tag:theconversation.com,2011:/us/topics/karantina-wilayah-85024/articleskarantina wilayah – The Conversation2021-08-04T10:03:49Ztag:theconversation.com,2011:article/1652602021-08-04T10:03:49Z2021-08-04T10:03:49ZBeda dengan PPKM, karantina wilayah adalah pilihan kebijakan cerdas untuk mendorong kepatuhan masyarakat<p>Banyak anggapan bahwa ketegasan aparat menegakkan hukum menentukan keberhasilan penanganan pandemi. Asumsinya publik otomatis akan lebih patuh bila aturan bisa membuat jera setiap pelanggar lewat penghukuman. </p>
<p>Tapi, ketimbang mendorong kepatuhan masyarakat dengan paksaan, masyarakat lebih membutuhkan opsi peraturan cerdas (<em>smart regulation</em>) dalam kebijakan.</p>
<p>Karantina wilayah, yaitu membatasi mobilitas dan aktivitas warga sambil memenuhi kebutuhan pokok semua warga yang dikarantina, adalah sebuah contoh kebijakan cerdas yang sudah kita miliki tapi sayangnya tidak kita terapkan.</p>
<p>Selain terbukti efektif menurunkan penularan virus di banyak negara, pendekatan tersebut juga lebih ramah dalam membentuk perilaku patuh masyarakat. </p>
<h2>Gagalnya kebijakan koersif</h2>
<p>Salah satu tujuan regulasi adalah menciptakan kepatuhan. </p>
<p>Guna merekayasa kepatuhan, teori pilihan kebijakan menawarkan banyak jenis regulasi, mulai dari jenis koersif seperti <em>command and control</em> (CAC), hingga yang terlunak seperti instrumen ekonomi atau insentif. </p>
<p>Pada CAC, kebijakan bertumpu pada <a href="http://bhl-jurnal.or.id/index.php/bhl/article/download/bhl.v4n1.10/pdf">perintah dan sanksi</a> yang membuat corak koersifnya dominan. Dengan kata lain, pembuat peraturan menciptakan kepatuhan dengan memposisikan masyarakat ada di bawah komando otoritas. </p>
<p>Selama penanganan pandemi, regulasi CAC jadi instrumen yang paling banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya, pada masa <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/35388/mulai-3-juli-pemerintah-berlakukan-ppkm-darurat-di-jawa-bali/0/berita">Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat</a> Juli lalu, penegakan aturan tersebut melibatkan personel polisi dan militer dengan sanksi denda hingga penjara bagi warga yang kedapatan melanggar. </p>
<p>Walau terkesan tegas, sifat koersif dari CAC justru menjadi kekurangan instrumen tersebut. </p>
<p>Naluri manusia pada dasarnya tidak menyukai paksaan sehingga dalam praktiknya jenis kebijakan demikian rentan memicu <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0144818815000174?via%3Dihub">penolakan masyarakat</a> – apalagi ketika <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/28679">ketidakpercayaan publik</a> pada kinerja otoritas tinggi. </p>
<p>Berbeda dengan paksaan, kebijakan yang lunak seperti instrumen ekonomi bertumpu pada penggunaan motivasi ekonomis untuk menstimulasi perilaku yang dikehendaki agar penerimanya memahami tujuan kebijakan. Contoh populernya adalah <a href="https://media.neliti.com/media/publications/265418-tax-amnesty-upaya-memperkuat-penerimaan-e2a7bcc5.pdf">insentif pengampunan pajak</a> yang bertujuan mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban lapor pajak. </p>
<p>Hanya saja, kekurangan instrumen insentif ada pada ongkos kebijakannya yang mahal, apalagi dalam ukuran kantong negara berkembang seperti Indonesia. </p>
<p>Lebih lanjut dalam konteks penanganan pandemi di Indonesia, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1485172/6-target-yang-gagal-tercapai-di-ppkm-darurat-testing-rendah-hingga-kasus-tinggi">kegagalan</a> kebijakan PPKM menurunkan kurva penularan virus mengindikasikan adanya kekeliruan pilihan kebijakan, yang menimbulkan ketidakpatuhan publik.</p>
