tag:theconversation.com,2011:/us/topics/kelas-menengah-86697/articlesKelas menengah – The Conversation2021-10-19T07:38:10Ztag:theconversation.com,2011:article/1701072021-10-19T07:38:10Z2021-10-19T07:38:10ZWarga kelas menengah banyak yang tidak mampu membeli rumah: tiga usulan kebijakan untuk mengatasinya<p>Harga rumah yang semakin tak terjangkau saat ini mulai menjadi momok yang dihadapi berbagai kota-kota besar di dunia.</p>
<p>Bahkan penduduk negara-negara maju seperti <a href="https://fcpp.org/2016/06/20/canadas-middle-income-housing-affordability-crisis-2/">Kanada</a> dan <a href="https://www.jchs.harvard.edu/state-nations-housing-2019">Amerika Serikat</a> pun merasakan beratnya harga rumah yang selalu meningkat. Krisis ini juga dirasakan oleh masyarakat dari berbagai kondisi ekonomi, termasuk kelas menengah ke atas.</p>
<p>Masalah yang sama juga dihadapi oleh Indonesia. </p>
<p><a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/780/1/012004">Penelitian</a> terbaru menunjukkan bahwa 28 dari 62 responden penelitian, atau 45%, menyatakan bahwa mereka merasa terbebani dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tinggal, seperti pembayaran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), sewa rumah, juga rekening listrik dan air.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=348&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=348&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=348&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=437&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=437&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/427146/original/file-20211019-23-1w9ym4t.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=437&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penghasilan bulanan dan beban biaya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Tafridj, 2021</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Riset tersebut juga menyatakan bahwa 80% dari responden yang tinggal di Jakarta hanya mampu menyewa atau mengontrak rumah karena harga rumah di Jakarta yang sudah <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/10/01/milenial-kian-sulit-gapai-rumah-impian/?utm_source=bebasakses_kompasid&utm_medium=link_shared&utm_content=copy_link&utm_campaign=sharinglink">terlalu mahal</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=205&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=205&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=205&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=258&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=258&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/427148/original/file-20211019-16-1ja0y89.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=258&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Lokasi rumah dan status kepemilikan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Tafridj, 2021</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Padahal keterjangkauan harga rumah adalah aspek yang penting bagi pertumbuhan ekonomi negara.</p>
<p><a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/aspiring-indonesia-expanding-the-middle-class">Laporan</a> dari Bank Dunia pada 2020 menyatakan bahwa kelas menengah di Indonesia berkontribusi pada 50% total konsumsi negara, dengan rata-rata pengeluaran bulanan Rp 1,2 hingga Rp 6 juta, termasuk untuk pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tinggal.</p>
<p>Meningkatnya pengeluaran yang berhubungan dengan rumah tinggal bisa melemahkan daya beli kelas menengah yang kemudian akan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.</p>
<p>Untuk mengendalikan krisis perumahan bagi kelas menengah di Indonesia, ada tiga perubahan kebijakan yang bisa dilakukan.</p>
<p><strong>Pertama, perkuat koordinasi antarpemerintah di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) untuk mengatur kebutuhan dan pasokan perumahan.</strong></p>
<p>Kerja sama yang kuat antarpemerintah kota dan kabupaten yang tergabung pada Jabodetabek dinilai sangar penting.</p>
<p>Kota dan Kabupaten Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang Raya telah menjadi wilayah penyokong aktivitas ekonomi Jakarta selama bertahun-tahun, meski demikian, mereka belum berkonsolidasi dalam perencanaan permukiman perkotaan dan belum <a href="https://www.idx.co.id/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEMENTSTOCK/From_EREP/201804/e4a4a24ef5_40ecd90e4b.pdf">memprioritaskan</a> program tersebut.</p>
<p>Pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek seharusnya memahami bahwa perkembangan perkotaan di masing-masing daerah sudah terlalu bergantung satu sama lain sehingga tidak lagi dapat dijalankan secara mandiri tanpa koordinasi yang kuat.</p>
<p>Kota dan Kabupaten selain Jakarta saat ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pasokan perumahan di Jakarta yang kurang. Meski peran pengembang swasta sangat penting, pemerintah daerah harus merancang kebijakan-kebijakan untuk memastikan keberlanjutan pembangunan wilayah perkotaan.</p>
