tag:theconversation.com,2011:/us/topics/ketimpangan-sosial-99673/articlesKetimpangan sosial – The Conversation2023-03-08T07:36:21Ztag:theconversation.com,2011:article/2013912023-03-08T07:36:21Z2023-03-08T07:36:21ZPertumbuhan ekonomi memperparah perubahan iklim: pakar usulkan komunisme ‘degrowth’ sebagai solusinya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/514159/original/file-20230308-20-ze5ziu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">John Bingham/Alamy Stock Photo</span> </figcaption></figure><p>Saya kerap mendengar dari orang-orang bahwa gagasan <em>degrowth</em>, yakni pengurangan aktivitas produksi dan konsumsi untuk meredam laju kerusakan bumi, sulit diterima oleh masyarakat. Namun, seorang akademikus berusia 36 tahun dari Tokyo University <a href="https://www.theguardian.com/environment/2023/feb/28/a-greener-marx-kohei-saito-on-connecting-communism-with-the-climate-crisis">justru bisa terkenal</a> karena berpendapat bahwa konsep komunisme <em>degrowth</em> bisa mengatasi perubahan iklim.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Sampul buku berwarna hitam beraksara Jepang dan gambar penulis di depan gambar bumi yang berkelir merah." src="https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=967&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=967&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=967&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1215&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1215&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513174/original/file-20230302-16-g0suqd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1215&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Edisi pertama buku</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://en.wikipedia.org/wiki/Capital_in_the_Anthropocene#/media/File:Capital-in-the-Anthropocene.png">Kohei Saito</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Akademikus tersebut bernama Kohei Saito, penulis buku laris <em>Capital in the Anthropocene</em> yang kembali membuahkan karya berjudul <a href="https://www.cambridge.org/core/books/marx-in-the-anthropocene/D58765916F0CB624FCCBB61F50879376"><em>Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism</em></a>. Buku ini cukup ‘berat’, terutama bagi mereka yang tak berkarib dengan jargon-jargon Marxis yang, saya kira, tidak terlalu peduli apakah Karl Marx (pencetus komunisme ) mulai mengkhawatirkan bumi pada tahun-tahun terakhirnya atau tidak.</p>
<p>Walau begitu, ulasan Saito sangatlah menohok. Dia memakai teori Marxist untuk menjelaskan “melimpahnya kekayaan (bumi) dalam komunisme <em>degrowth</em>” — yang juga menjadi judul bab terakhir bukunya. Usaha dia menghidupkan kembali Marxisme dengan gagasan-gagasan alternatif pertumbuhan ekonomi juga kian mempopulerkan kritik kita terhadap kapitalisme.</p>
<p>Ulasan ini turut memikat saya, sebagai ekonom yang juga <a href="https://theses.hal.science/tel-02499463/document">meneliti gagasan <em>degrowth</em></a>. </p>
<h2>Pertumbuhan ekonomi mengakibatkan kelangkaan</h2>
<p>Saito sukses menjungkirbalikkan konsep pertumbuhan ekonomi. Banyak orang beranggapan bahwa pertumbuhan membuat kita tajir, tapi bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya?</p>
<p>Produk domestik bruto (PDB), ukuran produksi yang berbasiskan nilai uang, dapat meningkat karena seseorang mengkomersialkan barang publik. Gagasan ini disampaikan ahli geografi asal Inggris <a href="https://books.google.se/books/about/Seventeen_Contradictions_and_the_End_of.html?id=EDg_AwAAQBAJ&redir_esc=y">David Harvey</a> melalui frasa “akumulasi (kekayaan) dengan disposesi (pelepasan barang publik)”. Artinya, pihak-pihak tertentu memagari sumber daya (yang sebelumnya bisa dimanfaatkan masyarakat secara gratis), kemudian menjualnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-biaya-lingkungan-indonesia-nyaris-seribu-triliun-setahun-ini-10-besar-penyebabnya-176697">Riset: biaya lingkungan Indonesia nyaris seribu triliun setahun, ini 10 besar penyebabnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meski bisa menggenjot PDB suatu negara, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0921800919304203">penghisapan berujung renten</a> tersebut sebenarnya tidak menciptakan suatu barang yang berguna. Faktanya, upaya menutup akses warga terhadap sumber daya justru menimbulkan kelangkaan artifisial. Sebab, sumber daya tersebut sebenarnya tidaklah langka. </p>
<p>Makin banyak uang terkumpul, makin besar kemungkinan praktik rampas-jual terjadi. Entah itu terhadap sumber daya alam, pengetahuan, ataupun tenaga kerja. Maka, ketika semua hal berpeluang untuk dijual ataupun dibeli, otoritas pasti langsung mendukungnya karena bisa memperbesar keuntungan.</p>
