tag:theconversation.com,2011:/us/topics/lgbtiqia-56530/articlesLGBTIQIA – The Conversation2023-03-19T03:28:31Ztag:theconversation.com,2011:article/1963572023-03-19T03:28:31Z2023-03-19T03:28:31ZAjaran tradisional agama Buddha tidak mengakui LGBTQ dalam kehidupan biara, tapi ini semua perlahan berubah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/515998/original/file-20230317-19-ttn2kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=7%2C23%2C5168%2C3422&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi umat Buddha.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/monks-fall-inline-on-sidewalk-994807/">Sadaham Yathra/Pexel</a></span></figcaption></figure><p>Gambaran simbolis biarawati yang bermeditasi dalam sunyi atau biksu yang melantun sering kali menjadi cerminan praktik agama Buddha. Representasi semacam itu kemungkinan membuat ajaran dan praktik Buddha tampak berlandaskan pada norma-norma heteroseksual. Namun, ternyata kini ada banyak diskusi tentang berbagai ekspresi seksualitas dan orientasi seksual manusia dalam literatur Buddhisme pramodern.</p>
<p>Dalam perdebatan kontemporer tentang gender, pendefinisian terkait identitas nonbiner (identitas gender yang tidak merujuk pada laki-laki maupun perempuan) sudah terjadi <a href="https://www.latimes.com/world-nation/story/2022-11-10/himalayan-kingdom-bhutan-lgbtq-revolution">di banyak negara yang mempraktikkan agama kuno ini</a>.</p>
<p>Fokus keilmuan saya adalah gender dan seksualitas dalam Buddhisme. <a href="https://denison.academia.edu/JueLiang">Penelitian saya</a> menunjukkan bahwa kehidupan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/9781119315049.ch5"><em>queer</em></a> (individu dengan orientasi seksual yang bukan heteroseksual, heteronormatif, atau gender biner) dalam konteks penahbisan monastik (pengesahan untuk menjadi biksu atau biksuni) dalam Buddhisme tradisional tampaknya perlahan mulai berubah.</p>
<h2>Etika spiritual</h2>
<p>Monastisisme, ketika individu melepaskan semua ikatan sekuler dan mengabdikan diri untuk pembelajaran serta prakrik kerohanian, bisa dibilang mencerminkan cita-cita tertinggi pemeluk agama Buddha.</p>
<p>Karena dedikasinya dalam kehidupan keagamaan, para biksu (laki-laki) dan biksuni (perempuan) menjadi panutan yang dihormati pemeluk Buddha dan memberikan bimbingan dalam praktik ajaran Buddha. Sebagai imbalannya, umat Buddha biasanya memberikan dukungan material kepada komunitas monastik.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="A statue of Buddha against a backdrop of pillars and reddish stones." src="https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1118&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1118&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/494934/original/file-20221112-12-8a4a46.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1118&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Buddha dalam posisi duduk.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/MqDEA-4FWL4">Jessica Rigollot for Unsplash</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Idealisme Buddha terkait pencerahan sering kali sulit dideskripsikan melalui bahasa maupun logika, termasuk pandangan tentang identitas gender. Ini salah satunya ditunjukkan oleh deklarasi populer dalam teks abad pertama, “Vimalakīrti-nirdeśa Sutra,” atau dapat diartikan sebagai “Dalam pencerahan, tidak ada laki-laki atau perempuan.”</p>
<p>Meski demikian, dalam praktiknya, ajaran Buddha sering mengelompokkan umatnya berdasarkan gender laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Empat pilar komunitas Buddhis, atau <a href="https://doi.org/10.1007/978-3-030-24348-7_614">sangha</a> – terdiri dari biksuni, biksu, umat perempuan biasa dan umat laki-laki biasa - diatur berdasarkan gender. Struktur gender ini juga berfungsi dalam pengaturan kehidupan monastik: biksu dan biksuni tinggal, belajar, dan berlatih di tempat yang terpisah.</p>
<p>Pengelompokan ini juga berlaku dalam pengajaran kepada publik. Pengaturan tempat duduk biasanya menempatkan para biksu dan biksuni di depan, terpisah secara gender, kemudian umat biasa di belakang, juga dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Mereka yang tidak termasuk dalam kategori laki-laki atau perempuan tidak bisa mendapat tempat yang jelas dalam komunitas Buddha yang ideal ini.</p>
<h2>Perbedaan seksual</h2>
<p>Salah satu contoh di antara kelompok penganut Buddha yang tidak setuju dengan adanya susunan gender biner adalah kelompok <em>queer</em> yang disebut “paṇḍaka”.</p>