<p>Kekeliruan itu terjadi akibat kurangnya perhatian pemangku kebijakan pada kelompok masyarakat yang paling terdampak kebijakan. </p>
<p>Di satu sisi, pemilihan kebijakan PPKM darurat alih-alih karantina wilayah memunculkan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1485316/apakah-uu-kekarantinaan-kesehatan-diterapkan-jika-ppkm-darurat-diperpanjang/full&view=ok">kesan pemerintah menghindari</a> kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya semasa krisis. </p>
<p>Di sisi lain, pemerintah juga tak menawarkan solusi konkret kepada mayoritas pekerja informal yang tak punya pilihan lain selain tetap keluar rumah, bergerak dan bekerja.</p>
<p>Negara yang absen, serta adanya kelompok elit yang <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-012219350/anggota-dpr-minta-rumah-sakit-dan-icu-khusus-wakil-rakyat-epidemiolog-ui-kenapa-tidak-minta-makam">menuntut hak istimewa</a>, pada gilirannya memunculkan sentimen bahwa nasib masyarakat tidak sedang benar-benar diperjuangkan. </p>
<p>Semua kekhawatiran itu terakumulasi jadi ketidakpercayaan terhadap otoritas dan menjadi faktor yang menyulitkan dalam upaya pemerintah membentuk kepatuhan. </p>
<p>Dalam kondisi seperti itu, sekeras apapun upaya mendisiplinkan masyarakat, perilaku patuh hanya akan tercipta secara tidak utuh (patuh karena bermotif menghindari hukuman). </p>
<p>Yang lebih dibutuhkan situasi sekarang adalah kepatuhan berbasis kesadaran akan tujuan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kebijakan-jokowi-pengetatan-parsial-jawa-dan-bali-bagaimana-cara-supaya-efektif-turunkan-kasus-covid-19-163730">Kebijakan Jokowi pengetatan parsial Jawa dan Bali, bagaimana cara supaya efektif turunkan kasus COVID-19?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2><em>Smart regulations</em></h2>
<p>Prinsipnya, kepatuhan masyarakat berjalan sejalan dengan tingkat kepercayaan pada otoritas. Semakin tinggi legitimasi otoritas di mata publik, semakin besar peluang untuk menginternalisasikan kepatuhan. </p>
<p>Konsep <a href="http://press-files.anu.edu.au/downloads/press/n2304/pdf/ch08.pdf"><em>smart regulation</em></a> meyakini bahwa kebijakan tunggal lewat pendekatan koersif tidak melulu efektif merekayasa kepatuhan. </p>
<p>Sebaliknya, dengan mengedepankan kombinasi instrumen kebijakan yang saling melengkapi, tujuan akhir dari kebijakan dapat lebih mudah dicapai. </p>
<p>Kombinasi instrumen demikian bisa jadi faktor penentu berhasil-tidaknya pilihan kebijakan. </p>
<p>Sebagai contoh, ketika sebuah negara terpaksa harus memutuskan <em>lockdown</em> demi menurunkan laju penularan virus, otoritasnya tidak bisa hanya mengandalkan pada penegakan aturan dan sanksi saja untuk menciptakan kepatuhan. </p>
<p>Melainkan, otoritas perlu terlebih dahulu mengantisipasi faktor penyebab ketidakpatuhan agar solusinya terakomodasi dalam paket kebijakan. </p>
<p>Apabila penyebab ketidakpatuhan adalah masalah kerentanan ekonomi, maka instrumen seperti insentif bisa dipilih sebagai pendamping regulasi CAC untuk mendorong kepatuhan.</p>
<p>Meski terkesan sederhana, perbedaan besarnya akan terlihat pada respons publik terhadap pilihan kebijakan. </p>
<p>Dibandingkan pendekatan tunggal yang hanya memerintahkan masyarakat untuk patuh tak bersyarat, kehadiran instrumen motivasi akan mengurangi nuansa koersif dari suatu kebijakan dan dapat mengurangi potensi resistensi masyarakat. </p>
<p>Instrumen motivasi juga akan mendorong terciptanya pemahaman dalam masyarakat pada tujuan dari pilihan kebijakan. Karena memiliki kesan yang lebih positif pada kebijakan, masyarakat akan lebih mudah mencerna tujuan kebijakan ketimbang memandangnya sebagai momok.</p>
