tag:theconversation.com,2011:/us/topics/kpu-56988/articlesKPU – The Conversation2024-01-15T06:29:12Ztag:theconversation.com,2011:article/2198232024-01-15T06:29:12Z2024-01-15T06:29:12ZGangguan informasi makin intens jelang Pemilu: pakar jabarkan 3 inisiatif untuk mengatasinya<p>Gangguan informasi (<em>information disorder</em>) merupakan terminologi yang memayungi beragam istilah terkait berita-berita dan informasi yang salah, tidak akurat, menyesatkan, bohong, hoaks dan sejenisnya. Gangguan informasi ini terjadi setiap saat dan biasanya semakin intens menjelang tahun-tahun politik, seperti pemilihan umum (pemilu) atau ketika terjadi peristiwa tertentu yang berdampak luas pada publik. </p>
<p>Pertarungan terbesar melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024 tentunya adalah pada media sosial. Untuk itu, dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil.</p>
<h2>1. Regulasi dan edukasi oleh pemerintah</h2>
<p>Pemerintah menjadi aktor pertama dan utama yang harus memperketat regulasi dan memperkuat inisiatif untuk edukasi publik.</p>
<p>Saat ini, aturan utama yang mengatur hal-hal terkait gangguan informasi adalah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/37582/uu-no-19-tahun-2016">Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008</a> Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Turunan UU ini adalah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/122030/pp-no-71-tahun-2019">Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019</a> tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). </p>
<p>Turunan berikutnya yang lebih teknis dalam meregulasi aturan siber adalah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/203049/permenkominfo-no-5-tahun-2020">Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020</a> tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.</p>
<p>Sayangnya, implementasi aturan-aturan tersebut seringkali berbenturan dengan kebutuhan ekspresi hak digital masyarakat.</p>
<p>Misalnya, konten perjudian dan pornografi sudah jelas bisa dilakukan “auto-blokir” (blokir otomatis). Namun, ini tidak bisa serta merta dilakukan terhadap <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2022/09/mekanisme-pemblokiran-konten-negatif/">jenis konten</a> yang “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, karena perlu dianalisis terlebih dahulu, yang tentunya membutuhkan interpretasi manusia.</p>
<p>Dalam konteks pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu <a href="https://www.theindonesianinstitute.com/policy-brief-penataan-kampanye-politik-di-media-sosial/">menata kampanye di media sosial</a> dengan lebih <em>rigid</em>. Sayangnya, saat ini <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/263594/peraturan-kpu-no-15-tahun-2023">Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023</a> tentang Kampanye Pemilihan Umum hanya mengatur soal <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/09/22/00300031/aturan-kampanye-di-media-sosial">batasan jumlah akun</a> dan materi kampanye. Hal ini jauh dari permasalahan utama seperti potensi gangguan informasi yang masif, sehingga pasukan <em>buzzer</em> politik sulit terdeteksi. </p>
<p>Belum lagi penggunaan kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>/AI) yang kini kerap menjadi alat bantu <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2023/12/17/ai-fake-news-misinformation/">meng-generasi </a>konten-konten fitnah yang sengaja dibuat dalam bentuk foto dan video di<a href="https://www.ft.com/content/16f23c01-fa51-408e-acf5-0d30a5a1ebf2"> beragam platform digital</a>. Masyarakat cenderung <a href="https://www.technologyreview.com/2023/06/28/1075683/humans-may-be-more-likely-to-believe-disinformation-generated-by-ai/#:%7E:text=Disinformation%20generated%20by%20AI%20may,than%20those%20written%20by%20humans.">percaya</a> pada konten disinformatif tersebut. Aturan yang ada tidak sampai pada tahap ini.</p>
<p>Bawaslu juga masih kesulitan dalam mengawasi konten. Merujuk pada <a href="https://www.mkri.id/public/content/pemilu/UU/UU%20No.7%20Tahun%202017.pdf">UU No 7 Tahun 2017</a> tentang Pemilihan Umum, Bawaslu tidak dapat menindak pelaku penyebaran disinformasi selain akun resmi yang didaftarkan oleh kandidat politik. </p>
<p>Solusi aturan seperti <a href="https://perludem.org/2023/09/30/kode-etik-kampanye-di-media-sosial-untuk-pemilu-2024/">Kode Etik Kampanye</a> yang digagas masyarakat sipil dapat menjadi <em>exit strategy</em> sementara menjelang Pemilu 2024 ini. Dalam model ini, paling tidak penyelenggara pemilu dapat menekankan pada partai-partai politik untuk saling menjaga etika.</p>
<p>Meski demikian, adopsi kode etik ini masih belum jelas. Di beberapa daerah, Bawaslu daerah sudah <a href="https://perludem.org/2023/09/30/kode-etik-kampanye-di-media-sosial-untuk-pemilu-2024/">memperkenalkan</a> kode etik kampanye, namun masih terdapat tantangan-tantangan. Sebagai contoh, tidak semua partai politik peserta Pemilu sepakat untuk mengadopsi kode etik tersebut. Ini mengingat budaya politik kita yang kadang tidak selaras antara perkataan dengan perbuatan. </p>
<p>Hal kedua yang perlu ditingkatkan adalah edukasi politik dan edukasi literasi digital terhadap masyarakat. Edukasi politik, misalnya mengetahui aturan dan tahapan Pemilu hingga memahami konten yang melanggar, menjadi pegangan dalam literasi digital yang lebih mengarah kepada perihal “<em>do’s and dont’s</em>” dalam ekspresi daring. </p>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat sipil dan swasta sudah mulai menerapkannya, misalnya melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) <a href="https://gnld.siberkreasi.id/">Siberkreasi</a> yang digagas Kominfo dan melibatkan mitra swasta dan masyarakat sipil. Walaupun, tidak secara spesifik fokus pada Pemilu dan media sosial. Gerakan ini juga masih kurang dalam aspek <em>critical thinking</em> dan pemahaman akan hak-hak digital warga.</p>
<h2>2. Inisiatif platform digital</h2>
