tag:theconversation.com,2011:/us/topics/lansia-60020/articleslansia – The Conversation2023-01-27T07:30:35Ztag:theconversation.com,2011:article/1981362023-01-27T07:30:35Z2023-01-27T07:30:35ZRiset temukan paduan logam yang lebih aman dan murah dibanding titanium<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505215/original/file-20230118-21-u1ng1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penggantian lutut dapat meringankan rasa sakit – tetapi umumnya juga mahal.</span> <span class="attribution"><span class="source">Dragana Gordic/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Titanium adalah logam yang kuat, elastis, dan relatif ringan. Ilmuwan telah mempelajari banyak hal tentang sifat-sifat titanium. Semua ini menjadi dasar yang ideal untuk menggunakan titanium sebagai anggota tubuh buatan – terutama lutut dan pinggul – dan gigi. Seperti yang telah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1044580302003200">ditunjukkan oleh penelitian</a>, titanium memiliki kemungkinan lebih kecil daripada logam lain untuk berkarat dan lebih kompatibel dengan tubuh manusia daripada unsur lain, seperti baja tahan karat dan bahan-bahan berbasis kobalt.</p>
<p>Namun, titanium tidak murah. Data yang akurat sulit didapat, tetapi <a href="https://hipknee.aahks.org/total-joint-replacement-a-breakdown-of-costs/">biaya rata-rata</a> prostesis berbasis titanium yang paling murah berkisar antara US$3.000 (Rp45 juta) dan US$10.000 (Rp150 juta). Biaya ini mahal bagi kebanyakan orang, dan sangat mahal bagi sebagian besar orang di negara berpenghasilan menengah dan rendah seperti di Afrika.</p>
<p>Meskipun datanya langka, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6535807/">studi baru</a> tentang Afrika sub-Sahara (tidak termasuk Afrika Selatan, yang memiliki fasilitas lebih baik untuk prosedur ini daripada kebanyakan negara Afrika lain) menemukan bahwa 606 penggantian pinggul dan 763 penggantian lutut dilakukan antara tahun 2009 dan 2018. Mungkin ada lebih banyak orang di wilayah ini yang membutuhkan penggantian tetapi tidak melakukannya karena tidak mampu membayar prosedur tersebut. Dengan <a href="https://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/WPA2015_Highlights.pdf">meningkatnya</a> populasi global dari orang-orang berusia 65 tahun ke atas, permintaan akan implan juga akan meningkat; kelompok usia ini <a href="https://josr-online.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13018-021-02821-8">rentan</a> terhadap penyakit-penyakit seperti osteoporosis dan osteoartritis.</p>
<p>Itulah sebabnya kami berupaya untuk memproduksi bahan-bahan berbasis titanium yang lebih murah dan dapat digunakan untuk membuat anggota tubuh yang terjangkau. Dalam <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/maco.202213076">penelitian terbaru</a> kami, saya dan kolega bereksperimen dengan elemen-elemen logam, seperti titanium, aluminium, besi, dan vanadium, untuk membuat <em>alloy</em> (logam paduan) baru. Kami menguji masing-masing elemen logam tersebut dalam larutan yang meniru cairan tubuh manusia.</p>
<p>Kami menemukan bahwa paduan-paduan logam baru ini menunjukkan karat yang dapat diabaikan dalam larutan. Paduan-paduan logam baru ini, yang sedikit lebih murah daripada paduan kelas komersial, bekerja sangat baik – dan satu paduan logam bahkan mengunggulinya.</p>
<h2>Titanium murni vs paduan titanium</h2>
<p>Manfaat terbesar titanium untuk membuat pinggul, lutut, dan gigi buatan adalah keamanannya saat digunakan pada tubuh manusia. Ini karena titanium tidak mudah terdegradasi jika terkena cairan tubuh.</p>
<p>Namun, ketika digunakan dalam bentuk murni, titanium tidak memiliki kekuatan dan ketahanan aus yang diperlukan untuk mengatasi kerasnya aktivitas manusia.</p>
<p>Inilah mengapa elemen logam lainnya ditambahkan. Beberapa contohnya termasuk aluminium, vanadium, zirkonium, tantalum, niobium, molibdenum, dan besi. Ilmuwan menggunakan elemen-elemen ini dan elemen lainnya untuk membuat paduan logam yang lebih kuat dan tahan aus.</p>
<p>Saat ini, paduan logam yang paling banyak digunakan pada pinggul dan lutut buatan adalah Ti-6Al-4V: 90% titanium, 6% aluminium, dan 4% vanadium. Meskipun efektif, paduan logam ini memiliki dua kelemahan utama. Yang pertama adalah biaya karena harga vanadium sama mahalnya dengan titanium. Yang kedua adalah toksisitas: dalam jumlah banyak, aluminium dan vanadium menjadi beracun. Ketika bahan terdegradasi melalui korosi, ion dilepaskan ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan peradangan kronis. Ion ini juga telah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0022283619300270">dikaitkan</a> dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles%20/PMC3986683/">penyakit Alzheimer</a>.</p>
<p>Untuk penelitian ini, kami mengurangi jumlah aluminium dan vanadium yang ditambahkan ke Ti-6Al-4V untuk membuat bahan berbasis titanium baru. Kami juga tidak menggunakan aluminium dan sepenuhnya mengganti vanadium dengan besi untuk membuat bahan berbasis titanium lain yang lebih murah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/south-africa-is-one-step-closer-to-processed-titanium-alloys-122428">South Africa is one step closer to processed titanium alloys</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kami kemudian meneliti apakah bahan implan baru ini akan terdegradasi dengan cepat saat dicelupkan ke dalam cairan tubuh manusia. Kami menggunakan larutan bernama <em>Hanks Balanced Salt Solution</em> yang mengandung bahan utama dalam cairan tubuh manusia. Kami juga membandingkan bahan titanium baru dengan kelas komersial Ti-6Al-4V yang umum digunakan.</p>
<h2>Temuannya</h2>
<p>Hampir semua paduan logam baru bekerja lebih baik daripada Ti-6Al-4V dalam larutan garam, dan yang bekerja lebih buruk dalam larutan masih setara dengan Ti-6Al-4V. Dari paduan-paduan logam baru ini, tidak ada yang terdegradasi lebih dari 0,13 milimeter per tahun (tingkat degradasi maksimum yang diizinkan untuk material implan).</p>
<p>Paduan-paduan logam tanpa vanadium dan aluminium bekerja dengan baik. Artinya, mereka berpotensi lebih aman daripada Ti-6Al-4V karena memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah.</p>
<p>Yang terpenting, paduan logam baru ini lebih murah untuk diproduksi daripada Ti-6Al-4V. Kami tidak sedang mengerjakan pembuatan kaki palsu yang sebenarnya – penelitian ini berfokus pada komposisi kimia paduan. Oleh karena itu, kami tidak dapat menunjukkan apa jumlah penghematan biaya maksimal jika paduan ini akan digunakan. Namun, hanya dengan mengubah bahan awal seperti yang kami lakukan, yaitu mengganti aluminium dan vanadium seluruhnya atau sebagian dengan besi, penghematan biaya hingga 10% dapat dicapai.</p>
<h2>Langkah yang menjanjikan</h2>