<p>Selain kombinasi instrumen, <em>smart regulation</em> juga menggarisbawahi kolaborasi aktif antara aktor negara dan non-negara dalam pelaksanaan kebijakan. </p>
<p>Kanal kolaborasi itu bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi defisit ongkos kebijakan, semisal, dengan mendorong kontribusi sukarela sektor swasta sebagai alternatif pendanaan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/setahun-pandemi-di-indonesia-3-kelemahan-terbesar-kebijakan-pengendalian-covid-19-sehingga-gagal-total-155129">Setahun pandemi di Indonesia: 3 kelemahan terbesar kebijakan pengendalian COVID-19 sehingga gagal total</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak diterapkan</h2>
<p>Di Indonesia, jejak regulasi cerdas bisa ditemukan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/90037/uu-no-6-tahun-2018">Undang-Undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan</a>, tepatnya dalam ketentuan Pasal 52 menyangkut karantina wilayah dan Pasal 55 menyangkut Karantina Rumah. </p>
<p>Aturan itu menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar warga (medis, pangan, bahkan pakan ternak) selama karantina berlangsung menjadi tanggung jawab pemerintah pusat bersama daerah. </p>
<p>Meski karantina sekilas tampak mirip dengan paket kebijakan PPKM plus distribusi bantuan sosial (bansos) yang dijalankan pemerintah, implementasi dan desain kebijakannya sangat berbeda. </p>
<p>Pada program PPKM plus bansos, sasaran penerimanya sangat selektif hanya pada kelompok ekonomi tertentu sehingga penyalurannya cenderung <a href="https://www.republika.co.id/berita/qeo0ve383/bansos-tidak-efektif-peluang-resesi-semakin-besar">tidak efektif</a> menyasar penciptaan perilaku patuh seluruh anggota masyarakat. Nominalnya pun <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1483174/bansos-rp-300-ribu-saat-ppkm-darurat-terlalu-kecil-ekonom-minimal-rp-15-juta">terbilang kecil</a> untuk mampu mengganti pemasukan warga selama periode pembatasan berlangsung. </p>
<p>Pada skenario karantina wilayah, pemenuhan kebutuhan pokok diberikan sebagai kompensasi kepada semua yang terdampak pada satu wilayah. Dengan kompensasi yang lebih inklusif tersebut, kepatuhan bisa tercipta karena pemerintah menjamin tersedianya kebutuhan pokok selama berlangsungnya karantina. </p>
<p>Dengan kombinasi regulasi CAC dan ekonomi ini, kemungkinan penolakan publik sewaktu pemerintah menerapkan keputusan seekstrim karantina wilayah juga dapat diminimalisasi.</p>
<p>Sayangnya, meski pilihan regulasi cerdas tersebut selama ini tersedia, pemerintah urung mengambil kebijakan yang di banyak negara terbukti <a href="https://www.uwa.edu.au/news/article/2020/november/study-confirms-strict-lockdown-most-effective-against-spread-of-covid">paling efektif</a> menurunkan penularan itu. </p>
<p>Ketimbang bereksperimen pada kebijakan-kebijakan baru yang belum memiliki basis bukti, pemerintah sebaiknya menerapkan pilihan kebijakan karantina wilayah dengan mengandalkan pendekatan <em>smart regulation</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165260/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Auditya Firza Saputra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Karantina wilayah bukan hanya efektif menurunkan penularan, tapi juga membentuk perilaku patuh masyarakat.Auditya Firza Saputra, Peneliti, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1355742020-04-05T15:13:04Z2020-04-05T15:13:04ZCoronavirus mingguan: selama dunia tetap di rumah, ke manakah pandemi ini mengarah?