<p>Dari sisi platform digital, ada beberapa inisiatif yang saat ini berlaku. Contohnya adalah platform-platform milik Meta seperti Facebook, Instagram dan WhatsApp, yang menjadi <a href="https://goodstats.id/article/whatsapp-teratas-ini-7-media-sosial-paling-banyak-digunakan-warganet-indonesia-sepanjang-2022-iJklw">platform yang paling banyak digunakan</a> di Indonesia.</p>
<p>Pada pemilu-pemilu sebelumnya, Meta membuat sebuah “<a href="https://www.nytimes.com/2018/09/19/technology/facebook-election-war-room.html"><em>war room</em></a>” sebagai “<em>command center</em>” untuk mengawasi dan memoderasi konten-konten gangguan informasi di platform mereka. Pada Pemilu 2024 ini, moderasi dilakukan intens secara daring oleh <a href="https://nairametrics.com/2022/12/08/2023-elections-meta-sets-up-team-to-monitor-facebook-instagram-posts/">tim Meta</a>. Termasuk melabel dan melakukan penurunan konten <a href="https://about.fb.com/news/tag/coordinated-inauthentic-behavior/">mencurigakan</a>.</p>
<p>Kerja Meta tersebut dibantu oleh beberapa <em>trusted partners</em> berupa organisasi masyarakat sipil untuk <a href="https://transparency.fb.com/en-gb/policies/community-standards/misinformation">memonitor konten dan melaporkan</a>) kepada Meta konten yang dianggap bagian dari <a href="https://about.meta.com/actions/preparing-for-elections-on-facebook/">dis/misinformasi dalam berbagai bahasa</a>. </p>
<p>Meta juga menerapkan <a href="https://transparency.fb.com/id-id/features/approach-to-elections/">aturan iklan kampanye</a> di platform mereka menekankan pada <a href="https://about.fb.com/news/2023/11/how-meta-is-planning-for-elections-in-2024/">transparansi</a> dana anggaran iklan. Facebook dan Instagram, contohnya, mewajibkan semua pengiklan politik untuk memverifikasi identitasnya melalui proses otorisasi sebelum bisa membeli iklan. </p>
<h2>Gerakan masyarakat sipil</h2>
<p>Masyarakat sipil menjadi bagian penting dalam melawan gangguan informasi. Ada dua hal yang dilakukan, yaitu bersama-sama mengusung gerakan sosial dan melakukan program melawan gangguan informasi masing-masing.</p>
<p>Contoh gerakan misalnya <a href="https://aji.or.id/read/press-release/1589/unesco-dan-koalisi-damai-mendorong-komitmen-dan-kolaborasi-berbagai-pihak-ciptakan-pemilu-damai-2024-di-indonesia.html">Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital (Damai)</a>. Terdapat 12 organisasi masyarakat sipil berhimpun dalam koalisi untuk membangun relasi yang <a href="https://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-apresiasi-gagasan-koalisi-damai-jajaki-komitmen-bersama-kampanye%C2%A0-berintegritas-di">transparan dan dialog</a> berkelanjutan dengan platform dan pemerintah. </p>
<p>Hal ini untuk memastikan praktik moderasi konten dan kebijakan di Indonesia dibuat dengan berdasarkan pada pemahaman konteks lokal dan sejalan dengan standar internasional hak asasi manusia (HAM). Dalam mendukung upaya itu, Koalisi Damai melakukan riset berbasis data, memperjuangkan kebebasan berekspresi di dunia maya, serta meningkatkan literasi digital dan kesadaran publik terkait isu ini. </p>
<p>Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu berupaya untuk <a href="https://perludem.org/2023/04/17/koalisi-masyarakat-sipil-lawan-disinformasi-pemilu/">melahirkan sinergi</a> antara Bawaslu, koalisi masyarakat sipil, dan platform. Tujuannya agar seluruh pihak memiliki <a href="https://www.bawaslu.go.id/id/berita/moderasi-konten-medsos-bawaslu-bersama-koalisi-masyarakat-sipil-dan-platform-digital-akan">persepsi yang sama</a> terkait konten-konten disinformasi.</p>
<p>Inisiatif lain yang sejalan dengan pengentasan gangguan informasi di media sosial adalah program-program <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/misinformation-desk/202108/what-is-prebunking"><em>prebunking</em></a> dan literasi digital. Prebunking_ diibaratkan sebagai imunisasi kepada masyarakat sebelum mereka terkena virus, yang dalam hal ini hoaks dan berita bohong. Ini seperti proses membongkar kebohongan atau sumber sebelum informasi keliru menyerang.</p>
<p>Sementara itu, <em>debunking</em> merupakan upaya penyajian fakta informasi yang benar. Kadang dianggap sebagai kegiatan “melabeli hoaks”. Jadi sebelum tersebar-dan akhirnya di-<em>debunk</em>, meskipun mungkin sudah <a href="https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/4328384/sederet-hoaks-yang-memakan-korban-hingga-merenggut-nyawa">memakan korban</a>, berita hoaks tidak akan terdiseminasi oleh masyarakat yang sudah imun. Dua pekerjaan tersebut sebenarnya sulit dilakukan di tengah derasnya arus gangguan informasi.</p>
<p>Namun dengan bantuan berbagai pihak secara kolaboratif, misalnya platform digital, maka organisasi masyarakat sipil yang fokus pada metode-metode literasi pembongkaran gangguan informasi diharapkan dapat berbuat lebih masif.</p>
<p>Pada akhirnya, kesiapsiagaan masyarakat sipil, pemerintah dan swasta tidak hanya pada konteks Pemilu, tetapi juga pengentasan gangguan informasi dengan program dan inisiatif jangka panjang. Kerja sama multiaktor pada tataran regulasi dan tata kelola menjadi kunci. </p>
<p>Edukasi dan literasi menjadi kunci kedua menuju media sosial yang aman, nyaman dan demokratis. Upaya yang baik sudah mulai ditunjukkan pada Pemilu 2024, namun memerlukan keberlanjutan, serta pemantauan dan evaluasi yang komprehensif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219823/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Unggul Sagena terafiliasi dengan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). </span></em></p>Dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil untuk melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024.Unggul Sagena, Technology Governance & Civil Society Researcher, Digital Rights Activist, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2172902023-12-08T06:05:56Z2023-12-08T06:05:56ZRiset: belajar dari 2019, pemilu serentak bukan solusi mengatasi politik uang dan menjamin independensi<p>Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 adalah kali pertama di Indonesia pemilu diselenggarakan secara serentak. Dalam satu hari, sekitar 195 juta pemilih yang tersebar di lebih dari 800 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS), mengikuti pencoblosan suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sekaligus anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota–di kertas suara yang berbeda namun dalam satu bilik suara bersamaan. </p>