<p>Kebijakan ini misalnya dengan menerapkan pengawasan yang lebih ketat pada pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan perubahan rencana tata ruang.</p>
<p>Di <a href="https://www.london.gov.uk/sites/default/files/ah_viability_spg_20170816.pdf">London</a>, Inggris, pemerintah kota mengubah sistem perencanaannya dengan membangun lebih banyak rumah berharga murah dan menyokong skema pembangungan untuk disewakan agar 50% penduduk kota London mampu tinggal di rumah yang layak.</p>
<p>Selain itu, diskusi tentang perencanaan jangka panjang bagi wilayah Jabodetabek masih sangat terbatas. Solusi untuk krisis keterjangkauan rumah diharapkan akan muncul dari diskusi ini.</p>
<p><strong>Kedua, pemerintah Jakarta perlu membuat aturan hukum terkait hunian dengan skema sewa atau kontrak.</strong></p>
<p>Fakta bahwa 80% responden dari Jakarta tinggal di rumah sewa atau kontrak jangka pendek perlu mendapat perhatian dari pemerintah dalam bentuk regulasi resmi tentang penyewaan rumah.</p>
<p>Saat ini, meski ada peraturan untuk skema sewa rumah susun dan rumah tinggal milik pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi Jakarta belum memiliki kebijakan terkait sewa rumah yang dilakukan oleh perorangan atau pihak swasta.</p>
<p>Selain itu, masih ada stigma yang berkembang dalam masyarakat bahwa menyewa atau mengontrak rumah dianggap membuang uang. Akibatnya, banyak masyarakat yang bekerja di Jabodetabek lebih memilih untuk tinggal 40-50 km dari kantor–menghabiskan uang, waktu, dan tenaga untuk perjalanan pulang pergi–dari pada menyewa rumah yang lebih dekat dengan tempat kerja.</p>
<p>Meski mengubah stigma ini tidak mudah dilakukan, pemerintah paling tidak bisa membuat kebijakan yang dapat melegalkan skema sewa rumah tinggal.</p>
<p>Legalisasi sewa rumah tinggal oleh perorangan sudah diterapkan misalnya di <a href="https://www.ura.gov.sg/Corporate/Property/Residential/Renting-Property">Singapura</a>, di mana mereka mewajibkan registrasi pemilik dan penyewa rumah. Pemerintah Singapura juga membedakan penyewaan rumah tinggal tapak dan apartemen. Peraturan seperti ini menjamin perlindungan hukum bagi penyewa dan memposisikan rumah sewa sebagai pilihan rumah tinggal yang layak.</p>
<p>Kebijakan terkait rumah sewa jangka panjang adalah hal yang lumrah terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia. London; New York, Amerika Serikat; Amsterdam, Belanda; dan Singapura yang mengalami permasalahan yang sama yaitu populasi yang tinggi dan pilihan rumah tinggal permanen yang sangat terbatas. Maka dari itu kota-kota tersebut mengimplementasikan kebijakan-kebijakan khusus untuk memberikan kepastian hukum untuk skema sewa jangka panjang.</p>
<p>Di Jakarta, kamar kos dan rumah kontrak selama ini sudah ada tanpa izin dan peraturan yang memadai. Hal ini membuat penyewa dan pemilik rumah rentan mengalami eksploitasi dan sering menjadi korban penipuan.</p>
<p>Kondisi tersebut semakin memperburuk stigma bahwa rumah sewa atau kontrak adalah sebuah kondisi sementara yang tidak diharapkan.</p>
<p><strong>Ketiga, pemerintah perlu menyediakan stok hunian berharga menengah melalui skema kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) dan meluncurkan skema pembiayaan yang ditujukan bagi kelas menengah.</strong></p>
<p>Pemerintah perlu mengatur harga pasaran rumah tinggal dengan cara membangun lebih banyak stok rumah bagi kalangan kelas menengah serta meningkatkan pagu harga skema pembiayaannya untuk menarik calon pembeli dari kelas menengah.</p>
<p>Saat ini, rumah murah dan program subsidi pembiayaan rumah ditujukan kepada masyarakat dengan penghasilan tidak lebih dari Rp 8 juta rupiah, sehingga kelas menengah di Indonesia otomatis tidak bisa mengikuti program tersebut.</p>
<p>Meningkatnya harga rumah disebabkan oleh tingginya permintaan dan rendahnya jumlah rumah terjangkau yang tersedia di daerah-daerah strategis.</p>
<p>Inflasi harga rumah di Jakarta kini telah menyebar ke kota-kota di sekitarnya. Tidak lama lagi, tinggal di Tangerang dan Bogor tidak akan lagi terjangkau oleh banyak masyarakat, kecuali pemerintah mampu mengawasi kebijakan-kebijakan pengembangan perumahan dan peraturan tata guna lahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170107/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Issa Tafridj tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterjangkauan harga rumah adalah aspek yang penting bagi pertumbuhan ekonomi negara.Issa Tafridj, Dosen Arsitektur, Universitas Pembangunan JayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1561352021-03-17T09:51:03Z2021-03-17T09:51:03ZBelajar dari Clubhouse: bagaimana membangun ruang diskusi digital yang inklusif?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/389232/original/file-20210312-19-drgv5e.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/2gzn9qRw8wI">(Unsplash/William Krause)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Di tengah pandemi COVID-19, anak muda mendapat hiburan baru dengan hadirnya “Clubhouse”, <a href="https://theconversation.com/lebih-dalam-tentang-clubhouse-media-sosial-baru-yang-menghebohkan-jagad-internet-155480">media sosial berbasis diskusi audio</a> yang viral pada awal tahun ini, terutama di kalangan profesional muda. </p>
