tag:theconversation.com,2011:/us/topics/hari-perempuan-sedunia-67572/articlesHari Perempuan Sedunia – The Conversation2023-03-10T06:32:35Ztag:theconversation.com,2011:article/2014652023-03-10T06:32:35Z2023-03-10T06:32:35ZRiset: jurnalis perempuan masih menjadi target rentan kekerasan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/514604/original/file-20230310-22-8iwpo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C8%2C5760%2C3819&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jurnalis sedang melakukan peliputan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/people_1007038.htm#query=violence%20against%20journalist&position=2&from_view=search&track=ais">Freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Akhir tahun 2021, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), lembaga peneliti independen yang berbasis di Yogyakarta, mengumumkan <a href="https://pr2media.or.id/wp-content/uploads/2021/11/Hasil-Survei.pdf">hasil survei</a> kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia.</p>
<p>Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7% dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1%) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka. </p>
<p><a href="https://pr2media.or.id/wp-content/uploads/2023/02/Laporan_Riset_Kekerasan_Seksual_PR2Media.pdf">Data terbaru</a> dari hasil <a href="https://aji.or.id/read/press-release/1509/riset-aji-pr2media-826-persen-jurnalis-perempuan-indonesia-mengalami-kekerasan-seksual.html">riset kolaboratif</a> antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada tahun 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.</p>
<p>Kedua temuan ini menjadi sinyal bahaya sekaligus ironi. </p>
<p>Bahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan semakin meningkat di sekitar kita, tanpa memandang profesi, termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis <em>online</em> (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang <em>online</em>, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, dan pornografi yang tidak diminta.</p>
<p>Ironis karena kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan <a href="https://oxfordre.com/communication/display/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore-9780190228613-e-91;jsessionid=619B28ED0B0C8173471AD14210C27FA2">lebih berdaya</a> karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya. </p>
<h2>Berawal dari ruang redaksi</h2>
<p>Meskipun di era sekarang jumlah <a href="https://www.konde.co/2020/03/kesetaraan-gender-di-media-apakah-sudah.html/">jurnalis perempuan terus meningkat</a>, daya tawar sosial politik para jurnalis perempuan di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki lebih mendominasi ruang-ruang diskusi. </p>
<p>Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fesyen, dan kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, dan hukum belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.</p>
<p><a href="https://pr2media.or.id/service/kekerasan-terhadap-jurnalis-perempuan-indonesia/">Penelitian PR2Media tahun 2021</a> juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9%) dan atasan (6,9%). </p>
<p>Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan? </p>
<p>Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, mulai dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, dan regulator media. </p>
<p>Dilihat dari angka <a href="https://aji.or.id/read/buku/6/jejak-jurnalis-perempuan.html">statistik AJI</a> tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25%). Data lain dari <a href="https://www.routledge.com/Politics-and-the-Press-in-Indonesia-Understanding-an-Evolving-Political/Romano/p/book/9780415546362">Angela Romano</a>, akademisi Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia antara tahun 1973-2001 yang meningkat dari 2% hingga 30% dari total jurnalis.</p>
<p>Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media. </p>
<p>Fenomena ini disebut sebagai <a href="https://medinstgenderstudies.org/wp-content/uploads/handbook_final.pdf">‘<em>glass ceiling</em>’</a> atau ‘langit-langit kaca’, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia. </p>
<p>Langit-langit kaca adalah istilah yang menggambarkan situasi meskipun perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, atau mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, dan menguntungkan selama karier mereka di media. </p>
<p>Kondisi ‘<em>glass ceiling</em>’ ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata <a href="https://temple-news.com/newsrooms-still-ruled-by-boys-club/">‘<em>boys club</em>’</a>, istilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media. </p>
<h2>Perlunya regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan</h2>
<p>Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis dan organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan. </p>
<p>Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. <a href="https://dewanpers.or.id/assets/documents/peraturan/1907030647_2013_Peraturan_DP_NO_01_TTG_PEDOMAN_PENANGANAN_KASUS_KEKERASAN_TERHADAP_WARTAWAN.pdf">Peraturan Dewan Pers</a> Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif. </p>
<p>Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem antikekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia. </p>
<p>Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media. </p>
<p>Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). </p>
<p>Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya, tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.</p>
<p>Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada perlindungan jurnalis perempuan. Ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang perlindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.</p>
<h2>Menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan</h2>
<p>PR2media membuat <a href="https://pr2media.or.id/service/modul-mencegah-dan-mengatasi-kekerasan-terhadap-perempuan-indonesia/">modul</a> <em>Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan</em> dan mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan. </p>
