tag:theconversation.com,2011:/us/topics/nasionalisme-45385/articlesnasionalisme – The Conversation2024-03-15T09:29:53Ztag:theconversation.com,2011:article/2249142024-03-15T09:29:53Z2024-03-15T09:29:53ZApa yang saya alami di Malaysia menunjukkan bagaimana agama dapat menyatu dengan nasionalisme populis untuk membungkam perbedaan pendapat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/579261/original/file-20240228-16-yogbdr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C119%2C5720%2C3673&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Malaysian Islamists rally in favor of sharia law on Nov. 20, 2023.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/malaysia-islamist-party-supporters-held-a-rally-to-protect-news-photo/1793715130?adppopup=true">Zahim Mohd/NurPhoto via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Pada November 2023, saya mengunjungi Indonesia dan menjadi pembicara di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=MTm0d9puIDM&list=PL5qlRtkOtwIeFS6Dt0qojy3iTluToSdKJ&index=11">Jakarta</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=FVq1k6wsmqI&list=PLtoVEQO2iwNtOymVhfS9pMeP5z7WrYTFz&index=41">Yogyakarta</a>, dan <a href="https://islami.co/prof-ahmet-t-kuru-agama-dan-politik-di-abad-ke-21-harus-bela-hak-hak-mereka-yang-tertindas/">Bali</a> tentang ulasan dari buku saya, “<a href="https://siapabilang.com/buku-islam-otoritarianisme-dan-ketertinggalan/info">Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan</a>” yang telah diterjemahankan ke bahasa Indonesia. Buku ini berisi analisis akademis mengenai krisis politik dan sosio-ekonomi yang dihadapi oleh banyak masyarakat Muslim saat ini.</p>
<p>Keramahan dan kehangatan orang-orang di Indonesia kemudian mendorong saya untuk mengunjungi negara tetangganya, Malaysia. Namun, saya tidak menyangka bahwa tur buku saya di Malaysia akan berakhir dengan konfrontasi dengan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai polisi di Bandara Kuala Lumpur.</p>
<p>Saya tiba di Malaysia pada awal Januari 2024 untuk mempromosikan buku yang sama, yang <a href="https://bookshop.irfront.net/product/islam-autoritarianisme-dan-kemunduran-bangsa-suatu-perbandingan-global-dan-pensejarahan/">diterjemahkan ke bahasa Melayu</a> dengan judul “<a href="https://www.cambridge.org/us/universitypress/subjects/politics-international-relations/comparative-politics/islam-authoritarianism-and-underdevelopment-global-and-historical-comparison?format=PB">Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan</a>”.</p>
<p>Kedatangan saya menarik <a href="https://www.malaysiakini.com/news/692340">perhatian yang tidak beralasan</a>. Beberapa kelompok konservatif dan Islamis di Malaysia rupanya telah keliru melabeli saya di <a href="https://www.facebook.com/share/p/osCx6x9uHoeziJ7a/?mibextid=I6gGtw">media sosial</a> sebagai <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2024/01/22/im-a-practising-muslim-and-oppose-secularism-says-academic/">“liberal”</a>-sebuah istilah yang digunakan oleh <a href="https://www.malaymail.com/news/malaysia/2015/01/18/doubting-religious-authorities-part-of-liberalism-jakim-dg-says/821833">badan federal Malaysia</a> yang mengelola urusan Islam untuk merujuk pada mereka yang menentang Islam Sunni, agama resmi di negara itu. <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2024/01/06/book-launch-by-us-academic-cancelled-after-pressure-from-conservatives/">Acara peluncuran buku saya</a> kemudian <a href="https://www.themalaysianinsight.com/s/480031">dibatalkan</a>.</p>
<p>Meski demikian, saya tetap mengisi beberapa acara diskusi lainnya. Lalu dua orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai <a href="https://www.malaysiakini.com/letters/693049">petugas polisi datang</a> ke acara terakhir saya dan menginterogasi penerbit saya. Saat itu saya tetap melanjutkan acara diskusi tersebut. </p>
<p>Keesokan harinya, petugas yang sama <a href="https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02qwLXFcVopg33CF879Ri9av8AJ9GvGQzbqZqcBF3Gi9jgZqSsmEM19kewCoUkAD4ul&id=100012201094873">menginterogasi saya dan mencoba menyita paspor saya</a> di Bandara Internasional Kuala Lumpur ketika saya akan terbang ke Pakistan. Karena khawatir akan keselamatan diri, saya membatalkan serangkaian acara diskusi yang diagendakan di <a href="https://thefridaytimes.com/11-Jan-2024/thinkfest-2024-set-to-bring-dynamic-lineup-of-academics-and-thought-leaders-to-lahore">Lahore</a> dan Islamabad, lalu saya kembali ke Amerika Serikat (AS).</p>
<p>Insiden yang saya alami di Malaysia tersebut menjadi <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2024/01/11/us-scholar-claims-he-feared-arrest-at-klia/">pemberitaan</a> di sana, namun inspektur jenderal polisi <a href="https://www.channelnewsasia.com/asia/malaysia-police-commission-ipcc-misconduct-4050961">Malaysia</a> <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2024/01/11/us-based-academic-not-on-police-radar-says-igp/">menyangkal bahwa otoritasnya mengirim petugas untuk menghadang saya</a>. <a href="https://www.facebook.com/story.php/?story_fbid=685001657151111&id=100069238491031&paipv=0&eav=AfYy1uNmtR1OBKb9QhQJU0WcL8AMkNYPwJM-g8bNXTmx3MHzysTnZX362yo7MfSNK14&_rdr">Kelompok hak asasi manusia (HAM)</a> di Malaysia telah menyerukan untuk dilakukannya <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2024/01/14/ask-igp-to-name-cop-who-approached-scholar-at-klia-ngo-tells-ipcc">investigasi yang lebih menyeluruh</a> terhadap <a href="https://www.malaysiakini.com/news/693137">kasus saya</a>.</p>
<p>Sebagai seorang akademisi bidang <a href="https://www.cambridge.org/core/books/secularism-and-state-policies-toward-religion/10F825409B3B7E7C3B35C443B1B6FF17">agama dan politik dalam perspektif komparatif</a>, saya tidak melihat apa yang saya alami sebagai contoh intoleransi agama yang terisolasi di negara-negara mayoritas Muslim. Sebaliknya, kejadian ini menunjukkan sesuatu yang lebih luas.</p>
<p><a href="https://www.youtube.com/watch?v=kw8QL6elUSI&t=17s">Penelitian saya</a> menunjukkan bahwa ada peningkatan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=P0w4DikCK4Y&list=PLtoVEQO2iwNtOymVhfS9pMeP5z7WrYTFz&index=31">tren global</a> yang menentang perbedaan pendapat dan pandangan agama minoritas. Menganalisis tren ini sangat penting untuk memahami mengapa para pemimpin populis sayap kanan sekarang memerintah di berbagai negara, seperti di <a href="https://www.jawapos.com/internasional/26/11/2021/sekularisme-tukri-pasca-erdogan-perlunya-belajar-kepemimpinan-ormas/">Turki</a>, <a href="https://www.usnews.com/news/world-report/articles/2023-05-18/putin-appeals-to-russian-church-as-dangers-to-his-regime-grow">Rusia</a>, <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2023/jul/28/israelis-benjamin-netanyahu-democracy-protests-donald-trump">Israel</a> dan <a href="https://theconversation.com/mengapa-negara-negara-mayoritas-muslim-cepat-merespons-dugaan-penistaan-agama-tetapi-sering-mengabaikan-pelanggaran-terhadap-hak-muslim-minoritas-185656">India</a>, dan bagaimana mereka dapat berkuasa di tempat-tempat lain, termasuk <a href="https://www.politico.com/news/2024/02/20/donald-trump-allies-christian-nationalism-00142086">AS</a>.</p>
<p>Semua negara tersebut baru-baru ini mengalami kombinasi dari tiga gerakan: konservatisme agama, nasionalisme, dan populisme.</p>
<h2>Agama dan nasionalisme: Musuh lama, kawan baru</h2>
<p>Dalam sejarah Kristen dan Muslim, nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap penegakkan agama. Para ahli nasionalisme seperti <a href="https://www.versobooks.com/products/1126-imagined-communities">Benedict Anderson</a> menjelaskan asal-usul nasionalisme di Eropa setelah abad ke-16 melalui perluasan bahasa-bahasa daerah, gereja-gereja nasional, dan negara-bangsa yang mengorbankan bangsa Latin, Vatikan, dan dinasti-dinasti yang ditahbiskan secara ilahi.</p>
