
<p>Konsentrasi mineral yang penting bagi kesehatan manusia, terutama zat besi dan zink, tidak berubah bersamaan dengan konsentrasi CO2. Pemahaman saat ini mengenai fisiologi tanaman mengisyaratkan bahwa tanaman pangan utama–terutama beras dan gandum–merespons konsentrasi CO2 yang lebih tinggi dengan mensintesis karbohidrat (gula dan zat tepung) secara lebih banyak dan protein lebih sedikit, dan dengan mengurangi jumlah <a href="https://elifesciences.org/articles/02245">mineral dalam biji-biji mereka</a>. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/222665/original/file-20180611-191943-g7d1tz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Setelah menurun selama lebih dari satu dekade, kelaparan global tampak meningkat, berdampak pada 11% dari populasi global.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.fao.org/state-of-food-security-nutrition">FAO</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pentingnya mikronutrisi</h2>
<p>Di seluruh dunia, sekitar 815 juta orang <a href="http://www.fao.org/3/a-I7695e.pdf">mengalami kerentanan pangan</a>, artinya mereka tidak memiliki akses yang baik untuk kecukupan makanan yang aman, bergizi, dan terjangkau. Bahkan, sekitar 2 miliar orang mengalami kekurangan <a href="https://doi.org/10.1159/000371618">mikronutrisi penting</a> seperti zat besi, yodium, dan zink.</p>
<p>Kekurangan zat besi dari pangan dapat berakibat pada anemia, keadaan yang digambarkan terlalu sedikit sel darah merah dalam tubuh untuk membawa oksigen. Ini adalah tipe anemia yang paling umum. Anemia jenis ini dapat menyebabkan kelelahan, nafas pendek atau sakit pada dada, dan dapat mengakibatkan komplikasi serius, seperti gagal jantung dan keterlambatan perkembangan anak. </p>
<p>Tanda-tanda kekurangan zink adalah tidak ada selera makan dan kemampuan penciuman yang berkurang, luka sulit sembuh, dan sistem imunitas yang melemah. Zink juga mendukung pertumbuhan dan perkembangan, maka asupan zink dalam diet penting bagi perempuan hamil dan anak yang sedang tumbuh. </p>
<p>Konsentrasi karbon dalam tumbuh-tumbuhan mengurangi <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/j.1744-7909.2008.00754.x">jumlah nitrogen dalam jaringan tumbuhan</a>, yang penting bagi pembentukan vitamin B. Vitamin B dalam beberapa jenis dibutuhkan untuk fungsi-fungsi kunci dalam tubuh, seperti mengatur sistem saraf, mengubah makanan menjadi energi dan melawan infeksi. Folat, sejenis vitamin B, jika dikonsumsi perempuan hamil mengurangi risiko bayi lahir cacat. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/222667/original/file-20180611-191962-3tghlb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Anemia mempengaruhi satu per tiga perempuan usia subur di dunia–atau sekitar 613 juta perempuan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.fao.org/state-of-food-security-nutrition">FAO</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Hilangnya nutrisi</h2>
<p>Kami melakukan studi lapangan di Cina dan Jepang. Di sana kami menanam beberapa galur padi. Untuk merangsang konsentrasi CO2 atmosfer yang lebih tinggi, kami menggunakan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Free-air_concentration_enrichment">Pengayaan CO2 Free-Air</a>, yang meniup CO2 di atas sawah untuk mempertahankan konsentrasi seperti diperkirakan akan terjadi pada akhir abad ini. Sawah untuk kelompok pengendali mengalami kondisi yang sama dengan sawah percobaan kecuali pada peningkatan konsentrasi CO2. </p>
<p>Secara rata-rata, padi yang kami tanam dengan udara dengan tingkat CO2 yang ditingkatkan mengandung 17% lebih sedikit vitamin B1 (<em>thiamine</em>) dibandingkan padi yang ditanam dalam konsentrasi CO2 saat ini; 17% lebih sedikit vitamin B2 (<em>riboflavin</em>); 13% lebih sedikit vitamin B5 (<em>pantothenic acid</em>); dan 30% lebih sedikit vitamin B9 (<em>folate</em>). Penelitian kami adalah yang pertama mengidentifikasi konsentrasi vitamin B dalam beras berkurang dengan meningkatnya CO2. </p>