<p>Istilah Sanskerta ini dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai individu “tanpa testis.” Ada pula penafsiran yang menyebut mereka sebagai kelompok yang <a href="https://sunypress.edu/Books/B/Buddhism-Sexuality-and-Gender2">gagal menyesuaikan diri</a> dengan ekspektasi peran maskulin secara tradisional. Seorang paṇḍaka bisa saja seseorang yang impoten, baik dari bawaan lahir ataupun yang hanya sesaat, atau seseorang yang hasrat seksualnya bisa dianggap nontradisional. Istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai “<em>queer</em>”.</p>
<p>Sikap dalam agama-agama pramodern di India, termasuk Buddhisme, Hinduisme, dan Jainisme, cenderung meremehkan paṇḍaka atau <em>queer</em>. Mereka dikhawatirkan akan “menggoda” umat lainnya dan, karenanya, tidak diakui dalam <a href="https://sunypress.edu/Books/B/Buddhism-Sexuality-and-Gender2">proses penahbisan kehidupan monastik</a>. Catatan-catatan semacam itu bisa kita temukan dalam literatur Buddhisme awal yang berusia lebih dari 2.000 tahun.</p>
<p>Bahkan, hingga saat ini, untuk diterima menjadi bagian dari kehidupan biara Buddha, seseorang harus memenuhi <a href="https://blogs.dickinson.edu/buddhistethics/files/2021/12/Artinger_21_FD.pdf">sejumlah persyaratan</a>. Ini termasuk memiliki alat kelamin yang jelas.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Buddhist monks with shaved heads and wearing traditional orange robes sit on the floor of a temple." src="https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=750&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=750&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=750&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=943&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=943&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/494938/original/file-20221112-12-u7fatx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=943&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seumur hidup, para biksu Buddha melakukan praktik meditasi dan doa.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/HqGVOC-nydA">Evan Krause for Unsplash</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pengecualian <em>queer</em></h2>
<p><a href="http://www.leylandpublications.com/gsnewandrecent.htm">Satu masalah</a> tentang penyertaan individu LGBTQ dalam komunitas Buddha adalah bahwa jenis kelamin nonbiner mereka dianggap tidak masuk ke kategori manapun dalam struktur empat pilar sangha. Hal lainnya adalah kekhawatiran terkait upaya menjaga kemurnian dan reputasi ordo monastik selibat (tidak boleh kawin).</p>
<p>Oleh karena itu, kerangka Buddhisme ini menekankan cara menciptakan dan memelihara keteraturan monastik sebagai komunitas teladan etis yang mampu mengejar praktik spiritual.</p>
<p>Dalam Buddhisme, ada keyakinan bahwa apa yang kita tuai dari tindakan moral kita di masa lalu, akan berwujud dalam tubuh kita. Tubuh Buddha yang sempurna dianggap sebagai hasil dari kebajikannya.</p>
<p>Teks Buddhisme tradisional mengajarkan bahwa ekspresi seksual dan <em>queerness</em> memiliki <a href="https://tricycle.org/article/buddhisms-lgbt-history/">implikasi secara etika</a>. Menjadi <em>queer</em> secara seksual menyiratkan seolah adanya karma dari tindakan negatif di masa lalu. Dalam beberapa kasus, ini dijadikan dasar pembenaran untuk mengucilkan mereka dari kehidupan monastik – tetapi bukan dari praktik Buddha secara umum.</p>
<p>Referensi terkait umat Buddha LGBTQ dalam literatur Buddhisme pramodern masih sangat sedikit dan jarang. Kalaupun ada, sebagian besar berupa <a href="https://blogs.dickinson.edu/buddhistethics/files/2021/12/Artinger_21_FD.pdf">perintah untuk membatalkan penahbisan mereka</a> seperti yang termuat dalam literatur tentang Vinaya, yakni istilah terkait kedisiplinan praktisi Buddhisme.</p>
<h2>Pergeseran norma seksual</h2>
<p>Karena kurang terwakili dalam praktik biara Buddha, umat Buddha LGBTQ dalam beberapa dekade terakhir telah berusaha untuk lebih dilibatkan dalam komunitas ini.</p>
<p>Beberapa penampil <a href="https://doi.org/10.1080/0966369X.2021.1997937">kathoey</a> – istilah untuk menyebut perempuan transgender atau laki-laki gay yang tidak sesuai dengan kategori gender tradisional di Thailand – telah menerima penahbisan monastik berdasarkan jenis kelamin mereka ketika lahir. Namun, hal ini tak lepas dari kontroversi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/z63YdzMzBsY?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p><a href="https://www.telegraph.co.uk/news/newstopics/howaboutthat/5233282/Thailands-gay-monks-given-good-manners-guide.html">Dewan Sangha Thailand</a>, badan yang mengatur ordo Buddha di Thailand, mencoba untuk melarang praktik-praktik tersebut pada tahun 2009.</p>