<p>Demikian pula, di banyak negara mayoritas Muslim, terdapat ketegangan antara <a href="https://edinburghuniversitypress.com/book-secularism-in-the-arab-world.html">kelompok Islamis dan nasionalis</a>. Kelompok Islamis mendorong pendidikan agama tradisional dan hukum Islam, serta menekankan identitas Islam global. Sementara itu, kaum nasionalis memodernisasi sekolah-sekolah, membuat hukum sekuler, dan menekankan identitas nasional.</p>
<p>Ketegangan ini terus berlanjut sepanjang abad ke-20 di <a href="https://www.jstor.org/stable/10.7312/kuru15932">Turki</a>. Kelompok nasionalis yang dipimpin oleh <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt1ch7679">Mustafa Kemal Ataturk</a> mendirikan republik sekuler pada tahun 1920-an. Ada perjuangan serupa di Mesir antara kelompok Islamis <a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-penyebab-jatuhnya-ikhwanul-muslimin-di-mesir-dan-gerakan-gulen-di-turki-begitu-cepat-122319">Ikhwanul Muslimin</a> dan perwira militer nasionalis yang membangun republik di bawah kepemimpinan <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctvc7728b">Gamal Abdel Nasser</a> pada tahun 1950-an.</p>
<p>Namun, saat ini, kekuatan agama dan nasionalis sering kali menjadi sekutu politik. Selama satu dekade, aliansi semacam ini telah terjalin di Rusia, antara <a href="https://www.aljazeera.com/news/2024/2/9/far-from-harmless-patriarch-kirill-backs-putins-war-but-at-what-cost">Patriark Ortodoks Kirill dan Presiden Vladimir Putin</a>. Aturan yang menghukum <a href="https://www.rferl.org/a/russia-prosecuting-insults-to-religious-feelings/28678284.html#">penghinaan terhadap perasaan keagamaan</a> telah <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-22090308">diperluas</a>, dan <a href="https://www.themoscowtimes.com/2017/04/14/patriarch-kirill-from-ambitious-reformer-to-state-hardliner-a57725">nilai-nilai Kristen Ortodoks</a> dikembalikan ke dalam kurikulum sekolah.</p>
<p>Para analis mendefinisikan <a href="https://www.nytimes.com/2022/04/18/world/europe/ukraine-war-russian-orthodox-church.html">dukungan kuat Kirill</a> untuk invasi Putin ke Ukraina sebagai cerminan <a href="https://www.latimes.com/world-nation/story/2022-03-29/russian-orthodox-patriarch-offers-a-spiritual-defense-of-the-war-in-ukraine">ideologi nasionalis yang mereka anut</a>. </p>
<p>Di Turki, otoritas keagamaan utama adalah <a href="https://www.diyanet.gov.tr/en-US/Home/Index/">Diyanet</a>, sebuah badan pemerintah yang mengontrol masjid dan membayar gaji para imamnya. Meskipun Diyanet <a href="https://www.swp-berlin.org/publications/products/arbeitspapiere/CATS_Working_Paper_Nr_2__Guenter_Seufert.pdf">didirikan oleh Ataturk</a> untuk melayani kebijakan nasionalis sekuler, Diyanet telah menjadi <a href="https://nasional.sindonews.com/read/641155/18/aliansi-ulama-negara-hambat-demokrasi-dan-pembangunan-di-dunia-muslim-1640671922?showpage=all">pilar penting</a> dari pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang memadukan Islamisme dan nasionalisme. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan mewakili Islamisme, sementara mitra koalisinya selama satu dekade, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/5/16/in-turkeys-elections-nationalism-is-the-real-winner">Partai Aksi Nasionalis (AKP)</a>, memiliki agenda nasionalis yang eksplisit.</p>
<p>Di dunia Arab, ada pertikaian antara Mesir nasionalis sekuler Nasser dan negara Islam Arab Saudi <a href="https://www.nytimes.com/2013/10/29/opinion/international/nasr-islamic-comrades-no-more.html">pada tahun 1950-an dan 1960-an</a>. Sekarang tidak lagi. Mesir, yang telah beralih ke Islamisme dengan konstitusi yang mengacu pada syariah <a href="https://blog-iacl-aidc.org/2021-posts/29-6-21-the-egyptian-supreme-constitutional-courts-interpretation-of-the-islamic-sharia-as-a-constitutional-check-mrbng">sebagai sumber hukum sejak 1980</a>, dan Arab Saudi, yang baru-baru ini menjadi <a href="https://www.project-syndicate.org/commentary/mbs-behind-saudi-nationalist-surge-by-bernard-haykel-2023-09">dianggap makin kurang Islamis dan menjadi lebih nasionalis</a> melalui reformasi Putra Mahkota <a href="https://blogs.lse.ac.uk/mec/2020/05/05/the-new-populist-nationalism-in-saudi-arabia-imagined-utopia-by-royal-decree/">Mohammed bin Salman</a>, kini menjadi <a href="https://apnews.com/article/egypt-saudi-arabia-sissi-bin-salman-economy-0ae05c6dbe715433015db07ef97519bb">sekutu regional</a>.</p>
<h2>Era pemimpin populis</h2>
<p>Apa yang menjelaskan transformasi dalam hubungan antara agama dan nasionalisme? Saya percaya bahwa populisme adalah perekat yang menyatukan keduanya.</p>
<p><a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2018/nov/22/populism-concept-defines-our-age">Kelompok populis</a> sering mengklaim bahwa mereka membela “rakyat” dari para elite dan minoritas, terutama para imigran. </p>
<p>Baru-baru ini, para pemimpin nasionalis populis telah menggunakan simbol-simbol agama untuk memobilisasi pengikut mereka. Misalnya, pada tahun 2016, <a href="https://unherd.com/2022/02/putins-spiritual-destiny/">Putin</a> mendirikan <a href="https://www.dw.com/en/in-political-move-russian-patriarch-blesses-putin-backed-paris-church/a-36633675">Katedral Ortodoks di Paris</a> di tepi Sungai Seine, dekat Menara Eiffel.</p>
<p>Pada tahun 2020, Erdogan mendeklarasikan <a href="https://international.sindonews.com/read/112940/43/arah-pluralisme-turki-setelah-hagia-sophia-menjadi-masjid-1595646436?showpage=all">Hagia Sophia sebagai masjid lagi</a>. Hagia Sophia pernah menjadi gereja selama lebih dari satu milenium hingga penaklukan Ottoman di Istanbul pada 1453 dan menjadi masjid selama sekitar 500 tahun hingga Ataturk menjadikannya museum.</p>
<p>Baru-baru ini, pada tanggal 22 Januari 2024, Perdana Menteri India Narendra Modi meresmikan <a href="https://www.theguardian.com/world/2024/jan/22/modi-inaugurates-hindu-temple-on-site-of-razed-mosque-in-india">kuil Hindu di Ayodhya</a>, lokasinya di sebuah masjid yang telah dibangun pada tahun 1528 tetapi <a href="https://thewire.in/communalism/babri-masjid-the-timeline-of-a-demolition">dihancurkan dengan kejam</a> pada 1992 oleh para radikal Hindu, setelah satu abad kontroversi atas tanah tersebut.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang pria berjalan dengan jubah putih di depan orang-orang yang berpakaian oranye dan sebuah kuil." src="https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/579083/original/file-20240301-24-vl5dty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perdana Menteri India Narendra Modi meresmikan sebuah kuil Hindu di Ayodhya, India.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/IndiaElectionTemple/d3dde6bfe9034a4da87c29bfc954b254/photo?Query=Modi%20temple&mediaType=photo&sortBy=creationdatetime:desc&dateRange=Anytime&totalCount=424&currentItemNo=46">AP Photo/Rajesh Kumar Singh</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Mantan Presiden AS Donald Trump, meskipun ia tidak mendirikan gereja, ia pernah menunjukkan foto dirinya sedang memegang <a href="https://slate.com/human-interest/2020/06/the-inconceivable-strangeness-of-trumps-bible-photo-op.html">Alkitab pada saat yang genting</a>, yaitu selama protes Black Lives Matter pada Juni 2020-yang menandai adanya <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/02/us/politics/trump-holds-bible-photo.html">politik agama dalam menantang para pengunjuk rasa</a>.</p>
<p>Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan bahwa para pemimpin populis hendak menggabungkan agama dan nasionalisme untuk melayani agenda politik mereka. Namun, bagi minoritas agama, simbolisme ini dapat membuat mereka merasa sebagai warga negara kedua.</p>