<p>Ruang aman untuk jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya antikekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Ini dapat mencegah normalisasi adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.</p>
<p>Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201465/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Iwan Awaluddin Yusuf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kekerasan terus dialami jurnalis perempuan, kelompok yang seharunya lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya. Bagaimana mencegahnya?Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2003622023-03-01T02:32:04Z2023-03-01T02:32:04ZMasalah pakaian, ‘catcalling’, budaya patriarki: 3 faktor penghambat karier perempuan pegiat konservasi alam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/511738/original/file-20230222-25-tz08fo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Praktisi konservasi pemula (Lilis dan Elif) naik perahu kembali ke daratan utama setelah kegiatan pemantauan populasi kalong di Bualemo, Sulawesi Tengah.</span> </figcaption></figure><p><em>Artikel ini terbit untuk memperingati <a href="https://www.internationalwomensday.com/">Hari Perempuan Internasional</a> pada 8 Maret 2023.</em></p>
<p>Sektor konservasi alam masih <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.395">belum inklusif kepada perempuan</a>. Hal ini menghambat upaya mengatasi perubahan iklim dan penurunan biodiversitas (keanekaragaman hayati). </p>
<p>Padahal, <a href="https://www.ohchr.org/en/documents/reports/analytical-study-gender-responsive-climate-action-full-and-effective-enjoyment">keterlibatan perempuan</a> terbukti penting untuk memperkuat <a href="https://www.nature.org/en-us/about-us/who-we-are/our-science/how-women-contribute-to-conservation/">program pelestarian alam yang berkelanjutan</a>.</p>
<p>Sebagai peneliti yang terlibat dalam beberapa lembaga konservasi di Indonesia, saya melihat keterlibatan maupun kepemimpinan perempuan masih kurang karena berbagai hambatan.</p>
<p>Para pengambil kebijakan perlu menyadari hambatan ini serta mengatasinya untuk meningkatkan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam konservasi biodiversitas.</p>
<h2>Tiga penghambat partisipasi perempuan</h2>
<p>Saya mengamati ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penulis sedang mengecek koloni kelelawar di Sulawesi (kiri), dan pegiat konservasi Nuruliawati (kanan) sedang melakukan sensing di Sumatra sebagai bagian dari perencanaan wisata gajah yang memperhatikan prinsip kesejahteraan satwa.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Hambatan pertama</strong> adalah adanya anggapan <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.36">perempuan tidak cocok memiliki pekerjaan dengan aktivitas yang berat</a> seperti di konservasi yang membutuhkan penelitian lapangan.</p>
<p>Pandangan yang beredar di masyarakat kita cenderung ‘memagari’ perempuan dalam bingkai pernikahan semata, di mana berkeluarga seolah-olah menjadi satu-satunya tujuan hidup.</p>
<p>Kalaupun bekerja, perempuan diharapkan berkegiatan yang membuatnya selalu di dalam ruangan. Ketika ingin beraktivitas di lapangan, perempuan kerap menghadapi hambatan struktural, misalnya: pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga yang lebih dibebankan kepada perempuan. Akhirnya, perempuan pun ‘terpaksa’ memilih pekerjaan kantoran. </p>
<p>Anggapan dan ekspektasi sosial ini menyebabkan perempuan sulit membangun karier di bidang konservasi. </p>
<p>Perempuan menjadi salah satu kelompok dengan <a href="https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-1132018/v1">risiko stres yang tinggi di sektor konservasi</a>. Perempuan lebih rentan tertekan secara mental akibat pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi terkait status pernikahan dan berkeluarga, serta hal lain yang mungkin tidak sesuai dengan anggapan sosial.</p>
<p>Saya pun sering dicecar pertanyaan kenapa belum menikah. </p>
<p>Pertanyaan ini, sayangnya, kerap diajukan bukan untuk memahami pilihan saya, melainkan untuk menyalahkan keinginan saya bekerja di hutan untuk kegiatan konservasi. Saya dianggap tidak sukses karena belum menjadi pegawai negeri sipil, dan disarankan mengambil pekerjaan ‘feminin’ – misalnya di bank.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perempuan-adat-krusial-bagi-hutan-tapi-jadi-korban-berlapis-krisis-iklim-195741">Perempuan adat krusial bagi hutan, tapi jadi korban berlapis krisis iklim</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Hambatan kedua</strong> adalah risiko pelecehan seksual.</p>
<p>Keamanan pribadi menjadi perhatian utama bagi perempuan, apalagi ketika masyarakat kerap meminimalkan bahkan menormalkan pelecehan seksual.</p>
<p>Pekerjaan di sektor konservasi kerap mengharuskan pegiatnya untuk berkemah di hutan atau tinggal di tempat terpencil selama berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan. Situasi ini membuat perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual.</p>
<p>Pernah terjadi, saat saya berdua saja di mobil dengan supir setelah melakukan survei, pengemudi tersebut bertanya, “Mbak, tadi malam tidak pakai <em>bra</em> ya?”. </p>
<p>Saya tertegun. Rasa marah dan takut bercampur aduk. Saya merasa takut karena saat itu kami sedang melalui jalanan di tengah pegunungan. </p>
<p>Tak jarang beberapa orang mencoba menjodohkan saya dengan laki-laki lajang hingga yang sudah beristri. </p>
<p>Godaan (<em>catcalling</em>) maupun candaan yang bernada pelecehan juga menjadi makanan saya sehari-hari di lapangan. </p>
<p>Masalah yang saya alami merupakan gunung es dari <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.36">kerentanan perempuan di sektor konservasi.</a> Sebab, saya juga mendengar cerita senada dari kolega perempuan lainnya.</p>
<p>Tidak adanya ruang aman dan masih kentalnya budaya patriarki di struktur sosial, berisiko mengikis motivasi perempuan untuk terus berkarier di bidang konservasi.</p>