<p>Mulai tahun 2030 dan tahun-tahun berikutnya, jumlah lansia di negara-negara berkembang, seperti di seluruh Afrika benua, <a href="https://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/WPA2015_Highlights.pdf">akan meningkat</a>. Dengan meningkatnya populasi ini, permintaan akan anggota tubuh buatan juga dapat meningkat. Itu sebabnya mengidentifikasi bahan yang terjangkau dan aman sangatlah penting. Penelitian kami adalah langkah yang menjanjikan untuk mencapai tujuan itu.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/198136/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Michael Oluwatosin Bodunrin menerima dana dari African Academy of Sciences di bawah program beasiswa pascadoktoral AESA-RISE, dengan nomor hibah ARPDF 18-03.</span></em></p>Seiring bertambahnya usia populasi dunia, anggota tubuh buatan yang murah, tahan lama, dan aman akan menjadi semakin penting.Michael Oluwatosin Bodunrin, Senior lecturer, University of the WitwatersrandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1697282021-11-05T04:52:07Z2021-11-05T04:52:07ZPenghapusan syarat NIK langkah awal atasi kesenjangan vaksinasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/426619/original/file-20211015-15-17xi9d8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C83%2C4000%2C2574&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang warga lansia menerima suntikan vaksin COVID-19 di Kota Tangerang, Banten, pada Mei 2021.</span> <span class="attribution"><span class="source">Fauzan/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari serial empat artikel tentang pencatatan sipil dan pengelolaan data penduduk di Indonesia yang berjudul “Data yang Mencatat dan Melindungi Semua”.</em></p>
<p>Sampai 10 Oktober 2021, baru <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/12/203000523/vaksinasi-covid-19-dosis-pertama-capai-100-juta-bisakah-mencegah-gelombang?page=all">100.059.481 orang</a> menerima dosis pertama vaksin COVID-19 yang telah diberikan; sekitar 48% dari total target sasaran di Indonesia. Artinya, ada lebih dari setengah populasi yang belum mendapatkan vaksinasi, termasuk <a href="https://theconversation.com/klaim-herd-immunity-di-jakarta-berbahaya-2-juta-anak-belum-divaksin-dan-belum-aman-dari-ancaman-covid-16858">anak-anak</a>.</p>
<p>Persyaratan Nomor Induk Kependudukan (NIK) adalah salah satu faktor penghambat cakupan vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Ditambah lagi ada aturan kesesuaian domisili dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi warga untuk mengakses layanan vaksinasi.</p>
<p>Syarat NIK ada satu dari beberapa faktor yang memengaruhi cakupan vaksinasi, termasuk jumlah pasokan, rantai dingin, infrastruktur pendukung, dan sumber daya manusia. </p>
<p>Setelah mencapai titik tertinggi pada 24 Juli 2021 dengan 574 ribu kasus aktif, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia memang menurun drastis; <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/10/14/kasus-aktif-covid-19-di-indonesia-sedang-di-titik-terendah">jumlah kasus aktif sebanyak 19.852 </a> pada 14 Oktober 2021, merupakan yang terendah dalam 15 bulan terakhir.</p>
<p>Total jumlah kasus COVID-19 tercatat 4.228.552 sejak 3 Januari 2020 sampai 11 Oktober 2021, dengan kematian akibat COVID-19 142.716 sebagaimana yang dilaporkan pemerintah kepada <a href="https://covid19.who.int/region/searo/country/id">Badan Kesehatan Dunia (WHO)</a>.</p>
<p>Meski ada penurunan dalam beberapa bulan terakhir, kita semua tidak boleh terlena dan harus waspada. Kelengahan pada awal 2021 setelah menghadapi gelombang akhir 2020 telah membawa kita pada situasi yang mencekam pada Juni-Juli lalu. </p>
<p>Selain terus memitigasi risiko dengan pengetesan, pelacakan yang diikuti respons yang sesuai, pemakaian masker, mengelola kontak fisik, dan memperbaiki sistem ventilasi dan sirkulasi udara di ruang-ruang umum (seperti ruang kelas, penitipan anak, dan kantor), vaksinasi adalah salah satu cara untuk mengelola COVID-19. </p>
<p><a href="https://mediaindonesia.com/humaniora/429011/warga-tanpa-nik-bisa-vaksinasi-di-sentra-vaksinasi-sinergi-sehat-hingga-3-september">Beberapa wilayah sudah melunakkan syarat domisili untuk vaksinasi dan ini patut dipuji dan ditiru oleh semua</a>. Namun persyaratan NIK masih menjadi penghambat bagi akses terhadap vaksinasi, terutama untuk kelompok rentan - misalnya anak-anak dan lansia dari keluarga miskin.</p>
<p>Penghapusan syarat NIK untuk vaksinasi COVID-19 adalah langkah awal untuk mengatasi kesenjangan akibat ketiadaan dokumen kependudukan, terutama di antara kelompok rentan. Tanpa mensyaratkan NIK, pemerintah memperbesar kesetaraan akses pada layanan dasar dan perlindungan yang sangat diperlukan sekarang dan nanti di masa pemulihan pandemi.</p>
<p>Kabar baiknya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada awal Agustus 2021 telah mengeluarkan <a href="https://covid19.go.id/p/regulasi/surat-edaran-nomor-hk0202iii152422021">surat edaran</a> tentang vaksinasi masyarakat rentan dan masyarakat lainnya yang belum memiliki NIK. Surat edaran itu ditujukan kepada seluruh kepala dinas kesehatan provinsi, kabupaten, dan kota, untuk meningkatkan dukungan dan kerja sama pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan terkait.</p>
<p>Kita harus mengapresiasi surat edaran dari Kemenkes dan kolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri ini (Kemendagri), karena hal ini dapat memastikan kelompok-kelompok rentan tanpa NIK bisa divaksinasi. Siapakah yang akan terbantu?</p>
<h2>Penghapusan syarat NIK lindungi kelompok rentan</h2>
<p><a href="https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/dasar/view?kd=1558&th=2020">Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020</a> yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan sekitar 3,99% dari 270,3 juta penduduk belum memiliki NIK. </p>
<p>Ini artinya bahwa sekitar 10,7 juta penduduk, yakni 4,3 juta yang berusia 18 tahun ke atas dan 6,4 juta anak-anak terancam tidak dapat mengakses vaksinasi.</p>
<p>Menurut Susenas 2020, ketiadaan NIK lebih banyak ditemukan di antara rumah tangga miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil dengan ketersediaan dan kapasitas layanan kesehatan yang terbatas. </p>
<p>Karena kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) yang melayani dokumen kependudukan biasanya berada di ibu kota kabupaten, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil seringkali terkendala jarak, waktu, transportasi, dan biaya dalam mengakses layanan Dukcapil. Proses yang rumit dan aturan yang kerap berubah, serta ketiadaan dokumen syarat termasuk faktor-faktor lain yang menghambat kepemilikan NIK. </p>
<p>Penduduk tanpa NIK juga banyak ditemukan di antara lansia dan anak-anak yang juga rentan terinfeksi dan mengalami kesakitan serta kematian jika terinfeksi. Melindungi kelompok-kelompok ini dari kesakitan dan kematian akibat COVID-19 sangat mendesak mengingat tingkat transmisi yang tinggi saat ini, terutama mengingat semakin banyaknya daerah yang mulai menerapkan pertemuan tatap muka. </p>
<p>Selain tiga kelompok di atas, tingkat kepemilikan NIK yang rendah juga ditemukan di tengah kelompok masyarakat yang tersembunyi, tersisihkan, serta memiliki mobilitas tinggi, sehingga lebih rentan terpapar dan menyebarkan COVID-19. </p>
