tag:theconversation.com,2011:/us/topics/hukum-45218/articlesHukum – The Conversation2024-03-23T04:32:58Ztag:theconversation.com,2011:article/2233332024-03-23T04:32:58Z2024-03-23T04:32:58ZPolitik itu penuh negosiasi, tetapi etika dan legitimasi harga mati<p>Selama perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kita semua sering mendengar penyebutan istilah ‘etika’. Penyebutan ini berangkat dari <a href="https://nasional.tempo.co/read/1845361/anggota-komite-ham-pbb-tanya-soal-dugaan-intervensi-jokowi-di-pilpres-2024-apakah-sudah-diinvestigasi">dugaan-dugaan kuat</a> bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengintervensi <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">putusan Mahkamah Konstitusi (MK)</a> terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu demi meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto.</p>
<p>MK disebut-sebut telah melanggar kode etik, sehingga banyak pula masyarakat yang meragukan legitimasi hasil Pemilu ini.</p>
<p>Sebagai akademisi bidang hukum, saya bermaksud memberikan penjelasan normatif mengenai etika dan mengapa hal ini menjadi sangat penting untuk diperjuangkan saat ini.</p>
<p>Saya memulai tulisan singkat ini dengan adagium ‘<em>non omne quod licet honestum est</em>’ yang artinya, ‘<em>not all that is permitted, is honorable</em>’. Dalam Bahasa Indonesia, ini berarti ‘tidak semua yang diperbolehkan itu terhormat’. Adagium ini memiliki makna bahwa tuntutan etika atau moralitas berada di atas hukum.</p>
<h2>Apa itu etika?</h2>
<p>Menurut <a href="https://books.google.co.id/books?id=wSTf79ehWuAC&hl=id&source=gbs_navlinks_s">K. Bertens</a>, filsuf dan tokoh etika Indonesia, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam berfikir, bersikap, dan mengatur tingkah lakunya. Nilai dan norma tersebut biasanya identik dengan akhlak dan moral. </p>
<p>Pada konteks <a href="https://lib.unnes.ac.id/41840/1/Etika%20Politik%20Edisi%20Kedua.pdf">politik</a>, etika menjadi pegangan nilai dan norma bagi penyelenggara negara dalam membuat kebijakan serta keputusan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi. </p>
<p>Seberapa jauh etika menjadi hal yang penting dalam berpolitik bergantung pada ‘legitimasi’ proses politiknya.</p>
<h2>Apa itu legitimasi?</h2>
<p><a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.psych.57.102904.190038">Legitimasi</a> adalah bentuk pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan yang dibuat oleh penyelenggara negara melalui koridor hukum (<em>legitimate</em>). </p>
<p>Ada pula istilah legalitas, yaitu keabsahan dalam penyelenggaraan negara. Artinya, tindakan pemerintah dan penegakan hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (<em>legal</em>). </p>
<p>Legalitas dan legitimasi adalah <a href="https://www-jstor-org.proxy.library.uu.nl/stable/1147701">fondasi</a> untuk menciptakan dan memelihara <em>rule of law</em> (negara yang berlandaskan hukum) di suatu negara. Dengan kata lain, kedua unsur ini yang menjaga marwah negara hukum.</p>
<p>Pada konteks negara hukum, legalitas menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan negara dan penegakan hukum secara memaksa (<em>force</em>), sementara legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan pemerintah yang muncul dengan kesadaran sendiri (<em>voluntary</em>).</p>
<p>Secara umum, hal-hal yang diakui dan diterima <em>(legitimate)</em> sudah pasti sah atau legal. Namun, ada kalanya hal-hal yang dipandang legal belum tentu diakui dan diterima (<em>legitimate</em>).</p>
<p>Ada tiga dasar <a href="https://books.google.co.id/books?id=MILOksrhgrYC&source=gbs_navlinks_s">legitimasi</a>. Pertama, <em>rational bureaucratic authority</em> yang artinya kebijakan, regulasi, dan keputusan harus dibuat melalui prosedur yang sesuai pada peraturan hukum yang berlaku. Proses yang beretika menjadi salah satu bagian dari peraturan tersebut. </p>
<p>Jika dikaitkan dengan kontestasi politik, maka teori ini mengisyaratkan agar segala keputusan yang dibuat dalam rangka pemilu harus dihasilkan dari proses yang sesuai dengan etika serta peraturan hukum yang berlaku.</p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">Putusan MK</a> terkait batas usia capres dan cawapres yang dibuat dalam sebuah proses yang melanggar etika karena Ketua Hakim pada saat itu, Anwar Usman, adalah paman dari Gibran. Dalam hal ini, Gibran adalah pihak yang diuntungkan oleh Putusan tersebut. Pelanggaran etika ini telah dibuktikan dalam <a href="https://s.mkri.id/public/content/mkmk/mkmk_putusan_1699360420_3a09ab30a7a22aa9d99d.pdf">keputusan</a> Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023. </p>
<p>Kedua adalah <em>charismatic authority</em>, yang merujuk pada personalitas penyelenggara negara yang harus menjunjung tinggi etika politik dalam mengambil keputusan dan dalam bertindak. </p>
<p>Contoh untuk konteks pemilu adalah penyelenggara negara harus bersikap etis dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Hal ini kerap dipermasalahkan, salah satunya ketika pembagian <a href="https://nasional.kompas.com/read/2024/01/26/07150331/bagi-bagi-bansos-di-musim-kampanye-berbau-politis-hingga-diduga-menyandera?page=all">bansos</a> di tengah musim kampanye dinilai bermuatan politis. </p>
<p>Ketiga, <em>traditional authority</em>, yang berarti bahwa pelaksanaan penyelenggaraan negara harus mencerminkan nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat (<em>socially accepted norms</em>).</p>
<p>Jika dikaitkan dengan pemilu, maka teori ini mengharuskan agar proses penyelenggaraanya tidak bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk keadilan. </p>
<p><a href="https://nasional.tempo.co/read/1836399/rentetan-aksi-demo-di-kpu-tolak-pemilu-curang-mahasiswa-hingga-buruh-turun-ke-jalan">Demonstrasi</a> yang akhir-akhir ini kerap dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk memprotes soal adanya dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024 dan menyuarakan Pemilu yang jujur dan adil, adalah tanda bahwa masyarakat saat ini memandang penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. </p>
<h2>Seberapa penting etika dalam berpolitik?</h2>
<p>Berdasarkan penjelasan di atas, etika adalah bagian dari setiap ukuran dasar legitimasi. Dengan demikian, etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh. </p>
<p>Sebaliknya, jika etika tidak dijaga dengan baik dalam proses penyelenggaraan negara termasuk pemilu, maka legitimasi penyelenggaraan tersebut tidak akan tumbuh sebagaimana idealnya. Sebaliknya, malah akan cenderung menimbulkan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4939-3216-0_23">perasaan ketidakadilan</a>. </p>
<p>Jika etika tidak terjaga dan legitimasi dalam penyelenggaraan negara tidak terwujud, maka dampaknya akan ada terhadap komitmen untuk menjaga <em>rule of law</em> (prinsip negara hukum). </p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2734103">Prinsip negara hukum</a> pada dasarnya melambangkan penyelenggaraan negara yang bebas dari tindakan sewenang-wenang, dan merupakan syarat penting untuk menjamin perlindungan HAM, khususnya hak demokratis setiap warga negara untuk memilih dan mendapatkan pemimpin melalui jalur yang adil.</p>
<p>Politik itu penuh negosiasi, namun etika merupakan elemen penting dalam berpolitik yang tidak bisa dikesampingkan, mengingat kaitan eratnya dengan legitimasi dan prinsip negara hukum. </p>
<p>Jika etika berpolitik tidak dapat dijaga hanya demi mencapai kekuasaan, ini akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi ke depannya. </p>
<p>Proses penyelenggaraan Pemilu kemarin sudah penuh kontroversi yang mengarah pada dikesampingkannya etika dan menyebabkan keraguan akan legitimasinya. Kini saatnya kita menjaga agar tidak terjadi pelanggaran etika lebih jauh atau kecurangan terhadap hasil pemilihannya.</p>
<p>Publik memegang peran penting untuk memastikan bahwa politik di negara kita dapat membuka lembaran baru yang bersih dari coretan etika.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223333/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Devita Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh.Devita Putri, Assistant Professor, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2091872023-07-23T12:03:15Z2023-07-23T12:03:15ZIndonesia sudah lama punya Pengadilan HAM sendiri. Mengapa kiprahnya jarang terdengar?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538814/original/file-20230722-26-luo5v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5881%2C3147&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">llustrasi pengadilan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/law-theme-mallet-judge-enforcement-officers-1906650211">photobyphotoboy/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pemerintah meluncurkan <em>kick off</em> <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd1znxvxzggo">Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat</a> pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/09/21/10564941/jokowi-resmi-bentuk-tim-penyelesaian-non-yudisial-pelanggaran-ham-berat-masa#:%7E:text=Adapun%209%20Anggota%20Tim%20Pelaksana,%2C%20Komaruddin%20Hidayat%2C%20dan%20Rahayu.">Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM)</a>, yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.</p>
<p>Hingga kini, setidaknya ada <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230111104824-12-898847/daftar-12-kasus-pelanggaran-ham-berat-yang-diakui-jokowi">12 kasus</a> pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki <a href="https://referensi.elsam.or.id/2014/09/pengadilan-ham-di-indonesia/">Pengadilan HAM sendiri</a> yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.</p>
<p>Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi ‘primadona’ perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.</p>
<p>Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2000_26.pdf.">Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000</a> (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.</p>
<p>Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM <em>ad hoc</em> untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.</p>
<p>Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali “mencolek” keberadaan Pengadilan HAM ini. <a href="https://www.amnesty.id/penyelesaian-non-yudisial-pelanggaran-ham-berat-perlu-diikuti-pengungkapan-kasus-dan-pelurusan-sejarah/">Amnesty International Indonesia</a>, misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.</p>
<p>Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?</p>
<h2>Sempitnya yurisdiksi</h2>
<p>Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.</p>
<p>Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) <a href="https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/slims/pusat/index.php?p=show_detail&id=14597&keywords=">Suparman Marzuki</a> pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah “harapan semu”, karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.</p>
<p>Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan – tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi <em><a href="https://casebook.icrc.org/a_to_z/glossary/internal-disturbances-and-tensions">internal disturbance</a></em> (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.</p>
<p>Terbukti, Pengadilan HAM, baik <em>ad hoc</em> maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM <em>ad hoc</em> pernah mengadili <a href="https://repository.unej.ac.id/handle/123456789/83457">kasus Timor Timur</a> dan <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjujYj_4KSAAxUMSmwGHd6FD1UQFnoECDgQAQ&url=https%3A%2F%2Fjurnal.uin-antasari.ac.id%2Findex.php%2Fjils%2Farticle%2Fdownload%2F5793%2F2751&usg=AOvVaw1aKil-OjeRORvJP9KV6_2j&opi=89978449">Tanjung Priok</a>. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus <a href="https://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=13580#:%7E:text=Peristiwa%20Abepura%20berawal%20pada%20tanggal,3%20orang%20lainnya%20luka%2Dluka.">Abepura</a> dan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/09/28/16373911/detik-detik-pelanggaran-ham-berat-di-paniai-oknum-tni-tembak-warga-dan-tikam">Paniai</a> di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000.</p>
<p>Padahal, setidaknya ada <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/11/07/14015421/dari-15-kasus-pelanggaran-ham-berat-hanya-3-perkara-yang-tuntas">15 kasus</a> pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.</p>
<h2>Pengadilan sandiwara</h2>
<p>Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai “<a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c10p7389pjpo">pengadilan sandiwara</a>” dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya <a href="https://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/qanun/article/view/1200">dianggap sandiwara semata</a> dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.</p>
<p>Dalam kasus <a href="https://nasional.tempo.co/read/66321/terdakwa-pelanggar-ham-abepura-divonis-bebas">Abepura</a> dan <a href="https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/putusan-bebas-kasus-pelanggaran-ham-berat-paniai/">Paniai</a>, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.</p>
<p>Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.</p>
<p>Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.</p>
<p>Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.</p>
<p>Putusan bebas ini <a href="https://kontras.org/2005/09/09/putusan-bebas-dalam-pengadilan-ham-abepura/">membuat publik pesimis</a> bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.</p>
<p>Sementara itu, peristiwa Paniai <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220921130532-12-850711/jejak-kasus-paniai-berdarah-2014-hingga-disidangkan-hari-ini.">terjadi</a> pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.</p>
<p>Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini <a href="https://www.amnesty.id/tanggapan-koalisi-masyarakat-sipil-terhadap-vonis-bebas-pengadilan-ham-paniai/">dikecam</a> banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal <a href="https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/95588">dimaksudkan untuk gagal</a> (<em>intended to fail</em>).</p>
<h2>Carut marut konsep sejak pembentukannya</h2>
<p>Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM <a href="https://koran.tempo.co/read/editorial/478777/betulkah-pengadilan-ham-kasus-paniai-hanya-sandiwara">sudah “terdesain”</a> sejak pertama dibentuk. Dengan <a href="https://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/5720/Soedjono_91413-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y">kentalnya pelibatan TNI dan Polri</a> dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.</p>
<p>Jika demikian, pantas saja kemauan politik (<em>political will</em>) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.</p>
<p>Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh <a href="https://www.icc-cpi.int/about/how-the-court-works">Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)</a> yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.</p>
<p>Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah <a href="https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/341/275.">mendesak</a> Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.</p>
<p>Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan <a href="https://journal.ilininstitute.com/index.php/IJoCL/article/view/355">memilih</a> membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.</p>
<p>Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan <a href="https://journal.uii.ac.id/Lex-Renaissance/article/view/21076">Pemandangan Umum</a> Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan “pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara”.</p>
<p>Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.</p>
<p>Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah <a href="https://nasional.tempo.co/read/1727979/25-tahun-reformasi-127-pembela-ham-alami-serangan-sepanjang-januari-mei-2023">sebaliknya</a>.</p>
<p>Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209187/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rahadian Diffaul Barraq Suwartono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme non-yudisial?Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1919662022-11-25T02:32:08Z2022-11-25T02:32:08Z‘Sextortion’: bentuk kekerasan seksual ‘online’ yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/496235/original/file-20221118-12-mthiqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Eric Ward)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Teknologi digital menambah ruang bagi munculnya kekerasan seksual, salah satunya adalah apa yang kerap disebut sebagai ‘<a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf"><em>sextortion</em></a>’.</p>
<p><em>Sextortion</em>, yang merupakan gabungan dari ’<em>sexual</em>‘ (seksual) dan ’<em>extortion</em>‘ (pemerasan), merupakan bentuk pemerasan yang meliputi ancaman untuk menyakiti, mempermalukan, atau merugikan korban jika mereka tidak memenuhi tuntutan seksual pelaku.</p>
<p>Pelaku juga bisa mengancam untuk menyebarkan konten seksual privat milik korban untuk <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/303865319.pdf">memeras uang atau tuntutan seksual lain</a> dari mereka. Modus ini, misalnya, bisa berawal dari hubungan konsensual yang disertai konten intim yang kemudian disalahgunakan pelaku, <em>catfishing</em> (menggunakan identitas palsu), hingga peretasan.</p>
<p>Aturan hukum beberapa negara seperti <a href="https://law.justia.com/codes/utah/2021/title-76/chapter-5b/part-2/section-204/">Amerika</a> <a href="https://www.revisor.mn.gov/statutes/cite/609.3458">Serikat</a> (<a href="https://www.legis.state.pa.us/cfdocs/legis/LI/consCheck.cfm?txtType=HTM&ttl=18&div=0&chpt=31&sctn=33&subsctn=0">AS</a> memasukkan <em>sextortion</em> sebagai <a href="https://scholarship.law.unc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1408&context=ncjolt">kategori kejahatan siber</a> (<em>cybercrime</em>). Meski demikian, payung hukum kejahatan ini di beberapa negara tersebut pun masih belum maksimal. Di AS, misalnya, <a href="https://www.brookings.edu/research/closing-the-sextortion-sentencing-gap-a-legislative-proposal/">riset menunjukkan</a> masih ada banyak gap penanganan hukum tindak <em>sextortion</em> antara tingkat federal dan negara bagian.</p>
<p>Di Indonesia, sayangnya, saya belum menemukan riset yang mengulas kondisi payung hukum <em>sextortion</em>. Tapi, <a href="http://pdrh.law.ui.ac.id/opac/fh/template.jsp?inner=daftartipekoleksi.jsp?id=3#">kajian kualitatif yang sempat saya lakukan</a> semasa studi di Universitas Indonesia (belum dipublikasikan) menawarkan sedikit gambaran.</p>
<p>Misalnya, dalam berbagai aturan yang ada – dari <a href="https://bpsdm.kemendagri.go.id/Assets/Uploads/laporan/8766a8aa21d7469c338306d12eeb320b.pdf">Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)</a>, <a href="https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/-Regulasi-UU.-No.-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik-1552380483.pdf">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a>, hingga <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf">Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)</a> – belum mampu menjadi landasan hukum untuk melindungi warga dari tindak <em>sextortion</em> dengan baik.</p>
<p>Padahal, kasus <em>sextortion</em> merupakan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/07/12/08051031/penyebaran-dan-pemerasan-dengan-konten-intim-mendominasi-kasus-kekerasan">salah satu bentuk kekerasan seksual <em>online</em> yang paling marak</a> di Indonesia.</p>
<p>Modusnya bermacam-macam, mulai dari <a href="https://news.detik.com/berita/d-5482048/ngerinya-pemerasan-seksual-pasutri-di-medan-jadi-korban-pelaku-yang-sama">pemerasan seksual siber bermodus <em>video call sex</em> (VCS)</a> seperti kasus di Medan hingga ancaman penyebaran rekaman relasi seksual <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324">yang diambil tanpa sepengetahuan korban</a> setelah bertemu lewat aplikasi kencan.</p>
<h2>Meninjau payung hukum ’<em>sextortion</em>‘ dalam KUHP dan UU ITE</h2>
<p>Sebenarnya, secara umum (<em>lex generali</em>), payung hukum tindak pemerasan di Indonesia diatur dalam KUHP. Sementara, pemerasan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi atau informasi elektronik, secara khusus (<em>lex specialis</em>) diatur dalam UU ITE. </p>
<p>Menurut Pasal 368 ayat (1) KUHP, pemerasan merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan. Sarana terjadinya pemerasan dalam KUHP adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.</p>
<p>Jika mengacu pada definisi dalam KUHP tersebut, <em>sextortion</em> tidak dapat dikategorikan sebagai pemerasan karena tidak selalu menyangkut harta kekayaan. </p>
<p>Ukuran ancaman kekerasan yang dimaksud dalam KUHP pun adalah mengakibatkan orang pingsan atau tidak berdaya, sementara bentuk ancaman dalam <em>sextortion</em> berbeda. Pelaku biasanya dengan sengaja melecehkan korban melalui konten intim milik korban yang mereka miliki, dan menggunakannya sebagai bahan ancaman untuk menyebarluaskan dan memaksa korban memenuhi keinginan pelaku.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0886260520909186">Riset menunjukkan</a> bahwa selain menginginkan barang berupa uang atau konten intim tambahan, pelaku <em>sextortion</em> juga kerap menuntut korban untuk berhubungan seksual. Sayangnya, permintaan hubungan seksual bukan termasuk unsur “barang” dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.</p>
<p>Selain itu, ada celah lain dalam KUHP, yakni Pasal 369 ayat (1) mengenai ancaman pencemaran nama baik dan ancaman membuka rahasia.</p>
<p>Pencemaran nama baik yang dimaksud dalam pasal ini terdiri dari penistaan, penistaan dengan surat, penghinaan ringan, pengaduan palsu atau pengaduan ringan, dan perbuatan fitnah. Namun, ancaman pencemaran nama baik dan ancaman menyebarkan rahasia semacam ini bukanlah bentuk <em>sextortion</em>.</p>
<p>Sementara itu, ada UU ITE yang mengatur kejahatan pemerasan yang menggunakan sistem elektronik. Akan tetapi, Pasal 27 ayat (4) UU ITE belum cukup mengkriminalisasi <em>sextortion</em>.</p>
<p>Konsep informasi atau dokumen elektronik hanya meliputi muatan pemerasan dan pengancaman secara umum saja, bukan dengan menggunakan konten intim.</p>
<p>Pasal 29 UU ITE sebenarnya sudah menjabarkan bentuk ancaman, yakni berupa kekerasan yang melibatkan dampak fisik, psikis, atau kerugian ekonomi, serta tindakan menakut-nakuti seseorang. Tapi, pasal ini juga belum cukup, karena hakikat dari ’<em>sextortion</em>‘ bukan ancaman fisik atau psikis maupun menakut-nakuti korban, melainkan adanya pemerasan dengan risiko penyebarluasan konten intim yang kemudian memunculkan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.</p>
<p>Hal-hal di atas menunjukkan bahwa UU ITE masih relatif abai terhadap motif di balik suatu tindakan, serta kurang memiliki perspektif gender. Akibatnya, kerap terjadi kendala dalam menentukan pasal untuk menjerat berbagai bentuk <a href="https://awaskbgo.id/wp-content/uploads/2022/03/Jauh-Panggang-dari-Api_Menilik-Kerangka-Hukum-KBGO-di-Indonesia.pdf">Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS)</a>.</p>
<p>Sebagai gambaran, dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/0e3925a361f7e61e21aab18c370ce911.html">di Sleman</a> pada tahun 2018 dan <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/634137bcf4083795aedb30a22936b5a1.html">di Makassar</a> pada tahun 2019, fokus dakwaan Jaksa Penuntut Umum maupun putusan Majelis Hakim sebatas pada penyerbaluasan konten yang melanggar, bukan tindak pemerasan seksual itu sendiri.</p>
<p>Pada kasus di Sleman, misalnya, hakim memidana pelaku berdasarkan Pasal 29 UU Pornografi (atas penyebarluasan materi pornografi) dan Pasal 45B UU ITE (atas ancaman kekerasan dan menakut-nakuti). Pada kasus di Makassar, hakim memidana pelaku berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE (penyebarluasan materi asusila).</p>
<h2>Bagaimana dengan UU TPKS yang khusus mengatur kekerasan seksual?</h2>
<p>Dengan <a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-uu-tpks-sudah-sah-apa-yang-patut-dirayakan-dan-apa-yang-kurang-181330">adanya UU TPKS</a> yang mengatur tentang berbagai jenis tindak pidana kekerasan seksual, apakah sudah cukup untuk menjerat kasus <em>sextortion</em>?.</p>
<p>Sebenarnya, Pasal 14 ayat (1) UU TPKS terkait kekerasan seksual berbasis elektronik telah mengatur pemerasan dengan berbagai wujud.</p>
<p>Pertama, melibatkan rekaman, gambar, atau tangkapan layar bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan subjek di konten tersebut (huruf a). Kedua, melibatkan transmisi informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima (huruf b). Ketiga, melibatkan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik (huruf c).</p>
<p>Dalam UU TPKS, cakupan pemerasan mengalami perluasan dan mengakui bahwa pemerasan berbau seksual melibatkan beragam wujud ancaman. Perluasan tersebut telah membuka ruang untuk mengakomodasi kasus <em>sextortion</em>.</p>
<p>Meski demikian, UU TPKS juga tak luput dari kekurangan. Aturan ini tidak secara gamblang mengatur perbuatan <em>sextortion</em> itu sendiri dan masih menimbulkan area abu-abu, karena tidak memuat penjelasan mengenai apa saja yang digolongkan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan seksual.</p>
<p>UU TPKS juga memunculkan ambiguitas lain karena tidak menjelaskan apakah pemerasan atau pengancaman merujuk pada pengertian di KUHP sebagai ketentuan <em>lex generali</em> atau bukan.</p>
<h2>Perlu penyempurnaan hukum</h2>
<p>Dengan <em>status quo</em> saat ini, aparat penegak hukum hanya bisa menggunakan pasal-pasal yang sangat umum dan ambigu – seperti pasal penyebarluasan konten di UU ITE – dalam memutuskan kasus <em>sextortion</em>.</p>
<p>Demi memperbaiki konstruksi hukum pada kasus <em>sextortion</em>, aparat mestinya secara spesifik mempertimbangkan perbuatan pemerasan seksual oleh pelaku.</p>
<p>Hadirnya UU TPKS pada tahun ini sebenarnya menjadi momentum yang baik untuk pemberantasan kekerasan seksual. Tapi, aturan ini masih perlu penyempurnaan dan penjelasan mengenai unsur-unsur pasal di dalamnya, serta penambahan delik pokok dari perbuatan <em>sextortion</em>, guna mengisi kekosongan hukum.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191966/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arianda Lastiur Paulina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sextortion merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual online yang paling marak di Indonesia. Tapi sudah cukup kuatkah payung hukum penaganannya di Indonesia?Arianda Lastiur Paulina, Asisten Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1857132022-08-02T00:54:13Z2022-08-02T00:54:13ZBerbagai faktor kultural hambat perempuan jadi kepala sekolah: sekadar regulasi yang ‘netral gender’ tak cukup jadi solusi<p>Studi kami di Cakra Wikara Indonesia (CWI) bersama dengan program INOVASI pada tahun 2021 menunjukkan persentase guru perempuan di jenjang sekolah dasar (SD) <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">mencapai 70%</a> – tapi kepala sekolah perempuan hanya mencapai 45%.</p>
<p>Ketersediaan guru perempuan yang memadai tidak diiringi dengan kehadiran mereka pada posisi kepala sekolah. Bahkan, angka kepala sekolah perempuan terus menurun seiring naik jenjang.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10773847/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:300px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10773847/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10773847" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Hal ini selaras dengan <a href="https://cakrawikara.id/publikasi/buku/">kajian-kajian kami sebelumnya</a>. Di ranah publik, ada ketimpangan jumlah pejabat perempuan dibandingkan laki-laki – dari <a href="https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/12/FINAL-Upload_BUKU-BIROKRASI-REPRESENTATIF-2021-Rev_LiteV221.pdf">birokrasi di kementerian</a> hingga <a href="https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/12/Laporan-Riset-CWI_DPP-Parpol-1.pdf">struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di partai politik</a>.</p>
<p>Di sini, kami mengamati suatu pola yang konsisten: keseimbangan gender cukup baik pada tahap penerimaan atau rekrutmen, namun merosot drastis pada jabatan atau posisi kepemimpinan strategis.</p>
<p>Dalam konteks pendidikan, riset kami bersama INOVASI melihat <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf"><em>barrier</em> atau hambatan yang dialami perempuan</a> saat hendak menjadi kepala SD atau MI (<em>madrasah ibtidaiyah</em>).</p>