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/325502/original/file-20200405-74261-1sqd2sq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Paris, dikosongkan.</span> <span class="attribution"><span class="source"> Ian Langsdon/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Dari New York hingga Moskow, Johannesburg hingga Buenos Aires, coronavirus terus melanjutkan perjalanannya keliling dunia. Pada 5 April, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2020/01/timeline-china-coronavirus-spread-200126061554884.html">hampir tiga bulan</a> setelah Cina mengumumkan penemuan COVID-19, penyakit yang berhubungan dengan coronavirus, <a href="https://coronavirus.jhu.edu/map.html">lebih dari 1,2 juta orang</a> telah terinfeksi dan lebih dari 66.000 orang telah meninggal.</p>
<p>Sementara epidemi tampaknya terkendali di Cina, Amerika Serikat kini menjadi negara dengan angka pasien tertinggi karena pandemi ini. Di Eropa, akan muncul hasil dari langkah-langkah pengendalian dan karantina wilayah: di Italia, angka-angka kasus jumlah infeksi COVID-19 menunjukkan perlambatan.</p>
<p>Di seluruh dunia, berbagai negara sedang mengisolasi diri mereka satu demi satu, mereka menutup perbatasan dan membatasi masyarakatnya semakin lebih ketat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyambut baik upaya ini. Dunia kemudian melambat dan dapat menahan napas. Tapi untuk berapa lama?</p>
<p>Ketika para peneliti di seluruh dunia melanjutkan untuk mengurai konsekuensi dari situasi yang belum pernah terjadi ini dan mencari solusi dari krisis, <a href="https://theconversation.com/coronavirus-artikel-mingguan-terbaru-dari-jaringan-akademisi-global-the-conversation-133524">jaringan global The Conversation terus bekerja dengan mereka</a> untuk menginformasikan kepada Anda sebaik mungkn.</p>
<hr>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Ini adalah pengumpulan informasi mingguan kami dari ahli tentang <a href="https://theconversation.com/topics/covid-19-82431">coronavirus</a>.</strong><br>
<em>The Conversation, sebuah kelompok nirlaba, bekerja dengan berbagai akademisi di seluruh jaringan globalnya. Bersama-sama kami menghasilkan analisis dan pandangan berbasis bukti. Artikel-artikel ini gratis untuk dibaca - tidak ada pembayaran apa pun - dan <a href="http://theconversation.com/republishing-guidelines">diterbitkan ulang</a>. Tetap perbarui informasi dengan riset terbaru dengan <a href="http://theconversation.com/newsletter">membaca nawala gratis kami</a>.</em></p>
<hr>
<h2>Nasib epidemi</h2>
<p>Berapa lama kita harus hidup dengan COVID-19? Mungkinkah virus ini kembali? Sejarah dan pemodelan epidemi dapat membantu menemukan jawabannya.</p>
<ul>
<li><a href="https://theconversation.com/four-graphs-that-show-how-the-coronavirus-pandemic-could-now-unfold-133979"><strong>Pemodelan epidemi besar pada masa lalu</strong></a> dapat menunjukkan bagaimana hal ini terungkap. Inilah yang dilakukan Adam Kleczkowski di Universitas Strathclyde Skotlandia dan Rowland Raymond Kao di Universitas Edinburgh.</li>
</ul>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/322291/original/file-20200323-112688-1vsktee.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Contoh kurva kemajuan penyakit untuk skenario jangka panjang setelah wabah awal: pemberantasan cepat. Jumlah kasus dan durasi epidemi hanya untuk tujuan ilustrasi.</span>
</figcaption>
</figure>
<ul>
<li><p><strong>Model Matematika</strong>. Chritian Yates di Universitas Bath Inggris menjelaskan bagaimana ahli epidemiologi membuat model untuk <a href="https://theconversation.com/how-to-model-a-pandemic-134187">memprediksikan perjalanan epidemi</a>. Ini merupakan alat penting untuk menginformasikan tindakan pemerintah. </p></li>
