tag:theconversation.com,2011:/us/topics/kebebasan-berekspresi-66554/articleskebebasan berekspresi – The Conversation2023-12-10T15:48:22Ztag:theconversation.com,2011:article/2195692023-12-10T15:48:22Z2023-12-10T15:48:22ZHari HAM Sedunia: melihat sikap tiga capres terhadap kebebasan berekspresi - optimis atau pesimis?<p>Dalam acara Mata Najwa pada September lalu, Najwa Shihab <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/09/20/11101451/menengok-pandangan-anies-ganjar-prabowo-soal-kebebasan-berpendapat">bertanya</a> kepada ketiga calon presiden yang maju dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024–Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto–tentang berapa skor kebebasan berpendapat di Indonesia dalam skala 1 sampai dengan 10. Saat acara tersebut berlangsung, ketiganya masih berstatus bakal calon presiden.</p>
<p>Anies memberikan skor 5 atau 6, Ganjar memberikan skor 7,5, dan Prabowo memberikan skor 8. Tentu saja pemberian skor dari masing-masing capres adalah hak mereka. Namun, berdasarkan <a href="https://www.repository.law.indiana.edu/etd/113/">hasil penelitian disertasi saya</a>, yang sebagian isinya akan diterbitkan Routledge dalam buku berjudul “<em>Free Speech in Indonesia: Legal Issues and Public Interest Litigation</em>”, skor kebebasan berpendapat kita mungkin masih di bawah ketiga skor yang mereka berikan.</p>
<p>Perbedaan skor yang diberikan masing-masing kandidat tersebut mencerminkan bagaimana mereka memandang aspek perlindungan HAM di Indonesia dan bagaimana kira-kira sikap mereka terhadap penegakan HAM kedepannya ketika terpilih nanti.</p>
<p>Sudah sepatutnya kita mengkaji lebih dalam visi misi seperti apa yang ditawarkan oleh masing-masing capres terkait kebebasan berekspresi, dan terhadap perlindungan HAM secara umum. Pembahasan atas sikap para capres terhadap isu kebebasan berekspresi ini penting, karena akan berdampak pada praktik perlindungan atas kebebasan beragama, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat, yang merupakan elemen utama dalam negara demokratis seperti Indonesia.</p>
<p>Keseriusan para capres atas isu tersebut perlu diuji secara kritis.</p>
<p>Tulisan ini akan menggunakan terminologi “kebebasan berekspresi”, ketimbang “kebebasan berpendapat” yang umum digunakan. Merujuk pada <a href="https://www.komnasham.go.id/files/1480577941-komentar-umum-kovenan-hak-sipil-$XHHPA.pdf">Komentar Umum No. 34 atas Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik</a>, kedua terminologi ini memang tidak bisa dipisahkan untuk mengidentifikasi manusia dan hak-haknya yang utuh, serta batu pijakan masyarakat demokratis. Namun juga akan terkait dengan bentuk hak dan kebebasan lainnya, seperti hak <em>voting</em> dalam pemilu serta kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat.</p>
<h2>Visi-misi capres terkait kebebasan berekspresi</h2>
<p>Faktanya, dan sayangnya, ketiga capres memiliki rekam jejak yang buruk dalam isu HAM.</p>
<p>Anies banyak dikaitkan dengan <a href="https://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JUPE/article/view/677">politik identitas</a> saat maju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017, yang berdampak pada <a href="https://www.dw.com/id/anies-korbankan-demokrasi-demi-menangkan-pilkada-dki/a-42419515">diskriminasi berdasarkan SARA</a> (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ganjar lekat dengan citra isu <a href="https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/10228/1/Cover.pdf">penggusuran paksa di Desa Wadas</a> di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang berdampak pada <a href="https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/ganjar-pranowo-harus-hentikan-pertambangan-di-desa-wadas/">terampasnya hak sosial, ekonomi dan lingkungan warga</a> setempat. Sementara Prabowo, seperti yang sudah diketahui secara luas, selalu erat dengan dugaan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44949790">penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pada kerusuhan Mei 1998</a>.</p>
<p>Jika melihat rekam jejak tersebut, tampaknya masyarakat tidak punya pilihan sosok yang benar-benar bersih dari masalah HAM. Lebih jauh lagi, jika melihat apa saja isu prioritas, program dan visi-misi mereka terkait isu kebebasan berekspresi, belum ada hal konkret dan spesifik yang mereka tawarkan.</p>
<h2>Anies-Muhaimin</h2>
<p>Anies dan cawapresnya, Muhaimin Iskandar, <a href="https://mmc.tirto.id/documents/2023/10/20/1241-amin-visi-misi-program.pdf?x=2676">menegaskan</a> bahwa kebebasan pers dan media, sebagai salah satu dimensi kebebasan berekspresi, adalah tulang punggung demokrasi dalam visi misi mereka.</p>
<p>Anies-Muhaimin memang termasuk paslon yang cukup detail mencantumkan bahwa mereka berencana merevisi aturan-aturan yang menghambat kebebasan pers dan kebebasan sipil. Namun rekam jejak koalisi partai pendukung mereka–Partai Nasdem, PKB, dan PKS–tampaknya kurang sejalan dengan misi tersebut.</p>
<p>Nasdem dan PKB, beserta seluruh fraksi di DPR RI, ikut menyetujui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang <a href="https://theconversation.com/selain-mengkriminalisasi-seks-di-luar-nikah-kuhp-juga-mengancam-kebebasan-berpendapat-dan-beragama-196216">mengancam kebebasan pers</a>. PKS juga mendukung meskipun dengan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221124205851-32-878382/semua-fraksi-dpr-setuju-rkuhp-dibawa-ke-paripurna-pks-beri-catatan">beberapa catatan</a> terkait pasal penghinaan presiden.</p>
<h2>Ganjar-Mahfud</h2>
<p>Ganjar dan pasangannya, Mahfud MD, dalam “<a href="https://drive.google.com/file/d/1-olOvmrwXLJjjlE9B_oTnCMMRVQYSuse/view">8 Gerak Cepat Ganjar Pranowo dan Mahfud MD</a>”, mencantumkan penegakan hukum dan HAM, yang di dalamnya termasuk jaminan kebebasan berekspresi, sebagian bagian dari Demokrasi Substantif yang memprioritaskan demokrasi berdasarkan tujuan substantif dari masyarakat seperti <a href="https://online-journal.unja.ac.id/JSSH/article/view/11550/10398">kesejahteraan sosial, keadilan, keamanan dan kedamaian</a>. Mereka mencantumkan visi kebebasan sipil yang “menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi, berserikat, dan menyebarkan informasi untuk dapat mewujudkan kehidupan sipil yang bebas dan bertanggung jawab”, namun tanpa spesifik menyebutkan misi macam apa yang akan digunakan untuk mencapainya.</p>
<p>Untuk masyarakat, mungkin masih ingat bahwa PDI-P merupakan salah satu <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20160216/16/519552/revisi-uu-kpk-pdip-anggap-kpk-perlu-pengaturan-agar-tak-abuse-of-power">inisiator</a> revisi UU KPK yang keseluruhan poin revisinya justru <a href="https://antikorupsi.org/taxonomy/term/445">melemahkan dan menjadi titik mundur pemberantasan korupsi</a>. Belum lagi PDI-P juga yang berada di garda terdepan dalam pengesahan UU KUHP baru.</p>
<p>Selain itu <a href="https://wartaekonomi.co.id/read495827/soroti-kendeng-dan-wadas-walhi-pertanyakan-keberpihakan-ganjar-pranowo-utamakan-rakyat-atau-korporasi">sikap Ganjar Pranowo</a> dalam kasus pembangunan pabrik semen di <a href="https://wartaekonomi.co.id/read495827/soroti-kendeng-dan-wadas-walhi-pertanyakan-keberpihakan-ganjar-pranowo-utamakan-rakyat-atau-korporasi">Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang</a> dan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/02/09/18264541/duduk-perkara-konflik-di-desa-wadas-yang-sebabkan-warga-dikepung-dan?page=all">Wadas</a> justru menunjukkan <a href="https://wartaekonomi.co.id/read495827/soroti-kendeng-dan-wadas-walhi-pertanyakan-keberpihakan-ganjar-pranowo-utamakan-rakyat-atau-korporasi">keberpihakannya kepada korporasi</a>, ketimbang memastikan jaminan hak atas lingkungan warganya. Khusus untuk Kendeng, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2017/02/24/19222541/soal.penerbitan.izin.baru.pabrik.semen.di.rembang.ganjar.dinilai.membangkang?page=all">Ganjar bahkan mengeluarkan izin baru</a> yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen dan mendahului proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis oleh Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.</p>
<h2>Prabowo-Gibran</h2>
<p>Sementara, Prabowo dan Gibran, mencantumkan pengokohan Pancasila, Demokrasi dan HAM dalam <a href="https://mmc.tirto.id/documents/2023/10/26/1276-visi-misi-indonesia-maju-2024-final.pdf?x=2676">Program Asta Cita</a> mereka. Tetap saja, lagi-lagi, partai-partai pendukungnya tidak menunjukkan ketegasan atas isu kebebasan sipil dan pers dengan mendukung pengesahan UU KUHP. Memang, mayoritas partai pengusung Prabowo-Gibran merupakan partai koalisi pemerintah, kecuali Partai Demokrat. Ini bisa menjelaskan bagaimana keberpihakan mereka dalam kebijakan pemerintah yang ini.</p>
<p>Selain itu, isu HAM yang paling jelas melekat di pasangan ini adalah sosok Prabowo sendiri dan keterlibatannya dalam penculikan aktivis pro-demokrasi tahun 1998. Ditambah lagi, sejumlah eks anggota Tim Mawar kini <a href="https://wartakota.tribunnews.com/2023/11/01/eks-anggota-tim-mawar-ketuk-palu-dukung-prabowo-gibran-di-pemilu-2024">ikut bergabung</a> dalam tim pemenangan Prabowo-Gibran. Tim Mawar merupakan tim elit dari Kopassus TNI yang kuat diduga <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/01/07/15400401/deretan-eks-tim-mawar-yang-kini-tempati-jabatan-penting?page=all">menjadi dalang</a> dari operasi penculikan tersebut.</p>
<p>Pasangan Prabowo-Gibran diyakini <a href="https://nasional.tempo.co/read/1790258/jokowi-dukung-prabowo-gibran-setelah-gagal-bentuk-koalisi-pdip-dan-gerindra">mendapat dukungan dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo</a>. Selama dua periode–10 tahun–kekuasaan Jokowi, <a href="https://politik.rmol.id/read/2023/12/10/600755/setara-institute-kekerasan-pada-jurnalis-paling-marak-di-era-jokowi">kekerasan pada jurnalis terus mengalami peningkatan</a>. <a href="https://advokasi.aji.or.id">Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak 2008</a> menunjukkan bahwa dari 1.030 kasus kekerasan terhadap jurnalis, tahun 2020 dan tahun 2016 memiliki angka kekerasan jurnalis paling tinggi dengan 84 dan 81 kasus.</p>
<p>Pasangan ini juga tengah disorot atas dugaan pembentukan <a href="https://theconversation.com/gibran-dan-politikus-muda-lain-yang-lahir-dari-dinasti-politik-pedang-bermata-dua-bagi-demokrasi-125720">dinasti politik</a> dengan dipilihnya Gibran, anak sulung Jokowi, sebagai cawapres Prabowo dengan cara <a href="https://theconversation.com/3-kejanggalan-putusan-mk-dan-bagaimana-lembaga-peradilan-ini-gagal-mempertahankan-independensi-215812">mengintervensi putusan Mahkamah Konstitusi</a> (MK).</p>
<p>Dan jangan lupa bahwa selama dua periode pemerintahan Jokowi, <a href="https://newsletter.tempo.co/read/1684146/janji-presiden-jokowi-tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat-basa-basi">belum ada upaya penyelesaian</a> yang konkret dan efektif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini bertolak belakang dengan janji Jokowi yang ia lontarkan saat kampanyenya pada Pemilu 2014. </p>
<p>Pada dasarnya, bisa dikatakan bahwa sikap ketiga pasangan capres-cawapres serta para pengusungnya ini belum sepenuhnya tegas terhadap isu kebebasan sipil dan kebebasan pers.</p>
<p>Pada akhirnya, publik membutuhkan janji dalam bentuk visi-misi yang <a href="https://www.suara.com/lifestyle/2023/10/28/163838/adu-janji-capres-dan-cawapres-di-pilpres-2024-kayak-ada-manis-manisnya">lebih realistis</a>, karena kebanyakan yang dituangkan adalah ide dalam visi-misi mereka adalah ide, belum berbentuk rencana langkah konkrit.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219569/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Nugraha Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sikap ketiga pasangan capres-cawapres serta para pengusungnya ini belum sepenuhnya tegas terhadap isu kebebasan sipil dan kebebasan pers.Eka Nugraha Putra, Assistant Professor of Law, O.P. Jindal Global UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2179062023-11-23T11:03:09Z2023-11-23T11:03:09ZMenurut Jon Fosse, Tuhan adalah tempat bersandar sehingga sastra dan agama tidak perlu dipertentangkan<p>Dalam kajian sastra, terdapat kecenderungan untuk mempertentangkan agama dan sastra dengan dalih kebebasan. </p>
<p>Kecenderungan semacam ini dapat ditelusuri dari pemikiran Jean Paul Sartre, seorang filsuf dan sastrawan Prancis, yang juga <a href="https://www.nobelprize.org/prizes/literature/1964/sartre/facts/">peraih nobel sastra pada tahun 1964</a>. <a href="https://doi.org/10.1007/BF02772350">Sartre</a> mempopulerkan dalih kebebasan di dalam ateisme, aliran yang tidak mempercayai adanya tuhan, karena menurutnya, kebebasan hanya mungkin jika manusia menolak Tuhan.</p>
<p>Dengan kata lain, jika kebebasan dipahami dengan menggunakan kerangka berpikir Sartre, maka sastra dapat menjadi sarana ekspresi penolakan terhadap agama dan Tuhan.</p>
<p>Namun, hadiah nobel sastra tahun ini sedikit berbeda. Pemenangnya, penulis asal Norwegia <a href="https://universecatholicweekly.co.uk/jon-fosse/">Jon Fosse</a>, adalah seorang Katolik yang taat. Ia bahkan dianggap berhasil menjembatani hubungan antara sastra dan agama dalam karya-karyanya.</p>
<h2>Kebebasan mutlak Sartre</h2>
<p>Baik Fosse maupun Sartre sama-sama menggeluti tema <a href="https://www.britannica.com/topic/existentialism">eksistensialisme</a>, yaitu aliran pemikiran yang menitikberatkan pada pengalaman konkret individual (eksistensi) manusia di dalam memahami dan memaknai keberadaannya sebagai manusia. </p>
<p>Tema penting dalam eksistensialisme adalah segala hal yang berkaitan dengan kerentanan yang menimpa manusia. Martin Heidegger, seorang filsuf dari Jerman, menjadikan tema kerentanan manusia seperti <a href="https://researchspace.ukzn.ac.za/handle/10413/7426">kematian, ketakutan, dan kekuatiran</a> sebagai sorotan utama di dalam studi filsafatnya. Selain itu, manusia tidak lagi diperlakukan sebagai mahkluk ciptaan, tetapi mahkluk yang dibuang oleh Tuhan.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.3390/rel9040110">Bagi Sartre, mahkluk yang terbuang adalah kutukan untuk kebebasan</a>. Kebebasan adalah mutlak dan ini menjadi prinsip yang melandasi nilai. Pembedaan baik dan buruk, bagi Sartre, tidak lagi relevan. Kebebasan dalam memilihlah yang paling pokok dalam memahami manusia. Dengan cara demikian, Sartre ingin menegaskan bahwa tindakan manusia adalah pilihan absolut dari manusia itu sendiri.</p>
<p>Motif tindakan manusia tidak boleh disandarkan pada sosok di luar manusia seperti Tuhan atau institusi, tetapi disandarkan pada manusia itu sendiri.</p>
<p>Tampaknya, Sartre mendambakan gambaran manusia yang heroik, yang mengandalkan dirinya sendiri dalam menghadapi kematian, ketakutan, dan kekuatiran. Sartre percaya, manusia tidak membutuhkan tuntutan apapun dari luar, termasuk dari sosok Tuhan. Manusia sendirilah yang harus menciptakan nilai untuk dirinya sendiri.</p>
<h2>Kesalehan Fosse</h2>
<p>Sementara Fosse adalah kebalikan dari Sartre. Fosse memiliki cara yang berbeda dalam melihat kematian, ketakutan, dan kekuatiran. Menurutnya, ada tuntunan dan uluran tangan yang menjadi sandaran bagi manusia. Inilah yang membedakan eksistensialisme ala Fosse dari eksistensialisme ala Sartre.</p>
<p>Secara implisit, Sartre mengharapkan kekuatan absolut manusia. Sebaliknya, Fosse mengakui keterlibatan sosok Ilahi. Fosse menggambarkan uluran tangan sosok Ilahi ini sebagai metafora cahaya di dalam karyanya yang berjudul <em><a href="https://www.goodreads.com/book/show/78311985-a-shining">A Shining</a></em>. </p>
<p>Fosse percaya, pengalaman akan kematian, ketakutan, dan kekuatiran adalah sebuah jalan yang harus dilalui manusia. Manusia membutuhkan uluran tangan untuk keluar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Inilah yang disebut dengan purifikasi (permurnian). Manusia akan ditinggikan atau dimurnikan setelah diuji dengan pengalaman atas kematian, ketakutan, dan kekuatiran.</p>
<p>Jejak pemikiran ini dapat ditelusuri dalam <em>opus magnus</em> (karya agung) Fosse – <em><a href="https://giramondopublishing.com/books/jon-fosse-septology/">Septology</a></em> yang merupakan sebuah novel tanpa tanda titik:</p>
<blockquote>
<p>Bahwa Tuhan mewahyukan diri </p>
<p>dengan menyembunyikan (menyandarkan) diri</p>
<p>dan di dalam ketersembunyian Tuhan </p>
<p>dan di dalam ketersembunyian Tuhan aku dapat bersandar sampai terlupa </p>
</blockquote>
<p>Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa ketersembunyian Tuhan adalah sandaran bagi manusia. Bersandar adalah bahasa metafor untuk mengungkapkan keintiman relasi.</p>
<p>Tuhan yang bersembunyi (<em>Deus absconditus</em>) adalah tema pokok di dalam <a href="https://plato.stanford.edu/entries/mysticism/">mistik</a>, yaitu bentuk kesalehan religius yang sangat menekankan pengalaman keintiman dengan Tuhan. Ritual, tirakat, dan puasa merupakan beberapa contoh usaha untuk mencapai keintiman tersebut. </p>