<p>Kelompok-kelompok ini adalah penyandang disabilitas, anak yang dikawinkan, penduduk korban bencana alam atau dalam situasi konflik (termasuk pengungsi dan pencari suaka), dan kelompok masyarakat adat atau penghayat kepercayaan. Selain itu, kelompok minoritas lain yang masih mendapatkan stigma dari masyarakat (misalnya transpuan), termasuk juga kelompok yang tinggal di panti, rumah tahanan, di luar rumah tangga tradisional lainnya. </p>
<p>Ketiadaan NIK ini merepresentasikan kerentanan multidimensi. Hambatan mendapatkan dokumen kependudukan memiliki kesamaan dan kaitan yang erat dengan hambatan kelompok rentan dalam mendapatkan kesempatan vaksinasi COVID-19 seputar jarak, informasi, serta hambatan administrasi. </p>
<p>Selain penduduk miskin dan terpencil, NIK bisa jadi belum dimiliki mereka yang tersembunyi dan memiliki mobilitas tinggi, sehingga lebih rentan terpapar dan menyebarkan COVID-19. </p>
<p>Kelompok-kelompok rentan tersebut harus tetap mendapatkan prioritas layanan vaksinasi meski tidak dapat menunjukkan NIK.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/426621/original/file-20211015-13-4ecc8i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang anak menerima vaksin COVID-19 di Bandung, Jawa Barat, pada Agustus 2021.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Raisan Al Farisi/Antara Foto</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Peluang pendataan individu rentan</h2>
<p>Situasi ini sebenarnya adalah peluang untuk mencatat, menemukan, dan melayani individu rentan dengan memadukan layanan vaksinasi dan administrasi kependudukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. </p>
<p>Tawaran jalan keluar dari kami adalah layanan terpadu vaksinasi dan NIK yang melindungi dan mencatat sekaligus.</p>
<p>Ada tiga pendekatan umum yang bisa dipertimbangkan Disdukcapil dan layanan vaksinasi dalam memadukan layanan ini. Keduanya perlu disepakati oleh Kemendagri dan Kemenkes.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, pendekatan kecepatan dan keringkasan. Layanan terpadu vaksinasi dengan pencatatan dan penerbitan NIK dapat dilaksanakan di sentra-sentra vaksinasi tertentu yang menjangkau banyak orang. </p>
<p>Penduduk yang tidak memiliki NIK bisa diminta untuk mendatangi pos vaksinasi tersebut pada waktu tertentu ketika petugas Disdukcapil dapat hadir dan melakukan perekaman data. </p>
<p>Alternatif lain adalah dengan menempatkan tambahan petugas di pos vaksinasi untuk mencatat informasi individu yang tidak memiliki NIK, dan kemudian meneruskan daftar dan informasi ini kepada Disdukcapil untuk ditindaklanjuti. Sebagai pengganti NIK untuk pencatatan status vaksinasi, petugas bisa menerbitkan nomor tiket unik individu yang nantinya akan digantikan dengan NIK.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, pendekatan keaktifan di tingkat komunitas. Layanan administrasi kependudukan dapat dipadukan dengan kegiatan pendaftaran sasaran vaksinasi secara <em>bottom-up</em>. Di level daerah, Disdukcapil setempat dapat menyediakan data dasar penduduk yang berguna bagi Dinas Kesehatan sebagai daftar awal sasaran vaksinasi. Data dasar ini dapat diambil dari data sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) di Disdukcapil atau data pada Buku Induk Kependudukan di desa/kelurahan.</p>
<p>Oleh kader desa, termasuk satgas COVID-19, data dasar ini kemudian diverifikasi dan divalidasi untuk menemukenali penduduk tanpa NIK, memilih data penduduk yang memiliki dan tidak memiliki NIK. </p>
<p>Praktik ini sebetulnya bukan hal yang baru karena beberapa desa sudah memiliki inisiatif mengidentifikasi kelompok rentan tanpa NIK. Artinya, praktik ini sangat mungkin diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia secara lebih luas.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, dispensasi syarat administratif untuk vaksinasi untuk kelompok khusus. Cara ini perlu untuk menjangkau kelompok masyarakat yang mengalami hambatan secara hukum, misalnya ketiadaan bukti domisili atau dokumen prasyarat seperti Kartu Keluarga. </p>
<p>Pandemi tidak akan berlangsung selamanya, namun kesulitan hidup yang dialami kelompok rentan tidak akan berkurang jika tidak ada upaya tambahan dari pemerintah untuk menemukan dan menghubungkan mereka ke layanan dan bantuan yang dibutuhkan. </p>
<p>Melalui program vaksinasi COVID-19, pemerintah Indonesia dapat melindungi seluruh penduduk, sekaligus menemukenali, menjangkau, dan melayani mereka yang tidak memiliki NIK dengan lebih cepat dan efektif. </p>
<p>Melalui pemenuhan hak NIK dan dokumen kependudukan semua jiwa, pemerintah bisa mengelola program pemulihan pasca pandemi secara lebih efektif.</p>
<p><em>Studi-studi dan program yang berkaitan dengan artikel ini terselenggara atas kerja sama PUSKAPA dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan dukungan Pemerintah Australia lewat program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan). Sebelumnya, studi terkait juga didukung oleh AIPJ (Kemitraan Indonesia-Australia untuk Keadilan).</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169728/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Marsha Habib bekerja di PUSKAPA. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Clara Siagian dan Santi Kusumaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tanpa mensyaratkan NIK, pemerintah memperbesar kesetaraan akses pada layanan dasar dan perlindungan yang sangat diperlukan sekarang dan nanti di masa pemulihan pandemi.Marsha Habib, Communication and Relations Manager, PUSKAPAClara Siagian, Senior Researcher, PUSKAPASanti Kusumaningrum, Director, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1381072020-05-14T08:03:55Z2020-05-14T08:03:55ZRisiko kematian lansia dengan COVID-19 tinggi tapi pelayanan kesehatan belum berpihak pada mereka: apa yang harus dilakukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/334599/original/file-20200513-156637-1jppzh2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C1000%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sebelum pandemi, pelayanan kesehatan pada lansia sudah membebani perekonomian negara. Keadaan akan bertambah buruk setelah pandemi.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Riset di beberapa negara sudah <a href="http://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19/statements/statement-older-people-are-at-highest-risk-from-covid-19,-but-all-must-act-to-prevent-community-spread">membuktikan</a> bahwa orang tua yang terkena COVID-19 memiliki risiko kematian yang tinggi dibanding mereka yang yang berusia muda. </p>
<p>Data terkini menunjukkan orang yang berusia lebih dari 75 tahun memiliki risiko kematian hingga <a href="https://www.worldometers.info/coronavirus/coronavirus-age-sex-demographics/">10 kali lipat</a> dibanding mereka yang berada pada kelompok umur 18-44 tahun ketika mereka menderita COVID-19. </p>
<p>Kondisi orang tua yang rentan terhadap berbagai penyakit kronis seperti <a href="https://www.acc.org/latest-in-cardiology/journal-scans/2020/03/16/14/04/clinical-course-and-risk-factors-for-mortality">penyakit darah tinggi, diabetes, dan kardiovaskular</a> juga menambah risiko kematian mereka. </p>