<p>Beberapa lembaga konservasi di Indonesia sudah memiliki kebijakan <em>safeguard</em> yang melek gender. Upaya perumusan strategi konservasi juga mulai inklusif terhadap perempuan seiring meningkatnya kesadaran gender. Walau demikian, kebijakan yang sama justru jarang terdengar untuk praktisi dan peneliti (staf) di internal lembaga konservasi. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Praktisi konservasi asli Sulawesi Tengah, Asnim Alyoihana Lanusi, yang berkiprah selama lebih dari 20 tahun di konservasi berbasis masyarakat. Asnim berkampanye soal kebanggaan satwa di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud, perbatasan utara Indonesia.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Hambatan ketiga</strong> adalah kebijakan organisasi yang membatasi keterlibatan perempuan. </p>
<p>Di Indonesia, masih ada sejumlah organisasi yang menerapkan syarat gender tertentu yang menghalangi perempuan mengambil pekerjaan lapangan. Ini terjadi secara formal di lowongan pekerjaan yang mengutamakan laki-laki, maupun secara informal menugaskan perempuan di bagian administrasi dan laki-laki di lapangan. </p>
<p>Sekalipun bekerja di suatu lembaga konservasi, saya terkadang dianggap sebagai notulen semata dibandingkan peneliti utama dan pemimpin organisasi. Ada juga perempuan-perempuan lainnya yang diharapkan membuat kopi atau menyiapkan makanan di saat laki-laki yang dianggap lebih tahu berdiskusi mengenai isu-isu keanekaragaman hayati.</p>
<p>Pembatasan tersebut menjadi salah satu sebab mengapa <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.395">sektor konservasi masih didominasi laki-laki</a>.</p>
<p>Kondisi itu turut tercermin mulai dari jumlah peserta laki-laki di ruangan pertemuan, panel pembicara seminar (perempuan menjadi pembawa acara atau moderator), hingga di manajemen organisasi level atas yang sebagian besar diisi oleh laki-laki. </p>
<p>Dengan posisi dan tanggung jawab yang sama, laki-laki dapat dibayar lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki pun lebih sering diberikan posisi kepemimpinan daripada perempuan dengan kualifikasi yang sama.</p>
<h2>Perubahan organisasi dan solidaritas perempuan</h2>
<p>Sektor konservasi perlu berubah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan. Kerentanan dan hambatan tidak seharusnya membenarkan rendahnya keterlibatan perempuan. Ini bukan masalah yang hanya diatasi oleh perempuan, melainkan pekerjaan bersama.</p>
<p>Pemahaman dan validasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan di tingkat organisasi penting untuk menjadi langkah awal pembenahan.</p>
<p>Untuk membangun lingkungan yang inklusif, lembaga konservasi dapat mewajibkan pelatihan bias gender terhadap pekerja di konservasi, menghilangkan syarat spesifik gender dalam lowongan pekerjaan, serta mengembangkan protokol keamanan dan perlindungan staf perempuan (termasuk mekanisme khusus menangani pelecehan seksual). </p>
<p>Langkah lainnya adalah penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan pekerja perempuan yang memiliki anak: ruang menyusui, tempat bermain anak, dan lainnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-masih-ada-ketidaksetaraan-gender-dalam-program-pemberdayaan-masyarakat-pesisir-128934">Riset: masih ada ketidaksetaraan gender dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Para perempuan pun bisa melawan tantangan ini dengan bersolidaritas.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fcosc.2022.1006437/full#B19">Studi terbaru saya</a> menjabarkan bahwa solidaritas antarperempuan dapat efektif meningkatkan keterlibatan perempuan di sektor konservasi. Upaya pendampingan langsung melalui skema <em>mentorship</em> (bimbingan) antarperempuan dapat menjadi pelecut semangat kaum hawa untuk bergelut dalam pelestarian keanekaragaman hayati.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Lilis dan Elif, praktisi konservasi pemula sedang memasang jaring kabut untuk pemantauan kondisi kalong di Pulau Mantawalu Daka, Sulawesi Tengah.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Mentorship</em> dapat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan oleh praktisi pemula dalam mengatasi tantangan dan anggapan sosial yang sering dihadapi perempuan. Skema ini juga menyediakan langkah untuk membangun karier, meningkatkan kompetensi teknis, membangun jejaring, dan menjadikan pegiat ataupun peneliti konservasi lebih bersaing.</p>
<p>Akses internet dan penggunaan media sosial bisa menjadi sarana pendukung dengan meningkatkan visibilitas pencapaian perempuan.</p>
<p>Menyaksikan perempuan dapat menjadi pemimpin, menyadari perempuan memiliki ragam pilihan karier, bahkan sesederhana perempuan bisa ke hutan, bisa memotivasi perempuan generasi berikutnya untuk berani mengikuti langkah serupa. </p>
<p>Tengok saja Farwiza Farhan, pemimpin Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang masuk <a href="https://time.com/collection/time100-next-2022/6213894/farwiza-farhan/">tokoh global berpengaruh versi TIME 100</a>; Asnim Alyoihana Lanusi, Direktur PROGRES –- organisasi lokal untuk perlindungan satwa Sulawesi; Marsya Christyanti Sibarani, Ketua Tambora Muda - jejaring pemuda pegiat konservasi Indonesia. Ada juga rentetan perempuan inspiratif lainnya yang tergabung di <a href="https://womensearthalliance.org/indonesia/">Women’s Earth Alliance</a>. </p>
<p>Peningkatan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan di konservasi akan memicu dan mendorong pendekatan konservasi yang juga inklusif dan menyeluruh.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200362/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sheherazade tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.Sheherazade, PhD student | Conservation scientist, University of California, BerkeleyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1310392020-03-08T02:29:15Z2020-03-08T02:29:15ZMarginalisasi perempuan di sektor pertanian Jawa Timur didorong pengaruh aspek budaya dan psikologis<p><em>Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret.</em></p>
<hr>
<p>Banyak <a href="http://www.zenithresearch.org.in/images/stories/pdf/2011/Oct/ZIJBEMR/4.zibemr_vol-1_issue-1.pdf">penelitian</a> mengakui kontribusi vital perempuan dalam sektor pertanian khususnya di negara berkembang. </p>