<p>Seperti pengalaman media sosial pendahulunya yakni Twitter, Snapchat, dan Facebook saat pertama muncul, pertumbuhan pengguna Clubhouse <a href="https://www.nytimes.com/2021/02/25/technology/clubhouse-audio-app-experience.html">diiringi berbagai perdebatan</a>. </p>
<p>Masalah utama yang juga menjadi perdebatan publik adalah terbatasnya akses Clubhouse hanya pada iPhone – yang penggunanya <a href="https://apjii.or.id/survei">hanya 3,4%</a> dari total pengguna <em>smartphone</em> di Indonesia. Media sosial ini dianggap bersifat eksklusif untuk kalangan kelas sosial menengah-atas saja.</p>
<p>Paul Davidson dan Rohan Seth sebagai pendiri Clubhouse mengatakan perusahaannya tengah berupaya membuka akses aplikasi ini <a href="https://www.cnbc.com/2021/02/23/clubhouse-hires-android-developer-work-on-android-app-has-begun.html">untuk pengguna Android</a>. </p>
<p>Tapi, apakah dengan dibukanya akses aplikasi ke pengguna Android akan serta merta membuat Clubhouse menjadi lebih inklusif?</p>
<p>Menurut kami, jawabannya tidak. Kami melihat ini dari masih tingginya bias kelas dalam penggunaan media sosial di Indonesia.</p>
<h2>Akses pada ruang diskusi digital minim, bahasannya pun berpotensi bias kelas</h2>
<p>Dalam waktu dekat, Clubhouse memang kemungkinan akan <a href="https://www.cnbc.com/2021/02/23/clubhouse-hires-android-developer-work-on-android-app-has-begun.html">merilis versi Android</a>, ditambah lagi akan muncul aplikasi serupa lain seperti <a href="https://www.theverge.com/2021/3/2/22309629/twitter-launches-spaces-android-ios-audio-clubhouse">Twitter Spaces</a>.</p>
<p>Namun, tetap saja belum semua warga Indonesia bisa berpartisipasi dalam diskusi publik yang terjadi di platform digital dan media sosial.</p>
<p>Survei global dari <a href="https://www.pewresearch.org/global/2019/02/05/smartphone-ownership-is-growing-rapidly-around-the-world-but-not-always-equally/">Pew Research Center</a> pada tahun 2019 mencatat bahwa di Indonesia, 72% lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) lebih mungkin menggunakan media sosial dibandingkan dengan 23% dari mereka yang berpendidikan lebih rendah. </p>
<p>Artinya, kesenjangan aksesnya dari segi pendidikan sangat besar yakni 49%.</p>
<p>Dominasi kelompok orang yang berpendidikan tinggi juga cukup kuat dalam mendiskusikan isu dan kebijakan publik di media sosial. Padahal <a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">kurang dari 15%</a> dari penduduk Indonesia yang berusia 20-39 tahun mengenyam pendidikan tinggi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">Mengapa orang Indonesia merasa kunci sukses seseorang ada pada ikhtiar dan bukan latar kelas sosialnya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lebih jauh lagi, karena ruang diskusi digital aksesnya masih terbatas bagi sebagian besar warga Indonesia, pembahasannya pun berpotensi didominasi oleh agenda dari mereka yang bisa mengaksesnya – kelas menengah atas.</p>
<p>Kehadiran Clubhouse akan semakin menunjukkan betapa lebarnya kesenjangan ini.</p>
<p>Clubhouse sendiri memungkinkan penggunanya <a href="https://theconversation.com/lebih-dalam-tentang-clubhouse-media-sosial-baru-yang-menghebohkan-jagad-internet-155480">berinteraksi lebih mudah</a> dengan direktur perusahaan <em>start-up</em>, aktivis, politisi, hingga tokoh idola mereka. Hal ini memungkinkan berkurangnya batasan atau sekat untuk berinteraksi dengan individu yang dulunya dianggap ‘tidak terjangkau’ oleh masyarakat umum.</p>
<p>Sayangnya, diskusi yang membawa topik-topik isu sosial-politik di Clubhouse tidak jarang mendapat kritik dari publik. Beberapa waktu lalu, warganet mengkritik diskusi tentang banjir di Jakarta yang diadakan selebriti hingga pebisnis sukses – yang mungkin tidak pernah mengalami kebanjiran.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1363008450641367040"}"></div></p>
<p>Fenomena ini mengikut tren terdahulu terkait diskusi media sosial yang bias kelas. </p>
<p>Beberapa akademisi, misalnya, mengamati bagaimana media sosial kerap dijadikan <a href="https://remotivi.or.id/amatan/46/bias-kelas-dan-literasi-media">wadah untuk mengkritik</a> selera musik dan acara televisi masyarakat miskin. Tentunya, diskusi ini terjadi pada berbagai platform media sosial di mana akses bagi kelompok yang dikritik sangat minim.</p>
<p>Alih-alih bersifat produktif dan menginspirasi, diskusi justru bisa menenggelamkan suara dari kelompok marjinal yang tidak terwakili dalam ruang diskusi tersebut.</p>
<p>Ketika anggota masyarakat kelas dominan (kelompok menengah ke atas) mendiskusikan isu yang merugikan kelompok masyarakat marjinal, niat baik saja tidak cukup.</p>
<h2>Membuat ruang diskusi digital lebih inklusif</h2>
<p>Untuk mewujudkan ruang digital yang tidak bias kelas, warganet bisa menarik inspirasi dari bagaimana dunia penelitian memperhatikan inklusivitas ketika membicarakan penelitian sosial-politik.</p>
<p>Sebagai peneliti, kami dilatih untuk berhati-hati terutama ketika membicarakan mengenai pengalaman hidup kelompok marjinal.</p>