<p>Tapi hingga saat ini belum ada prosedur perawatan khusus bagi lansia yang terinfeksi <em>coronavirus</em> dan sistem kesehatan yang ada juga belum berpihak pada kelompok yang paling rentan ini.</p>
<h2>Pelayanan buruk pada lansia</h2>
<p>Di seluruh dunia, ketika seluruh fasilitas kesehatan tampak kewalahan menghadapi lonjakan pasien COVID-19, kelompok lanjut usia (lansia) sering kali berada pada <a href="https://www.vox.com/coronavirus-covid19/2020/3/31/21199721/coronavirus-covid-19-hospitals-triage-rationing-italy-new-york">antrean terakhir</a> untuk mendapatkan tindakan dokter. </p>
<p>Banyak kebijakan juga tidak memihak kelompok ini. </p>
<p>Dalam situasi pandemi ini, banyak rumah sakit tidak membolehkan adanya pendamping keluarga. Bagi lansia, ini menjadi masalah besar karena banyak di antara mereka sering mengalami <a href="https://www.aafp.org/afp/2014/0801/p150.html">gangguan kesehatan mental dan perilaku</a>. </p>
<p><a href="https://unsdg.un.org/sites/default/files/2020-05/Policy-Brief-The-Impact-of-COVID-19-on-Older-Persons.pdf">Perserikatan Bangsa-Bangsa</a> membuat laporan terkait dampak COVID-19 pada lansia dan menekankan aspek kesehatan mental sebagai salah risiko yang dihadapi pasien lansia yang banyak menderita penyakit demensia atau kepikunan. </p>
<p>Pasien lansia yang menderita demensia dan terkena COVID-19 tidak hanya akan kesulitan memahami dan melakukan berbagai pencegahan seperti pembatasan sosial tapi juga kesulitan dalam memaparkan keluhan penyakit dan perasaan karena kepikunan mereka. </p>
<p>Aspek kesehatan mental ini penting diperhatikan karena sebelum pandemi saja, sebuah <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0203480">riset di Norwegia</a> menunjukkan demensia menyumbang hampir sepertiga jumlah kematian di panti jompo di negara tersebut. </p>
<h2>Beban ekonomi</h2>
<p>Sebelum pandemi, pelayanan kesehatan pada lansia sudah membebani perekonomian negara. Keadaan akan bertambah buruk setelah pandemi.</p>
<p><a href="https://www.focus-economics.com/blog/economic-implications-of-an-aging-global-population">Data di Eropa</a> menunjukkan biaya kesehatan untuk orang berusia di atas 65 tahun bisa mencapai 3 sampai 5 kali lebih besar dibandingkan usia di bawahnya.</p>
<p>Tak jarang, beban ekonomi juga dirasakan anggota keluarga yang lain yang harus merawat orang tuanya yang sudah berumur. </p>
<p>Belum ada riset di tingkat global yang menghitung berapa beban ekonomi yang ditanggung baik pemerintah dan keluarga untuk merawat kesehatan lansia selama pandemi COVID-19. Tapi angkanya dipastikan bertambah mengingat rentannya kelompok usia tersebut terhadap penyakit. </p>
<p>Untuk mengurangi beban yang ada beberapa langkah harus dipikirkan sebagai prosedur penerimaan pasien COVID-19 yang lansia. Berikut adalah empat langkah prosedur pemberian layanan kesehatan yang berpihak pada lansia:</p>
<ol>
<li><p>Proses pemeriksaan komprehensif pada lansia, termasuk kesehatan kognitif dan mental pasien, sebelum perawatan COVID-19 </p></li>
<li><p>Menentukan jenis perawatan dengan <a href="https://www.alz.co.uk/news/adi-releases-position-paper-on-covid-19-and-dementia">diskusi mendalam</a>. Diskusikan tentang berbagai kemungkinan, termasuk bila ada kemungkinan kesehatan lansia memburuk. Apakah akan meninggal di rumah sakit dengan tanpa ada keluarga yang menemani? Rumah sakit bukanlah tempat yang baik, untuk seorang lansia meninggal dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4383762/">kesendirian</a></p></li>
<li><p>Pendidikan bagi petugas kesehatan dalam menghadapi pasien lansia terutama yang mengidap demensia. Penggunaan alat pelindung diri petugas medis dapat menambah suasana stres bagi pasien. <a href="https://www.huffpost.com/entry/medical-workers-pics-smiling-covid-19-patients_l_5e8f725bc5b6b371812da523">Foto pengenal diri</a> dengan senyuman akan membantu menenangkan pasien. </p></li>
<li><p>Penyediaan sistem asuransi yang juga mencakup pembiayaan konsultasi jarak jauh melalui internet. Hal ini khusus diberikan pada pasien lansia yang berisiko tinggi untuk datang ke rumah sakit</p></li>
</ol>
<h2>Bagaimana di Indonesia?</h2>
<p>Banyak media menyebut Indonesia adalah <a href="https://www.forbes.com/sites/eladnatanson/2019/05/14/indonesia-the-new-tiger-of-southeast-asia/">negara muda dengan mayoritas penduduknya rata-rata berumur 29 tahun</a>, tapi sebuah <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/10/11/indonesia-enters-early-stages-aging-population.html">laporan terbaru dari Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) menyatakan</a> jumlah lansia di Indonesia sudah mencapai hampir <a href="https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/info_demo_vol_1_2019_jadi.pdf">10%</a> dari jumlah seluruh populasi, atau sekitar 25,9 juta orang. Ini artinya Indonesia hampir bisa dikatakan sebagai <em>aging country</em> atau sebuah negara yang mayoritas penduduknya adalah lansia. </p>
<p>Di Indonesia sendiri, biaya perawatan kesehatan untuk <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20190917195920-4-100170/ngeri-penyakit-penyakit-ini-yang-buat-bpjs-kesehatan-tekor">penyakit jantung, gagal ginjal, stroke, dan kanker</a>, yang identik dengan orang tua menghabiskan hampir Rp20 triliun per tahun atau sekitar 20 persen dari total pengeluaran dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. </p>
<p>Sama seperti di negara lain, orang tua di Indonesia memiliki risiko kematian yang tinggi ketika mereka terjangkit coronavirus. Lebih dari <a href="https://nasional.tempo.co/read/1336444/ini-demografi-kematian-pasien-positif-covid-19-di-indonesia/full&view=ok">60%</a> pasien COVID-19 yang meninggal berusia 50 hingga 69 tahun, sedangkan seperlimanya berasal dari usia kelompok 70 tahun ke atas. </p>
<p>Indonesia juga belum mempunyai prosedur khusus dalam menghadapi pasien lansia yang terkena COVID-19. Penting bagi Indonesia juga untuk menerapkan prosedur khusus untuk menghadapi pasien COVID-19 yang tua. Hal ini tidak hanya untuk mengurangi tingkat kematian yang tinggi tapi juga mengurangi beban ekonomi negara dan keluarga.</p>
<p>Mayoritas orang di Indonesia lebih memilih merawat orang tuanya sendiri di rumah ketimbang mengirimnya ke panti jompo. Laporan terbaru tahun 2019 <a href="https://www.alz.co.uk/research/world-report-2019">menunjukkan </a> hanya kurang 6% responden di Indonesia yang setuju untuk mengirim orang tuanya ke institusi perawatan ketimbang merawatnya sendiri.</p>
<p>Kecenderungan ini membuat beban ongkos perawatan lansia berada di bawah tangguh jawab keluarga sepenuhnya. Data <a href="https://www.step.org/sites/default/files/Branches/Malaysia/Part%204%28i%29%20The%20economic%20costs-%20Assoc%20Prof%20Dr%20Yuda%20Turana.pdf">Yayasan Alzheimer Indonesia </a> menunjukkan biaya yang dibutuhkan untuk merawat lansia bisa mencapai Rp3-Rp 10 juta per bulan. </p>
<p>Hal ini terbilang tinggi, bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia yang kurang dari <a href="https://www.ceicdata.com/en/indicator/indonesia/monthly-earnings/amp">Rp3 juta per bulan</a>.</p>