<h2>Masa depan minoritas agama</h2>
<p>Di beberapa negara, aliansi antara kekuatan agama dan nasionalis populis telah mengancam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=NYDUnk5RSj4&list=PLtoVEQO2iwNtOymVhfS9pMeP5z7WrYTFz&index=8&t=263s">hak-hak minoritas</a>.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah di <a href="https://static1.squarespace.com/static/5bbb229a29f2cc31b47fa99c/t/5c862a2053450a49a40c191d/1552296484138/Malaysia-Freedom-of-religion-brief-Advocacy-Analysis-brief-2019-ENG.pdf">Malaysia</a>, sebuah negara <a href="https://www.dosm.gov.my/portal-main/release-content/key-findings-population-and-housing-census-of-malaysia-2020-administrative-district">yang memiliki keragaman etnis dan agama</a>. Orang Melayu Muslim menjadi mayoritas, sementara komunitas Buddha, Kristen, dan Hindu hanya mencakup sepertiga dari total populasinya.</p>
<p>Seperti yang saya pelajari selama kunjungan saya baru-baru ini, Islam menjadi pusat perdebatan politik tentang nasionalisme di Malaysia. Misalnya, pada 13 Januari 2024, Mahathir Mohamad, mantan perdana menteri Malaysia, mengatakan bahwa warga etnis Tionghoa dan India di Malaysia tidak sepenuhnya “<a href="https://www.nst.com.my/news/nation/2024/01/1000806/tun-m-believes-malaysian-indians-chinese-not-completely-loyal-country">setia kepada negara</a>” sehingga ia menawarkan <a href="https://www.malaysiakini.com/letters/693114">asimilasi</a> sebagai <a href="https://www.nst.com.my/news/nation/2024/01/1001858/anwar-dr-mahathir-all-non-malays-are-disloyal-except-his-cronies">solusi</a>.</p>
<p>Asimilasi etnis minoritas ke dalam mayoritas mungkin tidak dibatasi oleh bahasa dan budaya, karena konstitusi negara ini menghubungkan Islam dan identitas Melayu, yang menyatakan: “<a href="https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007">Orang Melayu berarti orang yang menganut agama Islam</a>, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu.”</p>
<p>Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan-baik <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2018/02/27/sarawak-shariah-court-can-hear-apostasy-cases-rules-apex-court/">pengadilan sipil</a> maupun <a href="https://www.malaymail.com/news/malaysia/2023/07/24/judicial-review-needed-as-shariah-court-dismissal-of-womans-apostasy-bid-irrational-appellate-court-told/81473">pengadilan syariat</a> telah menolak hal tersebut dalam berbagai kasus.</p>
<p>Hubungan yang kuat antara <a href="https://fulcrum.sg/islamisation-in-malaysia-beyond-umno-and-pas/">agama dan nasionalisme Melayu</a> telah membantu otoritas Islam, seperti <a href="https://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2019/08/27/sis-fails-to-quash-selangor-fatwa/">pengadilan syariat</a> dan <a href="https://southeastasiaglobe.com/moral-policing-a-rise-in-state-religious-enforcement-is-shaking-multicultural-malaysia/">polisi syariat</a>, untuk memperluas pengaruh mereka. Namun, <a href="https://thediplomat.com/2023/08/the-rise-and-rise-of-malaysias-nationalist-right-wing/">Peningkatan Islamisasi</a> pemerintah Malaysia, bagaimanapun juga, merupakan <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/malaysia-s-pas-has-tough-task-to-woo-non-muslim-voters-analysts-say">kekhawatiran bagi minoritas non-Muslim</a>.</p>
<p>Sementara itu, minoritas Muslim khawatir akan hak-hak mereka di beberapa negara non-Muslim yang diperintah oleh kaum nasionalis populis.</p>
<p>Menurut lembaga pengawas demokrasi Freedom House, di India, pemerintah Modi telah menerapkan <a href="https://freedomhouse.org/country/india/freedom-world/2023">kebijakan diskriminatif terhadap minoritas Muslim</a> yang berjumlah sekitar <a href="https://www.cfr.org/backgrounder/india-muslims-marginalized-population-bjp-modi">200 juta orang</a>. Kebijakan-kebijakan ini termasuk <a href="https://www.amnesty.org/en/latest/news/2024/02/india-authorities-must-immediately-stop-unjust-targeted-demolition-of-muslim-properties/">penghancuran</a> properti-properti <a href="https://scroll.in/bulletins/340/introducing-the-smart-shopper-get-deals-on-150000-brands-and-support-independent-journalism">Muslim</a> sampai-sampai buldoser menjadi simbol <a href="https://time.com/6303571/how-bulldozers-became-a-symbol-of-anti-muslim-sentiment-in-india/">“Hindu-nasionalis”</a> dan <a href="https://www.nytimes.com/2022/09/25/nyregion/bulldozer-indian-parade-new-jersey.html">anti-Muslim di India</a>.</p>
<p>Di AS, kebijakan anti-imigran Trump mencakup apa yang disebut “<a href="https://www.amnesty.org.uk/licence-discriminate-trumps-muslim-refugee-ban">larangan Muslim</a>”, yakni <a href="https://www.aclu.org/news/immigrants-rights/the-enduring-harms-of-trumps-muslim-ban">perintah eksekutif</a> yang melarang warga negara dari negara-negara mayoritas Muslim tertentu untuk memasuki AS. Saat berkampanye untuk Pemilihan Umum (Pemilu) AS 2024 mendatang, Trump <a href="https://www.cbsnews.com/news/trump-bring-back-travel-ban-muslim-countries/">bersumpah untuk mengembalikan larangan tersebut dan memperluasnya</a>.</p>
<p>Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman banyak negara di seluruh dunia, kecenderungan untuk memajukan agenda nasionalis-religius telah membatasi suara-suara minoritas. Kecenderungan ini merupakan tantangan besar bagi cita-cita demokrasi dan kesetaraan warga negara di seluruh dunia. </p>
<p>Kekhawatiran ini juga bersifat personal bagi saya. Sebagai seorang Muslim Amerika, saya ingin tetap menikmati kewarganegaraan yang setara di AS dan mendiskusikan tentang Islam di negara-negara mayoritas Muslim tanpa dilecehkan oleh polisi.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan oleh Rahma Sekar Andini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224914/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ahmet T. Kuru tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Agama dan nasionalisme pernah menjadi ideologi yang bertentangan. Kini, keduanya semakin bersahabat, dengan populisme yang sering kali menjadi perekatnya.Ahmet T. Kuru, Professor of Political Science, Director of Center for Islamic & Arabic Studies, San Diego State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2111982023-08-21T09:45:38Z2023-08-21T09:45:38ZDivestasi saham tak bisa lepas dari politik. Bagaimana cara memahami motivasi elit agar tak terbawa nasonalisme sempit?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/543438/original/file-20230818-15-cqsas.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C2995%2C1976&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua Tengah. Pemerintah, melalui PT Inalum, resmi memiliki 51% saham Freeport pada 2018.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/freeport-mine-peak-carstensz-pyramid-papua-1288135918">Arfani Mujib/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Publik tengah diramaikan dengan rencana pemerintah untuk <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230814203735-85-986034/luhut-buka-suara-soal-rencana-ambil-alih-14-persen-saham-vale">membeli saham perusahaan pertambangan nikel besar, PT Vale Indonesia,</a> melalui induk korporasi pertambangan pelat merah, PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). Saat ini, mayoritas saham Vale Indonesia dimiliki Vale Canada Limited.</p>
<p>Rencana ambil alih saham ini merupakan contoh terbaru dari serangkaian langkah serupa yang telah dilakukan pemerintah terhadap perusahaan penanaman modal asing (PMA) dalam beberapa tahun terakhir. Langkah semacam ini kerap dianggap sebagai bentuk <a href="https://www.cornellpress.cornell.edu/book/9781501771972/resource-nationalism-in-indonesia/#bookTabs=1">nasionalisme sumber daya alam</a>. Ada anggapan bahwa seakan-akan tidak nasionalis jika perusahaan asing, bukan perusahaan nasional, yang menguasai sektor penting bagi hajat hidup orang banyak.</p>