<p>Ketika kami melakukannya, setidaknya terdapat 3 hal yang selalu kami perhatikan. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, menyadari privilese dari posisi pembicara dan mengungkapkan segala kemungkinan bias terkait pengetahuan yang mereka miliki.</p>
<p>Diskusi yang dilakukan bisa dimulai dengan memberikan konteks siapa saja pembicara yang hadir, dan apa saja keterbatasan pengetahuan yang mungkin dimiliki. </p>
<p>Membicarakan <a href="https://magdalene.co/story/all-male-panel-alias-manel-mempertanyakan-inklusi-di-ruang-diskusi">isu-isu perempuan dengan pembicara laki-laki,</a> misalnya, dapat diawali dengan bahasan terbuka bahwa mungkin perspektif pembicara perlu dipertentangkan oleh perempuan yang memiliki pengalaman langsung terhadap isu yang diangkat.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, membuka kesempatan bagi individu marjinal untuk menyuarakan isu dan kebutuhannya sendiri dibandingkan harus diwakili kelompok lain.</p>
<p>Tidak ada pembicara yang lebih baik dibandingkan mereka yang memiliki pengalaman langsung dan pengetahuan yang mumpuni terkait isu yang diangkat, apalagi menyangkut pengalaman kelompok marjinal.</p>
<p>Untuk mengurangi bahasan yang penuh dengan asumsi dan prasangka, kesempatan sebaiknya diberikan langsung ke individu dari kelompok tersebut untuk berbicara. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, memegang prinsip untuk sebisa mungkin tidak semakin membahayakan atau membawa ancaman kepada pembicara maupun pendengar dari topik yang dibicarakan. </p>
<p>Artinya, pihak yang terlibat dalam diskusi perlu senantiasa sensitif terhadap potensi bahaya yang mungkin muncul dari diskusi. Jangan sampai pesan yang disampaikan justru melanggengkan stigma dan kerentanan yang dialami individu atau kelompok yang dibicarakan.</p>
<p>Misalnya, <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">stigma terhadap kelompok miskin</a> yang dianggap pemalas dan tidak peduli terhadap lingkungan. Selain belum tentu kebenarannya, stigma ini tidak memberikan jalan keluar dan justru memperkuat perbedaan kelas sosial.</p>
<p>Saat ini, kami <a href="https://magdalene.co/story/kajian-perempuan-muda-indonesia-masih-bias-barat-lihat-perempuan-sebagai-korban">sedang mengembangkan</a> kerangka berpikir feminis ‘<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14680777.2020.1763418?journalCode=rfms20"><em>knowing responsibly</em></a>’ (mengetahui dengan penuh tanggung jawab). Kerangka berpikir ini mendorong kesadaran bagi mereka yang memiliki privilese untuk lebih rendah hati karena tentu ada modal sosial yang membuat mereka bisa “lebih paham” tentang suatu isu.</p>
<p>Kita pun perlu lebih memperhatikan apakah dampak materiil – seperti uang, honor, atau investasi lain – yang muncul akibat diskusi sosial-politik membawa manfaat untuk kelompok marjinal yang dibahas.</p>
<p>Mengingat semakin banyaknya bentuk pengawasan terhadap masyarakat sipil - apalagi dengan adanya <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/26/083100665/3-hal-yang-perlu-diketahui-soal-apa-itu-polisi-virtual-dari-tugas-hingga?page=all">polisi siber</a> – kemunculan media sosial yang memberikan kesempatan untuk diskusi terbuka patut dirayakan di Indonesia.</p>
<p>Namun, eksklusivitas dari media sosial baru seperti Clubhouse memperlihatkan pentingnya keterbukaan akses diskusi bagi individu dari berbagai kelompok.</p>
<p>Clubhouse mungkin akan menjadi media sosial yang kian populer atau sekadar menjadi tren ‘selewat’ bagi kaum muda Indonesia. Namun, semangat membangun ruang diskusi digital yang inklusif adalah sesuatu yang harus terus dipelihara.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156135/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apakah dibukanya akses Clubhouse ke pengguna Android akan membuat aplikasi ini menjadi lebih inklusif? Mengingat bahasan di media sosial secara umum yang masih sering bias kelas, nampaknya tidak.Ryan Febrianto, Research and Advocacy Associate, PUSKAPAAnnisa R. Beta, Lecturer in Cultural Studies, School of Culture and Communication, Faculty of Arts, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1544882021-02-05T05:11:27Z2021-02-05T05:11:27ZOngkos tak terlihat yang harus dibayar kelompok miskin untuk memperbaiki status sosial dan ekonomi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/382480/original/file-20210204-16-1hm69fo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1342%2C2609%2C1628&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Embong Salampessy/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Di wilayah dengan ketimpangan ekonomi, anak miskin harus berjuang sangat keras untuk meniti anak tangga keluar dari kemiskinan. </p>
<p><a href="https://www.vox.com/future-perfect/2019/3/19/18271276/alan-krueger-economist-death-minimum-wage-princeton">Alan Krueger</a>, penasihat ekonomi presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton dan Barack Obama, <a href="https://obamawhitehouse.archives.gov/blog/2013/06/11/what-great-gatsby-curve">menjelaskan</a> adanya hubungan negatif antara ketimpangan ekonomi dengan mobilitas sosial. </p>