<p>Berita baiknya, Pemilu 2019 mencatatkan tingkat partisipasi pemilih yang cukup tinggi, sebesar <a href="https://dataindonesia.id/varia/detail/data-tingkat-partisipasi-pemilih-dalam-pilpres-tertinggi-2019">81,97%</a> untuk pemilihan presiden (pilpres), dan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/21/ini-tingkat-partisipasi-pemilih-pada-pemilu-legistatif-1955-2019">81,69%</a> untuk pemilihan legislatif (pileg). Artinya, tingkat komitmen masyarakat terhadap sistem demokrasi masih tinggi. </p>
<p>Namun, kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang menjadi garda terdepan penyelenggara pemilu memiliki beban kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Pemilu 2014.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-4535177/kpu-petugas-kpps-meninggal-424-orang-sakit-3-668-orang">Data</a> dari KPU dan Bawaslu menyebutkan bahwa 424 orang petugas KPPS meninggal dunia, dan 3.668 petugas KPPS mengalami sakit. Terdapat 92 anggota Panwaslu yang meninggal dunia, serta 2.268 petugas yang mengalami sakit. <a href="https://p2ptm.kemkes.go.id/tag/ratusan-petugas-kpps-meninggal-idi-usulkan-tes-kesehatan-peneliti-sarankan-pengetatan-kriteria">Kelelahan dan beban kerja yang tinggi</a> menjadi pemicu banyaknya petugas pemilu yang gugur. </p>
<p>Padahal, keserentakan Pemilu 2019 pada dasarnya bertujuan untuk <a href="https://www.kpu.go.id/page/read/1127/makna-pemilu-serentak">memperkuat sistem presidensialisme dan membawa empat harapan</a>: (1) berkurangnya praktik transaksi politik antara partai politik dengan individu yang bertujuan untuk perburuan kekuasaan (<em>office-seeking</em>); (2) Berkurangnya politik uang yang muncul akibat biaya politik yang tinggi; (3) menguatnya independensi presiden terhadap parlemen serta mengonsolidasikan sistem kepartaian di parlemen dan; (4) efisiensi pendanaan penyelenggaraan Pemilu.</p>
<p>Faktanya, penelitian saya menemukan adanya dampak yang tak terpenuhi terhadap empat harapan tersebut. Dampak-dampak ini sangat berpotensi menjadi masalah yang akan berulang di Pemilu 2024. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian lintas pemangku kepentingan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu tahun depan. </p>
<p>Pengumpulan data dalam penelitian saya dilakukan dengan metode kualitatif melalui <em>focused group discussion</em> (FGD), wawancara semi-terstruktur, dan studi literatur, dengan respondennya mulai dari masyarakat sipil, lembaga pemerintah maupun institusi riset.</p>
<h2>1. Transaksi politik untuk kekuasaan</h2>
<p>Fenomena transaksi politik untuk mendapatkan kursi kekuasaan <a href="http://repository.lppm.unila.ac.id/47697/">selalu terjadi setiap menjelang pemilu</a>. Ini adalah akibat sulitnya partai politik membangun koalisi yang berlandaskan kesamaan ideologi dan visi, sehingga orientasinya sangat jangka pendek dan oportunisik. Pada akhirnya partai dengan melakukan transaksi-transaksi politik yang menguntungkan kelompok mereka maupun individu.</p>
<p>Transaksi politik ini pada dasarnya sangat berkaitan dengan maraknya praktik mahar politik (<em>nomination buying</em>) dan jual beli suara (<em>vote-buying</em>). <a href="https://antikorupsi.org/sites/default/files/outlook_korupsi_politik_2018_110118.pdf">Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW)</a> menunjukkan bahwa politik uang berupa mahar politik yang diduga diberikan oleh bakal calon kepada partai maupun oleh partai pada caleg dan jual beli suara banyak terjadi di Pemilu 2019. Ini membuat hanya mereka yang punya uang yang bisa duduk di kursi kekuasaan.</p>
<p>Dengan demikian, keserentakan pemilu bukanlah jawaban maupun solusi persoalan ini.</p>
<h2>2. Politik uang</h2>
<p>Menurut Burhanuddin Muhtadi, profesor ilmu politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, praktik politik uang sendiri menjadi <a href="https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/413">fenomena “New Normal”</a> sejak Mahkamah Konstitusi (MK) <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/mk-putuskan-pemilu-gunakan-suara-terbanyak-hol20796/">mengabulkan uji materi</a> pada tahun 2008 yang menyatakan caleg yang terpilih berdasarkan suara terbanyak.</p>
<p>Sistem proporsional terbuka inilah yang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/186810341002900402">mengubah strategi kampanye</a> dari berbasis partai menjadi <em>candidate-centred</em>, yaitu ketika caleg ramai-ramai mengejar suara personal (<em>personal vote</em>) tanpa terlalu mengandalkan nomor urut.</p>
<p><a href="https://jaring.id/datatalk-asia-politik-uang-paling-banyak-dilaporkan-di-sumatera/">Survei</a> Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan Australian National University (ANU) bulan Mei 2019, menunjukkan bahwa insiden politik uang terjadi secara masif dalam Pemilu 2019. Dari total 192 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) sekitar 37,3 juta hingga 63,5 jutanya terpapar politik uang.</p>
<p>Artinya, desain institusilah, terutama sistem proporsional terbuka, yang <a href="https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/413">menyumbang maraknya praktik politik uang</a>, sehingga keserentakan pemilu bukanlah solusi untuk menghentikannya.</p>
<h2>3. Stabilitas pemerintahan</h2>
<p>Keserentakan pemilu awalnya diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pemerintahan. Sebab, secara hitung-hitungan, pemerintahan yang dihasilkan melalui pilpres dan pileg akan lebih stabil sebagai akibat dari efek ekor jas (<em>coattail effect</em>). Penyelenggaraan pemilu serentak diharapkan memperbesar dukungan politik DPR terhadap presiden terpilih, sehingga konflik eksekutif-legislatif yang bisa menimbulkan instabilitas politik dapat dihindari.</p>