<p>Kami juga menemukan rata-rata pengurangan 10% protein, 8% zat besi, dan 5% zink. Kami tidak menemukan perubahan level vitamin B6 atau Kalsium. Satu-satunya peningkatan yang kami temukan ada pada level vitamin E pada sebagian besar galur. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=441&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=441&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=441&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=555&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=555&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/222789/original/file-20180612-112631-y1ply.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=555&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Padi di dalam lapangan oktagon bagian dari percobaan yang dirancang untuk menanam padi dalam kondisi atmosfer yang berbeda-beda. Nasi yang ditanam dengan kondisi konsentrasi karbon dioksida 568 hinga 590 bagian per juta lebih tidak bergizi, dengan kandungan protein, vitamin, dan mineral yang lebih rendah.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Dr. Toshihiro HASEGAWA, National Agriculture and Food Research Organization of Japan</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Memburuknya kekurangan mikronutrisi</h2>
<p>Saat ini, sekitar 600 juta orang–kebanyakan di Asia Tenggara–mendapatkan lebih dari setengah kalori harian dan protein mereka dari nasi. Jika tidak ada intervensi, penurunan yang kami temukan akan memperburuk beban gizi buruk. Penurunan yang kami temukan juga dapat mempengaruhi perkembangan anak termasuk dengan memburuknya dampak penyakit diare dan malaria. </p>
<p>Potensi risiko kesehatan yang terkait dengan defisit gizi yang disebabkan CO2 secara langsung berhubungan dengan produk domestik bruto per kapita paling rendah secara keseluruhan. Artinya, perubahan-perubahan ini berpotensi berakibat serius untuk negara-negara yang saat ini sudah mengalami masalah kemiskinan dan gizi buruk. Tidak banyak orang akan menghubungkan pembakaran bahan bakar dan penebangan hutan dengan kandungan gizi beras, tapi penelitian kami secara jelas menunjukkan bahwa emisi bahan bakar dapat memperburuk masalah kelaparan dunia. </p>
<h2>Bagaimana perubahan iklim mempengaruhi tanaman lain?</h2>
<p>Sayangnya, saat ini tidak ada lembaga di tingkat pemerintahan nasional atau korporasi yang menyediakan pendanaan jangka panjang untuk mengevaluasi bagaimana peningkatan CO2 di udara dapat berdampak pada proses kimiawi dan kualitas nutrisi. Namun perubahan-perubahan yang disebabkan CO2 akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap tanaman obat ke masalah gizi, keamanan pangan, dan alergi makanan. Mengingat kemungkinan buruk tersebut, yang bisa jadi sudah mulai terjadi, terdapat kebutuhan yang mendesak dan jelas untuk penelitian. </p>
<p>Selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan yang ada untuk mengurasi risiko-risiko ini, mulai dari pembenihan tanaman secara tradisional sampai ke modifikasi genetik hingga suplemen. Peningkatan konsentrasi CO2 mendorong perubahan iklim. Peran yang dipegang oleh emisi-emisi ini dalam mengubah aspek biologis tumbuhan, termasuk kualitas gizi dari tanaman yang kita gunakan makanan, pakan, serat dan bahan bakar, perlu dipelajari.