<p>Misalnya: mengapa kita harus meminjamkan rumah secara gratis jika kita bisa menyewakannya lewat Airbnb? </p>
<p>Itulah maksudnya, ketika kita bergantung pada uang untuk memenuhi kebutuhan, kita akan dipaksa menjadi kapitalis.</p>
<h2>Rem darurat</h2>
<p>Naluri ‘haus duit’ mendorong kita untuk mengubah hal-hal yang alamiah menjadi komoditas. Mesin pencetak keuntungan bisa terus beroperasi tanpa henti walaupun sumber daya kita kian seret.</p>
<p>Contoh yang amat nyata terlihat dalam <a href="https://www.forbes.com/sites/roberthart/2023/02/07/bp-boasts-record-profits-as-oil-giants-report-historic-windfalls/">torehan keuntungan berlipat-lipat</a> oleh perusahaan bahan bakar fosil di tengah kondisi bumi yang <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2023-03-01/climate-change-is-messing-with-forests-ability-to-soak-up-carbon">terus memburuk</a>.</p>
<p>Nah, menurut Saito, gagasan <a href="https://www.versobooks.com/books/3989-the-future-is-degrowth"><em>degrowth</em></a> dapat menjadi rem darurat guna menyetop lingkaran setan di atas. Caranya dengan “mengakhiri eksploitasi kemanusiaan dan perampokan alam habis-habisan.” </p>
<p>Para akademikus mengartikan <em>degrowth</em> sebagai usaha terencana nan demokratis untuk menurunkan angka produksi dan konsumsi untuk meringankan beban lingkungan. </p>
<p>Demokratis menjadi bagian krusial. Sebab, gagasan ini juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi sekaligus menaikkan kesejahteraan semua orang. Sulit membayangkan <em>degrowth</em> dapat terjadi dalam sistem kapitalisme yang sejatinya wajib untuk terus berekspansi dan menghasilkan keuntungan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melawan-krisis-iklim-kita-kekurangan-tokoh-tokoh-fiksi-bergaya-hidup-ramah-lingkungan-178993">Melawan krisis iklim: kita kekurangan tokoh-tokoh fiksi bergaya hidup ramah lingkungan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Itulah poin Saito sebenarnya: komunisme sepertinya lebih bisa diandalkan untuk mencapai tujuan tersebut.</p>
<p>Saito beralasan bahwa perekonomian yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan manusia dapat menghindarkan kita dari produksi ‘barang sampah’ (yang tak penting). Tanpa kewajiban ‘jadilah kaya atau binasa’, banyak barang atau jasa yang boros sumber daya tidak akan lagi terasa penting ataupun dibutuhkan.</p>
<p>Sang penulis menyebut <em>degrowth</em> sebagai “kesadaran untuk mengikis ‘dunia kebutuhan’ (<em>realm of necessity</em>)”–istilah Marxis terkait hal-hal apa saja yang dianggap sebagai kebutuhan dasar. Dalam komunisme <em>degrowth</em>, dunia kebutuhan akan terkikis untuk menyingkirkan barang-barang maupun aktivitas yang tidak bermanfaat bagi kesejahtaraan manusia sekaligus kelestarian alam.</p>
<p>Saat kebutuhan berkurang, cara kerja akan berubah. Cara industri memproduksi barang dengan biaya semurah mungkin–tapi mengorbankan keamanan dan kenyamanan bekerja–pada akhirnya akan punah. </p>
<p>Alih-alih bersaing untuk merebut pasar, perusahaan dapat bergotong royong untuk mencapai tujuan bersama, misalnya memulihkan keberagaman hayati. Kinerja mesin uang yang melambat akan memperlebar kesempatan masyarakat untuk memulihkan biodiversitas. Selama ini, urusan makhluk hidup masih terkucil lantaran dianggap tidak menguntungkan. </p>
<p>Dalam kondisi tersebut, laju perekonomian mungkin akan melambat dan mengecil. Namun pertumbuhannya akan lebih lestari dan efektif untuk mengungkit kualitas hidup kita – yang sejatinya memang harus seperti itu. </p>
<h2>Menuju era tanpa kelangkaan</h2>
<p>Karya Saito tergolong menyegarkan karena dapat mengakhiri perdebatan di kalangan sosialis tentang perekonomian. Selama ini ada kubu yang meyakini inovasi teknologi dan <a href="https://www.theguardian.com/sustainable-business/2015/mar/18/fully-automated-luxury-communism-robots-employment">automasi pekerjaan</a> dapat menggenjot perekonomian sekaligus memperbanyak waktu luang. Di sisi lain, ada juga yang meyakini <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10455752.2017.1386695">sosialisme tanpa pertumbuhan ekonomi</a>. </p>
<p>Ketimbang menumbuhkan perekonomian dengan mengkaveling serta menjual segala hal, Saito mengusulkan pembagian kekayaan yang sudah ada. Usulan ini diyakini dia dapat menciptakan cara hidup baru, yakni orang-orang bisa memangkas waktu dan upaya untuk menghasilkan komoditas. Tujuannya agar orang-orang bisa memperhatikan hal-hal yang lebih berharga, yang dalam konsep Marxisme disebut ‘dunia kebebasan’ atau <em>realm of freedom</em>. </p>
<p>Untuk memulainya, kata Saito, kita bisa memulihkan berbagai ekosistem di bumi yang menjadi pijakan kegiatan segala makhluk.</p>
<p></p>