<p>Di dalam mistik, manusia berada pada posisi tidak berdaya. Ketidakberdayaan manusia ini seringkali disalahpahami sebagai fatalisme, yaitu pandangan filsafat yang meyakini bahwa seseorang sudah dikuasai oleh <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/5278107/fatalisme-adalah-pandangan-filosofis-pahami-sifat-contoh-dan-perbedaannya">takdir sejak awal yang tidak dapat diubah</a>.</p>
<p>Namun, <a href="https://www.nytimes.com/2023/10/05/books/review/jon-fosse-appreciation.html">menurut Fosse</a>, ketidakberdayaan manusia perlu dipahami sebagai bentuk keterbukaan dan kerinduan terhadap uluran tangan di tengah usaha kerasnya. Justru karena uluran tangan Tuhanlah, manusia akhirnya dapat menemukan sandaran dalam menghadapi ujian kehidupan. </p>
<p>Paradigma ketidakberdayaan dan metafora cahaya dapat ditemukan juga dalam puisi “<a href="https://www.sepenuhnya.com/2012/02/puisi-padamu-jua-karya-amir-hamzah.html">Padamu Jua</a>” karya Amir Hamzah:</p>
<blockquote>
<p>Habis kikis</p>
<p>segala cintaku hilang terbang</p>
</blockquote>
<p>Lalu setelah mengalami ketidakberdayaan, muncullah metafora cahaya </p>
<blockquote>
<p>Kaulah kandil kemerlap</p>
<p>pelita jendela di malam gelap</p>
<p>melambai pulang perlahan</p>
<p>sabar, setia selalu.</p>
</blockquote>
<p>Cahaya tidak hanya menunggu, tetapi mengajak dan terus mengundang. Kandil (tempat lilin) dan pelita terus melambai agar manusia mendekat. Yang ditonjolkan di dalam puisi tersebut bukan kekuatan super seorang manusia, tetapi kemurahan hati Sang Pemilik Cahaya. </p>
<h2>Kepekaan mendengar</h2>
<p>Bisa dibilang, sosok Fosse adalah anomali dari arus modernisasi teologi yang cenderung digerakkan oleh faham agama akal budi. Faham ini mereduksi agama sekedar sebagai orientasi moral dan cenderung meminggirkan aspek ritual dan mistik. Fosse menyesalkan kecenderungan semacam ini.</p>
<p>Sosok Fosse masih memegang teguh kesalehan ritual dan menggemari tema mistik. Mengunjungi perayaan Ekaristi (perjamuan kudus) adalah rutinitas Fosse di sela-sela kesibukannya menulis. <a href="https://www.thetablet.co.uk/columnists/3/23639/the-convert-honoured-as-this-year-s-nobel-literary-laureate-is-an-adventurous-choice">Menurut pengakuannya</a>, kesalehan ritual adalah hal yang tak terpisahkan di dalam membangun kedekatan dengan Tuhan. Selain itu, <a href="https://lareviewofbooks.org/article/a-second-silent-language-a-conversation-with-jon-fosse/">Fosse adalah penggemar Meister Eckhart</a>, seorang pemikir mistik pada abad pertengahan.</p>
<p>Bagi Fosse, menulis pada dasarnya adalah mendengarkan. Mendengar di sini adalah metafor untuk menggambarkan kemampuan pasif akal budi dalam menerima fenomena sebagaimana adanya sesuai aliran <a href="https://www.britannica.com/topic/phenomenology">fenomenologi</a>.</p>
<p>Apa yang tertulis adalah ungkapan dari apa yang didengarkan. Pilihan kata atau diksi dalam sastra tidak berpretensi untuk mengungkapkan sesuatu yang pasti dan presisi. Diksi sastra membuka ruang untuk berimajinasi dan mencicipi. </p>
<p>Dengan ketajaman pendengarannya, sosok Fosse mampu menyuguhkan kembali keintiman sastra dan agama di tengah tekanan sekularisme dunia barat. Tak heran jika apresiasi terhadap karya Fosse adalah menyuarakan apa yang tak tersuarakan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jon-fosse-memenangkan-nobel-sastra-2023-karena-memberikan-suara-kepada-hal-hal-yang-tidak-dapat-diungkapkan-215257">Jon Fosse memenangkan Nobel Sastra 2023 karena memberikan suara kepada hal-hal yang tidak dapat diungkapkan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/217906/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Martinus Ariya Seta tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jon Fosse, yang baru saja terpilih sebagai peraih hadiah nobel sastra 2023, sering dianggap sebagai sosok yang kembali mempertahankan keintiman sastra dan agama. Mengapa demikian?Martinus Ariya Seta, Dosen, Universitas Sanata DharmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2088742023-07-11T08:13:50Z2023-07-11T08:13:50ZSiapa yang paling diuntungkan dari kebebasan berpendapat: si kaya atau si miskin?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536285/original/file-20230707-29-fswcxe.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C667%2C347&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi pembungkaman kebebasan berbicara.</span> <span class="attribution"><span class="source">Getty Images</span></span></figcaption></figure><p>Di berbagai negara, baik melalui represi kekuasaan rezim otoriter maupun <a href="https://www.pewresearch.org/internet/2021/05/19/americans-and-cancel-culture-where-some-see-calls-for-accountability-others-see-censorship-punishment/"><em>cancel culture</em></a> (budaya penolakan), pentingnya kebebasan berekspresi kini tengah <a href="http://www.article19.org">diperdebatkan dengan sengit</a>. Namun, apakah kebebasan berpendapat menguntungkan semua kelompok secara setara?</p>
<p>Lewat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167268123002007">penelitian</a> yang terbit baru-baru ini, kami menjawab pertanyaan tentang siapa yang paling diuntungkan dari kebebasan berpendapat. Apakah individu yang memiliki sumber daya paling banyak-–secara pendapatan ataupun pendidikan-–yang lebih diuntungkan, atau justru individu yang memiliki sedikit sumber daya?</p>
<p>Gagasan bahwa mereka yang memiliki sumber daya adalah yang paling diuntungkan sejalan dengan konsep <a href="https://www.simplypsychology.org/maslow.html">hierarki kebutuhan</a> yang dikembangkan oleh psikolog Amerika Serikat (AS) Abraham Maslow. Dia berargumen bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan yang paling mendesak-–seperti makanan dan tempat tinggal-–sebelum berupaya mendapatkan ‘kemewahan’ seperti kebebasan berpendapat.</p>
<p>Walau begitu, pandangan bahwa kebebasan berpendapat paling menguntungkan untuk mereka yang memiliki sedikit sumber daya pun konsisten dengan gagasan: orang-orang yang terpinggirkan memiliki ruang lingkup yang lebih kecil untuk memengaruhi keputusan dalam masyarakat jika harus menggunakan dana atau jaringan mereka. Mereka membutuhkan kebebasan berpendapat untuk memengaruhi keputusan dalam kebijakan publik.</p>
<h2>Hak untuk mengatakan apapun</h2>
<p>Prinsip kebebasan berpendapat yang (mungkin) paling tepat telah digambarkan pada 1906 oleh penulis Evelyn Beatrice Hall. Dia memparafrasekan filsuf Prancis Voltaire. Dia menulis:</p>
<blockquote>
<p>Saya tidak setuju dengan pendapatmu, tetapi saya akan membela sampai mati hakmu untuk mengungkapkannya.</p>
</blockquote>
<p>Kebebasan berpendapat telah ditetapkan sebagai hak oleh PBB dan tercantum dalam Pasal 19 <a href="https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights">Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia</a> 1948, yang bunyinya:</p>
<blockquote>
<p>Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).</p>
</blockquote>
<p>Namun, perlu diakui bahwa bahkan di negara-negara dengan tingkat kebebasan berpendapat yang tinggi tetap punya batasan terhadap <a href="https://lawecommons.luc.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=&httpsredir=1&article=1040&context=facpubs">ujaran kebencian, terorisme, dan pengkhianatan negara</a>. Setelah tragedi pembantaian Christchurch di Selandia Baru, contohnya, manifesto dan video oleh para pelaku teror itu diklasifikasikan sebagai dokumen terlarang untuk ditayangkan dan <a href="https://www.dia.govt.nz/Response-to-the-Christchurch-terrorism-attack-video">didistribusikan</a> di negara tersebut.</p>
<p>Meskipun berbagai negara telah “mengabadikan” hak atas kebebasan berekspresi dalam konstitusi mereka, masih banyak orang di banyak negara lainnya yang mengalami pembatasan berpendapat. Selama proses penobatan Raja Charles baru-baru ini, misalnya, <a href="https://newrepublic.com/article/172508/hold-coronation-britain-suppressed-free-speech-thats-insane">52 pengunjuk rasa di Inggris ditangkap</a>, bahkan sebelum memulai aksi protes. Penangkapan ini dikritik sebagai serangan terhadap kebebasan berpendapat publik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/533360/original/file-20230622-25-z8x16t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para pengunjuk rasa ditangkap selama proses penobatan Raja Charles, termasuk penangkapan awal terhadap aktivis antimonarki di London.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Wiktor Szymanowicz/Getty Images</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kebebasan berpendapat dan kesejahteraan</h2>
<p>Penelitian kami menguji apakah perubahan pembatasan kebebasan berpendapat berkaitan dengan naik-turunnya kesejahteraan orang-orang yang memiliki banyak sumber daya dibandingkan dengan orang-orang dengan sedikit sumber daya di suatu negara.</p>
<p>Analisis kami melibatkan 300 ribu responden lebih dari 90 negara selama 40 tahun. Kami menggunakan data kesejahteraan dan data individual lainnya dari <a href="https://www.worldvaluessurvey.org/wvs.jsp">World Values Survey</a> dan survei <a href="https://www.latinobarometro.org/lat.jsp">Latino Barometer</a>. Kesejahteraan diukur dengan bagaimana orang-orang menilai kualitas hidup mereka secara keseluruhan.</p>
<p>Kami melengkapi data kesejahteraan individu menggunakan ukuran kebebasan berpendapat dan HAM tingkat negara. Sumbernya dari dua <em>database</em> yang disusun secara independen (oleh <a href="https://cirights.com/">CIRIGHTS</a> dan <a href="https://v-dem.net/">VDEM</a>). Banyak negara dalam survei-survei tersebut yang menunjukkan perubahan tingkat kebebasan berpendapat selama masa penelitian berlangsung.</p>
<p>Penelitian kami menghasilkan dua temuan kunci.</p>
<p>Pertama, orang-orang dengan lebih banyak sumber daya menempatkan memprioritaskan kebebasan berpendapat (ketika mereka diminta mengurutkan kepentingannya).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/oath-keepers-convictions-shed-light-on-the-limits-of-free-speech-and-the-threat-posed-by-militias-195616">Oath Keepers convictions shed light on the limits of free speech – and the threat posed by militias</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kedua, orang-orang dengan sedikit sumber dayalah yang sebenarnya paling diuntungkan dari kebebasan berpendapat. Hasil riset menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat membuat orang-orang ini menjadi lebih berdaya. Kebebasan pun lebih berpeluang meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang terpinggirkan. </p>
<p>Dua temuan tersebut tidak bertentangan: orang-orang dengan sumber daya yang lebih sedikit mungkin perlu memprioritaskan kebutuhan dasar lebih dari “kemewahan” seperti kebebasan berpendapat. Namun, karena berada dalam lingkup populasi yang terpinggirkan, mereka menjadi penerima manfaat paling besar dari kebebasan berekspresi.</p>
<p>Riset kami juga menemukan bahwa orang-orang yang menghargai kebebasan berpendapat merasa diuntungkan dengan tinggal di negara-negara dengan kebebasan berpendapat. Preferensi terhadap kebebasan berpendapat pun bervariasi: tergantung karakter-karakter tertentu dalam suatu populasi (selain pendapatan dan pendidikan).</p>
<p>Ada beberapa kelompok masyarakat yang cenderung memprioritaskan kebebasan berpendapat: kaum muda, pelajar, orang yang tidak menganut agama, dan mereka yang berada di spektrum politik kiri. </p>
<p>Preferensi juga mencerminkan keadaan negara. Masyarakat di negara-negara Barat cenderung lebih mendukung kebebasan berpendapat ketimbang masyarakat lainnya di dunia.</p>
<h2>Mempertahankan “pasar gagasan”</h2>
<p>Di dunia di mana kebebasan berpendapat semakin terancam, penting untuk melindungi “<a href="https://rdi.org/defining-democracy-marketplace-of-ideas/">pasar gagasan</a>”. Menurut pemikir abad ke-19, John Stuart Mill, gagasan harus “bersaing” di pasar terbuka dan diuji oleh publik untuk menentukan gagasan mana yang akan menang.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/there-are-differences-between-free-speech-hate-speech-and-academic-freedom-and-they-matter-124764">There are differences between free speech, hate speech and academic freedom – and they matter</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Terlepas dari risiko dengan adanya <a href="https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.2023301118"><em>echo-chambers</em></a> (ruang gema) media sosial kini, pemikiran Mill masih relevan. Seseorang harus dapat mengungkapkan pandangannya dan menerima pandangan orang lain secara terbuka.</p>
<p>Deklarasi HAM PBB menekankan kebebasan berekspresi yang dua arah. Artinya, setiap orang memiliki “hak untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan gagasan”.</p>
<p>Undang-undang negara harus mencerminkan desakan Hall tentang kebebasan berekspresi. Di tingkat nasional, kita harus membela hak orang lain untuk mengatakan apa yang mereka inginkan. Sementara, di tingkat personal, kita juga harus menghormati pentingnya menjadi pendengar yang baik, bahkan ketika kita tidak menyetujui apa yang dikatakan orang lain.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208874/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arthur Grimes menerima dana dari Victoria University of Wellington dan dari Motu Research untuk penelitian ini.</span></em></p>Riset terbaru menyoroti bagaimana orang yang menghargai kebebasan berpendapat mungkin bukan orang yang paling diuntungkan dari kebebasan itu.Arthur Grimes, Professor of Wellbeing and Public Policy, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2056592023-05-17T09:32:01Z2023-05-17T09:32:01ZSejarah istilah “transpuan” dan maknanya dalam perjuangan keadilan gender<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/526710/original/file-20230517-21-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3680%2C2104&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang transpuan dalam kampanye memperjuangkan hak-hak kelompok transgender.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/transgender-woman-fighting-trans-human-rights-2278626753">Nuva Frames</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia yang jatuh pada 17 Mei.</em></p>
<p>Sejak akhir 2010-an, kosakata <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/transpuan">transpuan</a> mulai digunakan secara luas baik di lingkup daring maupun luring, dan kini telah masuk dalam <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/transpuan">Kamus Besar Bahasa Indonesia</a>. Media progresif dan organisasi masyarakat sipil di ibu kota pun mulai makin intens menggunakan istilah transpuan pada 2020.</p>
<p>Kata transpuan merupakan gabungan suku kata pertama dari bahasa Inggris “transgender” (trans-) dan suku kata akhir “perempuan” (puan). Dalam bahasa Inggris sendiri dikenal istilah <em>transwoman</em>, yang berasal dari gabungan kata “<em>transgender</em>” dan “<em>woman</em>”. Namun, sejarah kata transpuan di Indonesia melibatkan perjuangan keadilan gender tersendiri.</p>
<p><a href="https://www.cornellpress.cornell.edu/book/9781501766671/the-made-up-state/#bookTabs=1">Sejarahnya, transgender di Indonesia</a> bukanlah hal baru, dan transpuan bukan istilah pertama yang digunakan untuk merujuk pada kelompok identitas gender terkait.</p>
<p>Perjalanan pergeseran istilah untuk menyebut suatu kelompok kerap kali memiliki makna yang berbeda-beda dan mempengaruhi cara mereka mengidentifikasi dirinya, tergantung oleh siapa istilah itu diperkenalkan dan di mana, dan dalam konteks budaya apa.</p>
<p>Sejarah perubahan istilah ini pun menjadi kunci untuk memahami bagaimana kelompok trans di Indonesia memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak terhadap akses kesehatan, kartu identitas, dan keamanan di ruang publik.</p>
<h2>Dari “waria” ke “transpuan”</h2>
<p>Pada tahun 1968, pernah dikenal istilah “wadam”, singkatan dari “Hawa” (wanita) dan “Adam” (pria). Istilah ini <a href="https://read.dukeupress.edu/journal-of-asian-studies/article-abstract/80/4/955/320842/Governing-Nonconformity-Gender-Presentation-Public?redirectedFrom=fulltext">diciptakan</a> oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, dengan tujuan memberikan sebutan yang lebih positif bagi istilah “banci” atau “bencong”. Setahun setelahnya, pemerintah DKI Jakarta juga memfasilitasi lahirnya organisasi wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/526717/original/file-20230517-29-fhpzvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Transpuan dari Sanggar Seroja Jakarta mengenakan kostum buatan sendiri dari bahan daur ulang untuk memperingati Hari Bumi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-april-23-2022-transwoman-2149122691">Toto Santiko Budi</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://read.dukeupress.edu/tsq/article-abstract/5/3/355/135251/Under-the-Lights-Onto-the-StageBecoming-Waria?redirectedFrom=fulltext">“Banci” adalah istilah</a> yang kerap digunakan sejak abad ke-19 sampai akhir 1960an. Istilah ini menyiratkan makna yang jauh lebih menyakitkan dan menyerang.</p>