<p>Buddhisme Thailand adalah bagian dari tradisi Theravada, dipraktikkan juga di Sri Lanka dan di banyak bagian Asia Tenggara. Di luar tradisi Theravadam dan dalam Mahāyāna dan Vajrayāna, prasyarat untuk memiliki identitas <a href="https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/adult-health/in-depth/transgender-facts/art-20266812">cisgender</a> agar bisa ditahbiskan sebagai praktisi kehidupan monastik mulai berubah.</p>
<p>Seorang biksu yang tidak ditahbiskan secara penuh dalam tradisi Theravada karena identitas <em>queer</em>-nya, bisa diterima di komunitas Buddha Tibet di India.</p>
<p><a href="https://www.nytimes.com/2007/03/18/books/review/Roach.t.html">Michael Dillon</a>, contohnya, lahir sebagai anak perempuan di London Barat pada tahun 1915 – ia sebelumnya bernama Laura. Ia ditolak untuk mendapat penahbisan secara penuh dalam tradisi Theravada setelah “terungkap” menjadi transgender. Namun, <a href="https://www.google.com/books/edition/Imji_Getsul/WTkYnQAACAAJ?hl=en">Dillon</a> ditahbiskan kembali sebagai biksu pemula dalam tradisi Tibet dan dijanjikan penahbisan penuh – sayangnya ia meninggal sebelum itu terjadi. Dillon menulis <a href="https://www.fordhampress.com/9780823280391/out-of-the-ordinary/">buku pendek</a> tentang perjuangannya mengubah gender dan diterima dalam komunitas Buddha. Dalam bukunya, ia berpendapat bahwa ajaran Buddha harus mengakomodasi definisi gender yang lebih luas.</p>
<p>Contoh lain adanya praktisi monastik yang transgender dan <em>queer</em> di antara penganut Buddha Tibet termasuk <a href="https://tricycle.org/magazine/tenzin-mariko/">Tenzin Mariko</a>, Buddhis Tibet pertama yang secara terbuka mengemban identitas transgender. Mariko yang merupakan mantan biksu dan kontestan Miss Tibet 2015 sekarang menjadi aktivis hak LGBTQ. Dia sering mengatakan bahwa inspirasinya bersumber dari pelatihan monastik dan ajaran Buddha terkait kebaikan.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1163/18785417-bja10010">Tashi Choedup</a>, seorang praktisi monastik transgender, juga pernah menceritakan pengalamannya tentang <a href="https://khamgardrukcollege.org/the-9th-khamtrul-rinpoche-gyalwo-do-khampa-shedrub-nyima/">gurunya</a> yang tidak pernah menanyakan tentang identitas gender mereka, sesuai ajaran Vinaya, selama penahbisannya. Choedup menghadiri <a href="https://www.rootinstitute.ngo/">lembaga monastik</a> Buddha yang inklusif, yang <a href="https://www.buddhistdoor.net/news/buddhist-transgender-monastic-works-for-awareness-and-inclusivity-in-india/">tidak membeda-bedakan gender</a> secara kaku. Choedup sekarang bekerja untuk membangun kesadaran dan inklusivitas bagi komunitas transgender Buddha.</p>
<p>Penafsiran dogmatis tentang keanggotaan dalam komunitas monastik yang membatasi penahbisan kathoey dan Dillon tampaknya mulai berubah. Pengalaman Mariko dan Choedup menunjukkan adanya kemajuan dan menjanjikan perubahan kelembagaan yang lebih luas bagi umat Buddha.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196357/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jue Liang tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Secara tradisional, untuk diterima menjadi bagian dari kehidupan biara Buddha, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk memiliki identitas seksual yang “jelas”.Jue Liang, Assistant Professor, Denison UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1939572022-11-04T10:22:33Z2022-11-04T10:22:33Z‘Saya tak akan pernah dianggap manusia’: trauma menyakitkan yang dialami komunitas LGBTQ+ di lingkungan religius<p>Saat pemerintah Australia membahas undang-undang diskriminasi agama (<a href="https://theconversation.com/the-debate-about-religious-discrimination-is-back-so-why-do-we-keep-hearing-about-religious-freedom-169643"><em>religious discrimination bill</em></a>) yang kontroversial pada awal tahun ini, berbagai pihak mempertanyakan isu penting terkait perlindungan bagi murid-murid gay dan transgender di sekolah-sekolah keagamaan. </p>