<p>Pada proses pemilihan kepala sekolah, misalnya, setiap individu menghadapi tahapan proses seleksi yang mengedepankan kompetensi. Tahapan ini diatur masing-masing dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138182/permendikbud-no-6-tahun-2018">Permendikbud No. 6 Tahun 2018</a> untuk SD dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131306/peraturan-menag-no-58-tahun-2017">Permenag No. 58 Tahun 2017 untuk MI</a>.</p>
<p>Aturan-aturan ini dianggap ‘netral gender’ dan berbasis bakat, kemampuan, dan prestasi calon kepala sekolah.</p>
<p>Tapi, dengan demikian, regulasi tersebut justru menjadi buta terhadap berbagai kondisi kultural yang menghambat guru perempuan di Indonesia.</p>
<h2>Hambatan multidimensi yang dihadapi calon kepala sekolah perempuan</h2>
<p><a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">Studi CWI</a> menunjukkan perempuan menghadapi hambatan multidimensi yang saling berhubungan.</p>
<p>Hambatan utamanya terletak pada budaya. Hal ini bersifat tidak kasat mata dan jauh tersembunyi di ruang privat. Hambatan ini bersumber dari beragam norma gender dan merupakan wujud dari tradisi kultural dan interpretasi agama yang dampaknya nyata bagi perempuan.</p>
<p>Ini muncul sejak ruang lingkup terkecil yaitu keluarga. Misalnya, temuan CWI menunjukkan bahwa guru perempuan yang sudah menikah kerap memerlukan izin suami sebelum dapat berkarir menjadi kepala SD/MI. Mendapatkan izin suami dianggap penting karena berdampak terhadap pemenuhan ekspektasi peran domestik mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Berbagai faktor kultural menjadi hambatan bagi karir guru perempuan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Husniati Salma)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ekspektasi peran domestik ini pun berdampak pada kurangnya rasa percaya diri guru perempuan terhadap kemampuannya meniti karir sebagai kepala sekolah.</p>
<p>Studi CWI tentang <a href="https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/12/FINAL-Upload_BUKU-BIROKRASI-REPRESENTATIF-2021-Rev_LiteV221.pdf">birokrasi</a> representatif juga menunjukkan kecenderungan serupa. Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan enggan mengikuti promosi jabatan karena merasa sangat kesulitan memenuhi tanggung jawabnya di rumah.</p>
<p>Selain itu, ada juga faktor waktu yang berkaitan erat dengan ekspektasi pemenuhan peran reproduktif perempuan – seperti melahirkan dan mengasuh anak. </p>
<p>Pemenuhan peran tersebut dianggap <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">berpotensi “mengganggu” produktivitas perempuan</a> di sekolah. Peran domestik yang kerap dilekatkan sebagai tanggung jawab utama perempuan, memengaruhi alokasi dan distribusi mereka. Akibatnya, mereka umumnya perlu waktu lebih panjang dalam meniti karir sebagai kepala sekolah.</p>
<h2>Regulasi ‘netral gender’ yang tidak peka</h2>
<p>Berbagai hambatan yang dihadapi guru perempuan tersebut seakan tidak dikenali dalam aturan pemilihan kepala SD/MI.</p>
<p>Sistem seleksi ini mengedepankan kompetensi, sehingga memang sifatnya netral gender. Tapi, ini berarti regulasi tersebut berasumsi bahwa terdapat peluang yang sudah setara antara guru perempuan dan laki-laki untuk menunjukkan capaian terbaik mereka.</p>
<p>Kurangnya prestasi kemudian dinilai sebagai kelemahan kompetensi, dan seakan tidak ada kaitannya dengan norma masyarakat tentang peran gender.</p>
<p>Dalam Permendikbud dan Permenag yang mengatur pemilihan kepala sekolah dan madrasah, ada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138182/permendikbud-no-6-tahun-2018">enam tahapan</a>; pengusulan, seleksi administrasi, seleksi substansi, pendidikan dan pelatihan (diklat), pengangkatan, dan penugasan.</p>
<p>Untuk ranah SD, studi kami menemukan bahwa guru dan kepala sekolah perempuan paling besar merasakan hambatan ini pada tahap pengusulan, diklat, serta penugasan.</p>
<p>Pada tahap pengusulan, misalnya, Permendikbud mengatur bahwa guru mulai dipertimbangkan jadi calon kepala sekolah setelah ditunjuk – biasanya oleh atasan atau guru “senior” – dan tidak bisa mengajukan diri secara otonom.</p>
<p>Ini membuat guru perempuan umumnya kesulitan untuk sewaktu-waktu menerima instruksi menjadi calon kepala sekolah. Ini terutama terjadi ketika guru perempuan sedang hamil atau memiliki anak balita, mempunyai beban pengasuhan anggota keluarga lain, atau tidak mendapatkan izin dari suami.</p>
<p>Selain itu, potensi penugasan di wilayah sulit juga menjadi disinsentif yang signifikan bagi calon kepala sekolah perempuan. Ini kerap jadi pertimbangan utama yang membuat mereka enggan mengikuti seleksi.</p>
<p>Kadang situasi ini disorot sebagai <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">ketidaksiapan perempuan</a> untuk keluar dari zona nyaman atau menghadapi segala situasi.</p>
<p>Padahal, keengganan tersebut muncul karena pengalaman khas mereka, yaitu ekspektasi pemenuhan peran reproduktif perempuan, kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah dalam relasi keluarga, hingga ekspektasi sosial untuk selalu mendahulukan tanggung jawab domestik.</p>
<p>Tantangan mobilitas fisik seperti ketidakmahiran berkendara motor dan kondisi geografis yang menantang juga berkontribusi membuat beberapa guru perempuan kesulitan memenuhi penugasan sebagai kepala sekolah.</p>
<p>Lain halnya dengan pemilihan kepala MI Negeri (MIN), yang mana merupakan kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) di level provinsi. Sedangkan, untuk pemilihan kepala MI Swasta (MIS) merupakan otoritas pimpinan yayasan.</p>
<p>Dalam konteks pemilihan kepala MIN, diklat merupakan tahapan yang dianggap menyulitkan guru dan kepala MIN perempuan. Ini karena ketidakpastian penetapan lokasi yang kerap jauh dari domisili, dan <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">durasi diklat yang cukup lama</a>. Akibatnya, guru perempuan enggan mengikuti pemilihan kepala MIN karena perlu memperhitungkan waktu yang sesuai dengan kebutuhannya.</p>
<p>Proses pengangkatan kepala MIN juga dipengaruhi subjektivitas Kemenag dan tidak selalu dibarengi dengan ukuran penilaian yang jelas. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan bias terhadap perempuan.</p>
<p>Pemangku kebijakan terkait, misalnya, <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">cenderung memilih kandidat laki-laki</a> walaupun pengalamannya lebih sedikit daripada perempuan karena masih kuatnya pandangan umum bahwa perempuan tidak siap ditugaskan sewaktu-waktu.</p>
<p>Khusus pemilihan kepala MIS, otoritas penuh pemilihan kepala madrasah dipegang oleh pimpinan yayasan.</p>
<p>Studi CWI menemukan perempuan kepala MIS dengan potensi kepemimpinan yang baik, sulit mengembangkan karirnya akibat cara pandang yayasan yang <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">masih skeptis terhadap kepemimpinan perempuan</a>. Dalam konteks ini, mereka bisa saja dianggap “mengancam” tatanan tradisional sebagian MIS yang cenderung patriarkis dan biasanya dipertahankan turun temurun.</p>
<h2>Mendorong seleksi yang berperspektif kesetaraan</h2>
<p>Terbitnya <a href="https://drive.google.com/file/d/1sRLt8Dw16PvsaHw9jTTUBTIwiecJNT6V/view?usp=sharing">Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021</a> tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah yang menggantikan Permendikbud Nomor 6 tahun 2018 hanya menambah sertifikat guru penggerak sebagai prasyarat guru untuk menjadi kepala sekolah.</p>
<p>Lagi-lagi, ini merupakan peraturan netral gender yang tidak memedulikan pengalaman calon kepala sekolah perempuan. </p>
<p>Sejumlah perbaikan sebenarnya dapat terjadi jika ada komitmen meningkatkan partisipasi kepemimpinan perempuan. Salah satunya, mengumumkan kejelasan cakupan wilayah penempatan calon kepala sekolah sejak awal proses pemilihan, yakni pada tahap pengusulan.</p>
<p>Dinas Pendidikan di daerah perlu menerbitkan informasi publik tentang daftar calon kepala sekolah yang dibutuhkan, berikut zonasi wilayah sekolah yang memerlukan kepala sekolah.</p>
<p>Segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan regulasi pemilihan kepala sekolah juga perlu mengenali tantangan mobilitas sebagian besar guru perempuan.</p>
<p>Mereka bisa membuka peluang penempatan calon kepala sekolah perempuan menggunakan sistem zonasi. Artinya, memprioritaskan wilayah yang dekat domisili dan relatif aman bagi calon kepala sekolah perempuan.</p>
<p>Seleksi netral gender memang terdengar sebagai hal yang baik. Tapi, hambatan multidimensi yang dialami perempuan – keterbatasan mobilitas fisik, beban tanggung jawab domestik, hingga alokasi ketersediaan waktu – sangat memengaruhi “kemampuan” mereka memenuhi seleksi tersebut.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185713/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Heru Poppy Samosir merupakan peneliti di Cakra Wikara Indonesia. Cakra Wikara Indonesia menerima dana dari INOVASI dalam rangka melakukan riset. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>anna margret LG menerima dana dari INOVASI dalam rangka dukungan riset yang dilakukan Cakra Wikara Indonesia.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mia Novitasari merupakan peneliti di Cakra Wikara Indonesia. Cakra Wikara Indonesia menerima dana dari INOVASI dalam rangka melakukan riset </span></em></p>Seleksi kepala sekolah di Indonesia bersifat ‘netral gender’ dan berbasis kompetensi kandidat. Tapi, dengan demikian, regulasi tersebut justru buta terhadap hambatan khas guru perempuan.Heru Poppy Samosir, Researcher, Cakra Wikara IndonesiaAnna Margret LG, Lecturer in Political Science and Researcher of Gender and Politics, Cakra Wikara IndonesiaMia Novitasari, Research Officer, Cakra Wikara IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1844912022-07-22T03:33:24Z2022-07-22T03:33:24ZLulusan hukum berperan penting dalam penyelesaian sengketa bisnis atau ‘arbitrase’, tapi kampus belum siapkan mereka dengan baik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/475522/original/file-20220721-15018-rx92za.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/verkeorg/25102323896">(Flickr/verkeorg)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Ambisi Indonesia meraih <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20190509/9/920475/visi-indonesia-2045-indonesia-targetkan-jadi-ekonomi-terbesar-kelima">pertumbuhan ekonomi terbesar kelima di dunia</a> pada 2025 memicu berbagai kebijakan yang <a href="https://katadata.co.id/pingitaria/finansial/5f7ddb0c60090/uu-cipta-kerja-buka-14-jenis-usaha-yang-sebelumnya-tertutup-bagi-asing">mendorong investasi dan transaksi bisnis</a>. Namun, seiring pertumbuhan transaksi, potensi munculnya sengketa bisnis pun bertambah.</p>
<p>Di sini, <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/7-hal-yang-perlu-diperhatikan-dalam-proses-arbitrase-nasional-lt60d4bf6c7f5c1/">arbitrase</a> – suatu jalur hukum yang lebih efisien dan transparan ketimbang pengadilan dengan menunjuk ahli hukum bisnis sebagai penengah – telah menjadi forum penyelesaian sengketa yang <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20190709/12/1121965/sengketa-bisnis-perusahaan-indonesia-lebih-suka-memilih-arbitrase">kian populer di kalangan pebisnis</a>.</p>
<p>Menurut Ketua <a href="https://baniarbitration.org">Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)</a>, penyedia jasa arbitrase independen bentukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), lembaganya setiap tahun menerima setidaknya 100 permintaan penyelesaian sengketa bisnis.</p>
<p>Masalahnya, meski kebutuhan terhadap arbitrase semakin meningkat, saya sebagai dosen hukum, dan juga BANI, memandang bahwa tidak banyak mahasiswa maupun sarjana hukum di lapangan yang memahami karakteristik, prinsip-prinsip penting, maupun tata cara dalam proses arbitrase.</p>
<p>Padahal, banyak lulusan hukum tersebut kelak mengemban peran penting dalam dunia arbitrase. Mereka menjadi penengah atau “arbiter” hingga menjadi advokat hukum yang mewakili para pihak yang bersengketa.</p>
<p>Ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan hal tersebut. Misalnya, tidak diberikannya pengertian yang komprehensif mengenai arbitrase di bangku kuliah, arbitrase tidak diberikan tempat yang penting dalam kurikulum, dan/atau para calon sarjana hukum belum memiliki minat terhadap arbitrase.</p>
<h2>Peran krusial lulusan hukum dalam arbitrase</h2>
<p>Kerahasiaan, kecepatan, profesionalisme, transparansi, dan kredibilitas suatu proses arbitrase, menjadi hal-hal krusial yang dibutuhkan dunia industri.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, salah satu subjek yang memegang peran krusial adalah sang ‘arbiter’. Arbiter tak hanya harus menuntut terselesaikannya sengketa, tapi juga memastikan resolusi konflik berlandaskan kebenaran dan keadilan.</p>
<p>Dalam pengamatan kami, banyak lulusan hukum yang menjadi arbiter sering terjebak dalam ‘<a href="https://journals.usm.ac.id/index.php/humani/article/view/853">positivisme</a>’. Artinya, mereka kerap hanya mempersoalkan apa kata hukum dan juga ketentuan dalam klausul perjanjian bisnis, tanpa memahami lika-liku konflik tersebut.</p>
<p>Padahal, seorang pemecah masalah harus melampaui apa yang ada di balik teks atau substansi dasar dalam sengketa. Seorang arbiter juga harus mengetahui persoalan bisnis, sebagai objek dari dunia arbitrase.</p>
<p>Hanya melihat hukum dan ketentuan dalam perjanjian tanpa memahami bisnisnya tidak akan mengarah pada penyelesaian yang adil dan baik.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, subjek yang juga penting adalah para pihak yang bersengketa maupun para advokat yang mewakilinya.</p>
<p>Kemungkinan besar, banyak di antara lulusan hukum nanti yang justru akan menjadi advokat ketimbang menjadi arbiter yang memang terbatas jumlahnya.</p>
<p>Aspek penting yang dijalankan lulusan hukum yang mengemban peran ini adalah pembelaan. Proses pembelaan yang baik harus bertumpu pada kebenaran dan keadilan dalam penyelesaian sengketa. Pembelaan harus dilandasi fakta-fakta yang valid dan objektif, bukan data-data yang palsu. </p>
<p>Aturan hukum – termasuk <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43018/uu-no-18-tahun-2003">UU Nomor 18 Tahun 2003</a> tentang Kode Etik Advokat Indonesia – mengharuskan advokat hukum dalam arbitrase untuk menjalankan pembelaan secara <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-idas-sollen-i-dengan-idas-sein-i-lt5acd738a592ef"><em>das sollen</em></a> (taat hukum) dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bahkan, jika ada permintaan dari pebisnis yang mereka bela yang bertentangan dengan integritas tersebut, para advokat harus menolaknya (Pasal 3).</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475525/original/file-20220721-14589-5m0m11.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Para lulusan hukum yang terlibat arbitrase harus memahami pentingnya kode etik arbiter dan advokat hukum.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/WdJkXFQ4VHY">(Unsplash/Ben Rosett)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sayangnya, menurut cerita Ketua BANI, di lapangan ada banyak advokat hukum yang seringkali melanggar prinsip sakral di atas.</p>
<p>Bahkan, <a href="https://kumparan.com/dzadit-taqwa/etika-pembelaan-dalam-penyelesaian-sengketa-1xsC3o4YzGP/2">persekongkolan</a> tak hanya antara pebisnis yang bersengketa dengan advokat mereka, tapi juga antara para pihak dengan sang arbiter sebagai penengah hukum.</p>
<p>Persekongkolan dan kolusi adalah hal terlarang dalam proses arbitrase – iktikad yang baik harus menjadi semangat utama. Para lulusan hukum harus diajarkan bahwa arbitrase harus fokus pada selesainya sengketa dengan adil, bukan 'menang’-nya sengketa.</p>
<h2>Fakultas hukum harus siapkan calon praktisi arbitrase dengan lebih baik</h2>
<p>Mengingat masih banyaknya masalah yang muncul di antara para lulusan hukum di atas, kami memandang bahwa fakultas hukum harus lebih baik lagi dalam mempersiapkan mahasiswa mereka guna menunjang iklim arbitrase di Indonesia.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, memastikan bahwa materi-materi terkait arbitrase mendapatkan perhatian dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum.</p>
<p>Saat ini, tidak banyak perguruan tinggi hukum yang menjadikan mata kuliah arbitrase sebagai mata kuliah wajib fakultas.</p>
<p>Sepengetahuan kami, dari <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/asset/data/publikasi/Statistik%20Pendidikan%20Tinggi%20Indonesia%202019.pdf">524 lembaga pendidikan tinggi</a> yang menyediakan program studi ilmu hukum, hanya <a href="https://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/07/01-F-HUKUM.pdf">Fakultas Hukum Universitas Padjajaran</a> yang menjadikan arbitrase sebagai mata kuliah wajib. Sebab, banyak guru-guru besar di sana fokus pada arbitrase. Di antaranya adalah Profesor <a href="https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=Ud-afI51UAMC&view_op=list_works&sortby=pubdate">Huala Adolf</a>, Profesor <a href="https://scholar.google.com/citations?hl=en&user=n8ks_n4AAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate">Ahmad Ramli</a>, dan Profesor <a href="https://mediaintegritas.com/content/prof-dr-mieke-komar-sh-mcl">Mieke Komar</a>.</p>
<p>Perguruan tinggi pun tak banyak yang menjadikan arbitrase sebagai mata kuliah wajib saat peminatan. Bahkan, arbitrase tidak mendapatkan kejelasan mengenai di bawah bidang studi hukum mana materi ini diampu.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, memastikan bahwa mahasiswa hukum memiliki pengetahuan substansi yang baik dalam memecahkan persoalan dalam dunia arbitrase.</p>
<p>Objek utama arbitrase adalah sengketa bisnis. Sekadar tahu prosedur arbitrase tanpa memahami industri, terutama lika-liku bisnis yang dipersengketakan, tidak akan berarti apa-apa. </p>
<p>Dalam pengajaran saat ini, misalnya, materi di berbagai fakultas hukum seringkali hanya berpusat pada aspek prosedural atau tata cara arbitrase sesuai yang tertera pada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45348/uu-no-30-tahun-1999">UU Nomor 30 Tahun 1999</a> tentang Arbitrase.</p>
<p>Fakultas hukum harus lebih banyak memasukkan silabus yang memperkuat wawasan mahasiswa akan dunia industri di Indonesia. Dosen pun bisa lebih banyak mengangkat kasus-kasus yang membantu mahasiswa <a href="https://theconversation.com/mata-uang-digital-hingga-hukum-luar-angkasa-dosen-hukum-harus-kreatif-siapkan-mahasiswa-hadapi-laju-teknologi-125890">memperdalam pemahaman akan lika-liku bisnis</a>.</p>
<p>Menurut pengalaman BANI, hal inilah yang justru menjadi kunci keberhasilan proses penyelesaian sengketa bisnis.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, memastikan lulusan hukum memiliki kemampuan penyelesaian sengketa berdasarkan keadilan dan kebenaran.</p>
<p>Pendidikan harus menjadi tempat bagi mahasiswa untuk berdebat mengenai makna keadilan dan kebenaran. Pendidikan tidak boleh menjadi tempat yang hanya sekadar mengajarkan konsep, tanpa akhirnya memperdebatkan konsep-konsep tersebut dalam dunia nyata.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/475529/original/file-20220721-9733-u66gg6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Ruang kuliah harus menjadi tempat mahasiswa bisa saling memperdebatkan tentang makna keadilan dalam berbagai kasus dunia nyata.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Edwin Andrade)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://theconversation.com/mata-uang-digital-hingga-hukum-luar-angkasa-dosen-hukum-harus-kreatif-siapkan-mahasiswa-hadapi-laju-teknologi-125890">Menelusuri berbagai putusan</a>, misalnya, sebaiknya tak hanya sempit dalam konteks di Indonesia, tapi juga di luar negeri. Ini akan memberikan pengalaman bagi para mahasiswa mengenai bagaimana menimbang-menimbang keadilan.</p>
<p>Fakultas hukum dapat mengajak mahasiswa memperdebatkan kasus-kasus hipotetis, lalu meminta mereka menganalisis dan menyampaikan solusinya. Dengan kata lain, perdebatan yang ramai – ketimbang penyampaian satu arah – adalah cara yang lebih tepat mendidik mahasiswa hukum menjadi pemecah masalah.</p>
<p>Selain itu, prinsip keadilan juga berarti bahwa lulusan hukum yang menjadi praktisi arbitrase harus menjaga etika sebaik-baiknya.</p>
<p>Fakultas hukum harus lebih tegas menekankan pada mahasiswa tentang kode etik arbiter dan advokat hukum, serta dampaknya pada masyarakat jika hal tersebut mereka langgar.</p>
<p>Belum terpenuhinya berbagai hal ini, menurut kami, menjadi salah satu sebab banyaknya lulusan hukum memiliki wawasan arbitrase yang lemah di saat jalur ini telah menjadi forum penyelesaian sengketa yang paling sering dipilih.</p>
<hr>
<p><em>Anangga W. Roosdiono, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/184491/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhamad Dzadit Taqwa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak lulusan hukum kelak berperan penting dalam penyelesaian sengketa bisnis – dari menjadi arbiter hingga advokat hukum bagi pihak yang bersengketa. Sudahkah kampus menyiapkan mereka dengan baik?Muhamad Dzadit Taqwa, Dosen Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744702022-02-23T14:12:09Z2022-02-23T14:12:09ZBetapa peliknya penetapan upah minimum pada era UU Cipta Kerja<p>Penetapan upah minimum merupakan salah satu aspek ketenagakerjaan yang menjadi isu hangat setiap tahunnya.</p>
<p>Memasuki tahun 2022 ini, misalnya, <a href="https://fokus.tempo.co/read/1529671/banjir-kritik-minimnya-kenaikan-upah-minimum">terjadi tarik ulur</a> antara berbagai organisasi pekerja dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai seberapa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dianggap layak dan tepat.</p>
<p>Ini bisa dipahami – upah minimum mempengaruhi hajat hidup orang banyak. </p>
<p>Sebenarnya, <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan</a> dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/161909/pp-no-36-tahun-2021">Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan</a> juga telah mengatur cara lain, yakni melalui kewajiban penyusunan struktur skala upah, untuk meningkatkan gaji pegawai yang telah bekerja lebih dari setahun di suatu perusahaan.</p>
<p>Namun, tak banyak perusahaan yang <a href="https://tirto.id/menaker-ungkap-hanya-23-persen-perusahaan-terapkan-skala-upah-gmaD">menerapkan</a> ini untuk menyejahterakan pegawai akibat <a href="http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-12-II-P3DI-Juni-2019-209.pdf">minimnya pengawasan</a> dari pemerintah.</p>
<p>Itulah mengapa upah minimum seolah menjadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang terlihat, dapat dirasakan, dan bisa mudah diawasi oleh publik. Hal ini kemudian selalu memicu tarik ulur antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha.</p>
<p>Sayangnya, mekanisme penentuan tali hidup kaum pekerja ini juga menjadi semakin rumit dan pelik pada era UU Cipta Kerja.</p>
<p>UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya yang tak lagi memakai standar kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai acuan penetapan upah minimum, ditambah ketidakpastian hukum pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU tersebut “cacat” secara hukum, menimbulkan makin banyak perdebatan atas angka mana yang pas digunakan untuk menetapkan upah minimum.</p>
<p>Bagaimana kerumitannya?</p>
<h2>Lika-liku penetapan upah minimum</h2>
<p>Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, mekanisme penentuan upah minimum berubah menjadi semakin tidak berpihak pada kepentingan pekerja.</p>
<p>Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan – salah satu turunan UU Cipta Kerja – <a href="https://tirto.id/giW2">formula penentuan upah minimum</a> hanya mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Ini meliputi variabel-variabel seperti kemampuan daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.</p>
<p>Salah satu kritik terhadap kebijakan ini adalah hilangnya pertimbangan atas kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penentuan upah minimum. Acap kali, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan tidak berbanding lurus dengan kenaikan kebutuhan hidup pekerja. </p>
<p>Hal ini terbukti dari kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.</p>
<p>Sejak November 2021, <a href="https://fokus.tempo.co/read/1529671/banjir-kritik-minimnya-kenaikan-upah-minimum/full&view=ok">gelombang penolakan</a> upah minimum Jakarta semakin membesar setelah pemerintah mengumumkan bahwa proyeksi kenaikan upah minimum provinsi hanya sekitar 1,09 persen.</p>
<p>Padahal, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya, <a href="https://www.idxchannel.com/economics/kspi-minta-kenaikan-upah-minimum-2022-sebesar-7-10-persen-ini-alasannya">menghitung</a> bahwa harusnya kenaikan upah minimum ada di kisaran 7-10 persen. Mereka mengacu pada <a href="https://voi.id/ekonomi/102501/lakukan-survei-kebutuhan-hidup-layak-asosiasi-buruh-desak-pemerintah-menaikkan-upah-minimum-2022-sebesar-7-hingga-10-persen">survei kebutuhan hidup layak</a> yang dilakukan oleh KSPI di 10 provinsi.</p>
<h2>Bedah kasus: kisruh upah minimum Jakarta</h2>
<p>Minimnya kenaikan upah minimum tahun 2022 akibat formula baru ini berdampak cukup signifikan.</p>
<p>Jika mengambil contoh upah minimum di Provinsi DKI Jakarta, <a href="https://statistik.jakarta.go.id/tabel/upah-minimum-provinsi-dki-jakarta/">selama 2017-2020</a>, kenaikan UMP Jakarta selalu stabil di atas angka 8%.</p>
<p>Pada 2021, akibat pandemi COVID-19, UMP Jakarta <a href="https://www.gadjian.com/blog/2021/11/25/ump-jakarta-2022-lima-tahun-terakhir/">naik secara terbatas</a> (hanya berlaku untuk sektor usaha yang tidak terdampak pandemi) sebesar 3,27%. Sedangkan pada 2022, berdasarkan formula di PP Pengupahan, upah minimum Jakarta hanya naik <a href="https://kumparan.com/kumparannews/anies-naikkan-ump-dki-2022-0-85-persen-jadi-rp-4-45-juta-1wxnWYVEHYP/full">0,85%</a>. </p>
<p>Persentase kenaikan upah minimum yang tidak signifikan ini tentu saja menyulut protes dari kalangan pekerja. Setelah didesak, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya merevisi kenaikan upah minimum di provinsinya menjadi sebesar <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20211220/12/1479453/ump-dki-jakarta-2022-direvisi-ini-perbedaannya-dengan-aturan-sebelumnya.">5,1%</a>. </p>
<p>Apakah permasalahannya selesai? Tidak. </p>
<p>Karena perhitungan kenaikan tersebut tak lagi mengacu pada variabel yang diamanatkan PP Pengupahan, kini giliran <a href="https://money.kompas.com/read/2021/12/27/171500626/ump-dki-jakarta-2022-naik-jadi-rp-4-64-juta-ini-kata-pengusaha?page=all">kelompok pengusaha</a> yang mengkritik Anies Baswedan karena dianggap melanggar aturan. Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mencabut revisi upah minimum tersebut karena dianggap <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/27/13295431/kemenaker-minta-anies-tak-membelot-soal-penetapan-ump-jakarta-2022?page=all">membelot</a> dari peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Jadi, pihak mana yang benar? </p>
<h2>Ketidakpastian hukum</h2>
<p>Sebelum bisa menjawab pertanyaan di atas, kita harus lebih dulu membahas <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8240_1637822490.pdf">Putusan MK pada 2020</a> yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja “<a href="https://theconversation.com/inkonstitusional-bersyarat-putusan-mk-atas-uu-cipta-kerja-memunculkan-tafsir-ambigu-172695">inkonstitusional bersyarat</a>”.</p>
<p>Artinya, putusan tersebut menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara formal pembentukannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di sisi lain, ia menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku selama 2 tahun ke depan sembari menanti revisi dan penyesuaian. </p>
<p>Banyak ahli mengatakan bahwa amar putusan ini <a href="https://www.voaindonesia.com/a/ketidakjelasan-bayangi-putusan-mk-soal-uu-cipta-kerja-/6338052.html">rawan menimbulkan kebingungan</a> dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi banyak pihak.</p>
<p>Hal ini langsung terbukti dalam kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.</p>
<p>Dengan adanya ketidakpastian hukum terhadap peraturan-peraturan pelaksana UU Cipta Kerja setelah Putusan MK tersebut, para gubernur seperti di Jakarta boleh saja mempertanyakan kembali: atas dasar apa kami wajib menetapkan UMP dengan menggunakan PP 36/2021 tentang Pengupahan?</p>
<h2>Kondisi rawan bagi pekerja muda</h2>
<p>Hingga kini, revisi upah minimum Jakarta <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20220103133737-4-304136/anies-ditekan-ump-2022-dki-jakarta-masih-belum-jelas">masih disengketakan</a> oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).</p>
<p>Tapi, pada akhirnya, entah siapa yang akan dianggap benar atau salah secara hukum, yang paling merugi dari kekisruhan penetapan upah minimum ini tetap saja para pekerja. Dampak terbesar akan dirasakan pekerja muda yang gajinya banyak bergantung pada besaran upah minimum.</p>