<p>Namun, penggunaan kata Adam (yang diambil dari Nabi Adam) diprotes oleh salah satu kelompok agama di Jawa Timur. Kementerian Agama kemudian mengubahnya menjadi “waria”, diambil dari gabungan suku kata “wanita” dan “pria”, pada 1978.</p>
<p>Mulai akhir 2010-an, beberapa aktivis transpuan di Jakarta mulai membatasi penggunaan kata waria. Dikutip <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781003320517-2/inter-asia-history-transpuan-indonesia-benjamin-hegarty?context=ubx&refId=55788de4-2b80-464d-87df-ffe59e574639">penelitian</a>, garis besarnya, aktivis menjelaskan tiga alasan. Pertama, istilah waria diberikan oleh pemerintah dan bukan diciptakan oleh komunitas relevan. Kedua, istilah itu menyelipkan kata “pria” yang dirasa tidak menjadi bagian dari maknanya. Ketiga, istilah itu dianggap bentuk objektivikasi dan dominasi pemerintah.</p>
<p>Contohnya, seorang aktivis transpuan, Kanzha Vinaa, mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>“Ada teman-teman trans yang lebih memilih menyebut dirinya sebagai transpuan, ada juga yang lebih memilih disebut waria. Tapi untuk orang-orang di luar komunitas trans, kami meminta mereka untuk menggunakan kata transpuan.”</p>
</blockquote>
<p>Menurut aktivis tersebut, penting untuk memberi ruang bagi komunitas trans untuk memilih dengan kata apa mereka lebih nyaman disebut – entah sebagai waria, transpuan, atau bisa jadi keduanya. </p>
<p>Arum Marischa, seorang waria yang berasal dari Yogyakarta, mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>“Saya pribadi lebih suka dengan sebutan waria. Tapi, menurut saya, mau waria atau transpuan, itu <em>monggo</em> disepakati bersama saja.”</p>
</blockquote>
<p><a href="http://www.medanthrotheory.org/article/view/4725">Riset lain</a> menemukan ada juga orang trans yang menggunakan istilah tergantung situasi. Misalnya, ia menyebut dirinya sebagai “waria” atau “transgender” dalam <em>setting</em> dan konteks tertentu yang dibentuk posisi ekonomi dan politik tidak setara.</p>
<p>Pernyataan-pernyataan tersebut memperlihatkan adanya perbedaan penggunaan istilah antara bagaimana peneliti serta komunitas mengategorisasi orang lain dan diri sendiri.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/526718/original/file-20230517-25-kby3qu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang transgender menari tradisional di sebuah festival seni di daerah Jawa Tengah, Indonesia.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/central-java-indonesia-november-11-2021-2076423463">Mufti Adi Utomo</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Komunitas trans di Indonesia sering menjadi objek bagi peneliti dan jurnalis. Namun sering sekali mereka <a href="https://www.insideindonesia.org/komunitas-transgender-dan-etika-penelitian">tidak dilibatkan sebagai <em>partner</em></a>. Padahal, untuk konteks formal, termasuk penelitian dan konten media, penting untuk memastikan istilah mana yang tepat digunakan karena ini adalah etika dasar. Untuk memastikannya, perlu penyesuaian dengan konteks dan kemauan komunitas setempat.</p>
<h2>Transpuan sebagai istilah perjuangan</h2>
<p>Pada awalnya, penggunaan kata transpuan hanya familier di antara kelas menengah atau jaringan aktivisme yang berbasis di Jakarta. Namun, berdasarkan hasil observasi kami, istilah tersebut juga digunakan oleh selain kelas menengah dan di luar area metropolitan – sering kali berbarengan atau tertukar dengan waria. Beberapa aktivis transgender dan <em>queer</em> menggunakan istilah transpuan agar lebih mudah diterima dalam lingkup sosial yang lebih besar. </p>
<p>Penjelasan terkait penggunaan istilah transpuan maupun waria sebenarnya memiliki motivasi yang paralel. Keduanya muncul sebagai upaya dan keinginan untuk mendapat pengakuan dan memiliki kontrol untuk mengidentifikasi dirinya, menyebut dirinya, maupun memahami dirinya. </p>
<p>Penggunaan awal transpuan dalam buku berbahasa Indonesia adalah dalam buku <a href="https://www.melela.org/wp-content/uploads/2019/07/Penerimaan-Kumpulan-Cerita-ind-2.pdf"><em>Penerimaan: Kumpulan Cerita Penerimaan Orang Tua dengan Anak Transpuan</em></a> yang ditulis oleh psikolog dan aktivis transpuan, Stephanie Halim. Pada bagian pendahuluannya, ia menawarkan definisi “trans” secara ekspansif. Definisi tersebut menunjukkan pola yang terjadi secara nasional dalam generasi konsep baru terkait transgender di Indonesia.</p>
<p>Ini mirip seperti yang terjadi dengan perubahan makna dalam kosakata “perempuan” dan “wanita”. Istilah wanita kerap digunakan dalam <a href="https://komunitasbambu.id/product/ibuisme-negara-state-ibuism-konstruksi-sosial-keperempuanan-orde-baru/">proyek pembangunan Orde Baru</a> dan menyelipkan bentuk kekuasaan pemerintah patriarkis yang lekat dengan domestikasi terhadap perempuan.</p>
<p>Munculnya istilah transpuan juga mengandung akses solidaritas terhadap jaringan aktivis feminisme. Kata “perempuan” (-puan) di dalam transpuan menunjukkan adanya upaya — dalam lingkup individu maupun kolektif —- mengambil alih pengakuan dari komunitas sendiri dan melepaskan diri dari istilah yang diberikan aktor-aktor negara.</p>
<h2>Mengurai solidaritas transgender lintas negara</h2>
<p>Transgender bukan istilah netral, melainkan punya sejarah tersendiri. Kosakata ini <a href="https://www.dukeupress.edu/imagining-transgender">mulai digunakan secara luas dan di kalangan resmi</a> di AS pada 1990-an untuk membedakan antara identitas yang berbasis seksualitas dan yang berbasis gender. Sebelum itu, orang-orang biasanya menyebut diri dengan kosakata yang sudah ada, <em>“gay”</em>, maka istilah transgender membuka ruang untuk membedakan dirinya maupun dibedakan oleh orang dan institusi lain.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/526719/original/file-20230517-25-qe6olr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perayaan Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia dan Bifobia di Jakarta tahun 2015.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-may-17-2015-international-1195441783">Dani Daniar</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jika kita mengulik sejarah transpuan di Indonesia, maka akan terlihat bagaimana munculnya ketidakadilan terhadap komunitas trans, sekaligus terjalinnya solidaritas antara transpuan dan perempuan dan antara komunitas transgender di kawasan Asia Tenggara. </p>
<p>Di Asia Tenggara, “transgender” digunakan secara lebih luas sebagai <em>platform</em> untuk mendapatkan hak dan pengakuan, termasuk - tetapi tidak terbatas - untuk program penanganan HIV/AIDS.</p>
<p>Pada pertengahan 2010-an, seiring bertumbuhnya dana dan infrastruktur untuk penanganan HIV di Asia Tenggara, istilah transgender mulai digunakan dalam konteks ruang publik yang demokratis dan dalam konteks advokasi di lingkup internasional.</p>
<p>Sayangnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang sudah disahkan oleh pemerintah dan DPR RI justru menjadi salah satu <a href="https://www.hrw.org/id/news/2023/01/12/indonesia-new-criminal-code-assaults-rights">bentuk kriminalisasi</a> terhadap kelompok berbasis seksualitas dan identitas gender oleh negara.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1600704682296737792"}"></div></p>
<p>Sejarah trans di Indonesia juga tertanam dalam hubungan regional di Asia Tenggara. <a href="https://weareaptn.org/">Asia-Pacific Transgender Network (APTN)</a> merupakan komisi koordinasi dan advokasi regional berbasis di Bangkok yang mewadahi organisasi transgender di seluruh Asia dan Pasifik. Salah satu yang dihasilkannya adalah <a href="https://www.gwl-ina.or.id/category/publikasi/page/2/">“Buku Panduan Kesehatan untuk Waria”</a> yang terbit tahun 2010.</p>
<p>Transpuan menjadi salah satu cara komunitas trans di Indonesia terhubung secara regional untuk menuntut pengakuan dan advokasi demi memperjuangkan kepentingan bersama, dan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang sejarah ketidakadilan akibat eksploitasi kolonial dan kapitalis.</p>
<p>Ini karena transpuan di Indonesia belum sepenuhnya mendapat hak dasar sebagai warga negara, seperti <a href="https://www.unaids.org/en/resources/presscentre/featurestories/2023/march/20230331_healthcare-access-asia-pacific-trans-people">akses kesehatan</a> dan <a href="http://www.suarakita.org/2022/03/29032022/">kartu identitas</a>.</p>
<p>Transpuan bukan hanya tentang gender, tapi juga tentang perjuangan keadilan lintas batas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205659/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kosakata transpuan menyimpan makna dan sejarah perjuangan hak-hak kelompok minoritas gender di Indonesia.Benjamin Hegarty, Global Health Program, The Kirby Institute, UNSW SydneyAmalia Puri Handayani, Peneliti PUI-PT PPH Pusat Unggulan Kebijakan Kesehatan dan Inovasi Sosial, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2019542023-03-16T11:05:19Z2023-03-16T11:05:19ZHijab bukan simbol penindasan gender – tapi di Barat, mereka yang memilih untuk memakainya berisiko menghadapi Islamofobia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/515717/original/file-20230316-16-ewng07.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C666%2C362&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Perempuan Muslim mengenakan jilbab saat berolahraga.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/hijab-girl-exercising-on-walkway-bridge-1247806204">Jacob Lund/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>New York Times pernah mempublikasi <a href="https://theconversation.com/the-trojan-horse-affair-islamophobia-scholar-on-the-long-shadow-cast-by-the-scandal-176281"><em>podcast</em></a> yang membahas tentang dugaan adanya <a href="https://theconversation.com/operation-trojan-horse-examining-the-islamic-takeover-of-birmingham-schools-25764">“Trojan Horse” (sebuah virus) Islamisasi di sekolah-sekolah di Birmingham, Inggris</a>. Dalam <em>podcast</em> tersebut, seorang perempuan Muslim yang bekerja di salah satu sekolah itu menceritakan apa yang terjadi ketika ia mulai mengenakan jilbab.</p>
<p>Kebetulan ia baru saja menikah saat mulai mengenakannya, dan kemudian rekan-rekan kerjanya yang non-Muslim menafsirkan keputusannya menggunakan jilbab adalah atas perintah suaminya. Mereka menganggap bahwa ia tertindas oleh suaminya sendiri.</p>
<p>Nyatanya, seperti yang ia jelaskan kepada pembawa acara podcast tersebut, ia sebelumnya tidak mengenakan jilbab karena takut terhadap satu hal: reaksi bias orang-orang terhadapnya. Ia mulai berani berjilbab ketika merasa lebih percaya diri dan yakin bahwa sekolah akan menjadi tempat yang aman baginya untuk menjadi dirinya sendiri tanpa takut akan dampak Islamofobia.</p>
<p>Di negara Barat, <a href="https://theconversation.com/what-does-islamophobia-feel-like-we-dressed-visibly-as-muslims-for-a-month-to-find-out-66786">mengenakan penutup kepala</a> bagi perempuan adalah simbol Islam yang paling menonjol – dan paling sering disalahpahami. Cara berjilbab perempuan Muslim bisa bermacam-macam, mulai dari memakai cadar atau niqab, hingga hanya menutupi rambut dan tubuh bagian atas dengan kerudung. Gaya berjilbab juga bisa dalam berbagai macam warna dan model, tergantung dari tempat, waktu dan tren.</p>
<p>Beberapa orang kerap menyamakan berjilbab dengan ketidaksetaraan gender dan melihatnya sebagai ancaman terhadap kohesi sosial atau, lebih buruk lagi, mengidentikannya dengan <a href="https://www.bloomsburycollections.com/book/islam-and-the-veil-theoretical-and-regional-contexts/">ekstremisme Islam</a>.</p>
<p>Benar bahwa banyak perempuan yang dipaksa untuk berjilbab <a href="https://www.amnesty.org/en/latest/campaigns/2019/05/iran-abusive-forced-veiling-laws-police-womens-lives/">karena mengikuti aturan hukum</a> maupun budaya masyarakat di daerah atau negaranya. Namun, jika kita menganggap hal itu berlaku sama bagi semua orang, maka anggapan tersebut akan melahirkan stereotip dan mempromosikan iklim rasisme dan Islamofobia yang kemudian akibatnya akan ditanggung oleh semua perempuan Muslim di seluruh dunia.</p>
<p>Mereka yang memilih untuk berjilbab secara tidak langsung harus mengarahkan pandangan, prasangka dan regulasi, pengawasan media, dan <a href="https://www.jstor.org/stable/42843357?seq=5#metadata_info_tab_contents">debat politik</a> yang dihasilkan dari pilihan mereka itu - seringkali tanpa terlibat di dalamnya - dalam kehidupan sehari-hari mereka.</p>
<p>Namun, banyak asumsi yang gagal mengakui bahwa ada berbagai makna dan alasan bagi perempuan yang memilih untuk berjilbab. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01419870.2016.1159710">Penelitian menunjukkan</a> bahwa bagi banyak dari mereka yang mengenakannya, jilbab bukanlah pakaian yang pasif. Sebaliknya, jilbab seringkali menjadi bagian penting dan integral dari identitas perempuan dan ekspresi atas pilihan pribadi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A woman in a leather jacket sits on a bench in a park with another woman in a pink hijab and marroon coat." src="https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/454729/original/file-20220328-17748-jg7rno.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Islamaphobia sangat merugikan, baik bagi perempuan yang berjilbab maupun non-Muslim yang dianggap ‘terlihat’ Muslim.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/two-british-muslim-women-meeting-urban-588826043">Monkey Business Images | Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Jilbab bisa menjadi simbol kebebasan</h2>
<p>Ketika memutuskan untuk berjilbab, bagaimana seorang perempuan menegosiasikan pilihan pribadinya tidak selalu sejalan dengan ketakutan akan Islamofobia. Bagi sebagian perempuan, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01419870.2016.1159710">seperti yang ditunjukkan oleh penelitian kami</a>, berjilbab dapat memberdayakan dirinya.</p>
<p>Kami melakukan wawancara individu dan <em>focus group discussions</em> dengan perempuan Muslim di Inggris yang mengenakan jilbab. Seorang responden, bernama Jasmine, mengatakan pada kami:</p>
<blockquote>
<p>Banyak saudara kami sesama perempuan Muslim di beberapa tempat di dunia yang dipaksa memakainya. Kita tidak bisa menyangkal bahwa hal itu terjadi. Dan itu tidak bisa dibenarkan. Tapi untuk saya, saya sendiri yang memilih kapan memakainya dan kapan melepasnya. Saya memilih warna apa yang akan saya kenakan, bukan hanya hitam dan putih.</p>
</blockquote>
<p>Responden lainnya, bernama Khadija, berkata: </p>
<blockquote>
<p>Berjilbab itu luar biasa! Ini adalah pilihan fesyen yang indah sekaligus religius. Laci saya penuh dengan jilbab dengan berbagai warna yang cerah, bahan, dan motif. Saya mencocokkannya dengan pakaian saya dan mengenakannya dengan gaya yang berbeda setiap hari.</p>
</blockquote>
<p>Bagi para perempuan ini, memilih untuk berjilbab menjadi cara untuk menegaskan tentang hak mereka untuk memilih dan mengatur tubuh mereka sendiri. Dengan kata lain, jilbab justru tidak pasif, dan bertolak belakang dengan asumsi penindasan yang dihasilkan oleh pandangan stereotip.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A woman in a blue headscarf and yellow coat poses in front of a pink building." src="https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/454731/original/file-20220328-23-kcn5o4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebagai busana yang ‘aktif’, jilbab memiliki potensi gaya fesyen yang menarik.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/fashion-portrait-young-attractive-muslim-malay-1197876037">mentatdgt | Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Berjilbab juga bisa menjadi hal yang rumit</h2>
<p>Bagi perempuan lainnya, pengalaman berjilbab memberikan nuansa yang berbeda. </p>
<p>Seorang politikus perempuan asal Prancis <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-030-48725-6?noAccess=true">menceritakan pada kami</a> tentang bagaimana ia mencari cara untuk menutup kepalanya agar tidak mencolok guna mencegah munculnya stereotip padanya sebagai perempuan Muslim atau menimbulkan Islamofobia. Dan ia sudah menemukan caranya.</p>
<blockquote>
<p>Saya tidak memakai kerudung untuk sepenuhnya menutupi kepala. Saya menutupi rambut saya dengan sesuatu, seperti topi atau baret, sesuatu yang sesuai dengan budaya Prancis.</p>
</blockquote>
<p>Perancang busana dan <em>blogger</em> <a href="https://www.refinery29.com/en-gb/2016/02/104067/news-uniqlo-hijab-tutorial-hana-tajima">Hana Tajima</a> pernah menyuarakan di media sosial tentang tantangan berjilbab. Dalam salah satu unggahannya, ia menyampaikan bagaimana, di satu sisi, ada orang yang tidak mengerti mengapa ada orang yang ingin berjilbab: “Mereka melihat jilbab sebagai sebuah upaya untuk mengontrol dan memanipulasi perempuan.”</p>