<p>Ini muncul setelah sekolah keagamaan Citipointe Christian College di Brisbane <a href="https://www.abc.net.au/news/2022-02-05/qld-citipointe-christian-college-principal-steps-down-leave/100807242">menuai kritik</a> karena mengirim kontrak pendaftaran ulang ke orang tua siswa yang memuat pasal-pasal terkait gender dan seksualitas. Pasal tersebut mengibaratkan bahwa orientasi homoseksual sama parahnya dengan bestialitas (hubungan seksual dengan hewan) dan pedofilia (ketertarikan seksual kepada anak-anak). Kontrak tersebut kemudian dicabut dan sang kepala sekolah mundur sementara.</p>
<p>Sekolah swasta lain di Sydney juga <a href="https://www.theguardian.com/australia-news/2022/feb/07/sydney-private-school-lists-same-sex-relationships-along-with-abusive-relationships-as-not-acceptable">menuai respons tajam</a> karena memuat “pernyataan keyakinan” (<em>statement of faith</em>) dalam dokumen pendaftaran murid. Dokumen itu menyebutkan bahwa hubungan sesama jenis dan identitas transgender “tidak diterima oleh Tuhan”.</p>
<p>Yang dilakukan sekolah-sekolah keagaman di Australia ini bukanlah hal baru. Praktik meminggirkan individu LGBTQIA+ dari ruang religius punya sejarah yang panjang dan berkelok.</p>
<p>Sebagai seorang laki-laki gay dan pastor yang sebelumnya memiliki pandangan konservatif, <a href="https://ses.library.usyd.edu.au/handle/2123/26319">saya melakukan riset</a> untuk memahami pengalaman orang-orang yang harus melalui dinamika kompleks ini. Saya mewawancarai 24 individu LGBTQIA+ yang telah terlibat di beragam denominasi Kristen konservatif, dan banyak di antaranya yang menempuh pendidikan di sekolah keagamaan.</p>
<p>Wajar jika seseorang berpikir bahwa komunitas LGBTQIA+ dan gereja itu (sebagaimana yang dikatakan salah satu responden saya) “layaknya minyak dan air” – keduanya seakan tidak bisa bercampur. Tapi, sebanyak <a href="https://www.abs.gov.au/ausstats/abs@.nsf/Lookup/2071.0main+features852016">32% pasangan homoseksual di Australia mengaku sebagai pemeluk agama Kristen</a>.</p>
<p>Seiring waktu, kehadiran para individu LGBTQIA+ yang memeluk agama Kristen ini juga semakin terlihat di masyarakat dan suara mereka semakin didengar.</p>
<p>Kisah-kisah dari para partisipan riset saya, hampir seluruhnya menggambarkan trauma keagamaan (<em>religious trauma</em>) yang sangat jelas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lgbt-dan-inklusi-sosial-apa-kata-survei-91580">LGBT dan inklusi sosial: apa kata survei?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memahami trauma keagamaan</h2>
<p>Trauma keagamaan (<em>religious trauma</em>) didefinisikan sebagai “<a href="https://www.jstor.org/stable/10.13186/group.37.4.0323">dampak buruk secara psikoligis yang meluas, yang bisa muncul akibat pesan, keyakinan, dan pengalaman keagamaan yang dialami seseorang</a>”.</p>
<p>Bayangkan seorang murid remaja di sekolah keagamaan yang mulai menyadari bahwa orientasinya tidak serta merta heteroseksual. Dalam lingkungan seperti ini, murid tersebut bisa saja diperingatkan setiap hari bahwa seksualitas mereka itu rusak, serta merupakan noda dan sumber rasa malu atau ulah setan.</p>
<p>Mereka juga mendapat peringatan tidak boleh mengalami relasi yang intim karena hal tersebut menandakan bahwa mereka ditakdirkan masuk neraka.</p>
<p>Berdasarkan penuturan para partisipan saya, pesan-pesan semacam ini kerap disampaikan secara halus oleh rohaniwan di koridor-koridor sekolah, secara lantang oleh rekan murid di taman bermain, dan secara formal oleh staf sekolah. Mereka membandingkan orang gay dengan seorang pembunuh. Individu transgender digambarkan sebagai ancaman terhadap lingkungan sosial.</p>
<p>Para orang tua kemudian menyerap pesan-pesan ini dan menerapkannya pada anak-anak mereka, baik secara eksplisit maupun dalam diam.</p>
<p>Dalam riset saya, seorang partisipan menceritakan ulang obrolan yang ia dengar di suatu kelompok anak muda gereja saat ia remaja. Momen ini terjadi ketika ia tengah berproses menyadari dan menerima identitas seksualnya.</p>
<blockquote>
<p>It was a talk just about relationships […] and point seven of 15 was ‘being gay is not real’. It was such a confronting thing to hear when I was just at the pinnacle of realising what was happening for me, here was someone saying it doesn’t even exist. ‘It’s a disease that can be healed.’</p>
<p>(Obrolannya hanya tentang hubungan […] dan poin ke-7 dari 15 adalah bahwa ‘menjadi gay itu bukan hal yang nyata’. Saya merasa tertohok saat mendengarnya, apalagi ketika saya tengah di penghujung untuk proses menyadari apa yang terjadi pada saya, kemudian ada orang yang bilang bahwa perasaan ini tidak nyata, bahwa ‘ini adalah penyakit yang bisa disembuhkan.’)</p>
</blockquote>