<p>Faktanya, <a href="https://www.alinea.id/pemilu/survei-lipi-efek-ekor-jas-minim-di-pemilu-2019-b1Xll9mNU">survei</a> oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini menjadi bagian Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) pasca-Pemilu 2019 menunjukkan efek ekor jas tidak berpengaruh signifikan. Partai-partai koalisi presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin menguasai 60,7% kursi DPR.</p>
<p>Terbatasnya efek ekor jas ini karena komplikasi pemilu serentak yang dikombinasikan dengan sistem perwakilan proporsional daftar terbuka (<em>open-list PR</em>) dan besaran daerah pemilihan atau <em>district magnitude</em> yang relatif besar. Survei publik LIPI menemukan, hanya sebagian kecil pemilih yang memilih partai politik tertentu (atau calegnya) dalam Pileg didasarkan pilihan mereka dalam Pilpres. Hanya sekitar 17% pemilih yang menjadikan dukungan partai politik terhadap capres-cawapres sebagai alasan utama memilih caleg/partai politik tertentu.</p>
<p>Elektabilitas partai pada akhirnya lebih banyak ditopang oleh faktor lain, termasuk kerja para caleg selama kampanye untuk memenangkan suara. Akibatnya, harapan bahwa Pemilu serentak akan memberikan kemenangan mayoritas bagi partai politik presiden terpilih dan koalisinya, yang kemudian akan memberi stabilitas dan dukungan lebih kuat bagi pemerintahan, tidak sepenuhnya terwujud. </p>
<h2>4. Anggaran dan pembiayaan pemilu</h2>
<p>Asumsi yang menyatakan bahwa pemilu serentak akan meminimalkan atau mengefisiansikan pembiayaan pemilu ternyata juga tidak terbukti. Pada Pemilu 2019, alokasi anggaran negara sebesar <a href="https://www.antaranews.com/berita/738322/pemerintah-alokasikan-anggaran-pemilu-2019-rp248-triliun">Rp24,8 triliun</a>, naik 3% atau bertambah Rp700 miliar dibanding biaya Pemilu 2014 yang mencapai Rp24,1 triliun.</p>
<p>Secara lebih rinci, Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Askolani <a href="https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-peruntukan-anggaran-pemilu-2019/#:%7E:text=Dengan%20persiapan%20sejak%20tahun%202017,">menyebutkan</a> bahwa sejak tahun 2017, total anggaran penyelenggaraan, di luar anggaran pendukung dan pengawasan, hingga tahun 2019 berjumlah Rp25,59 triliun. </p>
<p>Adapun rincian alokasi penganggaran untuk Pemilu 2019 terbagi dalam kelompok penyelenggaraan, pengawasan dan kegiatan pendukung seperti keamanan. Pada alokasi anggaran penyelenggaraan dianggarkan Rp25,59 triliun di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedangkan anggaran pengawasan ditetapkan Rp4,85 triliun dan anggaran keamanan dialokasikan sebesar Rp3,29 triliun.</p>
<h2>Perlunya pembenahan</h2>
<p>Temuan empat dampak tak terpenuhi tersebut menunjukkan bahwa tujuan ideal yang diinginkan dari pelaksanaan keserentakan pemilu ternyata bukan solusi untuk menjawab masalah-masalah yang kerap hadir menjelang pemilu.</p>
<p>Keserentakan tidak sesuai dengan harapan awal agar politik transaksi berkurang dan anggaran pemilu menjadi lebih efisien. Politik transaksional tetap terjadi, termasuk politik uang, dan anggaran penyelenggaraan pemilu justru membengkak.</p>
<p>Keserentakan justru kerap menimbulkan sejumlah konsekuensi yang tidak sesuai dengan harapan. Misalnya, pengaturan lima kertas suara dalam satu hari pemilu membawa konsekuensi waktu pencoblosan hingga penghitungan suara yang sangat panjang dan melelahkan bagi petugas, dan kebingungan bagi para pemilih.</p>
<p>Hendaknya ada pembelajaran untuk mengubah dan menjadikan pemilu di Indonesia lebih baik lagi. Ke depan, pemilu serentak nasional perlu diatur untuk memilih presiden dan legislatif nasional (DPR dan DPD) menggunakan 3 kertas suara, dan pemilu serentak lokal untuk memilih kepala daerah beserta memilih DPRD menggunakan empat kertas suara. Pemisahan waktu pemilu serentak nasional dan serentak lokal juga akan semakin mempermudah manajemen penyelenggaraan pemilu.</p>
<p>Persiapan, pelaksanaan, dan pemungutan suara, juga perlu diperbaiki karena ini berdampak besar bagi hasil dan kualitas pemilu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217290/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sri Lestari Wahyuningroem menerima dana dari BAPPENAS sebagai tenaga ahli di tahun 2020 untuk kajian yang terkait dengan review Pemilu 2019.</span></em></p>Keserentakan pemilu diharapkan dapat menjadi solusi 4 isu kepemilun–riset menunjukkan isu tersebut tidak terselesaikan dengan diadakannya pemilu serentak pada 2019.Sri Lestari Wahyuningroem, Dr/Dosen, UPN Veteran JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1382022020-07-10T03:03:59Z2020-07-10T03:03:59ZCelah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan<p>Pemerintah sudah <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20200624/15/1257129/ini-jadwal-lengkap-tahapan-pilkada-serentak-2020-terbaru">memutuskan</a> untuk menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah dari 23 September ke 9 Desember 2020.</p>
<p>Penundaan itu merupakan momen yang tepat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah untuk merevisi kembali aturan yang ada untuk menghindari praktik <em>money politics</em> atau politik uang yang <a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-sepertiga-pemilih-indonesia-terima-suap-saat-pemilu-100317">merajalela</a> di Indonesia. </p>
<p>Praktik <em>money politics</em> adalah praktik membagikan uang atau barang untuk mempengaruhi seseorang agar memilih seorang calon legislator, calon kepala daerah atau bahkan calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu). </p>
<p>Riset terakhir menemukan bahwa <a href="https://ebooks.gramedia.com/books/kuasa-uang">satu di antara tiga orang</a> pemilih terpapar oleh praktik ini pada pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.</p>
<p>Pemerintah memang sudah memiliki beberapa aturan terkait dana kampanye untuk mengantisipasi kecurangan di lapangan. Tapi sayangnya, aturan yang ada masih memiliki beberapa celah yang jika tidak diperbaiki justru bisa mendorong praktik-praktik kecurangan tetap terjadi. </p>
<h2>Celah hukum</h2>
<p>Saat ini setidaknya sudah ada dua aturan hukum yang mengatur pengelolaan dana kampanye. </p>