<p>Dan di sisi lain, katanya, “ada orang yang merasa bahwa ketika kita memilih untuk mengenakan jilbab, maka kita memiliki tanggung jawab untuk tetap konsisten mengenakannya.”</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CWT25GVFByH","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Ia juga menggambarkan tentang adanya tekanan ekspektasi untuk menjadi simbol yang sempurna dari gagasan tentang iman. Sedangkan untuk perempuan secara lebih luas, signifikansi dan makna pakaian mereka kerap ditentukan secara eksternal oleh masyarakat. Tetap saja, mengenakan jilbab seharusnya menjadi pilihan pribadi dan ekspresi iman yang sangat personal.</p>
<h2>Reaksi Islamofobia</h2>
<p><a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781003023722-7/misogyny-hate-crimes-gendered-islamophobia-amina-easat-daas">Penelitian menunjukkan</a> bahwa perempuan Muslim yang mengenakan penutup kepala di negara-negara Barat banyak mengalami stigma, misogini, dan rasisme yang lebih luas.</p>
<p>Muslimah yang berjilbab kerap mendapat stigma sebagai ancaman. Jilbab atau cadar mereka seakan menjadi perwujudan visual yang membuat Muslim “berbeda” dari orang pada umumnya.</p>
<p><a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781003023722-7/misogyny-hate-crimes-gendered-islamophobia-amina-easat-daas">Penelitian kami juga menunjukkan</a> bahwa perempuan Muslim tampaknya menghadapi dampak yang tidak adil dari Islamofobia, mulai dari ditolak dari mendapatkan layanan tertentu hingga diserang secara fisik di depan umum, termasuk dipaksa untuk melepas jilbab mereka di jalan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A mother in a black niqab and a daughter wearing white jeans and a white hijab walk down a shopping street." src="https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/454727/original/file-20220328-17346-1nae39l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mengarahkan asumsi publik terhadap penggunaan jilbab bisa menjadi pengalaman yang sulit bagi banyak perempuan Muslim di Barat.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/london-uk-august-24-2016-woman-522871231">IR Stone | Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Simbol kemusliman yang terlihat <a href="https://theconversation.com/what-does-islamophobia-feel-like-we-dressed-visibly-as-muslims-for-a-month-to-find-out-66786">berkorelasi</a> secara langsung dengan pengalaman Islamofobia. Namun, kami menemukan bahwa Islamofobia juga berdampak pada orang-orang yang <a href="https://theconversation.com/you-all-look-the-same-non-muslim-men-targeted-in-islamophobic-hate-crime-because-of-their-appearance-85565">bukan Muslim</a>, hanya karena <a href="https://theconversation.com/you-all-look-the-same-non-muslim-men-targeted-in-islamophobic-hate-crime-because-of-their-appearance-85565">penampilan fisik</a> dan warna kulit mereka, serta, menurut <a href="https://www.theguardian.com/money/2004/jul/12/discriminationatwork.workandcareers">penelitian</a>, nama mereka dianggap “terlihat” Muslim.</p>
<p>Rasisme anti-Islam seperti itu menyebabkan banyak Muslim yang makin <a href="https://www.ssoar.info/ssoar/bitstream/handle/document/31845/ssoar-2006-choudhury_et_al-Perceptions_of_discrimination_and_Islamophobia.pdf?sequence=1">didiskriminasi</a> ketika mencoba untuk mendapatkan tempat tinggal maupun mengakses pendidikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201954/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Asumsi sesat tentang arti jilbab tidak paham betapa integralnya berjilbab dengan identitas perempuan.Irene Zempi, Senior Lecturer in Criminology, Nottingham Trent UniversityAmina Easat-Daas, Lecturer in Politics, De Montfort UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1962162022-12-09T10:46:48Z2022-12-09T10:46:48ZSelain mengkriminalisasi seks di luar nikah, KUHP juga mengancam kebebasan berpendapat dan beragama<p>Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah lama mengundang kontroversi resmi disahkan oleh DPR pada Selasa, 6 Desember 2022, menggantikan KUHP lama yang sudah usang yang berlaku sejak tahun 1918.</p>
<p>Revisi KUHP oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah berlangsung selama beberapa dekade. Pembahasannya menuai banyak perdebatan, bahkan sempat memicu gelombang protes besar-besaran pada 2019, yang juga menjadi aksi massa terbesar di Indonesia sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1998.</p>
<p>Kali ini, para politikus di DPR mempercepat pembahasannya dalam waktu singkat dan membatasi keterlibatan publik di tengah meluasnya kritik. KUHP akhirnya disahkan dengan dukungan dari hampir semua fraksi partai politik di DPR – hanya dua partai kecil yang menentang. </p>
<p>Banyak pasal dalam KUHP baru yang sangat kabur dan terlalu luas – biasa disebut “pasal karet” – yang memberi otoritas pada negara dengan mengorbankan warga negaranya.</p>
<p>Pasal yang paling banyak menuai kritik adalah ketentuan yang memaksakan nilai moral konservatif tentang seksualitas dan ketentuan yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1600003864211738624"}"></div></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/for-indonesias-transgender-community-faith-can-be-a-source-of-discrimination-but-also-tolerance-and-solace-193063">For Indonesia's transgender community, faith can be a source of discrimination – but also tolerance and solace</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Masa percobaan untuk hukuman mati</h2>
<p>Salah satu perubahan positif dalam KUHP baru adalah adanya aturan mengenai masa percobaan untuk hukuman pidana mati. Seorang terpidana mati yang menunjukkan perilaku baik selama periode ini dan menunjukkan penyesalan dapat diubah hukumannya dari hukuman mati menjadi hukuman penjara sepanjang masa waktu tertentu.</p>
<p>Ini menandakan bahwa negara mulai menjauhi pendekatan “tanpa belas kasihan” yang selama ini diadopsi oleh pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Seandainya ketentuan ini sudah diberlakukan dari dulu, mungkin Myuran Sukumaran dan Andrew Chan – terpidana kasus penyelundupan narkoba asal Australia – dapat lepas dari eksekusi mati.</p>
<p>Ketentuan ini sepertinya menjadi satu-satunya kemajuan positif yang signifkan dalam KUHP. Sisanya, terlalu banyak perubahan ketentuan yang justru menjadi sangat regresif, sampai menghilangkan atau membatasi kebebasan sipil.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1600344453134561280"}"></div></p>
<h2>Persetubuhan di luar nikah dan pasal moralitas lainnya</h2>
<p>Ada dua pasal yang menarik perhatian internasional, yakni pasal yang mengkriminalisasi tindakan persetubuhan di luar nikah – hukuman maksimalnya sampai satu tahun penjara – dan pasal yang memenjarakan pasangan yang belum menikah atau bukan suami istri jika tinggal bersama. </p>
<p>Sempat ada kekhawatiran bahwa turis asing – yang berpasangan tapi belum menikah – yang berlibur ke Bali juga bisa menjadi target implementasi aturan tersebut. Nyatanya, kedua pasal tersebut adalah <em>delik aduan</em>. Artinya, tidak ada orang yang bisa dijerat jika tidak ada laporan ke polisi dari pihak yang telah ditentukan – suami atau istri, orang tua, atau anak.</p>
<p>Dengan demikian, pasal itu tidak mungkin diterapkan terhadap pasangan turis asing yang belum menikah. Walau begitu, ada kemungkinan pasal ini bisa diterapkan jika salah satu pasangannya adalah warga Indonesia dan pelapor adalah keluarganya.</p>
<p>Namun, kekhawatiran yang timbul lebih kepada dampaknya terhadap masyarakat Indonesia, khususnya para pasangan muda. Ketentuan pasal itu seakan memberi ruang bagi keluarga untuk ‘menggunakan’ kepolisian dan pengadilan demi memaksakan pandangan mereka tentang seksualitas dan memilih pasangan.</p>
<p>Banyak juga yang khawatir KUHP ini akan digunakan oleh pihak tertentu untuk mengkriminalisasi kelompok LGBT, yang tidak bisa menikah di bawah hukum Indonesia. Homoseksualitas tidak secara resmi ilegal di Indonesia (kecuali di provinsi Aceh), tetapi pihak yang menolak KUHP meyakini bahwa aturan tersebut diam-diam dapat mengkriminalisasi kelompok gay dan lesbian.</p>
<p>Komunitas LGBT sangat berpotensi menjadi sasaran kriminalisasi aturan yang melarang “perbuatan tidak senonoh”. Definisi tindakan tersebut masih samar-samar sehingga bisa memancing reaksi publik jika melihat individu sesama jenis yang mengekspresikan gestur kasih sayang.</p>
<p>KUHP baru ini juga memberlakukan hukuman penjara bagi mereka yang menyebarluaskan informasi tentang kontrasepsi – bahkan yang menjelaskan cara mendapatkannya. Memang ada pengecualian untuk kegiatan edukasi Keluarga Berencana (KB) pemerintah, tapi ketentuan ini jelas membatasi hak dan kebebasan perempuan untuk memilih.</p>
<p>Ada pula pasal yang memberlakukan hukuman empat tahun penjara bagi perempuan yang melakukan aborsi. Hukumannya bisa lebih berat bagi mereka yang melakukan prosedur aborsi tersebut (walaupun ada pengecualian untuk korban perkosaan dan kondisi darurat medis).</p>
<h2>Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi</h2>
<p>KUHP baru juga memuat pasal pemidanaan individu yang menghina pejabat publik, termasuk presiden dan yang bekerja di pemerintahan. Tidak ada pembelaan terhadap kebenarannya. Dengan kata lain, tindakan itu menjadi delik jika pejabat itu dihina, sekalipun tuduhan itu benar.</p>
<p>Efek mengerikan jelas terlihat akan terjadi terhadap debat terbuka dan kebebasan pers. Padahal, ketentuan serupa ada dalam KUHP sebelumnya tapi sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional. Ini adalah upaya mencolok untuk mengembalikan ketentuan tersebut, memberdayakan pemerintah untuk menindak lawan-lawannya.</p>
<p>Ada pula pasal yang melarang penyebaran ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Ini juga bisa disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.</p>
<p>Para aktivis hak asasi manusia (HAM) juga khawatir KUHP berimplikasi terhadap kebebasan pers, karena ada dua pasal karet.</p>
<p><strong>Pertama,</strong> pasal yang melarang penyiaran dan penyebaran berita bohong – tanpa definisi yang jelas – yang mengakibatkan kegaduhan atau keresahan masyarakat. Ancamannya adalah hukuman maksimal dua tahun penjara.</p>
<p><strong>Kedua,</strong> dan yang lebih berbahaya bagi jurnalis, adalah pasal yang mengatur bahwa siapa pun yang menyiarkan atau mendistribusikan berita yang tidak terverifikasi atau dilebih-lebihkan atau tidak lengkap (juga tanpa definisi yang jelas) juga terancam hukuman penjara.</p>
<p>Pasal lain yang sangat kontroversial berkaitan dengan penodaan agama. Ketentuan pasal tersebut memperkuat pembatasan terhadap kehidupan beragama dan membuka ruang terjadinya persekusi terhadap kelompok agama minoritas. Ini akan memperparah masalah yang berkembang di Indonesia sejak era pasca-Soeharto.</p>
<h2>Gugatan ke Mahkamah Konstitusi</h2>
<p>KUHP baru yang sangat cacat ini kemungkinan besar akan mendapat penolakan keras dari para pengacara dan aktivis, termasuk dalam bentuk protes. Aturan ini juga telah melarang kegiatan “demonstrasi tanpa pemberitahuan”. </p>
<p>Mau tidak mau, akan ada yang menggunggat KUHP ke MK. Bisa dipastikan MK akan kembali membatalkan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan konstitusi.</p>
<p>Namun, para aktivis juga khawatir independensi MK akan berubah, mengingat terjadinya pemecatan terhadap hakim MK oleh DPR baru-baru ini.</p>
<p>DPR mengklaim Hakim Aswanto, yang awalnya dicalonkan oleh mereka sendiri, telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan legislatif dalam menjalankan tugasnya karena kerap menganulir atau membatalkan UU – yang merupakan produk legislatif – yang ia anggap inkonstitusional. Tanpa dasar hukum yang jelas, DPR “menariknya” dan Presiden Jokowi langsung melantik penggantinya.</p>
<p>Beberapa pakar memprediksi kejadian ini akan membuat hakim MK yang lainnya tersisa menjadi jauh lebih berhati-hati ketika nantinya menangani gugatan KUHP.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1600276062021091328"}"></div></p>
<h2>Kampanye yang panjang</h2>
<p>Sebagian besar pengamat Indonesia setuju bahwa regresi demokrasi telah meningkat selama dekade terakhir dan KUHP baru ini juga mendukung pola tersebut. Tapi kondisi saat ini mungkin juga terkait dengan pemilihan presiden dan legislatif yang akan dilaksanakan pada Februari 2024.</p>
<p>Presiden Jokowi sudah menjabat selama dua periode dan tidak dapat mencalonkan diri lagi. Karena itu, kemungkinan besar pilpres 2024 akan melahirkan rekalibrasi besar-besaran atas kekuasaan dan kekayaan di Indonesia yang akan berlangsung selama lima atau bahkan sepuluh tahun (jika presiden baru memenangkan masa jabatan kedua).</p>
<p>Politikus sudah mulai berebut posisi. Beberapa di antaranya sudah mulai berkampanye. Politik identitas agama dan moralitas telah memainkan peran sentral dalam persaingan pemilu yang sengit di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. KUHP baru turut mencerminkan situasi ini.</p>
<p>Politikus yang mendukung KUHP ini bisa saja mengklaim bahwa mereka sukses mewujudkan “hukum dan ketertiban” yang telah gagal selama bertahun-tahun, dan mereka bisa menekankan “nilai-nilai kekeluargaan” moralitas konservatif yang dapat membantu mereka mendapatkan dukungan dari pemilih. Ini merupakan hal penting bagi para politikus nasionalis yang ingin memperkuat kredensial agama mereka.</p>
<p>Dan, tentu saja, KUHP baru ini juga menjadi senjata hukum baru yang ampuh yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk melawan para pengkritiknya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/at-50-indonesias-legal-aid-institute-continues-to-stand-on-the-side-of-victims-148777">At 50, Indonesia's Legal Aid Institute continues to stand on the side of victims</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/196216/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tim Lindsey tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>KUHP baru yang sangat cacat ini akan mendapat penolakan keras dari para pengacara dan aktivis dalam bentuk aksi protes dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).Tim Lindsey, Malcolm Smith Professor of Asian Law and Director of the Centre for Indonesian Law, Islam and Society, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1804412022-04-02T14:36:45Z2022-04-02T14:36:45ZDari ‘AADC’ hingga ‘Yuni’: bagaimana kritik sosial dalam film Indonesia berevolusi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/455890/original/file-20220402-61039-9jns9g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">antarafoto ara winda aktris terbaik ffi app</span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/0oezycTa1kxPQgwR9eEWPx?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Sejak Reformasi, film Indonesia <a href="https://theconversation.com/bagaimana-para-sineas-berpengaruh-indonesia-mengangkat-isu-sosial-melalui-film-sejak-kemerdekaan-144745">membuka diri terhadap muatan kritik sosial</a> dan menyajikan tema yang menantang penonton Indonesia dengan berbagai cara.</p>
<p>Kita melihatnya dalam film seperti <a href="https://www.imdb.com/title/tt1989598/"><em>Sang Penari</em> (2009)</a> karya Ifa Ifansyah yang membongkar pengalaman kelompok tari korban peristiwa 1965. Ada pula film <a href="https://www.imdb.com/title/tt8900302/"><em>Kucumbu Tubuh Indahku</em> (2018)</a> arahan Garin Nugroho yang menjelajahi seksualitas dalam budaya Indonesia.</p>
<p>Masyarakat juga disajikan penggambaran figur “<a href="https://theconversation.com/dari-rangga-ke-khudori-laki-laki-baru-di-film-indonesia-82759">laki-laki yang baru</a>”. Lihat saja sosok Rangga di <a href="https://www.imdb.com/title/tt0307920/"><em>Ada Apa dengan Cinta</em> (2002)</a> yang intelektual dan kritis, atau Sakti dalam <a href="https://www.imdb.com/title/tt0374506/"><em>Arisan</em> (2003)</a> yang mendefinisikan ulang makna maskulinitas.</p>
<p>Yang menarik, kita juga menjumpai penggambaran isu gender dan kekerasan seksual semakin gencar dalam satu tahun ke belakang. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://www.imdb.com/title/tt13834788/"><em>Yuni</em> (2021)</a> yang mengangkat tradisi pernikahan dini di daerah rural, ataupun <a href="https://www.imdb.com/title/tt13729220/"><em>Penyalin Cahaya</em> (2021)</a> yang menyoroti terjalnya pencarian keadilan dalam kasus pelecehan. </p>
<p>Para pembuat film pun semakin banyak menggunakan teknik visual seperti penerapan “<a href="https://www.jawapos.com/minggu/halte/19/12/2021/tatapan-perempuan-lokalitas-dan-interseksionalitas-dalam-film-yuni/"><em>female gaze</em></a>” (sudut pandang perempuan) hingga <a href="https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20220114193544-220-746905/review-film-penyalin-cahaya">metafora tentang gender</a> yang kaya.</p>