<li><p><strong>Mengantisipasi epidemi</strong>. Menurut Éric Muraille di Université Libre de Bruxelles Belgia, sejarah mengajarkan kita bahwa epidemi tidak bisa dihindari. <a href="https://theconversation.com/les-epidemies-sont-inevitables-apprenons-a-les-anticiper-133888">Inilah mengapa sangat penting untuk mengetahui bagaimana mengantisipasinya</a> <em>(dalam bahasa Prancis)</em>.</p></li>
</ul>
<p>Nasib pandemi jelas akan bergantung pada senjata yang kita miliki untuk melawan virus corona. </p>
<ul>
<li><p><strong>Klorokuin?</strong> Parastou Donyai dari Universitas Reading Inggris menjelaskan bahwa meski telah banyak ditulis mengenai <a href="https://theconversation.com/menimbang-manfaat-dan-efek-buruk-dari-klorokuin-obat-dari-presiden-jokowi-untuk-penderita-covid-19-134390">obat antimalaria</a>, <a href="https://theconversation.com/chloroquine-and-hydroxychloroquine-no-proof-these-anti-malarial-drugs-prevent-novel-coronavirus-in-humans-134703">belum ada bukti seberapa efektif klorokuin dalam mencegah COVID-19</a>.</p></li>
<li><p><strong>Terapi dan vaksin</strong>. Ignacio López-Goñi di Universitas Navarra Spanyol membuat daftar berbagai uji coba terapi berbeda yang sedang berlangsung dan mengatakan ada harapan bagi <a href="https://theconversation.com/coronavirus-treatments-and-vaccines-research-on-3-types-of-antivirals-and-10-different-vaccines-is-being-fast-tracked-134613">terapi untuk mengobati pasien atau vaksin untuk mencegah infeksi</a>.</p></li>
</ul>
<p>Pandemi virus corona tidak boleh dibiarkan dan memperparah penyakit mematikan lainnya.</p>
<ul>
<li><strong>Tuberkulosis (TBC) dan AIDS</strong>. Emily Wong di Universitas KwaZulu-Natal Afrika Selatan memfokuskan perhatian pada fakta bahwa di Afrika Selatan, COVID-19 menambah epidemi yang telah ada. Para ahli khawatir pasien-pasien ini <a href="https://theconversation.com/tb-hiv-and-covid-19-urgent-questions-as-three-epidemics-collide-134554">lebih berisiko terserang penyakit parah</a>.</li>
</ul>
<h2>Penyakit keanekaragaman hayati</h2>
<p>Seperti banyak penyakit menular yang menyerang manusia, pandemi COVID-19 adalah zoonosis: virus yang berasal dari hewan. </p>
<ul>
<li><p><strong>Kelelawar?</strong> - Sekali lagi, virus baru ini mungkin berasal dari kelelawar. Eric Leroy di Institut de Recherche pour le Développement Prancis menjelaskan mengapa mamalia ini <a href="https://theconversation.com/les-chauves-souris-source-inepuisable-de-virus-dangereux-pour-les-humains-134332">menjadi “tersangka umum”</a> untuk penularan virus ke manusia (<em>dalam bahasa Prancis</em>).</p></li>
<li><p><strong>Tapi itu tidak adil untuk menyalahkan mereka</strong>, karena mereka <a href="https://theconversation.com/its-wrong-to-blame-bats-for-the-coronavirus-epidemic-134300">memberikan kita kontribusi penting dan harus dilindungi</a>, kata Peter Algona di Universitas California, Santa Barbara.</p></li>
</ul>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324103/original/file-20200330-172952-1ahz37p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ada lebih dari 1.200 spesies yang berbeda dari kelelawar.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://ccsearch.creativecommons.org/photos/d08bdf84-47d1-47d4-9bc8-0ceb6d037ea9">mmariomm/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/">CC BY-NC-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Daripada menyalahkan mamalia bersayap ini, kita lebih baik mempertanyakan bagaimana hubungan kita dengan alam dan keanekaragaman hayati.</p>
<ul>