<p>Seorang laki-laki lain yang masih muda menceritakan kepada saya tentang traumanya pada masa remaja ketika ia dipaksa menghadiri konseling.</p>
<blockquote>
<p>That was probably the lowest point that it ever got, because it was just a constant barrage of being told that I am horrible, that I am never going to amount to anything in life. And because of this small difference, I will never be considered human, never be considered like everybody else, never be loved, never be accepted, never have a wife. </p>
<p>(Itu mungkin adalah titik terendah, karena saya terus-terusan diberi tahu bahwa saya ini sangat buruk, bahwa saya tidak akan pernah jadi apa-apa dalam hidup. Dan karena perbedaan kecil ini, saya tak akan pernah dianggap manusia, tidak akan dianggap seperti orang-orang lainnya, tidak akan dicintai, tidak akan diterima atau punya pasangan.)</p>
</blockquote>
<p>Saya juga menanyakan seorang perempuan muda apa yang menurutnya perlu dipahami oleh tokoh-tokoh agama Kristen. Ia menjawab:</p>
<blockquote>
<p>They are not being driven to the edge of suicide because of what they believe, but I am, because of how they have treated me.</p>
<p>(Mereka tidak tahu rasanya ingin hampir bunuh diri karena apa yang mereka percayai. Saya mengalaminya, akibat cara mereka memperlakukan saya.)</p>
</blockquote>
<p>Riset saya menemukan bahwa orang-orang <em>queer</em> bisa jadi mengalami puluhan atau bahkan ratusan momen-momen semacam ini sepanjang kehidupan sehari-hari mereka. Momen-momen inilah yang menyadarkan mereka bahwa mereka tidak sedang berada di lingkungan yang aman.</p>
<p>Seiring waktu, momen yang besar maupun kecil seperti ini (sering disebut sebagai <a href="https://psycnet.apa.org/record/2015-30580-001">‘<em>microaggression</em>’</a>) terus menumpuk dan hampir pasti akan memperburuk kesehatan mental seseorang. Riset menunjukkan bahwa anak muda LGBTQIA+ yang terekspos pesan-pesan berbasis keagamaan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00918369.2014.1003009?journalCode=wjhm20">secara drastis lebih tinggi kemungkinannya</a> untuk mengekspresikan keinginan melukai diri sendiri (<em>self-harm</em>) atau keinginan bunuh diri (<em>suicide ideation</em>). </p>
<h2>Yang dibutuhkan orang <em>queer</em> religius untuk merasa aman</h2>
<p>Karena mereka merupakan bagian dari komunitas termarjinalkan, pemeluk agama – yang dalam konteks riset saya adalah agama Kristen – yang <em>queer</em> tak serta merta mendapatkan manfaat dukungan sosial dan faktor pelindung yang secara umum tersedia bagi populasi pemeluk agama tersebut.</p>
<p>Pihak yang semestinya memberikan keamanan dan perlindungan bagi mereka (orang tua, guru, dan pastor), dalam banyak kasus, justru menjadi pihak yang menyebabkan dampak buruk dan trauma. Para peniliti ilmu perilaku mengkategorikan pengalaman ini sebagai bentuk <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26460976/">stres minoritas</a>. </p>
<p>Seorang partisipan membagikan pengalamannya:</p>
<blockquote>
<p>When you’re in a Christian school, the last thing that you expect is full-on bullying from your own Christian teachers and leaders. They are the ones that you want to reach out to for help, but they were the last people that I wanted to go to and the last people that I felt safe around.</p>
<p>(Ketika kita belajar di sekolah Kristen, hal terakhir yang kita harapkan adalah perundungan frontal oleh guru dan pimpinan sekolah. Merekalah yang harusnya bisa kita andalkan ketika kita butuh bantuan, tapi mereka malah menjadi orang terakhir yang ingin saya temui dan justru membuat saya merasa tidak aman.)</p>
</blockquote>
<p>Semua ini dibangun atas dasar interpretasi kitab suci yang menekankan bahwa Tuhan menciptakan manusia hanya sebagai makhluk yang heteroseksual dan cisgender – selain itu adalah bentuk “kerusakan”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-bagaimana-muslim-memahami-identitas-gender-yang-beragam-177614">Riset: bagaimana Muslim memahami identitas gender yang beragam?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tapi, penting untuk kita catat bahwa beberapa kritik paling keras terhadap Citipointe Christian College justru datang dari <a href="https://www.ascqld.org/wp-content/uploads/2022/01/2022-01-L-Heads-and-Chairs-1.pdf?fbclid=IwAR2ibBRk5iOLCwOA9_W-iFCXDFlRiCqlIL4KCjW9y-rBPR1G_bkFgfEcRwo">pemeluk Kristen lainnya</a> (banyak di antaranya <a href="https://www.abc.net.au/religion/why-we-refuse-to-sign-citipointe-college-disciminatory-contract/13736394">punya koneksi dengan sekolah</a>).</p>