<p>Berbagai film ini searah dengan bangkitnya kesadaran masyarakat terkait kesetaraan gender dan terbongkarnya <a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">gunung es kekerasan seksual</a> secara perlahan di Indonesia.</p>
<p>Bagaimana kritik sosial berkembang di Indonesia sejak Reformasi? Bagaimana para sineas menggambarkan tema menantang seperti gender dan seksualitas di era modern?</p>
<p>Untuk membedahnya, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami berbincang dengan Gilang Desti Parahita. Ia merupakan seorang dosen komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga mahasiswa PhD di King’s College London, Inggris.</p>
<p>Gilang menceritakan berbagai hal, dari kebebasan ekspresi seksualitas pada film era Orde Baru, munculnya kritik sosial dalam perfilman pasca Reformasi, kebangkitan sutradara perempuan, hingga gencarnya pembahasan dan penggambaran isu gender dalam film seperti <em>Yuni</em> dan <em>Penyalin Cahaya</em>.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/180441/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Gilang Parahita, mahasiswa PhD di King's College London tentang evolusi kritik sosial dan penggambaran isu gender dalam film Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1736002021-12-11T08:05:42Z2021-12-11T08:05:42ZRahasia dapur pasukan siber: bagaimana ‘buzzer’ digerakkan untuk meneror iklim demokrasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/436947/original/file-20211210-19-3affv0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/32EZRmZP16Xzpy7aSwdeRx?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Dalam dua tahun terakhir, berkali-kali kita melihat bagaimana opini publik di media sosial banyak <a href="https://theconversation.com/riset-bagaimana-pendengung-dan-pasukan-siber-ancam-demokrasi-dan-kebebasan-berekspresi-124770">dimanipulasi oleh pasukan siber</a> – dari pendengung (‘<em>buzzer</em>’), <em>influencer</em> politik, hingga akun bot di Twitter.</p>
<p>Kita mengamati ini dalam berbagai peristiwa politik: saat pemilu 2019, demonstrasi <a href="https://theconversation.com/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade-130396"><em>#SaveKPK</em></a>, sepanjang pandemi COVID-19, dan juga gerakan protes terhadap <a href="https://theconversation.com/logika-keliru-aturan-ketenagakerjaan-uu-cipta-kerja-148368">Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipker)</a>.</p>
<p>Seperti apa cara kerja pasukan siber? Bagaimana mereka digerakkan untuk memanipulasi opini publik? Bagaimana dan oleh siapa mereka didanai?</p>
<p>Untuk menjawabnya, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=2862286053bb4387">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami ngobrol dengan Wijayanto, peneliti media dan demokrasi di Universitas Diponegoro (UNDIP) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).</p>
<p>Wijayanto membedah <a href="https://www.insideindonesia.org/cyber-mercenaries-vs-the-kpk">riset terbaru</a> yang ia lakukan bersama tim peneliti Indonesia dan Belanda tentang rekam jejak dan cara kerja pasukan siber pada lima peristiwa politik di Indonesia.</p>
<p>Ia juga menceritakan peretasan terhadap grup WhatsApp aliansi akademisi saat terlibat dalam gerakan <em>#SaveKPK</em>, perang opini publik menggunakan <em>buzzer</em> saat <a href="https://theconversation.com/harta-jabatan-dan-kekuasaan-bagaimana-sistem-presidensial-dorong-perpecahan-partai-politik-di-indonesia-158976">konflik internal Partai Demokrat</a>, dan jaringan pendanaan pasukan siber di Indonesia.</p>
<p>Dengarkan episode lengkapnya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173600/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kami ngobrol dengan Wijayanto, peneliti media dan demokrasi di Universitas Diponegoro (UNDIP) tentang riset terbaru timnya tentang cara kerja pasukan siber pada lima peristiwa politik di Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1692552021-11-18T09:34:39Z2021-11-18T09:34:39ZFacebook kerap menghapus bukti tindak kekejaman di negara seperti Suriah dan Myanmar – tapi kita tetap bisa mengamankannya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/424636/original/file-20211005-17-ldzstq.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C35%2C5955%2C3871&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/march-20-2021-taunggyi-myanmar-army-1979560676">R. Bociaga/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Hampir setengah dari populasi dunia <a href="https://www.bankmycell.com/blog/how-many-phones-are-in-the-world">memiliki <em>smartphone</em> (ponsel pintar)</a>. Bagi mereka yang tinggal di zona konflik, atau mengalami pelanggaran hak asasi manusia, perangkat ini sangatlah <a href="https://www.un.org/en/academic-impact/harnessing-power-internet-support-human-rights">penting</a>. Perangkat ini membantu masyarakat awam merekam dan membagikan bukti kekejaman yang mereka saksikan – memperingatkan dunia tentang keadaan buruk yang sedang terjadi, dan menuntut pertanggungjawaban atas berbagai kejahatan kemanusiaan di sekitar mereka.</p>
<p>Namun, setelah mereka mengunggah bukti digital penting di platform media sosial, mereka kerap mendapati unggahan mereka disensor dan <a href="https://www.hrw.org/news/2020/09/10/social-media-platforms-remove-war-crimes-evidence">dihapus secara permanen</a>.</p>
<p>Perusahaan seperti Facebook – yang kini korporasi induknya dinamai <a href="https://theconversation.com/facebook-relaunches-itself-as-meta-in-a-clear-bid-to-dominate-the-metaverse-170543">“Meta”</a> – memang tidak memiliki kewajiban untuk menyimpan bukti semacam itu, dan di sisi lain mereka juga <a href="https://www.law.georgetown.edu/georgetown-law-journal/wp-content/uploads/sites/26/2018/07/Regulating-Online-Content-Moderation.pdf">telah dituduh</a> terburu-buru memoderasi konten secara ad hoc, dan terkadang secara tidak konsisten.</p>
<p>Human Rights Watch sendiri menyebut kekejaman di seluruh dunia sebagai “<a href="https://www.hrw.org/world-report/2019/country-chapters/global-2">new normal</a>” di era modern. Oleh karena itu, kita perlu segera menciptakan sistem di mana masyarakat di seluruh dunia dapat menjaga, membagi, dan mempublikasikan bukti digital kekejaman tanpa takut akan pembalasan atau sensor.</p>
<p>Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perusahaan media sosial tidak dapat dipercaya untuk menjaga bukti digital terkait tindak kekejaman.</p>
<p>Kita bisa ambil contoh dari peran Facebook di Myanmar. Facebook telah <a href="https://www.dw.com/en/facebook-bans-all-myanmar-military-linked-accounts/a-56682648">memblokir akun</a> yang terafiliasi dengan militer Myanmar sebagai respons terhadap <a href="https://theconversation.com/myanmar-coup-how-the-military-has-held-onto-power-for-60-years-154526">kudeta</a> Februari 2021.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kudeta-myanmar-militer-kembali-berkuasa-membuat-demokrasi-myanmar-semakin-rapuh-154384">Kudeta Myanmar: militer kembali berkuasa, membuat demokrasi Myanmar semakin rapuh</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Facebook sendiri telah mengakui “<a href="https://about.fb.com/news/2018/08/removing-myanmar-officials/">keterlambatan mereka untuk bertindak</a>” atas kasus Myanmar, meski perusahaan itu mengaku telah mengembangkan teknologi yang lebih baik dan kini mempekerjakan lebih banyak peninjau konten untuk mencegah penyebaran kebencian di negara tersebut.</p>
<p>Penyensoran yang subjektif ini tidak hanya terjadi di Myanmar.</p>
<p>Dalam konflik terkini antara Gaza dan Israel, Facebook membungkam pandangan kritis, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2016/9/26/is-facebook-neutral-on-palestine-israel%20-conflict">memblokir akun editor</a> di kantor berita Shehab News yang berbasis di Gaza. YouTube juga telah dituduh secara rutin <a href="https://theintercept.com/2017/11/02/war-crimes-youtube-facebook-syria-rohingya/">menghapus bukti</a> atas kekejaman selama gelombang revolusi Arab (<em>Arab Spring</em>) pada awal 2010-an dan juga perang saudara Suriah.</p>
<p>Konten tersebut telah secara salah ditandai oleh algoritme dan dianggap melanggar pedoman YouTube. Kesalahan ini diakui oleh Google – perusahaan induk Youtube – yang mengatakan bahwa “<a href="https://www.wired.co.uk/article/chemical-weapons-in-%20syria-youtube-algorithm-delete-video">algoritme tidak selalu benar</a>”, namun tetap menganggap insiden seperti ini “sangat serius”.</p>
<p>Untuk mengatasi masalah ini, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) dalam beberapa tahun terakhir telah membentuk mekanisme untuk mengumpulkan, memperkuat, menjaga, dan menganalisis bukti yang berkaitan dengan kejahatan internasional yang serius. Untuk Suriah, upaya ini disebut <a href="https://iiim.un.org/faq/">IIIM</a> dan untuk Myanmar disebut <a href="https://iimm.un.org/what-is-the-independent-investigative-%20mekanisme-untuk-myanmar/">IIMM</a>.</p>
<p>Mekanisme khusus ini telah mengadopsi pendekatan media tradisional, di mana penyelidik yang berpengalaman secara strategis memilih individu dan mengurai bukti dari mereka. Materi dipilih berdasarkan kekuatannya untuk digunakan sebagai bukti dalam proses pengadilan di masa depan, di mana pelaku kekejaman dapat dimintai pertanggungjawaban.</p>
<p>Di tempat lain, organisasi jurnalisme masyarakat global seperti <a href="https://www.bellingcat.com/">Bellingcat</a> menggunakan pendekatan yang berbeda. Mereka mengumpulkan bukti dari berbagai platform media sosial dan menggunakan jaringan sukarelawan untuk menganalisis dan menyelidikinya.</p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://www.bbc.co.uk/news/uk-45665380">Bellingcat</a> berperan di balik <a href="https://www.bellingcat.com/news/uk-and-%20europe/2018/09/26/skripal-suspect-boshirov-identified-gru-colonel-anatoliy-chepiga/">pembukaan kedok</a> laki-laki Rusia yang dituduh meracuni Sergei Skripal, seorang agen ganda yang bekerja untuk intelejen Ingrris, dan juga putrinya Yulia di kota Salisbury, Inggris pada tahun 2018.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1045189449770881024"}"></div></p>
<h2>Sistem yang cacat</h2>
<p>Meski baik, pendekatan seperti ini memiliki kekurangan. Salah satunya adalah bahwa sifatnya terpusat. Hal ini meningkatkan risiko bahwa identitas warga negara dapat terungkap (melalui peretasan, misalnya) yang sering membuat orang enggan untuk maju dan memberikan bukti tindak kekejaman.</p>
<p>Sistem investigasi yang terpusat juga rentan terhadap kompromi, subjektivitas, diskriminasi, atau bahkan kehancuran data.</p>
<p>Perangkat komputer yang berisi bukti dari pelapor Edward Snowden, misalnya, <a href="https://www.theguardian.com/world/video/2014/jan/31/snowden-files-computer-destroyed-guardian-gchq-basement-video">dihancurkan</a> oleh media The Guardian, di bawah pengawasan pejabat dari badan intelijen Inggris (GCHQ) pada tahun 2013. Baru-baru ini, angkatan bersenjata Israel <a href="https://www.reuters.com/world/middle-east/gaza-tower%20-housing-ap-al-jazeera-collapses-after-missile-strike-witness-2021-05-15/">mengebom</a> kantor Associated Press dan Al Jazeera di Gaza pada Mei 2021, menghancurkan semua bukti yang disimpan oleh kantor tersebut.</p>
<p>Jelas bahwa kita membutuhkan platform terdesentralisasi, tanpa penjaga gerbang atau potensi kegagalan tunggal, untuk melestarikan bukti digital kekejaman orang dengan baik. Ini bisa dikatakan mirip dengan Wikipedia: sifatnya terdistribusi dan tidak berada di bawah kendali langsung oleh siapa pun.</p>
<p>Namun, tidak seperti Wikipedia, platform semacam itu harus dapat menjamin anonimitas untuk melindungi warga dari paparan dan pembalasan di masa depan.</p>
<p>Setelah bukti diunggah, bukti tersebut perlu diberi stempel waktu dan dibuat tidak dapat diubah, sehingga tidak seorang pun (termasuk penyedia bukti) dapat mengedit atau menghapus bukti tersebut. Platform itu sendiri juga harus tahan terhadap segala bentuk serangan siber, sehingga tidak dapat ditutup (<em>take down</em>). Semua ini membutuhkan keterlibatan teknologi baru.</p>
<h2>Pelestarian bukti yang kuat</h2>
<p>Membuat situs web yang terdistribusi sebenarnya relatif mudah.</p>
<p>Situs web konvensional menggunakan apa yang disebut <em>hypertext transfer protocol</em> (<a href="https://techterms.com/definition/http">HTTP</a>), yang menyimpan file situs web di server pusat atau komputer. Tetapi ada alternatif, seperti protokol <em>peer-to-peer</em> (seperti <a href="https://hackernoon.com/a-beginners-guide-to-ipfs-20673fedd3f">IPFS</a>, misalnya) yang memungkinkan file situs web disimpan di banyak komputer. Ini berarti tidak ada otoritas yang bisa menutupnya. Demikian pula, IPFS juga dapat digunakan untuk menyimpan file terkait bukti secara terdistribusi dan terdesentralisasi.</p>
<p>Membuat proses pembagian bukti tindak kekejaman yang bersifat anonim, hanya membutuhkan situs web yang terintegrasi dengan semacam portal unggahan bukti yang didukung oleh <a href="https://www.torproject.org/">Tor</a> – teknologi ini membuat perangkat lunak yang terbuka dan gratis untuk komunikasi anonim. Outlet berita seperti The Guardian dan New York Times, misalnya, sudah menggunakan Tor untuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2014/jun/05/guardian-launches-securedrop-whistleblowers-documents">pembagian file anonim</a>. Warga juga harus didorong untuk menggunakan <a href="https://vpnooverview.com/privacy/anonymous-browsing/tor/">browser anonim Tor</a> untuk melindungi diri dari pelacakan perusahaan dan pengawasan pemerintah.</p>
<p>Terakhir, tidak seperti sistem terpusat, bukti yang diunggah secara anonim ke sistem file terdistribusi (IPFS) ini harus tetap dibuat tidak boleh diubah dan tidak dapat dihancurkan.</p>
<p>Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan jaringan <a href="https://www.investopedia.com/terms/b/blockchain.asp"><em>blockchain</em></a>, yang merupakan teknologi di balik <a href="https://www.bankofengland.co.uk/working-paper/2020/blockchain-structure-and-cryptocurrency-prices">mata uang kripto</a>.</p>
<p>Blockchain adalah sistem pencatatan atau sistem data terdistribusi yang terbuka, di mana salinan catatan yang selalu diperbarui tersedia untuk semua pemangku kepentingan, dan dapat diakses setiap saat di seluruh dunia. Hal ini membuat hampir tidak mungkin bagi satu orang atau perusahaan untuk meretas catatan aktivitas semua orang, sehingga memastikan keamanan terhadap serangan siber. Data ini menyimpan data transaksi mata uang kripto – tetapi <em>blockchain</em> juga dapat menyimpan bukti digital.</p>
<h2>Melawan ketidakadilan dan kekejaman</h2>
<p>Situs web untuk mengirim bukti-bukti yang kami usulkan ini memberikan kesempatan kepada korban dan saksi untuk mengunggah bukti mereka <a href="https://www.icj.org/on-video-how-can-the-un-respond-effectively-to-crimes%20-di%20bawah-hukum-internasional-dalam-situasi-krisis/">ketika krisis terjadi</a>, dan jika situasinya mendukung, data tersebut dapat digunakan oleh jurnalis investigasi atau oleh penuntut umum di Mahkamah Internasional.</p>
<p>Situs web semacam itu akan memberdayakan masyarakat awam dan pelapor untuk melawan ketidakadilan dan kekejaman.</p>
<p>Pada saat yang sama, penyebarannya akan memberikan tekanan psikologis pada pelaku, yang lambat laun akan mengetahui bahwa ada bukti kejahatan mereka yang tidak dapat dihancurkan, diubah, atau dibatalkan. Pergeseran kekuasaan dan pola pikir ini dapat merombak hubungan antara penindas dan yang tertindas, memutar balik makna “<em>new normal</em>” atas kekejaman yang telah terjadi di seluruh dunia.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169255/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Video amatir pun dapat digunakan sebagai bukti untut menuntut pelaku tindak kekejaman di seluruh dunia – namun bukti digital ini harus bisa disimpan dengan baik.Imtiaz Khan, Reader (Associate Professor) in Data Science, Cardiff Metropolitan UniversityAli Shahaab, PhD Candidate, Distributed Ledgers / Blockchain Technology, Cardiff Metropolitan UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1658832021-08-24T08:15:45Z2021-08-24T08:15:45ZTikTok: ruang baru ekspresi dan negosiasi identitas lokal Gen Z Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/417387/original/file-20210823-27-p83f9t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=264%2C154%2C2941%2C1733&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Mohamad Hamzah/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo kembali menjadi pembicaraan publik - termasuk di <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210816153004-192-681108/netizen-bereaksi-saat-jokowi-pakai-baju-adat-baduy">media sosial</a> - karena pilihan <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4634023/deretan-baju-adat-yang-dipakai-jokowi-saat-upacara-hut-kemerdekaan-ri">pakaian adat</a> yang ia kenakan dalam puncak perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.</p>