<p>Terkait hal ini, kita perlu lebih kritis agar kebijakan divestasi saham perusahaan asing tidak hanya memanaskan perdebatan soal nasionalisme, terutama menjelang tahun politik. </p>
<p>Sebagai negara penghasil sejumlah barang tambang yang penting untuk transisi energi berkelanjutan, kebijakan dan tata kelola sektor energi dan pertambangan perlu dilihat lebih jauh dari sekadar siapa memiliki berapa. Indonesia perlu membuat langkah strategis agar investasi swasta dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan beragam sektor ekonomi. </p>
<p>Lewat tulisan ini, yang saya kembangkan dari studi lanjutan saya di Program Ekonomi Politik Internasional di London School of Economics and Political Science (tidak dipublikasikan), saya ingin mengajak pembaca lebih memahami tentang pengambilalihan kepemilikan swasta asing. Tujuannya untuk membedakan apakah langkah tersebut betul dimotori oleh kepentingan nasional atau kebutuhan politik aktor semata.</p>
<h2>Divestasi dan kuasa negara</h2>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=291&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=291&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=291&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=366&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=366&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/543457/original/file-20230818-15-hadks3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=366&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kantor de Javasche Bank, kini Bank Indonesia, di Bandung pada 1938. Pada 1957, Indonesia melakukan nasionalisasi aset besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan perbankan, perkebunan, pabrik gula, dan lain sebagainya.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/782807">Leiden University Libraries Digital Collections</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Istilah divestasi merujuk pada pelepasan kepemilikan saham di anak usaha. Seringkali, divestasi merupakan cara pengambilalihan aset atau properti yang dimiliki sektor swasta asing oleh negara untuk kepentingan publik. Dalam studi ekonomi-politik, usaha mengambil alih aset ini acap disebut <a href="https://www.jstor.org/stable/154433">ekspropriasi</a>. </p>
<p>Meski memiliki cakupan hukum yang berbeda, istilah ekspropriasi sering disandingkan dan digunakan secara bergantian dengan tindakan nasionalisasi, penyitaan (<em>confiscation</em>), dan sosialisasi (berasal dari sosialisme, yang menekankan kepemilikan negara di atas swasta). Tanpa bermaksud mengabaikan perbedaan makna dan untuk menjaga konsistensi, artikel ini akan fokus menggunakan istilah ekspropriasi.</p>
<p>Ekspropriasi dapat berbentuk <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/6993656.pdf">langsung dan tidak langsung</a>. Ekspropriasi langsung misalnya dilakukan secara formal melalui peraturan resmi, seperti <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/52372/uu-no-86-tahun-1958">Undang Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda</a>. Bisa juga melalui renegosiasi kontrak antara pemerintah dengan perusahaan PMA dengan tujuan transfer kepemilikan dari asing ke entitas nasional. Misalnya <a href="https://inalum.id/id/read/tuntasnya-proses-divestasi-pt-freeport-indonesia-ptfi-dan-terbitnya-iupk-sebagai-pengganti-kontrak-karya-ptfi">penjualan 51% saham perusahaan tambang tembaga PT Freeport Indonesia</a> ke PT Inalum pada 2017.</p>
<p>Sementara itu, ekspropriasi tidak langsung salah satunya melalui pembatasan transaksi modal, seperti ketika Pemerintah Argentina menerapkan kebijakan <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/6993656.pdf"><em>corralito</em></a> pada awal 2000an. Melalui kebijakan ini, pemerintah Argentina mengonversi dana perusahaan asing ke mata uang lokal.</p>
<p>Menariknya, ekspropriasi bukanlah suatu dosa dan bahkan dilindungi oleh hukum internasional. <a href="https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/general-assembly-resolution-1803-xvii-14-december-1962-permanent">Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) nomor 1803 (XVII)</a> mengamini ekspropriasi sebagai hak suatu bangsa yang berdaulat atas kekayaan alamnya. </p>
<p>Namun, resolusi ini mensyaratkan bahwa nasionalisasi atau ekspropriasi harus berdasarkan pertimbangan kepentingan publik, alasan keamanan, atau kepentingan nasional. Selain itu, negara juga harus mengatur pemberian kompensasi bagi perusahaan asing yang terdampak.</p>
<p>Di sisi lain, perusahaan asing pelaku investasi juga mendapat perlindungan dari ekspropriasi dengan adanya <a href="https://doi.org/10.1093/jnlids/idv038">mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional</a>. Mekanisme ini lazimnya tertulis dalam perjanjian bilateral antara negara asal perusahaan tersebut dengan negara tuan rumah investasi asing. Bisa juga melalui kontrak kerja antara perusahaan dengan negara tuan rumah.</p>
<p>Meski ada perlindungan, ekspropriasi selalu mengundang kontroversi. <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/528401576141837231/pdf/Political-Risk-and-Policy-Responses-Summary-of-Research-Findings-and-Policy-Implications.pdf">Bank Dunia</a>, misalnya, menyebut ekspropriasi sebagai risiko politik utama yang menyebabkan banyak perusahaan internasional menarik investasinya.</p>
<p>Dari sisi politik, ilmuwan menganggap ekspropriasi <a href="https://doi.org/10.1017/s0022381608081048">lazim terjadi di negara-negara otokratis dan tidak lazim di negara demokratis</a>. Alasannya, sistem demokrasi memungkinkan keberadaan aktor–kerap disebut <em>veto players</em>–yang mampu memblokir perubahan kebijakan mendadak seperti ekspropriasi. </p>
<p>Tidak semua pakar politik setuju dengan argumen ini. Pasalnya, sistem demokrasi juga memungkinkan adanya biaya reputasi (<a href="https://whanchoi.people.uic.edu/Reexamining-the-Effect-of-Democratic-Institutions-on-Inflows-of-Foreign-Direct-Investment-in-Developing-Countries.pdf"><em>reputation cost</em></a>) yang cukup memengaruhi sikap dan perilaku aktor di publik. Salah satunya adalah biaya untuk mendapatkan predikat nasionalis dan pembela kepentingan nasional.</p>
<p>Lantas, jika ekspropriasi sah dilakukan, bagaimana memastikan kepentingan publik bisa ‘menang’ di tengah risiko aktor-aktor yang memanfaatkan isu nasionalisme untuk kepentingannya sendiri?</p>
<h2>Ekspropriasi, demokrasi, dan kepentingan publik</h2>
<p>Penelitian saya mencoba suatu eksperimen untuk melihat kondisi-kondisi dalam ekspropriasi. Studi ini dilakukan dengan analisis <a href="https://www.princeton.edu/%7Enmccarty/Political_Game_Theory%20.pdf"><em>game theory</em></a> yang menelaah interaksi strategis antar aktor.</p>
<p>Studi ini menekankan dua aktor dalam pengambilan keputusan eksproriasi. Ada elit politik yang berkuasa menentukan kebijakan. Ada juga aktor nonelit tidak berkuasa sebagai <em>veto players</em> yang dapat memblokir keputusan elit.</p>
<p><em>Veto players</em> bisa beragam bentuknya, seperti partai oposisi di DPR, kelompok berkepentingan, atau serikat pekerja.</p>
<p>Studi saya menunjukkan bahwa keputusan ekspropriasi berkaitan dengan berhasil atau tidaknya elit menyalurkan keuntungan dari hasil investasi asing untuk mengembangkan sektor perekonomian yang beragam. Di sini, yang sangat penting adalah keputusan elit untuk <a href="https://ideas.repec.org/a/sae/jocore/v49y2005i4p451-482.html">menyisihkan hasil investasi sehingga tersedia barang publik (<em>public goods</em>)</a> dalam perekonomian yang beragam. Barang publik adalah barang yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat–mulai dari infrastruktur seperti jalan dan jembatan hingga kebijakan yang menyejahterakan masyarakat.</p>