<p><a href="https://blogs.lse.ac.uk/lsereviewofbooks/2019/09/25/book-review-social-mobility-and-its-enemies-by-lee-elliot-major-and-stephen-machin/">Mobilitas sosial</a> adalah pergerakan naik (atau turun) seseorang dalam kelas sosial ekonomi, misalnya antara kelas miskin, menengah bawah, menengah atas, dan kelas kaya.</p>
<p>Krueger menunjukkan bahwa di wilayah yang memiliki perbedaan ekonomi yang menonjol antara kaya dan miskin, anak-anak yang terlahir miskin cenderung lebih sulit “naik kelas” ke status ekonomi yang lebih tinggi. </p>
<p>Lebih sulit, bukan berarti sama sekali tidak mungkin. <a href="https://globaldialogue.isa-sociology.org/stimulating-upward-mobility-in-indonesia/#:%7E:text=The%20data%20shows%20around%2027,the%20chance%20for%20upward%20mobility.">Analisis</a> dengan menggunakan <a href="https://www.rand.org/well-being/social-and-behavioral-policy/data/FLS/IFLS.html">data rumah tangga</a> periode 1993-2007 oleh Indera Ratna Irawati Pattinasarany, sosiolog dari Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa kelompok miskin di Pulau Jawa ada yang mengalami mobilitas sosial.</p>
<p>Meski demikian, angkanya lebih kecil dibandingkan dengan yang dialami oleh kelompok menengah yaitu 27% berbanding 45%. Angka ini bisa jadi lebih kecil di Indonesia bagian timur.</p>
<p>Narasi mengenai proses perbaikan status sosial tidak sedikit yang <a href="https://www.inc.com/carmine-gallo/why-were-wired-to-love-rags-to-riches-stories.html#:%7E:text=Humans%20Find%20Meaning%20In%20Struggle,past%20tragedies%20into%20today's%20advantage.">fokus pada semangat, etika kerja,</a> dan hal-hal positif yang dimiliki anak-anak tersebut. </p>
<p>Cerita-cerita seperti ini penting untuk memotivasi, sekaligus melawan <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">stigma pada kelompok miskin</a>.</p>
<p>Namun, narasi seperti itu cenderung mengabaikan <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691179230/moving-up-without-losing-your-way">beban yang dihadapi</a> kelompok miskin dalam proses memperbaiki status ekonominya. </p>
<h2>Apa saja harga yang harus mereka bayar?</h2>
<p><em>Pertama</em>, proses mobilitas sosial sering <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171219220301-532-263618/kemendes-urbanisasi-bisa-direm-dengan-menyetop-ketimpangan">memaksa anak</a>, khususnya dari kelompok marginal, untuk keluar dari komunitasnya. </p>
<p>Jika anak tinggal di wilayah yang menawarkan kesempatan yang tidak hanya terbatas, tapi juga timpang, maka dia harus pergi dari situ untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik.</p>
<p>Tinggal jauh dari komunitas berpotensi mengurangi modal sosial yang bisa anak gunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, terutama jika anak masih harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/menuju-indonesia-4-0-pentingnya-memperkuat-infrastruktur-dan-kecakapan-memakai-internet-112870">Keterbatasan teknologi</a> dapat menjadi penghalang utama bagi anak dari kelompok marginal untuk tetap terhubung dengan komunitasnya. </p>
<p>Perginya anak dari komunitas, juga bisa berdampak besar bagi keberlanjutan komunitas. </p>
<p>Dalam salah satu film dokumenter <a href="https://www.youtube.com/watch?v=UIBjN6fLBWc">Ekspedisi Indonesia Biru</a>, sekelompok anak petani kopra di Halmahera, Maluku Utara, yang sedang mengenyam pendidikan tinggi ragu apakah mereka bisa melanjutkan pekerjaan orang tua setelah mereka lulus.</p>
<p>Tanpa dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda, bertani kopra sebagai salah satu mata pencaharian di Halmahera tersebut bisa saja menghilang. </p>
<p>Dalam kasus ekstrem, anak bisa sama sekali tidak kembali ke komunitas karena melanjutkan hidup di kelas barunya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">Pandangan negatif pada kelompok miskin tidak hanya salah, namun juga berbahaya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><em>Kedua</em>, proses mobilitas sosial kerap memunculkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/socf.12461">konflik budaya</a> yang terjadi akibat perubahan cara pandang dan gaya hidup anak. </p>
<p>Meskipun nilai dan budaya kerap bersifat netral, institusi pendidikan sebagai gerbang mobilitas cenderung mendiskriminasi kelompok marginal. </p>
<p><a href="https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/oso/9780190634438.001.0001/oso-9780190634438">Studi kualitatif</a> di AS tahun 2018 menunjukkan bahwa institusi pendidikan tidaklah netral secara kelas ekonomi. </p>
<p>Selain menyortir siswa berdasarkan kemampuan akademis —- yang <a href="https://www.apa.org/pi/ses/resources/publications/education">sangat berkaitan dengan kelas ekonomi</a>, institusi pendidikan juga cenderung memberikan keistimewaan pada pelajar dari kelas menengah-atas. </p>
<p>Diskriminasi terhadap kelompok kelas bawah terus berlanjut ketika anak lulus dari pendidikan tinggi. </p>