<p>Perawatan lansia seharusnya juga menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan sistem kesehatan pendukung, seperti misalnya memberikan pendampingan pada keluarga dan pemberian bantuan berupa obat untuk pasien lansia dan bantuan alat pelindung diri buat keluarga yang merawat selama pandemi ini.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138107/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yuda Turana adalah pembina di Yayasan Alzheimer Indonesia</span></em></p>Risiko kematian lansia sangat tinggi ketika mereka terkena COVID-19, tapi hingga kini sistem pelayanan kesehatan belum memihak merekaYuda Turana, associate professor, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1187632019-06-17T04:03:09Z2019-06-17T04:03:09ZJumlah orang yang berusia lebih dari 110 tahun semakin banyak. Berapa lama manusia dapat hidup?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/279510/original/file-20190614-158967-g3b7gk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=16%2C25%2C5590%2C3707&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/birthday-cake-lit-candles-century-one-161175410">Lucky Business/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Di seluruh dunia, rentang umur manusia semakin panjang. Meski naik turun, beberapa tahun terakhir usia harapan hidup secara keseluruhan <a href="http://science.sciencemag.org/content/296/5570/1029">semakin meningkat</a>; dalam dua abad terakhir peningkatannya sampai lebih dari dua kali lipat.</p>
<p>Sebelumnya, peningkatan ini didorong oleh <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2690264/">penurunan angka kematian bayi</a>. Akan tetapi, sejak sekitar tahun 1950-an, pendorong utamanya adalah penurunan angka kematian pada rentang usia yang lebih tua. Di Swedia misalnya, berdasarkan data dengan tingkat akurasi sangat tinggi tentang populasi nasional sejak pertengahan abad ke-16, batas umur maksimum seseorang telah <a href="https://science.sciencemag.org/%20konten%20/%20289/5488/2366">meningkat selama hampir 150 tahun</a>. Peningkatan usia harapan hidup ini juga telah terlihat di banyak negara lain, termasuk di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=808&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=808&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=808&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1015&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1015&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/273014/original/file-20190507-103060-rj1ynq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1015&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Margaret Neve pada tahun 1902, berusia 109.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://en.wikipedia.org/wiki/File:Margaret_Neve_110.jpg">Wikimedia Commons</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tren tersebut mendorong jumlah lansia dengan umur yang sangat tua meningkat dengan pesat–usia mereka mencapai 100, 110 atau bahkan lebih. <em>Supercentenarian</em> (istilah untuk orang yang berusia 110 tahun ke atas) pertama adalah seseorang bernama Geert Adrians-Boomgaard. Ia meninggal pada tahun 1899, pada usia 110 tahun, 4 bulan. Rekor ini lalu dipecahkan oleh orang lain. <em>Supercentenarian</em> wanita pertama, Margaret Ann Neve, meninggal pada 1903 pada usia 110 tahun, 10 bulan dan memegang rekor tersebut selama hampir 23 tahun. Kemudian rekor itu dipecahkan oleh Delina Filkins. Ia meninggal pada tahun 1928 pada usia 113 tahun, 7 bulan. Ia memegang catatan rekor itu selama lebih dari 52 tahun.</p>
<p>Pemegang rekor saat ini adalah seorang wanita Prancis, Jeanne Calment, yang meninggal pada 4 Agustus 1997 dengan usia 122 tahun, 5 bulan. Meskipun ada <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0212345">peningkatan jumlah orang berusia lebih dari 110 tahun yang hampir eksponensial</a> sejak awal 1970-an, Calment tetap memegang rekor tersebut–meski hampir <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0212345">tidak mungkin</a> baginya untuk menahan rekor ini lebih lama.</p>
<h2>Bertahan hidup hingga melewati 100 tahun</h2>
<p>Meskipun tren peningkatan usia harapan hidup ini terjadi di mana-mana, peningkatan bukan hal yang pasti. </p>
<p>Perbaikan yang terjadi baru-baru ini di Denmark dalam hal tingkat kematian mereka mendorong orang berpikir bahwa peningkatan usia harapan hidup yang melebihi seratus tahun terjadi. </p>
<p>Hal ini agak berbeda dari apa yang baru-baru ini diamati di Swedia, di mana jumlah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28470872">usia orang yang tua</a> semakin berkurang.</p>
<p>Kami meneliti <a href="https://doi.org/10.1007/s13524-018-0755-7">16.931 orang yang berusia lebih dari 100 tahun</a> (sebanyak 10.955 orang di Swedia dan 5.976 di Denmark) yang lahir antara 1870 dan 1904 di kedua negara yang saling bertetangga dengan ikatan budaya dan sejarah yang erat, untuk mengecek apakah kecurigaan kami terbukti benar. Meskipun Swedia umumnya memiliki tingkat kematian yang lebih rendah daripada Denmark pada berbagai rentang usia, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28470872">tidak ada bukti</a> yang menunjukkan peningkatan usia harapan hidup di Swedia dalam beberapa tahun terakhir. Meski begitu, di Denmark, orang meninggal dalam usia yang semakin tua dan angkanya semakin terus bertambah. Usia dari 6% <em>centenarian</em> yang bertahan hidup terus meningkat.</p>
<p>Denmark dan Swedia serupa dalam banyak hal, namun tren umur keduanya sangat berbeda. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab yang tidak mudah untuk sepenuhnya dijelaskan. Akan tetapi, kami punya beberapa penjelasan.</p>
<h2>Sistem kesehatan</h2>
<p>Pertama, terdapat perbedaan tingkat kesehatan antara populasi lansia di kedua negara. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28595320">Penelitian terbaru</a> telah menunjukkan peningkatan Aktivitas Hidup Harian (AHH) yang dilakukan oleh <em>centenarian</em> perempuan di Denmark. AHH ini meliputi tugas dasar yang diperlukan untuk menjalani kehidupan mandiri, seperti mandi atau berpakaian. Sebaliknya, di Swedia, tren tersebut tidak sebaik di Denmark. Satu penelitian menemukan bahwa tidak ada peningkatan pada AHH. Hal ini kemudian disertai dengan kemunduran dalam aspek mobilitas, kognisi, dan tes performa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/273017/original/file-20190507-103053-128n0wq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Umur panjang tampaknya berhubungan dengan keaktifan di masa senja.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/fit-senior-couple-exercising-409860775?src=ght1KxrIX9va6DdRmuBonA-1-21">Ruslan Guzov / Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Perbedaan dalam dua sistem kesehatan dalam beberapa waktu terakhir dapat menjelaskan perbedaan tersebut. Pengeluaran untuk layanan publik berkurang di Swedia pada awal 1990-an, akibat serangkaian krisis ekonomi. Perawatan kesehatan untuk lansia pun terpengaruh. Misalnya, dalam fasilitas rawat inap bagi lansia. Ada perubahan sistem rawat inap dari rumah sakit ke panti jompo dan juga adanya pengurangan jumlah tempat tidur di panti jompo. Pemotongan biaya membuat beberapa orang lanjut usia menjadi berisiko, terutama mereka yang berasal dari kelompok sosial ekonomi terendah.</p>