<p>Orang-orang, karena tidak dipaksa untuk <a href="https://www.versobooks.com/books/3693-post-growth-living">haus duit dan konsumtif,</a> dapat menikmati kekayaan alam dan masyarakat yang melimpah. Ketimbang gonta-ganti ponsel pintar baru setiap tahun, kita bisa menikmati dan terlibat dalam ekosistem alami yang lebih nyaman, ruang publik meluas, dan demokrasi semarak.</p>
<p>Melalui bukunya, Saito menghidupkan kembali gagasan-gagasan Marxis. Dia mengajak kita untuk membayangkan kehidupan tanpa penghisapan, produksi, dan konsumsi. Seperti yang telah dikatakannya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk berubah: </p>
<blockquote>
<blockquote>
<h2>Meski tak pernah dibahas selama abad ke-20, gagasan Marx tentang komunisme <em>degrowth</em> terasa jauh lebih penting saat ini karena untuk meningkatkan ketahanan hidup manusia pada era Antroposen (era manusia mendominasi).</h2>
</blockquote>
</blockquote><img src="https://counter.theconversation.com/content/201391/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Timothée Parrique tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pakar mengulas teori-teori Karl Marx untuk membuktikan bahwa komunisme bisa menjadi solusi mengatasi perubahan iklim.Timothée Parrique, Researcher in Ecological Economics, Lund UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1629352021-06-17T08:58:42Z2021-06-17T08:58:42Z“Umbi-umbian” yang terabaikan: ASN/PNS menjadi korban reformasi birokrasi yang buruk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/406943/original/file-20210617-23-r476fp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=22%2C3%2C2031%2C1418&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/2fTsAds4GKidonuHzmK0Jh" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Beberapa bulan ini, berbagai polemik muncul terkait Aparatur Sipil Negara (ASN) — termasuk <a href="https://theconversation.com/asn-serba-salah-bagaimana-birokrat-indonesia-kian-jadi-bulan-bulanan-kala-pandemi-141779">ancaman kesejahteraan pegawai negeri sipil di kala pandemi</a>, dan <a href="https://theconversation.com/petisi-thr-pns-tunjukkan-reformasi-birokrasi-yang-parsial-dan-diskriminatif-160537">pembayaran THR yang tertunda</a> bagi mereka.</p>
<p>Masalah-masalah ini adalah sebagian cerminan dari <a href="https://theconversation.com/apakah-reformasi-birokrasi-jokowi-berhasil-152824">reformasi sistem birokrasi</a> di berbagai lembaga pemerintah Indonesia yang baru berjalan sebagian saja dan cenderung diskriminatif.</p>
<p>Kanti Pertiwi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia (UI), misalnya, menjelaskan bahwa setelah sekian tahun, berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan bagi pegawai negeri belum menyeluruh dan menunjukkan kesenjangan antar institusi pemerintah.</p>
<p>Besarnya penghasilan ASN, misalnya, tidak mempertimbangkan <a href="https://geotimes.co.id/opini/dilema-yang-dihadapi-asn-di-masa-pandemi/?fbclid=IwAR2fnZ2qH4JYvZCwCeOuxgAWRybUgI9sZpmfWhZL53YTxKDk_kFDZVIzomA">kebutuhan hidup layak</a>, melainkan ditentukan lewat mekanisme <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1173150/menpan-rb-tunjangan-kinerja-pns-bervariasi-sesuai-kinerja/full&view=ok">penerimaan tunjangan</a>. </p>
<p>Menurut Kanti, salah satu akar masalahnya adalah kebijakan terkait ASN masih membela kelompok elit dan tidak melibatkan banyak pegawai negeri dalam proses perumusannya.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkap dengan Kanti di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=-RFS0fC1SJia2GLExHoj8A">podcast SuarAkademia</a>, di mana kami akan hadir rutin memandu sahabat TCID untuk memahami berbagai isu yang sedang hangat, bersama akademisi dan para editor kami.</p>
<p>SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/162935/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kami ngobrol dengan Kanti Pertiwi, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, tentang masalah kesejahteraan aparat sipil negara.Andre Arditya, Editor Politik + MasyarakatLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1603542021-05-18T06:56:37Z2021-05-18T06:56:37ZBagaimana kelompok privilese menyamankan diri di tengah ketimpangan?<p>Sekeras apa pun kelompok berprivilese menolak untuk mengakui keistimewaan bawaan yang mereka miliki, <a href="https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/bjso.12251">fakta</a> menunjukkan bahwa kelas ekonomi masih berperan signifikan dalam menentukan garis hidup seseorang.</p>
<p>Pandemi COVID-19 saat ini memperdalam <a href="https://theconversation.com/yang-juga-penting-saat-kembali-belajar-tatap-muka-memulihkan-hasil-belajar-murid-rentan-dan-mencegah-ketimpangan-158425">jurang</a> antara kelompok menengah-bawah dan atas di Indonesia yang sebelumnya sudah <a href="https://oi-files-d8-prod.s3.eu-west-2.amazonaws.com/s3fs-public/bp-towards-more-equal-indonesia-230217-id_0.pdf">sangat lebar</a>.</p>