<p>Misalnya sebuah studi di AS yang melihat proses rekrutmen untuk menjadi pekerja di profesi elite (di sektor finansial, manajemen, dan hukum) menunjukkan bahwa proses ini <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691155623/pedigree">sangat menantang bagi anak dari keluarga miskin</a>. Mereka sering kali dianggap <a href="https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/jul/29/diversity-versus-cultural-fit-i-hire-people-who-i-know-will-challenge-me">tidak “cocok secara budaya”</a>. </p>
<p>Bahkan, <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-class-ceiling">lulus dari kampus ternama</a> belum tentu menjamin anak-anak miskin mendapatkan pekerjaan yang layak dengan insentif yang setara dengan yang didapatkan anak-anak dari kelas menengah dan atas.</p>
<p>Di Indonesia, analisis serupa masih terbatas. Namun, mereka yang bekerja di profesi menengah-atas bisa melihat seberapa banyak rekan kerja yang berasal dari kelas bawah dan kelompok marginal.</p>
<p>Untuk bisa beradaptasi di dunia pendidikan dan pekerjaan yang cenderung berpihak pada kelas menengah, anak-anak dari kelompok marginal harus terampil melakukan <a href="https://hbr.org/2019/11/the-costs-of-codeswitching"><em>codeswitch</em></a>, yaitu penyesuaian perilaku tergantung konteks.</p>
<p>Keterampilan ini membantu mereka untuk bermanuver dalam kehidupan baru di lingkungan dengan budaya dan nilainya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. </p>
<p>Tanpa kesadaran penuh melakukan penyesuaian, individu seperti ini rentan mengalami krisis identitas. </p>
<p>Mengadopsi nilai-nilai kelas menengah bisa juga membuat mereka ikut memandang negatif latar belakang mereka sendiri, yang lagi-lagi berpotensi menjauhkan mereka dari akarnya.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103116305509">Riset</a> menunjukkan bahwa kelompok menengah dan berpendidikan cenderung memiliki pandangan negatif pada mereka yang tidak berpendidikan tinggi.</p>
<p>Ini berkaitan dengan beban <em>ketiga</em>, yaitu kesehatan mental.</p>
<p><a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-class-ceiling">Studi di Inggris</a>, yang dipublikasikan tahun 2020 mengungkapkan bahwa orang yang berhasil memperbaiki status sosial cenderung tidak lagi terhubung dengan akarnya, namun tidak juga terhubung dengan kelas barunya. </p>
<p>Kondisi ini rentan menyebabkan <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/miseducation">kesepian</a> pada mereka. </p>
<p>Lebih lanjut, <a href="https://www.tcpress.com/the-power-of-student-agency-9780807763889">studi</a> yang dilakukan pada orang dewasa muda sukses yang berasal dari kelas dan ras minoritas di kota besar di negara maju menunjukkan bahwa tidak sedikit dari mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Selain depresi dan kecemasan, mereka juga rentan mengalami kelelahan mental (<em>burnout</em>).</p>
<p>Di Indonesia, hasil <a href="https://www.kemkes.go.id/article/view/19030400005/perlu-kepedulian-untuk-kendalikan-masalah-kesehatan-jiwa.html#:%7E:text=Hasil%20Riskesdas%20tahun%202018%2C%20menunjukkan,tahun%202013%20yaitu%20sebesar%206%25.">riset kesehatan dasar</a> menunjukkan bahwa prevalensi gangguan emosional pada kelompok usia di atas 15 tahun meningkat dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018.</p>
<p>Masalah kesehatan mental umum dialami oleh orang-orang dari berbagai kelas ekonomi. Namun, <a href="https://www.mentalhealth.org.uk/sites/default/files/Poverty%20and%20Mental%20Health.pdf">kemiskinan</a> adalah salah satu faktor risiko pendorong. </p>
<p>Banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh kelompok miskin, di tengah keterbatasan sumber daya, berpotensi memunculkan berbagai masalah kesehatan mental.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">Mengapa orang Indonesia merasa kunci sukses seseorang ada pada ikhtiar dan bukan latar kelas sosialnya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Di Indonesia, kita cenderung percaya bahwa kesuksesan adalah buah <a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">usaha dan kerja keras</a>. Kepercayaan ini penting untuk mendorong bahwa semua orang harus berusaha. </p>
<p>Namun, keyakinan ini cenderung <a href="http://eprints.lse.ac.uk/100794/">menjustifikasi ketimpangan</a>. Dalam pandangan ini, mobilitas sosial sekadar urusan individu.</p>
<p>Nyatanya, membuat mobilitas sosial menjadi lebih mudah membutuhkan usaha bersama. </p>
<p>Sebagai gerbang awal, institusi pendidikan harus lebih sensitif dengan keadaan dan kebutuhan semua pelajar. </p>
<p>Alih-alih berasumsi bahwa semua pelajar tahu apa yang harus mereka lakukan, institusi pendidikan dan orang-orang di dalamnya perlu memastikan bahwa semua pelajar mengetahui semua <a href="http://www.jessicacalarco.com/tips-tricks/tag/hidden+curriculum">pengetahuan dan informasi</a> tentang cara kerja dan kehidupan sekolah dan pendidikan tinggi.</p>
<p>Penyediaan mentor bisa juga membantu kelompok miskin menghadapi kehidupan barunya di pendidikan tinggi dan pekerjaan; khususnya bagi <a href="https://firstgen.naspa.org/why-first-gen/students/are-you-a-first-generation-student">mereka yang menjadi generasi pertama di keluarganya yang mengenyam pendidikan tinggi</a></p>