<p>Dana kampanye sudah jelas diatur dalam <a href="https://mkri.id/public/content/jdih/UU_Nomor_10_Tahun_2016.pdf">Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2016 Pasal 74</a>. </p>
<p>UU tersebut mengatur siapa yang berhak menyumbang dana, batas sumbangan dana kampanye hingga mekanisme penyimpanan dana kampanye dalam rekening bank.</p>
<p>Lalu ada Peraturan <a href="https://kab-bogor.kpu.go.id/produk-hukum/pkpu/680-peraturan-kpu-nomor-5-tahun-2017-tentang-dana-kampanye-peserta-pemilihan-gubernur-dan-wakil-gubernur-bupati-dan-wakil-bupati-dan-atau-walikota-dan-wakil-walikota">Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2017</a> sebagai petunjuk pelaksanaan tentang dana kampanye pilkada 2020. </p>
<p>Aturan KPU mengharuskan sumbangan dana kampanye dilengkapi dengan identitas lengkap penyumbang. </p>
<p>Aturan itu juga mengatur pencatatan dua bentuk sumbangan yang bisa berupa uang atau barang dan jasa. Sumbangan uang umumnya donasi awal yang biasanya untuk membuka rekening bank. </p>
<p>Peserta pilkada wajib mencatatnya dalam laporan awal dana kampanye (LADK) yang ditempatkan pada Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) di bank. Selanjutnya sumbangan-sumbangan kampanye bervariasi bisa dalam bentuk uang, barang atau jasa, peserta akan mencatatnya pada Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). </p>
<p>Dalam LPSDK, peserta yang menyumbang barang atau jasa tidak perlu menunjukkan bukti sumbangan yang ditransfer ke rekening bank, hanya bukti kuitansi pembelian barang dan jasa. Laporan akhir penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dicatat di Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). </p>
<p>Seluruh laporan LADK, LPSDK, dan LPPDK dicatat menggunakan sistem teknologi informasi dari KPU yang bernama <a href="https://www.suara.com/tag/sidakam-kpu">Sistem Dana Kampanye (SIDAKAM)</a>. Sistem ini bisa dipasang ke masing-masing komputer tim kampanye peserta pemilu untuk memberikan standar pelaporan. Namun, sistem ini masih belum bisa diakses publik. </p>
<h2>Praktik di lapangan</h2>
<p>Pengalaman penulis sebagai akuntan publik yang ikut mengaudit dana kampanye <a href="https://news.detik.com/berita/d-4557660/rekapitulasi-nasional-pileg-pdip-unggul-di-sumatera-utara">pemilu legislatif di Provinsi Sumatera Utara </a> pada 2019 menunjukkan bahwa tidak adanya batasan sumbangan dalam bentuk barang dan jasa dan tidak adanya keharusan untuk mencatat sumbangan tersebut ke rekening bank menjadi celah yang disalahgunakan peserta pemilu. </p>
<p>Penulis menemukan bahwa semua peserta pemilu melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye tidak dalam bentuk uang tunai <a href="https://kpud-sumutprov.go.id/?p=4180">tapi dalam bentuk barang dan jasa</a> yang jumlahnya bisa lebih besar dari yang dilaporkan karena tidak termonitor dan terverifikasi dalam rekening koran. </p>
<p>Peserta pada umumnya melaporkan penerimaan dalam bentuk sumbangan barang dan jasa sesuai dengan batasan sumbangan yang diperbolehkan, padahal jumlah sebenarnya bisa lebih dari yang dilaporkan. UU Pilkada membatasi pemberian sumbangan oleh individu hanya boleh maksimal Rp75 juta sedangkan untuk badan usaha maksimal Rp750 juta.</p>
<p>Contoh misalnya peserta pemilu menerima sumbangan dalam bentuk kaus, spanduk, biaya percetakan, dan jasa penyanyi pada saat kampanye terbuka. Sumbangan ini diterima hanya dengan bukti dokumen kuitansi pembelian barang dan pembayaran jasa saja yang nilainya rawan dimanipulasi. </p>
<p>Hal tersebut bisa dihindari jika semua sumbangan tersebut masuk dalam rekening bank. Manipulasi data sumbangan kampanye akan sulit dilakukan jika seluruh penerimaan dana kampanye termasuk dalam bentuk barang dan jasa masuk ke rekening bank terlebih dahulu. Setelah dana masuk baru bisa dikeluarkan untuk belanja barang dan jasa. </p>
<p>Sistem pengawasan yang ada saat ini juga belum melibatkan publik untuk ikut mengawasi. Laporan akhir penggunaan dana kampanye hanya diunggah setelah diaudit oleh akuntan publik independen di laman KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang proses pelaporannya masih tertutup. </p>
<h2>Solusi</h2>
<p>Masih ada waktu untuk memperbaiki aturan dana kampanye jika ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dengan cara membatasi sumbangan dana kampanye yang tidak tercatat di rekening bank. </p>
<p>Seandainya tidak bisa dihapus 100%, sumbangan dalam bentuk barang dan jasa sebaiknya dibatasi dengan nominal tertentu dan harus melaporkannya ke rekening bank. </p>
<p>Hal ini untuk membuat sistem pelaporan dana kampanye menjadi lebih transparan dan adil yang nantinya akan meminimalkan potensi kecurangan.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-3867799/sumbangan-dana-kampanye-pilkada-dibatasi-ini-aturannya">Aturan pembatasan sumbangan biaya kampanye</a> baik dari perorangan maupun kelompok/badan usaha non-pemerintah akan lebih mudah diawasi dan diaudit jika arus keluar masuk sumbangan tercatat di dalam sistem perbankan. </p>
<p>Bawaslu sebaiknya meminta laporan dana kampanye ini secara periodik, misalnya per bulan, memastikan bahwa semua sumbangan harus melalui rekening bank, dan juga memberikan sanksi yang jelas jika tidak dilaksanakan. </p>
<p>Bawaslu bisa mencontoh pemilihan umum di Amerika Serikat yang <a href="https://transition.fec.gov/pages/brochures/fecfeca.shtml#Disclosure">mewajibkan</a> semua kandidat mengumumkan perolehan dana kampanye secara berkala kepada publik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138202/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fiantonius Sihotang adalah pengurus Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) untuk Komite Pendidikan Profesional Lanjutan. Saya juga terlibat sebagai akuntan publik untuk pemilihan legislatif Sumatra Utara tahun 2019. </span></em></p>Aturan pengelolaan dana kampanye yang ada masih memiliki beberapa celah yang jika tidak diperbaiki justru bisa mendorong praktik-praktik kecurangan tetap terjadi.Fiantonius Sihotang, Dosen FEB jurusan Akuntansi dan Praktisi Akuntan Publik, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1301882020-01-30T01:44:29Z2020-01-30T01:44:29ZRiset temukan tiga penyebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/312187/original/file-20200128-81395-141muhy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=147%2C278%2C4734%2C2940&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Made Nagi/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Wahyu Setiawan, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awal bulan ini karena diduga menerima <a href="https://nasional.tempo.co/read/1296306/kpk-panggil-harun-masiku-sebagai-tersangka-suap-komisioner-kpu">suap</a> dari politikus.</p>