<p>Dalam berbagai peringatan nasional, jamak memang keragaman budaya lokal Indonesia ditampilkan lewat deretan penggunaan pakaian, lagu, dan atribut kedaerahan. </p>
<p>Perayaan nasional dan berbagai acara terkait memiliki fungsi tersendiri. Namun, keberhasilan Indonesia untuk membangun rasa kebangsaan yang kuat akan sangat bergantung pada bagaimana warga negara mengekspresikan, merayakan, dan menegosiasikan identitas-identitas lokal dalam ruang-ruang yang aman dalam kehidupan sehari-hari, tanpa prasangka.</p>
<p>Di manakah dan bagaimanakah proses ini terjadi pada Generasi Z, generasi yang saat ini berusia 8-23 tahun yang akan menjadi penerus bangsa?</p>
<p>Kami mengamati narasi mengenai identitas kedaerahan yang muncul sebagai konten di TikTok. TikTok adalah sebuah platform media sosial yang bertumpu pada format video pendek yang terus-menerus berganti; sebagian besar pengguna TikTok adalah <a href="https://tekno.kompas.com/read/2021/04/19/14020037/jumlah-pengguna-aktif-bulanan-tiktok-terungkap?page=all">anak muda</a>.</p>
<p>Kami menemukan bahwa platform media sosial ini menyediakan ruang untuk mengekspresikan identitas lokal dan kedaerahan anak muda Indonesia.</p>
<h2>Bentuk negosiasi identitas keindonesiaan</h2>
<p>Rezim Orde Baru kerap menghalangi ekspresi-ekspresi kedaerahan karena dikhawatirkan akan mengurangi kekuatan identitas keindonesiaan. Ketika itu, rezim menganggap identitas keindonesiaan harus dibentuk dari elemen-elemen terbaik atau puncak-puncak budaya-budaya daerah. </p>
<p>Akibatnya kedaerahan tidak diekspresikan apa adanya, tapi melalui batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemerintah. Seringkali kebudayaan daerah yang tersisa untuk ditampilkan hanya lagu, tarian, dan baju daerah. </p>
<p>Namun media sosial dengan kebebasan dan kelenturannya kini membawa perubahan pada ekspresi-ekspresi kedaerahan ini.</p>
<p>Kami mengamati konten-konten di TikTok, salah satu platform media sosial paling baru. Kami terutama mengamati konten yang menggunakan tagar nama daerah, seperti #jawapride, #kalimantanpride, #papuapride, #sumaterapride, dan #sulawesipride sejak 1 Juni-8 Agustus 2021.</p>
<p>Selain itu, ada juga tagar-tagar dengan nama suku seperti #minangpride, #batakpride, ataupun #bugispride.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=474&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=474&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=474&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=595&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=595&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=595&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam observasi kami terhadap video teratas yang menggunakan tagar-tagar tersebut, memang tidak semua video berkaitan langsung dengan identitas kedaerahan. </p>
<p>Pada tagar #kalimantanpride, misalnya, video teratas banyak terkait tentang video game. Sementara video teratas di #papuaparide banyak berupa video yang menggunakan lagu asal Papua, meski pesannya tidak berhubungan langsung dengan identitas.</p>
<p>Secara umum, kami mengamati setidaknya empat narasi dalam konten-konten semacam ini,</p>
<p><strong>Pertama</strong>, narasi untuk melawan stereotip negatif yang berkaitan dengan suku atau daerah pembuat konten. </p>
<p>Sebagai contoh adalah unggahan dengan tagar #papuanpride dari akun <a href="https://www.tiktok.com/@unaneserafi">@unaneseraif</a>, sprinter peraih medali emas di SEA Games 2011. </p>
<p>Dalam video TikTok yang disukai 9.494 pengguna tersebut, ia menyampaikan pesan bahwa anak Papua tidak ada yang bodoh. </p>
<p><a href="https://www.tiktok.com/@unaneserafi/video/6960137832178404609?lang=en&is_copy_url=1&is_from_webapp=v1">Di video yang sama</a>, dia juga memamerkan prestasinya sebagai atlet.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, narasi yang menunjukkan kebanggaan pembuat konten akan identitas mereka sebagai anak daerah. </p>
<p>Konten semacam ini biasanya diwarnai foto-foto pembuat akun yang menampilkan baju daerah, suasana alam atau destinasi wisata daerah, makanan, tari-tarian, hingga swa foto pengguna akun yang ingin menyampaikan asal daerahnya. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, narasi yang menyampaikan keunggulan daerah atau sukunya. </p>
<p>Akun <a href="https://www.tiktok.com/@Ojankov">@Ojankov</a> misalnya, yang khusus membuat <a href="https://vm.tiktok.com/ZGJDGTM3e/%5D">kumpulan video</a> dengan tagar #minangpride, menyampaikan keunggulan orang Minang, di antaranya pandai berdagang dan pandai memasak. </p>
<p>Atau ada juga akun <a href="https://www.tiktok.com/@fachrulbojes">@fachrulbojes</a> yang mengangkat tentang uang mahar untuk menikahi perempuan Bugis karena menurutnya perempuan dari sukunya banyak yang menawan. </p>
<p><strong>Keempat</strong> narasi yang mengangkat pemasalahan daerah mereka. Salah satu yang menarik adalah akun Yuli Fonataba, <a href="https://www.tiktok.com/">@yuli_nella</a>, yang juga Putri Papua 2018. </p>
<p>Dalam video berjudul “<a href="https://www.tiktok.com/@yuli_nella/video/6980229533056224513?lang=en&is_copy_url=1&is_from_webapp=v1">welcome to Papuan Club</a>” dia bernyanyi sambil menyampaikan kritik bahwa tanah Papua kaya, namun bukan orang Papua yang menikmati. Dia juga membantah narasi yang mengatakan bahwa orang Papua tidak bersyukur atas jalan trans Papua yang dibangun.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/belajar-dari-asia-tenggara-begini-cara-tiktok-jadi-wadah-berpolitik-155869">Belajar dari Asia Tenggara, begini cara TikTok jadi wadah berpolitik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengapa TikTok?</h2>
<p>Ruang bagi generasi muda menegosiasikan identitas mereka di media sosial terbuka luas di TikTok. Pengguna platform ini jauh <a href="https://www.independent.co.uk/life-style/gadgets-and-tech/tiktok-update-new-feature-kind-comment-b1815148.html">lebih ramah</a>.</p>
<p>TikTok juga telah menjadi platform bagi anak muda <a href="https://time.com/5865261/tiktok-trump-campaign-app/">Amerika Serikat</a> dan <a href="https://theconversation.com/profiles/nuurrianti-jalli-734757/articles">Asia Tenggara </a> mengekspresikan pendapat politik mereka.</p>
<p>TikTok menjadi platform baru yang disukai anak muda karena <a href="https://theconversation.com/tiktok-is-a-unique-blend-of-social-media-platforms-heres-why-kids-love-it-144541">rekomendasi algoritmenya</a> di halaman ‘For You’ menampilkan konten yang lebih beragam ketimbang platform lain. </p>
<p>Di platform media sosial lain, misalnya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21670811.2018.1510741">Facebook</a> dan <a href="https://www.forbes.com/sites/tonybradley/2016/03/16/leave-me-out-of-your-instagram-algorithm-bubble/?sh=73df020263e5">Instagram</a>, konten yang muncul biasanya dari jaringan pertemanan yang dimiliki oleh pengguna, sehingga seorang pengguna rentan terkungkung dalam <a href="https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/risj-review/truth-behind-filter-bubbles-bursting-some-myths">gelembung informasi</a>.</p>
<p>Selain algoritmenya, audiens TikTok yang berasal dari latar belakang yang sangat beragam, membuat diskusi pada kolom-kolom komentar juga tidak sepedas komentar di platform lain. </p>
<p>Platform yang dimiliki perusahaan ByteDance asal China ini bahkan menjadi tempat yang ramah bagi komunitas <a href="https://mediummagazine.nl/18397-2/">LGBTQ</a> dan <a href="https://www.theguardian.com/australia-news/2021/jul/10/i-found-my-identity-how-tiktok-is-changing-the-lives-of-its-popular-indigenous-creators">suku asli</a>.</p>
<p>Di Indonesia, awalnya TikTok dikenal sebagai platform yang populer di kalangan kelas menengah ke bawah. Mereka membuat video yang sederhana dan tidak glamor seperti banyak video di Instagram.</p>
<p>Pengguna TikTok juga awalnya banyak anak kecil, sehingga pemerintah Indonesia juga sempat <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/13453/tik-tok-dilarang-untuk-pengguna-usia-di-bawah-13-tahun/0/sorotan_media">melarang</a>. </p>
<p>Akan tetapi, pengguna TikTok yang mayoritas anak muda lekas belajar dari fitur-fitur di platform tersebut dan juga banyak menggunakannya untuk menuangkan kreasi dan ekspresi diri. </p>
<p>Yang menarik dalam pengamatan kami, jika ada komentar yang sifatnya merundung (<em>bully</em>) dan kental bernuansa dukungan politik pada sebuah tokoh publik, ada kecenderungan publik TikTok akan menyerang balik dan membela kebebasan berekspresi si pembuat konten. </p>
<p>Oleh karena itu, narasi-narasi yang sarat akan identitas lokal oleh anak muda cenderung lebih mendapatkan tempat di TikTok ketimbang platform lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/komunitas-gay-di-indonesia-menggunakan-media-sosial-untuk-meruntuhkan-batasan-dan-stigma-156868">Komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Ruang identitas</h2>
<p>Identitas lokal penting diekspresikan dalam pengalaman sehari-hari warga negara untuk membantu menciptakan perasaan <a href="https://www.ui.ac.id/indonesia-sebuah-proyek-psikologis-yang-kompleks/">kebersamaan dan persaudaraan</a>. </p>
<p>Terpaan informasi tentang identitas lokal di ujung barat Indonesia, misalnya, akan dapat membantu mereka yang tinggal di ujung timur untuk saling membayangkan bahwa mereka <a href="https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803095958187">terikat akan kebangsaan yang sama</a>. </p>
<p>Hari ini ruang-ruang diskusi di platform digital ramai dengan para pemengaruh (<em>influencer</em>) dan pendengung (<em>buzzer</em>) berbasis ideologi dan partisan.</p>
<p>Kita memerlukan sebuah ruang yang dapat lebih mengakomodasi kesadaran akan keragaman warga negara, tempat identitas lokal dapat diekspresikan tanpa mengundang prasangka, atau justru untuk melawan prasangka. </p>
<p>Ekspresi-ekspresi ini merupakan bagian integral dari proses reproduksi dan negosiasi keindonesiaan bagi masyarakat yang beragam.</p>
<p>Gen Z tampaknya menemukan ruang tersebut di TikTok. TikTok menjadi arena bagi mereka untuk menyiasati perbedaan, memupuk respek dan rasa percaya diri dalam narasi-narasi identitas kedaerahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165883/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>TikTok, sebuah platform media sosial yang populer di kalangan Gen Z, menyediakan ruang untuk mengekspresikan identitas lokal dan kedaerahan anak muda Indonesia.Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University Abdul Malik Gismar, PhD, Lecturer, Paramadina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1634992021-07-02T09:54:52Z2021-07-02T09:54:52ZSKB UU ITE bawa kemajuan, tapi revisi tetap mutlak dilakukan karena masih banyak kelemahan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/409229/original/file-20210701-21118-1hkbbq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C6720%2C4466&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Dedi Sinuhaji/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, pemerintah mengeluarkan <a href="https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2021/06/SKB-UU-ITE.pdf">Surat Keputusan Bersama</a> (SKB) berisi pedoman penerapan beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).</p>
<p>SKB itu merupakan respons terakhir pemerintah terhadap tuntutan masyarakat untuk merevisi UU ITE. SKB tersebut merupakan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/06/23/19085041/skb-pedoman-uu-ite-resmi-ditandatangani-ini-isinya?page=all">kesepakatan</a> antara Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Polisi Jenderal Listyo Sigit Prabowo setelah <a href="https://nasional.tempo.co/read/1434218/jokowi-minta-revisi-uu-ite-ini-aneka-respon-anak-buahnya">Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan akan merevisi UU ITE</a>.</p>
<p>Saya yang sedang melakukan penelitian tentang tindak pidana pencemaran nama baik dan dampaknya pada demokrasi mencatat ada beberapa kemajuan dalam penerapan UU ITE lewat SKB ini, meski masih ada juga beberapa masalah yang masih timbul. </p>
<h2>Upaya menjelaskan makna kesusilaan</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.</p>
</blockquote>
<p>Problem mendasar pasal 27 ayat 1 di atas adalah definisi kesusilaan yang luas yang bisa dimaknai sebagai tindak pidana yang melanggar norma-norma di masyarakat – tidak hanya terbatas pada pornografi. </p>
<p>SKB kemudian menegaskan bahwa ada arti sempit dan luas untuk “kesusilaan”. SKB mendefinisikan “kesusilaan” dalam arti sempit sebagai konten pornografi yang merujuk pada UU Pornografi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">konten pornografi untuk kepentingan sendiri tidak melanggar hukum</a>.</p>
<p>Namun masih terdapat definisi yang tumpang tindih terkait bentuk perbuatan “mendistribusikan” dan “membuat dapat diaksesnya”. </p>
<p>Berdasarkan SKB, frasa “mendistribusikan” dan “membuat dapat diaksesnya” bisa menjadi rancu karena ada kemiripan definisi: sengaja membuat publik bisa melihat, menyimpan, ataupun mengirimkan kembali konten melanggar.</p>
<p>Padahal, menurut <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">penjelasan UU ITE</a>, “mendistribusikan” adalah perbuatan menyebarkan kepada orang banyak – <em>retweet</em> di media sosial termasuk di sini. </p>
<p>Sementara, “membuat dapat diaksesnya” dalam penjelasan UU ITE, adalah semua perbuatan lain selain “mendistribusikan” dan “mentransmisikan”. </p>
<p>Definisi di dalam UU ITE yang masih luas ini memungkinkan pihak ketiga seperti penyedia jasa internet, ikut bertanggung jawab secara pidana. </p>
<p>Menurut saya, lebih baik menghapus frasa “membuat dapat diaksesnya” yang lebih bersifat pasif di dalam revisi UU ITE nanti, karena SKB pun menegaskan perlu adanya perbuatan aktif pelaku.</p>
<h2>Merujuk pada KUHP tapi ….</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.</p>
</blockquote>
<p>Pasal 27 Ayat 3 UU ITE adalah pasal yang <a href="https://interaktif.tempo.co/proyek/pasal-karet-uu-ite-sejoli-pembungkam-kritik/index.php">paling banyak</a> digunakan untuk pelaporan kasus pelanggaran UU ITE.</p>
<p>SKB menegaskan bahwa sesuai <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_FINAL%20PUTUSAN%2050%20UU%20ITE%202008.pdf">putusan Mahkamah Konstitusi pada 2008</a>, definisi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk pada pencemaran dan fitnah di KUHP. </p>
<p>Kabar baiknya, ini akan mempertegas batasan tindak pidana hanyalah untuk serangan terhadap kehormatan atau tuduhan yang salah, bukan cacian atau makian yang tidak menyerang reputasi korban.</p>
<p>SKB juga menegaskan menegaskan bahwa pelapor dalam hal ini adalah individu, bukan badan hukum seperti organisasi, perusahaan, atau kelompok sebagaimana <a href="https://theconversation.com/yang-luput-dibicarakan-dari-kasus-jerinx-kita-tak-punya-aturan-jelas-melawan-hoax-misinformasi-dan-disinformasi-145172">banyak terjadi selama ini</a>. </p>
<p>Hal positif lainnya adalah penegasan bahwa ekspresi berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan tidak termasuk tindak pidana.</p>
<p>Pedoman ini memberikan contoh perbuatan mentransmisikan informasi pencemaran nama baik yang dikategorikan “supaya diketahui umum” adalah unggahan di media sosial yang profilnya tidak dikunci untuk dilihat publik. </p>
<p>Sayangnya, ini belum menjawab mengenai informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik yang dikirimkan melalui medium yang privat, contohnya pesan singkat (SMS) dan e-mail, mengingat keduanya juga merupakan informasi elektronik.</p>
<p>Untuk Pasal 27 Ayat 4, SKB juga mempertegas definisi pemerasan dan pengancaman mengacu kepada KUHP. </p>
<p>Hal ini patut diapresiasi karena SKB menyebutkan yang termasuk perbuatan mengancam adalah juga ancaman membuka rahasia, membuka data, foto dan video pribadi. </p>
<p>Perbuatan-perbuatan ini dapat didefinisikan sebagai <a href="https://www.thecyberhelpline.com/guides/outing"><em>outing</em></a> atau pelanggaran privasi yang merupakan salah <a href="https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf">satu jenis dari KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online)</a>.</p>
<h2>Makna ganda</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain.</p>
</blockquote>
<p>SKB menentukan bahwa pasal 36 di atas hanya mengatur pemidanaan terkait kerugian materiil yaitu dampak kerugian yang nyata.</p>
<p>Ketentuan ini bisa bermakna ganda. Kerugian materiil bisa diukur pada tindak pidana yang korbannya adalah sistem elektronik (peretasan) atau menggunakan sistem elektronik sebagai medium (penipuan konsumen online). </p>