<p>Ketika investasi asing gagal mendorong berkembangnya sektor perekonomian lain, keputusan elit untuk ekspropriasi akan terjadi tanpa pertentangan dari <em>veto players</em>. Pengambilalihan aset ini dianggap sebagai langkah yang logis sekaligus nasionalis karena investasi asing dianggap tidak membawa berkah ke perekonomian nasional.</p>
<p>Adapun pertimbangan <em>veto players</em> untuk mendukung atau memblokir ekspropriasi berangkat dari asumsi bahwa tindakan ini adalah <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/6993656.pdf">langkah berbiaya tinggi</a> secara material. Contohnya berupa pemutusan hubungan kerja dan biaya jika gugatan arbitrase terjadi.</p>
<p>Selain itu, ada juga biaya nonmaterial, misalnya iklim bisnis dan investasi memburuk, ataupun instabilitas politik.</p>
<p>Aksi memblokir ekspropriasi juga memiliki risiko yang berbentuk biaya reputasi. Misalnya, ‘biaya’ akibat kehilangan popularitas menjelang tahun politik gara-gara dituduh mendukung asing.</p>
<p>Sebaliknya, ketika perolehan dari adanya investasi asing dapat dimanfaatkan untuk mendorong sektor perkeonomian lain untuk berkembang, ekspropriasi kemungkinan kecil akan terjadi. Elit politik secara rasional menaksir biaya dan dampak ekspropriasi bakal sangat tinggi sehingga dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Seruan-seruan nasionalisme sumberdaya alam juga kemungkinan minim.</p>
<p>Meski demikian, keberhasilan mengelola perolehan dari investasi perusahaan asing bisa jadi tak cukup membendung ekspropriasi. Pasalnya, elit bisa saja fokus pada keuntungan jangka pendek, misalnya mendulang suara dalam pemilu. </p>
<p>Dalam situasi ini, <em>veto players</em> bisa urung memblokir ekspropriasi jika mereka memproyeksikan biaya politik dan reputasi yang besar dibandingkan perolehan jangka panjang dari perekonomian yang terbuka dan ramah terhadap investasi asing.</p>
<h2>Baik-buruk ekspropriasi</h2>
<p>Salah satu ilustrasi dari skenario eksperimental di atas adalah ekspropriasi perusahaan energi asal Swedia, Vattenfall, oleh Pemerintah Jerman sebagai imbas dari kebijakan energi terbarukan dan pengurangan pemanfaatakn tenaga nuklir yang terbit pada 2011. Penutupan fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di Jerman ini minim penolakan, meski sempat ada pertentangan yang tak berarti dari faksi partai berkuasa yang dekat dengan kalangan bisnis.</p>
<p>Minimnya upaya memblokir ekspropriasi Vattenfall adalah karena penolakan ekspropriasi Vattenfall diartikan tidak mendukung perkembangan energi bersih terbarukan yang telah berkembang cukup pesat sehingga mampu menciptakan <a href="https://doi.org/10.1080/09644001003793222">banyak lapangan kerja baru</a>. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Pembangkit Brokdorf" src="https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/543449/original/file-20230818-27-c61gx4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Brokdorf milik Vattenfall di Jerman berhenti beroperasi pada 2021 sebagai buntut kebijakan energi terbarukan Pemerintah Jerman.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/wischhafen-germany-17-july-2022-former-2183477617">Simlinger/shuttertock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kita juga bisa melihat pelajaran berharga dari nasionalisasi besar-besaran perusahaan minyak asing oleh <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/228665034.pdf">Pemerintah Venezuela pada 2007</a>.</p>
<p>Venezuela merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Sayangnya, investasi yang masuk ke sektor ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Perekonomian Venezuela sangat bergantung pada minyak yang berkontribusi sekitar <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s12182-018-0215-4">60% ke pendapatan negara</a>.</p>
<p>Elit berkuasa di Venezuela gagal memanfaatkan perolehan dari investasi di sektor minyak untuk mengembangkan sektor perekonomian yang lain. Dengan bumbu-bumbu nasionalisme sempit, ekspropriasi pun dilakukan. Tidak ada pemblokiran karena investasi asing dianggap tidak membawa berkah. </p>
<p>Kini, <a href="https://www.reuters.com/business/energy/venezuela-needs-58-bln-restore-crude-output-1998-levels-document-2021-05-10/">Venezuela sedang berusaha keras menarik kembali investasi</a> asing di sektor minyak untuk menyelamatkan perekonomiannya. </p>
<h2>Lebih dari sekadar kepemilikan saham</h2>
<p>Ada tiga hal yang ingin saya garis bawahi dari analisis di atas.</p>
<p>Pertama, kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas dari dinamika politik. Besarnya dampak sektor ini bagi hajat hidup masyarakat, membuat kita tidak bisa melihat dinamika pengelolaan sumber daya alam dari kacamata untung-rugi ekonomi semata. Kita juga harus mengamati bagaimana para pemangku kepentingan memiliki persepsi jangka panjang. </p>
<p>Kedua, meski sarat isu politik, bukan berarti ekspropriasi atau divestasi hanya isu nasionalisme yang muncul saat harga komoditas naik atau saat menjelang tahun politik. </p>
<p>Agar bisa mengambil langkah strategis dengan fokus jangka panjang, kita perlu mengubah paradigma bahwa sektor sumber daya alam bukan sekadar sumber pendapatan negara. Sektor ini harus dilihat sebagai pendorong berkembangnya perekonomian yang beragam.</p>
<p>Pemerintah juga harus membuka ruang bagi perbedaan pandangan dan konsultasi publik. Harapannya, setiap langkah yang diambil benar-benar mengakomodasi kepentingan khalayak.</p>
<p>Ketiga, jika ekspropriasi adalah untuk kepentingan publik, maka kita tak seharusnya hanya fokus pada berapa besar kepemilikan perusahaan nasional dalam suatu perusahaan asing. </p>
<p>Hal yang justru lebih penting: sejauh mana kepemilikan tersebut dapat menjamin tersedianya barang publik, pengembangan sektor ekonomi lain, sekaligus melindungi hak-hak masyarakat terutama yang tinggal di sekitar area produksi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211198/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Raras Cahyafitri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Agar tak terbuai dengan janji-janji nasionalisme dan keuntungan sementara, masyarakat perlu memahami motivaasi pengambilalihan aset asing dan mendorong langkah strategis.Raras Cahyafitri, Lecturer at the International Relations Department, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1657512021-10-08T06:16:37Z2021-10-08T06:16:37ZPatriotisme, moralisme, kapitalisme: tiga ideologi kuat dalam sistem pendidikan yang mempengaruhi kesehatan mental anak muda Indonesia<p><em>Burnout</em>, <em>coping (with) stress</em>, <em>self-love</em>, dan banyak lagi adalah istilah-istilah terkait kesehatan mental yang kian sering kita temui di media sosial.</p>
<p>Keterbukaan pada isu kesehatan mental semakin meningkat, terutama di kalangan anak muda. Satu dekade belakangan ini, kesadaran tentang kesehatan mental sering dikampanyekan oleh praktisi psikologi, psikiatri, dan kesehatan masyarakat. </p>
<p>Pandemi, selain membuat sebagian besar kita jadi lebih memperhatikan kesehatan fisik, juga membuat kita lebih memperhatikan sisi mental.</p>
<p>Ada <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/coronavirus/tips-remaja-menjaga-kesehatan-mental-selama-covid-19?gclid=CjwKCAjw95yJBhAgEiwAmRrutJBRXLMfwYYcWQeQfEhMwLiAX9xdGPitUGQ3TgDae4UHrp4F8yQy3BoCg2oQAvD_BwE">beragam cara</a> sering dibagikan untuk membantu mengatasi masalah kesehatan mental secara individual, dari meditasi, yoga, afirmasi positif (pernyataan positif bagi diri sendiri maupun orang lain, <em>self-compassion</em> (sikap untuk memberikan kebaikan pada diri dan memahami diri sendiri), hingga terapi dengan bantuan hewan (peliharaan) atau <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781315784618/pets-mental-health-odean-cusack"><em>pet therapy</em></a>. </p>
<p>Tapi benarkah kesehatan mental semata-mata berada pada tataran individu, sehingga cara meningkatkannya adalah lewat terapi individual saja? </p>