<p>Layanan kesehatan mental yang mudah dijangkau juga dapat menjadi salah satu dukungan sosial untuk mereka. Tentu orang-orang yang bekerja di dalamnya harus sensitif dengan kondisi anak, dan tidak justru menyepelekan masalah anak menjadi urusan individu.</p>
<p>Terakhir, yang paling penting, kita perlu mengubah sikap terhadap mobilitas sosial. </p>
<p>Mobilitas sosial bukan solusi atas ketimpangan yang terjadi. Sebaliknya, negara perlu melakukan <a href="https://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide">upaya sistematis</a> untuk menghapus ketimpangan sehingga mobilitas sosial yang penuh derita ini bisa teratasi.</p>
<p>Negara, misalnya, dapat menerapkan kebijakan ekonomi yang progresif dan berpihak kepada kelompok marginal serta pemerataan layanan dasar dan kualitas pendidikan.</p>
<p>Di dunia yang lebih adil dan setara, anak-anak kurang beruntung tidak perlu berjuang luar biasa keras untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. </p>
<p>Mereka, terlepas mengalami mobilitas atau tidak, berhak <a href="https://us.macmillan.com/books/9780374289980">mendapatkan penghormatan dan penghidupan yang baik</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154488/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Isi dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi dimana penulis bekerja maupun afiliasinya.</span></em></p>Dalam usaha memperbaiki status sosial dan ekonomi, kelompok miskin menghadapi risiko terpisah dari komunitas, mengalami konflik budaya, dan mengalami masalah kesehatan mentalSenza Arsendy, Researcher, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1381152020-05-15T03:24:25Z2020-05-15T03:24:25ZMasalah akses kesehatan membuat kelompok menengah-bawah rentan dalam pandemi COVID-19<p>Pekerja seperti tukang ojek <em>online</em>, petugas keamanan, dan petugas kebersihan berperan penting kala kita kini harus bekerja dari rumah. Namun, ketidaksetaraan akses kesehatan di tengah pandemi berdampak buruk bagi mereka.</p>
<p>Di tengah penerapan Pengendalian Sosial Skala Besar (PSBB) di berbagai <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/20/05534481/daftar-18-daerah-yang-terapkan-psbb-dari-jakarta-hingga-makassar">wilayah</a>, kelompok pekerja seperti mereka tidak bisa bekerja dari rumah. </p>
<p>Mereka menjadi lebih berisiko tertular dan tugas mereka juga semakin berat di tengah pandemi. </p>
<p>Pendapatan pengendara ojek <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/03/30/pendapatan-pengemudi-taksi-dan-ojek-online-anjlok-80-akibat-corona">berkurang</a> karena hanya bisa mengantar barang (termasuk membeli makanan). Petugas keamanan harus menggunakan masker dan mengawasi lalu lintas semua orang yang masuk ke wilayah kerja mereka, dan petugas kebersihan harus lebih bekerja lebih keras membersihkan tempat kerja. </p>
<p>Sebelum ada wabah, masyarakat menengah dan miskin sudah mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan, dari minimnya pilihan layanan kesehatan karena syarat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sampai <a href="https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Article-12999-05_0091.Image.Marked.pdf">antrean panjang</a> karena penggunaan skema kesehatan ini.</p>
<p>Kelompok masyarakat yang lebih kaya mampu memilih layanan kesehatan yang mereka inginkan tanpa harus mengantre, dan mempunyai perlindungan tambahan karena menggunakan layanan asuransi kesehatan lain. </p>
<p>Akses kesehatan menjadi semakin penting bagi pekerja dari kalangan menengah kala pandemi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penyandang-disabilitas-rentan-dan-luput-dari-mitigasi-covid-19-136761">Penyandang disabilitas rentan dan luput dari mitigasi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Rentan menjadi miskin dan sakit</h2>
<p>Menurut <a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/aspiring-indonesia-expanding-the-middle-class">Bank Dunia</a>, 115 juta dari 267 juta penduduk Indonesia termasuk kategori <em>aspiring middle class</em> (tidak miskin, tapi juga belum aman secara ekonomi) dengan pengeluaran antara Rp 2-4,8 juta per bulan. </p>
<p>Para petugas kebersihan, petugas keamanan, tukang ojek daring dan pekerja yang tidak dapat bekerja dari rumah masuk dalam kategori ini.</p>
<p>Seperti saat krisis ekonomi 1997-1998, pandemi ini menyebabkan banyak pengusaha merumahkan dan memutus kontrak kerja secara sepihak akibat bisnis yang lesu selama pandemi. <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200501181726-92-499298/bukan-2-juta-kadin-sebut-korban-phk-akibat-corona-15-juta">Pengangguran</a> dan kemiskinan menghantui para pekerja. </p>
<p>Pemerintah <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200414162455-4-151871/corona-picu-5-juta-pengangguran-3-juta-orang-ri-jatuh-miskin">memproyeksikan</a> adanya tambahan 1,1 juta orang miskin dan 2,9 juta orang pengangguran akibat pandemi. Proyeksi yang lebih berat memperkirakan penambahan 3,7 juta orang miskin dan 5,2 juta orang pengangguran. </p>