<p>Alih-alih memberi titik terang, Putusan MK tentang UU Cipta Kerja justru menimbulkan ketidakpastian hukum, yang kemungkinan besar akan memperparah peliknya penetapan upah minimum di Indonesia. </p>
<p>Tanpa adanya perubahan kebijakan pengupahan yang lebih berpihak pada kebutuhan hidup layak, maka gelombang protes terhadap penetapan upah minimum akan terus bergulir setiap tahunnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174470/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upah minimum masih jadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang terlihat, dapat dirasakan, dan mudah diawasi oleh publik. Sayangnya, politik penentuannya menjadi makin pelik pada era UU Cipta Kerja.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1774602022-02-23T06:04:55Z2022-02-23T06:04:55ZPakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah minta maaf atau menarik laporannya?<p>Korban kekerasan seksual di Indonesia selama ini sering menemui jalan terjal dalam memperjuangkan kasusnya untuk mencapai keadilan.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">satu studi tahun 2020</a> dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dengan sampel 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, sebanyak 57% kasus tidak mendapat penyelesaian. Banyak korban lainnya juga berujung dinikahkan dengan korban atau diminta “berdamai”.</p>
<p>Kita juga ingat perjuangan “<a href="https://theconversation.com/kasus-agni-kerentanan-pers-mahasiswa-di-indonesia-111550">Agni</a>” di Universitas Gadjah Mada (UGM), <a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">Baiq Nuril</a> di Lombok, dan <a href="https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/">seorang ibu di Sulawesi Selatan</a> yang ketiga anaknya diperkosa. Para korban justru disalahkan, dihukum atas “penyebaran muatan asusila”, atau dianggap mengalami gangguan kejiwaan.</p>
<p>Belum lama ini, terduga korban pelecehan seksual oleh presenter dan penyiar radio Gofar Hilman, juga <a href="https://www.kompas.com/hype/read/2022/02/13/094803966/kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-gofar-hilman-yang-berujung?page=all">berujung minta maaf</a> dan menarik laporan atas dugaan kasus yang menimpanya.</p>
<p>Meski belum ada bukti jelas bahwa korban tersebut ditekan, beberapa akademisi menjelaskan bagaimana aparat di Indonesia secara umum lebih banyak berpihak pada pelaku ketimbang korban kekerasan seksual.</p>
<p>Aparat dan pelaku kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">Mengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>DARVO: taktik andalan pelaku dan aparat</h2>
<p>Dalam salah satu episode podcast SuarAkademia, peneliti IJRS, Bestha Ashila mengungkapkan adanya pola dari pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum ketika korban melaporkan suatu kasus.</p>
<p>“Biasanya ada taktiknya, kita kenal namanya ‘DARVO’: <em>deny</em>, <em>attack</em>, lalu <em>reverse victim and offender</em>,” katanya.</p>
<iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/61snwviLgvQEF6fOlqO6Wv?utm_source=generator&theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>“Istilahnya pertama pasti menyangkal, ‘<em>enggak</em> saya <em>nggak</em> melakukan’. Kemudian menyerang balik korban, dan juga membalikkan kasus tersebut, dilaporkan balik. Konsepnya mirip <a href="https://theconversation.com/gaslighting-from-partners-to-politicians-how-to-avoid-becoming-a-victim-121828"><em>gaslighting</em></a> (menyerang dan mempertanyakan kredibilitas).”</p>
<p>Bestha mencontohkan wujud nyata pola DARVO pada kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) pada 2018 silam.</p>
<p>Kala itu, korban bercerita ke media bahwa ia <a href="https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-dewas-bpjs-tk-keberanian-amel-adalah-lilin-dhxX">dilecehkan berkali-kali</a> dan juga <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/09/10110951/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-eks-dewas-bpjs-tk-dari-saling-lapor-hingga?page=all">diperkosa sebanyak empat kali</a> oleh bosnya yang bernama Syafri Baharuddin selama kurun waktu 2016-2018.</p>
<p>“Kasus itu sudah dilaporkan ke kepolisian, dan tim internal kantor bertindak bikin tim panel untuk memeriksa pelaku,” kata Bestha.</p>
<p>“Korban juga mengajukan gugatan hukum [..] tapi justru dilaporkan balik sama bosnya dengan alasan penyebaran berita bohong sampai berdampak ke korban yang dirawat di rumah sakit jiwa.”</p>
<p>“Akhirnya penyelesaiannya dengan mediasi antara korban dan pelaku. Pelaku akhirnya mencabut laporan terhadap korban, dan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/09/10110951/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-eks-dewas-bpjs-tk-dari-saling-lapor-hingga?page=all">korban bikin pernyataan</a> bahwa ia tidak pernah mengalami perkosaan,” tuturnya.</p>
<p>Studi psikologi dari Sarah Harsey di University of California Santa Cruz di Amerika Serikat (AS) yang melakukan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10926771.2020.1774695">eksperimen dengan lebih dari 300 mahasiswa</a> pada 2020 menemukan bahwa taktik DARVO mengubah pandangan partisipan terhadap korban kekerasan seksual. Mereka menjadi lebih skeptis dan cenderung menyalahkan korban.</p>
<p>Sebelumnya pada 2016, riset lain dari Harsey juga menemukan bahwa taktik DARVO <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10926771.2017.1320777">lebih banyak menimpa korban perempuan</a> dan membuat mereka lebih rawan untuk menyalahkan diri sendiri.</p>
<p>Pola semacam DARVO juga terlihat dalam kasus Agni di UGM yang <a href="https://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/">justru disalahkan manajemen kampus</a> karena dianggap bertindak ceroboh dan telah membuat malu nama UGM di masyarakat.</p>
<p>Saat guru Baiq Nuril melaporkan rekaman pelecehan yang dilakukan kepala sekolahnya, ia juga justru <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon">dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a> dengan dalih menyebar muatan asusila.</p>
<p>“Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya <em>victim blaming</em> yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia,” tulis pengajar komunikasi Iwan Awaluddin Yusuf dalam <a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">artikel yang terbit</a> di <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) pada 2018 lalu.</p>
<h2>Berkali-kali menjadi korban</h2>
<p>Dalam artikel yang terbit di TCID tahun lalu, Arsa Ilmi Budiarti dari IJRS mengatakan bahwa <a href="https://www.westcoastleaf.org/wp-content/uploads/2018/11/We-Are-Here-Executive-Summary.pdf">mekanisme pelaporan kekerasan seksual</a> ke kepolisian belum didukung perspektif perlindungan korban yang baik.</p>
<p>“Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali (reviktimisasi) serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empatik, hingga melecehkan,” tulis Arsa.</p>
<p>Bahkan, dalam <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41676366">wawancara dengan BBC Indonesia</a> pada 2017, mantan Kepala Polri Tito Karnavian pernah menyatakan bahwa korban pemerkosaan bisa ditanya penyidik “apakah nyaman” selama pemerkosaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/siapkah-polisi-menjadi-garda-terdepan-mekanisme-pelaporan-kekerasan-seksual-169726">Siapkah polisi menjadi garda terdepan mekanisme pelaporan kekerasan seksual?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/3892315">Riset Lidwina Inge Nurtjahyo dan Sulistyowati Irianto</a> dari Universitas Indonesia (UI) mengamini bahwa ini adalah perilaku yang lumrah diterapkan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.</p>
<p>Tak hanya di antara aparat kepolisian, Bestha pun mengatakan sikap ini kembali terulang dalam beberapa putusan hakim di pengadilan.</p>
<p>“Bahkan ada pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan perempuan sendiri. Ada yang sampai ditanya riwayat seksualnya, yang riwayat seksual itu berpengaruh terhadap putusan hakim,” katanya.</p>
<p>“Ketika korban ditanya oleh hakim, dianggapnya itu bukan perempuan baik-baik sehingga ada kasus pelaku dibebaskan. Hakim menganggap bahwa korban ini sudah tidak perawan, kemudian perempuan ini nakal dan suka mabuk-mabukan. Jadi ada lagi <em>victim blaming</em>.”</p>
<p>Menurut Arsa, polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya.</p>
<p>“Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan,” ujarnya.</p>
<p>Pada perkara kekerasan seksual di mana korban kerap takut dan malu untuk melapor – bahkan diteror untuk meminta maaf dan mencabut laporannya – maka peran pihak-pihak yang harusnya bisa dipercaya inilah yang dapat mendorong supaya penanganan kasus lebih adil dan inklusif bagi korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/177460/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1752392022-02-10T06:13:23Z2022-02-10T06:13:23ZDua alasan mengapa pemerintah Indonesia harus beri kejelasan perpanjangan status pandemi<p>Pemerintah Indonesia baru saja <a href="https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/2022/Januari/Salinan%20Keppres%20Nomor%2024%20Tahun%202021.pdf">memperpanjang status kebencanaan pandemi COVID-19 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2021</a> pada akhir tahun 2021 kemarin di tengah kekhawatiran atas merebaknya varian Omicron di tanah air. </p>
<p>Keputusan ini merupakan respons terhadap <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17726&menu=2">Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 37/PUU-XVIII/2020</a> yang sebenarnya ingin membatasi kewenangan pemerintah dalam mengatur keuangan negara selama pandemi yang dijamin oleh Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020. UU yang dikenal sebagai UU COVID-19 tersebut memungkinkan pemerintah untuk mengambil kebijakan keuangan tanpa melalui persetujuan dari badan legislatif kondisi dianggap sedang darurat. </p>
<p>Putusan MK tersebut berusaha membatasi kewenangan pemerintah dalam kondisi darurat paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak tahun 2020. </p>
<p>Karena belum ada tanda-tanda kondisi pandemi akan selesai, ditambah dengan kemunculan varian baru, pemerintah mengeluarkan <a href="https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/2022/Januari/Salinan%20Keppres%20Nomor%2024%20Tahun%202021.pdf">Keppres No. 24 tahun 2021</a> untuk merespon putusan MK. </p>
<p>Namun, Keppres tersebut belum memberikan batasan yang jelas tentang berakhirnya masa kondisi darurat pandemi.</p>
<p>Padahal, ada setidaknya <strong>dua alasan</strong> mengapa kejelasan tentang masa berlaku kondisi darurat dalam hal ini pandemi penting bagi pemerintahan. </p>
<p><strong>1. Memberikan kepastian hukum</strong></p>
<p>Meski tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi akan berakhir, kejelasan tentang berlakunya masa darurat itu – dari sudut pandang hukum – penting bagi sebuah pemerintahan. </p>
<p>Secara konseptual, jangka waktu kondisi darurat di tengah krisis harus jelas untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan tersebut <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/istaatsnoodrecht-i-dalam-pandangan-tiga-tokoh-hukum-lt5cbe8b53690fd">akan ada ujungnya. Hal itu juga melahirkan kepastian hukum</a>.</p>
<p>Artinya, negara tidak mungkin terus mempertahankan status kondisi darurat karena sifat kedaruratan hanya bersifat sementara. </p>
<p>Bila hal itu diabaikan pemerintah, maka penyelenggaraan negara berimplikasi terganggu.</p>
<p>Misalnya, ketidakjelasan kondisi darurat berisiko mengganggu pengaturan keuangan sehingga bisa berdampak pada pencairan dana darurat yang dibutuhkan selama pandemi.</p>
<p><strong>2. Menghindari penyalahgunaan keuangan negara</strong></p>
<p>Selain kepastian hukum, kejelasan masa berlaku kondisi darurat juga diperlukan demi menghindari penyalahgunaan keuangan negara. Sebab, selama pandemi, pemerintah berkuasa menggunakan uang negara tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). </p>
<p>Jika dibiarkan tidak jelas, otomatis pemerintah harus kembali pada peraturan semula yang mewajibkan persetujuan DPR. Hal ini tentu membutuhkan proses yang tidak sebentar dan malah akan menghambat langkah-langkah darurat untuk penanganan pandemi.</p>
<h2>Solusi</h2>
<p>Guna memberikan kepastian hukum soal jangka waktu kapan pandemi berakhir, pemerintah dapat mengubah Keppres yang ada dengan menambahkan frasa : </p>
<blockquote>
<p>Status perpanjangan pandemi berlaku sampai akhir tahun 2022, bila terdapat kondisi pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, maka Presiden dapat memperpanjangan Keppres dengan menerbitkan Keppres baru. </p>
</blockquote>
<p>Dengan menambahkan hal ini, pemerintah akan memiliki posisi hukum yang kuat untuk mengeluarkan kebijakan yang tepat dalam penanggulangan pandemi COVID-19.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/175239/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beni Kurnia Illahi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Setidaknya dua alasan mengapa kejelasan tentang masa berlaku kondisi darurat dalam hal ini pandemi penting bagi pemerintahan.Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Universitas BengkuluLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1728652021-12-01T06:05:34Z2021-12-01T06:05:34ZHambatan orang dengan HIV/AIDS saat mengalami masalah legal: pentingnya peran pendamping hukum dan non-hukum<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/434933/original/file-20211201-28-15dzy1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">aids Raisan Al Farisi Antara Foto</span> </figcaption></figure><p>Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) cenderung mengalami stigma dan diskriminasi yang lebih tinggi dibanding orang dengan infeksi atau kondisi kesehatan lain. Ada <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/casp.836">anggapan</a> HIV/AIDS terjadi akibat hal-hal yang melanggar norma seperti melakukan hubungan seksual berisiko, menjadi pekerja seks, homoseksual, dan menggunakan narkotik.</p>
<p>Menurut <a href="https://pph.atmajaya.ac.id/pustaka/indeks-stigma-orang-yang-hidup-dengan-hiv/">Indeks Stigma Orang yang Hidup dengan HIV tahun 2018</a>, di antara bentuk stigma yang sering terjadi adalah keengganan bersentuhan dengan ODHA, menjadikan ODHA sebagai bahan gosip, dan penolakan layanan kesehatan. </p>
<p>Stigma itu ikut menimbulkan berbagai hambatan seperti mengalami penolakan dalam mengakses perawatan kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan bagi anak-anak dengan HIV. </p>
<p>Dalam berhadapan dengan hukum, ODHA masih mengalami hambatan berupa kesulitan mendapat pendampingan, stigma dan diskriminasi dari aparat, dan kesulitan mendapat hak layanan kesehatan. Di sini, pendamping berperan penting bagi ODHA.</p>
<h2>Berbagai masalah hukum</h2>
<p>Sebagaimana orang lain, ODHA dapat mengalami berbagai peristiwa hukum. Namun status HIV/AIDS bisa menjadi faktor <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">keterlibatan mereka</a> dalam proses peradilan, baik sebagai saksi, korban, terdakwa, atau para pihak dalam berbagai perkara. </p>
<p>Dalam kasus perdata, status HIV seseorang, misalnya, beberapa kali menjadi <a href="https://www.liputan6.com/health/read/2668019/kisah-odha-harus-ceraikan-istri-tercinta-setelah-tahu-positif-hiv">penyebab perceraian</a>.</p>
<p>Dalam kasus pidana, ODHA yang masuk kelompok pengguna narkotik berpotensi tinggi untuk terlibat dalam proses hukum. </p>
<p>Dalam salah satu kasus, akibat pemilikan heroin, seorang buruh dituntut 5 tahun penjara. Namun, dalam persidangan ditemukan bahwa terdakwa positif HIV. Hakim lalu menjatuhkan vonis agar terdakwa <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">dikeluarkan dari tahanan</a> dan diserahkan ke pusat rehabilitasi. </p>
<p>Ada kasus pencemaran nama baik yang sampai ke pengadilan setelah status HIV seorang perempuan pekerja seks disebar dan <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">menjadi berita</a> pada suatu surat kabar. Korban menanggung beban moral dan rasa malu akibat pemberitaan itu. </p>
<p>Status HIV seseorang adalah informasi personal dan merupakan sebuat privasi; membocorkan status HIV seseorang merupakan pelanggaran atas hak privasi. </p>
<p>Pada ranah militer, kerap terjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) berstatus HIV melakukan desersi atau <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">meninggalkan dinas tanpa izin</a> akibat dijauhi rekan kerja dan alasan malu. Dalam salah satu kasus, hakim militer menjatuhkan vonis selama 3 bulan penjara pada seorang anggota TNI dengan HIV/AIDS karena desersi. </p>
<h2>Hambatan dalam kasus hukum</h2>
<p>Hambatan pertama bagi ODHA adalah sulitnya mendapatkan pendampingan. ODHA membutuhkan adanya pendukung atau pendamping yang dapat membantu mereka menghadapi persoalan kesehatan, sosial serta hukum. </p>
<p>Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada 2020 <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">menemukan</a> bahwa pemberian bantuan hukum oleh beberapa organisasi bantuan hukum masih diskriminatif terhadap ODHA. </p>
<p>Ada kasus misalnya seorang perempuan ODHA yang mendapatkan kekerasan dan diusir oleh suaminya ditolak oleh sebuah lembaga layanan dengan alasan belum ada orang yang kompeten untuk menangani ODHA.</p>
<p>Hambatan kedua adalah stigma dan diskriminasi oleh aparat penegak hukum. Menurut <a href="https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2017/11/Ancaman-bagi-Kesehatan-Populasi-Kunci-HIV-dan-TB-LBH-Masyarakat-2017.pdf">catatan LBH Masyarakat</a>, aparat penegak hukum cukup banyak melanggar hak asasi manusia terhadap ODHA dalam bentuk diskriminasi, membeberkan status HIV/AIDS tahanan atau narapidana, dan membatasi akses ODHA terhadap perlindungan hukum. </p>
<p>Dalam salah satu <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">temuan MaPPI FHUI</a>, ada seorang ODHA dikeluarkan secara paksa dari tahanan oleh aparat kemudian barang-barangnya dibakar hingga proses hukumnya tidak ditindaklanjuti. </p>
<p>Hambatan ketiga adalah sulitnya ODHA mendapatkan hak atas layanan kesehatan khususnya mendapatkan obat antiretroviral (ARV) dan obat-obatan lain baik di rutan dan lembaga pemasyarakatan (lapas). </p>
<p>Masih ada lapas yang hanya menyediakan anggaran untuk obat-obatan ringan seperti obat batuk dan pilek. Akibatnya ODHA tidak bisa menjalani terapi pengobatan ketika menjalani proses hukum. </p>
<p>Masih ada juga praktik ODHA harus membayar petugas untuk mendapatkan ARV serta agar aparat tidak membuka status ODHA yang bersangkutan kepada penghuni lapas lain. </p>
<p>Tingginya penolakan terhadap ODHA pada akhirnya akan menyebabkan ODHA menyembunyikan statusnya dan menghambat program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. </p>
<h2>Jaminan hak</h2>
<p>Sebagaimana warga negara lain, ODHA juga memiliki hak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan pemenuhan hak dan perlindungan. </p>
<p>Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor. 34/169 tentang <a href="https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/lawenforcementofficials.aspx">Ketentuan Berperilaku bagi Penegak Hukum</a> menyebutkan bahwa penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.</p>
<p>Lebih lanjut, hak ODHA untuk mendapatkan akses layanan kesehatan telah diatur dalam <a href="https://ntb.polri.go.id/mataram/2016/01/03/peraturan-kapolri-nomor-8-tahun-2009-tentang-implementasi-prinsip-dan-standar-hak-asasi-manusia-dalam-penyelenggaraan-tugas/">Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 tahun 2009</a>. Peraturan ini menyebutkan bahwa tersangka harus ditempatkan pada fasilitas yang manusiawi dan memenuhi persyaratan kesehatan. Aturan tersebut juga menjamin akses pemeriksaan kesehatan di luar tahanan kepolisian apabila tidak ada fasilitas yang memadai.</p>
<p>Untuk ODHA yang berada di lapas, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/54301/pp-no-32-tahun-1999">Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999</a> tentang pelaksanaan hak warga binaan mengatur bahwa setiap lapas wajib memiliki poliklinik dan fasilitas setidaknya satu orang dokter dan satu orang tenaga kesehatan lainnya.</p>
<p>Sejak tahun 2005 sebenarnya telah ada program penanggulangan HIV/AIDS di lapas, namun sumber dayanya masih terbatas. Situasi ini diperumit karena penghuni lapas adalah kelompok yang memiliki <a href="https://media.neliti.com/media/publications/45289-ID-penanggulangan-hivaids-pada-warga-binaan-lembaga-pemasyarakatanrumah-tahanan.pdf">risiko terhadap penularan HIV/AIDS</a> karena adanya perilaku berisiko seperti penggunaan jarum suntik secara bergantian, perilaku seks tidak aman, dan layanan kesehatan yang kurang memadai. </p>
<p>Selain aturan-aturan itu, secara umum pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai produk kebijakan terkait ODHA misalnya seperti <a href="https://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/Permenkes%20No%2021%20Tahun%202013%20Penanggulangan%20HIVAIDS.pdf">Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 21 Tahun 2013</a> tentang Penanggulangan HIV dan AIDS dan <a href="https://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/PMK%20No.%2074%20ttg%20Pedoman%20Pelaksanaan%20Konseling%20dan%20Tes%20HIV.pdf">Permenkes No. 74 Tahun 2014 </a> tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV. </p>
<h2>Pentingnya pendamping</h2>
<p>Pengacara, paralegal, dan pendamping lainnya memiliki peran besar dalam mendampingi ODHA yang berhadapan dengan hukum. </p>
<p>Pendamping dapat berkomunikasi dan memberikan penjelasan kepada aparat penegak hukum mengenai kondisi dan kebutuhan ODHA khususnya terhadap akses obat dan perawatan kesehatan. </p>
<p>Pendamping juga dapat memastikan fasilitas kesehatan dapat diakses baik berupa obat, konselor, terapi atau tes kesehatan di mana pendamping dapat berkoordinasi dengan penyedia layanan kesehatan. </p>
<p>Selain itu, pendamping dapat mencegah perlakuan yang merendahkan dan mendiskriminasi ODHA serta memberikan pemberdayaan dan penguatan sehingga ODHA menjadi lebih percaya diri untuk memperjuangkan haknya. </p>
<p>Salah satu <a href="http://mappifhui.org/2021/01/04/kompendium-pendamping-odha-berhadapan-dengan-hukum/">praktik baik</a> yang dilakukan oleh pendamping di Surakarta, Jawa Tengah, untuk untuk memastikan terpenuhinya hak ODHA untuk mengakses obat-obatan selama menjalani proses hukum adalah membina hubungan baik dengan aparat penegak hukum dan memberikan penjelasan mengenai pentingnya ODHA mendapatkan akses perawatan dan obat-obatan.</p>
<p>Pendamping dapat memastikan <a href="https://www.hivlawandpolicy.org/issues/legal-assistance">pemenuhan hak-hak hukum ODHA</a> dan memastikan pelaksanaan hak asasi manusia secara efektif di hadapan proses peradilan. Sehingga keberadaan pendamping hukum juga merupakan cara <a href="https://www.neliti.com/publications/235214/association-between-participation-in-hiv-aids-peer-group-stigma-discrimination-a">menaikkan kualitas hidup seorang ODHA</a></p>
<p>Selain itu, pemberian informasi penting bukan hanya kepada aparat penegak hukum tapi juga pendamping hukum dan non-hukum agar dapat memiliki perspektif dan dapat menangani ODHA dan membantu dalam pemenuhan haknya selama proses peradilan. </p>
<p>Kesalahpahaman atau ketidaktahuan terkait HIV/AIDS seringkali adalah <a href="https://media.neliti.com/media/publications/39915-ID-stigma-masyarakat-terhadap-orang-dengan-hivaids.pdf">penyebab munculnya stigma dan diskriminasi</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172865/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>ODHA masih mengalami hambatan berupa kesulitan mendapat pendampingan, stigma dan diskriminasi dari aparat, dan kesulitan mendapat hak layanan kesehatan.Bestha Inatsan Ashila, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Gladys Nadya Arianto, Asisten Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1698462021-10-27T02:04:35Z2021-10-27T02:04:35ZTertinggal zaman: pemaknaan perkosaan dan pencabulan dalam hukum di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/428461/original/file-20211026-13-1yztirt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=39%2C0%2C4382%2C2899&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Novrian Arbi/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, kembali mendapat sorotan. Kepolisian mengatakan bahwa yang terjadi terhadap tiga anak berumur di bawah 10 tahun terkait <a href="https://nasional.tempo.co/read/1516918/bukan-pemerkosaan-polri-sebut-kasus-di-luwu-timur-dugaan-pencabulan/full&view=ok">bukan pemerkosaan, melainkan pencabulan</a>. </p>
<p>Melalui <a href="https://nasional.tempo.co/read/1516918/bukan-pemerkosaan-polri-sebut-kasus-di-luwu-timur-dugaan-pencabulan/full&view=ok">konferensi pers daring pada Rabu, 13 Oktober 2021</a>, Kepala Biro Penerangan Masyarakat dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, menjelaskan lebih lanjut bahwa dugaan ini didasarkan pada hasil visum di Puskesmas Malili yang diterima pada 15 Oktober 2019. </p>
<p>Menurut hasil wawancara polisi terhadap salah satu dokter, didapati bahwa tidak ada kelainan pada organ kelamin dan dubur korban. </p>
<p>Di lain pihak, dokter yang berbeda di Rumah Sakit Vale Sorowako menemukan peradangan di sekitar vagina dan dubur korban. Dalam perjalanannya, Kepolisian Resor Luwu Timur menghentikan penyelidikan kasus pemerkosaan karena dinilai kurang bukti.</p>
<p>Pernyataan polisi tersebut mendapatkan <a href="https://www.suara.com/news/2021/10/13/093538/polri-sebut-kasus-3-anak-di-luwu-bukan-pemerkosaan-tapi-pencabulan-publik-ngegas-emosi">respon negatif dari masyarakat luas</a> terkait perbedaan antara ‘pencabulan’ dan ‘pemerkosaan’, serta ancaman hukuman terkait.</p>
<p>Sebenarnya apa perbedaan antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan? Apa dampaknya secara hukum dari penggunaan kedua istilah tersebut?</p>
<h2>Perkosaan dan pencabulan</h2>
<p>Secara umum, perkosaan dan pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). </p>
<p>Perkosaan diatur dalam <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e3e064d">Pasal 285 KUHP</a> sebagai berikut.</p>
<blockquote>
<p><em>“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”</em></p>
</blockquote>
<p>Lalu, pencabulan diatur dalam <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e3e064d">Pasal 289 KUHP</a> sebagai berikut.</p>
<blockquote>
<p><em>“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”</em></p>
</blockquote>
<p>Dapat kita lihat bahwa ada perbedaan mendasar antara perkosaan dan pencabulan, yakni bahwa perkosaan merupakan suatu tindakan “persetubuhan”, sedangkan pencabulan merupakan suatu “perbuatan cabul” yang <strong>bukan</strong> merupakan persetubuhan.</p>
<p>Lantas, apa yang dimaksud sebagai ‘persetubuhan’ maupun ‘perbuatan cabul’?</p>
<p>Salah satu definisi persetubuhan diutarakan oleh <a href="https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/209/121">R. Soesilo dengan mengacu pada Arrest Hoge Raad</a> (putusan Mahkamah Agung Belanda) pada 5 Februari 1912, yakni “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki-laki harus masuk ke dalam alat kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani.”</p>
<p>Buku R. Soesilo tentang KUHP merupakan salah satu buku ‘klasik’ di dunia hukum Indonesia.</p>
<p>Lebih lanjut, riset <a href="http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/12/Reformasi-Pengaturan-Tindak-Pidana-Perkosaan.pdf">Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI)</a> pada 2016 terhadap 50 putusan peradilan terkait perkosaan menunjukkan bahwa seluruh putusan tersebut mendefinisikan persetubuhan sebagai “penetrasi terhadap vagina oleh penis”, terlepas ada atau tidaknya air mani.</p>
<p>Akan tetapi, 41 dari 50 putusan yang diteliti tetap menyinggung keberadaan sperma atau air mani - baik yang dikeluarkan di dalam vagina maupun di luar - dalam pertimbangannya.</p>
<p>R. Soesilo juga mendefinisikan perbuatan cabul, yakni segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan, atau dapat pula merupakan suatu perbuatan keji yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya mencium, meraba anggota kemaluan, meraba buah dada, dan sebagainya.</p>
<p>Hingga saat ini, definisi perkosaan dan pencabulan telah mengalami perkembangan. </p>
<p>Pada tahun 2004, Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf">( PKDRT)</a> menetapkan sebuah ketentuan dalam Pasal 46 yang yang menutup kekosongan hukum dalam KUHP yang awalnya hanya mengatur perkosaan sebagai perbuatan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan.</p>
<p>Tidak hanya itu, Pasal 76D dan 76E <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/28052/UU%20Nomor%2035%20Tahun%202014.pdf">UU Perlindungan Anak</a> tahun 2002 — dan diperbarui pada 2014 — mengatur pula bahwa unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tidak dibutuhkan dalam membuktikan adanya perkosaan atau pencabulan terhadap anak. </p>