<li><p><a href="https://theconversation.com/covid-19-ou-la-pandemie-dune-biodiversite-maltraitee-134712"><strong>Gejala krisis lingkungan global?</strong></a> Bisa jadi, tulis Philppe Grandcolas dan Jen-Lou Justine di Muséum national d’histoire naturelle (MNHN) <em>(dalam bahasa Prancis)</em>.</p></li>
<li><p><strong>“Ini bukan tragedi bagi semua orang.</strong> Beberapa tetangga kami membaik karena kami telah pensiun dan tinggal di apartemen kami”, tulis Jérôme Sueur di MNHN. Lebih sedikit aktivitas manusia berarti lebih sedikit kebisingan, yang sebenarnya merupakan hal yang baik untuk burung di kota-kota kita, khususnya <em>(dalam bahasa Prancis)</em>. </p></li>
</ul>
<h2>Karantina meninggalkan kelompok rentan</h2>
<p>Semakin banyak dari kita yang sedang tertahan di rumah dengan harapan membatasi penyebaran virus dan menghilangkan ketegangan yang tak tertahankan pada sistem kesehatan. Tapi tidak semua orang sama dalam hal karantina. Beberapa kelompok memiliki risiko tertentu.</p>
<ul>
<li><p><strong>Orang lanjut usia (lansia) dan orang-orang difabel.</strong> Di lembaga medis-sosial, mereka yang sudah rentan <a href="https://theconversation.com/confinement-quel-impact-dans-les-etablissements-pour-personnes-agees-et-handicapees-134561">menjadi yang paling dirugikan selama karantina atau isolasi diri</a> ini dilakukan, tulis Emmanuelle illion di Ecole des hautes etudes en sante publique (<em>dalam bahasa Prancis</em>).</p></li>
<li><p><a href="https://theconversation.com/coronavirus-la-prison-en-etat-critique-134359"><strong>Narapidana di penjara.</strong></a> <em>(dalam bahasa Prancis)</em> Ini juga kasus para tahanan, yang nasibnya mengkhawatirkan petugas penjara karena kedekatannya dengan penjara. </p></li>
<li><p><strong>Mereka yang tidak bisa diisolasi</strong>. Alex Broadbent dan Benjamin Smart di Universitas Johannesburg menunjukkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diisolasi, atau bahkan dengan <a href="https://theconversation.com/why-a-one-size-fits-all-approach-to-covid-19-could-have-lethal-consequences-134252">menerapkan cara menjaga jarak sosial yang memadai</a>.</p></li>
</ul>
<p>Selain risiko dari isolasi dan karantina, kepala negara juga menghadapi risiko politik: setiap langkah mereka dipelototi dan dikomentari.</p>
<ul>
<li><p>Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa <a href="https://theconversation.com/all-world-leaders-face-mega-covid-19-crises-how-ramaphosa-is-stacking-up-134682">tidak terkecuali</a>, Richard Calland di Universitas Cape Town menjelaskannya, meski sejauh ini tindakan isolasi pemerintahnya <a href="https://theconversation.com/reality-of-exponential-growth-of-covid-19-shows-south-africas-lockdown-is-right-134572">tampak memadai</a>, tulis Philip Machanick di Universitas Rhodes.</p></li>
<li><p>Sebaliknya, ketika epidemi baru saja memasuki fase eksponensial di Indonesia, Iqbal Elyazar di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit dan koleganya mendesak pemerintah <a href="https://theconversation.com/without-major-intervention-indonesia-could-have-71-000-covid-19-cases-by-aprils-end-134239">untuk mengambil langkah-langkah lebih keras untuk menghindari bencana</a>.</p></li>
<li><p>Di Prancis, Catherine Le Bris di Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne bertanya-tanya bagaimana cara menyesuaikan situasi darurat, batasan kebebasan dan aturan hukum. Dia berpendapat bahwa keseimbangannya terletak pada <a href="https://theconversation.com/la-sauvegarde-des-libertes-en-temps-de-guerre-contre-le-coronavirus-134913">saling menghormati hak asasi manusia</a> <em>(dalam bahasa Prancis)</em>.</p></li>