<p>Namun, tidak sedikit <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.865.1046&rep=rep1&type=pdf">penelitian</a> yang mengungkapkan diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan di sektor tersebut baik di negara berkembang maupun di negara maju sekalipun. </p>
<p><a href="https://www.corteva.com/resources/media-center/women-in-agriculture-say-barriers-to-equality-persist.html">Riset global dari Coteva AgriscienceTM</a>, platform berbasis website yang menghubungkan konsumen dengan informasi seputar pertanian, menunjukkan bahwa diskriminasi gender di pertanian masih ditemukan di 17 negara di seluruh dunia dengan rentang 78% perempuan di India sampai dengan 52% di Amerika Serikat mengalami diskriminasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan-perkuat-peran-komnas-perempuan-112797">Bagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ketidaksetaraan gender di sektor pertanian juga terjadi di Indonesia. </p>
<p><a href="http://salasika.org/index.php/SJ/article/view/32">Penelitian kami</a> menemukan adanya marginalisasi terhadap perempuan petani di Pare, Kabupaten Kediri dan di Leces, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan perempuan peternak di Ngantang dan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur.</p>
<p>Marginalisasi ini terjadi karena adanya hambatan kultural dan psikologis.</p>
<p><strong>Aspek kultural</strong></p>
<p>Umumnya, perempuan petani bawang merah di Pare (Kabupaten Kediri) dan Leces (Kabupaten Probolinggo) terlibat dalam proses produksi mulai dari penyiapan bibit, penanaman, penyiraman, panen, dan pemasaran produk.</p>
<p>Mereka tidak terlibat dalam penyiapan lahan dan pemupukan karena pekerjaan ini membutuhkan tenaga yang besar sehingga lebih banyak dikerjakan oleh laki-laki.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/318502/original/file-20200304-66112-n18cmg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tradisi bercocok tanam bawang merah di Pare sudah dilakukan secara turun-temurun.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Khusus di Leces, karakter budaya perempuan suku Pendalungan (suku mayoritas asimilasi Jawa Madura) sebagai pekerja keras membuat mereka aktif terlibat dalam semua tahapan produksi bawang merah dan membentuk cara kerja yang spesifik. Hal ini terlihat dari keterlibatan mereka dalam penyiraman dan pengendalian hama. </p>
<p>Namun, pengetahuan tradisional yang kuat ini juga membuat perempuan petani di Leces sulit mengubah cara bertani mereka dan akhirnya kurang membuka pintu bagi pengetahuan dan informasi baru tentang cara bertani bawang merah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ketimpangan-akses-akibatkan-perempuan-lebih-rentan-saat-terjadi-bencana-alam-109651">Ketimpangan akses akibatkan perempuan lebih rentan saat terjadi bencana alam</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sementara, perempuan petani di Pare memiliki keterbatasan dalam informasi pengendalian hama dan penyakit karena mereka rata-rata tidak terlibat dalam proses ini. Hal ini membatasi kontrol mereka terhadap manfaat bertani bawang merah, terutama ekonomi. </p>
<p>Penelitian kami menemukan bahwa perempuan petani bawang merah di Leces cenderung memiliki kontrol terbatas atas penghasilan pertanian mereka karena masih didominasi oleh laki-laki. </p>
<p>Yang menarik, kami menemukan ada paradoks terhadap akses ke manajemen keuangan.</p>
<p>Pada keluarga petani miskin, perempuan cenderung diberi akses pada pengelolaan penghasilan. Sementara, keluarga petani yang lebih kaya, perempuan tidak diberi akses mengelola penghasilan mereka.</p>
<p>Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan tidak dipercaya untuk mengelola pendapatan yang besar, namun dituntut untuk mampu mengelola pendapatan yang terbatas. </p>
<p>Di Karangploso (Kabupaten Malang), budaya beternak sapi perah hanya diturunkan kepada anak laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang peternakan.</p>
<p>Kami juga menemukan bahwa perempuan menunjukkan potensi melakukan terobosan melalui aktivitas kolektif dengan membentuk kelompok perempuan peternak, seperti yang terjadi pada perempuan peternak sapi perah di Ngantang (Kabupaten Malang). </p>
<p>Melalui kelompok-kelompok ini, perempuan peternak di Ngantang aktif untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam proses produksi dan bahkan mencari alternatif produk yang bisa diolah dari susu sapi, sehingga mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan selain menjadi pemasok pabrik susu. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/318504/original/file-20200304-66106-13laotr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Salah satu sesi FGD kami dengan para perempuan peternak di Ngantang, Kabupaten Malang.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sayangnya, kami menemukan bahwa kontruksi budaya yang partriarki membuat para perempuan petani dan peternak masih melihat peran mereka hanya melengkapi peran laki-laki di kedua sektor tersebut. </p>
<p><strong>Aspek psikologis</strong></p>
<p>Konstruksi budaya yang menjadi hambatan besar bagi perempuan petani untuk mendapatkan hak yang setara dalam sektor pertanian memengaruhi mereka secara psikologis.</p>
<p>Perempuan menjadi pasif – dan dalam kasus tertentu – menerima konstruksi paradoks yang membuat mereka bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan keluarga dalam kondisi apapun, seperti yang terlihat pada studi di Leces, Probolinggo. Yang miskin harus mampu bertahan dengan penghasilan yang ada, sementara yang kaya malah tidak diberikan akses untuk mengelola uang hasil pertanian. </p>
<p>Kami juga menemukan bahwa perempuan peternak sapi di Karangploso, Malang, merasa sungkan untuk mengikuti program-program penyuluhan dari pemerintah karena yang hadir mayoritas laki-laki.</p>