<p>Di saat pekerja menengah-atas masih bisa bekerja dari rumah, misalnya, sebagian pekerja dari kelompok rentan harus <a href="https://smeru.or.id/sites/default/files/publication/ib01_naker_id_0.pdf">kehilangan penghasilan</a> akibat kondisi ekonomi yang memburuk. Di dunia pendidikan, anak-anak dari kelompok menengah-bawah <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">belajar lebih sedikit</a> selama pandemi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga mampu.</p>
<p>Lalu mengapa di tengah jurang ketimpangan ini sulit sekali bagi kelompok dominan untuk mengakui keistimewaan yang mereka miliki?</p>
<h2>Menyangkal privilese</h2>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0963721417753600">Privilese</a> merupakan hak istimewa individu yang didapatkan secara otomatis — tidak melalui usaha - karena menjadi anggota kelompok tertentu. </p>
<p>Privilese ini dimiliki oleh kelompok dominan baik dalam kelas ekonomi, gender, ras, maupun yang lainnya.</p>
<p>Kelompok dominan cenderung menyangkal keistimewaan yang mereka miliki. </p>
<p>Menurut beberapa akademisi yang meneliti kelompok dominan kulit putih di Amerika Serikat (AS), penyangkalan ini karena kelompok dominan terdorong untuk berlindung dari <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1745691614554658">ancaman psikologis</a> yang berpotensi mengganggu kepercayaan meritokrasi dan konsep diri individu.</p>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11211-014-0228-0">Kepercayaan meritokrasi</a> menekankan bahwa kesuksesan adalah buah dari bakat dan kerja keras.</p>
<p>Individu dari kelompok dominan yang menyadari pentingnya faktor kelas ekonomi akan mengakui bahwa usaha dan kerja keras saja tidak cukup untuk menempatkan mereka pada situasi yang baik yang mereka nikmati. </p>
<p>Pengakuan semacam ini akan mengganggu kepercayaan meritokrasi kelompok dominan.</p>
<p>Teo You Yenn, sosiolog dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura menjelaskan bahwa salah satu kendala terbesar untuk <a href="https://teoyouyenn.sg/this-is-what-inequality-looks-like/">membongkar ketimpangan</a> di negara jiran itu adalah narasi meritokrasi yang selama ini diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa upaya untuk mengkritisinya.</p>
<p>Selanjutnya, individu enggan untuk mengakui privilesenya untuk <a href="https://www.stern.nyu.edu/experience-stern/faculty-research/how-and-why-wealthy-try-cover-their-privileges">menghindari perasaan bersalah</a> karena menjadi suatu anggota di kelompok dominan tertentu. </p>
<p>Mengakui privilese maka mengakui bahwa mereka cenderung diuntungkan dari ketidakadilan yang terjadi. Hal ini bisa menimbulkan penilaian negatif individu, baik tentang dirinya maupun kelompoknya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">Riset: standar pemerintah untuk "anak muda yang ideal" buta kesenjangan dan minim dukungan negara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menutupi keistimewaannya</h2>
<p>Mengakui privilese menimbulkan ketidaknyaman pada diri individu. </p>
<p>Untuk menghindari hal itu, kelompok privilese menggunakan beberapa cara dalam menutupi privilesenya.</p>
<p>Pertama, individu mengakui bahwa mereka adalah bagian dari kelompok dominan namun menolak mengakui bahwa mereka mendapatkan keuntungan secara tidak adil. </p>
<p>Penolakan ini biasanya justru menguatkan pemahaman bahwa kesuksesan yang mereka dapatkan adalah hasil <a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">usaha keras</a> selama ini. </p>
<p>Cara lain untuk menolak mengakui keistimewaan adalah dengan menggunakan narasi kemujuran (<em>luck</em>) dalam menjelaskan capaian. </p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09620214.2020.1789491">Penelitian</a> yang dilakukan pada sekelompok mahasiswa Singapura di University of Oxford dan University of Cambridge, Inggris, pada 2020 menunjukkan bahwa faktor kemujuran umum digunakan oleh kelompok dominan untuk menjelaskan keberhasilan mereka masuk kampus-kampus top dunia.</p>
<p>Menggunakan faktor kemujuran terdengar lebih rendah hati dibandingkan dengan penggunaan narasi kerja keras — yang seolah hanya fokus pada diri sendiri. </p>
<p>Sayangnya, narasi kemujuran justru bisa menguatkan legitimasi kelompok dominan atas keuntungan-keuntungan yang mereka dapatkan dan juga abai pada ketimpangan yang ada.</p>
<p>Kedua, kelompok dominan menolak untuk mengakui bahwa mereka adalah bagian dari kelompok privilese. </p>
<p>Menurut Brian Lowery, <a href="https://www.apa.org/research/action/speaking-of-psychology/white-privilege">psikolog sosial</a> dari Stanford University, AS, salah satu cara yang anggota kelompok dominan lakukan adalah mendaftar kesengsaraan yang selama ini mereka alami. </p>