<p>Wahyu diduga menerima suap untuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/01/11/07520671/akhir-kiprah-wahyu-setiawan-di-kpu-ditahan-kpk-dan-mengundurkan-diri?page=all">menjamin</a> agar politikus PDI Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku bisa ditetapkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024. Wahyu diduga meminta uang hingga Rp 900 juta ke Harun.</p>
<p>Kasus tersebut merupakan salah satu bentuk kasus malapraktik dalam pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. </p>
<p><a href="https://www.kcl.ac.uk/people/sarah-birch">Sarah Birch</a>, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, <a href="https://www.researchgate.net/publication/288050847_Electoral_Malpractice">menjelaskan</a> malapraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut. </p>
<p>Saya bersama rekan-rekan saya telah melakukan penelitian tentang malapraktik yang terjadi pada pemilu 2014 dan 2019, dan menemukan tiga penyebab mengapa praktik kecurangan terus terjadi pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243">Memahami cara kerja _buzzer_ politik Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penyebab kecurangan</h2>
<p>Ada tiga penyebab malapraktik pemilu masih kerap terjadi di Indonesia. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, relasi patronase yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral.</p>
<p>Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh. </p>
<p>Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik; sementara non-material berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal. </p>
<p>Ini yang terjadi pada kasus Wahyu di atas.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah <em>open list proporsional representation</em>, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. Dalam sistem tertutup – yang pernah digunakan di pemilu sebelum 2004, terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. </p>
<p>Sistem ini mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras. </p>
<p>Caleg yang merasa punya potensi kemenangan besar akan melakukan manipulasi suara dengan penggelembungan ataupun pengurangan suara dari lawannya sesama partai, ketimbang lawan dari partai lain. </p>
<p>Tahun lalu misalnya, Amran, seorang caleg DPRD Kabupaten Bintan, Riau, dari Golkar mengajukan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/07105071/67-gugatan-pileg-2019-diputuskan-mk-hanya-3-yang-dikabulkan-sebagaian?page=all">gugatan</a> ke Mahkamah Konstitusi di pemilu 2019 terhadap rekan separtainya, Aisyah. Amran mengklaim kehilangan sejumlah suara di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Bintan Timur dan, di saat yang bersamaan, Aisyah mendapat tambahan suara.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. </p>
<p>Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. </p>
<p>Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan. </p>
<p>Secara blak-blakan seorang calon anggota legislatif Partai Perindo mengatakan telah membayar Rp 600 juta kepada 10 dari 12 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/06/17/17435481/10-anggota-ppk-di-karawang-mengaku-terlibat-jual-beli-suara-dengan-caleg">Karawang</a>, Jawa Barat, pada 2019.</p>
<p>Sistem penyelenggaraan pemilu kita sebenarnya telah berupaya agar proses pelaksanaan pemilu dapat bekerja transparan dan akuntabel. KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) memiliki sistem pengendalian dan pengawasan kepada seluruh aparat di bawahnya.</p>
<p>Namun, malapraktik terjadi karena memang para caleg yang merasa perlu untuk “mengotak-atik” proses demi keuntungan pribadi dan kelompoknya harus melibatkan para penyelenggara pemilu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/semakin-banyak-perempuan-di-dpr-tapi-riset-ungkap-kehadiran-mereka-mungkin-tidak-signifikan-125013">Semakin banyak perempuan di DPR, tapi riset ungkap kehadiran mereka mungkin tidak signifikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kaitan dengan riset lain</h2>
<p>Studi kami memperkaya berbagai kajian terkait dengan malapraktik pemilu yang sedang berkembang di dunia seperti yang telah dilakukan oleh Sarah Birch. </p>
<p>Berbagai studi telah mengidentifikasi adanya manipulasi terhadap hasil pemilu di Indonesia dengan titik tekan yang berbeda.</p>
<p>Edward Aspinall, profesor politik di Australian National University, Australia, dan Mada Sukmajati dosen ilmu politik dan pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, <a href="https://nuspress.nus.edu.sg/products/electoral-dynamics-in-indonesia-money-politics-patronage-and-clientelism-at-the-grassroots">menjelaskan</a> bahwa jual beli suara (<em>vote buying</em>) yang terjadi di banyak lokasi di Indonesia disebabkan oleh ikatan-ikatan yang terjalin antara caleg dan kelompok pemilih. Hal yang sama juga terjadi melalui relasi dan kedekatan antara caleg dengan para penyelenggara pemilu.</p>
<p>Selain itu, <a href="https://www.bawaslu.go.id/id/publikasi/buku-pembiayaan-pemilu">sebuah kumpulan riset</a> yang diterbitkan Bawaslu menyebut bahwa salah satu aspek penting dalam manipulasi adalah arus uang dalam pemilu, seperti yang dilakukan oleh caleg Perindo di Karawang ataupun kasus Golkar di Bintan. </p>
<p>Seorang caleg, misalnya, mempersiapkan sejumlah uang untuk menyuap petugas dalam memanipulasi hasil pemilu, baik di level TPS hingga kabupaten/kota tempat proses rekapitulasi penghitungan suara masih dapat diganggu. Untuk melakukan tindakan manipulasi, para aktor ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.</p>