<p>Ini adalah bukti bahwa ada sebagian besar (dan terus tumbuh) dari gereja yang tengah berupaya memahami kembali pesan-pesan kitab suci seiring munculnya temuan-temuan riset terkait gender dan seksualitas.</p>
<p>Solusi legislatif hanya satu dari sekian respons terhadap kompleksitas eksklusi komunitas LGBTQIA+. Sebagai masyarakat, kita perlu terus berupaya memahami isu-isu ini tanpa jatuh pada perangkap “Kristen versus komunitas <em>queer</em>”.</p>
<p>Dan, meski memahami berbagai pengalaman terkait trauma ini adalah hal yang vital, perbaikan hanya bisa dilakukan ketika orang-orang <em>queer</em> merasa aman untuk berhubungan dengan komunitas keagamaan tanpa adanya ancaman diskriminasi. Para tokoh agama kini perlu bergelut dengan bagaimana caranya melakukan ini. Perubahan tengah terjadi, tapi jalan menuju inklusivitas masih cukup jauh.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/193957/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joel Hollier tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Praktik meminggirkan individu LGBTQIA+ dari ruang religius punya sejarah yang panjang dan berkelok. Riset baru saya mengungkap pengalaman 24 orang di Australia yang mengalami hal tersebut.Joel Hollier, Sessional Academic, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1857712022-06-24T08:48:43Z2022-06-24T08:48:43ZPride Month: mengapa kelompok LGBTQ belum bebas dari diskriminasi dan persekusi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/470723/original/file-20220624-14-osi8hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C25%2C5760%2C3802&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/5n6HfCmt5BFfaNLPALWHVq?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Kelompok minoritas gender dan seksual – Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ) – memperingati bulan Juni setiap tahunnya sebagai <a href="https://www.idntimes.com/science/discovery/belinda-belinda/sejarah-pride-month-kelompok-lgbtq-c1c2"><em>Pride Month</em> </a>atau Bulan Kebanggaan.</p>
<p>Momen ini biasanya digunakan oleh kelompok LGBTQ untuk mengekspresikan identitas gender dan seksual mereka. Tujuannya untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kebebasan berekspresi dan pemenuhan hak-hak asasi kelompok minoritas.</p>
<p>Perayaan <em>Pride Month</em> biasanya dilakukan <a href="https://www.dw.com/id/pride-month-potret-kebebasan-lgbt-di-indonesia/a-62050251">melalui beragam acara</a>, termasuk parade, pawai, maupun aksi damai menuntut penghapusan diskriminasi berbasis gender. </p>
<p>Sayangnya, di Indonesia, kelompok minoritas gender dan seksual justru menghadapi pola diskriminasi yang semakin intens, bahkan di dunia maya. Kehidupan LGBTQ – termasuk di media sosial – di Indonesia makin terancam.</p>
<p>Irwan Martua Hidayana, Asisten Profesor dari Departemen Antropologi, Universitas Indonesia, mengatakan bahwa salah satu faktor terbesar menguatnya sentimen anti-LGBTQ adalah narasi agama yang hanya mengakui heteroseksual sebagai satu-satunya orientasi seksual yang “normal”.</p>
<p>Terlebih lagi, pemerintah juga ikut-ikutan menjadi pelaku diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ, terutama menjelang tahun-tahun politik. Banyak politisi yang memanfaatkan isu LGBTQ sebagai alat untuk mendulang suara pemilih.</p>
<p>Dalam episode ini, kami berdiskusi lebih lanjut dengan Irwan tentang situasi yang dialami kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia, apa sebenarnya yang mereka harapkan, dan bagaimana seharusnya sikap pemerintah serta para pembuat kebijakan.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkapnya di SuarAkademia - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185771/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di Indonesia, kelompok minoritas gender dan seksual masih menghadapi pola diskriminasi yang semakin intens. Kehidupan para LGBTQ di Indonesia makin terancam, bahkan di media sosial.Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation IndonesiaRino Putama, Multimedia Producer, The Conversation IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/992212018-07-16T10:54:20Z2018-07-16T10:54:20ZSeks dan gender menentukan kesehatan Anda, dengan cara yang berbeda<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/226868/original/file-20180710-70066-1k7z4s3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gender tidak memberitahu kita tentang orientasi seksual.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/497585824?src=OlTHW40LeEVSY72W5pqXpA-1-89&size=medium_jpg">Rawpixel.com/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Ketika Anda berpikir tentang gender, apa yang muncul dalam pikiran Anda? Apakah Anda memikirkan anatomi manusia atau cara orang berpakaian atau berperilaku? Apa Anda memandang gender sebagai sesuatu yang biner–laki-laki dan perempuan? Apakah gender menentukan orientasi seksual? </p>