<p>Sepanjang terdapat bukti bahwa perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak tersebut terjadi, pelaku sudah dapat dijerat dengan pemidanaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pembahasan-ruu-pks-menilik-proses-dan-permasalahan-legislasi-142561">Pembahasan RUU PKS: menilik proses dan permasalahan legislasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Masalah pemaknaan istilah</h2>
<p>Pemaknaan perkosaan dan pencabulan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih menimbulkan masalah.</p>
<p>Pemaknaan persetubuhan dalam perkosaan, misalnya, masih terbatas pada penetrasi penis dan vagina — dan dalam banyak kasus — sampai mengeluarkan air mani. </p>
<p>Penafsiran ini akan menyulitkan proses pembuktian pada kasus persetubuhan yang dilakukan dengan memakai kondom, atau ketika <a href="https://www.google.com/url?q=https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/azoospermia&sa=D&source=docs&ust=1635219748124000&usg=AOvVaw3HSEd4koydNQPWqc15rSHz">pelaku (laki-laki) menderita azoospermia</a> — yakni kegagalan pembentukan sperma atau tidak adanya spermatozoa di dalam semen.</p>
<p>Tidak hanya itu, dengan definisi perkosaan saat ini, maka tindakan pelaku yang menggesekkan atau menempelkan alat kelaminnya ke alat kelamin perempuan (tidak sampai masuk) tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindakan persetubuhan. </p>
<p>Sama halnya dengan penetrasi alat kelamin laki-laki atau penetrasi benda selain alat kelamin ke anggota tubuh lain pada korban, misalnya mulut (oral) maupun anus (anal). Perbuatan-perbuatan ini hanya akan dijerat sebagai pencabulan.</p>
<p>Pasal 285 KUHP juga secara spesifik menyebutkan perkosaan sebagai tindakan yang dilakukan kepada perempuan, sedangkan Pasal 289 tidak membatasi klasifikasi pelaku dan korban dalam perbuatan cabul - baik laki-laki maupun perempuan, keduanya dapat menjadi korban maupun pelaku.</p>
<p>Hal ini berarti bahwa persetubuhan yang dilakukan kepada laki-laki — selain dalam konteks rumah tangga atau terhadap anak — tidak dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan, melainkan sebagai pencabulan.</p>
<p>Padahal, ancaman pidana maksimal pada pencabulan adalah 9 tahun; ini 3 tahun lebih rendah dibanding ancaman pidana pada perkosaan.</p>
<p>Perkosaan maupun pencabulan secara umum juga mensyaratkan adanya paksaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan oleh pelaku. </p>
<p>Padahal, jika kita berkaca pada definisi global, suatu tindakan seksual kepada orang sudah termasuk sebagai kekerasan seksual <a href="https://www.google.com/url?q=https://rapecrisis.org.uk/get-informed/about-sexual-violence/sexual-consent/&sa=D&source=docs&ust=1635219748125000&usg=AOvVaw2nbMHnbDUtmLaQsZpn2Hfo">ketika dilakukan tanpa persetujuan (<em>consent</em>) dari orang lain tersebut</a>.</p>
<p>Konsep persetujuan dalam hal ini juga berarti bahwa orang lain tersebut memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuannya, salah satunya adalah bahwa ia berada dalam <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2020/12/11/190700723/penting-untuk-dipahami-apa-itu-consent-atau-persetujuan-seksual-?page=all">kondisi yang sadar, sukarela, dan tidak mengalami keadaan koersif</a>. </p>
<p>Keadaan koersif dalam hal ini tidak sebatas paksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan namun juga <a href="https://www.google.com/url?q=http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42495/9241545615_eng.pdf;jsessionid%3D2AA4C9F51DA6C6C4BEDA9A579BB1A2D4?sequence%3D1&sa=D&source=docs&ust=1635219748117000&usg=AOvVaw3lHc-1RwRaGJkV34M4jZya">tipu muslihat, relasi kuasa, dan tipu daya</a>.</p>
<p>Kondisi-kondisi ini masih belum diakomodasi dalam pemaknaan perkosaan dan pencabulan sebagai kekerasan seksual dalam tataran peraturan perundang-undangan di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081">Menilik konsep "consent" dalam ilmu hukum: benarkah mendorong hubungan seks di luar pernikahan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlu pendefinisian ulang</h2>
<p>Saat ini, pengaturan mengenai tindak pidana, termasuk tindak pidana kekerasan seksual, sedang dirumuskan ulang melalui rancangan undang-undang.</p>
<p>Ini menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang tindak pidana kekerasan seksual, terutama perkosaan. Masih banyak kondisi dan kebutuhan yang belum dapat diakomodasi dalam pemaknaan tindak pidana perkosaan saat ini.</p>
<p>Sebagai pembanding, <a href="https://www.bjs.gov/arrests/templates/introduction.cfm">Federal Bureau Investigation (FBI)</a> di Amerika Serikat (AS), awalnya mendefinisikan perkosaan sebagai hubungan seksual yang dilakukan kepada perempuan secara paksa dan bertentangan dengan keinginannya. Definisi ini berlaku sejak tahun 1980-an sampai dengan 2013.</p>
<p>Melalui <a href="https://ucr.fbi.gov/crime-in-the-u.s/2013/crime-in-the-u.s.-2013/violent-crime/rape/rapemain_final.pdf">Uniform Crime Report (UCR)</a> pada 2013, FBI melakukan pembaruan terhadap definisi perkosaan. </p>
<p>Tindak pidana perkosaan menurut FBI kini memiliki definisi dan cakupan yang lebih luas, yakni <em>penetrasi, sekecil apapun, terhadap vagina atau anus dengan menggunakan anggota tubuh atau benda, atau penetrasi oral dengan alat kelamin orang lain, tanpa persetujuan dari korban</em>.</p>
<p>Definisi ini dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan di Indonesia. </p>
<p>Selain menghapus klasifikasi spesifik terhadap pelaku dan korban, definisi ini juga memperluas cakupan persetubuhan serta menekankan pada pentingnya persetujuan.</p>
<p>Ketiadaan persetujuan dari korban — dengan cara apapun — sudah cukup untuk menjerat pelaku atas tindak pidana perkosaan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169846/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apa perbedaan antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan? Apa dampaknya secara hukum dari penggunaan kedua istilah tersebut?Maria Isabel Tarigan, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Naomi Rehulina Barus, Research assistant, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1697262021-10-14T03:51:14Z2021-10-14T03:51:14ZSiapkah polisi menjadi garda terdepan mekanisme pelaporan kekerasan seksual?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/426355/original/file-20211014-21-1n8a3u5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3712%2C1976&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Prasetia Fauzani/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Pekan kemarin, jagat media sosial diramaikan dengan hasil reportase Project Multatuli tentang <a href="https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/">proses pelaporan kasus tiga anak korban perkosaan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan</a>. </p>
<p>Reportase ini menggambarkan perjalanan seorang ibu yang berupaya untuk mencari keadilan bagi ketiga anaknya dengan melaporkan kasus tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kepolisian Resor Luwu Timur hingga Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan bahkan melalui proses yang sangat menyedihkan.</p>
<p>Kisah ini kemudian memunculkan berbagai respons dari masyarakat yang diikuti dengan ramainya tagar <a href="https://twitter.com/hashtag/PercumaLaporPolisi">#PercumaLaporPolisi</a> di berbagai platform media sosial. </p>
<p>Kesaksian-kesaksian yang muncul dengan tagar tersebut menggambarkan ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam berbagai perkara termasuk kasus kekerasan seksual. </p>
<h2>(Tidak) melaporkan kekerasan seksual</h2>
<p>Ramainya #PercumaLaporPolisi menunjukkan ada anggapan di masyarakat bahwa urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukan hal yang mudah dilakukan. </p>
<p>Temuan penelitian mengkonfirmasi hal ini. <a href="http://ijrs.or.id/indeks-terhadap-keadilan-di-indonesia-tahun-2019/">Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 </a> menunjukkan bahwa 38% masyarakat Indonesia yang mengalami masalah hukum memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah hukumnya. Mereka khawatir dan takut jika melapor, maka masalahnya akan jadi lebih rumit. </p>
<p>Menariknya, sebagian besar masyarakat (60,5%) yang mau melaporkan masalah hukumnya, justru memilih untuk melapor ke lembaga non-negara atau ke mekanisme informal seperti ke keluarga atau ke pengurus Rukun Tetangga, Rukun Warga, atau desa, kelurahan setempat.</p>
<p>Studi tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar (52%) anggota masyarakat yang enggan melakukan apa pun terhadap masalah hukumnya tersebut adalah perempuan. </p>
<p>Temuan ini dikuatkan oleh hasil <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender</a> dari International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 57,3% responden dengan pengalaman kekerasan seksual — yang mayoritas adalah perempuan — memutuskan untuk tidak melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialami. </p>
<p>Alasan mereka beragam, mulai dari takut, malu, hingga tidak tahu harus melapor ke mana. </p>
<p>Sebagian besar responden (57%) yang mengalami kekerasan seksual mengatakan pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian dalam masalah yang mereka alami. </p>
<p>Jika pun ada penyelesaian, hasil yang didapat tidak mengutamakan kepentingan terbaik korban contohnya seperti dengan membayar sejumlah uang hingga <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual</a>.</p>
<p>Di sisi lain, ada hambatan dari sisi penegak hukum. </p>
<p>Mayoritas responden menganggap penanganan aparat penegak hukum terhadap perkara kekerasan seksual itu cenderung responsif. Namun responden yang menjawab demikian adalah mereka belum pernah mengalami kekerasan seksual. </p>
<p>Sebaliknya, mayoritas responden yang beranggapan aparat tidak responsif adalah mereka pernah mengalami kekerasan seksual. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">Mengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Polisi di garda terdepan</h2>
<p>Di sisi lain, riset yang sama menunjukkan bahwa 43,8% responden yang tahu harus melapor ke mana ketika mengalami kekerasan seksual akhirnya lebih memilih untuk melapor ke polisi apabila mereka mengalami kekerasan seksual. </p>
<p>Bahkan, temuan Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 juga menunjukkan bahwa secara umum (72,1%) masyarakat percaya kepada kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dialami. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa di satu sisi, ada harapan dan ekspektasi besar dari masyarakat terhadap kepolisian. Namun, di sisi lain bisa saja masyarakat sebetulnya tidak punya pilihan lain untuk melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialaminya. </p>
<p>Kantor-kantor polisi tersebar hingga level administratif paling bawah untuk memudahkan masyarakat untuk membuat pelaporan masalah hukum. Sehingga dapat dikatakan, bahwa kepolisian merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual. </p>
<p>Sayangnya, mekanisme pelaporan yang telah disediakan oleh kepolisian untuk penanganan kekerasan seksual <a href="http://www.westcoastleaf.org/wp-content/uploads/2018/11/We-Are-Here-Executive-Summary.pdf">belum didukung adanya perspektif perlindungan korban yang baik dari beberapa anggota polisi</a>. </p>
<p>Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empati, hingga melecehkan. </p>
<p>Selain itu, tidak hanya polisi namun juga aparat penegak hukum secara umum <a href="http://repository.upstegal.ac.id/3617/2/Dinar%20Mahardika%20%26%20Erwin_Perlindungan%20hukum.pdf">cenderung abai terhadap kondisi psikologis korban</a> yang menyebabkan korban yang mengalami kekerasan seksual harus menghadapi proses hukum yang panjang dengan perilaku aparat yang tidak empatik.</p>
<p>Wajar bila para korban memutuskan untuk mengandalkan mekanisme informal atau pihak-pihak di luar negara untuk penyelesaian permasalahan hukumnya. </p>
<p>Maka menjadi pertanyaan, apakah polisi dapat benar-benar siap menjadi garda terdepan pelaporan perkara kekerasan seksual? </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-kpi-potret-abainya-aparat-pada-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-168666">Kasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menyiapkan polisi</h2>
<p>Ketika terdapat korban kekerasan seksual yang melapor, petugas polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya. Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan. </p>
<p>Ini bukan sesuatu yang baru; semua poin ini telah tercantum dalam <a href="https://ntb.polri.go.id/reskrimum/wp-content/uploads/sites/22/2018/03/peraturan-kapolri-nomor-3-tahun-2008-tentang-pembentukan-ruang-pelayanan-khusus-dan-tata-cara-pemeriksaan-saksi-dan-korban.pdf">Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 tahun 2008</a> tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang dikhususkan untuk perempuan dan anak. </p>
<p>Selain itu, langkah-langkah untuk memastikan perlindungan korban perempuan dan anak juga telah ditetapkan dalam berbagai pengaturan seperti <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/14uu031.pdf">Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban</a>; <a href="https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no-11-tahun-2012-tentang-sistem-peradilan-anak">UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak</a>; dan <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/14uu035.pdf">UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak</a>. </p>
<p>Polisi sebagai aparat hukum negara perlu menelaah kembali dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan korban, perempuan, dan anak sesuai berbagai UU tersebut ketika menangani pelaporan perkara kekerasan seksual.</p>
<p>Selain itu, dalam mekanisme pelaporan kekerasan seksual, secara lebih khusus, polisi perlu juga memperhatikan kondisi fisik, psikis maupun kebutuhan pemulihan korban. </p>
<p>Ini dapat dilakukan dengan memastikan adanya penasihat/pendamping hukum, pendamping psikologis hingga pendamping sosial bagi korban.</p>
<p>Untuk memahami kondisi-kondisi tersebut, polisi dapat meminta rekomendasi atau mendorong adanya peran dari pemangku kepentingan lain seperti psikolog, dokter, pekerja sosial, maupun pendamping di penyedia layanan setempat. </p>
<p>Hal-hal ini dapat berimplikasi pada proses penyelesaian perkara secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dapat dan telah dilakukan oleh aparat penegak hukum lain sehingga hal ini juga sangat mungkin dilakukan oleh polisi. </p>
<p>Berbagai tindakan polisi yang tidak empatik, diskrimatif, dan tidak melindungi korban masih kerap dilaporkan. Maka peningkatan kapasitas secara mendalam dan komprehensif tentang penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak masih perlu dan harus terus dilakukan baik kepada calon anggota polisi maupun polisi yang telah bertugas. </p>
<p>Yang tidak kalah penting juga adalah penguatan di sektor non-negara, mengingat terdapat kecenderungan yang tinggi dari masyarakat dalam melaporkan masalah hukum ke pihak-pihak di luar negara. </p>
<p>Penguatan tokoh atau aktor yang dipercaya masyarakat dapat diberikan untuk menerima, merespons atau bahkan meneruskan pelaporan masalah hukum. </p>
<p>Apalagi, pada perkara kekerasan seksual di mana korban yang takut dan malu untuk melapor, maka peran pihak-pihak yang dipercaya inilah yang dapat mendorong akses terhadap keadilan yang lebih luas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169726/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arsa Ilmi Budiarti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukanlah hal yang mudah dilakukan. Namun, polisi harus siap menjadi garda terdepan khususnya di pelaporan kekerasan seksual.Arsa Ilmi Budiarti, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1682702021-10-04T05:55:24Z2021-10-04T05:55:24ZMengapa reformasi hukum di Indonesia kerap buntu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/424399/original/file-20211004-19-18sbq4u.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=242%2C0%2C5470%2C3260&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Luthfi Dzulfikar/The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span></figcaption></figure><p>Seiring terbentuknya berbagai institusi dan aturan-aturan baru lewat reformasi hukum pasca 1998, Indonesia pernah disebut sebagai negara <a href="https://www.cambridge.org/core/books/problems-of-democratisation-in-indonesia/indonesias-place-in-global-democracy/E433DFBC06D155C9FC1623369AD36A9A">demokrasi yang sehat</a>. </p>
<p>Tapi belakangan, <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3239779">reformasi hukum semakin tidak berjalan</a> dan watak asli demokrasi Indonesia muncul ke permukaan: demokrasi tidak sesehat dugaan.</p>
<p>Banyak lembaga-lembaga hukum dan aturan-aturan kini jauh panggang dari api. </p>
<p>Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - salah satu capaian reformasi paling penting - telah <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-end-of-the-kpk-at-the-hands-of-the-good-president/">semakin menjauh dari tujuan</a>. Aturan seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dibuat tanpa partisipasi publik dan cenderung melayani <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/omnibus-law-shows-how-democratic-process-has-been-corrupted/">kepentingan segelintir elite</a>. </p>
<p>Mengingat berbagai <a href="https://digital.lib.washington.edu/researchworks/bitstream/handle/1773/36734/Bosch_washington_0250E_15722.pdf?sequence=1&isAllowed=y">bantuan pembangunan untuk reformasi hukum</a> dari lembaga-lembaga donor telah digelontorkan ke Indonesia, terutama pada era Reformasi, kebuntuan ini menjadi pertanyaan.</p>
<p>Berbagai studi menjelaskan musababnya pada <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/pad.623">lemahnya desain kelembagaan</a>, atau <a href="https://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/lev.pdf">dibajaknya institusi-institusi hukum</a> untuk kepentingan politik sempit, atau karena <a href="https://cdn.odi.org/media/documents/10714.pdf">aparat yang kurang kompeten</a>. Masalah kelembagaan dan aparaturnya juga kerap dihubungkan dengan <a href="https://www.ide.go.jp/English/Publish/Reports/Asedp/074.html">rentang usia pembaharuan hukum yang masih pendek</a>, dibandingkan dengan pengalaman negara-negara maju.</p>
<p><a href="https://www.cambridge.org/core/books/legal-pluralism-and-development/1CB5E65D7709F37DBB6DF76ECE357701">Studi lainnya</a> menekankan pada keragaman hukum yang tumbuh dalam masyarakat (pluralisme hukum), sehingga upaya ‘transplantasi’ satu hukum yang liberal dan rasional tak selalu bisa diterima.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01436597.2021.1967738?src=">Riset kami</a> pada 2019-2021 menunjukkan bahwa keterbatasan reformasi hukum tak semata soal institusi, rentang waktu yang pendek atau pluralisme hukum. Kemampatan ini lebih berkaitan dengan watak tata politik-hukum yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip liberal - yang kami sebut sebagai legalisme iliberal. </p>
<p>Dengan watak semacam ini, hukum cenderung bekerja untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan upaya perlindungan hak warga negara dan tak dapat menjamin perwujudan keadilan.</p>
<p>Dalam upaya menumpuk kekayaan dan kekuasaan, kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang ada tidak berkepentingan membentuk sistem hukum yang rasional. Selama ini masih terjadi, upaya mewujudkan hukum yang rasional itu — yang sejalan dengan <em>rule of law</em> sebagai konsep pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan hak warga — akan terus terhenti.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-reformasi-pengelolaan-keuangan-daerah-tidak-lantas-menurunkan-korupsi-151681">Riset: reformasi pengelolaan keuangan daerah tidak lantas menurunkan korupsi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kapitalisme dan kekacauan</h2>
<p>Bentuk pengorganisasian kekuatan-kekuatan ekonomi-politik adalah perwujudan dari perkembangan kapitalisme dan evolusi negara yang spesifik. </p>
<p>Secara sederhana, kapitalisme adalah sistem ekonomi (dan politik) yang bertumpu pada penguasaan alat produksi oleh privat untuk akumulasi profit. Pemikir klasik Max Weber menjelaskan bahwa perkembangan tata ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh suatu kerangka hukum tertentu. </p>
<p><a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674556515">Menurut Weber</a>, hukum yang rasional — yakni yang bisa memberikan prediktabilitas dan kepastian — dapat menjamin terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Dalam sejarahnya, hukum yang rasional merupakan respons atas kekuasaan yang absolut dari kelas aristokrat. </p>
<p>Hukum yang rasional pada mulanya bertujuan agar kepentingan kelas kapitalis (borjuis) yang baru tumbuh bisa terlindungi dari campur tangan penguasa politik dan terutama dari pungutan pajak yang mencekik. </p>
<p>Dalam perkembangannya, hukum juga menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan bagi kelas pekerja dan secara lebih luas juga warga negara. </p>
<p>Dari pengalaman masyarakat Eropa Barat, dapat kita lihat bahwa hukum yang rasional bukan semata pemberian negara atau hasil transplantasi lembaga donor, melainkan produk dari konflik sosial.</p>
<p>Sementara itu, kapitalisme yang diperkenalkan melalui kolonialisme di Indonesia menciptakan struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang amat berbeda dari pengalaman bangsa-bangsa Eropa. </p>
<p>Di Indonesia, tidak ada kelas aristokrat yang dominan secara politik maupun kelas borjuis yang kuat secara ekonomi. </p>
<p>Akibatnya, negara yang ditopang birokrat warisan kolonial tidak hanya memegang kendali atas kekuasaan politik, tetapi juga menggantikan fungsi kelas kapitalis. </p>
<p><a href="https://books.google.com.au/books/about/Indonesia.html?id=woSrAZ13P2IC">Badan-badan usaha milik negara</a> hasil nasionalisasi perusahaan Belanda, misalnya, menjalankan peran sentral dalam proses perkembangan kapitalisme pada awal berdirinya Indonesia. </p>
<p>Saat kemudian kelas kapitalis telah tumbuh berkat bantuan negara, mereka amat bergantung pada akses atas kontrak dan perlindungan politik dari penguasa. </p>
<p>Keadaan ini menciptakan fusi kekuatan ekonomi dan politik. </p>
<p>Di sini, pelaku ekonomi dominan cenderung tidak memerlukan hukum yang rasional untuk membatasi campur tangan politik maupun untuk membangun otonomi relatif dari negara. </p>
<p>Alhasil, ekonomi didominasi oleh sektor-sektor yang membuka ruang besar bagi perburuan rente dengan memanfaatkan alokasi sumber daya dari negara, yang sekaligus meminggirkan liberalisme pasar. </p>
<p>Maka, ada dua poin pokok yang patut kita pertegas. </p>
<p>Pertama, keberadaan <em>rule of law</em> tidak selalu memiliki <a href="https://freedomhouse.org/article/democracy-good-business">korelasi positif yang kuat</a> dengan pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketiadaan hukum yang rasional, tumpang-tindih aturan, dan <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9789811636622">segala bentuk kekacauan (<em>disorder</em>)</a> - termasuk maraknya korupsi dan mobilisasi kekerasan - tidak selalu menjadi hambatan bagi kegiatan usaha. </p>
<p>Dalam banyak kasus, seperti di Indonesia, kekacauan ini ironisnya justru menjadi alat yang menunjang akumulasi kapital.</p>
<h2>Legalisme iliberal</h2>
<p>Bagaimana berbagai bentuk kekacauan yang menopang kerangka pengaturan yang iliberal dapat berguna dalam upaya-upaya konsentrasi kekayaan dan kekuasaan? </p>
<p>Bukankah kekacauan justru melahirkan ketidakpastian bagi iklim usaha yang menghambat pertumbuhan ekonomi?</p>
<p>Hasil survei dari <a href="http://www3.weforum.org/docs/WEF_TheGlobalCompetitivenessReport2020.pdf">World Economic Forum</a>, misalnya, mengategorikan korupsi — yang merupakan salah satu bentuk kekacauan — sebagai penghambat utama investasi. Logikanya, jika korupsi berkurang, maka ekonomi akan berkembang. </p>
<p>Pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo gencar mendorong perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan rangking indeks kemudahan berbisnis, ia bersama Dewan Perwakilan Rakyat justru berkontribusi dalam berbagai upaya pelemahan KPK. </p>
<p>Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, bahkan tegas menyatakan bahwa keberadaan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/10314331/penjelasan-moeldoko-yang-sebut-kpk-hambat-investasi-dan-tanggapan-kpk?page=all">KPK adalah penghambat investasi</a>. </p>
<p>Ia memang sempat mengoreksi pernyataan itu, namun pesan tentang logika kekuasaan yang sebenarnya, telah sampai kepada publik. </p>
<p>Hasil wawancara kami dengan beberapa pengusaha nasional mengonfirmasi logika itu. Bagi mereka, keberadaan KPK yang kuat adalah pengganggu usaha.</p>
<p>Saat menjabat sebagai ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190918162404-532-431626/pengusaha-sebut-revisi-uu-kpk-positif-bagi-iklim-investasi">Roeslan Roeslani</a>, juga menegaskan bahwa <a href="https://nasional.tempo.co/read/1459071/ini-pasal-pasal-uu-kpk-baru-yang-berpotensi-hambat-pemberantasan-korupsi">UU KPK yang baru</a> berdampak positif bagi iklim investasi.</p>
<p>Pandangan-pandangan ini tentu bertentangan dengan asumsi liberal tentang penciptaan hukum yang rasional untuk pertumbuhan ekonomi nasional. </p>
<p>Kontradiksi ini tampak dari lemahnya gagasan ekonomi pasar bebas di Indonesia yang diharapkan dapat ditunjang oleh hukum yang rasional.</p>
<p>Dominasi ekonomi rente menempatkan penegakan hukum pemberantasan korupsi sebagai gangguan.</p>
<p>Jokowi juga mengemukakan anjuran-anjuran yang berusaha memfasilitasi ekonomi pasar saat hendak membentuk UU Cipta Kerja yang merevisi dan menggabungkan lebih dari 70 UU. Ia mengklaim UU omnibus ini dapat mengatasi masalah yang menghambat iklim investasi, terutama terkait <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20201009183047-4-193288/jokowi-sebut-pungli-dapat-hilang-dengan-omnibus-law">pungutan liar dan tumpang tindih aturan</a>.</p>
<p>Nyatanya, aturan ini dibuat dengan <a href="https://theconversation.com/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-representatif-140179">mengabaikan transparansi</a> dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik sebagai komponen penopang ekonomi liberal. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kemunduran-demokrasi-dalam-pemerintahan-jokowi-nyalakan-tanda-bahaya-124100">Kemunduran demokrasi dalam pemerintahan Jokowi: nyalakan tanda bahaya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Reformasi hukum di tengah logika kekacauan</h2>
<p>Selama aktor ekonomi-politik dominan tidak berkepentingan menegakkan hukum yang rasional, dan lebih bersandar pada berbagai bentuk kekacauan, maka tata politik-hukum akan tetap bertendensi iliberal.</p>
<p>Kebuntuan reformasi hukum juga akibat dari dominasi pendekatan yang menekankan pada perubahan-perubahan institusional. </p>
<p>Pendekatan ini memandang persoalan hukum disebabkan oleh aturan yang bermasalah, budaya hukum yang lemah, atau penegakannya yang berat sebelah. </p>
<p>Banyak lembaga donor telah memberi perhatian pada aspek-aspek ini, di antaranya lewat <a href="https://cdn.odi.org/media/documents/10714.pdf">pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum atau penyusun undang-undang</a>.</p>
<p>Cara pandang ini berisiko memisahkan pembentukan dan penegakan hukum dari dinamika kekuasaan, dan mengasumsikan hukum sebagai entitas yang otonom dan netral.</p>
<p>Keberadaan institusi hukum dengan desain kelembagaan yang baik seperti KPK, misalnya, pernah dianggap sangat menjanjikan untuk reformasi hukum di Indonesia. Akan tetapi, desain kelembagaan yang baik serta dukungan moral dari publik tetap tidak berhasil menyelamatkan KPK dari pembajakan elite. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa reformasi yang berfokus pada perubahan institusional dan “gerakan-gerakan moral” masih sulit membendung kekuatan ekonomi-politik yang iliberal. </p>
<p>Perubahan-perubahan seperti itu tidak menyentuh logika kekuasaan yang bertumpu pada kekacauan sebagai alat akumulasi kekayaan. </p>
<p>Logika kekuasaan ini adalah produk dari bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diorganisasikan. </p>