<p>Dengan begini, mereka bisa menunjukkan bahwa mereka juga mengalami penderitaan.</p>
<p>Tentu, semua manusia punya derita hidupnya masing-masing. Kesengsaraan yang dialami
kelompok berprivilese dan kelompok minoritas sama-sama valid dan penting untuk dipahami. </p>
<p>Namun, derita kelompok yang mengalami diskriminasi serta penyingkiran secara sistematis tentu harus dibedakan dengan derita sehari-hari individu dari kelompok dominan.</p>
<p>Misalnya, kita tidak bisa menyamakan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210413125454-37-237469/upah-turun-berujung-kurir-shopee-mogok-ini-dampaknya">kesengsaraan kurir</a> aplikasi belanja <em>online</em> yang harus bekerja dengan upah tidak layak dan jaminan sosial yang belum memadai dengan kesulitan mahasiswa menengah-atas yang sedang mengenyam pendidikan master di luar negeri. </p>
<p>Terakhir, menutupi privilese bisa dilakukan lewat misidentifikasi kelas ekonomi. Misalnya, anggota kelompok ekonomi atas yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok menengah-bawah.</p>
<p>Di <a href="https://www.bsa.natcen.ac.uk/latest-report/british-social-attitudes-33/social-class.aspx">Inggris</a>, kelompok profesional kerap menganggap dirinya bagian dari kelompok kelas pekerja menengah-bawah. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0038038520982225">Studi</a> oleh London School of Economics menunjukkan bahwa misidentifikasi dilakukan salah satunya dengan cara mengaitkan kisah hidup individu saat ini dengan leluhur mereka yang sudah hidup puluhan tahun lalu.</p>
<p>Dengan melakukan ini, mereka bisa membingkai cerita hidup dan keluarganya sebagai kelompok pekerja yang juga berjuang sebelum mendapatkan kesuksesan. </p>
<p>Cerita seperti ini bermakna dalam membentuk identitas individu, namun di sisi lain juga dapat membuat individu meremehkan keuntungan yang mereka miliki saat ini.</p>
<p>Misidentifikasi kelas ekonomi umumnya terjadi karena ketimpangan yang semakin parah. <a href="https://www.penguinrandomhouse.ca/books/318941/the-broken-ladder-by-keith-payne/9780143128908">Analisis psikologi</a> terkait ketimpangan menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi cenderung membuat seseorang merasa miskin, bahkan jika secara materi dia sebenarnya berkecukupan. </p>
<p>Di Indonesia, misidentifikasi sering dilakukan oleh kelompok menengah urban dengan
menggunakan istilah <a href="https://www.hipwee.com/hiburan/4-alasan-kamu-nggak-perlu-lagi-mengaku-sebagai-sobat-misqueen-coba-deh-mulai-banyak-bersyukur/">‘sobat misqueen’</a>. Istilah ini umum terlontar ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu mengikuti gaya hidup kelompok yang lebih elit. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">Mengapa orang Indonesia merasa kunci sukses seseorang ada pada ikhtiar dan bukan latar kelas sosialnya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memulai untuk mengakui</h2>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1745691614554658">Menurut studi di AS</a>, pengakuan atas privilese akan sejalan dengan dukungan yang individu berikan pada kebijakan pro rakyat kecil, seperti kebijakan afirmasi dan bantuan sosial.</p>
<p>Dengan mempertimbangkan bahwa kelompok privilese <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01436597.2021.1882297">mendominasi panggung politik</a>
Indonesia dan memiliki kuasa besar untuk mendorong kebijakan yang lebih berpihak ke kelompok bawah, maka penting sekali mengajak kelompok ini untuk membongkar privilese yang dimiliki.</p>
<p>Di level personal, kita bisa melakukan refleksi kritis terkait keistimewaan yang kita miliki. </p>
<p>Refleksi ini bisa dibantu dengan menggunakan analisis data-data berdasarkan kelas ekonomi sehingga mampu menggambarkan besarnya ketimpangan yang terjadi di sekitar kita.</p>
<p>Selain itu, kita juga bisa melakukan beberapa latihan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kelas ekonomi dalam menentukan hidup seseorang. </p>
<p><a href="https://www.apa.org/pi/ses/resources/publications/classroom-exercises?">American Psychological Association (APA)</a>, organisasi yang menaungi ilmuwan psikologi, menyediakan beberapa metode latihan untuk membantu <strong>kita</strong> menyadari keterkaitan kelas ekonomi dengan pembentukan sikap, pengalaman diskriminasi dan penindasan, pendapatan, privilese, dan kepemilikan properti.</p>
<p>Selanjutnya, <a href="https://www.warforkindness.com/">interaksi</a> dengan lebih banyak anggota di luar kelompok diyakini dapat meningkatkan empati individu terhadap perjuangan kelompok lain. </p>