<p>Namun pada tindak pidana yang berkaitan dengan ekspresi di internet seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, bentuk kerugian materiil sulit diukur. Ini karena perbuatan itu melibatkan sesuatu yang abstrak seperti kehormatan dan rasa permusuhan atas dasar SARA.</p>
<h2>Bukan delik aduan</h2>
<p>UU ITE 2016, <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">memasukkan <em>cyberbullying</em></a> ke dalam pasal ini. Ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dalam pasal ini lebih bertujuan intimidasi. </p>
<p>Sayangnya, SKB merumuskan pasal ini sebagai tindak pidana umum, ketimbang tindak pidana aduan. Di saat bersamaan, SKB juga menyatakan bahwa ancaman dalam pasal ini harus spesifik dan pribadi. </p>
<p>Sudah sepatutnya pasal ini menjadi tindak pidana aduan apabila efek ketakutan atas ancaman hanya bisa dirasakan oleh korban yang dituju. </p>
<h2>Kekurangan lainnya</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).</p>
</blockquote>
<p>SKB tampaknya akan memperlakukan pasal 28 Ayat 2 sebagai sebagai tindak pidana formil (perbuatan sudah dilakukan), ketimbang tindak pidana materiil (perbuatan dilakukan dan ada akibat dari perbuatan tersebut). </p>
<p>Menurut saya, lebih tepat apabila pasal ini diperlakukan sebagai tindak pidana materiil, karena penting melihat adanya efek kebencian dan permusuhan atas dasar SARA yang bentuknya bisa bermacam-macam seperti kerusuhan dan perkelahian. </p>
<p>Sulit mengukur dampak kerugian, kalau tindakannya baru ajakan bermotif kebencian, tapi kebenciannya sendiri belum terwujud dalam bentuk aksi yang “merusak”.</p>
<p>Masalah lain dalam SKB terkait pasal ini adalah rujukan frasa “antargolongan” pada <a href="https://legalitas.org/putusan-mahkamah-konstitusi-no-76-puu-xv-2017-tahun-2017-tentang-pengujian-undang-undang-nomor-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektroni">Putusan MK tahun 2017</a> yang memperluas arti golongan di luar Suku, Ras dan Agama. </p>
<p>Putusan kasus ujaran kebencian musikus I Gede Ari Astina atau Jerinx tahun lalu, merupakan salah satu contoh perluasan “antargolongan” untuk <a href="https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/11/PUTUSAN-JRX-TINGKAT-1_edited.pdf">organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia</a>.</p>
<p>Ini akan menimbulkan masalah definisi baru yang bersifat “karet”, karena idealnya definisi golongan adalah <a href="https://icjr.or.id/pedoman-implementasi-uu-ite-harus-menjadi-sinyal-penyegeraan-pembahasan-revisi-uu-ite/">sebuah identitas yang dibawa dan melekat sejak lahir</a>, bukan sesuatu yang mudah berubah seperti profesi.</p>
<h2>Revisi UU ITE</h2>
<p>Menurut saya, SKB ini adalah pedoman yang harus menjadi transisi menuju revisi UU ITE. Revisi undang-undang tetap harus menjadi solusi utama atas carut-marut UU ITE ini.</p>
<p>Pemerintah sendiri telah memutuskan akan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/06/08/16025561/pemerintah-putuskan-revisi-4-pasal-uu-ite">merevisi beberapa pasal dan menambah satu pasal</a>. </p>
<p>Pasal-pasal bermasalah ini adalah pasal-pasal tindak pidana dalam UU ITE. </p>
<p>Idealnya untuk menghindari pengaturan ganda soal tindak pidana, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/08/05/10594841/agar-tak-tumpang-tindih-uu-ite-dan-rkuhp-diminta-sejalan">revisi UU ITE dan revisi KUHP bisa berjalan beriringan</a>.</p>
<p>Dengan mengeluarkan SKB, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa pasal-pasal ini bermasalah baik dari segi bahasa perundang-undangan maupun dalam penegakannya – kalau tidak, tentu SKB tidak diperlukan.</p>
<p>Ketentuan yang sudah baik dalam SKB perlu dipertegas dalam revisi UU ITE nanti. UU ITE yang baru nanti harus memenuhi <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/bahasa-perundang-undangan">beberapa syarat</a> antara lain kejernihan atau kejelasan pengertian dan kelugasan.</p>
<p>Lebih lanjut, ada beberapa hal lain yang perlu diatur juga dalam revisi UU ITE nantinya, misalnya penghapusan sanksi pidana atas perbuatan pencemaran nama baik dan pemulihan reputasi bagi mereka yang sudah <a href="https://semuabisakena.jaring.id">menderita kerugian</a> akibat pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163499/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Nugraha Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan mengeluarkan SKB, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa pasal-pasal ini bermasalah baik dari segi bahasa perundang-undangan maupun dalam penegakannya – kalau tidak, tentu SKB tidak diperlukan.Eka Nugraha Putra, Doctor of Juridical Science Candidate at Indiana University, Lecturer in Law, Universitas Merdeka MalangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1260432019-11-20T03:22:25Z2019-11-20T03:22:25ZUU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/301913/original/file-20191115-66953-4rt1bf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C1000%2C661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ironisnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik justru terus mengancam kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan pada era reformasi 1998.
</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini adalah bagian pertama dari rangkaian artikel yang akan membahas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</em>.</p>
<p><a href="https://tirto.id/dewi-tanjung-bisa-dijerat-pasal-hoaks-soal-kasus-novel-baswedan-elwN">Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Bawesdan</a>, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/27/00462591/dandhy-dwi-laksono-ditangkap-polisi-atas-tuduhan-menebarkan-kebencian?page=all">jurnalis dan aktivis Dhandy Dwi Laksono</a>, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190920125617-12-432232/kronologi-kasus-veronica-koman-hingga-masuk-daftar-buron">aktivis dan pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman</a>, serta <a href="https://www.jpnn.com/news/polda-metro-jaya-ancam-jerat-ananda-badudu-dengan-uu-ite">jurnalis yang juga musisi Ananda Badudu </a> adalah korban terakhir penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh negara. </p>
<p>UU ITE dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada <a href="https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/2245">2008</a>, yaitu 10 tahun setelah perjuangan reformasi yang memberikan perlindungan kepada warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. </p>
<p>Ironisnya, UU ITE justru terus mengancam kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan pada era reformasi 1998.</p>
<p>Pemerintahan SBY mengeluarkan UU ITE dengan niat untuk melindungi konsumen dalam melakukan <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2019/02/menilik-sejarah-uu-ite-dalam-tok-tok-kominfo-13/">transaksi elektronik </a> di tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional.</p>
<p>Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah dan aparat justru menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam para pihak yang mengkritik negara. Hal ini tentu saja mencederai kebebasan berekspresi warga yang terus merosot.</p>
<p>Organisasi pengawas independen untuk demokrasi dan kebebasan <a href="https://freedomhouse.org">Freedom House</a> menyatakan status Indonesia turun dari bebas menjadi separuh bebas menjelang akhir pemerintahan SBY pada <a href="https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2014/indonesia">2014</a>. Peringkat Indonesia dalam indeks kebebasan internet turun dari posisi 41 tahun 2013 menjadi 42 pada tahun berikutnya. </p>
<p>Kondisi bertambah buruk pada pemerintahan Jokowi, figur presiden yang diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan politik.</p>
<p>Di bawah pemerintahan Jokowi, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 dari tahun 2015 menjadi 11 pada <a href="https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2019/indonesia">2019.</a> </p>
<h2>Pola penyalahgunaan UU ITE</h2>
<p>Meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan SBY ke Jokowi. </p>
<p>Data yang saya olah dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara <a href="https://id.safenet.or.id/">SAFEnet</a> dan <a href="https://www.amnesty.id/">Amnesty International</a> telah menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY <a href="https://www.cambridge.org/core/books/digital-indonesia/laws-crackdowns-and-control-mechanisms-digital-platforms-and-the-state/B77130E969DA30DD5B9A99B69A9E30DA">(2009-2014)</a> menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat. </p>
<p>Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan. </p>
<p>Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan baik.</p>
<p>Misalnya istilah “informasi elektronik” dalam UU ITE yang mudah sekali dipelintir. Apakah itu juga termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler? Padahal keduanya masuk dalam ranah privat. </p>
<p>Lalu kemudian UU ITE juga tidak dengan jelas membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik. </p>
<p>Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP. </p>
<p>Sebelum UU ITE berlaku, pelaku pencemaran nama baik dijerat dengan menggunakan Pasal 310-321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). </p>
<p>Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan. </p>
<p>Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian.</p>
<h2>Penghinaan presiden</h2>
<p>Merosotnya kebebasan tampaknya disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya presiden. </p>
<p>Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019. </p>
<p>Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka-mereka yang dianggap “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi. Jumlahnya 82 dari total 241 kasus atau lebih dari sepertiganya. </p>
<p>Dari total 82 tersebut, mayoritas (65 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium <em>offline</em> seperti orasi dan demonstrasi. Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.</p>
<p>Contoh yang cukup menonjol adalah kasus Sri Rahayu, seorang ibu rumah tangga. Dia divonis penjara selama 1 tahun dan denda 20 juta pada Agustus 2017 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan “menghina” Jokowi lewat unggahan di <a href="https://news.detik.com/berita/d-3775610/terbukti-sebarkan-ujaran-kebencian-sri-rahayu-divonis-1-tahun-bui?_ga=2.70264912.1362465048.1549625081-2047647178.1525676146">Facebook</a>. </p>
<p>Sebenarnya ada banyak orang lain yang sama dengan Sri karena telah dikriminalisasi dengan tuduhan telah “menghina” Presiden Jokowi. Kasus Sri hanya gambaran puncak gunung es dalam hal kebebasan berekspresi di Indonesia.</p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/06084841/pemerintah-usulkan-perubahan-pasal-penghinaan-terhadap-presiden-dalam-rkuhp">Rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden melalui revisi KUHP</a> akan mendorong represi atas kritik pejabat negara menjadi lebih intens. Hal ini tentu akan semakin mengancam kebebasan berekspresi warga.</p>
<h2>Melokal</h2>
<p><a href="https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk">Data dari SAFENET tahun 2018 </a> menunjukkan dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE dari tahun 2008, lebih dari sepertiga pelapor (35,92%) adalah pejabat negara. Sasaran mereka adalah aktivis, jurnalis, hingga pegawai negeri, dan guru. </p>
<p>Umumnya kasus pembungkaman kritik banyak terjadi di tingkat lokal karena cakupan media lokal yang terbatas dan loyal terhadap penguasa setempat. Kondisi media yang seperti itu menjadikan kasus pembungkaman tidak terekspos dan akhirnya dibiarkan begitu saja. </p>
<p>Kondisi tersebut menyebabkan represi negara terhadap kebebasan untuk mengkritisi pemimpin negara menjadi “terdesentralisasi” – ia bukan lagi upaya yang terkolaborasi, namun dalam kendali kepentingan-kepentingan individual penguasa lokal. </p>
<p>Hal ini terlihat di Sulawesi Selatan. </p>
<p>Ada kasus pidana <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2013/02/07/15380941/hina.bupati.via.facebook.guru.ditahan.">guru sekolah menengah pertama (SMP) Budiman</a> di Pangkep pada 2013, lalu kasus aktivis anti korupsi <a href="https://beritagar.id/artikel/berita/muhammad-arsyad-bebas-dari-ancaman-uu-ite-13575">Muhammad Arsyad</a> di Makassar tahun 2014, dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150129170611-185-28376/pns-chatting-di-grup-line-berujung-pidana">pegawai negeri Fadli Rahim</a> di Gowa tahun 2015. Kasus mereka terkait kritik yang mereka tujukan pada penguasa di media sosial mereka.</p>
<p>Pada ketiga kasus ini, kriminalisasi ini diiringi dengan intimidasi fisik oleh para pendukung pejabat pemerintah yang menjadi subjek kritik online. </p>
<h2>Analisis ke depan</h2>
<p>UU ITE telah <a href="https://twitter.com/DamarJuniarto/status/1194912269336862720">tujuh kali digugat</a> di Mahkamah Konstitusi (MK). </p>
<p>Gugatan yang terkait kebebasan berekspresi selalu ditolak. Hanya sekali saja gugatan terhadap pasal penyadapan dikabulkan pada tahun 2010.</p>
<p>MK selalu menolak gugatan yang dilayangkan terkait UU ITE karena mereka masih percaya pentingnya UU ini. Mereka berpikir “kalau tidak ada pasal ini orang bebas menghina orang lain”. </p>
<p>Selain itu, ada kepentingan politik dari penguasa untuk mempertahankan UU ini karena mereka dapat mengkriminalisasi suara-suara kritis yang dianggap “menghina” atau “membenci” presiden dan otoritas dengan menggunakan UU ini. </p>
<p>Yang bisa dilakukan adalah mendorong penghapusan pasal-pasal UU ITE yang rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat. </p>
<p>Setidaknya, langkah yang perlu diambil lebih jauh oleh pemerintah adalah mendorong jalur-jalur non-pidana, seperti perdata, sehingga pelaku tidak diganjar hukuman penjara tapi harus membayar denda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126043/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Usman Hamid adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia</span></em></p>Meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo.Usman Hamid, Lecturer, Indonesia Jentera School of LawLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1218822019-08-15T09:15:03Z2019-08-15T09:15:03ZAgar bisa maju, sekolah di Indonesia harus lebih mengakomodasi minat siswa dan lindungi kebebasan akademik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288140/original/file-20190815-136186-15gc83m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Saat ini, ada lebih dari 33 juta siswa yang menimba ilmu di sekolah-sekolah negeri, sementara jumlah mahasiswa sekitar 7 juta.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Institusi pendidikan di Indonesia telah gagal dalam menghargai keberagaman talenta siswa dan melindungi kebebasan akademik.</p>
<p>Ini bisa dilihat dari seringnya sekolah dan kampus membatasi siswa dalam mengeksplorasi berbagai pandangan dan pemikiran, sehingga membatasi kebebasan akademik mereka.</p>
<p>Dalam sebuah diskusi yang diadakan minggu lalu, para akademisi melihat minimnya ruang yang aman untuk siswa mengekspresikan diri dan mengembangkan minat akademik mereka bisa jadi suatu alasan kenapa Indonesia kerap memiliki nilai buruk pada indeks-indeks edukasi global.</p>
<p>Indonesia sendiri termasuk salah satu dari 10 negara dengan performa pendidikan terburuk menurut <a href="http://www.oecd.org/pisa/publications/">laporan PISA</a>, sebuah penilaian global yang melibatkan 72 negara. Nilai yang diberikan kepada Indonesia masih lebih buruk dibandingkan Meksiko, Kolumbia, dan Thailand dalam semua kategori (membaca, sains, dan matematika).</p>
<p>Saat ini, ada <a href="http://statistik.data.kemdikbud.go.id/index.php/page/sma">lebih dari 33 juta siswa</a> yang menimba ilmu di sekolah-sekolah negeri, sementara jumlah mahasiswa mencapai <a href="https://www.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/11/E-Book-Statistik-Pendidikan-Tinggi-2014-2015-revisi.pdf">sekitar 7 juta</a>.</p>
<h2>Sisi gelap ‘masifikasi’</h2>
<p>Ketua <a href="https://www.aipi.or.id">Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia</a> (AIPI) Satryo Brodjonegoro mengatakan Indonesia telah mengalami “<a href="https://www.academia.edu/36975860/Massification_of_higher_education_revisited?auto=download">masifikasi pendidikan</a>” yang luar biasa, sehingga pendidikan sekarang jauh lebih mudah diakses oleh populasi sebagai komoditas umum.</p>
<p>Sistem pendidikan Indonesia, <a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/world-bank-and-education-in-indonesia">terbesar ke-empat di dunia</a>, mengalami peningkatan pesat pada <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.NENR?locations=ID&view=chart">rasio antara jumlah siswa pada pendidikan sekunder dibanding populasi dengan usia tersebut</a> dari 21% pada tahun 1978 menjadi 77% pada tahun 2015.</p>