<li><p>Terakhir, Michael Baker di Universitas Otago Selandia Baru kembali kepada poin penting dari semua upaya ini: untuk mengendalikan pandemi. Dia adalah profesor kesehatan masyarakat dan <a href="https://theconversation.com/overjoyed-a-leading-health-expert-on-new-zealands-coronavirus-shutdown-and-the-challenging-weeks-ahead-134395">sangat senang bahwa penutupan di berbagai tempat sedang terjadi</a>.</p></li>
</ul>
<h2>Mengungkap ketidaksetaraan</h2>
<p>Pandemi saat ini juga memperburuk ketidaksetaraan. </p>
<ul>
<li><p><strong>Pembelian berlebihan karena panik</strong>. James Lappeman di Universitas Cape Town berfokus pada pembelian panik yang dipicu oleh kepanikan virus corona. Namun ini memberi <a href="https://theconversation.com/panic-buying-in-the-wake-of-covid-19-underscores-inequalities-in-south-africa-134172">sorotan tajam pada ketidaksetaraan ekonomi</a>.</p></li>
<li><p><strong>Ketidaksetaraan</strong>. Pandemi mengungkapkan ketimpangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan <a href="https://theconversation.com/pandemics-dont-heal-divisions-they-reveal-them-south-africa-is-a-case-in-point-134002">Afrika Selatan adalah kasus yang bisa dijadikan contoh</a>, menurut Steven Friedman di Universitas Johannesburg.</p></li>
</ul>
<p>Tapi krisis saat ini juga bisa menjadi kesempatan untuk mencari cara mengurangi ketidaksetaraan dan untuk menguji pendekatan baru, terutama dari segi ekonomi. </p>
<ul>
<li><strong>“Uang helikopter (<em>helicopter money</em>)”</strong>, sebuah teori yang diciptakan oleh ekonom Milton Friedman pada 1970-an <a href="https://theconversation.com/lhelicoptere-monetaire-un-outil-de-lutte-contre-les-inegalites-134670">dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan</a> dengan mendistribusikan uang secara langsung kepada penduduk, tulisan Baptiste Massenot di TBS Business School (<em>dalam bahasa Prancis</em>).</li>
</ul>
<p>Dan pada akhirnya, sebagai sebuah penghormatan kepada “para pahlawan berbaju putih”, The Conversation telah menerbitkan <a href="https://theconversation.com/im-a-family-doctor-fighting-against-fear-and-struggling-with-distancing-while-trying-to-keep-my-patients-healthy-134342">serangkaian kesaksian</a> dari para dokter dan peneliti yang bekerja di garis depan pandemi - dan memberikan saran tentang komunikasi yang <a href="https://theconversation.com/coronavirus-the-conversation-we-should-have-with-our-loved-ones-now-leading-medic-134337">seharusnya kita lakukan dengan orang-orang yang kita cintai</a>.</p>
<hr>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=113&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=113&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320718/original/file-20200316-18056-1umaqbp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=113&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Get the latest news and advice on <a href="https://theconversation.com/topics/covid-19-82431">COVID-19</a>, direct from the experts in your inbox. Join hundreds of thousands who trust experts by <a href="http://theconversation.com/newsletter"><strong>subscribing to our newsletter</strong></a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/135574/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Semakin banyak dari kita yang sedang tertahan di rumah dengan harapan membatasi penyebaran virus dan mengurangi beban sistem kesehatan. Tapi tidak semua orang sama dalam hal karantina.Leighton Kille, Rédacteur en chef, coordination internationale et technique, The Conversation FranceAhmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLionel Cavicchioli, Chef de rubrique Santé + Médecine, The Conversation FranceRizki Nur Fitriansyah, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.