<p>Maka penting untuk memahami bagaimana pengorganisasian kekuatan-kekuatan itu dalam menganalisis kebuntuan reformasi hukum di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168270/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Abdil Mughis Mudhoffir menerima dana dari Australia Awards Hadi Soesastro Prize 2017 untuk penelitian ini</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rafiqa Qurrata A'yun tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterbatasan reformasi hukum tak semata soal institusi, rentang waktu yang pendek atau pluralisme hukum, melainkan lebih berkaitan dengan watak tata politik-hukum yang cenderung iliberal.Rafiqa Qurrata A'yun, PhD candidate at Melbourne Law School, The University of MelbourneAbdil Mughis Mudhoffir, Assistant Professor at the Department of Sociology, State University of Jakarta and Honorary Research Fellow at the Asia Institute, University of Melbourne, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1680992021-10-01T03:15:26Z2021-10-01T03:15:26ZMengapa penerapan ‘privacy by design’ pada aplikasi ponsel tidak cukup untuk menjaga keamanan pengguna<p>Aplikasi yang terpasang di ponsel adalah salah satu ancaman terbesar bagi <a href="https://ec.europa.eu/justice/article-29/documentation/opinion-recommendation/files/2013/wp202_en.pdf">privasi kita di dunia digital</a>. Berbagai aplikasi ini mampu mengumpulkan data dalam jumlah besar, termasuk data pribadi yang sering bersifat sensitif.</p>
<p>Model perizinan yang menjadi dasar bagi berbagai undang-undang privasi di seluruh dunia tidak berfungsi dengan baik. </p>
<p><a href="https://www.yellowbrick.com/press-releases/yellowbrick-survey-pandemic-era-consumers-love-apps-but-have-security-concerns/">Survei terkini</a> menunjukkan bahwa para pengguna tetap khawatir akan privasi mereka, dan masih bingung bagaimana melindungi diri di dunia digital. Mereka mungkin tidak memiliki pengetahuan teknis atau pun waktu untuk meninjau persyaratan privasi yang rumit, atau bisa jadi mereka juga tidak dapat menahan godaan untuk mencoba aplikasi atau penawaran digital tertentu yang sedang trendi.</p>
<p>Akibatnya, undang-undang privasi kini menjadi lebih rinci, dan mengatur berbagai hal tambahan, misalnya terkait pemberitahuan pada pengguna, pengumpulan data yang lebih sedikit, serta hak pengguna. Hukumannya pun menjadi lebih berat.</p>
<p>Berbagai aturan tersebut juga sering kali berlaku secara global, seperti <a href="https://www.ftc.gov/enforcement/rules/rulemaking-regulatory-reform-proceedings/childrens-online-privacy-protection-rule">Aturan Perlindungan Privasi Daring Untuk Anak di Amerika Serikat (AS)</a> dan <a href="https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:32016R0679">Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR)</a> di Uni Eropa.</p>
<p>Sebagai contoh, seorang pengembang digital (<em>developer</em>) di Afrika Selatan – yang aplikasinya dapat diunduh oleh anak-anak di AS dan Eropa – harus mematuhi kedua undang-undang ini, dengan tambahan <a href="https://www.gov.za/documents/protection-personal-information-act#:%7E:text=The%20Protection%20of%20Personal%20Information,by%20public%20and%20private%20bodies%3B&text=to%20regulate%20the%20flow%20of,provide%20for%20matters%20connected%20therewith.">Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi</a> yang ada di Afrika Selatan. Hukum yang berlapis ini dapat memberi tantangan bagi pengembang maupun pengguna.</p>
<p>Tapi, masalah sebenarnya, menurut <a href="https://www.enisa.europa.eu/publications/privacy-and-data-protection-in-mobile-applications">laporan</a> Badan Keamanan Siber Uni Eropa, adalah bahwa ahli hukum dan <em>developer</em> tidak sinkron, atau dengan kata lain tidak berbicara dalam bahasa yang sama. Seorang <em>developer</em> bisa jadi tidak paham cara menerjemahkan prinsip-prinsip hukum yang abstrak ke dalam langkah-langkah pengembangan yang teknis dan konkret.</p>
<p>Pada akhirnya, ini membuat pemerintah beralih ke konsep <a href="https://iapp.org/media/pdf/resource_center/pbd_implement_7found_principles.pdf">“<em>privacy by design</em>”</a> (privasi yang dimasukkan ke dalam desain aplikasi) sebagai cara untuk menjembatani masalah ini.</p>
<p>Konsep ini digagas pada akhir 1990-an oleh Ann Cavoukian ketika ia menjadi Kepala Bidang Informasi dan Privasi untuk Provinsi Ontario di Kanada. </p>
<p>Konsep <em>privacy by design</em> ini lebih dari sekadar kebijakan privasi itu sendiri maupun pengaturan izinnya dalam aplikasi, namun juga mengharuskan <em>developer</em> untuk memikirkan tentang privasi sejak proses desain pertama dimulai.</p>
<p>Cavoukian menetapkan tujuh prinsip dasar dalam pendekatan <em>privacy by design</em>. </p>
<p>Namun, prinsip kedualah, yakni “privasi sebagai pengaturan bawaan”, yang benar-benar membuat standar baru terkait aplikasi seperti apa yang mampu melindungi privasi dengan baik.</p>
<p>Dalam Bahasa Indonesia, kira-kira bunyinya seperti ini:</p>
<blockquote>
<p>Buatlah tingkat privasi maksimum pada pengaturan bawaan untuk semua sistem dan praktik bisnis yang ada. Dengan begitu, privasi pengguna akan terjaga secara utuh, bahkan jika mereka memilih untuk tidak melakukan apa pun.</p>
</blockquote>
<p>Hal ini menjatuhkan tanggung jawab terbesar pada <em>developer</em> aplikasi untuk memikirkan privasi pengguna sejak awal, dan merancang aplikasi sedemikian rupa sehingga privasi pengguna dapat secara otomatis terlindungi, sambil tetap menawarkan aplikasi atau layanan digital yang berfungsi dengan baik.</p>
<p>Tapi <a href="https://researchspace.ukzn.ac.za/xmlui/handle/10413/19431">penelitian saya</a> menunjukkan bahwa keputusan desain yang dibuat oleh <em>developer</em> terhambat berbagai batasan yang ada dalam teknologi atau peraturan platform yang dibuat oleh pihak lain. Ini mencakup batasan pada perangkat keras dan sistem operasi, kit pengembangan perangkat lunak, basis data periklanan, dan kebijakan peninjauan di <em>app store</em>.</p>
<p>Maka, jawaban dari masalah ini adalah “<a href="https://iapp.org/resources/article/06-22-2012-privacy-by-redesign-a-practical-framework-for-implementation/"><em>privacy by (re)design</em></a>”, di mana semua pihak dalam ekosistem pengembangan aplikasi tersebut wajib memikirkan privasi dengan serius serta mendesain ulang semua platform dan teknologi yang terlibat. </p>
<p>Tetapi penerapan semacam ini akan membutuhkan peraturan hukum yang lebih ketat, terutama tentang pembagian data pada pihak ketiga.</p>
<h2>Perlu perubahan pola pikir</h2>
<p>Menerapkan pendekatan <em>privacy by design</em> membutuhkan perubahan pola pikir para <em>developer</em>.</p>
<p>Mereka harus lebih proaktif untuk mencegah kasus pelanggaran data, ketimbang baru menanggapinya setelah terjadi. Era di mana kita mengumpulkan data pribadi sebanyak mungkin dengan harapan akan berguna kemudian hari, kini telah berlalu. Para <em>developer</em> harus mendesain pengumpulan data hanya untuk tujuan yang jelas dan spesifik, kemudian mengomunikasikannya kepada pengguna aplikasi. Mereka juga harus menjamin anonimitas atau menghapus data tersebut sesegera mungkin.</p>
<p>Privasi harus menjadi komponen penting dalam metodologi desain, pemilihan teknologi dalam proses pengembangan, maupun nilai dari organisasi.</p>
<p>Semua ini adalah perubahan-perubahan yang penting, dan telah tercantum dalam berbagai pedoman pengembangan aplikasi ponsel, seperti yang misalnya dirilis oleh <a href="https://iapp.org/media/pdf/resource_center/gsmaprivacydesignguidelinesformobileapplicationdevelopmentv1%20%281%29.pdf">Global System for Mobile Communications</a>, maupun para pembuat peraturan di <a href="https://www.ftc.gov/sites/default/files/documents/public_statements/privacy-design-and-new-privacy-framework-u.s.federal-trade-commission/120613privacydesign.pdf">AS</a>, <a href="https://ico.org.uk/media/for-organisations/documents/1596/privacy-in-mobile-apps-dp-guidance.pdf">Inggris</a>, <a href="https://www.oaic.gov.au/privacy/guidance-and-advice/mobile-privacy-a-better-practice-guide-for-mobile-app-developers/">Australia</a> dan <a href="https://www.ipc.on.ca/wp-content/uploads/Resources/pbd-asu-mobile.pdf">Kanada</a>.</p>
<p>Bahkan, di Uni Eropa, “perlindungan data berdasarkan desain dan secara bawaan” sekarang menjadi <a href="https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:32016R0679">kewajiban hukum</a> dalam Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR).</p>
<p>Tapi, lagi-lagi seperti yang ditunjukkan dalam penelitian saya, dan juga didukung penelitian lain, hal ini mungkin tidak cukup tanpa mendesain ulang aplikasi untuk mengatasi masalah pembagian data.</p>
<p>Menurut <a href="https://dl.acm.org/doi/10.1145/3201064.3201089">satu studi</a>, sebagian besar aplikasi mengirimkan data langsung ke pihak ketiga, seperti Google, Facebook, dan layanan pertukaran iklan (<em>ad exchanges</em>), melalui pelacak yang tertanam dalam kode aplikasi. Tetapi saya menemukan bahwa undang-undang privasi tidak secara komprehensif atau konsisten membahas pembagian pada pihak ketiga ini.</p>
<p>Istilah “pihak ketiga”, misalnya, tidak didefinisikan dalam Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi di Afrika Selatan, tetapi hanya mencakup jaringan iklan, situs berbagi konten, dan platform jejaring sosial. Artinya, pihak ketiga masih dibedakan dari para pelaku di tingkat hilir yang memproses data Anda melalui suatu kontrak.</p>
<p>Sulit untuk menegakkan tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga ini, yang kerap berada di negara yang berbeda dari tempat di mana aplikasi dikembangkan. Syarat dan ketentuan yang mereka buat biasanya melempar tanggung jawab untuk perlindungan privasi kepada pengembang aplikasi.</p>
<p>Hal ini dapat mengancam keamanan pengguna. Namun, ini juga membuat <em>developer</em> mengemban tanggung jawab secara penuh, terutama jika muncul tantangan hukum di kemudian hari.</p>
<p>Tanggung jawab ini dapat jatuh pada <em>developer</em> karena di bawah Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi (di Afrika Selatan) dan Peraturan Perlindungan Data Umum (di Eropa), jika suatu pihak berperan dalam mengatur tujuan maupun cara suatu data diproses, maka pihak tersebut tersebut termasuk salah satu penanggung jawab (<em>joint responsible party</em>) untuk data yang diproses pihak ketiga.</p>
<p>Pengadilan Eropa telah dua kali menetapkan perusahaan kecil sebagai salah satu pengendali data dalam proses pengumpulan data Facebook, melalui mekanisme <a href="https://curia.europa.eu/juris/liste.jsf?num=C-210%20/16"><em>fan page</em></a> dan tombol <a href="https://curia.europa.eu/juris/liste.jsf?num=C-40/17">like</a>. Meskipun ada yang menilai bahwa kontrol bersama bukan berarti memiliki “kewajiban yang sama”, hal ini tetap harus menjadi perhatian <em>developer</em>.</p>
<p>Sebagai contoh, pengembang yang menggunakan <em>Software Development Kit</em> (SDK) milik Facebook berarti sedang berbagi data pribadi dengan Facebook. Catatan peristiwa (<em>event log</em>) seperti “aplikasi terpasang”, “SDK diinisialisasi”, dan “aplikasi dinonaktifkan” memuat informasi demografis dan laporan perilaku yang mendetail tentang pengguna aplikasi.</p>
<p>Pada tahun 2018, Privacy International <a href="https://privacyinternational.org/report/2647/how-apps-android-share-data-facebook-report">melaporkan</a> bahwa pengaturan untuk menunda pengiriman <em>event log</em> hingga setelah pengguna menyetujuinya, baru ditambahkan oleh Facebook 35 hari setelah Peraturan Perlindungan Data Umum di Eropa berlaku, dan hanya berjalan jika diaktifkan oleh <em>developer</em> untuk SDK versi 4.34 atau lebih tinggi.</p>
<h2>Apa kesimpulannya?</h2>
<p>Kesimpulannya, bagi <em>developer</em> yang menerapkan pendekatan <em>privacy by design</em> adalah untuk “<a href="https://iapp.org/media/pdf/resource_center/pbd_implement_7found_principles.pdf">percaya, tapi tetap lakukan verifikasi</a>”:</p>
<ul>
<li><p>Periksa ketentuan kontrak dan persyaratan pihak ketiga dengan hati-hati;</p></li>
<li><p>Pantau platform <em>developer</em> untuk pembaruan keamanan dan privasi;</p></li>
<li><p>Hanya bekerja sama dengan organisasi yang menawarkan jaminan privasi yang memadai;</p></li>
<li><p>Beri tahu pengguna aplikasi Anda tentang transfer data ke pihak ketiga dan berikan kemudahan pada mereka untuk mengatur privasi.</p></li>
<li><p>Simpan catatan riwayat sehingga Anda dapat segera merespons jika pengguna aplikasi meminta rincian data pribadi mereka, serta informasi siapa saja yang menerima data tersebut.</p></li>
</ul>
<p>Menuntut <em>developer</em> yang melanggar undang-undang perlindungan data adalah hal yang penting, tetapi tidak cukup sampai di situ.</p>
<p>Pada akhirnya, para pihak yang mendesain teknologi dan platform di mana aplikasi dibangun dan dipasarkan, harus dilibatkan pertanggungjawabanya dalam suatu kerangka hukum perlindungan data yang baik, supaya mengatasi celah perlindungan privasi yang masih ada.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168099/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dusty-Lee Donnelly menerima dana dari National Research Foundation (NRF) dan University Capacity Development Program (UCDP). Pendapat yang diungkapkan dan kesimpulan yang diperoleh adalah milik penulis dan tidak dapat dikaitkan dengan NRF.</span></em></p>Tidak hanya pengembang, namun para pihak yang mendesain teknologi dan platform di mana aplikasi seluler dibuat dan dipasarkan, juga harus diminta pertanggungjawabannya dalam melindungi data pengguna.Dusty-Lee Donnelly, Lecturer in Law & Advocate, High Court of South Africa, University of KwaZulu-NatalLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1686662021-09-24T09:51:14Z2021-09-24T09:51:14ZKasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia<iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/61snwviLgvQEF6fOlqO6Wv" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Awal bulan ini, muncul cerita kekerasan seksual yang terjadi pada <a href="https://tirto.id/duduk-perkara-perundungan-pelecehan-seksual-pegawai-kpi-pusat-gjas">seorang pegawai laki-laki di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)</a>. Korban diduga mengalami pemukulan, ditelanjangi, hingga dipotret kemaluannya oleh para senior di kantornya.</p>
<p>Kasus ini menambah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58505749">daftar panjang</a> kasus kekerasan seksual di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan.</p>
<p>Pada tahun 2018, misalnya, terjadi kasus <a href="https://theconversation.com/tidak-hanya-di-amerika-kekerasan-seksual-di-kampus-juga-marak-di-indonesia-108344">kekerasan seksual yang menimpa “Agni”</a> di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasus lainnya menyusul termasuk pelecehan terhadap <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon">guru honorer Baiq Nuril</a>, berbagai kasus kekerasan seksual di kampus seperti <a href="https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-uin-malang-dukungan-dan-ancaman-bagi-korban-dW75">UIN Malang</a> dan <a href="https://tirto.id/merunut-pelecehan-seksual-iain-kediri-korban-berharap-keadilan-gi5V">IAIN Kediri</a>, hingga kasus pemerkosaan oleh <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">Amri Tanjung</a> terhadap seorang perempuan di bawah umur beberapa bulan lalu.</p>
<p>Berbagai kasus di atas memiliki benang merah; para korban kesulitan mendapatkan keadilan dan dalam beberapa kasus bahkan dikriminalisasi balik.</p>
<p>Dalam episode terbaru <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=rTTTMjejTT2DuzemiFtm9w&dl_branch=1">podcast SuarAkademia</a>, kami berbicara dengan <a href="https://theconversation.com/profiles/bestha-inatsan-ashila-946861/articles">Bestha Inatsan Ashila</a>, peneliti di <em>Indonesian Judicial Research Society</em> (IJRS), tentang lemahnya penanganan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia.</p>
<p>Bestha menceritakan tentang belum baiknya perlindungan bagi korban laki-laki, abainya penegak hukum saat ada laporan kasus, hingga cara-cara yang bisa kita lakukan untuk membantu korban kekerasan seksual.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=rTTTMjejTT2DuzemiFtm9w&dl_branch=1">SuarAkademia</a> – ngobrol isu terkini bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168666/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Dalam episode terbaru SuarAkademia, kami berbicara dengan Bestha Inatsan Ashila dari Indonesian Judicial Research Society_(IJRS), tentang lemahnya penanganan korban kekerasan seksual di Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1679042021-09-22T04:06:13Z2021-09-22T04:06:13Z‘Overcrowding’ adalah akar masalah berbagai persoalan di lapas dan rutan, termasuk risiko kebakaran fatal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/422284/original/file-20210921-13-1rji0vc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1940%2C1363&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas memadamkan Kebakaran di Lapas Kelas IIA Banceuy di Bandung, Jawa Barat menyusul sebuah kerusuhan di dalam lapas pada April 2016.</span> <span class="attribution"><span class="source">Agus Bebeng/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Awal bulan ini, sebuah kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, <a href="https://metro.tempo.co/read/1508234/polisi-tetapkan-3-sipir-jadi-tersangka-kasus-kebakaran-lapas-tangerang/full&view=ok">menewaskan setidaknya 49 orang narapidana</a> dan menyebabkan lebih dari 70 orang lainnya terluka. </p>
<p>Namun, wacana kebakaran di Lapas Tangerang tidak boleh berhenti hanya korban dan kerugian. Harus ada dorongan untuk memahami mengapa tragedi tersebut terjadi dan bagaimana tidak terus berulang.</p>
<p>Nyata bahwa kebakaran di lapas atau rumah tahanan (rutan) kerap terjadi. Pemantauan oleh koalisi masyarakat sipil mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir saja terjadi <a href="https://nasional.tempo.co/read/1504543/13-kebakaran-lapas-dalam-3-tahun-terakhir-10-di-antaranya-over-kapasitas">13 kasus kebakaran di lapas</a>. </p>
<p>Sebelum itu, ada juga beberapa kasus kerusuhan yang berujung pada kebakaran seperti di <a href="https://nasional.tempo.co/read/495696/ini-penyebab-rusuh-dan-kebakaran-tanjung-gusta">Lapas Tanjung Gusta di Sumatera Utara pada 2013</a> dan <a href="https://news.detik.com/berita/d-3175472/5-napi-tewas-saat-rutan-bengkulu-terbakar-ini-penjelasan-lengkap-kapolda-bengkulu">Rutan di Bengkulu pada 2016</a>.</p>
<p>Pemicu kebakaran di lapas atau rutan tidaklah seragam. Kebakaran dapat dipicu oleh <a href="https://katadata.co.id/rezzaaji/berita/61386cc5c9b6c/penyebab-kebakaran-lapas-dari-kerusuhan-hingga-korsleting-listrik">kerusuhan di dalam, bagian upaya melarikan diri, masalah kompor gas, hingga arus pendek listrik</a>. </p>
<p>Pemicu kebakaran penting untuk diketahui. Tapi, penyebab paling mendasar (<a href="https://digitalcommons.nyls.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1190&context=journal_of_human_rights"><em>cause of the causes</em></a>) dari kasus-kasus kebakaran di lapas atau rutan adalah jumlah penghuni melebihi daya tampung (<em>overcrowding</em>).</p>
<p>Masalah mendasar ini sudah sejak lama menyebabkan berbagai masalah lain, seperti ketidaklayakan kondisi hunian, kesulitan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban, serta terhambatnya pelaksanaan keselamatan (<em>safety</em>) dan keamanan (<em>security</em>).</p>
<p>Tulisan ini akan menjelaskan tentang permasalahan <em>overcrowding</em> sebagai penyebab dasar yang tidak boleh diabaikan, dampaknya terhadap aspek keselamatan dan keamanan di lapas, serta pertanggungjawaban atas kebakaran yang terjadi.</p>
<h2><em>Overcrowding</em> dan kebakaran</h2>
<p>Menteri Hukum dan HAM <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210908205134-12-691689/yasonna-tuding-uu-narkotika-biang-kerok-lapas-over-kapasitas">Yasonna Laoly</a> mengakui bahwa membludaknya narapidana narkotika berkontribusi besar terhadap <em>overcrowding</em>, yang kemudian menjadi faktor penting dalam terjadinya kebakaran. </p>
<p>Kelompok masyarakat sipil <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/09/08/20063661/koalisi-masyarakat-sipil-tiga-tahun-terakhir-13-lapas-terbakar?page=all">menggarisbawahi</a> bahwa kasus kebakaran lapas yang terjadi tidak boleh dilepaskan dari masalah kronis ini pada lapas dan rutan di Indonesia.</p>
<p>Kelebihan penghuni memang bukanlah penyebab langsung dari kebakaran yang terjadi, tapi ia menimbulkan beberapa faktor pemicu kebakaran seperti kerusuhan, upaya melarikan diri oleh tahanan, dan arus pendek listrik.</p>
<p><em>Overcrowding</em> membuat narapidana — yang berbagai hak dasarnya telah tercabut ketika masuk ke dalam sistem pemasyarakatan — tidak menerima hak dan kebutuhan mereka dengan semestinya.</p>
<p>Kualitas hidup narapidana yang buruk dapat memicu ketidakpercayaan kepada petugas dan institusi lapas, yang berujung pada <a href="https://www.ojp.gov/pdffiles1/Photocopy/148286NCJRS.pdf">perlawanan terhadap otoritas</a>.</p>
<p>Di antara para narapidana, kondisi hidup yang buruk disertai kepadatan hunian yang sangat tinggi membuat gesekan lebih mudah terjadi. </p>
<p>Sebagaimana sering dikemukakan para petugas di lapangan, “saling bertukar pandang biasa pun dapat berujung pada perkelahian.” </p>
<p>Ketika terjadi kerusuhan atau perkelahian berskala besar dan terdapat sumber api, maka peluang terjadinya kebakaran menjadi lebih tinggi.</p>
<p>Selain itu, <em>overcrowding</em> juga membuat petugas menjadi lebih kesulitan untuk mengawasi dan memeriksa setiap ruangan, tempat, dan narapidana di lapas. </p>
<p>Akibatnya, narapidana dapat mencuri-curi sambungan listrik tanpa sepengetahuan petugas lapas. Ketika terdapat penggunaan listrik yang terlalu besar, lalu terjadi korsleting, maka terjadi apa yang <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/kebakaran-lapas-tangerang-diduga-dari-handphone-kemenkum-ham-serahkan-ke-polisi.html">diduga</a> sebagai arus pendek listrik yang menyebabkan kebakaran.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mau-dibawa-ke-mana-penjara-kita-100821">Mau dibawa ke mana penjara kita?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Aspek keselamatan dan keamanan</h2>
<p>Peristiwa kebakaran yang terjadi menunjukkan kegagalan dalam melaksanakan penyelamatan dan pengamanan di lapas.</p>
<p>Dari sisi keselamatan, sarana dan prasarana menjadi faktor yang sangat berpengaruh. </p>
<p>Pada kasus Lapas Tangerang, usia bangunan yang sudah tua membuat bangunan menjadi lebih rentan terhadap api dan kebakaran besar. Kemudian ada juga permasalahan alat pemadam kebakaran di lapas yang tidak tersedia atau berfungsi dengan baik. </p>
<p>Selanjutnya, ada kekurangan kemampuan personil untuk menghadapi bencana kebakaran. Di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, sebetulnya sudah ada “<a href="https://e-sop.kemenkumham.go.id/direktorat-jenderal-pemasyarakatan/direktorat-keamanan-dan-ketertiban/kelompok-jabatan-fungsional/send/202-kelompok-jabatan-fungsional/1663-sop-penanggulangan-bencana">Panduan Penanggulangan Bencana</a>”, yang di dalamnya mencakup prosedur penanganan kebakaran. Apakah prosedur tersebut sudah dipahami dengan baik oleh petugas?</p>
<p>Keberadaan prosedur tidak akan efektif tanpa penguatan kapasitas petugas untuk menjalankannya. </p>
<p>Petugas jadi diminta melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak sepenuhnya mereka mengerti, sehingga sumber kesalahan tidak semata-mata dapat diarahkan kepada petugas, tapi juga kepada ketiadaan pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan.</p>
<p>Dari sisi keamanan, harus dipahami bahwa dalam sistem pemasyarakatan, keamanan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari ketertiban. Kondisi aman yang tidak tertib, menciptakan keamanan semu. Sementara kondisi tertib, tidak akan tercapai bila tidak ada rasa aman. </p>
<p>Di tengah kondisi lapas melebihi kapasitas, petugas dipaksa untuk memberi penekanan yang besar pada keamanan. </p>
<p>Untuk menghindari kerusuhan karena komposisi petugas dan narapidana yang sangat timpang, tidak jarang petugas dipaksa berkompromi.</p>
<p>Akibat kompromi ini, kondisi lapas mungkin saja aman, tapi belum tentu tertib.</p>
<p>Ini yang tampaknya terjadi di Lapas Tangerang. Kondisi <em>overcrowding</em> yang mencapai <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/432131/komnas-ham-lp-kelas-i-tangerang-over-kapasitas-240">240%</a> membuat pemeriksaan atas penyalahgunaan alat elektronik dan saluran listrik terabaikan. Selama narapidana tidak berulah, maka petugas mungkin membiarkan pelanggaran tersebut sebagai bentuk kompromi.</p>
<p>Lebih lanjut, pengamanan dan penguncian bukan hal yang sama. Jika narapidana terkunci di dalam kamarnya, maka bukan berarti kondisi lapas sudah aman. </p>
<p>Karena sumber gangguan keamanan tidak selalu berasal dari narapidana, tapi bisa saja dari benda-benda lain yang ada di dalam kamar, seperti saluran listrik tadi. </p>
<p>Oleh sebab itu, sistem penguncian, konsolidasi kunci, dan langkah cepat pembukaan pintu kamar dalam keadaan darurat seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari keamanan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mencegah-penyebaran-covid-19-di-penjara-tidak-cukup-hanya-dengan-membebaskan-narapidana-135820">Mencegah penyebaran COVID-19 di penjara tidak cukup hanya dengan membebaskan narapidana</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pertanggungjawaban</h2>
<p>Kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang adalah tanggung jawab negara. Dalam kerangka <a href="https://www.jstor.org/stable/29768358"><em>state crime</em>,</a>, negara telah melakukan kejahatan terhadap para narapidana dengan membiarkan kondisi <em>overcrowding</em> terus berlanjut. </p>
<p><em>Overcrowding</em> penjara menyebabkan <a href="https://scielo.isciii.es/pdf/sanipe/v14n3/en_06_revision2.pdf">kesehatan fisik dan mental dari narapidana memburuk</a>; pada kasus paling ekstrem bahkan “membunuh” narapidana melalui penyakit menular, kerusuhan, atau kebakaran.</p>
<p>Kita harus menagih pada negara agar penegak hukum mengurangi kegemaran mereka untuk mengirim orang ke lapas. </p>
<p>Pengurangan arus masuk manusia ke lapas harus diperkecil, dimulai dengan tidak memenjarakan pengguna dan pecandu narkotika, serta mengoptimalkan implementasi hukuman non-penjara untuk pidana-pidana ringan. </p>
<p>Kita perlu menuntut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk menyamakan persepsi penegak hukum agar tidak terus-menerus berorientasi pada pemenjaraan.</p>
<p>Masyarakat perlu mempertanyakan pada Menteri Hukum dan HAM mengapa penyelenggaraan hukum masih membuat lapas menanggung beban yang begitu berat, sehingga terdapat potensi bencana kemanusiaan yang besar. </p>
<p>Kita perlu mendorong Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan jajarannya untuk memperbaiki kondisi hunian di lapas, memeriksa kondisi lapas secara berkala, dan juga memberi hak integrasi bagi para narapidana yang sudah memenuhi persyaratan, sehingga arus keluar penjara dapat lebih besar.</p>
<p>Pengurangan arus masuk dan optimalisasi pengeluaran narapidana <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/15/hingga-2025-lapas-tetap-overcrowding-perlu-suntikan-dana-rp-382-triliun-untuk-tambah-kapasitas/">belum mampu menyelesaikan masalah <em>overcrowding</em> dalam lima tahun ke depan</a>. Namun, ini setidaknya dapat menghambat laju penambahan jumlah penghuni yang sejak lima tahun terakhir sudah tidak terkendali.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167904/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Center for Detention Studies merupakan salah satu mitra kunci Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam reformasi pemasyarakatan Indonesia.</span></em></p>Harus ada pertanggung jawaban dari pemerintah atas kebakaran di lapas dengan menyelesaikan penyebab mendasarnya: overcrowding.Iwa Maulana, Researcher, Center for Detention Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1652602021-08-04T10:03:49Z2021-08-04T10:03:49ZBeda dengan PPKM, karantina wilayah adalah pilihan kebijakan cerdas untuk mendorong kepatuhan masyarakat<p>Banyak anggapan bahwa ketegasan aparat menegakkan hukum menentukan keberhasilan penanganan pandemi. Asumsinya publik otomatis akan lebih patuh bila aturan bisa membuat jera setiap pelanggar lewat penghukuman. </p>
<p>Tapi, ketimbang mendorong kepatuhan masyarakat dengan paksaan, masyarakat lebih membutuhkan opsi peraturan cerdas (<em>smart regulation</em>) dalam kebijakan.</p>
<p>Karantina wilayah, yaitu membatasi mobilitas dan aktivitas warga sambil memenuhi kebutuhan pokok semua warga yang dikarantina, adalah sebuah contoh kebijakan cerdas yang sudah kita miliki tapi sayangnya tidak kita terapkan.</p>
<p>Selain terbukti efektif menurunkan penularan virus di banyak negara, pendekatan tersebut juga lebih ramah dalam membentuk perilaku patuh masyarakat. </p>
<h2>Gagalnya kebijakan koersif</h2>
<p>Salah satu tujuan regulasi adalah menciptakan kepatuhan. </p>
<p>Guna merekayasa kepatuhan, teori pilihan kebijakan menawarkan banyak jenis regulasi, mulai dari jenis koersif seperti <em>command and control</em> (CAC), hingga yang terlunak seperti instrumen ekonomi atau insentif. </p>
<p>Pada CAC, kebijakan bertumpu pada <a href="http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/download/bhl.v4n1.10/pdf">perintah dan sanksi</a> yang membuat corak koersifnya dominan. Dengan kata lain, pembuat peraturan menciptakan kepatuhan dengan memposisikan masyarakat ada di bawah komando otoritas. </p>