<p>Adakah hal-hal lain yang lebih besar pengaruhnya atas individu, hal-hal yang bersifat struktural dan ideologis misalnya?</p>
<p>Bagaimana jika ternyata, cara pikir atau ideologi negara tentang individu (misalnya gagasan tentang warga negara yang baik itu seperti apa) berdampak bagi kesehatan mental warga negara? </p>
<p>Inilah yang saya dan rekan-rekan teliti dalam <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/chso.12481">studi kami</a> pada awal 2020 tentang kesehatan mental remaja dalam konteks pendidikan menengah di Indonesia. </p>
<p>Kami menemukan setidaknya ada tiga konstruksi ideologis kuat pengaruhnya dalam sistem pendidikan kita, yang pada gilirannya mempengaruhi kesehatan mental remaja di Indonesia saat ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-anak-muda-klaim-mengidap-gangguan-mental-setelah-nonton-joker-bahaya-self-diagnosis-125061">Banyak anak muda klaim mengidap gangguan mental setelah nonton Joker: bahaya _self diagnosis_</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Patriotis, kapitalis, moralis</h2>
<p>Saya meneliti topik ini bersama rekan peneliti Francesca Salvi dan Paul Gorczynski dari University of Portsmouth, dan Tanya Wells Brown dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris.</p>
<p>Kami menelaah buku-buku mata pelajaran Kewarganegaraan, dokumen-dokumen kebijakan pendidikan, pernyataan-pernyataan tokoh bangsa yang relevan di media, dan berbincang dengan murid-murid sekolah menengah pertama dan guru-guru di Surabaya, Jawa Timur. </p>
<p>Tanpa berniat melakukan generalisasi, studi kualitatif ini mencoba membongkar narasi dominan yang melandasi cara-cara pandang tentang warga negara yang baik dan dampaknya bagi kesehatan mental remaja.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, analisis data kami menemukan narasi patriotisme yang bernuansa maskulin. </p>
<p>Buku-buku pelajaran Kewarganegaraan tingkat pendidikan menengah saat ini masih penuh dengan ide-ide tentang nasionalisme warisan rezim militer Orde Baru. </p>
<p>Alih-alih nilai-nilai demokrasi tentang bagaimana warga negara memiliki hak-hak yang dijamin oleh negara, buku-buku pelajaran ini lebih menitikberatkan pada kewajiban warganegara untuk membela bangsa, mengabdi, dan berkorban bagi negara. </p>
<p>Kisah-kisah heroik pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan dan atlet peraih medali olimpiade menjadi contoh-contoh yang sering dikutip dalam buku-buku ini. </p>
<p>Dalam konteks pendidikan, patriotisme seperti ini diterjemahkan menjadi ketundukan mutlak pada otoritas sekolah dan rasa bangga berjuang mencapai prestasi dalam lomba-lomba. </p>
<p>Gambaran generasi muda ideal di sini adalah mereka yang tangguh, mengesampingkan kepentingan pribadi, dan siap memenuhi panggilan atau tuntutan sekolah dan bangsa. </p>
<p>Citra ini sangat maskulin. </p>
<p>Remaja yang berhati lembut dan pandai merefleksikan perasaannya, merawat kebahagiaan diri, dan memperhatikan kesehatan mentalnya tidak sesuai dengan gambaran ideal patriotik maskulin tersebut. </p>
<p><a href="https://regional.kompas.com/read/2019/12/13/13045841/ditanya-soal-penghapusan-un-jusuf-kalla-jangan-jadi-generasi-muda-yang">Generasi yang lembek</a> dan mudah menyerah – demikian tuduhan yang dilontarkan.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, data kami menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme pasar bebas (atau yang lebih dikenal dengan neoliberalisme) telah merasuki dunia pendidikan Indonesia dan ikut mendefinisikan gambaran ideal remaja Indonesia. </p>
<p>Mantra-mantra kapitalistik tentang daya saing bangsa dan sumber daya manusia yang andal begitu dominan di benak pembuat kebijakan pendidikan; seolah tujuan utama pendidikan hanyalah mencetak tenaga kerja siap pakai. </p>
<p>Tekanan mencapai prestasi akademik sesuai indikator capaian dan tuntutan pasar pun mengemuka dalam praktik pendidikan. </p>
<p>Generasi muda ideal digambarkan sebagai mereka yang ambisius, kompetitif, pekerja keras, dan siap menghadapi tuntutan apa pun yang diberikan atasan. </p>
<p>Kesehatan mental tidak mendapat ruang dalam semangat kapitalistik seperti ini. </p>
<p>Responden remaja kami mengeluhkan bagaimana kurikulum yang berat dan tuntutan akademik tinggi membuat mereka tidak bahagia. </p>
<p>Guru-guru pun mengeluhkan kurangnya waktu dan kesempatan untuk memperhatikan kesehatan mental diri dan siswa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">Riset: standar pemerintah untuk "anak muda yang ideal" buta kesenjangan dan minim dukungan negara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Yang <strong>ketiga</strong> adalah moralisme yang diajarkan dalam nuansa agamis dan hubungan ala paternalisme.</p>
<p>Narasi-narasi ketaatan pada moral, pada norma masyarakat, dan pada tatanan sosial mewarnai buku-buku pelajaran Kewarganegaraan dan praktik pendidikan kita. </p>
<p>Alih-alih kritis mempertanyakan penindasan dan ketidakadilan sistemik, generasi muda diharapkan patuh dan ikut menjaga tatanan moral yang dibuat otoritas, misalnya melaporkan temannya yang melanggar aturan sekolah. </p>
<p>Retorika agamis pun membungkus ide-ide ini di buku pelajaran Kewarganegaraan; seolah menyiratkan bahwa kepatuhan mutlak pada aturan buatan penguasa adalah kehendak Sang Ilahi.</p>
<p>Situasi ini semakin parah dengan konteks hubungan di dunia pendidikan berdasar paternalisme: guru diposisikan sebagai sosok yang mulia dan otoritatif; siswa hampir tidak memiliki ruang untuk mempertanyakan. </p>
<p>Salah satu contoh yang jelas digambarkan dengan foto di buku pelajaran Kewarganegaraan adalah praktik menunduk dan mencium tangan guru sebagai contoh perilaku remaja yang baik. </p>
<p>Di satu sisi, kami memahami nilai-nilai kearifan agama dan budaya lokal yang dimaksud. </p>
<p>Namun, di sisi lain kami mengidentifikasi bagaimana relasi paternalistik dan moralisme membatasi ruang bagi kebebasan individu untuk membuat pilihan sendiri dan penghargaan terhadap konsep diri yang beragam – yang notabene adalah komponen penting bagi kesehatan mental individu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-riset-tentang-keseharian-anak-muda-dalam-memahami-tingkat-konservatisme-di-antara-mereka-132665">Pentingnya riset tentang keseharian anak muda dalam memahami tingkat konservatisme di antara mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memeriksa lebih dalam, lebih jauh</h2>
<p>Dari hasil studi ini kami menyarankan setidaknya tiga hal. </p>
<p>Pertama, peneliti dan praktisi kesehatan mental perlu mulai memperhatikan dimensi-dimensi struktural, ideologis, dan kontekstual agar peningkatan kesehatan mental lebih efektif, bukan hanya ujung gunung es pada tataran individu saja. </p>
<p>Kedua, kami mendorong peneliti dan praktisi kesehatan mental untuk mendefinisikan ulang dan menggali potensi yang dimiliki oleh kearifan agama dan budaya lokal dalam memajukan sekaligus mempertanyakan konsep kesehatan mental. </p>
<p>Harus diakui, konsep dan praktik kesehatan mental modern yang kita kenal saat ini adalah ciptaan Barat yang mengandung <a href="https://www.researchgate.net/publication/354207829_Kontestasi_Diskursif_di_Balik_Konsep_dan_Praktik_Kesehatan_Mental_Kekuasaan_Kolonialisme_dan_Kapitalisme">narasi-narasi kolonial</a>. </p>
<p>Ketiga, kami mengajak individu-individu terutama generasi muda untuk melihat isu kesehatan mental secara kritis: bahwa orang yang mengalami masalah kesehatan mental bukan saja “pesakitan yang perlu disembuhkan”, tapi korban ketidakadilan struktural dan ideologis. </p>
<p>Tanpa mengecilkan pentingnya yoga, meditasi, dan afirmasi positif, bergerak memperjuangkan transformasi sosial-ideologis bisa jadi adalah proses yang terapeutik. </p>
<hr>