<p>Padahal, mereka memiliki peran yang vital dalam hampir semua tahapan proses produksi, dari meramu pakan, membersihkan kandang, mengidentifikasi penyakit dan vaksinasi, inseminasi, hingga pemerahan susu. Kecuali, pencarian pakan ternak yang dominan dilakukan laki-laki. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/konferensi-iklim-masih-didominasi-laki-laki-saatnya-meningkatkan-keterlibatan-perempuan-130415">Konferensi iklim masih didominasi laki-laki, saatnya meningkatkan keterlibatan perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Untuk studi ini, kami mengumpulkan data dengan melakukan diskusi kelompok terarah (<em>focus group discussion</em>) yang melibatkan sekitar 10-20 perempuan peternak sapi perah dan petani bawang merah di tiap-tiap wilayah. Pengambilan data dilakukan pada paruh kedua tahun 2016. </p>
<p>Dalam diskusi tersebut, kami bertanya tentang pembagian kerja dalam rumah tangga, ladang dan peternakan antara suami dan istri, termasuk dalam pengambilan keputusan, dan beban kerja, kendala dalam bekerja, akses terhadap layanan dan informasi, serta akses dan kontrol terhadap pendapatan dari hasil pertanian dan peternakan.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan</h2>
<p>Melihat bagaimana konstruksi budaya terhadap peran perempuan di pertanian menghambat akses, kontrol, dan manfaat bagi perempuan petani itu sendiri, maka perlu adanya transformasi kebudayaan, baik melalui upaya-upaya yang bersifat intervensi maupun partisipasi.</p>
<p>Kolektivitas perempuan bisa menjadi pintu masuk strategis baik bagi kedua upaya tersebut. Bentuk semacam ini bisa berupa pembentukan kelompok atau grup petani atau peternak yang beranggotakan perempuan, seperti yang dilakukan di Ngantang, Kabupaten Malang. </p>
<p>Adanya kelompok perempuan peternak, mendorong mereka untuk melakukan terobosan-terobosan yang bisa meningkatkan penghasilan, misalnya dengan diversifikasi produk olahan susu sapi perah. Sehingga, tidak hanya dijual mentah ke pemborong, namun bisa menjadi sumber penghasilan tambahan dan bentuk kreativitas ekonomi perempuan peternak. </p>
<p>Kedua, adanya proses partisipasi dari perempuan peternak dalam mengambil keputusan secara kolektif diharapkan bisa meningkatkan kepercayaan diri mereka dan menyadari pentingnya peran mereka yang setara dengan laki-laki, yaitu sebagai penyumbang ekonomi pedesaan, bukan hanya sebagai pelengkap. </p>
<hr>
<p>Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di <a href="https://theconversation.com/id/newsletters/sepekan-lingkungan-66">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131039/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mely Noviryani dan timnya dari Pusat Studi Gender Universitas Brawijaya menerima dana untuk penelitian ini dari Australian Department for Foreign Affairs and Trade (DFAT) ARISA, berbasis di Surabaya, dan dijalankan oleh Commonwealth Science and Industry Research Organization (CSIRO) dengan RISTEKDIKTI di Indonesia untuk penelitian ini. Riset ini bagian dari Australia Indonesia Partnership for Rural Economic Development (AIP-Rural) AIP-Rural.
</span></em></p>Penelitian kami di Jawa Timur menemukan masih ada diskriminasi dan marginalisasi gender di sektor pertanian dan peternakan.Mely Noviryani, Lecturer of Faculty of Social and Political Sciences, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1289342019-12-19T02:15:08Z2019-12-19T02:15:08ZRiset: masih ada ketidaksetaraan gender dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/307403/original/file-20191217-58329-1hy1m1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C0%2C4466%2C3368&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Proyek yang menerapkan pendekatan transformatif gender akan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Indonesia. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel untuk memperingati Hari Ibu atau Hari Perempuan Indonesia yang jatuh pada tanggal 22 Desember.</em></p>
<hr>
<p>Pemerintah Indonesia sudah banyak menjalankan program untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir beberapa dekade belakangan. Sayangnya, sebagian program tersebut belum dapat menjawab jawaban masalah ketidaksetaraan gender di daerah pesisir. </p>
<p>Kami melakukan studi terhadap <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s40152-019-00142-5">20 program yang terkait dengan mata pencaharian untuk masyarakat pesisir</a> yang tersebar di Indonesia dari tahun 1998 hingga 2017.</p>
<p>Kami ingin melihat bagaimana isu gender menjadi pertimbangan dalam persiapan hingga implementasi program-program tersebut. </p>
<p>Ke-20 program yang kami teliti mendapatkan dana dari pemerintah Indonesia, negara lain, lembaga pengembang dan donor internasional, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) konservasi.</p>
<p>Sebagian besar program ini melibatkan perempuan dalam kegiatan untuk meningkatkan mata pencaharian yang ada atau memperkenalkan sumber pendapatan baru.</p>
<p>Namun, 40% dari program tersebut masih buta gender terlebih untuk urusan perancangan dan dampak dari aktivitas mereka. Hanya dua program (10%) yang menggunakan pendekatan yang mempertimbangkan norma-norma sosial terkait dengan peran gender atau norma gender dan benar-benar memberdayakan perempuan.</p>
<p>Kami merekomendasikan agar program-program di masa mendatang bisa memasukkan pemahaman mendalam mengenai norma sosial terkait peran gender pada masyarakat pesisir di Indonesia.</p>
<p>Lebih lanjut, program-program tersebut perlu mengajak partisipasi warga sekitar karena hal ini akan berdampak positif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/indonesia-needs-more-research-on-how-plastic-waste-in-the-ocean-impact-marine-life-heres-why-124172">Indonesia needs more research on how plastic waste in the ocean impact marine life. Here's why</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Hasil penelitian kami</h2>
<p>Penelitian kami mengkaji program peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di Indonesia - termasuk Bali, Sulawesi, dan Papua Barat - dan menemukan bahwa 95% dari program tersebut sudah melibatkan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung.</p>
<p>Keterlibatan mereka terwujud dalam berbagai kegiatan, seperti pelatihan dan penyediaan alat-alat untuk mendapatkan penghasilan tambahan, misalnya membuat produk makanan dari ikan atau tanaman bakau.</p>