<p>Selama penanganan pandemi, regulasi CAC jadi instrumen yang paling banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya, pada masa <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/35388/mulai-3-juli-pemerintah-berlakukan-ppkm-darurat-di-jawa-bali/0/berita">Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat</a> Juli lalu, penegakan aturan tersebut melibatkan personel polisi dan militer dengan sanksi denda hingga penjara bagi warga yang kedapatan melanggar. </p>
<p>Walau terkesan tegas, sifat koersif dari CAC justru menjadi kekurangan instrumen tersebut. </p>
<p>Naluri manusia pada dasarnya tidak menyukai paksaan sehingga dalam praktiknya jenis kebijakan demikian rentan memicu <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0144818815000174?via%3Dihub">penolakan masyarakat</a> – apalagi ketika <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/28679">ketidakpercayaan publik</a> pada kinerja otoritas tinggi. </p>
<p>Berbeda dengan paksaan, kebijakan yang lunak seperti instrumen ekonomi bertumpu pada penggunaan motivasi ekonomis untuk menstimulasi perilaku yang dikehendaki agar penerimanya memahami tujuan kebijakan. Contoh populernya adalah <a href="https://media.neliti.com/media/publications/265418-tax-amnesty-upaya-memperkuat-penerimaan-e2a7bcc5.pdf">insentif pengampunan pajak</a> yang bertujuan mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban lapor pajak. </p>
<p>Hanya saja, kekurangan instrumen insentif ada pada ongkos kebijakannya yang mahal, apalagi dalam ukuran kantong negara berkembang seperti Indonesia. </p>
<p>Lebih lanjut dalam konteks penanganan pandemi di Indonesia, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1485172/6-target-yang-gagal-tercapai-di-ppkm-darurat-testing-rendah-hingga-kasus-tinggi">kegagalan</a> kebijakan PPKM menurunkan kurva penularan virus mengindikasikan adanya kekeliruan pilihan kebijakan, yang menimbulkan ketidakpatuhan publik.</p>
<p>Kekeliruan itu terjadi akibat kurangnya perhatian pemangku kebijakan pada kelompok masyarakat yang paling terdampak kebijakan. </p>
<p>Di satu sisi, pemilihan kebijakan PPKM darurat alih-alih karantina wilayah memunculkan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1485316/apakah-uu-kekarantinaan-kesehatan-diterapkan-jika-ppkm-darurat-diperpanjang/full&view=ok">kesan pemerintah menghindari</a> kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya semasa krisis. </p>
<p>Di sisi lain, pemerintah juga tak menawarkan solusi konkret kepada mayoritas pekerja informal yang tak punya pilihan lain selain tetap keluar rumah, bergerak dan bekerja.</p>
<p>Negara yang absen, serta adanya kelompok elit yang <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-012219350/anggota-dpr-minta-rumah-sakit-dan-icu-khusus-wakil-rakyat-epidemiolog-ui-kenapa-tidak-minta-makam">menuntut hak istimewa</a>, pada gilirannya memunculkan sentimen bahwa nasib masyarakat tidak sedang benar-benar diperjuangkan. </p>
<p>Semua kekhawatiran itu terakumulasi jadi ketidakpercayaan terhadap otoritas dan menjadi faktor yang menyulitkan dalam upaya pemerintah membentuk kepatuhan. </p>
<p>Dalam kondisi seperti itu, sekeras apapun upaya mendisiplinkan masyarakat, perilaku patuh hanya akan tercipta secara tidak utuh (patuh karena bermotif menghindari hukuman). </p>
<p>Yang lebih dibutuhkan situasi sekarang adalah kepatuhan berbasis kesadaran akan tujuan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kebijakan-jokowi-pengetatan-parsial-jawa-dan-bali-bagaimana-cara-supaya-efektif-turunkan-kasus-covid-19-163730">Kebijakan Jokowi pengetatan parsial Jawa dan Bali, bagaimana cara supaya efektif turunkan kasus COVID-19?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2><em>Smart regulations</em></h2>
<p>Prinsipnya, kepatuhan masyarakat berjalan sejalan dengan tingkat kepercayaan pada otoritas. Semakin tinggi legitimasi otoritas di mata publik, semakin besar peluang untuk menginternalisasikan kepatuhan. </p>
<p>Konsep <a href="http://press-files.anu.edu.au/downloads/press/n2304/pdf/ch08.pdf"><em>smart regulation</em></a> meyakini bahwa kebijakan tunggal lewat pendekatan koersif tidak melulu efektif merekayasa kepatuhan. </p>
<p>Sebaliknya, dengan mengedepankan kombinasi instrumen kebijakan yang saling melengkapi, tujuan akhir dari kebijakan dapat lebih mudah dicapai. </p>
<p>Kombinasi instrumen demikian bisa jadi faktor penentu berhasil-tidaknya pilihan kebijakan. </p>
<p>Sebagai contoh, ketika sebuah negara terpaksa harus memutuskan <em>lockdown</em> demi menurunkan laju penularan virus, otoritasnya tidak bisa hanya mengandalkan pada penegakan aturan dan sanksi saja untuk menciptakan kepatuhan. </p>
<p>Melainkan, otoritas perlu terlebih dahulu mengantisipasi faktor penyebab ketidakpatuhan agar solusinya terakomodasi dalam paket kebijakan. </p>
<p>Apabila penyebab ketidakpatuhan adalah masalah kerentanan ekonomi, maka instrumen seperti insentif bisa dipilih sebagai pendamping regulasi CAC untuk mendorong kepatuhan.</p>
<p>Meski terkesan sederhana, perbedaan besarnya akan terlihat pada respons publik terhadap pilihan kebijakan. </p>
<p>Dibandingkan pendekatan tunggal yang hanya memerintahkan masyarakat untuk patuh tak bersyarat, kehadiran instrumen motivasi akan mengurangi nuansa koersif dari suatu kebijakan dan dapat mengurangi potensi resistensi masyarakat. </p>
<p>Instrumen motivasi juga akan mendorong terciptanya pemahaman dalam masyarakat pada tujuan dari pilihan kebijakan. Karena memiliki kesan yang lebih positif pada kebijakan, masyarakat akan lebih mudah mencerna tujuan kebijakan ketimbang memandangnya sebagai momok.</p>
<p>Selain kombinasi instrumen, <em>smart regulation</em> juga menggarisbawahi kolaborasi aktif antara aktor negara dan non-negara dalam pelaksanaan kebijakan. </p>
<p>Kanal kolaborasi itu bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi defisit ongkos kebijakan, semisal, dengan mendorong kontribusi sukarela sektor swasta sebagai alternatif pendanaan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/setahun-pandemi-di-indonesia-3-kelemahan-terbesar-kebijakan-pengendalian-covid-19-sehingga-gagal-total-155129">Setahun pandemi di Indonesia: 3 kelemahan terbesar kebijakan pengendalian COVID-19 sehingga gagal total</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak diterapkan</h2>
<p>Di Indonesia, jejak regulasi cerdas bisa ditemukan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/90037/uu-no-6-tahun-2018">Undang-Undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan</a>, tepatnya dalam ketentuan Pasal 52 menyangkut karantina wilayah dan Pasal 55 menyangkut Karantina Rumah. </p>
<p>Aturan itu menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar warga (medis, pangan, bahkan pakan ternak) selama karantina berlangsung menjadi tanggung jawab pemerintah pusat bersama daerah. </p>
<p>Meski karantina sekilas tampak mirip dengan paket kebijakan PPKM plus distribusi bantuan sosial (bansos) yang dijalankan pemerintah, implementasi dan desain kebijakannya sangat berbeda. </p>
<p>Pada program PPKM plus bansos, sasaran penerimanya sangat selektif hanya pada kelompok ekonomi tertentu sehingga penyalurannya cenderung <a href="https://www.republika.co.id/berita/qeo0ve383/bansos-tidak-efektif-peluang-resesi-semakin-besar">tidak efektif</a> menyasar penciptaan perilaku patuh seluruh anggota masyarakat. Nominalnya pun <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1483174/bansos-rp-300-ribu-saat-ppkm-darurat-terlalu-kecil-ekonom-minimal-rp-15-juta">terbilang kecil</a> untuk mampu mengganti pemasukan warga selama periode pembatasan berlangsung. </p>
<p>Pada skenario karantina wilayah, pemenuhan kebutuhan pokok diberikan sebagai kompensasi kepada semua yang terdampak pada satu wilayah. Dengan kompensasi yang lebih inklusif tersebut, kepatuhan bisa tercipta karena pemerintah menjamin tersedianya kebutuhan pokok selama berlangsungnya karantina. </p>
<p>Dengan kombinasi regulasi CAC dan ekonomi ini, kemungkinan penolakan publik sewaktu pemerintah menerapkan keputusan seekstrim karantina wilayah juga dapat diminimalisasi.</p>
<p>Sayangnya, meski pilihan regulasi cerdas tersebut selama ini tersedia, pemerintah urung mengambil kebijakan yang di banyak negara terbukti <a href="https://www.uwa.edu.au/news/article/2020/november/study-confirms-strict-lockdown-most-effective-against-spread-of-covid">paling efektif</a> menurunkan penularan itu. </p>
<p>Ketimbang bereksperimen pada kebijakan-kebijakan baru yang belum memiliki basis bukti, pemerintah sebaiknya menerapkan pilihan kebijakan karantina wilayah dengan mengandalkan pendekatan <em>smart regulation</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165260/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Auditya Firza Saputra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Karantina wilayah bukan hanya efektif menurunkan penularan, tapi juga membentuk perilaku patuh masyarakat.Auditya Firza Saputra, Peneliti, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1645562021-07-15T08:28:00Z2021-07-15T08:28:00ZSLAPP: senjata ampuh korporasi dan oknum aparat bungkam masyarakat lewat proses peradilan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/411428/original/file-20210715-13-13dt49g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/7xTU4dGXyYU4ZiSBIHesJN?theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Dalam menghadapi aktivis dan kritik masyarakat, korporasi dan oknum aparat seringkali mengandalkan pendekatan manipulatif yang disebut <a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/SLAPP%20suit"><em>Strategic Lawsuit Against Public Participation</em> (SLAPP)</a>.</p>
<p>Di sini, korporasi melawan balik aktivis dan masyarakat lewat tuntutan hukum yang kerap kali tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diperjuangkan – tujuannya adalah mengintimidasi mereka dengan memanfaatkan proses pengadilan yang panjang sekaligus mengalihkan perhatian publik dari aktivisme yang dilakukan.</p>
<p>Praktik SLAPP bisa menjerat siapa saja, dari <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon">masyarakat umum</a>, awak media, <a href="https://regional.kompas.com/read/2018/10/25/16542351/kronologi-guru-besar-ipb-digugat-rp-510-miliar-hingga-munculnya-petisi-bela?page=all">akademisi</a>, hingga pejuang lingkungan.</p>
<p>Beberapa tahun lalu, misalnya, aktivis lingkungan Budi Pego menentang aktivitas tambang <a href="https://bisnis.tempo.co/read/452561/tambang-emas-tumpang-pitu-mulai-produksi-pada-2014">PT Bumi Suksesindo (BSI)</a> di Banyuwangi, Jawa Timur karena berbagai <a href="https://regional.kompas.com/read/2016/08/20/08010831/ini.komentar.bupati.banyuwangi.soal.banjir.lumpur.di.pantai.pulau.merah">dampak buruknya terhadap lingkungan</a>. Namun, ia justru dikriminalisasi oleh perusahaan tersebut dengan <a href="https://theconversation.com/mengapa-jokowi-dan-prabowo-diam-soal-budi-pego-aktivis-lingkungan-yang-dituduh-komunis-105826">tuduhan menyebarkan komunisme</a> lewat simbol palu arit – meski dalam pengadilan tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan.</p>
<p>Untuk memahami lebih dalam tentang praktik SLAPP, Kepala Editorial kami Ika Krismantari berbicara dengan Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif di <a href="https://www.instagram.com/icel_indo/?hl=en">Indonesian Center for Environmental Law</a> (ICEL), dan Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional di organisasi nirlaba lingkungan hidup <a href="https://www.instagram.com/walhi.nasional/?hl=en">WALHI</a>.</p>
<p>Mereka menceritakan asal-usul praktik SLAPP, beragam kasus janggal yang menimpa aktivis, pengalaman mendampingi korban, bagaimana SLAPP bisa menjerat masyarakat umum yang menggunakan media sosial, hingga perbaikan sistem hukum untuk melindungi warga dari SLAPP.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di podcast <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=30bU-zTSQDmJk_sw2sZluw&dl_branch=1">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/164556/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Dalam menghadapi aktivis dan kritik masyarakat, korporasi dan oknum aparat seringkali mengandalkan pendekatan manipulatif yang disebut Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1630112021-07-02T09:01:23Z2021-07-02T09:01:23Z“Nikahin aja!”: penanganan kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual selama ini belum fokus pada pemulihan dan hak korban<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/409456/original/file-20210702-23-o59ddi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1581316513">(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa saat yang lalu, masyarakat dihebohkan berita anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi bernama Amri Tanjung (21 tahun) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2021/05/25/14295401/anak-anggota-dprd-bekasi-tersangka-pemerkosa-remaja-berniat-nikahi-korban?page=all">pemerkosaan dan eksploitasi secara seksual</a> seorang anak perempuan di bawah umur.</p>
<p>Kontroversi juga muncul karena pelaku berniat menghapus kesalahannya dengan cara menikahkan korban.</p>
<p>Kasus seperti itu bukan yang <a href="https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/naskah-akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual">pertama</a> <a href="https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/naskah-akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual">kali terjadi</a>.</p>
<p>Kekerasan seksual menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial, serta berdampak pada penderitaan fisik dan psikologis. Korban juga terpapar risiko terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi penyakit menular seksual.</p>
<p>Dengan berbagai risiko berlapis dan berjangka panjang, korban dan keluarganya membutuhkan sistem <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">penanganan, perlindungan, dan pemulihan</a> yang berkualitas.</p>
<p>Solusi menikahkan korban dengan pelaku tidak hanya merampas korban dari berbagai hak yang dimilikinya, tapi juga menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia belum memihak pada korban kekerasan seksual.</p>
<h2>Mengabaikan hak korban</h2>
<p>Dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia, menikahkan pelaku dan korban adalah hal yang sering terjadi.</p>
<p>Berdasarkan rangkaian studi <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">Barometer Kesetaraan Gender Tahun 2020</a> dari <em>Indonesian Judicial Research Society</em> (IJRS) yang salah satunya berbicara dengan 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, hanya terdapat 19,2% kasus di mana pelaku dipenjara.</p>
<p>Sebanyak 26.2% korban kekerasan seksual dalam berbagai kasus tersebut justru dinikahkan dengan pelaku sebagai penyelesaian kasus – sisanya bahkan tidak mendapatkan penyelesaian masalah di mana pelaku hanya membayar sejumlah uang.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/6613055/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:350px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/6613055/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/6613055" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Hal ini dilakukan dengan <a href="https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/naskah-akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual">dalih yang beragam</a>, dari menutup aib keluarga, agar anak yang dilahirkan memiliki ayah, hingga menghindari tanggung jawab pidana.</p>
<p>Padahal, menikahkan korban dengan pelaku berpotensi menimbulkan kekerasan yang berulang bagi korban, baik secara emosional, fisik, maupun seksual, serta merampas hak korban untuk memulihkan dirinya.</p>
<p>Alih-alih fokus pada pemulihan dan kebutuhan korban, solusi pernikahan justru mengkerdilkan kekerasan dan trauma yang dialami korban.</p>
<h2>Kesalahpahaman tentang “<em>restorative justice</em>”</h2>
<p>Survey tahun 2016 yang dilakukan <a href="http://mappifhui.org/2019/06/17/penelitian-konsistensi-putusan-perempuan-masyarakat-pemantau-peradilan-indonesia-fakultas-hukum-universitas-indonesia-mappi-fhui">Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI)</a> menemukan bahwa 51.6% dari sekitar 2000 responden menganggap pernikahan antara pelaku dan korban kekerasan seksual bisa menjadi alasan yang layak untuk meringankan hukuman pelaku.</p>
<p>MaPPI-FHUI juga menemukan bahwa banyak putusan hakim menggunakan alasan tersebut sebagai landasan untuk meringankan hukuman – seakan kerugian yang dialami korban sebagian terhapuskan dengan terjadinya pernikahan.</p>
<p>Di sini, masih ada anggapan yang keliru terkait <em>restorative justice</em> (keadilan restoratif), yakni konsep keadilan berbasis pemulihan hak yang sering digaungkan oleh aparat penegak hukum.</p>
<p>Nampaknya, mereka mendefinisikan konsep tersebut hanya sebatas pada upaya penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan.</p>
<p>Padahal, menurut European Forum for Restorative Justice, <a href="https://www.euforumrj.org/sites/default/files/2020-11/Thematic%20Brief%20on%20Restorative%20Justice%20and%20Sexual%20Violence.pdf">keadilan restoratif</a> sesungguhnya adalah pendekatan yang berpusat pada pemulihan atas kerugian yang disebabkan oleh kejahatan tindak pidana. </p>
<p>Artinya, menikahkan korban dengan pelaku justru bertentangan dengan konsep keadilan restoratif karena tidak menghadirkan keadilan dan kepastian hukum yang muncul melalui proses hukum.</p>
<p>Bahkan, jalan pintas ini cenderung tidak memberi ruang dialog antara kedua pihak sehingga membungkam suara korban.</p>
<p>Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif pada kasus kekerasan seksual <a href="https://icjr.or.id/icjr-ijrs-dan-leip-sayangkan-pernyataan-menko-polhukam-tentang-restorative-justice-pada-kasus-perkosaan/">harus fokus melakukan setidaknya tiga hal</a>: memberikan ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugian yang dialami, membuat pelaku menyadari dampak dari kesalahannya, untuk pelaku kemudian menjalani konsekuensinya secara hukum.</p>
<p>Di Indonesia, belum ada cetak biru yang jelas dari pemerintah terkait penerapan keadilan restoratif pada kasus kekerasan seksual. </p>
<p>Namun, negara lain sudah menerapkannya dengan praktik yang beda-beda – ada yang dilakukan setelah pelaku dipidana ataupun bersamaan dengan proses pengadilan hukum pelaku.</p>
<p>Di Arizona, Amerika Serikat (AS), misalnya, ada <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0886260513511537">sebuah program bernama RESTORE</a>, yaitu praktik keadilan restoratif berbentuk konferensi (duduk bersama) yang ditujukan bagi kejahatan seksual yang dilakukan orang dewasa.</p>
<p>Dalam program ini, jaksa memberi rujukan, meminta persetujuan, dan akhirnya memfasilitasi korban dan pelaku agar bertemu dalam pertemuan yang aman dan konstruktif. Proses ini berjalan bersamaan dengan proses pengadilan secara terintegrasi sampai pelaku menyelesaikan masa tahanan.</p>
<p>Inti dari RESTORE adalah ganti rugi yang harus dilakukan pelaku terhadap korban.</p>
<p>Pelaku dipastikan harus menaati perjanjian saat konferensi untuk membayar ganti rugi dan permintaan lain korban, misalnya untuk tidak mengontak korban atau tidak mengunjungi korban setelah keluar tahanan, mengikuti konseling, dan seterusnya.</p>
<p>Dalam studi yang sama dari IJRS sebelumnya, misalnya, <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">mayoritas masyarakat (56.8%)</a> Indonesia berpendapat bahwa hukuman yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual bukan hanya penjara tapi juga pembayaran ganti rugi terhadap korban.</p>
<p>Namun, kita harus ingat bahwa penerapan unsur keadilan restoratif seperti ini juga tidak selalu cukup untuk memulihkan hak korban, terutama jika agenda utamanya adalah perdamaian antara kedua belah pihak – suatu cara berpikir yang masih kental dalam masyarakat Indonesia. </p>
<p>Misalnya, konferensi <a href="https://doi.org/10.1093/bjc/azn013">rentan menimbulkan reviktimisasi</a> – di mana korban kembali mengalami trauma dan kekerasan selama proses hukum – apalagi bila pelaku tidak kooperatif dan fasilitator tidak bijak dalam mengawasi pihak yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut. Ada juga risiko di mana korban justru mendapat beban psikologis untuk memaafkan pelaku sehingga tujuan pemulihan tidak lagi berperspektif kebutuhan korban.</p>
<p>Oleh karena itu, konferensi seperti ini pun harus difasilitasi oleh pekerja sosial, penegak hukum, dan konselor terlatih.</p>
<h2>Negara bertanggungjawab mengutamakan pemulihan dan kebutuhan korban</h2>
<p>Berbagai hal di atas menunjukkan sistem peradilan pidana belum memberi penanganan yang efektif dan mudah diakses bagi korban kekerasan seksual.</p>
<p>Pada akhirnya, <a href="http://www.jstor.org/stable/j.ctt1ws7wbh.16">lebih dari 80% korban</a> sama sekali tidak terlibat dalam sistem peradilan pidana. </p>
<p>Penanganan kasus kekerasan seksual seharusnya lebih berpihak pada korban, keluarga korban, dan saksi. Penanganan juga harusnya dibarengi dengan <a href="https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/13-pertanyaan-kunci-tentang-pemulihan-makna-luas">sistem perlindungan, pendampingan, dan pemulihan</a> yang komprehensif dan berkelanjutan.</p>
<p>Di sini, negara lewat perangkat hukum dan aparat penegak hukum merupakan <a href="https://inlis.kemenpppa.go.id/opac/detail-opac?id=3298">aktor yang sangat penting</a> karena memiliki kewenangan dan kemampuan dalam memberikan jaminan keamanan bagi korban.</p>
<p>Kepolisian yang merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual, misalnya, harus tegas dalam menindaklanjuti laporan kasus.</p>
<p>Mereka harus menghindari memberikan saran agar korban berdamai – bahkan menikah dengan pelaku – dan sebaliknya merujuk korban mendapatkan layanan medis dan psikologis yang layak, dan memberikan hak-haknya agar akses keadilan bagi korban dapat terwujud.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163011/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Solusi menikahkan korban dan pelaku tidak hanya merampas korban dari berbagai hak yang dimilikinya, tapi juga menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia belum memihak pada korban kekerasan seksual.Bestha Inatsan Ashila, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Marsha Maharani, Research Assistant, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1580812021-05-21T06:57:16Z2021-05-21T06:57:16ZMenilik konsep “consent” dalam ilmu hukum: benarkah mendorong hubungan seks di luar pernikahan?<p>Konsep persetujuan dalam hubungan, atau lebih populer disebut “<em>consent</em>”, saat ini banyak dihubungkan dengan kebebasan melakukan hubungan seksual di luar nikah.</p>
<p>Gencarnya kampanye pentingnya <em>consent</em> dalam hubungan seksual, termasuk dalam <a href="https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf">Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)</a> dianggap beberapa kelompok masyarakat sebagai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53251392">upaya melegalkan hubungan seks</a> yang berisiko di kalangan anak muda.</p>
<p>Mereka khawatir, misalnya, bahwa masuknya asas tersebut dalam hukum terkait hubungan seksual akan menyuburkan perzinahan, penularan penyakit seksual, dan kehamilan yang tidak direncanakan.</p>
<p>Bagaimana sebenarnya konsep <em>consent</em> dari sudut pandang ilmu hukum, dan benarkah hal ini memicu maraknya perilaku seks di luar pernikahan atau yang melanggar hukum?</p>
<h2>Konsep <em>consent</em> dalam ilmu hukum</h2>
<p>Konsep <em>consent</em> secara umum dapat diartikan sebagai <a href="https://link.springer.com/book/10.1057/9780230505933">pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan</a> (<em>voluntary agreement</em>).</p>
<p>Filsuf Amerika Serikat (AS), <a href="https://global.oup.com/academic/product/the-ethics-of-consent-9780195335149?cc=id&lang=en&">John Kleinig</a> menjelaskan bahwa konsep perjanjian atau <em>consent</em> muncul sejak zaman Renaissance Eropa di abad ke-15 dari pemikiran bahwa tiap individu harus menjaga kedamaian sosial dengan tidak melakukan hal yang merugikan orang lain hanya untuk keuntungan diri sendiri.</p>
<p>Sejak itu, konsep <em>consent</em> berkembang di berbagai bidang ilmu dan bisa mengacu pada persetujuan di berbagai hal, tidak terbatas hanya dalam hubungan seksual.</p>
<p>Misalnya, <em>consent</em> menjadi salah satu syarat membuat sebuah perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/func-download/3348/chk,ec0f975746e4f1cd5e42a456de851d6b/no_html,1/">Kitab Undang-Undang Perdata</a> di Indonesia. Dalam konteks lain, <em>consent</em> juga digunakan untuk menyatakan secara hukum <a href="http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Permenkes_No._290_Tahun_2009_tentang_Persetujuan_Tindakan_Kedokteran_.pdf">kesediaan pasien terkait tindakan medis</a> yang akan dilakukan dokter.</p>
<p>Dalam ilmu hukum, <em>consent</em> memegang peran yang penting dalam mengubah hubungan hukum di antara dua orang atau lebih.</p>
<p>Sebagai contoh, jika Anda meminta izin untuk meminjam buku milik orang lain dan mereka menyetujui, Anda bisa membawa pulang buku tersebut – sehingga terjadi hubungan pinjam meminjam. Namun, apabila orang tersebut tidak menyetujui dan Anda tetap nekat mengambilnya, maka Anda dianggap telah melakukan pencurian.</p>
<p>Dari contoh di atas, persetujuan dari pemilik buku memiliki kekuatan untuk mengubah sifat hubungan diantara kedua pihak sehingga Anda tidak dianggap melanggar hukum.</p>
<p>Hal inilah yang kemudian menjadi alasan timbulnya berbagai asumsi bahwa dengan memberikan <em>consent</em> untuk melakukan suatu hal, maka hal tersebut secara otomatis menjadi legal.</p>
<p>Dalam konteks hubungan seksual, banyak orang menjadi berpikir bahwa seks di luar pernikahan akan dianggap “dibenarkan” selama kedua belah pihak sepakat atau memberikan <em>consent</em>.</p>
<p>Tapi, benarkah demikian?</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/401808/original/file-20210520-21-1xsymep.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Konsep <em>consent</em> berkembang di berbagai bidang ilmu dan bisa mengacu pada persetujuan di berbagai hal, tidak terbatas hanya dalam hubungan seksual.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/id/photos/setuju-inggris-persetujuan-kontrak-1728448/">(Pixabay/Catkin)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Syarat berlaku <em>consent</em> dalam hubungan seksual</h2>
<p>Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam melihat apakah persetujuan atau <em>consent</em> dalam hubungan seksual berlaku secara hukum.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, <em>consent</em> hanya dapat diberikan oleh seseorang yang dinyatakan sudah dewasa dan <a href="https://www.routledge.com/Leaky-Bodies-and-Boundaries-Feminism-Postmodernism-and-Bioethics/Shildrick/p/book/9780415146173">memiliki kapasitas</a>. </p>
<p>Jika belum mencapai usia kedewasaan tertentu, seseorang dianggap belum mampu memutuskan secara rasional dan bertanggung jawab terhadap persetujuan yang ia berikan.</p>
<p>Dalam konteks hubungan seksual, ilmu hukum dan psikologi mengenal adanya istilah “<em>age of consent</em>” – atau batas usia minimal seseorang dapat menyetujui untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual.</p>
<p>Batasan usia ini <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/J056v16n02_03">berbeda-beda antar negara</a>, dan ditentukan oleh berbagai faktor dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1300/J056v16n02_03">usia pubertas</a> hingga asumsi kedewasaan berpikir.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/why-the-age-of-sexual-consent-continues-to-be-a-worldwide-challenge-94334">Why the age of sexual consent continues to be a worldwide challenge</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Di Indonesia sendiri, <em>age of consent</em> tidak diatur secara terperinci. Pasal 287 <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/func-download/2453/chk,fb2ab5f3a0086c60c412abdda9e1e569/no_html,1/">Kitab Undang-Undang Hukum Pidana</a> hanya mengatakan bahwa anak di bawah 15 tahun dilarang melakukan hubungan seksual.</p>
<p>Meskipun demikian, menurut Pasal 330 <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/func-download/3348/chk,ec0f975746e4f1cd5e42a456de851d6b/no_html,1/">Kitab Undang-Undang Hukum Perdata</a>, usia kedewasaan berdasarkan hukum Indonesia biasanya dilihat dari dua hal: a) apakah sudah berusia setidaknya 21 tahun; atau b) apakah sudah pernah menikah.</p>
<p>Misalnya, jika sepasang remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) sepakat untuk melakukan hubungan seksual, konsep <em>consent</em> tidak membenarkan tindakan tersebut karena mereka dianggap belum mencapai usia dan rasionalitas yang memadai untuk memahami konsekuensi perbuatannya.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, <em>consent</em> tidak menghalalkan tindakan apapun yang melanggar hukum.</p>