<p>Selain itu, kedua negara ini memiliki sistem perawatan lansia yang sedikit berbeda: Swedia cenderung menargetkan kelompok yang paling lemah sedangkan Denmark mengambil pendekatan yang agak lebih luas. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5547399/">Beberapa penelitian menyarankan</a> bahwa pendekatan Swedia mengakibatkan beberapa orang yang memerlukan perawatan justru tidak menerimanya. Hal ini menyebabkan orang yang tidak mampu menjadi lebih mengandalkan perawatan dari keluarga yang kualitasnya mungkin lebih rendah.</p>
<p>Orang yang mencapai usia lanjut adalah kelompok tertentu dan jelas memiliki ketahanan hidup tinggi. Mungkin karena memiliki ketahanan hidup yang tinggi dan memiliki ciri fisiologis tertentu, mereka semakin diuntungkan dari adanya perbaikan kondisi kehidupan dan teknologi.</p>
<p>Penelitian komparatif kami menunjukkan beberapa hal menarik bagi negara-negara lain, khususnya untuk negara-negara berkembang. Temuan ini menunjukkan bahwa memperpanjang usia harapan hidup dapat dilakukan dengan memperbaiki pelayanan kesehatan untuk kelompok usia lanjut dengan menyediakan perawatan lansia berkualitas tinggi yang meluas. Jika keduanya terwujud, maka revolusi peningkatan angka harapan hidup manusia akan terus berlanjut hingga beberapa waktu ke depan.</p>
<p><em>Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/118763/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Usia harapan hidup telah meningkat hingga dua kali lipat dalam dua abad terakhir. Hingga usia berapa orang dapat terus bertahan hidup?Anthony Medford, Postdoctoral associate researcher, University of Southern DenmarkJames W Vaupel, Professor of Demography and Epidemiology, University of Southern DenmarkKaare Christensen, Director of the Danish Aging Research Center and the Danish Twin Register, University of Southern DenmarkLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1098842019-01-18T07:59:43Z2019-01-18T07:59:43ZTeruslah belajar dan Anda mungkin lebih lambat terkena demensia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/254339/original/file-20190117-32834-100xq0p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C10%2C6959%2C4625&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penelitian terbaru dari Centre for Aging and Brain Health Innovation akan menyelidiki penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran dengan media daring untuk lansia yang terkena demensia dan yang berisiko demensia.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Setiap tahun ratusan mahasiswa lanjut usia berkumpul di Toronto untuk pertemuan besar, secara tatap muka dan online, dengan cemas menunggu sertifikat diploma mereka. Beberapa dari mereka berusia sembilan puluhan; beberapa orang menderita <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2013/06/01/11401953/Demensia.Beda.dengan.Pikun.">demensia</a> (daya ingat yang menurun).</p>
<p>Salah satu lulusan, yang menyelesaikan 15 kursus yang diajarkan oleh fakultas Universitas Ryerson Kanada, adalah mantan manajer pemusik Madonna. Ia berpendapat dalam suatu kelas bahwa pandangan filsuf Prusia <a href="https://plato.stanford.edu/entries/kant/">Immanuel Kant</a> lebih baik dibandingkan <a href="https://www.britannica.com/biography/David-Hume">David Hume</a>, filsuf dari Skotlandia. Kant mengatakan bahwa seni didasarkan pada tujuan, Hume mengatakan seni merupakan keterampilan.</p>
<p>Selama dalam kelas, mahasiswa ini dapat mempertahankan argumen yang rasional. Pada minggu depannya, dia hanya ingat sedikit hal tersebut. Bagaimanapun dalam momen tersebut, pasien demensia mengetahui dirinya sendiri, seperti halnya kita semua, maka secara eksistensial, ia ada.</p>
<p>Dan manfaatnya melebihi keberadaan mereka sendiri. Berpartisipasi dalam aktivitas belajar di universitas juga dapat memperlambat hilangnya fungsi kognitif berkaitan dengan penuaan dan penyakit Alzheimer.</p>
<p>Gill Livingston dan timnya yang memimpin Komisi Peneliti Lancet untuk Demensia menunjukkan bahwa <a href="https://doi.org/10.1016/S0140-6736(17)31363-6">ketangguhan diri (<em>resilience</em>) dapat membantu memperlambat laju demensia atau menunda mulainya penurunan daya ingat</a>. Sebuah konsep yang disebut <em>cognitive reserve</em> (cadangan kognisi) mendasari ide mengenai ketangguhan. Faktor gaya hidup seperti pola makan dan aktivitas - dan juga proses belajar - meningkatkan cadangan kognisi. Simpanan kognisi yang lebih tinggi dapat melawan kehilangan ingatan.</p>
<h2>Dari filosofi ke neuropsikologi</h2>
<p>Lebih dari empat tahun terakhir, Universitas Ryerson, bekerja sama dengan Baycrest Health Sciences, telah <a href="https://www.baycrest.org/Baycrest/Healthcare-Programs-Services/Programs/Culture-and-Arts-Programs/Baycrest-Learning-Academy">memberikan hingga 20 kursus setiap tahun</a> kepada lansia. <a href="https://www.toronto.com/news-story/6763957-baycrest-graduates-first-seniors-from-on-site-ryerson-university-program">Sebagian mereka memiliki demensia, sebagiannya lagi tidak</a>–mereka duduk berdampingan dalam satu kelas yang sama.</p>
<p>Kursusnya cukup padat, intensif selama delapan-minggu, dengan lama dua jam setiap sesinya. Topik kursusnya meliputi: Filsafat Socrates, Astronomi, Neuropsikologi, Romantisisme dan Para Senimannya yang hebat, Musik Klasik, Para Sutradara yang Terkenal, Sastra dan Arkeologi Prancis.</p>
<p>Arkeolog lulusan Harvard, David Lipovitch, memberikan kuliah tentang situs penggalian Timur Tengah yang sedang dikerjakannya. Penulis papan atas untuk <em>Globe dan Mail</em> dan para ahli sejarah Broadway juga hadir memberikan kursus dalam kelas yang dihadiri hingga 30 mahasiswa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/243059/original/file-20181030-76390-i7zbkf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hasil riset menunjukkan bahwa pendidikan meningkatkan kesejahteraan lansia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kuncinya adalah keterlibatan–dengan mengoptimalkan proses pembelajaran untuk mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan kepercayaan diri. Kuliah yang diberikan tidak hanya “hiburan pendidikan” tapi memiliki kualitas yang tidak jauh beda dengan kuliah sarjana di universitas secara umum.</p>
<p>Bedanya adalah tidak ada tugas yang harus mereka kerjakan. Mereka dinilai sejauh usaha hadir di kelas. Salah satu mahasiswa lansia dengan demensia tingkat lanjut, tapi masih mampu menyerap pelajaran, mengatakan, “Saya mengalami kesulitan mengingat banyak hal dan ini adalah hal yang berhasil saya pelajari minggu ini, jadi pastikan kalian jangan lupa membawa saya kembali ke sini minggu depan!”</p>
<p>Komentar semacam ini sering terjadi. Dan hasil yang memperlihatkan bahwa proses pembelajaran yang baik mengarahkan pasien untuk melakukan “sebuah tindakan metakognitif"–dengan mengetahui dia sendiri menderita demensia dan perlu mengimbangi penyakitnya dengan belajar-adalah sangat mengesankan.</p>
<h2>Ikatan sosial dan stimulasi mental</h2>