<p>Kami menemukan bahwa hanya 3 dari 20 program tersebut menyediakan pelatihan kesadaran gender bagi anggota staf dan fasilitator dari komunitas. Dan, hanya satu program yang memberikan pelatihan serupa di level komunitas. Lebih lanjut, hanya dua program yang memberikan kuota bagi perempuan untuk perannya sebagai pendamping masyarakat (30-50% perempuan). </p>
<p>Namun, temuan kami juga menunjukkan bahwa sebagian besar program dilaksanakan dengan cara yang mendukung norma gender yang ada.</p>
<p>Atau, pendekatan yang hanya mencoba mengakomodasi norma-norma yang terkait dengan peran gender, tanpa mempertanyakan konsekuensi dari norma tersebut. </p>
<p>Sebagai contoh, kegiatan pembuatan kerajinan tangan atau pembentukan kelompok perempuan untuk meningkatkan pendapatan akan lebih dikenal sebagai ‘aktivitas perempuan’ dalam banyak program. </p>
<p>Namun, ‘aktivitas’ tersebut masih belum mempertimbangkan peran tradisional perempuan, yaitu mengurus rumah tangga, atau kontribusi perempuan yang tidak dibayar untuk ekonomi rumah tangga. </p>
<h2>Hal yang bisa dilakukan</h2>
<p>Berdasarkan temuan kami tersebut, maka kami merekomendasikan pendekatan gender yang transformatif.</p>
<p>Pertama, pendekatan ini melibatkan pengarusutamaan isu gender ke dalam pelaksanaan proyek. Artinya pendekatan yang digunakan merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan gender. </p>
<p>Kedua, pendekatan ini melibatkan komunitas di pesisir untuk mengidentifikasi dan menantang norma-norma sosial terkait dengan peran gender dan relasi sosial yang ada. </p>
<p>Komponen utama program ini adalah analisis gender yang mengidentifikasi:
- aktivitas perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga serta masyarakat
- perbedaan akses perempuan dan laki-laki dalam mengontrol, dan memanfaatkan sumber daya penghidupan
- perbedaan bentuk partisipasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam
- norma-norma sosial terkait dengan peran gender dan relasi gender memiliki pengaruh terhadap perbedaan tersebut<br>
- dampak kedua hal tersebut terhadap peluang perempuan dan pria dalam mencari pendapatan. </p>
<p>Sebagai contoh, salah satu program yang bernama Program Sekolah Lapang Pesisir termasuk kegiatan partisipatif untuk merekam kegiatan sehari-hari wanita dan laki-laki. Aktivitas ini menyoroti waktu yang dihabiskan perempuan untuk menjalankan tugas rumah tangga dan mendukung ‘aktivitas laki-laki’ tanpa bayaran.</p>
<p>Ketika dilakukan dengan model partisipatif, analisis gender membantu komunitas untuk mengidentifikasi keterbatasan lokal dan struktural yang menghambat kesetaraan gender.</p>
<p>Dengan demikian, komunitas dapat mengidentifikasi pilihan serta aksi yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengatasi hambatan tersebut, dan mencapai kesejahteraan sosial ekonomi yang setara. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=551&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=551&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=551&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=693&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=693&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/306273/original/file-20191211-95173-1e9e4ai.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=693&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Ringkasan dari pendekatan-pendekatan isu gender di daerah, (berdasarkan Lawless et al. 2017), dengan contoh aktivitas yang diambil dari studi kami.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://link.springer.com/article/10.1007/s40152-019-00142-5">Stacey et al (2019).</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pendekatan gender yang transformatif harus difasilitasi dengan sensitif mengingat bahwa pendekatan tersebut akan menantang hirarki kekuasaan tradisional yang berlaku di masyarakat. Pendekatan ini membutuhkan waktu dalam perencanaan.</p>
<p>Dengan mengidentifikasi dan mengurangi hambatan perempuan dalam mendapatkan posisi yang setara dalam kehidupan sosial dan ekonomi, maka pendekatan gender yang transformatif dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Hasilnya, masyarakat akan memiliki peluang pendapatan yang lebih baik. </p>
<p>Pada akhirnya, mengakui kontribusi perempuan, membangun kepercayaan diri perempuan, serta memberikan suara kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam perencanaan di tingkat komunitas menciptakan peluang yang lebih besar untuk memasukkan isu-isu perempuan ke dalam agenda pembangunan. </p>
<p><em>Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p>
<hr>
<p><em>Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di <a href="https://theconversation.com/id/newsletters/sepekan-lingkungan-66">sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128934/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Emily Gibson received funding from the Australian Centre for International Agricultural Research in support of this research. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Natasha Stacey menerima dana dari Australian Centre for International Agricultural Research untuk melakukan penelitian ini.</span></em></p>Identifikasi dan mengatasi hambatan untuk mencapai partisipasi yang setara dalam kehidupan sosia dan ekonomi dapat meningkat taraf hidup masyarakat pesisir.Emily Gibson, PhD Candidate, Research Institute for the Environment and Livelihoods, Charles Darwin UniversityNatasha Stacey, Associate Professor, Research Institute for the Environment and Livelihoods, College of Engineering, IT and Environment, Charles Darwin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1127972019-03-10T08:53:55Z2019-03-10T08:53:55ZBagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262863/original/file-20190308-150697-1n2h51w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=13%2C0%2C4571%2C2577&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pengunjuk rasa membawa poster di Women's March 2018.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com/ kiwiofmischief</span></span></figcaption></figure><p>Sementara upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di beberapa negara lain mengalami beberapa <a href="https://theconversation.com/bill-cosby-exposed-by-the-media-but-it-was-women-who-brought-him-down-95720">perkembangan positif</a> dengan menguatnya dampak gerakan <a href="https://theconversation.com/id/topics/metoo-45316">#MeToo</a>, perlindungan terhadap perempuan Indonesia belum membaik.</p>