<p>Meskipun akses pada pendidikan telah meningkat, Satryo mengatakan sistem sekarang lebih memprioritaskan perbaikan manajemen sekolah dan kesejahteraan guru dan kurang memperhatikan pengembangan siswa dan kebutuhannya. Pada akhirnya, ini berakhir mengesampingkan siswa itu sendiri.</p>
<p><a href="https://www.lowyinstitute.org/publications/beyond-access-making-indonesia-s-education-system-work#_edn30">Sebuah laporan mendalam</a> dari Lowy Institute memperkuat kekhawatiran Satryo. Laporan tersebut menganalisis sejarah pendidikan di Indonesia, dan menuliskan bahwa kelompok-kelompok korup yang berasal dari Orde Baru memiliki keinginan yang kecil untuk mengembangkan sistem pendidikan berkualitas.</p>
<p>Fokus mereka, tulis laporan tersebut, hanya memperluas jangkauan sistem pendidikan untuk kepentingan politik dan personal, tanpa niat untuk memperbaiki kualitasnya.</p>
<p>Satryo berbicara pada suatu diskusi bertema “<em>Menafakurkan Budaya Berpengetahuan untuk Merancang-Bangun Sistem Pendidikan</em>” yang diorganisir oleh AIPI dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Diskusi tersebut digelar pada 6 Agustus di Perpustakaan Nasional.</p>
<p>Pada acara tersebut Satryo menyarankan beberapa prioritas untuk membenahi paradigma pendidikan Indonesia. Ia mengatakan sekolah dan guru harus diberdayakan untuk mendidik siswa sesuai minat dan talenta mereka.</p>
<p>“Kita harus mereformasi pemikiran guru-guru kita untuk memberdayakan dan mendorong siswa untuk meningkatkan pemikiran kritis dan menyuarakan pendapat tanpa rasa takut,” katanya. </p>
<h2>Solusi canggih untuk personalisasi pendidikan</h2>
<p>Iwan Pranoto, profesor matematika dari Institut Teknologi Bandung mengatakan bahwa teknologi dapat menjadi solusi terhadap tantangan dunia pendidikan.</p>
<p>Lebih tepatnya, ia mengatakan <em>Artificial Intelligence</em> (AI) dapat digunakan untuk merevolusi pengalaman belajar siswa.</p>
<p>“Apabila diterapkan dengan tepat, AI dan <em>Big Data</em> dapat membantu pendidik untuk mendiagnosis siswa secara lebih akurat dan mendesain materi yang disesuaikan untuk masing-masing siswa,” katanya</p>
<p><a href="https://www.carnegielearning.com/products/our-products/overview/">Carnegie Learning</a>, sebuah perusahaan AI yang menyediakan perangkat lunak pembelajaran contohnya, telah merancang <a href="https://www.kansas.com/news/local/education/article138344138.html">kurikulum matematika yang personal</a> untuk beberapa sekolah menengah di Wichita, Kansas, Amerika Serikat.</p>
<p>Sementara itu <a href="https://www.d2l.com">Brightspace</a>, sebuah layanan digital dari perusahaan software D2L, dapat menganalisa pola belajar untuk membantu guru dan dosen dalam memenuhi kebutuhan dan kekurangan siswa di <a href="https://www.d2l.com/en-apac/resources/videos/singapore-management-university-executive-video-2/">Singapore Management University</a>, Singapura dan <a href="https://www.theaustralian.com.au/business/technology/brightspace-system-helps-deakin-uni-psych-up-students-to-perform/news-story/d354ce2746dba5b4a4fffbafff3888d0">Deakin University</a>, Australia.</p>
<p>Meskipun prospek dari teknologi AI dalam pendidikan cukup baik, akademisi menyarankan supaya kita berhati-hari dalam menggunakan teknologi ini.</p>
<p>“Teknologi AI yang dapat menawarkan inovasi baru, juga bisa digunakan untuk membuat proses belajar-mengajar menjadi seperti pelatihan dan malah tidak mendidik. Memperkuat budaya standardisasi adalah salah satu kemungkinan terburuk yang harus dihindari,” kata Iwan.</p>
<p>Ia mencontohkan kasus tentang <a href="https://www.youtube.com/watch?v=eHab0NvT8FQ">Squirrel AI</a>, sebuah software yang menurut para akademisi dapat <a href="https://www.technologyreview.com/s/614057/china-squirrel-has-started-a-grand-experiment-in-ai-education-it-could-reshape-how-the/">mempermudah standardisasi kompetensi siswa</a>.</p>
<p><a href="https://www.appier.com/reports/accelerate-digital-transformation-with-artificial-intelligence-in-asia-pacific-a-forrester-study/">Sebuah survei</a> dari <em>Forrester Consulting</em> menemukan bahwa implementasi AI di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang cukup baik.</p>
<p>Namun, <a href="https://jakartaglobe.id/context/only-one-in-seven-indonesian-companies-use-ai-today/">studi lain</a> dari Microsoft menyatakan bahwa di Indonesia saat ini hanya 1 dari 7 perusahaan yang menggunakan AI pada sistem operasional mereka, apalagi pada institusi pendidikan.</p>
<p>Laporan tersebut menemukan bahwa tantangan terbesar dari penggunaan AI adalah kesulitan dalam mengintegrasikan <em>Big Data</em>. Hal ini mengindikasikan bahwa bisnis dan institusi masih mengalami tantangan dalam menangani jumlah data dan informasi yang besar.</p>
<p>Iwan mengingatkan para pemegang kepentingan yang relevan untuk bersatu dan mendorong implementasi AI untuk pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia,</p>
<p>“Penciptaan teknologi baru itu tidak memiliki kewarganegaraan. Kita harus bisa menggunakan teknologi yang ada dan menerapkannya dalam konteks di Indonesia,” katanya.</p>
<h2>Memperkuat perlindungan terhadap kebebasan akademik</h2>
<p>Terlepas dari ekspansi pendidikan yang tidak hati-hati dan juga perkembangan teknologi, siswa-siswa di Indonesia juga mengalami tantangan terkait kebebasan akademik mereka.</p>
<p>Penyensoran dari pemerintah, masyarakat, maupun pendidik sendiri, adalah <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2016/02/15/academic-freedom-post-soeharto-not-much-better.html">hal yang masih lumrah terjadi</a> di sekolah dan kampus.</p>
<p>Pada tahun 2016, beberapa ormas <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2016/02/15/academic-freedom-post-soeharto-not-much-better.html">memprotes sebuah diskusi</a> di Universitas Gadjah Mada tentang <a href="https://www.tribunal1965.org/en/">Tribunal Internasional untuk pembantaian 1965</a>.</p>
<p>Contoh lain yang belum lama terjadi, Universitas Sumatera Utara <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/03/27/north-sumatra-university-breaks-up-student-forum-on-lgbt-literature.html">membubarkan pers mahasiswa mereka</a> awal tahun ini karena merilis sebuah cerita pendek yang membahas isu-isu seksualitas.</p>
<p>Budiman Sudjatmiko, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan mantan aktivis 1998 yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menyampaikan kekhawatiran yang mendalam terkait hal itu.</p>
<p>“Yang hakiki dari universitas adalah kebebasan akademik, tanpa itu kampus bukanlah kampus. Pemerintah harus tegas. Konstitusi kita sudah memberi garis tebal tentang hal ini, hanya perlu diimplementasikan secara tegas,” katanya.</p>
<p><a href="https://conveyindonesia.com/wp-content/uploads/2018/10/Scx23NCS2XwC5QxUX7uCgO1rLvz4I5t4NoOEtrj3.pdf">Sebuah survei</a> yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat juga menemukan bahwa lebih dari 40% guru di Indonesia menolak sains yang “tidak bersumber dari Islam”.</p>
<p>“Tidak ada masalah dan bukan hal yang memalukan memiliki cara pandang konservatif. Yang menyedihkan adalah segelintir orang yang tidak mampu lagi berpikir jernih dan menolak fakta-fakta sains,” ungkap Budiman.</p>
<p>Iwan Pranoto menawarkan solusi alternatif untuk menjaga kebebasan akademik dengan merekonsiliasi agama dan sains di lingkungan pendidikan.</p>
<p>“Kita menawarkan materi-materi agama, tapi minim pelajaran tentang spiritualitas. Materi agama kerap membelah kita menjadi kelompok-kelompok, sementara spiritualitas itu menyatukan. Dengan lebih banyak materi spiritualitas, siswa dapat diajak untuk merayakan keberagaman,” katanya.</p>
<hr>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=252&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=252&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=252&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=317&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=317&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/282247/original/file-20190702-126345-l490t6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=317&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mendukung The Conversation Indonesia sebagai mitra tuan rumah.</em></p>
<hr><img src="https://counter.theconversation.com/content/121882/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Minimnya ruang yang aman untuk siswa mengekspresikan diri dan mengembangkan minat akademik mereka bisa jadi suatu alasan kenapa Indonesia kerap memiliki nilai buruk pada indeks-indeks edukasi global.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1119602019-03-09T04:13:21Z2019-03-09T04:13:21ZPolemik RUU Permusikan: “Apakah DPR ini sedang ‘ngerjain’ kita?”<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262970/original/file-20190309-86717-ih8q73.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C1000%2C661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Musik adalah sebuah budaya yang hidup dan berkembang. Sebuah pertunjukkan dari acara musik Ngayogjazz di Yogyakarta </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/g/Ranger_pink">www.shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Gejolak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/02/05/12024081/4-alasan-ratusan-musisi-tolak-pengesahan-ruu-permusikan">resistansi</a> atas <a href="http://learninghub.icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/02/Draf-RUU-Permusikan-15-Agustus-20181.pdf">Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan</a> yang kontroversial sempat mengalami masa tenang ketika sang penggagas, musisi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anang Hermansyah, <a href="http://wartakota.tribunnews.com/2019/02/15/menjadi-polemik-ruu-permusikan-disepakati-untuk-dibatalkan-ada-tiga-kesepakatan">tunduk</a> pada tekanan para musisi yang menolak RUU tersebut dan berjanji akan membatalkan pengesahannya.</p>
<p>Namun tampaknya <a href="http://berkas.dpr.go.id/pusatpuu/draft-ruu/public-file/draft-ruu-public-13.pdf">draft baru</a> yang disusun tanggal 20 Februari kemarin dengan mengakomodir kritik dari para musisi tetap bermasalah. Draft terbaru ini akan tetap dirapatkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR sebagai RUU yang akan disahkan. </p>
<p>Kembali saya teringat ketika pembahasan RUU tersebut sedang panas-panasnya di media dan masyarakat, seorang teman penyelenggara pertunjukan musik berkomentar “<em>Are they trolling on us</em>?” ujarnya dalam bahasa Inggris yang bisa diartikan: “Apakah DPR ini sedang <em>ngerjain</em> kita?”</p>
<p>Setelah membaca draft RUU Permusikan, saya sebagai pelaku dan peneliti musik melihat perlunya draft ini untuk dibatalkan dan selanjutnya dikaji ulang jika memang diperlukan. Selain alasan yang dipakai para penggagas RUU ini lemah, perspektif musik yang digunakan dalam RUU ini juga kurang mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat. </p>
<h2>RUU Permusikan gagal memahami musik</h2>
<p>Memang ada perubahan dalam draft terbaru RUU Permusikan. Perubahan terlihat pada melunaknya pasal-pasal tertentu. Dalam draft terbaru, pasal yang mengatur larangan-larangan dalam proses kreasi yang dikhawatirkan dapat dijadikan <a href="https://tirto.id/pasal-karet-ruu-permusikan-berasal-dari-naskah-akademik-dfqt">pasal karet untuk menekan kekebabasan berekspresi</a> telah dihapus. Selain itu pasal mengenai pendataan musik yang mengacu dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.</p>
<p>Namun tetap saja, seluruh pasal dalam RUU Permusikan menganggap musik sebagai objek semata. Musik tak lain diukur dengan nominal dan kualitas tertentu, bahkan pelakunya pun harus melalui standar kompetensi.</p>
<p>Padahal musik bukan objek melainkan ekspresi yang hidup, bergerak dan berkembang </p>
<p>Kita bisa melihat bagaimana hal ini ditemukan pada musik di luar arus utama, mulai dari <em>indie</em>, <em>underground</em>, <em>punk</em> di Indonesia. </p>
<p>Musik-musik ini berkembang dengan menggunakan cara-cara alternatif sebagai bentuk strategi kaum urban. Bentuk strategi ini berkembang ke kota-kota kabupaten. Ranah musik ini membangun jalur distribusinya sendiri dengan menggunakan jaringan-jaringan alternatif seperti distro, kantong-kantong budaya, atau bahkan melapak ketika pentas. </p>
<p>Sebagai contoh, musik pop daerah seperti campur sari tak lain adalah strategi estetis dalam menyikapi teknologi dan arus derasnya budaya eklektik. Dangdut koplo, misalnya, merupakan perlawanan terhadap budaya dangdut yang dominan. Baik musik populer daerah atau dangdut koplo akan terus bergerak menciptakan sistem ekspresinya dan tata kelolanya sendiri. </p>
<p>Keberlangsungan hidup musik-musik ini dilengkapi dengan strategi bagaimana mengapresiasi musik tersebut. Bentuk apresiasi ini tidak terbatas pada konser atau pembuatan album semata, namun juga ke ranah sosial lain seperti pentas di hajatan dan acara keagamaan. </p>
<p>Oleh karena itu, meskipun berupa produk, musik bisa bersifat transendental. Dan RUU gagal memahami hal ini. Ini menjelaskan mengapa pendekatan yang digunakan dalam RUU ini sangat materialistis.</p>
<p>Dinamika ekspresi dalam semesta musik Indonesia ini mengindikasikan musik sebagai sebagai ekspresi yang terus bergerak, menempati berbagai ranah dalam kehidupan manusia di mana industri hanya salah satunya. </p>
<p>Jika melihat keberagaman estetika dan tata kelola musik di Indonesia yang memungkinkan segala jenis ranah musik hidup dengan strateginya, saya berpikir apakah UU Permusikan diperlukan jika paradigma yang dipakai masih begitu sempit dan hanya menganggap musik sebagai objek? </p>
<h2>Naskah akademik yang bermasalah</h2>
<p>Permasalahan pada RUU Permusikan salah satunya berakar pada penggunaan <a href="https://mmc.tirto.id/doc/2019/02/08/1%20NA%20RUU%20PERMUSIKAN%2015%20Agustus%202018.pdf">naskah akademik</a> yang problematis.</p>
<p>Salah satu konsep budaya yang disebut dalam naskah itu berasal dari antropolog Inggris abad ke-19 <a href="https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=RUMBAAAAQAAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=eb+tylor+primitive&ots=XZsZhqK_iY&sig=q_eTK6_mxJ_ytyhubDEre738Mr0#v=onepage&q=eb%20tylor%20primitive&f=false">Edward Burnett Tylor</a> yang melihat budaya sebagai sesuatu yang asing dan eksklusif.</p>
<p>Padahal dalam perkembangannya, kajian akademis sudah melihat <a href="http://culturalstudies.web.unc.edu/resources-2/what-is-cultural-studies/">budaya</a> sebagai sesuatu yang merupakan bagian dari aktivitas keseharian yang berada dalam masyarakat. Di ranah inilah budaya populer, seperti musik populer, menjadi fokus perhatian karena mengungkap berbagai pola hidup keseharian sebagai budaya yang hidup nyata di dalam masyarakat. </p>
<p>Selain perspektif yang usang, naskah akademik yang digunakan juga tidak merujuk pada tulisan asli para akademis yang dikutipnya melainkan hanya mendapatkannya dari data sekunder di laman.</p>
<p>Naskah tersebut juga mengutip berbagai makalah, termasuk salah satunya <a href="http://ronisetiawan271099.blogspot.com/2016/01/makalah-seni-musik.html">makalah</a> sekelompok siswa dari sebuah Sekolah Musik Kejuruan Negeri (SMKN). </p>
<p>Melihat kelemahan mendasar ini muncul pertanyaan atas kompetensi penyusun naskah dalam membaca permusikan. Hal lain yang perlu kita catat adalah bagaimana sebenarnya proses Badan Keahlian DPR ketika menyusun RUU ini. Bagaimana dimensi politik ketika proses penyusunan itu berlangsung?</p>
<h2>Kawal terus</h2>
<p>Selama belum ada pernyataan resmi bahwa RUU Permusikan dibatalkan, kita masih perlu mengawal bersama proses RUU ini. </p>
<p>Draft terbaru terkesan hanya mengakomodir kecaman dan kritik dari masyarakat, tambal sulam di sana sini tanpa dasar yang kuat, tanpa ada upaya untuk mundur selangkah dan memahami semesta musik Indonesia yang beragam. </p>
<p>Paradigma yang dipakai RUU Permusikan masih sesat dan ini tentu akan berimbas pada usulan produk hukum yang salah kaprah. </p>
<p>Sebenarnya apa yang kiranya mendasari sikap keras kepala ini? Kita juga perlu bertanya siapa dan kekuatan apa yang ada di balik pembuatan RUU ini? </p>
<p>Karena jika RUU ini disepakati oleh DPR apa adanya, maka bukan tidak mungkin tetap akan ada badan yang mengontrol kebebasan berekspresi dalam musik lewat uji kompetensi dan sertifikasi. </p>
<p>Bukan tidak mungkin kemudian sistem standardisasi ini menjadi lumbung pendapatan dan alat politik bagi para anggota DPR. </p>
<p><em>Are they trolling on us</em>?</p>
<p><em>Ariza Muthia berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/111960/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizky Sasono adalah anggota Koalisi Seni Indonesia.</span></em></p>Saya sebagai pelaku dan peneliti musik melihat perlunya draft ini untuk dibatalkan dan selanjutnya dikaji ulang jika memang diperlukan.Rizky Sasono, PhD Student Ethnomusicology, University of PittsburghLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.