<p>Dalam penelitian lain saya bersama kolega di Universitas Indonesia sebelumnya tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kami menemukan bahwa walau para penyelenggara pemilu di semua tingkatan telah dan selalu diingatkan dalam aspek integritas, kasus-kasus yang menyangkut kemandirian dan profesionalitas para penyelenggara pemilu tidak berkurang sama sekali. </p>
<p>Antara tahun 2018 dan 2019, ada <a href="https://www.wartaekonomi.co.id/read261724/soal-dugaan-pelanggaran-kode-etik-pemilu-2019-dkpp-ambil-langkah-tegas.html">1.030 kasus pengaduan</a> yang diterima oleh DKPP. Sebanyak 650 kasus disidangkan dan 144 orang penyelenggara pemilu diberhentikan tetap.</p>
<p>Tahun ini <a href="https://otda.kemendagri.go.id/berita-dan-informasi/pilkada-serentak-digelar-23-september-2020-ini-tahapannya/">pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak</a> akan dilakukan pada September. Malapraktik ini sulit dihentikan kecuali para penyelenggara pemilu memiliki tekad kuat untuk tidak melakukan tindakan curang sekecil apapun. </p>
<p>Publik, lewat lembaga masyarakat sipil ataupun media massa, bisa dan harus terus memperkuat pemantauan penyelenggaraan pemilu di semua daerah sehingga para kandidat dan para penyelenggara pemilu kesulitan untuk berkongsi untuk melakukan kecurangan. </p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130188/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aditya Perdana menerima dana dari Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi dalam penelitian ini di kurun waktu 2017-2020. </span></em></p>Kecurangan terjadi karena kuatnya hubungan antara penyelengggara pemilu dan caleg, sistem pemilihan yang mendorong kompetisi keras, dan lemahnya sistem pendukung pemilihan.Aditya Perdana, Assistant Professor, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1001742018-07-18T09:26:16Z2018-07-18T09:26:16ZAlasan mengapa KPU seharusnya tidak melarang bekas narapidana mendaftar jadi caleg<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/228172/original/file-20180718-142414-giyez0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Undang-undang di Indonesia terus menghukum seseorang yang telah menjalani hukuman yang dijatuhi padanya. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Menuju pemilihan umum (pemilu) tahun depan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan <a href="http://jdih.kpu.go.id/data/data_pkpu/FIXED%20PKPU%2020%20THN%202018%%2020%20(SINKRONISASI%%2020HARMONISASI).pdf">Peraturan Pemilu Legislatif 2019</a>. Peraturan ini melarang orang yang telah dihukum karena korupsi, perdagangan narkoba, dan kekerasan seksual anak untuk berkompetisi sebagai calon legislatif (caleg) dalam pemilu tersebut.</p>
<p>Menurut KPU, kejahatan-kejahatan tersebut memiliki <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/04/16/15463651/kejahatan-luar-biasa-alasan-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-ikut-pileg">“daya rusak” yang luar biasa bagi masyarakat</a>.</p>
<p>Tak dapat disangkal kejahatan-kejahatan di atas adalah kejahatan serius. Namun, dengan melihat pada sistem peradilan pidana Indonesia yang seringkali bermasalah dalam pelaksanaannya, saya berpendapat bahwa pencabutan hak mantan narapidana melalui perundang-undangan berpotensi merusak demokrasi di Indonesia dan menghalangi kesempatan sekelompok orang untuk melayani publik.</p>
<h2>Hukuman tanpa akhir</h2>
<p>Pencabutan hak-hak tertentu, termasuk hak untuk memegang jabatan publik, bukanlah fitur baru dalam hukum pidana Indonesia. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hakim dapat melarang pelaku kejahatan memegang jabatan publik sebagai bentuk pidana tambahan.</p>
<p>Tapi, selain KUHP, sejumlah undang-undang lain juga melarang mantan narapidana bekerja di sektor publik. Beberapa undang-undang di Indonesia melarang orang-orang yang telah divonis terbukti telah melakukan kejahatan menjadi <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20070528/UU_no_2_th_2002.pdf">polisi</a>, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20091111/UU%2049%20Tahun%202009.pdf">hakim</a>, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20110811/UU_no_16_th_2004%20.pdf">jaksa</a>, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20111202/UU%2018%20Tahun%202011.pdf">anggota Komisi Yudisial</a>, atau posisi di tingkat pemerintahan lainnya, bahkan sebagai <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20110811/UU_no_18_th_2003.pdf">advokat</a>.
Sedangkan untuk anggota legislatif, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20110811/UU%2010%20Tahun%202008.pdf">UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD</a> mensyaratkan anggota parlemen tidak pernah dihukum atas suatu tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari lima tahun penjara.</p>
<p>Dengan adanya undang-undang tersebut artinya negara terus menghukum seseorang yang telah selesai menjalani pidananya. Negara terus menghukum orang tersebut dengan mengambil hak-hak sipil tertentu. Tindakan tersebut, yakni menghukum mantan terpidana melalui undang-undang, justru mengabaikan proses hukum yang berlaku dan diberikan tanpa pertimbangan yang obyektif.</p>
<h2>Putusan Mahkamah Konstitusi</h2>
<p>Pada 2009, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan berkaitan dengan pengujian UU Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Robertus, orang yang tidak dapat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif 2009 di Sumatra Barat karena pada 1976 dirinya dijatuhi pidana penjara selama sembilan tahun delapan bulan karena terbukti mencuri dengan kekerasan.</p>
<p>Melalui kasus Robertus, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa mantan terpidana berhak untuk dipilih untuk jabatan publik dengan syarat-syarat tertentu:</p>
<ol>
<li>mereka harus menunggu 5 tahun setelah pembebasan mereka sebelum mencalonkan diri;</li>
<li>mereka harus mengumumkan kepada publik sebelum kampanye mereka bahwa mereka pernah dihukum untuk sebuah tindak pidana;</li>
<li>mereka bukan orang yang berulang kali melakukan tindak pidana atau residivis.</li>