<p>Mayoritas perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik. Menurut <a href="https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub-pdf/State_of_World_Population_Report_SWOP_2017.pdf">data</a> yang dirilis pemerintah–dibantu United Nations Population Fund (UNFPA) pada Maret 2017, sepertiga populasi perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik. </p>
<p>Berakhirnya kasus kekerasan seksual mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1172178/kasus-agni-di-ugm-berujung-damai/full&view=ok">kesepakatan damai</a> dan <a href="https://www.smh.com.au/world/asia/i-went-to-prison-and-he-got-promoted-indonesia-s-metoo-moment-20181218-p50n2p.html">dikriminalisasinya perempuan yang melaporkan pelaku pelecehan seksual</a>, menunjukkan bahwa budaya impunitas, di mana pelaku kekerasan bisa bebas dari hukuman, masih mengakar. </p>
<p>Saya mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan mengemban tugas sehari-hari sebagai Direktur Amnesty International Indonesia, organisasi yang memperjuangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak asasi perempuan. Saya juga ayah dari seorang putri, yang membuat saya memiliki kepentingan yang sangat tinggi untuk memperjuangkan perlindungan perempuan demi masa depan anak saya.</p>
<p>Beberapa analis telah menjelaskan <a href="https://theconversation.com/conservative-rejection-of-indonesias-anti-sexual-violence-bill-misplaced-111683">pentingnya mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual</a> (RUU PKS) untuk menguatkan upaya perlindungan perempuan. Analis yang lain melihat bahwa perlindungan terhadap perempuan dapat meningkat jika lebih banyak <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mendongkrak-keterwakilan-perempuan-di-dpr-89541">perempuan mewakili rakyat dalam parlemen</a>.</p>
<p>Di luar analisis-analisis yang penting tersebut, saya berargumen bahwa untuk mendorong penguatan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemerintah dan DPR perlu memperkuat <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/">Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan</a> (Komnas Perempuan) sebagai “lembaga negara yang independen” untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia, dengan memperkuat landasan hukumnya dengan sebuah undang-undang khusus.</p>
<p>Saat ini landasan hukum pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan keputusan presiden. Dengan penguatan landasan hukum, lembaga ini dapat diberikan kewenangan untuk membantu pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik yang berperspektif gender hingga kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga bisa membawa pelaku kekerasan berbasis gender ke pengadilan. </p>
<h2>Posisi subordinat Komnas Perempuan</h2>
<p>Komnas Perempuan berdiri pada Oktober 1998, beberapa bulan sesudah jatuhnya rezim Soeharto. </p>
<p>Berkat dorongan aktivis gerakan perempuan yang menuntut pertanggungjawaban negara atas kekerasan yang dialami perempuan pada kerusuhan Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menggantikan Soeharto yang telah mengundurkan diri, mengeluarkan keputusan presiden untuk mendirikan Komnas Perempuan. </p>
<p>Selama 17 tahun terakhir, Komnas Perempuan melakukan pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan dari tahun ke tahun jumlah laporan kekerasan ini meningkat.</p>
<iframe title="Chart: Peningkatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan&nbsp;" aria-describedby="" src="https://datawrapper.dwcdn.net/holsd/2/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Per Maret 2019, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus, meningkat 16,5% dari tahun sebelumnya. </p>
<p>Namun, disebabkan landasan hukumnya, sejauh ini posisi Komnas Perempuan masih berada di bawah badan eksekutif, ketimbang berdiri secara independen dan setara dengan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Posisi sub-ordinat Komnas Perempuan, menurut saya, merupakan pangkal dari lemahnya upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.</p>
<p>Penguatan landasan hukum Komnas Perempuan akan menguatkan posisi komisi ini dalam beberapa aspek: </p>
<h2>1. Daya tawar lebih kuat dalam negosiasi perundang-undangan</h2>
<p>Status Komnas Perempuan saat ini masih lebih berkarakter gerakan sosial, bahkan kerap terlihat seperti organisasi non pemerintah pada umumnya. Sebenarnya itu tidak keliru. Tetapi karakter ini cenderung membuat Komnas Perempuan terpinggirkan dari proses pembuatan kebijakan publik. Dari pengamatan saya, Komnas Perempuan lebih jarang terlibat secara resmi dan intensif dalam konsultasi dengan DPR, dibanding Komnas HAM, apalagi KPK.</p>
<p>Dengan penguatan landasan hukum yang memberikan Komnas Perempuan posisi yang setara dan independen dengan badan eksekutif, legislatif, yudikatif, Komnas Perempuan akan memiliki daya tawar dan terlibat langsung dalam negosiasi perundang-undangan. </p>
<p>Untuk konteks saat ini, misalnya, jika Komnas Perempuan memiliki posisi independen dan setara dengan badan pemerintahan lain, komisi ini bisa berbicara langsung dan mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di parlemen agar memastikan RUU tersebut berperspektif gender. </p>
<h2>2. Memandu pembuatan kebijakan publik soal perempuan</h2>
<p>Dengan posisinya yang lebih kuat, Komnas Perempuan bisa mendorong pembuatan dan pengawasan kebijakan publik lain yang berhubungan dengan perempuan, misalnya dalam bidang pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals—SDGs). </p>