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99158/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kristie Ebi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meningkatnya level karbon dioksida menyebabkan kandungan vitamin dan nutrien dalam padi menurun. Ini bisa memperparah masalah kelaparan dan gizi buruk.Kristie Ebi, Professor of Global Health and Environmental and Occupational Health Sciences, University of WashingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/987862018-06-25T03:44:45Z2018-06-25T03:44:45ZAncaman stunting di Indonesia dan cara mengatasinya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/224453/original/file-20180622-26570-crdift.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kisah anak kurang gizi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, September 2016.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/bybmedia/25602479647/in/photolist-F1ppdT-dvYw4w-24AF88E-dvYGhY-dvYyLW-dvT2ox-24AE3ff-dvYz87-dvYAJ9-dvYsV5-23zJhgj-F1pEjp-dvT5Wi-dvYDZ1-dvYuyQ-dvYt69-dvSYSn-SMWmnm-gHrYLW-V3HfEV-21UvyKA-dvTbVz-dvYM5y-F1pHX6-dvTbiV-ei7r3q-GwMLCf-acWERg-F1pVvr-gvnQv7-gvkvXi-gvoJPp-gvmtKP-21UvCUY-gvnp9L-f2JHsw-dvT6NK-F1qavk-gHrnZu-gvnE7R-4i5Wuq-dvSZwa-gvpUPF-24gTJj9-gvmw2x-dvYH7b-VCHYxJ-dvYF8m-gHsa5G-JTHXh7">Reinier van Oorsouw/UNICEF</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/6Irsvm82IMgCVfClDCYdsY" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Satu dari tiga bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia Indonesia terkena stunting alias kekurangan gizi kronis akibat kekurangan asupan gizi sejak dalam kandungan. Di Indonesia ada 9 juta anak yang menderita stunting. Penyebab langsungnya terkait konsumsi makanan dan penyakit, khususnya infeksi.</p>
<p>Stunting bukan hanya perkara kekurangan gizi kronik yang menyebabkan tubuh-tubuh bayi jadi pendek melain soal perkembangan kecerdasan sampai dengan masa depan bangsa. <a href="https://theconversation.com/gizi-buruk-pada-balita-di-ntt-mengapa-sulit-diakhiri-91841">Nusa Tenggar Timur adalah daerah tempat anak-anak paling banyak terkena gizi buruk</a>.</p>
<p>Ahmad Syafiq, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan stunting bukan persoalan bencana individu lagi tapi sudah bencana populasi. Karena itu, penanganannnya juga harus melibatkan populasi secara keseluruhan. Akibat stunting kita mengalami kerugian Rp 300 triliun per tahun dan menurunkan PDB sebesar 3%. </p>
<p>Stunting berdampak bukan hanya pada tinggi badan. Gizi buruk menyebabkan kapasitas intelektual terbatas sehingga dalam jangka panjang bisa mengurangi kinerja atau prestasi sekolah belajar seorang anak. Pada gilirannya kelak akan membatasi pilihan-pilihannya dalam hal ekonomi dan produktivitas. Syafiq memberikan strategi mengakhiri stunting yang dimulai dari masa kehamilan. </p>
<p>Edisi ke-14 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Hilman Handoni dan narator Malika. Selamat mendengarkan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/98786/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Stunting itu bukan persoalan bencana individu lagi tapi sudah bencana populasi dan penanganannnya juga harus melibatkan populasi secara keseluruhan.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/918412018-03-22T09:44:03Z2018-03-22T09:44:03ZGizi buruk pada balita di NTT, mengapa sulit diakhiri?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/211306/original/file-20180321-165557-1hqs2xl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Menimbang bayi di Posyandu untuk memantau berat bayi guna mencegah kurang gizi. Penimbangan bayi di Kupang, September 2016.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/bybmedia/39577497235/in/photostream/">Reinier van Oorsouw/UNICEF/Flickr.com</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Dua pekan lalu, <a href="http://kupang.tribunnews.com/2018/03/09/kasus-gizi-buruk-di-ntt-terus-menurun-apa-benar-simak-data-berikut-ini">Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya</a> mengklaim bahwa angka gizi buruk di provinsi ini menurun sekitar 8,02% dari 3.340 anak usia di bawah lima tahun (balita) penderita gizi buruk pada 2015 menjadi 3.072 penderita pada 2016. Selain harus diperiksa lagi akurasi klaim tersebut, apa sebenarnya penyebab utama gizi buruk di provinsi kawasan timur Indonesia itu?</p>