<p>Laporan Komisi Peneliti Lancet juga mempelajari bagaimana peran pendidikan pada anak usia dini mempengaruhi perkembangan demensia. Data menunjukkan bahwa kurangnya pendidikan menyebabkan lebih besarnya kemungkinan terkena penyakit demensia dikarenakan penurunan cadangan kognisi. </p>
<p>Poinnya adalah pentingnya pendidikan terhadap lansia dalam jangka waktu yang lama–tidak hanya bagi mereka menderita demensia, tapi juga yang sehat dan berisiko terkena demensia.</p>
<p>Penelitian jangka-panjang oleh George Rebok pada 2014 tentang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24417410">pengaruh pendidikan terhadap lansia</a> mengikuti subjek peserta penelitian selama 10 tahun untuk mempelajari berbagai aspek dari fungsi kognitif. Terlihat dampak kecil pada peningkatan kemampuan berpikir dan dampak yang lebih besar pada kebersihan pribadi, keyakinan atas kemampuan diri sendiri, dan ukuran kesejahteraan pribadi lainnya.</p>
<p>Proses pembelajaran tampaknya meningkatkan ikatan sosial dan stimulasi mental, yang kemungkinan mengarah pada daya tahan melalui peningkatan cadangan kognisi Penalaran dan kecepatan berpikir terlihat meningkat dari penelitian yang dilakukan Rebok, namun tidak pada ingatan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/243097/original/file-20181030-76408-19c1upd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diprediksi setengah dari populasi manusia saat ini akan berumur lebih dari 50 tahun pada 2050.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Baycrest Health Sciences)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kami masih belum sepenuhnya memahami apakah stimulasi mental yang lebih terfokus melalui proses pembelajaran dapat mencegah demensia. Penelitian oleh Julia Spaniol di Universitas Ryerson menunjukkan bahwa <a href="https://www.ryerson.ca/news-events/news/2018/07/unlocking-the-mysteries-of-dementia/">meningkatnya keterlibatan sosial dan motivasi pribadi para lansia dapat membantu dalam membuka ingatan</a>. Tapi sampai saat ini belum ada penelitian yang lebih fokus mempelajari bagaimana peran proses pembelajaran yang sifatnya lebih mendalam, seperti kuliah intensif yang diberikan oleh universitas, yang pengaruhnya terhadap demensia dan kualitas hidup.</p>
<h2>‘Eudaimonia’ untuk masyarakat yang menua</h2>
<p>Bagaimanapun, hal ini akan berubah. Pada musim panas ini, <a href="http://www.cabhi.com">Centre for Aging and Brain Health Innovation (CABHI)</a> memberikan dana hibah kepada tim kami–untuk menyelidiki efek penggunaan teknologi pembelajaran seperti kursus online dibandingkan dengan kursus tatap muka pada penderita demensia dan yang berisiko terkena demensia.</p>
<p>Tujuan dari program ini adalah untuk menciptakan akses belajar seumur hidup yang lebih luas untuk lansia terlepas di mana mereka tinggal–baik di panti jompo maupun bersama komunitas. Studi klinis ini telah dimulai pada September 2018 dan kami akan melaporkan hasil data kami pada akhir musim semi 2019.</p>
<p>Harapan hidup terus meningkat dan diprediksi bahwa <a href="https://www.statista.com/statistics/672546/projected-world-population-distribution-by-age-group/">setidaknya setengah dari populasi manusia saat ini akan berusia lebih dari 50 tahun pada 2050</a>. Kita perlu menjaga pikiran dan ingatan kita agar dapat menikmati tahun-tahun di masa tua yang berharga.</p>
<p>Socrates pernah berbicara tentang konsep yang disebut "eudaimonia,” yang berarti “tumbuh dalam kehidupan.” Terlalu banyak kesenangan dan kita akan menjadi layu. Terlalu banyak cita-cita dan kita akan menjadi stres. Tapi ketika kesenangan dan cita-cita sama-sama tinggi, maka kita akan mencapai keadaan “eudaimonia”, <a href="https://forum.agewell-nce.ca/index.php/PL:Deborah.Fels">menurut Deborah Fels</a>, seorang ahli terkemuka Kanada dalam bidang penuaan dan aksesibilitas.</p>
<p>Kemampuan belajar jelas adalah hal terbaik yang dimiliki manusia. Kita tidak memiliki kelincahan seperti harimau atau umur panjang seperti pohon sequoia, tapi kita terus belajar tanpa henti dan hal itulah yang membuat kita berbeda. Belajar tentang diri kita dan dunia mungkin menjadi kunci menuju kebahagiaan dan kesehatan pada tahun-tahun emas kita.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Muhammad Gaffar.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/109884/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>David Chandross receives funding from CCABHI through Baycrest Health Sciences and Ryerson University for the purposes of this study only.</span></em></p>Pendidikan tinggi untuk para lansia memberikan harapan untuk melawan isolasi sosial, meningkatkan kesejahteraan dan menunda serangan, atau memperlambat timbulnya penyakit demensia.David Chandross, Program coordinator; researcher, Toronto Metropolitan UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1036472018-09-25T07:00:50Z2018-09-25T07:00:50ZPada 2045, 1 dari 5 orang Indonesia akan berusia lanjut. Beban atau potensi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/237754/original/file-20180924-85785-1plemw7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTUzNzgyMTc4NSwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTA3MTU3OTYxNCIsImsiOiJwaG90by8xMDcxNTc5NjE0L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sImt1OEJndXo4OHlLZ1FMb2tWWmp4T0JBbGl5TSJd%2Fshutterstock_1071579614.jpg&pi=41133566&m=1071579614">Naypong Studio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Akhir Agustus lalu, Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merilis proyeksi penduduk Indonesia yang menunjukkan jumlah <a href="https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub-pdf/Proyeksi%20Penduduk%202015-2045_.pdf">penduduk lanjut usia (lansia) mencapai 19,8%</a> pada 2045. Jumlah tersebut dua kali lipat lebih dibanding pada 2015 yang hanya 9%. </p>
<p>Dengan komposisi seperti itu, maka tepat satu abad Indonesia nanti, satu dari lima orang Indonesia merupakan orang-orang sepuh di atas 60 tahun. Makin menurunnya angka fertilitas dan meningkatnya umur harapan hidup (dari 72,51 tahun pada 2015 menjadi 75,47 tahun pada 2045) menyebabkan lonjakan jumlah kaum sepuh tersebut. </p>
<p>Penurunan angka fertilitas merupakan hasil dari pelaksanaan program keluarga berencana (KB) sedangkan <a href="https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3841352/angka-harapan-hidup-indonesia-terus-naik-apa-artinya">peningkatan umur harapan hidup</a> secara tidak langsung disebabkan oleh sistem dan pelayanan kesehatan yang semakin baik. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan <a href="https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub-pdf/Proyeksi%20Penduduk%202015-2045_.pdf">rasio ketergantungan</a> secara ekonomi sebesar 53,35. Ini berarti terdapat 53 penduduk dalam kelompok usia yang tidak bekerja untuk setiap 100 penduduk yang bekerja pada 2045.</p>
<p>Sebenarnya, penuaan penduduk (<em>ageing population</em>) Indonesia telah diketahui sejak lama melalui proyeksi penduduk dalam periode tertentu. Dulu masalah penuaan dalam struktur penduduk dianggap tidak mendesak, tapi kini perlu diberi perhatian lebih besar. </p>