<p>Mengingat ada ketimpangan kuasa dalam hubungan antara individu dari kelompok dominan dengan anggota di luar grupnya, maka interaksi harus dilakukan dengan tujuan untuk menyeimbangkan relasi kuasa tersebut.</p>
<p>Salah satu yang bisa dilakukan oleh kelompok dominan adalah memberikan kesempatan lebih banyak kepada kelompok minoritas untuk menyampaikan cerita mereka. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103112000297">Eksperimen</a> yang dilakukan di AS dan Timur Tengah menunjukkan bahwa kelompok minoritas lebih mungkin untuk menggambarkan kesulitannya secara lebih akurat jika mendapat kesempatan didengar, dan lebih membantu kelompok dominan untuk lebih memahami derita kelompok lain. </p>
<p>Terakhir, upaya untuk membongkar privilese merupakan hal yang kompleks yang membutuhkan peran negara serta institusi seperti sekolah serta masyarakat. </p>
<p>Ketimpangan harus dipersempit sehingga sekat-sekat antara kelompok kaya dan miskin bisa dibuka. </p>
<p>Dengan begini, seluruh anggota masyarakat bisa saling berinteraksi dan memahami kehidupan kelompok lain.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/160354/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Isi dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi dimana penulis bekerja maupun afiliasinya.</span></em></p>Kelompok berprivilese melakukan beberapa cara untuk menutupi keistimewaan yang mereka milikiSenza Arsendy, Research and Learning Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1544882021-02-05T05:11:27Z2021-02-05T05:11:27ZOngkos tak terlihat yang harus dibayar kelompok miskin untuk memperbaiki status sosial dan ekonomi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/382480/original/file-20210204-16-1hm69fo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1342%2C2609%2C1628&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Embong Salampessy/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Di wilayah dengan ketimpangan ekonomi, anak miskin harus berjuang sangat keras untuk meniti anak tangga keluar dari kemiskinan. </p>
<p><a href="https://www.vox.com/future-perfect/2019/3/19/18271276/alan-krueger-economist-death-minimum-wage-princeton">Alan Krueger</a>, penasihat ekonomi presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton dan Barack Obama, <a href="https://obamawhitehouse.archives.gov/blog/2013/06/11/what-great-gatsby-curve">menjelaskan</a> adanya hubungan negatif antara ketimpangan ekonomi dengan mobilitas sosial. </p>
<p><a href="https://blogs.lse.ac.uk/lsereviewofbooks/2019/09/25/book-review-social-mobility-and-its-enemies-by-lee-elliot-major-and-stephen-machin/">Mobilitas sosial</a> adalah pergerakan naik (atau turun) seseorang dalam kelas sosial ekonomi, misalnya antara kelas miskin, menengah bawah, menengah atas, dan kelas kaya.</p>
<p>Krueger menunjukkan bahwa di wilayah yang memiliki perbedaan ekonomi yang menonjol antara kaya dan miskin, anak-anak yang terlahir miskin cenderung lebih sulit “naik kelas” ke status ekonomi yang lebih tinggi. </p>
<p>Lebih sulit, bukan berarti sama sekali tidak mungkin. <a href="https://globaldialogue.isa-sociology.org/stimulating-upward-mobility-in-indonesia/#:%7E:text=The%20data%20shows%20around%2027,the%20chance%20for%20upward%20mobility.">Analisis</a> dengan menggunakan <a href="https://www.rand.org/well-being/social-and-behavioral-policy/data/FLS/IFLS.html">data rumah tangga</a> periode 1993-2007 oleh Indera Ratna Irawati Pattinasarany, sosiolog dari Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa kelompok miskin di Pulau Jawa ada yang mengalami mobilitas sosial.</p>
<p>Meski demikian, angkanya lebih kecil dibandingkan dengan yang dialami oleh kelompok menengah yaitu 27% berbanding 45%. Angka ini bisa jadi lebih kecil di Indonesia bagian timur.</p>
<p>Narasi mengenai proses perbaikan status sosial tidak sedikit yang <a href="https://www.inc.com/carmine-gallo/why-were-wired-to-love-rags-to-riches-stories.html#:%7E:text=Humans%20Find%20Meaning%20In%20Struggle,past%20tragedies%20into%20today's%20advantage.">fokus pada semangat, etika kerja,</a> dan hal-hal positif yang dimiliki anak-anak tersebut. </p>
<p>Cerita-cerita seperti ini penting untuk memotivasi, sekaligus melawan <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">stigma pada kelompok miskin</a>.</p>
<p>Namun, narasi seperti itu cenderung mengabaikan <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691179230/moving-up-without-losing-your-way">beban yang dihadapi</a> kelompok miskin dalam proses memperbaiki status ekonominya. </p>
<h2>Apa saja harga yang harus mereka bayar?</h2>
<p><em>Pertama</em>, proses mobilitas sosial sering <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171219220301-532-263618/kemendes-urbanisasi-bisa-direm-dengan-menyetop-ketimpangan">memaksa anak</a>, khususnya dari kelompok marginal, untuk keluar dari komunitasnya. </p>