<p><em>Simak bincang-bincang dengan Teguh Wijaya Mulya tentang riset ini di <a href="https://theconversation.com/negara-yang-membuatmu-tak-bahagia-saat-sistem-pendidikan-mendewakan-pasar-dan-melupakan-kesehatan-mental-166832">podcast SuarAkademia</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165751/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Teguh Wijaya Mulya menerima dana dari University of Portsmouth, UK untuk melakukan riset ini.</span></em></p>Benarkah kesehatan mental semata-mata berada pada tataran individual? Bagaimana jika ternyata ada kekuatan-kekuatan ideologis yang juga berperan bagi kesehatan mental individu?Teguh Wijaya Mulya, Senior Lecturer, Psychology, Universitas SurabayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1661852021-08-26T10:25:55Z2021-08-26T10:25:55ZBagaimana negara-negara menggunakan identitas digital untuk meminggirkan kelompok rentan di seluruh dunia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/416274/original/file-20210816-14-1uki032.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=19%2C9%2C6342%2C3956&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/smart-id-card-form-lines-triangles-1277449342">Illus Man/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dunia kini menjadi sangat terhubung – bahkan mencapai titik yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.</p>
<p>Bersamaan dengan ini, negara, perbankan, sistem komunikasi, transportasi, teknologi, dan organisasi pembangunanan internasional telah mengadopsi berbagai bentuk identifikasi (ID) digital. Bahkan, saat ini banyak pihak menyerukan perlunya mempercepat proses pendaftaran untuk memastikan setiap orang di planet ini memiliki identitas digital mereka sendiri.</p>
<p>Kita tidak serta-merta sampai pada era baru manajemen data digital ini dengan begitu saja.</p>
<p>Organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah <a href="https://unstats.un.org/legal-identity-agenda/">secara aktif mendorong</a> berbagai negara untuk memberikan jaminan hukum atas status kependudukan setiap warga. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memerangi kemiskinan struktural, status <a href="https://www.bbc.co.uk/news/blogs-magazine-monitor-30079580">kewarganegaraan yang tidak jelas</a>, serta pengucilan sosial. </p>
<p>Berbagai kebijakan sosial ini sengaja menyasar populasi miskin dan rentan – termasuk masyarakat adat, penduduk dari ras atau etnis minoritas, serta perempuan – untuk memastikan mereka mendapatkan kartu identitas sehingga bisa mengakses layanan umum.</p>
<p>Dengan merangkul kelompok marginal, negara memberikan perhatian pada orang-orang yang secara historis mengalami pengucilan secara sistematis dan tidak diakui secara formal sebagai warga negara. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="Sampul buku berjudul 'Legal Identity, Race and Belonging in the Dominican Republic' (Identitas Hukum, Ras, dan Rasa Memiliki di Republik Dominika)." src="https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=842&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=842&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=842&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1059&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1059&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/412906/original/file-20210723-21-1so4qlw.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1059&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Lorena Espinoza Peña</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=sejxDeI9zYw">penelitian saya</a> mengungkap bahwa negara di seluruh dunia dapat menyalahgunakan berbagai sistem identitas digital yang diakui secara internasional.</p>
<p>Hasil studi ini juga diadaptasi menjadi buku berjudul <a href="https://anthempress.com/legal-identity-race-and-belonging-in-the-dominican-republic-hb">‘<em>Legal Identity, Race, and Belonging in the Dominican Republic: From Citizen to Foreigner</em>’</a> (Identitas Hukum, Ras, dan Rasa Memiliki di Republik Dominika: Dari Warga Negara Menjadi Orang Asing).</p>
<p>Buku itu menyoroti bagaimana pemerintah Republik Dominika menerapkan berbagai kebijakan yang <a href="https://theconversation.com/dominican-republic-has-taken-citizenship-from-up-to-200-000-and-is-getting-away-with-it-43161">secara sistematis</a> menghalangi warga keturunan Haiti berkulit hitam untuk mengakses dan memperbarui identitas legal yang diperlukan di negara tersebut.</p>
<p>Selama bertahun-tahun, orang-orang keturunan Haiti yang lahir di Republik Dominika
berjuang mati-matian untuk (kembali) mendapatkan identitas mereka.</p>
<p>Namun, para pejabat berdalih bahwa selama lebih dari 80 tahun mereka telah keliru memberikan dokumen Dominika kepada anak-anak dari imigran Haiti, dan sekarang perlu memperbaiki kesalahan ini.</p>
<p>Di lain pihak, warga keturunan Haiti mengatakan bahwa mereka adalah warga Dominika, dan bahkan memiliki dokumen untuk membuktikannya – tapi negara justru menolak mereka. </p>
<p>Praktik-praktik ini berujung pada <a href="https://theconversation.com/how-a-group-of-dominicans-were-stripped-of-their-nationality-and-now-face-expulsion-to-haiti-39658">keputusan Mahkamah Konstitusi</a> tahun 2013 yang mencabut status kewarganegaraan dari orang-orang keturunan Haiti yang lahir di Dominika, sehingga membuat mereka tidak memiliki negara. Sebuah kampanye <a href="https://www.reconoci.do/">berupaya melawan hal ini</a> dengan menuntut lembaga catatan sipil di Dominika untuk kembali mengakui identitas kewarganegaraan semua warga keturunan Haiti. </p>
<p>Dalam penelitian, saya menjelaskan bagaimana berbagai organisasi internasional pada waktu itu justru bersikap tak acuh saat Republik Dominika memburu dan menghalangi parga warga keturunan Haiti untuk mendapatkan identitas kependudukan. Hasil studi ini sekaligus menjadi kritikan keras terhadap berbagai praktik politik identitas seperti ini di seluruh dunia.</p>
<p>Isu mengenai siapa yang dianggap memenuhi syarat untuk menjadi warga negara, serta siapa yang dikucilkan sebagai orang asing (yaitu keturunan Haiti), dianggap menjadi hak pemerintah Dominika sebagai bentuk kedaulatan mereka.</p>
<p>Akibatnya, puluhan ribu orang kini hidup di negara tersebut, namun tanpa dokumentasi resmi sehingga tidak bisa mengakses layanan sosial seperti jaminan kesehatan maupun pendidikan.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/U8xZpNG39oc?wmode=transparent&start=1" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Perlunya mengatasi kesenjangan identitas global</h2>
<p>Saat ini, kita banyak melihat kasus-kasus serupa di seluruh dunia.</p>
<p>Pada Juni 2021, saya menyelenggarakan <a href="https://www.sas.ac.uk/videos-and-podcasts/culture-language-and-literature/reimagining-conference-day-one">konferensi</a> di University of London, Inggris berjudul “<em>(Re)Imagining Belonging in Latin America and Beyond: Access to Citizenship, Digital Identity and Rights</em>” (Membayangkan Kembali Rasa Memiliki di Amerika Latin: Akses Hak Kewarganegaraan dan Identitas Digital).</p>
<p>Konferensi ini bekerja sama dengan <a href="https://www.institutesi.org/about-us"><em>Intitute on Statelessness and Inclusion</em></a> di Belanda, dan membahas hubungan antara identitas dengan rasa memiliki, ID digital, dan hak kawarganegaraan.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah makalah tentang nasib warga Prancis dalam <a href="https://theconversation.com/a-french-windrush-when-french-caribbeans-were-treated-as-second-class-citizens-97144">skema BUMIDOM</a> – gagasan dari pemerintah negara tersebut yang pada tahun 1960-an berupaya mendatangkan tenaga kerja dari daerah bekas jajahan Prancis – namun berujung diabaikan oleh negara.</p>