<p>Kelompok lansia sering dianggap sebagai kelompok rentan yang tidak produktif baik secara ekonomi maupun sosial. Padahal dalam <a href="http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17464/node/573/undangundang-nomor-13-tahun-1998">Undang-Undang Kesejahteraan Lanjut Usia</a>, mereka dikelompokkan dalam kategori potensial bila orang lansia tersebut masih produktif secara ekonomi maupun sosial. Kelompok lansia masuk kategori tidak potensial bila secara ekonomi mereka bergantung pada orang lain. Sehingga tidak semua orang lansia merupakan kelompok rentan yang tidak produktif.</p>
<p>Kabar baiknya, budaya Indonesia yang menghargai lanjut usia menjadi kekuatan menghadapi masalah ini.</p>
<h2>Kebijakan yang ‘memanjakan’</h2>
<p>Narasi kebijakan tentang lansia di Indonesia sudah ada <a href="http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1965_4.pdf">sejak 1965</a> dengan lahirnya Undang-Undang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo. Awalnya kebijakan tersebut hanya memenuhi kebutuhan lansia secara ekonomi melalui pemberian bantuan penghidupan. Lalu pada 1998, dua puluh tiga tahun setelah penetapan regulasi yang pertama, <a href="http://www.bphn.go.id/data/documents/98uu013.pdf">terbit Undang-Undang Kesejahteraan Lanjut Usia yang baru</a> untuk mengakomodasi permasalahan lansia yang tidak terbatas pada masalah ekonomi saja.</p>
<p>UU baru tersebut menjadi pionir dalam membentuk pandangan pemerintah dan masyarakat terhadap masalah lansia yang mencakup pemenuhan hak dari aspek ekonomi, psikologi, sosial dan kesehatan. Selanjutnya pada 2009, kelompok lansia mendapatkan perhatian dalam <a href="https://sireka.pom.go.id/requirement/UU-36-2009-Kesehatan.pdf">UU Kesehatan</a> dan <a href="http://jdih.bkkbn.go.id/produk/detail/?id=36">UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan keluarga</a>. </p>
<p>Dalam agenda nasional, kelompok lansia juga mendapat perhatian agar kebutuhan dasar dan perlindungan sosialnya dapat terpenuhi.</p>
<p>Karena itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki program untuk memenuhi agenda nasional tersebut. Program ini antara lain, bina keluarga lansia (BKL) berupa pendampingan lansia oleh BKKBN, posyandu lansia oleh Kementerian Kesehatan dan asistensi lanjut usia terlantar (ASLUT) berupa pemberian bantuan ekonomi dan sosial oleh Kementerian Sosial. </p>
<p>Semua program tersebut diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar lansia sehingga memiliki kehidupan yang berkualitas.</p>
<h2>Determinan kualitas hidup lansia</h2>
<p>Hasil kajian kami, <a href="https://kependudukan.lipi.go.id">Pusat Penelitian Kependudukan LIPI</a>, terhadap 401 orang lansia di Kota Medan pada 2017 tentang penentu kualitas hidup lansia menunjukkan bahwa sebagian besar lansia memiliki kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup lansia dipengaruhi oleh faktor kesehatan, peran keluarga serta interaksi lansia dengan lingkungan sosial.</p>
<p>Dari sisi kesehatan, penyakit lansia umumnya merupakan penyakit tidak menular yang bersifat degeneratif atau disebabkan oleh faktor usia misalnya hipertensi, stroke, penyakit jantung, diabetes melitus dan asam urat. Penanggulangan terhadap masalah ini tidak cukup hanya pelayanan kesehatan saat seseorang telah menjadi lansia. Penyebab penyakit tidak menular tersebut umumnya berasal dari pola makan dan gaya hidup tidak sehat seperti merokok dan alkohol, sehingga pencegahan perlu dilakukan sejak dini. Bahkan sebelum seseorang menjadi lansia.</p>
<p>Faktor lainnya, peran keluarga akan memenuhi kebutuhan lansia secara psikologis melalui komunikasi dan peran lansia di dalam keluarga. Hal ini didukung perkembangan teknologi saat ini mempermudah terjadinya komunikasi jarak jauh termasuk bagi lansia dan keluarganya. Lalu faktor interaksi dengan lingkungan sosial juga memperbesar peluang lansia untuk produktif secara sosial sehingga hidupnya terasa lebih berkualitas.</p>
<h2>Peran keluarga dan lingkungan sosial</h2>
<p>Budaya Indonesia yang sangat menghormati dan menghargai seseorang yang lebih tua menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi tantangan <em>ageing population</em> pada masa mendatang. Hal ini terbukti dengan <a href="http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/170829%20TNP2K%20Profil%20Lansia%20dan%20Keterjangkauan%20SP-Final_290817-1.pdf">data terpadu pada 2015</a> yang menunjukkan bahwa 38% lansia tinggal bersama keluarga dan 24% lansia tinggal dengan tiga generasi. </p>
<p>Berbeda dengan <a href="https://theconversation.com/perawat-migran-indonesia-di-jepang-gajinya-tinggi-apakah-mereka-bahagia-90841">Jepang yang merupakan negara dengan proporsi lansia terbesar</a> di dunia yang kebanyakan lansianya hidup sendiri, sehingga membutuhkan fasilitas perawatan lansia. Karena itu, Jepang menyediakan berbagai fasilitas memadai untuk lansia seperti pusat fasilitas kesehatan dan kesejahteraan lansia (<em>silver center</em>), panti werdha (<em>rojin home</em>), dan pelayanan penitipan lansia harian (<em>day care</em>).</p>
<p>Meski fasilitas di Indonesia masih jauh dari Jepang, budaya dan lingkungan sosial yang kita miliki memungkinkan untuk mewujudkan lansia yang berkualitas hidup baik, dilihat dari faktor peran keluarga dan interaksi sosial.</p>
<p>Mewujudkan kelompok lansia yang potensial dengan hidup yang berkualitas bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah atau pihak-pihak tertentu, melainkan tanggung jawab kita semua. Bayi yang lahir saat ini, remaja yang hidup saat ini dan orang-orang dewasa yang tengah beraktivitas saat ini kelak akan masuk ke dalam kelompok lansia. </p>
<p>Karena itu, perlu peran keluarga yang berpartisipasi dengan pendekatan siklus kehidupan untuk memastikan orang lansia Indonesia sehat. Mulai dari seorang ibu hamil yang sehat dan melahirkan bayi sehat (tidak lahir dengan berat bayi rendah atau kelainan lainnya). Selanjutnya bayi memiliki tumbuh kembang yang baik tanpa masalah <a href="https://theconversation.com/sains-sekitar-kita-ancaman-stunting-di-indonesia-dan-cara-mengatasinya-98786">gizi buruk maupun <em>stunting</em></a>. </p>
<p>Anak akan menjadi remaja putri maupun laki-laki yang perlu dijaga pula supaya tidak terjebak dalam pergaulan bebas seperti merokok, alkohol, dan seks bebas dan mengalami kekurangan anemia zat besi untuk remaja putri. Pola hidup sehat yang diterapkan sejak masih muda menjadi kunci terhindarnya seseorang dari berbagai penyakit pada masa tua.</p>
<p>Melalui peran dari individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah, niscaya manusia Indonesia akan menjadi orang lansia berkualitas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/103647/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Marya Yenita Sitohang tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski fasilitas di Indonesia masih jauh dari Jepang, budaya dan lingkungan sosial yang kita miliki memungkinkan untuk mewujudkan lansia yang berkualitas hidup baik.Marya Yenita Sitohang, Peneliti Bidang Keluarga dan Kesehatan Pusat Penelitian Kependudukan, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.