</ol>
<p>Saat itu, Mahkamah Konstitusi membatasi penggunaan hak mantan narapidana di atas hanya pada jabatan-jabatan yang dipilih (anggota DPR/DPD/DPRD, Presiden, Kepala Daerah). Mantan terpidana masih tidak dapat menduduki jabatan yang diberikan melalui pengangkatan seperti menteri kabinet, komisaris, atau staf ahli.</p>
<p>Dengan peraturan pemilihan legislatif tahun ini, KPU memberikan pengecualian atas putusan Mahkamah Konstitusi untuk korupsi, kekerasan seksual anak, dan perdagangan narkoba.</p>
<h2>Sistem peradilan pidana yang cacat</h2>
<p>Keputusan KPU ini bermasalah karena sistem peradilan pidana Indonesia tidak sempurna dan seringkali dilaksanakan dengan tidak adil. </p>
<p>Mencuri atau menyelewengkan uang negara untuk keuntungan pribadi adalah suatu hal yang salah dan dapat berdampak negatif pada pembangunan nasional. Tapi sejumlah orang justru memperoleh status koruptor karena <a href="http://journal.ubpkarawang.ac.id/index.php/IlmuHukum/article/view/%2077">kerancuan (penegak hukum) dalam memahami kerugian negara dan kerugian perusahaan</a>. Sebagai contoh, mantan direktur perusahaan penerbangan milik negara Merpati <a href="https://news.detik.com/berita/d-3284037/kasus-korupsi-merpati-usd-1-juta-ma-%20beberkan-6-kesalahan-hotasi">Hotasi Nababan dijatuhi hukuman penjara</a> karena keputusan bisnis yang salah yang menyebabkan kerugian negara.</p>
<p>Kekerasan seksual anak juga terdengar sangat buruk jika kita membayangkan orang dewasa mengambil keuntungan atas relasi kuasa yang timpang terhadap anak yang tak berdaya. Namun, seringkali di Indonesia mereka yang dinyatakan bersalah atas kasus kekerasan seksual anak adalah <a href="http://business-law.binus.ac.id/2017/08/29/pertanggungjawaban-pidana-anak-sebagai-pelaku-kekerasan%20-seksual-tentang-anak%20/">anak-anak itu sendiri</a>. Mereka berkencan dan melakukan hubungan seks. Dan ketika orang tua, seringkali dari sang gadis, mengetahui tentang hubungan seksual tersebut, mereka akan melaporkan anak laki-laki ini ke polisi. Anak itu kemudian dihukum karena mengeksplorasi seksualitasnya dengan pacarnya dan harus menanggung label sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak selama sisa hidupnya. </p>
<p>Terakhir, kita punya problem mengenai perdagangan narkotika. Banyak pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi justru diberi label sebagai pengedar narkoba oleh hakim karena <a href="https://news.detik.com/berita/2658245/ma-pasal-112-uu-narkotika-pasal-keranjang-sampah">tidak jelasnya rumusan pasal mengenai penguasaan narkotika</a> dalam UU Narkotika. Yang terjadi, pengguna yang sudah pasti menguasai narkotika akan dihukum dengan pasal yang sejatinya ditujukan untuk pengedar narkotika. </p>
<h2>Membantu mantan narapidana kembali ke masyarakat</h2>
<p>Pakar hukum <a href="https://lawdigitalcommons.bc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2264&context=bclr">Anthony C. Thompson</a> berpendapat bahwa pemerintah dan komunitas hukum harus membantu pelaku kembali masuk ke komunitas mereka. Pemerintah dapat memberikan <a href="https://www.publicsafety.gc.ca/cnt/rsrcs/pblctns/scl-rntgrtn/index-en.aspx">program reintegrasi</a>, sementara pengacara, pengadilan, dan sekolah hukum dapat berkolaborasi secara inovatif dalam program-program tersebut. Dengan intervensi ini, mantan narapidana akan memiliki peluang lebih besar untuk tidak kembali ke <a href="https://www.theguardian.com/society/2006/jul/19/youthjustice.law">lingkaran kejahatan</a> dan mengubah diri mereka sebagai anggota masyarakat yang produktif.</p>
<p>Menghapus hak mantan narapidana untuk memegang jabatan publik adalah kebalikan dari intervensi yang diajukan Thompson. Dan ini berpotensi menghalangi sejumlah besar narapidana–saat ini ada <a href="http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/daily">lebih dari 110.000 orang di penjara Indonesia</a>–untuk melayani publik. </p>
<p>Sebagai contoh adalah <a href="https://www.telegraph.co.uk/business/0/ten-top-american-fraudsters/frank-william-abagnale/">Frank William Abagnale Jr.</a>, seorang penipu terkenal pada 1960-an yang dijatuhi lima tahun penjara karena memalsukan cek palsu di 26 negara. Kisah hidupnya telah diadaptasi menjadi film yang dibintangi aktor Hollywood Leonardo DiCaprio.</p>
<p>Alih-alih mengasingkan dia dari urusan yang berhubungan dengan pemerintah, pemerintah Amerika Serikat menawari Abagnale Jr pekerjaan sebagai penasihat dalam kasus-kasus yang terkait dengan penipuan. Ia kemudian mendirikan perusahaan konsultansi yang membantu para pemangku kepentingan dalam kasus-kasus keamanan dan penipuan. Kisah Abagnale Jr adalah bukti bahwa negara harus membuka pintu bagi para mantan narapidana untuk berkontribusi pada masyarakat.</p>
<h2>Menuju masyarakat yang adil dan demokratis</h2>
<p>Negara memang memiliki kekuasaan untuk mengatur masyarakat, termasuk kekuasaan untuk membatasi hak mantan narapidana untuk memegang jabatan publik.</p>
<p>Namun, alih-alih membuat undang-undang yang membatasi hak-hak warga negara–dalam hal ini adalah para mantan narapidana–cara terbaik untuk menentukan keputusan tersebut secara adil adalah melalui proses peradilan. Biarkan hakim memeriksa fakta, menghubungkan titik-titik antara teori dan kasus, dan mengambil keputusan untuk mencabut hak pelaku menduduki jabatan publik atau tidak. </p>
<p>Lebih penting lagi, hakim juga perlu secara eksplisit menyebutkan batas waktu sampai kapan mantan narapidana tidak dapat menggunakan hak-hak tersebut. </p>
<p>Dan negara juga harus memberikan kepercayaan lebih pada warganya untuk memilih wakil mereka sendiri, apakah mereka seorang terpidana atau tidak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100174/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anugerah Rizki Akbari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mantan narapidana harus diberikan kesempatan yang adil untuk menebus kesalahan mereka sesudah menjalani hukuman.Anugerah Rizki Akbari, Lecturer in Criminal Law, Indonesia Jentera School of LawLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.