<p>Gender sering disamakan dengan jenis kelamin–oleh para peneliti dan juga oleh mereka yang diteliti, terutama di bidang kesehatan. Baru-baru ini, saya menelusuri sebuah <em>database</em> riset kesehatan dan mencari makalah dengan kata “gender” pada judulnya. Dari 10 judul artikel yang muncul di daftar halaman awal, seluruhnya menggunakan kata “gender” sebagai sinonim dari jenis kelamin. </p>
<p>Meski gender dapat dihubungkan dengan jenis kelamin, namun ini adalah konsep yang sangat berbeda. Gender secara umum dipahami sebagai konstruksi sosial, dan dapat berbeda tergantung masyarakat dan budayanya. Di sisi lain jenis kelamin ditentukan oleh kromosom dan anatomi–yang diberi label laki-laki atau perempuan. Termasuk di dalamnya adalah <a href="http://www.isna.org/faq/what_is_intersex">orang-orang interseks</a> yang tubuhnya biasanya tidak tipikal laki-laki atau perempuan, mereka seringkali hadir dengan karakteristik kedua jenis kelamin tersebut.</p>
<p>Para peneliti kerap berasumsi bahwa semua orang yang merupakan perempuan secara biologis akan lebih mirip satu sama lain ketimbang dengan orang-orang yang merupakan laki-laki secara biologis, dan mengelompokkan mereka bersama dalam studi-studi mereka. Para peneliti tidak mempertimbangkan variasi jenis kelamin–dan peran sosial yang berkaitan dengan gender serta kendala-kendala yang mempengaruhi kesehatan mereka. Riset ini menghasilkan <a href="https://dx.doi.org/10.1177%2F00333549111260S304">kebijakan dan rencana perawatan yang homogen</a>.</p>
<h2>‘Maskulin?’ ‘<em>Cisgender</em>?’ ‘Gender cair?’</h2>
<p>Penggunaan istilah “gender” pada awalnya dikembangkan untuk mendeskripsikan orang-orang yang tidak mengidentifikasi dirinya dengan jenis kelamin biologis mereka. John Money, pelopor penelitian gender, menjelaskan: “<a href="https://doi.org/10.1080/00926239408403428">Identitas gender adalah perasaan atau keyakinan Anda sendiri tentang kelelakian atau keperempuanan </a>; dan peranan gender adalah stereotip budaya tentang apa yang maskulin dan feminin.”</p>
<p>Sekarang terdapat banyak istilah yang <a href="https://dx.doi.org/10.1037/h0036215">digunakan untuk mendeskripsikan gender</a>–beberapa dari istilah-istilah yang paling awal yang digunakan adalah “feminin,” “maskulin”, dan “androgini” (kombinasi dari karakteristik maskulin dan feminin).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/224116/original/file-20180620-137711-1mm4jcz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penelitian menunjukkan bahwa gender, juga jenis kelamin, dapat mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Definisi gender yang lebih mutakhir termasuk: “Bigender” (mengekspresikan dua identitas gender yang berbeda), “<em>gender fluid</em>, gender cair” (berubah-ubah di antara perilaku gender yang feminin atau maskulin tergantung situasi) dan “<em>agender</em>” atau “tidak terdiferensiasi” (seseorang yang tidak mengidentifikasi dirinya dengan gender tertentu atau tanpa gender).</p>
<p>Jika gender seseorang konsisten dengan jenis kelamin mereka (misalnya seorang perempuan secara biologis yang feminin) mereka disebut sebagai “<em>cisgender</em>.”</p>
<p>Gender tidak memberitahu kita tentang orientasi seksual. Contohnya, seorang perempuan (jenis kelaminnya) feminin (gendernya) mungkin dapat mendeskripsikan dirinya sebagai heteroseksual atau sebagai salah satu dari spektrum LGBTIQIA (lesbian, gay, biseksual, transgender, <em>queer</em> atau <em>questioning</em>, interseks and aseksual atau sejenis). Hal ini juga berlaku untuk seorang laki-laki feminin.</p>
<h2>Femininitas dapat mempengaruhi jantung Anda</h2>
<p>Ketika gender diukur hubungannya dengan penelitian mengenai kesehatan, label “maskulin”, “feminin”, dan “androgini” secara tradisional telah digunakan.</p>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa hasil kesehatan tidak serba sama untuk setiap jenis kelamin, artinya tidak semua perempuan biologis memiliki kerentanan yang sama terhadap penyakit dan begitu pula dengan laki-laki biologis.</p>