<h2>Apa itu gizi buruk dan gizi kurang</h2>
<p>Kurang gizi ditandai dengan badan yang kurus, karena <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Riskesdas%202010%20Nasional.pdf">berat badannya kurang</a> untuk anak seusianya. Terlepas dari masalah genetik, tubuh anak kurang gizi juga lebih pendek dibanding anak lain seusianya. Jika masalah kekurangan gizi ini tidak segera diatasi, anak akan mengalami masalah gizi buruk. </p>
<p>Sedangkan anak bergizi buruk lebih mudah terlihat karena gizi buruk ini sangat mempengaruhi fisik. Gizi buruk terdiri dua jenis yaitu <a href="https://www.healthline.com/health/marasmus">marasmus </a>dan <a href="https://www.healthline.com/health/kwashiorkor">kwasiorkor</a>. Penderita marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus, sehingga tulang-tulangnya sangat menonjol. Ibaratnya, hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Sedangkan penderita kwasiorkor memiliki perut yang buncit dan kaki yang membengkak. Biasanya hal ini disebabkan karena anak kekurangan protein.</p>
<h2>Prevalensi tinggi di NTT</h2>
<p>Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di <a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2015/19_NTT_2015.pdf">Nusa Tenggara Timur (NTT)</a> pada 2010 menempati urutan tertinggi kedua di bawah Nusa Tenggara Barat (NTB). Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di NTT pada tahun itu <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Riskesdas%202010%20Nasional.pdf">mencapai 29,4%</a> yang terdiri dari gizi buruk 9% (atau 53.580 balita) dan gizi kurang 20,4% (atau 121.448 balita). Dengan kata lain, terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan gizi kurang dari 595.331 balita yang ditimbang pada 2010 di NTT. </p>
<p>Empat tahun berikutnya, <a href="http://sp.beritasatu.com/home/sebanyak-3351-anak-di-ntt-alami-gizi-buruk/80875">dari 361.696 anak yang ditimbang</a>, 23.963 anak (6,6%) di antaranya kurang gizi dan 3.351 anak (0,9%) mengalami gizi buruk tanpa gejala klinis. Terjadi penurunan <a href="http://www.beritasatu.com/kesra/285436-januari-mei-2015-sebanyak-1918-anak-di-ntt-alami-gizi-buruk.html">angka gizi buruk pada 2015</a>, tapi pemerintah tidak boleh kendor bekerja menurunkan angka gizi bermasalah. Bisa saja masa masih ada kasus yang belum diketahui.</p>
<p><a href="https://journal.stikes-bali.ac.id/journal/detail/484/faktor-risiko-gizi-buruk-dan-gizi-kurang-pada-balita-di-kabupaten-sumba-barat-daya-nusa-tenggara-timur">Riset kami di Kecamatan Kodi Utara</a>, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Maret-Mei 2014, menunjukkan faktor yang paling berisiko meningkatkan kejadian gizi kurang pada balita adalah pendapatan keluarga yang kurang dari Rp234.141 per bulan dan frekuensi sakit anak balita di atas 3 kali dalam 6 bulan.</p>
<p>Data untuk mengetahui faktor risiko gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di NTT ini kami ambil dari 38 balita dengan gizi kurang sebagai kelompok kasus dan 76 balita sehat sebagai kontrol, yang dipilih dari 4.321 balita yang teregistrasi di Puskesmas Kori. Kami mengumpulkan data dengan wawancara langsung di rumah masing-masing responden. </p>
<p>Dari analisis uji hubungan menunjukkan bahwa balita dari keluarga dengan pendapatan kurang dari Rp234.141 berisiko 15 kali mengalami gizi kurang karena pendapatan keluarga berhubungan erat dengan pola konsumsi dan asupan gizi anak. Sedangkan, balita yang dalam 6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali lebih besar mengalami gizi kurang. Frekuensi sakit berhubungan dengan infeksi penyakit. Infeksi penyakit dan kejadian gizi buruk atau kurang merupakan hubungan yang timbal balik. </p>