<p>Jika anak tinggal di wilayah yang menawarkan kesempatan yang tidak hanya terbatas, tapi juga timpang, maka dia harus pergi dari situ untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik.</p>
<p>Tinggal jauh dari komunitas berpotensi mengurangi modal sosial yang bisa anak gunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, terutama jika anak masih harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/menuju-indonesia-4-0-pentingnya-memperkuat-infrastruktur-dan-kecakapan-memakai-internet-112870">Keterbatasan teknologi</a> dapat menjadi penghalang utama bagi anak dari kelompok marginal untuk tetap terhubung dengan komunitasnya. </p>
<p>Perginya anak dari komunitas, juga bisa berdampak besar bagi keberlanjutan komunitas. </p>
<p>Dalam salah satu film dokumenter <a href="https://www.youtube.com/watch?v=UIBjN6fLBWc">Ekspedisi Indonesia Biru</a>, sekelompok anak petani kopra di Halmahera, Maluku Utara, yang sedang mengenyam pendidikan tinggi ragu apakah mereka bisa melanjutkan pekerjaan orang tua setelah mereka lulus.</p>
<p>Tanpa dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda, bertani kopra sebagai salah satu mata pencaharian di Halmahera tersebut bisa saja menghilang. </p>
<p>Dalam kasus ekstrem, anak bisa sama sekali tidak kembali ke komunitas karena melanjutkan hidup di kelas barunya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">Pandangan negatif pada kelompok miskin tidak hanya salah, namun juga berbahaya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><em>Kedua</em>, proses mobilitas sosial kerap memunculkan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/socf.12461">konflik budaya</a> yang terjadi akibat perubahan cara pandang dan gaya hidup anak. </p>
<p>Meskipun nilai dan budaya kerap bersifat netral, institusi pendidikan sebagai gerbang mobilitas cenderung mendiskriminasi kelompok marginal. </p>
<p><a href="https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/oso/9780190634438.001.0001/oso-9780190634438">Studi kualitatif</a> di AS tahun 2018 menunjukkan bahwa institusi pendidikan tidaklah netral secara kelas ekonomi. </p>
<p>Selain menyortir siswa berdasarkan kemampuan akademis —- yang <a href="https://www.apa.org/pi/ses/resources/publications/education">sangat berkaitan dengan kelas ekonomi</a>, institusi pendidikan juga cenderung memberikan keistimewaan pada pelajar dari kelas menengah-atas. </p>
<p>Diskriminasi terhadap kelompok kelas bawah terus berlanjut ketika anak lulus dari pendidikan tinggi. </p>
<p>Misalnya sebuah studi di AS yang melihat proses rekrutmen untuk menjadi pekerja di profesi elite (di sektor finansial, manajemen, dan hukum) menunjukkan bahwa proses ini <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691155623/pedigree">sangat menantang bagi anak dari keluarga miskin</a>. Mereka sering kali dianggap <a href="https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/jul/29/diversity-versus-cultural-fit-i-hire-people-who-i-know-will-challenge-me">tidak “cocok secara budaya”</a>. </p>
<p>Bahkan, <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-class-ceiling">lulus dari kampus ternama</a> belum tentu menjamin anak-anak miskin mendapatkan pekerjaan yang layak dengan insentif yang setara dengan yang didapatkan anak-anak dari kelas menengah dan atas.</p>
<p>Di Indonesia, analisis serupa masih terbatas. Namun, mereka yang bekerja di profesi menengah-atas bisa melihat seberapa banyak rekan kerja yang berasal dari kelas bawah dan kelompok marginal.</p>
<p>Untuk bisa beradaptasi di dunia pendidikan dan pekerjaan yang cenderung berpihak pada kelas menengah, anak-anak dari kelompok marginal harus terampil melakukan <a href="https://hbr.org/2019/11/the-costs-of-codeswitching"><em>codeswitch</em></a>, yaitu penyesuaian perilaku tergantung konteks.</p>
<p>Keterampilan ini membantu mereka untuk bermanuver dalam kehidupan baru di lingkungan dengan budaya dan nilainya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. </p>
<p>Tanpa kesadaran penuh melakukan penyesuaian, individu seperti ini rentan mengalami krisis identitas. </p>
<p>Mengadopsi nilai-nilai kelas menengah bisa juga membuat mereka ikut memandang negatif latar belakang mereka sendiri, yang lagi-lagi berpotensi menjauhkan mereka dari akarnya.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103116305509">Riset</a> menunjukkan bahwa kelompok menengah dan berpendidikan cenderung memiliki pandangan negatif pada mereka yang tidak berpendidikan tinggi.</p>
<p>Ini berkaitan dengan beban <em>ketiga</em>, yaitu kesehatan mental.</p>