<p>Gender adalah satu dari beberapa hal yang dapat mempengaruhi perbedaan ini. Misalnya, ketika gender dari para partisipan dipertimbangkan, “skor femininitas yang lebih tinggi pada laki-laki, contohnya, dikaitkan dengan lebih rendahnya insiden penyakit jantung koroner … (dan) <a href="https://dx.doi.org/10.1177%2F00333549111260S304">kesehatan perempuan dapat terganggu ketika perempuan mengadopsi perilaku dunia kerja yang secara tradisional dipandang sebagai maskulin</a>.”</p>
<p>Dalam studi lain, <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs00702-005-0285-5">kualitas hidup laki-laki dan perempuan androgini dengan penyakit Parkinson lebih baik</a>. Dalam penelitian kardiovaskular, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1550857912001908?via%3Dihub">seseorang yang lebih maskulin mempunyai risiko lebih besar untuk terserang penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan mereka yang lebih feminin</a>. Dan penelitian tentang pasien kanker menunjukan bahwa ketika <a href="https://dx.doi.org/10.1080/07347330903438917">para pasien dan orang-orang yang merawat pasien memiliki risiko depresi lebih rendah untuk mereka yang feminin atau androgini</a> jika dibandingkan dengan mereka yang maskulin dan tidak terdiferensiasi.</p>
<p>Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, banyak peneliti kesehatan tidak mengukur gender, terlepas dari ketersediaan alat ukur dan strategi untuk melakukannya. Mereka mungkin mencoba untuk menebak gender berdasarkan jenis kelamin dan atau penampilan orang. Namun jarang sekali mereka bertanya kepada orang-orang (mengenai gender mereka). </p>
<h2>Alat ukur untuk para peneliti</h2>
<p>Alat pengukuran gender dengan cara laporan mandiri (SR-Gender) yang saya kembangkan, dan <a href="https://doi.org/10.3390/geriatrics3010003">pertama kali digunakan dalam studi tentang penuaan</a>, adalah salah satu alat pengukuran sederhana yang dikembangkan khusus untuk penelitian kesehatan.</p>
<p>SR-Gender mengajukan pertanyaan sederhana: “Seringnya Anda menggambarkan diri Anda…?” dan beberapa pilihan jawabannya: “"Sangat feminin,” “kebanyakan feminin,” “perpaduan maskulin and feminin,” “bukan maskulin maupun feminin,” “kebanyakan maskulin,” “sangat maskulin” atau “lainnya.”</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=455&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=455&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=455&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=572&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=572&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/224306/original/file-20180621-137717-1m2wgx7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=572&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Alat pengukuran gender laporan mandiri.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Lisa Carver)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pilihan untuk menjawab “lainnya” ini penting dan merefleksikan <a href="http://itspronouncedmetrosexual.com/2013/01/a-comprehensive-list-of-lgbtq-term-definitions/">evolusi gender yang terus berubah-ubah</a>. Karena ada pilihan gender “lainnya”, pengukuran gender mandiri ini dapat disesuaikan untuk merefleksikan <a href="https://lgbtqia.ucdavis.edu/educated/glossary.html">kategori-kategori yang berbeda ini</a>.</p>
<p>Penting untuk dicatat bahwa SR-Gender bukan ditujukan untuk penelitian mendalam mengenai gender, tapi untuk penelitian kesehatan dan atau kedokteran, di mana ini dapat digunakan sebagai tambahan, atau sebagai pengganti, kategori jenis kelamin.</p>
<p>Menggunakan istilah gender untuk menjelaskan jenis kelamin hanya memperkeruh pemahaman kita. Memasukkan gender sesungguhnya dari partisipan penelitian dan jenis kelamin mereka dalam penelitian yang terkait kesehatan akan memperkaya pemahaman kita tentang berbagai macam penyakit. </p>
<p>Dengan meminta seseorang bercerita kepada kita tentang gender dan jenis kelamin mereka, para peneliti kesehatan mungkin dapat lebih memahami mengapa orang-orang mengalami sakit dan penyakit dengan cara yang berbeda-beda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99221/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>L.F. Carver tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian menunjukkan bahwa hasil kesehatan tidak sama untuk setiap jenis kelamin. Semua perempuan biologis tidak memiliki kerentanan yang sama terhadap penyakit. Begitu pula laki-laki biologis.L.F. Carver, Post Doctoral Fellow, Queen's University and Ageing + Communication + Technologies (ACT) (SSHRC funded), Queen's University, OntarioLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.