<p>Komnas Perempuan bukan hanya dapat memantau rencana dan pelaksanaan dari target SDGs tersebut, tetapi juga menjadikan keputusan hasil pemantauannya sebagai pedoman tindakan sekaligus cambuk bagi badan-badan pemerintah. Setiap rencana pemerintah wajib dikonsultasikan dengan Komnas Perempuan. Apalagi, menurut PBB, dan juga menurut catatan Komnas Perempuan untuk kasus Indonesia, pencapaian program yang terdahulu dengan Milenium Development Goals (MDGs) menunjukkan kegagalannya sebagian disebabkan oleh lemahnya pengawasan. </p>
<h2>3. Menyelidiki kasus kekerasan terhadap perempuan</h2>
<p>Lembaga ini juga perlu diberi kewenangan yang menempatkannya menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Untuk itu, penguatan landasan hukum Komnas Perempuan dalam bentuk undang-undang sebaiknya memberi mandat untuk melakukan penyelidikan, seperti mandat yang dimiliki Komnas HAM. Lebih baik lagi jika mandatnya meliputi wewenang penyidikan dan penuntutan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga mampu membawa pelaku ke pengadilan, sekaligus tentunya membawa kebutuhan sebuah pengadilan khusus yang hakim-hakimnya memiliki perspektif gender. </p>
<p>Hal-hal ini perlu dirumuskan secara lengkap dalam naskah UU. Wewenang ini juga meliputi perlindungan saksi dan korban perempuan, termasuk reparasi bagi korban, tanpa harus menunggu vonis hakim atas pelaku.</p>
<p>Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sempat melibatkan diri dalam kerja-kerja penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat. Meski pun mandatnya terbatas pada kekerasan terhadap perempuan, dan meski keterlibatan itu sebatas pada komisioner-komisioner atau staf-stafnya, keterlibatan itu telah melengkapi kelemahan Komnas HAM yang kerap luput dalam mengidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAM berbasis jender.</p>
<p>Sebagai contoh, dalam penyelidikan Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pada tahun 1999, tanpa keterlibatan aktivis dan anggota Komnas Perempuan, antara lain Kamala Chandrakirana, Zumrotin, dan Nursyahbani Katjasungkana, maka kasus-kasus perkosaan yang sistematis terhadap perempuan nyaris luput dari penyelidikan. </p>
<p>Saya pernah berkesempatan dua kali bekerja bersama dua mantan Ketua Komisi ini. Pertama, bersama Saparinah Sadli dalam <a href="https://www.liputan6.com/news/read/31129/kpp-ham-trisakti-terjadi-kejahatan-kemanusiaan">Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan II</a> pada 2001 yang menyelidiki penembakan mahasiswa yang berunjuk rasa pada sepanjang 1998/1999. </p>
<p>Selain mempengaruhi proses dan kualitas hasil pencarian fakta, keterlibatannya sebagai Ketua Komnas Perempuan memperlihatkan integritas moral yang tinggi, terutama ketika pihak-pihak tertentu mendiskreditkan KPP dengan menggalang massa dan adanya oknum elite TNI yang menolak panggilan penyelidikan. </p>
<p>Kedua, ketika bersama Kamala Chandrakirana bekerja dalam <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/05KP006.pdf">Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib pada 2004 </a>. Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia ketika terbang menuju Amsterdam. Hasil otopsi menunjukkan ia diracun. </p>
<p>Peran Kamala begitu penting dalam memeriksa saksi dan menggali keterangan-keterangan saksi khususnya saksi perempuan serta memeriksa dokumen-dokumen yang diperoleh dari Garuda Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan badan-badan resmi lainnya.</p>
<p>Dengan memberi kewenangan penyelidikan kepada Komnas Perempuan, mereka nantinya dapat membentuk tim pencari fakta untuk bermacam-macam kasus kekerasan seksual. Ini akan membantu negara khususnya pemerintah dalam memperkuat upaya penghapusan atau setidaknya penurunan angka kekerasan terhadap perempuan.</p>
<h2>Tanggung jawab pemerintah</h2>
<p>Pada November 2017, ketika bertatap muka dengan para komisioner Komnas Perempuan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengajak masyarakat untuk <a href="https://www.rappler.com/indonesia/berita/189553-presiden-jokowi-angka-kekerasan-terhadap-perempuan">menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan</a>.</p>
<p>Namun, menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan tidak bisa diwujudkan hanya dengan ajakan retoris. Tugas mengurangi kekerasan adalah tanggungjawab pemerintah dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan. </p>
<p>Maka, pemerintahan Jokowi seyogyanya, perlu mulai bergerak untuk memperkuat status hukum Komnas Perempuan untuk memungkinkan komisi ini mendobrak dominannya cara pandang dan praktik yang cenderung patriarkis dan merendahkan harkat dan martabat perempuan, akibat tak dibekali perspektif kesetaraan gender. </p>
<p>Penguatan Komnas Perempuan akan memperkuat keputusan Presiden Habibie yang di tengah turbulensi politik 1998 dapat merespons aspirasi perempuan dengan begitu serius dan berani membentuk Komnas Perempuan, setelah sebelumnya juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki perkosaan terhadap perempuan dalam kerusuhan rasial 1998.</p>
<p>Melanjutkannya dengan memperkuat posisi Komnas Perempuan dalam pengambilan keputusan publik pemerintahan maupun dengan penambahan wewenang hukum untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili kasus-kasus kekerasan berbasis gender, bukan hanya akan menyediakan mekanisme keluhan bagi korban, tetapi juga mengisi kekosongan hukum agar para pelaku kekerasan tidak terus merasa bebas dari penghukuman. </p>
<p>Pemberian posisi yang lebih kuat tersebut merupakan langkah yang dibutuhkan jika Indonesia benar-benar ingin memperbaiki situasi perlindungan perempuan dan penghormatan atas kesetaraan berbasis gender, dengan lebih berpihak pada hak-hak korban. Sudah waktunya kita mendengarkan suara-suara korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112797/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Usman Hamid adalah Direktur Amnesty International Indonesia. </span></em></p>Untuk mendorong penguatan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemerintah dan DPR perlu memperkuat Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas Perempuan)Usman Hamid, Lecturer, Indonesia Jentera School of LawLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.