<p><a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-class-ceiling">Studi di Inggris</a>, yang dipublikasikan tahun 2020 mengungkapkan bahwa orang yang berhasil memperbaiki status sosial cenderung tidak lagi terhubung dengan akarnya, namun tidak juga terhubung dengan kelas barunya. </p>
<p>Kondisi ini rentan menyebabkan <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/miseducation">kesepian</a> pada mereka. </p>
<p>Lebih lanjut, <a href="https://www.tcpress.com/the-power-of-student-agency-9780807763889">studi</a> yang dilakukan pada orang dewasa muda sukses yang berasal dari kelas dan ras minoritas di kota besar di negara maju menunjukkan bahwa tidak sedikit dari mereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Selain depresi dan kecemasan, mereka juga rentan mengalami kelelahan mental (<em>burnout</em>).</p>
<p>Di Indonesia, hasil <a href="https://www.kemkes.go.id/article/view/19030400005/perlu-kepedulian-untuk-kendalikan-masalah-kesehatan-jiwa.html#:%7E:text=Hasil%20Riskesdas%20tahun%202018%2C%20menunjukkan,tahun%202013%20yaitu%20sebesar%206%25.">riset kesehatan dasar</a> menunjukkan bahwa prevalensi gangguan emosional pada kelompok usia di atas 15 tahun meningkat dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018.</p>
<p>Masalah kesehatan mental umum dialami oleh orang-orang dari berbagai kelas ekonomi. Namun, <a href="https://www.mentalhealth.org.uk/sites/default/files/Poverty%20and%20Mental%20Health.pdf">kemiskinan</a> adalah salah satu faktor risiko pendorong. </p>
<p>Banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh kelompok miskin, di tengah keterbatasan sumber daya, berpotensi memunculkan berbagai masalah kesehatan mental.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">Mengapa orang Indonesia merasa kunci sukses seseorang ada pada ikhtiar dan bukan latar kelas sosialnya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Di Indonesia, kita cenderung percaya bahwa kesuksesan adalah buah <a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">usaha dan kerja keras</a>. Kepercayaan ini penting untuk mendorong bahwa semua orang harus berusaha. </p>
<p>Namun, keyakinan ini cenderung <a href="http://eprints.lse.ac.uk/100794/">menjustifikasi ketimpangan</a>. Dalam pandangan ini, mobilitas sosial sekadar urusan individu.</p>
<p>Nyatanya, membuat mobilitas sosial menjadi lebih mudah membutuhkan usaha bersama. </p>
<p>Sebagai gerbang awal, institusi pendidikan harus lebih sensitif dengan keadaan dan kebutuhan semua pelajar. </p>
<p>Alih-alih berasumsi bahwa semua pelajar tahu apa yang harus mereka lakukan, institusi pendidikan dan orang-orang di dalamnya perlu memastikan bahwa semua pelajar mengetahui semua <a href="http://www.jessicacalarco.com/tips-tricks/tag/hidden+curriculum">pengetahuan dan informasi</a> tentang cara kerja dan kehidupan sekolah dan pendidikan tinggi.</p>
<p>Penyediaan mentor bisa juga membantu kelompok miskin menghadapi kehidupan barunya di pendidikan tinggi dan pekerjaan; khususnya bagi <a href="https://firstgen.naspa.org/why-first-gen/students/are-you-a-first-generation-student">mereka yang menjadi generasi pertama di keluarganya yang mengenyam pendidikan tinggi</a></p>
<p>Layanan kesehatan mental yang mudah dijangkau juga dapat menjadi salah satu dukungan sosial untuk mereka. Tentu orang-orang yang bekerja di dalamnya harus sensitif dengan kondisi anak, dan tidak justru menyepelekan masalah anak menjadi urusan individu.</p>
<p>Terakhir, yang paling penting, kita perlu mengubah sikap terhadap mobilitas sosial. </p>
<p>Mobilitas sosial bukan solusi atas ketimpangan yang terjadi. Sebaliknya, negara perlu melakukan <a href="https://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide">upaya sistematis</a> untuk menghapus ketimpangan sehingga mobilitas sosial yang penuh derita ini bisa teratasi.</p>
<p>Negara, misalnya, dapat menerapkan kebijakan ekonomi yang progresif dan berpihak kepada kelompok marginal serta pemerataan layanan dasar dan kualitas pendidikan.</p>
<p>Di dunia yang lebih adil dan setara, anak-anak kurang beruntung tidak perlu berjuang luar biasa keras untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. </p>
<p>Mereka, terlepas mengalami mobilitas atau tidak, berhak <a href="https://us.macmillan.com/books/9780374289980">mendapatkan penghormatan dan penghidupan yang baik</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154488/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Isi dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi dimana penulis bekerja maupun afiliasinya.</span></em></p>Dalam usaha memperbaiki status sosial dan ekonomi, kelompok miskin menghadapi risiko terpisah dari komunitas, mengalami konflik budaya, dan mengalami masalah kesehatan mentalSenza Arsendy, Researcher, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.