<p>Ini bisa dilihat, misalnya, ketika seseorang menggunakan jasa pekerja seks. </p>
<p>Meskipun kedua pihak memberikan <em>consent</em> dan cukup umur untuk melakukan hubungan seksual, aktivitas tersebut tetap dilarang oleh hukum – yakni Pasal 2 ayat 1 <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/29441/UU%20Nomor%2021%20Tahun%202007.pdf">Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007</a> tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, <em>consent</em> hanya dapat diberikan jika seseorang benar-benar memahami berbagai risiko dari situasi yang sedang dihadapinya.</p>
<p>Seseorang yang dibohongi atau diancam untuk bersedia melakukan hubungan seksual tidak bisa dianggap telah memberikan persetujuan.</p>
<p>Dalam hal ini, <em>consent</em> justru bertindak sebagai pagar dan pelindung bagi setiap orang yang terlibat dalam hubungan seksual. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu jika dia tidak menghendakinya.</p>
<h2>Sikap yang seharusnya diambil</h2>
<p>Berangkat dari hal tersebut, penting untuk memahami bahwa inti dari konsep <em>consent</em> justru terletak pada peningkatan dan penghargaan terhadap harkat martabat manusia.</p>
<p>Otonomi yang diberikan dalam konsep <em>consent</em> bukan bertujuan untuk memberi kebebasan mutlak pada individu untuk melakukan apapun, namun untuk memberikan perlindungan terhadap hal-hal yang mungkin merugikan mereka.</p>
<p>Oleh karena itu, pandangan yang berkembang saat ini harus diperbaiki.</p>
<p>Apabila masyarakat memiliki keprihatinan terkait maraknya seks berisiko, penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tidak direncanakan di kalangan anak muda, alih-alih menyalahkan konsep <em>consent</em>, kita justru harus melakukan evaluasi pada <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000265866">edukasi seks</a> yang diberikan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/akademisi-sarankan-cara-tepat-mengajarkan-pendidikan-seks-untuk-anak-di-indonesia-122627">Akademisi sarankan cara tepat mengajarkan pendidikan seks untuk anak di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Orang tua dan institusi pendidikan perlu mengevaluasi apakah mereka sudah memberikan pendampingan yang memadai untuk membantu para remaja mengambil keputusan, tanpa memberikan penghakiman.</p>
<p>Selain itu, pendidikan seks di kalangan remaja juga harus disampaikan dengan menekankan berbagai risiko maupun tanggung jawab dari hubungan seksual, serta relasi-kuasa dalam suatu hubungan dan bagaimana cara menghadapinya.</p>
<p>Hal inilah yang justru akan menjadikan anak muda Indonesia mampu menghargai dirinya sendiri dan memahami resiko untuk setiap pilihan yang diambilnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/158081/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kartika Paramita tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana sebenarnya konsep consent dari sudut pandang ilmu hukum, dan benarkah hal ini memicu maraknya perilaku seks di luar pernikahan atau yang melanggar hukum?Kartika Paramita, Lecturer of Law Studies, Universitas Prasetiya MulyaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1573272021-04-16T03:25:44Z2021-04-16T03:25:44ZPerempuan dan anak masih kesulitan ketika berurusan dengan hukum; pedoman baru bagi jaksa bisa membantu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/392506/original/file-20210330-21-1dxaazw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=35%2C0%2C4000%2C2664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Didik Suhartono/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Perempuan dan anak-anak Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum dan menjalani proses hukum.</p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2017/04/05/07100021/survei.bps.satu.dari.tiga.perempuan.indonesia.pernah.jadi.korban.kekerasan?page=all">Sepertiga perempuan Indonesia</a> berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual baik dilakukan oleh pasangan maupun selain pasangan selama hidupnya. </p>
<p>Mayoritas mereka <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender">tidak melaporkan</a> kekerasan yang mereka alami kepada penegak hukum. Mereka yang melapor, masih harus menghadapi diskriminasi dalam dunia peradilan.</p>
<p>Bulan lalu, Kejaksaan Republik Indonesia meluncurkan <a href="https://kumparan.com/kumparannews/jaksa-agung-soroti-diskriminasi-terhadap-perempuan-dan-anak-dalam-kasus-pidana-1vK0pTh8R25">pedoman baru bagi jaksa</a> dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku. Pedoman ini diharapkan menjadi sebagian dari jawaban permasalahan.</p>
<h2>Hambatan bagi perempuan dan anak</h2>
<p>Perempuan <a href="https://www.pearson.com/us/higher-education/program/Merlo-Women-Law-and-Social-Control-2nd-Edition/PGM27466.html">6 kali lebih rentan</a> mengalami kekerasan dibanding laki-laki. <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">Lebih dari 66% </a> korban kekerasan seksual di Indonesia adalah perempuan.</p>
<p>Sayangnya, sebagian besar kasus kekerasan ini tidak dilaporkan kepada kepolisian. </p>
<p>Menurut laporan tahun lalu dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) - organisasi masyarakat sipil yang fokus pada advokasi kebijakan pembangunan - dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang fokus pada advokasi hukum, dalam kasus kekerasan seksual, mayoritas korban tidak melapor karena <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">alasan takut, merasa bersalah, dan malu</a>. </p>
<p>Dalam berbagai kasus kekerasan seksual, sebagian besar korban tidak mendapatkan penyelesaian kasus. Kasus justru diselesaikan dengan cara pelaku membayar sejumlah uang kepada korban, pelaku menikah dengan korban, atau pelaku membuat kesepakatan damai dengan korban.</p>
<p>Korban perempuan dan anak yang melaporkan kasus ke aparat penegak hukum dan menjalani proses hukum justru menghadapi berbagai permasalahan dalam hal substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. </p>
<h2>1. Stereotip dan menyalahkan korban</h2>
<p>Perempuan kerap dianggap sebagai <a href="http://lib.ui.ac.id/detail?id=86592">penyebab terjadinya tindak kejahatan</a>, misalnya karena cara berpakaiannya, bahasa tubuh yang dianggap menggoda, atau karena keberadaannya pada waktu dan lokasi tertentu. </p>
<p>Masyarakat juga kerap menyalahkan perempuan karena tidak melakukan perlawanan, mudah dibujuk oleh pelaku, bahkan adanya anggapan bahwa perempuan menikmati perbuatan pelaku.</p>
<p>Temuan INFID-IJRS menegaskan hal ini; ada anggapan dalam masyarakat yang menyalahkan korban (<em>victim blaming</em>). Misalnya menganggap korban berperilaku genit, menggunakan pakaian terbuka, suka foto dengan pakaian yang seksi, sering keluar malam, dan bermacam alasan lainnya yang cenderung menyalahkan perempuan. </p>
<p>Mayoritas masyarakat juga berpendapat bahwa jika pelaku bersedia menikahi korban, maka hukuman bagi pelaku dapat diringankan. Pertimbangan ini bahkan diadopsi <a href="http://mappifhui.org/2016/12/08/kekerasan-seksual-di-indonesia-data-fakta-realita/">dalam putusan-putusan hakim</a>.</p>
<p>Dalam pemeriksaan di peradilan, tak jarang perempuan menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang merendahkan dan luput dalam menggali dampak psikis dan sosial. </p>
<p>Selain itu, pertimbangan terkait <a href="http://mappifhui.org/2018/01/31/pedoman-mengadili-perkara-perempuan-berhadapan-dengan-hukum/">riwayat seksual perempuan</a> juga masih ditemukan dalam putusan hakim. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-perempuan-miskin-enggan-melaporkan-kdrt-ke-pihak-berwenang-106495">Mengapa perempuan miskin enggan melaporkan KDRT ke pihak berwenang?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2. Tidak ada pendamping</h2>
<p>INFID-IJRS masih menemukan aparat penegak hukum yang tidak mengakui atau tidak mengizinkan adanya pendamping korban selama proses hukum. </p>
<p>Padahal, hak atas pendamping sudah dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf">UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)</a>, <a href="https://peduliwni.kemlu.go.id/app/download/referensi/UU_no_11_th_20121.pdf.html">UU Sistem Peradilan Pidana Anak</a>, atau <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&Itemid=46&func=fileinfo&id=3994">Peraturan Mahkamah Agung No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum</a>. </p>
<p>Pendamping memiliki <a href="https://inlis.kemenpppa.go.id/opac/detail-opac?id=3309">peran yang signifikan</a>; keberadaan pendamping mempermudah jalannya proses persidangan, mendukung keberanian korban sehingga korban merasa lebih percaya diri dalam proses hukum dan persidangan yang penuh tekanan. </p>
<p>Pendamping yang dimaksud bukan hanya terkait pendampingan hukum tapi juga <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&Itemid=46&func=fileinfo&id=3994">non-hukum</a> seperti misalnya keluarga, psikolog, psikiater, petugas pusat pelayanan pendampingan perempuan dan anak, penerjemah, maupun orang yang dipercaya.</p>
<h2>3. Putusan belum menyentuh keadilan restoratif</h2>
<p><a href="http://mappifhui.org/2016/12/08/kekerasan-seksual-di-indonesia-data-fakta-realita/">Rata-rata hukuman</a> yang dijatuhkan hakim dalam perkara pemerkosaan adalah 5,3 tahun dan untuk perkara pencabulan rata-rata 3,9 tahun.</p>
<p>Dalam temuan INFID-IJRS pada 2020, mayoritas masyarakat menganggap bahwa hukuman yang perlu diberikan kepada pelaku tidak hanya penjara melainkan juga pembayaran denda atau ganti rugi. </p>
<p>Pemidanaan yang mempertimbangkan pemulihan korban masih masih belum terjadi.</p>
<p>Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melaporkan <a href="https://lpsk.go.id/berita/detailpersrelease/3172">sepanjang 2019</a> mereka telah membantu 105 permohonan restitusi dan 21 kompensasi yang terdiri dari 44 korban perdagangan orang dan 61 korban kekerasan seksual. </p>
<p>Pembayaran ganti kerugian terhadap korban selama ini telah diupayakan, namun masih sangat sedikit terjadi.</p>
<p>Selain tiga permasalahan di atas, masih ada lagi permasalahan lain seperti aparat penegak hukum kesulitan dalam pembuktian dan kesulitan dalam menghadirkan korban ke persidangan; penafsiran sempit dalam perundang-undangan; dan belum optimalnya penerapan dari peraturan perundang-undangan, misalnya pidana tambahan pembatasan gerak dan konseling bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf">UU KDRT</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mendorong-langkah-serius-negara-untuk-penghapusan-kekerasan-seksual-di-tempat-kerja-141787">Mendorong langkah serius negara untuk penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pedoman untuk jaksa</h2>
<p><a href="https://kumparan.com/kumparannews/jaksa-agung-soroti-diskriminasi-terhadap-perempuan-dan-anak-dalam-kasus-pidana-1vK0pTh8R25">Pedoman baru bagi jaksa</a> dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak dalam mengakses keadilan. </p>
<p>Pedoman ini mengatur berbagai hal, antara lain jaksa atau penuntut umum harus memastikan langkah-langkah yang tepat dalam menangani perkara, seperti menjunjung tinggi hak asasi, martabat, melakukan pemeriksaan tanpa intimidasi dan tidak menyalahkan korban. </p>
<p>Jaksa juga tidak boleh mengeluarkan pertanyaan bersifat seksisme atau menjerat dan yang tidak relevan. Jaksa perlu juga diharapkan dapat menggali kondisi korban seperti keadaan psikologi, relasi kuasa, dan riwayat kekerasan.</p>
<p>Pedoman juga mengatur bahwa korban atau saksi berhak untuk didampingi oleh pendamping baik pekerja sosial, LPSK, keluarga, kuasa, psikiater, atau pendamping lainnya. </p>
<p>Pedoman ini bahkan membuka peluang agar dilakukannya pemeriksaan terpisah melalui perekaman elektronik atau pemeriksaan langsung jarak jauh apabila ada cukup alasan karena kesehatan, keamanan, keselamatan, atau alasan sah lainnya.</p>
<p>Lebih lanjut, jaksa juga dapat meminta hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembatasan gerak pelaku dan program konseling dalam perkara KDRT. </p>
<p>Ke depannya, Kejaksaan diharapkan dapat melakukan langkah lanjutan untuk memastikan penerapan pedoman tersebut. Kejaksaan harus melakukan sosialisasi dan pelatihan, memberikan penilaian prestasi dan angka kredit bagi jaksa yang mengimplementasikan pedoman, serta melakukan pengawasan dan evaluasi berkala. </p>
<p>Masyarakat umum dapat berperan dalam memantau penerapan pedoman serta mendorong koordinasi lebih kuat antara Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kepolisian, LPSK, dan lembaga penyedia layanan pendampingan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157327/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bestha Inatsan Ashila bekerja di IJRS yang melakukan advokasi dan mengasistensi Kejaksaan dalam penyusunan Pedoman No. 1 Tahun 2021</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kharisanty Soufi Aulia bekerja di IJRS yang melakukan advokasi dan mengasistensi Kejaksaan dalam penyusunan Pedoman No. 1 tahun 2021</span></em></p>Pedoman baru bagi jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan mereka hadapi dalam mengakses keadilan.Bestha Inatsan Ashila, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Kharisanty Soufi Aulia, Researcher, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1539802021-02-01T08:17:10Z2021-02-01T08:17:10ZApakah International Criminal Court bisa mengadili kasus penembakan anggota FPI?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/381278/original/file-20210129-13-jps8xn.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=48%2C221%2C1554%2C1023&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung International Criminal Court di Den Haag, Belanda.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:International_Criminal_Court_building_(2016)_in_The_Hague.png">Wikimedia Commons</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Apakah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/01/08/16540931/temuan-komnas-ham-ada-pelanggaran-ham-oleh-aparat-dalam-tewasnya-4-laskar">tewasnya</a> enam anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional (<em>International Criminal Court</em> atau ICC)? </p>
<p>Pada bulan Januari lalu, tim hukum Front Pembela Islam (FPI) mengatakan mereka telah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210122171637-12-597298/tim-hukum-klaim-laporan-fpi-diterima-mahkamah-internasional">melaporkan</a> peristiwa itu ke ICC.</p>
<p>Sebelumnya Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengumumkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa tewasnya enam anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek, Jawa Barat itu.</p>
<p>Hasil investigasi Komnas HAM menyatakan bahwa empat anggota FPI tewas tertembak dalam pembunuhan di luar hukum. Komnas HAM berkesimpulan demikian karena aparat polisi menembak mereka tanpa lebih dulu berupaya menghindari bertambahnya korban.</p>
<p>Perlu kita pahami bersama bahwa ICC bukan <em>“court of the world”</em> yang dapat mengadili semua kasus yang dilaporkan kepadanya. </p>
<p>Lebih lanjut, ada tiga persyaratan yang berlaku dan harus terpenuhi agar ICC dapat menindaklanjuti laporan kasus penembakan tersebut. Semua syarat itu sejauh ini tidak dapat terpenuhi. </p>
<h2>1. Kejahatan tidak dapat diadili ICC</h2>
<p>ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma, yaitu sebuah perjanjian yang disepakati pada 1998 sebagai upaya untuk mengadili kejahatan internasional dan memutus rantai impunitas - keadaan ketika pelaku kejahatan internasional tidak dapat dipidana atau lepas dari hukuman.</p>
<p>Menurut <a href="http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf">Statuta Roma</a>, lingkup kekuasaan hukum (yurisdiksi) ICC terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan.</p>
<p>Dalam hal ini, ICC hanya berwenang untuk mengadili empat jenis kejahatan, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang , dan kejahatan agresi.</p>
<p>Keempat kejahatan ini mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dilakukan dalam skala yang meluas atau masif dengan cara yang sistematis. </p>
<p>Lebih spesifik lagi, kejahatan genosida memiliki sifat khusus untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, atau agama.</p>
<p>Dalam kasus penembakan anggota FPI, tidak ada perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan atau memusnahkan salah satu dari empat kelompok tersebut. </p>
<p>Sementara itu, kejahatan terhadap kemanusiaan mengharuskan adanya suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil. </p>
<p>Dengan kata lain, satu kejadian yang berdiri sendiri tidak bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. </p>
<p>Dalam kasus FPI, tidak ada penyerangan yang demikian luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. </p>
<p>Terakhir, kasus penembakan FPI bukan merupakan kejahatan perang atau pun kejahatan agresi karena penembakan tersebut bukan terjadi dalam konteks konflik bersenjata atau pun dalam konteks penggunaan kekuatan bersenjata terhadap negara lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-muhammadiyah-ke-fpi-bagaimana-aktivis-islam-moderat-berubah-menjadi-radikal-151194">Dari Muhammadiyah ke FPI: bagaimana aktivis Islam moderat berubah menjadi radikal</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2. Mekanisme pelaporan tidak terpenuhi</h2>
<p>Syarat kedua adalah <em>trigger of jurisdiction</em> yaitu mekanisme penyampaian laporan dengan maksud memohon kepada ICC untuk melaksanakan yurisdiksinya, yang dapat terpenuhi dengan adanya salah satu dari tiga cara. </p>
<p>Cara pertama adalah jika negara Indonesia menjadi Negara Anggota dari <a href="https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/add16852-aee9-4757-abe7-9cdc7cf02886/283503/romestatuteng1.pdf">Statuta Roma</a> yang kemudian secara resmi melaporkan kasus penembakan FPI ke ICC. </p>
<p>Cara kedua adalah jika negara Indonesia mengajukan “Deklarasi Pasal 12(3)” Statuta Roma atas kasus penembakan tersebut. </p>
<p>Deklarasi ini dimaksudkan bagi negara yang bukan Negara Anggota tetap Statuta Roma, akan tetapi di sisi lain masih membutuhkan bantuan ICC untuk mengambil alih kasus-kasus tertentu. </p>
<p>Deklarasi ini bersifat sementara, artinya, ICC hanya akan memiliki yurisdiksi atas kasus yang dilaporkan dalam Deklarasi sampai penanganan kasus selesai. </p>
<p>Cara ketiga adalah jika Dewan Keamanan (DK) PBB melaporkan kasus penembakan FPI ke ICC karena kasus tersebut ditemukan telah mengancam atau melanggar perdamaian, atau merupakan perbuatan agresi sesuai dengan <a href="https://www.un.org/en/sections/un-charter/un-charter-full-text/">Piagam PBB</a> dan <a href="http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf">Statuta Roma</a>. </p>
<p>Pada saat ini, tidak ada satu pun cara di atas yang terpenuhi. </p>
<p>Indonesia tidak pernah menandatangani serta meratifikasi Statuta Roma ataupun mengajukan “Deklarasi Pasal 12(3)”. </p>
<p>Dalam sejarah ICC, DK PBB hanya pernah melaporkan dua kasus ke ICC yaitu, kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang yang diduga telah terjadi di <a href="https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/85febd1a-29f8-4ec4-9566-48edf55cc587/283244/n0529273.pdf">Sudan pada tahun 2005</a> dan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang diduga telah terjadi di <a href="https://www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/081A9013-B03D-4859-9D61-5D0B0F2F5EFA/0/1970Eng.pdf">Libya pada tahun 2011</a>. </p>
<p>Dapat disimpulkan bahwa DK PBB hanya melaporkan <strong>dugaan kejahatan internasional</strong> ke ICC. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/upaya-pemerintah-membatasi-kebebasan-sipil-dalam-tarik-ulur-perpanjangan-izin-fpi-128462">Upaya pemerintah membatasi kebebasan sipil dalam tarik ulur perpanjangan izin FPI</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>3. Kasus tidak dapat diterima</h2>
<p>Syarat ketiga terkait aturan “dapat diterima atau tidaknya suatu kasus” yang diatur dalam Pasal 17 Statuta Roma atau kerap disebut sebagai <em>admissibility clause</em>. </p>
<p>Yurisdiksi merupakan persoalan apakah ICC memiliki <strong>kuasa</strong> untuk mengadili kasus yang bersangkutan, sedangkan <em>admissibility</em> merupakan persoalan apakah ICC <strong>harus</strong> mengadili kasus tersebut. </p>
<p>Pada prinsipnya, ICC hanya <strong>diperbolehkan</strong> untuk mengambil alih suatu kasus jika negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut tidak mampu atau tidak berkehendak untuk mengadili.</p>
<p>Asas ini tidak terlepas dari hak setiap negara untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan di dalam wilayahnya sebagaimana yang diakui dalam Pembukaan Statuta Roma.</p>
<p>“Tidak mampu” artinya suatu negara tidak berdaya untuk melaksanakan penegakan hukum yang mungkin disebabkan oleh adanya kekosongan hukum, sumber daya manusia yang tidak memadai, atau tidak mampu untuk mengumpulkan bukti. </p>
<p>“Tidak berkehendak” artinya negara bersangkutan sesungguhnya mampu, namun tidak menunjukkan itikad baik untuk menjalankan proses hukum dengan tujuan mencapai keadilan. </p>
<p>Ini dapat diketahui misalnya dari pemeriksaan perkara pidana yang ditunda-tunda tanpa alasan yang jelas, penolakan dari pihak berwenang untuk menangkap tersangka tanpa alasan yang dapat diterima, keraguan terhadap sikap independen dan imparsial hakim, atau jika terjadi <em>sham trial</em>.</p>
<p><em>Sham trial</em> (pengadilan pura-pura) adalah pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan untuk melindungi kepentingan terdakwa dengan cara memutus terdakwa bersalah namun menjatuhkan hukuman yang ringan dan tidak proporsional dengan tindak pidana yang dilakukannya. </p>
<p>Ini agar terdakwa terlindungi lewat asas <em>ne bis in idem</em> yaitu seseorang tidak dapat dituntut dua kali atas perbuatan yang sama yang sudah mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/nyaris-tidak-ada-penegakan-hukum-yang-berefek-jera-pada-pelaku-ujaran-kebencian-mengapa-151098">Nyaris tidak ada penegakan hukum yang berefek jera pada pelaku ujaran kebencian. Mengapa?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukan ranah ICC</h2>
<p>Syarat yurisdiksi, cara pelaporan, dan penerimaan kasus merupakan syarat-syarat yang berlaku untuk semua laporan kasus yang diterima ICC. </p>
<p>Ketiga syarat tersebut wajib dipertimbangkan dan dinilai oleh Office of the Prosecutor ICC sebagai pihak yang menerima laporan dalam tahap awal sebelum memutuskan apakah akan menindaklanjuti laporan kasus atau tidak. </p>
<p>Dalam kasus tewasnya anggota FPI di tangan aparat, syarat yurisdiksi dan <em>trigger of jurisdiction</em> tidak terpenuhi. </p>
<p>Kalaupun dua syarat itu terpenuhi, ICC tidak boleh mengambil alih kasus ini selama negara Indonesia masih menanganinya sesuai dengan hukum yang berlaku.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/153980/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Devita Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada tiga syarat agar International Criminal Court dapat menindaklanjuti laporan FPI. Semuanya sejauh ini tidak dapat terpenuhi.Devita Putri, Lecturer of Criminal Law, Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1539772021-02-01T07:22:24Z2021-02-01T07:22:24ZBagaimana warga bisa ajukan gugatan hukum terhadap pemerintah terkait banjir di Kalimantan Selatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/380898/original/file-20210127-13-18ex9aq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4000%2C3000&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Foto udara kondisi Pasar Hantakan pascabanjir bandang di Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. </span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Muhammad Nova/Bay/wsj</span></span></figcaption></figure><p>Setelah lebih dari <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20210118143925-4-216867/jokowi-ini-kali-pertama-dalam-50-tahun-kalsel-banjir-besar">50 tahun tidak terjadi banjir bandang</a>, Kalimantan Selatan mengalami banjir besar pada awal tahun ini. </p>
<p>Banjir kali ini menyebabkan <a href="https://bnpb.go.id/berita/-update-10-kabupaten-kota-terdampak-banjir-di-kalimantan-selatan">belasan orang meninggal dunia, sekitar 39 ribu orang mengungsi, serta lebih dari 20 ribu rumah terendam banjir</a>.</p>
<p><a href="https://regional.kompas.com/read/2021/01/19/05550081/menyoal-banjir-di-kalsel-berkurangnya-hutan-primer-hingga-evaluasi-izin?page=all">Organisasi sipil masyarakat</a> (NGO) lingkungan menyatakan bahwa banjir ini akibat kegagalan pemerintah mengawasi perubahan luasan hutan yang masif menjadi perkebunan dan kawasan tambang.</p>
<p>Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa faktor cuaca ekstrem yang mengakibatkan <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1424979/klhk-banjir-kalsel-akibat-cuaca-bukan-karena-luas-hutan-menyusut?page_num=2">turunnya hujan berturut-turut selama 5 hari, dari tanggal 9 hingga 13 Januari 2021</a> adalah penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banjir-bandang-jelang-kemarau-absennya-data-dan-mengapa-sering-berulang-117832">Banjir bandang jelang kemarau: absennya data dan mengapa sering berulang?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Terlepas dari faktor cuaca, para ahli hukum lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) berpendapat bahwa faktor kelalaian pemerintah cukup besar dalam kasus banjir ini dan hal tersebut membuka membuka potensi bagi masyarakat sipil untuk mengajukan tuntutan hukum, baik kepada pemerintah maupun korporasi, atas banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. </p>
<p>Kasus gugatan hukum serupa terkait dengan kerusakan lingkungan pernah diajukan kepada <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49041224">Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan beberapa menteri dalam kabinetnya</a> atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2015. </p>
<p>Tahun 2019, di level kasasi, <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/027e136de41f0f46271a286d2e88db33">Mahkamah Agung</a> menyatakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan beberapa menteri tersebut <a href="https://tirto.id/jokowi-kalah-0-3-lawan-rakyat-di-gugatan-karhutla-bpjs-internet-fEUn">telah melanggar hukum</a> terkait dengan kasus karhulta 2015. </p>
<p>Sebelumnya, <a href="https://jhli.icel.or.id/index.php/jhli/article/view/17">kelompok masyarakat di Samarinda, Kalimantan Timur, juga mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah daerah dan pusat</a> pada tahun 2013 terkait dengan dampak masif pembangkit listrik tenaga batu bara, mulai dari banjir, polusi udara, hingga perubahan iklim. </p>
<p>Berikut penjelasan para ahli hukum lingkungan dan HAM terkait dengan jalur hukum yang bisa ditempuh oleh masyarakat atas banjir di Kalimantan Selatan. </p>
<h2>Asalkan cukup bukti, bisa perdata dan pidana</h2>
<p><strong>Mas Achmad Santosa</strong>, <em>Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia</em></p>
<p>Ada 2 tuntutan hukum yang bisa diambil terkait kasus banjir di Kalimantan Selatan, yaitu melalui jalur perdata dan pidana. </p>
<p>Baik perdata maupun pidana, pengugat harus memiliki cukup bukti dan memenuhi
beberapa persyaratan. </p>
<p>Untuk perdata, siapapun penggugatnya harus menemukan 3 unsur sebagaimana setiap gugatan perbuatan melawan hukum, yaitu memenuhi unsur kesalahan (<em>fault</em>), ada dan berapa nilai kerugiannya (<em>damages</em>), dan sebab-akibat bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan tergugat atau para tergugat (<em>cause and effect</em>). </p>
<p>Penggugat bisa saja menggajukan <em><a href="https://icel.or.id/berita/strict-liability-jurus-ampuh-hukum-lingkungan-menjerat-korporasi-tanpa-buktikan-unsur-kesalahan/">strict liability</a></em> (pertanggungjawaban hukum tanpa pembuktian unsur kesalahan), yang artinya pengajuan kasus tidak membutuhan bukti khusus tetapi tetap harus membuktikan adanya kerugian dan sebab-akibat (kasualitas).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-cipta-kerja-2020-hilangkan-perlindungan-korban-kejahatan-lingkungan-149361">UU Cipta Kerja 2020 hilangkan perlindungan korban kejahatan lingkungan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam konteks banjir Kalimantan Selatan, penggugat untuk mengajukan gugatan perdata bisa saja korban langsung, organisasi lingkungan (LSM), warga negara, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mewakili negara. </p>