<p>Kami berharap hasil riset ini dapat dipergunakan oleh penentu kebijakan di NTT untuk memerangi gizi buruk yang seolah-olah tiada jalan keluarnya. Sebelum tim kami, belum pernah ada riset di kecamatan tersebut untuk mengetahui faktor risiko gizi kurang pada anak balita. </p>
<h2>Gizi buruk dan kematian balita</h2>
<p>Jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi di negara berkembang pada 2009 dilaporkan <a href="https://www.unicef.org/publications/files/Tracking_Progress_on_Child_and_Maternal_Nutrition_EN_110309.pdf">mencapai 129 juta</a> atau sekitar 1 dari 4 balita. Dari jumlah itu, 10% mengalami gizi buruk. Adapun balita yang meninggal akibat gizi kurang dan buruk di negara berkembang pada 2013 dilaporkan sebanyak 2.835.000 atau 45% dari total jumlah kematian balita.</p>
<p><a href="https://www.unicef.org/publications/files/Tracking_Progress_on_Child_and_Maternal_Nutrition_EN_110309.pdf">UNICEF melaporkan</a> bahwa prevalensi balita yang mengalami <em>wasting</em>,(gizi kurang karena berat badan anak tidak sesuai dengan tinggi badannya) di Indonesia pada 2009 menduduki peringkat kelima (14% atau 2.841.000 balita) di dunia setelah India, Nigeria, Pakistan, dan Bangladesh.</p>
<p>Selain menyebabkan kematian, gizi buruk dan kurang gizi juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan. Setiap anak yang mengalami gizi buruk dilaporkan mempunyai risiko <a href="http://paradigmakaumpedalaman.blogspot.co.id/2012/01/gizi-buruk-di-negeri-yang-kaya.html">kehilangan IQ sebesar 10-13 poin.</a></p>
<p>Menurunkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita sangat penting karena gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan anak, yang dikenal <em>golden periode</em> alias 1000 Hari Pertama Kehidupan. Pada masa ini asupan gizi benar-benar harus dicukupi untuk tumbuh kembang anak yang optimal agar tidak terjadi <em>lost generation</em>. Apalagi pengurunan kemiskinan, hidup sehat, dan penyedia air bersih adalah tiga dari <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Sustainable_Development_Goals">17 tujuan pembangunan berkelanjutan</a> yang harus dicapai pada 2030.</p>
<h2>Faktor-faktor penyebab</h2>
<p>Kejadian gizi buruk <a href="http://infooterkinii.blogspot.co.id/2016/04/">di Kabupaten Sumba Barat Daya, berdasarkan laporan Dinas Kesehatan 2010</a>, menduduki peringkat ketiga (1,3%) dan menempati peringkat ke-9 (4,9%) kabupaten dengan gizi kurang tertinggi di NTT. Kecamatan Kodi Utara di Sumba Barat Daya merupakan salah satu kecamatan dengan kejadian gizi buruk dan gizi kurang tertinggi pada 2013. Kejadiannya mencapai 0,60% dari 4.321 balita yang datang ke posyandu. </p>
<p>Dari studi literatur diketahui banyak faktor yang dilaporkan berhubungan dengan gizi buruk dan gizi kurang, antara lain sosial ekonomi, faktor pada ibu dan faktor lingkungan. Dalam riset kami, ada 13 faktor risiko (variabel independen) yang diteliti, tapi di sini kami sajikan lima variabel yang terpenting saja:</p>
<ol>
<li>Pendapatan keluarga;</li>
<li>Frekuensi sakit anak;</li>
<li>Pendidikan ibu;</li>
<li>Frekuensi penimbangan anak di posyandu;</li>
<li>Sumber air minum. </li>
</ol>
<p>Keluarga berpendapatan di bawah Rp234.141 per bulan berisiko lebih tinggi (15 kali) anaknya mengalami gizi kurang ketimbang anak dari keluarga berpendapat di atas angka tersebut. <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jgki/article/view/17468">Penelitian yang dilakukan oleh Anwar di Lombok Timur pada 2005</a> juga menemukan ada pengaruh antara pendapatan keluarga dengan gizi buruk dan kurang. Dengan kata lain minimnya pendapatan yang membuat miskin menjadi penyebab gizi buruk. </p>