<p>Secara global, Bank Dunia memprediksi kurang lebih <a href="https://www.cnbc.com/2020/04/09/coronavirus-could-push-half-a-billion-people-into-poverty-globally.html">500 juta penduduk</a> dunia akan hidup dalam kemiskinan akibat pandemi ini. Tingginya angka kemiskinan berpengaruh kepada makroekonomi secara nasional dan yang terpenting mempengaruhi kesehatan secara individu dan kelompok. </p>
<p>Sebuah <a href="https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2468266719302488?token=FC858C04345879F1BAAED56514C37C2B184D82C82978D442885C08BAC6AE02A26CBEB8CFC380B0B76B9F2CB7B8CEF679">studi</a> di Finlandia menemukan bahwa rendahnya status ekonomi berhubungan dengan meningkatnya terkena risiko penyakit kesehatan jiwa seperti gangguan psikotik dan gangguan <em>mood</em> - yang nantinya juga berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti darah tinggi dan gula.</p>
<p>Selain itu, para pekerja yang masih harus bepergian dan bertemu banyak orang juga semakin berisiko tertular pandemi. Virus corona <a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200326-sitrep-66-covid-19.pdf">menyebar</a> melalui tetesan cairan tubuh (droplet), yang dapat ditularkan saat bersin, batuk, bahkan berbicara. Virus ini juga dapat bertahan selama lebih dari 24 jam pada kardus dan permukaan tertentu. </p>
<p>Studi <a href="https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762028">di Cina</a> menunjukkan adanya kemungkinan penularan melalui orang terinfeksi yang tidak bergejala. Meskipun sampai saat ini belum ada data lengkap mengenai status pekerjaan pasien-pasien wabah, namun masih adanya kontak dengan orang lain secara otomatis meningkatkan risiko mereka untuk tertular dan menulari orang lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-luput-dari-psbb-kewajiban-pemerintah-untuk-penuhi-hak-kesehatan-warga-136747">Yang luput dari PSBB: kewajiban pemerintah untuk penuhi hak kesehatan warga</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Upaya yang ada belum cukup</h2>
<p>Pemerintah memang telah menyediakan bermacam program jaring pengaman sosial (JPS), salah satunya <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200502134742-4-155821/kurangi-beban-rakyat-ini-deretan-program-bansos-pemerintah">bantuan sosial</a> untuk keluarga miskin – tapi tidak untuk masyarakat menengah yang berisiko jatuh miskin. </p>
<p>Beberapa pihak swasta sudah berinisiatif untuk membantu kelompok menengah, misalnya menyediakan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200420152935-37-153152/driver-ojol-bisa-ikut-rapid-test-covid-19-gratis-ini-caranya">layanan tes gratis</a> bagi pengemudi ojek daring. Namun, bantuan-bantuan ini sangat minim dan hanya terfokus di kota besar seperti Jakarta. </p>
<p>Sayangnya, pekerja-pekerja di sektor lain seperti petugas keamanan dan petugas kebersihan belum mendapatkan akses yang sama dan sangat bergantung kepada pemerintah dan pemberi kerja.</p>
<p>Program bantuan kesehatan pemerintah yang menyasar kelompok menengah nyaris tidak ada; bantuan yang tidak merata ini bertentangan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. </p>
<p>Selain tidak berkeadilan, ketidaksetaraan dalam hal ini juga merugikan perekonomian. Jatuhnya kelas menengah yang jatuh ke dalam jurang kemiskinan semakin memperbesar ketidaksetaraan dan <a href="https://www.oxfam.org/en/research/towards-more-equal-indonesia">menentukan pertumbuhan ekonomi</a> di Indonesia. </p>
<p>Meningkatnya kelompok menengah yang jatuh miskin akan mengurangi daya beli dan menurunkan aktivitas ekonomi yang menjadi sebuah faktor penting dalam menjalankan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Ketidaksetaraan akses kesehatan, terlebih pada masa pandemi, merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan. </p>
<p>Dalam jangka pendek, bantuan sosial dan penyediaan tes gratis bagi kelompok pekerja dan keluarganya menjadi sebuah alternatif untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan ini. Dengan hal ini, penularan di level keluarga oleh para pekerja bisa diatasi dengan segera. </p>
<p>Untuk jangka panjang, upaya untuk menanggulangi permasalahan ini perlu dilakukan secara lintas sektor dan komprehensif dipimpin oleh pemerintah pusat. </p>
<p>Kebijakan dalam sistem kesehatan juga harus dimodifikasi untuk menunjang atau menyelesaikan masalah yang muncul akibat <a href="https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2468266719302488?token=FC858C04345879F1BAAED56514C37C2B184D82C82978D442885C08BAC6AE02A26CBEB8CFC380B0B76B9F2CB7B8CEF679">ketidaksetaraan</a> ini, antara lain meningkatnya penyakit-penyakit tidak menular dan penyakit kesehatan mental.</p>
<p>Solusi terhadap ketidaksetaraan ini merupakan upaya mencegah dampak yang lebih buruk dari wabah dan menjadi investasi kita dalam menangani masalah kesehatan nasional secara lebih baik. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138115/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kevin Kristian Rustandi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau tidak miskin, masyarakat kelas menengah menjadi rentan di kala pandemi. Ketidaksetaraan akses kesehatan menjadi salah satu masalah.Kevin Kristian Rustandi, Dokter dan Assistant scientist, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.