<p>Tuntutan dalam gugatan perdata bisa berupa permintaan ganti rugi melalui <em>class action</em> atau gugatan perwakilan kelas (karena korban masal), contohnya <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1d403f83866/gunakan-class-action--warga-daftarkan-gugatan-banjir-ke-pengadilan">gugatan ratusan warga DKI Jakarta terhadap Gubernur DKI Anies Baswedan</a> terkait banjir awal tahun 2020 atau <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/peraturan/detail/11eadc50d6bfe600b747313130333534.html">gugatan biasa</a> (prosedur biasa), misalnya <a href="https://www.mongabay.co.id/2020/03/04/dua-perusahaan-cemari-das-citarum-kena-hukum-rp1626-miliar/">gugatan KLHK terhadap 2 perusahaan pencemar daerah aliran sungai (DAS) Citarum</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051">Explainer: Seperti apa gugatan _class action_ di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain ganti kerugian, para penggugat bisa meminta rehabilitasi lingkungan, hingga meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk pemulihan lingkungan dan antisipasi kerusakan di masa depan. </p>
<p>Untuk penegakan hukum pidana, penyidik harus melakukan penyidikan lebih lanjut, baik menggunakan dasar hukum <a href="https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4b2885a7bc5ad/node/1060/undangundang-nomor-32-tahun-2009">UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup</a>, <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/4.-Hukum-Acara/Kitab-Undang-Undang-Hukum/">KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)</a>, atau peraturan perundangan terkait lainnya. </p>
<p>Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar kasus bisa diproses antara lain ketika kasus tersebut memiliki unsur kesengajaan atau kelalaian (<em><a href="https://www.law.cornell.edu/wex/mens_rea">mens rea</a></em>), perbuatan yang dilakukan sesuai unsur dalam pasal pidana yang disangkakan (<em><a href="https://www.law.cornell.edu/wex/actus_reus">actus reus</a></em>), ada 2 alat bukti yang sah, pengakuan, keterangan saksi, keterangan ahli, dan petunjuk lainnya.</p>
<h2>Ajukan gugatan warga negara</h2>
<p><strong>Raynaldo Sembiring</strong>, <em>Direktur Eksekutif dan peneliti _Indonesian Center for Environmental Law</em> (ICEL) </p>
<p><a href="https://www.mongabay.co.id/2013/06/24/warga-samarinda-ajukan-gugatan-perubahan-iklim-dampak-batubara/">Tahun 2013</a>, kelompok masyarakat yang tergabung dalam “Gerakan Kalimantan Menggugat” di Samarinda, Kalimantan Timur mengajukan gugatan warga negara (<em>citizen lawsuit</em>) terhadap pemerintah pusat (Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), pemerintah daerah (Gubernur Kalimantan Timur dan Walikota Samarinda), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Samarinda.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lemahnya-regulasi-minerba-berpotensi-tingkatkan-angka-korban-tenggelam-di-lubang-bekas-tambang-141487">Lemahnya regulasi minerba berpotensi tingkatkan angka korban tenggelam di lubang bekas tambang</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Saat itu, mereka meminta pertanggungjawaban pemerintah dan perwakilan rakyat untuk melakukan evaluasi dan review terhadap izin-izin dan alih fungsi lahan akibat dari tambang yang menyebabkan banjir, longsor, polusi udara, serta kerusakan lingkungan. </p>
<p>Meski <a href="https://cdn.theconversation.com/static_files/files/1455/putusan_55_pdt.g_2013_pn.smda_20210127.pdf?1611750975">Mahkamah Agung</a> menggagalkan gugatan tersebut pada tahun 2015, namun kasus ini memberikan pembelajaran bagaimana warga bisa memintakan pertanggungjawaban ke negara atau pemerintah dalam mekanisme <em>citizen lawsuit</em> terkait kerusakan lingkungan. </p>
<p>Sebelum mengajukan gugatan jenis ini, masyarakat bisa mengajukan pemberitahuan ke pemerintah. Apabila pemerintah tidak menjalankan, maka warga baru bisa melayangkan gugatan.</p>
<h2>Gugatan atas pemenuhan HAM</h2>
<p><strong>Herlambang P. Wiratraman,</strong> <em>Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga</em></p>
<p>Masyarakat, organisasi lingkungan, atau Warga Negara Indonesia, dapat menggunakan hak hukum mereka untuk menggugat pemerintah Indonesia maupun perusahaan, terkait dampak perubahan iklim.</p>
<p>Kita mengetahui bahwa luasan hutan di Kalimantan (<em>rainforest</em>) <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20210119185255-4-217266/data-klhk-luas-hutan-di-kalsel-turun-62-periode-1990-2019">menyusut dari tahun ke tahun</a> akibat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1427948/greenpeace-penggundulan-hutan-jadi-akar-masalah-banjir-kalsel/full&view=ok">ekspansi perkebunan kelapa sawit maupun tambang</a>. </p>
<p>Masifnya kerusakan hutan karena ekspansi, salah satu akibatnya adalah, menyingkirkan hak-hak masyarakat adat secara sistematis dan warga bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah. </p>
<p>Hak-hak lain yang bisa dituntut, mulai dari hak atas lingkungan hidup, hak atas tempat tinggal yang layak, bagi yang kehilangan pekerjaan bisa menuntut ganti rugi, hak atas kesehatan, dan hak-hak asasi manusia lainnya yang hilang akibat banjir. </p>
<p>Semua ini merupakan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam hukum dasar (<em>constitutional rights</em>). </p>
<p>Apabila mengakibatkan kematian warga, maka <a href="https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf">warga juga bisa meminta pertanggungjawaban hukum negara</a>. </p>
<p>Kegagalan negara melindungi warganya adalah jelas pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana definisi dalam <a href="https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf">Undang-Undang (UU) No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/153977/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Ini kata para ahli hukum lingkungan dan HAM terkait banjir di Kalimantan Selatan.Fidelis Eka Satriastanti, Editor Lingkungan HidupLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1512122021-01-29T06:42:48Z2021-01-29T06:42:48ZRUU PDP masih memiliki banyak kekurangan dibandingkan standar internasional dalam melindungi data pribadi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/377722/original/file-20210108-17-1kk7x7s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/cyber-security-technology-network-3374252/">Pete Linfort/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sebuah <a href="https://www.tifafoundation.id/yayasan-tifa-preliminary-study-a-comparison-of-indonesias-pdp-bill-with-coe-108-and-gdpr/">studi baru</a> yang membandingkan <a href="https://www.antaranews.com/berita/1607946/kenapa-perlu-perlindungan-data-pribadi-">Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP)</a> Indonesia dengan dua regulasi perlindungan data pribadi di Eropa menemukan bahwa RUU PDP memiliki banyak kekurangan jika dibandingkan dengan standar perlindungan data pribadi internasional. </p>
<p>Perbedaan tingkat perlindungan ini terlihat jelas ketika penyedia jasa pesan singkat WhatsApp “<a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210107140044-185-590685/8-poin-kebijakan-privasi-baru-whatsapp-paksa-setor-data-ke-fb">memaksa</a>” semua penggunanya, termasuk pengguna di Indonesia, untuk setuju membagikan data mereka ke perusahaan induk mereka, Facebook, jika ingin tetap menggunakan layanan ini. </p>
<p>Kebijakan penggunaan data ini <a href="https://digit.fyi/facebook-to-access-whatsapp-user-data-except-in-europe/">tidak diberlakukan bagi pengguna di Eropa</a>.</p>
<h2>Ketidakjelasan RUU PDP</h2>
<p>Dalam penelitiannya, <a href="https://www.tifafoundation.id/">Yayasan Tifa</a> membandingkan RUU PDP dengan regulasi perlindungan data pribadi di Eropa, seperti Peraturan Pelindungan Data Umum Uni Eropa (GDPR) dan Konvensi Eropa 108+ – dua regulasi Eropa yang banyak dijadikan patokan oleh dunia terkait perlindungan data privasi. </p>
<p>Studi Yayasan Tifa menemukan bahwa RUU PDP masih memiliki banyak kekurangan, seperti ketidakjelasan definisi, ketidakjelasan dasar hukum, dan penempatan warga negara di posisi yang lemah.</p>
<p>Dalam RUU PDP, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), memegang otoritas perlindungan data pribadi atau <em>data protection authority</em> (DPA) di Indonesia. </p>
<p>Namun, RUU tersebut tidak menyebutkan secara jelas tugas dan tanggung jawab Kominfo dalam perannya sebagai otoritas pelindungan data pribadi. </p>
<p>Di Eropa, GDPR memastikan otoritas perlindungan data pribadi <a href="https://gdpr-text.com/en/read/article-52/">independen</a> dan memiliki cakupan tanggung jawab yang jelas untuk memastikan badan tersebut bisa menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak kepentingan seperti pemerintah dan perusahaan. </p>
<p>Sherly Haristya, salah satu peneliti Yayasan Tifa mempertanyakan indepedensi Kominfo sebagai pengadil perlindungan data pribadi kalau tidak ada detail yang mengatur. </p>
<p>“Sejauh mana dia berhak mengintervensi jika terjadi pelanggaran perlindungan data pribadi? Seberapa jauh dia bisa mengawal agar pengelola data bisa bertanggung jawab?” sebut Sherly.</p>
<p>Masalah utama berikutnya adalah ketidakjelasan RUU PDP dalam pembagian ruang lingkup hukum di antara perorangan dan lembaga. </p>
<p>Di dalam GDPR dan Konvensi Eropa 108+, definisi data pribadi ditetapkan berdasarkan karateristik seperti “informasi apa pun terkait orang perseorangan (pemilik data).” Namun di RUU PDP, orang diartikan sebagai perseorangan atau korporasi. </p>
<p>Hal ini berpotensi mengakibatkan penetapan kewajiban perlindungan data pribadi yang tidak sesuai dengan kapasitas pihak yang berbeda-beda. Ini karena penegak hukum dapat menafsirkan bahwa seorang individu memiliki kewajiban yang sama dengan suatu lembaga yang mengendalikan memproses data.</p>
<p>Menurut Sherly, RUU PDP harus memberikan kejelasan yang lebih mendetail untuk membedakan kegiatan pengolahan data rumah tangga dan aktivitas pemrosesan data komersial. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/belajar-dari-gugatan-terhadap-facebook-di-eropa-indonesia-perlu-lembaga-pengawas-independen-dalam-perlindungan-data-pribadi-145929">Belajar dari gugatan terhadap Facebook di Eropa: Indonesia perlu lembaga pengawas independen dalam perlindungan data pribadi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dasar hukum kurang jelas</h2>
<p>GDPR <a href="https://gdpr-text.com/read/article-5/">menjelaskan</a> bahwa prinsip atau dasar proses data pribadi itu harus adil, sah, dan transparan. Pihak pengendali data dan entitas yang mengumpulkan data hanya bisa mengumpulkan data jika memiliki dasar hukum yang kuat. </p>
<p><a href="https://gdpr-text.com/read/article-6/">GDPR juga</a> menjelaskan secara detail kondisi-kondisi yang dianggap cukup sehingga pemrosesan data dianggap sah. Salah satu kondisi itu adalah <a href="https://gdpr-text.com/read/article-7/"><em>consent</em></a> atau persetujuan. </p>
<p>RUU PDP tidak menawarkan kejelasan tentang keabsahan dan dasar hukum pemrosesan data.</p>
<p>RUU PDP mengatur bahwa pengendali data bisa memproses data untuk memenuhi kewajiban hukum untuk kepentingan publik. Tetapi, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai “kepentingan publik”. </p>
<p>Ada potensi pengendali data bisa menafsirkan sendiri apa yang dimaksud dengan “kepentingan publik” dan memproses data sesuai dengan kepentingan pengendali data belaka. </p>
<h2>Beban pada warga</h2>
<p>GDPR dan Konvensi Eropa 108+ memaparkan hak pemilik data secara detail. </p>
<p>Di dalam Konvensi Eropa 108+, setiap individu memiliki hak untuk tidak tunduk pada keputusan yang mempengaruhi diri mereka secara signifikan karena pemrosesan data otomatis. </p>
<p>Individu berhak mengetahui data mereka dipakai untuk apa, protes dengan pemrosesan data mereka, meminta data mereka diperbaiki atau dihapuskan, dan meminta pemulihan data jika ada haknya dilanggar. </p>
<p>GDPR menjelaskan hal-hal di atas dengan lebih detail. Aturan itu menjelaskan bahwa pengendali data harus memberikan informasi terkait pemrosesan data kepada pemilik data (hak untuk diberitahukan). </p>
<p>GDPR juga mengatur hak pemilik data untuk mengakses, hak perbaikan data, hak untuk dilupakan, hak membatasi pemrosesan data, dan banyak hak-hak pemilik data lainnya. </p>
<p>Kurang lebih, RUU PDP memaparkan hak-hak pemilik data yang serupa dengan hal-hal di atas, seperti hak untuk diberitahukan, hak untuk diperbaiki, hak untuk pemulihan, dan hak-hak lainnya. </p>
<p>Namun, RUU PDP menuntut pemilik data yang harus aktif menuntut hak-hak mereka sebagai pemilik data kepada pengendali data alih-alih membebankan pertanggungjawaban terkait hak-hak tersebut kepada pengendali data sedari awal. </p>
<p>Sederhananya, pemilik data harus menjadi pihak yang aktif menuntut hak mereka, sedangkan pengendali data tidak wajib memberitahukan hak-hak pemilik data sebelum memproses data. </p>
<p>Ini membuka kemungkinan pihak pemilik data di Indonesia baru mengetahui hak-hak mereka sebagai pemilik data sesudah data mereka diproses.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-dua-ancaman-utama-yang-perlu-diatasi-lewat-uu-perlindungan-data-pribadi-145178">Analisis: dua ancaman utama yang perlu diatasi lewat UU perlindungan data pribadi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penegakan hukum masih sulit</h2>
<p>Rizky Banyualam Permana, peneliti dan dosen hukum internasional di Universitas Indonesia, mengatakan di dunia saat ini belum ada komitmen global – peraturan tingkat hukum global – yang mengatur hukum perlindungan data pribadi. </p>
<p>Sehingga ada pendekatan hukum yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. </p>
<p>“Kalau kita ingin pembandingan yang komprehensif, kita tentu kita harus melihat pandangan yang berseberangan, misalnya pendekatan Amerika Serikat (AS) yang menekankan hak konsumen,” kata Rizky. </p>
<p>Rizky juga menilai bahwa ada beberapa hal dalam pendekatan di Eropa yang tidak realistis dari sisi penegakan hukum. <a href="https://academic.oup.com/idpl/article/9/2/109/5475799">Studi</a> menunjukkan bahwa klaim yurisdiksi global GDPR nyatanya terbatas karena sulit ditegakkan di luar wilayah Uni Eropa. </p>
<p>Hambatan-hambatan ini dapat mengakibatkan aturan GDPR, termasuk pemberian denda administratif, menjadi tidak bisa ditegakkan dan dilupakan begitu saja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/151212/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
RUU Perlindungan Data Pribadi masih memiliki banyak kekurangan, seperti ketidakjelasan definisi, ketidakjelasan dasar hukum, dan penempatan warga negara di posisi yang lemah.Andre Arditya, Editor Politik + MasyarakatIgnatius Raditya Nugraha, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1526362021-01-06T04:07:11Z2021-01-06T04:07:11ZKasus video asusila: hati-hati menggunakan UU Pornografi, jangan sampai justru menghukum korban<p>Minggu lalu, pihak kepolisian <a href="https://www.kompas.com/hype/read/2020/12/30/174300666/kronologi-tersebarnya-video-syur-gisel-dan-myd?page=all">menetapkan</a> tersangka baru dalam kasus tersebarnya video asusila, yaitu GA dan MYD yang diduga ada di dalam video tersebut.</p>
<p>Video tersebut beredar di dunia maya awal November lalu. Beberapa minggu kemudian, polisi menahan dua tersangka, PP dan MM yang diduga menyebarluaskan video dengan niat meningkatkan jumlah <em>followers</em> mereka di media sosial.</p>
<p>Dalam proses pemeriksaan terungkap bahwa GA sempat mengirimkan video tersebut kepada MYD, namun MYD kemudian menghapus video itu. </p>
<p>Terungkap pula bahwa telepon genggam milik GA hilang sekitar 3 tahun lalu, dan video yang sempat beredar itu juga sudah ia hapus sebelum teleponnya hilang. </p>
<p>Penetapan GA dan MYD sebagai tersangka kemudian menuai polemik karena <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi</a> sesungguhnya melindungi mereka sebagai korban terkait pembuatan dan kepemilikan pornografi dalam ranah pribadi.</p>
<h2>Korban yang patut dilindungi</h2>
<p>Dalam hukum pidana, penafsiran terhadap kata, istilah, atau pengertian dalam undang-undang mengutamakan penafsiran otentik, yaitu penafsiran yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang sendiri. </p>
<p>Dalam sebuah naskah undang-undang, penafsiran ini dapat ditemukan pada bagian Penjelasan. <a href="https://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">Penjelasan</a> undang-undang berfungsi sebagai tafsir resmi atas ketentuan-ketentuan pasal dalam suatu undang-undang.</p>
<p>Penafsiran yang tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam undang-undang sangat erat hubungannya dengan upaya untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia (HAM) dan menghindari tindakan sewenang-wenang oleh penguasa.</p>
<p>Di dalam UU Pornografi, Pasal 4 ayat 1 pada intinya melarang setiap orang untuk membuat atau menyediakan pornografi dan Pasal 6 melarang setiap orang memiliki atau menyimpan produk pornografi.</p>
<p>Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 1 tersebut diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 250 juta rupiah dan paling banyak 6 miliar rupiah.</p>
<p>Namun jika kita memeriksa <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">Penjelasan</a> mengenai larangan membuat pornografi dan larangan memiliki atau menyimpan pornografi, maka kita akan menemukan bahwa “membuat” dalam Pasal 4 dan “memiliki dan menyimpan” dalam Pasal 6 <em>tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri</em>. </p>
<p>Mengacu pada peristiwa yang terjadi, menurut saya, GA dan MYD tidak menghendaki tersebar luasnya video tersebut kepada publik sehingga keduanya sesungguhnya merupakan korban yang harus dilindungi. </p>
<p>Apabila mengacu pada Penjelasan UU Pornografi, di luar lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang seperti lembaga sensor film, lembaga pengawas penyiaran, penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual dan lembaga pendidikan, mereka yang memiliki atau menyimpan pornografi untuk kepentingan pribadi juga sesungguhnya dilindungi <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">undang-undang</a>. </p>
<p>Maka fokus penyidik seharusnya diarahkan pada pihak yang <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/30/12072371/komnas-perempuan-gisel-adalah-korban-polisi-harusnya-tangkap-penyebar">diduga menyebarluaskan</a> video tersebut, bukan pada GA dan MYD.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-152230">Kekerasan seksual di internet meningkat selama pandemi dan sasar anak muda: kenali bentuknya dan apa yang bisa dilakukan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menghukum korban</h2>
<p>Perdebatan lain yang juga muncul dalam kasus ini adalah ketentuan UU Pornografi yang melarang orang baik dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model pornografi. </p>
<blockquote>
<p>Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. (Pasal 8, UU Pornografi)</p>
</blockquote>
<p>Pelanggaran ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak 5 miliar rupiah. </p>
<p><a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">Penjelasan</a> Pasal 8 tersebut menyatakan bahwa undang-undang secara terbatas hanya melindungi mereka yang dipaksa dengan ancaman atau diancam, berada di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain untuk menjadi objek atau model. </p>
<p>Seperti penjelasan sebelumnya, ketentuan ini juga tetap harus dibaca dalam konteks bahwa sekalipun model tidak dipaksa dengan ancaman atau diancam atau berada di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, model tersebut harus <a href="https://icjr.or.id/siapapun-yang-tidak-menghendaki-penyebaran-video-pribadi-adalah-korban-bukan-pelaku/">secara sadar mengetahui</a> bahwa foto, video atau bentuk pornografi lainnya sejak awal memang ditujukan untuk disebarluaskan kepada publik dan bukan untuk kepentingan pribadi.</p>
<p>Dengan mengacu pada <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ee99dda4a3d2/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala?page=all">teori kehendak</a> dalam ilmu hukum pidana, terduga pelaku (model) dapat dihukum jika mereka mengetahui dan menghendaki perbuatan merekam dan juga akibatnya dari tersebarnya rekaman tersebut. </p>
<p>Lagi-lagi, dalam kasus GA dan MYD, menurut saya ini tidak terjadi.</p>
<p>Penetapan GA dan MYD sebagai tersangka mencerminkan penggunaan tafsir bahwa jika seseorang melakukan perekaman, maka dirinya juga bertanggung jawab atas tersebarnya rekaman tersebut, karena ia seharusnya mengetahui risiko yang mungkin terjadi apabila orang lain menyebarkan rekaman itu kepada publik.</p>
<p>Menurut saya, ini merupakan tafsir keliru yang sama sekali tidak memperhitungkan posisi korban.</p>
<p>Kasus hampir serupa pernah menimpa Nazril “Ariel” Irham yang <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-1557012/ariel-divonis-3-tahun-6-bulan-penjara">divonis</a> 3 tahun dan 6 bulan penjara serta denda Rp 250 juta pada Januari 2011. </p>
<p>Penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam menetapkan status pelaku atau korban dalam tindak pidana pornografi.</p>
<p>Jangan sampai sistem peradilan pidana memposisikan orang yang sepatutnya dilindungi malah kemudian <a href="https://bahasan.id/ironi-sistem-peradilan-pidana-sebagai-faktor-penyebab-kejahatan/">menerima hukuman</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/152636/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nefa Claudia Meliala tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penetapkan status pelaku atau korban dalam tindak pidana pornografi perlu hati-hati; jangan sampai sistem peradilan pidana justru menghukum korban.Nefa Claudia Meliala, Pengajar Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Katolik ParahyanganLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1382022020-07-10T03:03:59Z2020-07-10T03:03:59ZCelah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan<p>Pemerintah sudah <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20200624/15/1257129/ini-jadwal-lengkap-tahapan-pilkada-serentak-2020-terbaru">memutuskan</a> untuk menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah dari 23 September ke 9 Desember 2020.</p>
<p>Penundaan itu merupakan momen yang tepat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah untuk merevisi kembali aturan yang ada untuk menghindari praktik <em>money politics</em> atau politik uang yang <a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-sepertiga-pemilih-indonesia-terima-suap-saat-pemilu-100317">merajalela</a> di Indonesia. </p>
<p>Praktik <em>money politics</em> adalah praktik membagikan uang atau barang untuk mempengaruhi seseorang agar memilih seorang calon legislator, calon kepala daerah atau bahkan calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu). </p>
<p>Riset terakhir menemukan bahwa <a href="https://ebooks.gramedia.com/books/kuasa-uang">satu di antara tiga orang</a> pemilih terpapar oleh praktik ini pada pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.</p>
<p>Pemerintah memang sudah memiliki beberapa aturan terkait dana kampanye untuk mengantisipasi kecurangan di lapangan. Tapi sayangnya, aturan yang ada masih memiliki beberapa celah yang jika tidak diperbaiki justru bisa mendorong praktik-praktik kecurangan tetap terjadi. </p>
<h2>Celah hukum</h2>
<p>Saat ini setidaknya sudah ada dua aturan hukum yang mengatur pengelolaan dana kampanye. </p>
<p>Dana kampanye sudah jelas diatur dalam <a href="https://mkri.id/public/content/jdih/UU_Nomor_10_Tahun_2016.pdf">Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2016 Pasal 74</a>. </p>
<p>UU tersebut mengatur siapa yang berhak menyumbang dana, batas sumbangan dana kampanye hingga mekanisme penyimpanan dana kampanye dalam rekening bank.</p>
<p>Lalu ada Peraturan <a href="https://kab-bogor.kpu.go.id/produk-hukum/pkpu/680-peraturan-kpu-nomor-5-tahun-2017-tentang-dana-kampanye-peserta-pemilihan-gubernur-dan-wakil-gubernur-bupati-dan-wakil-bupati-dan-atau-walikota-dan-wakil-walikota">Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2017</a> sebagai petunjuk pelaksanaan tentang dana kampanye pilkada 2020. </p>
<p>Aturan KPU mengharuskan sumbangan dana kampanye dilengkapi dengan identitas lengkap penyumbang. </p>
<p>Aturan itu juga mengatur pencatatan dua bentuk sumbangan yang bisa berupa uang atau barang dan jasa. Sumbangan uang umumnya donasi awal yang biasanya untuk membuka rekening bank. </p>
<p>Peserta pilkada wajib mencatatnya dalam laporan awal dana kampanye (LADK) yang ditempatkan pada Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) di bank. Selanjutnya sumbangan-sumbangan kampanye bervariasi bisa dalam bentuk uang, barang atau jasa, peserta akan mencatatnya pada Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). </p>
<p>Dalam LPSDK, peserta yang menyumbang barang atau jasa tidak perlu menunjukkan bukti sumbangan yang ditransfer ke rekening bank, hanya bukti kuitansi pembelian barang dan jasa. Laporan akhir penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dicatat di Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). </p>
<p>Seluruh laporan LADK, LPSDK, dan LPPDK dicatat menggunakan sistem teknologi informasi dari KPU yang bernama <a href="https://www.suara.com/tag/sidakam-kpu">Sistem Dana Kampanye (SIDAKAM)</a>. Sistem ini bisa dipasang ke masing-masing komputer tim kampanye peserta pemilu untuk memberikan standar pelaporan. Namun, sistem ini masih belum bisa diakses publik. </p>
<h2>Praktik di lapangan</h2>
<p>Pengalaman penulis sebagai akuntan publik yang ikut mengaudit dana kampanye <a href="https://news.detik.com/berita/d-4557660/rekapitulasi-nasional-pileg-pdip-unggul-di-sumatera-utara">pemilu legislatif di Provinsi Sumatera Utara </a> pada 2019 menunjukkan bahwa tidak adanya batasan sumbangan dalam bentuk barang dan jasa dan tidak adanya keharusan untuk mencatat sumbangan tersebut ke rekening bank menjadi celah yang disalahgunakan peserta pemilu. </p>
<p>Penulis menemukan bahwa semua peserta pemilu melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye tidak dalam bentuk uang tunai <a href="https://kpud-sumutprov.go.id/?p=4180">tapi dalam bentuk barang dan jasa</a> yang jumlahnya bisa lebih besar dari yang dilaporkan karena tidak termonitor dan terverifikasi dalam rekening koran. </p>
<p>Peserta pada umumnya melaporkan penerimaan dalam bentuk sumbangan barang dan jasa sesuai dengan batasan sumbangan yang diperbolehkan, padahal jumlah sebenarnya bisa lebih dari yang dilaporkan. UU Pilkada membatasi pemberian sumbangan oleh individu hanya boleh maksimal Rp75 juta sedangkan untuk badan usaha maksimal Rp750 juta.</p>
<p>Contoh misalnya peserta pemilu menerima sumbangan dalam bentuk kaus, spanduk, biaya percetakan, dan jasa penyanyi pada saat kampanye terbuka. Sumbangan ini diterima hanya dengan bukti dokumen kuitansi pembelian barang dan pembayaran jasa saja yang nilainya rawan dimanipulasi. </p>
<p>Hal tersebut bisa dihindari jika semua sumbangan tersebut masuk dalam rekening bank. Manipulasi data sumbangan kampanye akan sulit dilakukan jika seluruh penerimaan dana kampanye termasuk dalam bentuk barang dan jasa masuk ke rekening bank terlebih dahulu. Setelah dana masuk baru bisa dikeluarkan untuk belanja barang dan jasa. </p>
<p>Sistem pengawasan yang ada saat ini juga belum melibatkan publik untuk ikut mengawasi. Laporan akhir penggunaan dana kampanye hanya diunggah setelah diaudit oleh akuntan publik independen di laman KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang proses pelaporannya masih tertutup. </p>
<h2>Solusi</h2>
<p>Masih ada waktu untuk memperbaiki aturan dana kampanye jika ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dengan cara membatasi sumbangan dana kampanye yang tidak tercatat di rekening bank. </p>
<p>Seandainya tidak bisa dihapus 100%, sumbangan dalam bentuk barang dan jasa sebaiknya dibatasi dengan nominal tertentu dan harus melaporkannya ke rekening bank. </p>
<p>Hal ini untuk membuat sistem pelaporan dana kampanye menjadi lebih transparan dan adil yang nantinya akan meminimalkan potensi kecurangan.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-3867799/sumbangan-dana-kampanye-pilkada-dibatasi-ini-aturannya">Aturan pembatasan sumbangan biaya kampanye</a> baik dari perorangan maupun kelompok/badan usaha non-pemerintah akan lebih mudah diawasi dan diaudit jika arus keluar masuk sumbangan tercatat di dalam sistem perbankan. </p>
<p>Bawaslu sebaiknya meminta laporan dana kampanye ini secara periodik, misalnya per bulan, memastikan bahwa semua sumbangan harus melalui rekening bank, dan juga memberikan sanksi yang jelas jika tidak dilaksanakan. </p>
<p>Bawaslu bisa mencontoh pemilihan umum di Amerika Serikat yang <a href="https://transition.fec.gov/pages/brochures/fecfeca.shtml#Disclosure">mewajibkan</a> semua kandidat mengumumkan perolehan dana kampanye secara berkala kepada publik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138202/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fiantonius Sihotang adalah pengurus Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) untuk Komite Pendidikan Profesional Lanjutan. Saya juga terlibat sebagai akuntan publik untuk pemilihan legislatif Sumatra Utara tahun 2019. </span></em></p>Aturan pengelolaan dana kampanye yang ada masih memiliki beberapa celah yang jika tidak diperbaiki justru bisa mendorong praktik-praktik kecurangan tetap terjadi.Fiantonius Sihotang, Dosen FEB jurusan Akuntansi dan Praktisi Akuntan Publik, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.