<p>Balita yang dalam 6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang dalam 6 bulan mengalami sakit kurang dari 3 kali. Temuan hampir sama dengan hasil riset Diah (2011) dari Universitas Udayana di Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang yang menyatakan kejadian gizi buruk dan kurang akan berisiko pada anak yang sering mengalami sakit daripada anak yang jarang sakit. </p>
<p>Pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah meningkatkan risiko sembilan
kali lebih besar terhadap gizi buruk dan kurang. Riset serupa yang dilakukan oleh <a href="https://journal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3562">Istiono (2009) di Kulonprogo Yogyakarta</a> menyatakan tingkat pengetahuan ibu sangat mempengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih makanan untuk dikonsumsi, yang kemudian akan berpengaruh pula terhadap keadaan gizi anak balita.</p>
<p>Anak balita yang jarang datang ke posyandu meningkatkan risiko terjadinya gizi
buruk dan kurang. Balita yang tidak dibawa oleh ibunya untuk ditimbang badannya di posyandu satu kali setiap bulan meningkatkan risiko 9 kali lebih besar mengalami gizi buruk atau kurang dibandingkan balita yang rutin ditimbang berat badannya setiap bulan di posyandu. </p>
<p><a href="http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/47046/1/2010kus2.pdf">Riset Kusriadi (2010) di Nusa Tenggara Barat</a> juga menemukan bahwa pemantauan pertumbuhan anak balita melalui penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik berisiko lebih kecil mengalami gizi kurang dibandingkan yang jarang melakukan penimbangan dan pemanfaatan posyandu.</p>
<p>Faktor yang juga meningkatkan risiko kejadian gizi buruk dan kurang adalah
sumber air minum. Sumber air minum yang diambil dari sungai atau kali yang tidak tertutup, sehingga mudah untuk terpapar kotoran dan bakteri, meningkatkan risiko terhadap gizi buruk dan gizi kurang 7 kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan dengan mengkonsumsi air dari sumber yang terlindung.</p>
<p>Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Basuki (2003) di Bandar Lampung yang menunjukan penggunaan air minum yang bersih berpengaruh secara langsung terhadap kesehatan balita. Terjadi penurunan kejadian balita yang terkena diare sebesar 6% dan berpengaruh tidak langsung terhadap status gizi anak.</p>
<h2>Lalu bagaimana mengakhiri gizi buruk?</h2>
<p>Menyelesaikan masalah gizi buruk perlu melibatkan banyak pihak. Orang tua, keluarga, masyarakat, petugas medis, NGO, dan pemerintah perlu bekerja sama memerangi gizi buruk. Gizi buruk dan gizi kurang ini disebabkan oleh multifaktor, sehingga penyelesaiannya pun melibatkan banyak pihak di wilayah yang rentan gizi kurang.</p>
<p>Upaya untuk menurunkan kejadian gizi buruk dan gizi kurang bisa dilaksanakan sesuai dengan faktor risiko di atas, yaitu meningkatkan pendapatan keluarga, mengurangi frekuensi sakit anak, menambah pengetahuan ibu tentang gizi, meningkatkan frekuensi kehadiran anak balita di posyandu dan pengadaan air minum bersih. </p>
<p>Angka penderita gizi buruk yang tertera dalam Riset Kesehatan Dasar dan riset lainnya bukan hanya deretan angka statistik, tapi anak-anak belia dan lemah yang membutuhkan kehadiran negara untuk mengakhiri penderitaan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91841/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kadek Dwi Ariesthi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kejadian gizi buruk dipengaruhi oleh frekuensi sakit anak, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, dan frekuensi kehadiran anak balita di posyandu dan air minum bersih. Kemiskinan pemicunya.Kadek Dwi Ariesthi, Lecturer in public health, STIKES Citra Husada Mandiri KupangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.