<p>Selain itu, ada juga akademisi yang membahas tantangan hukum yang dialami warga <em>non-binary</em> (seseorang yang tidak menganggap dirinya laki-laki maupun perempuan) di Peru, pengalaman warga Kuba di luar negeri yang tidak jelas kewarganegaraannya, serta perdebatan “<a href="https://www.theguardian.com/us-news/2020/mar/16/anchor-babies-the-ludicrous-immigration-myth-that-treats-people-as-pawns">bayi jangkar</a>” tentang apakah anak-anak yang lahir dari migran tanpa dokumen secara otomatis mendapatkan akses menjadi warga negara Amerika Serikat (AS).</p>
<p>Konferensi tersebut diakhiri dengan acara <a href="https://www.sas.ac.uk/videos-and-podcasts/culture-language-and-literature/reimagining-belonging-latin-america-and-beyond">meja bundar internasional</a> yang mengkaji proses pendaftaran identitas digital di seluruh dunia yang kerap digunakan untuk tujuan diskriminatif. Meja bundar tersebut di antaranya membahas nasib dari populasi-populasi rentan seperti orang-orang <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2019/aug/30/nightmarish-mess-millions-assam-brace-for-loss-of-citizenship-india">Assam di India</a>, <a href="https://www.fmreview.org/preventing/brinham">Rohingya di Myanmar</a>, dan <a href="https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2018/08/03/heres-what-it-means-to-be-somali-in-kenya/">orang Somalia di Kenya</a>.</p>
<p>Perdebatan seperti ini akan <a href="https://privacyinternational.org/news-analysis/3395/uns-legal-identity-task-force-opportunities-and-risks">semakin marak</a> dalam 10 tahun ke depan.</p>
<p>Bayangkan saja kejadian di mana seorang tunawisma tidak bisa lagi bepergian dengan transportasi umum karena perusahaan bus hanya menerima pembayaran dengan kartu, seorang perempuan tua berkulit hitam di AS tidak bisa mengikuti pemilu karena tidak punya identitas nasional, atau seorang perempuan yang dipecat dari pekerjaannya karena sistem mengidentifikasi dia sebagai imigran “ilegal”. </p>
<p>Bagi orang-orang yang berujung dikucilkan dari era digital baru ini, kehidupan sehari-hari akan terasa sangat sulit – bahkan mungkin mustahil untuk dijalani. </p>
<p>Meskipun kebutuhan untuk mempercepat pendaftaran identitas digital sangat mendesak, kita perlu berhenti sejenak dan merenung, terutama di dunia pasca-pandemi ini. </p>
<p>Tuntutan untuk membuat <a href="https://www.theweek.co.uk/news/uk-news/953548/vaccine-passports-to-lockdowns-boris-johnsons-five-biggest-u-turns-on-covid">paspor digital COVID</a>, kartu identitas biometrik, maupun sistem <em>track-and-trace</em> (uji dan lacak) memberikan ruang untuk pengawasan tidak hanya terhadap orang-orang yang keluar masuk suatu negara, tapi juga populasi rentan yang tinggal di negara tersebut.</p>
<p>Sudah saatnya kita berdiskusi serius tentang potensi buruk dari sistem ID digital, serta dampaknya yang sangat luas dan menentukan kehidupan banyak orang.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/166185/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eve Hayes de Kalaf terafiliasi dengan Haiti Support Group.</span></em></p>Di seluruh dunia, berbagai negara telah menggunakan praktik-prakik diskriminatif untuk menghalangi kelompok masyarakat tertentu saat berupaya mendapatkan status kewarganegaraan.Eve Hayes de Kalaf, Research Associate, CLACS University of London, and School of Language, Literature, Music and Visual Culture, University of AberdeenLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1231792019-09-13T04:19:30Z2019-09-13T04:19:30ZKetegangan di Papua dan hiper-nasionalisme di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/291804/original/file-20190910-190035-96maa1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bendera Indonesia berkibar bagai layang-layang pada perayaan Hari Kemerdekaan di Bali.</span> <span class="attribution"><span class="source">Made Nagi/ EPA</span></span></figcaption></figure><p>Konflik mutakhir tentang Papua memburuk kembali. Setidaknya <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/aug/29/west-papua-deaths-as-protest-turns-violent">tujuh orang tewas</a> ketika protes anti-pemerintah berubah menjadi kekerasan di wilayah paling timur Indonesia ini.</p>
<p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/08/31/govt-gets-grips-with-papua.html">berusaha segera</a> meredakan masalah yang sudah berkobar berminggu-minggu di dua provinsi di Pulau Papua - provinsi Papua dan Papua Barat - yang dipicu oleh <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/08/19/riots-flare-in-manokwari-after-racist-attack-on-papuan-students-in-surabaya.html">makian rasis</a> terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Agustus 2019.</p>
<p>Kerusuhan itu mengangkat kembali ke permukaan serangkaian masalah Papua yang sudah lama berlarut-larut dan tak kunjung terselesaikan. Dari soal perselisihan politik tentang integrasi Papua ke Indonesia, tindak kekerasan berulang-ulang, kesenjangan kesejahteraan, dan memburuknya kualitas lingkungan hidup akibat penghisapan kekayaan sumber alam.</p>
<p>Peristiwa paling belakangan ini menawarkan kesempatan bagus bagi kita untuk meninjau kembali nasionalisme Indonesia yang telah lama berubah menjadi hiper-nasionalisme.</p>
<h2>Menelaah kembali nasionalisme</h2>
<p><a href="https://nuspress.nus.edu.sg/collections/indonesia/products/identity-and-pleasure?variant=1245116500">Hiper-nasionalisme</a> merupakan sejenis nasionalisme yang sangat berbahaya. Nasionalisme jenis ini berkhayal dan menipu diri-sendiri tentang sejatinya sosok pribumi.</p>
<p>Ternoda unsur-unsur fasisme, jenis nasionalisme seperti ini memuja simbol-simbol, lambang-lambang, upacara dan busana seragam. Kadang-kadang semua yang diagung-agungkan itu mendekati kedudukan seperti benda keramat yang disucikan. </p>
<p>Reaksi galak dari petugas petugas negara dan juga warga negara biasa mudah terpancing apabila ada sedikit saja gejala yang dianggap mengancam atau merendahkan simbol-simbol nasionalisme.</p>
<p>Peristiwa di Surabaya memberikan contoh yang jelas. Pada peristiwa tersebut, petugas keamanan dan anggota organisasi kemasyarakatan melancarkan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/08/19/riots-flare-in-manokwari-after-racist-attack-on-papuan-students-in-surabaya.html">serangan</a> fisik dan verbal pada para mahasiswa Papua yang tinggal di asrama mereka.</p>
<p>Massa yang marah berbondong-bondong mendatangi asrama setelah mendengar desas-desus mengenai bendera Indonesia yang tercampak di dekat asrama tersebut. Reaksi terhadap desas-desus itu menunjukkan secara gamblang kuatnya hiper-nasionalisme yang selama ini tertanam mendalam kehidupan publik.</p>
<p>Karena itu pula, tuntutan orang Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia - terlepas dari adanya penderitaan mereka di balik keinginan itu - menyakitkan hati banyak orang Indonesia.</p>
<p>Yang lebih mengejutkan dan melukai hati banyak orang Indonesia adalah meluasnya dukungan dan solidaritas dari sesama orang Indonesia non-Papua sendiri terhadap tuntutan kemerdekaan Papua. Dukungan seluas itu belum pernah terjadi sebelumnya.</p>
<h2>Mengkhianati nasionalisme</h2>
<p>Nasionalisme yang agresif dan bercorak maskulin ini memberi kesan seakan-akan Indonesia telah mundur kembali (atau selama ini tidak pernah keluar dari) semangat hidup kolonial dan anti-kolonial di awal abad lampau.</p>
<p>Tapi jangan dikira hiper-nasionalisme ini semata-mata merupakan sisa-sisa dari masa revolusi 1945. Nasionalisme jenis ini juga bukan sepenuhnya warisan rejim diktator militeristik Orde Baru yang berakhir tahun 1998.</p>
<p>Benih hiper-nasionalisme sudah bisa terlihat meluas pada tahun 1950-an. Ia dipicu oleh dua agresi militer Belanda pada paruh kedua dekade 1940-an, setelah masyarakt menderita penindasan berkepanjangan di bawah pendudukan kolonial.</p>
<p>Anehnya, setelah lengsernya Orde baru, hiper-nasionalisme justru semakin kuat.</p>
<p>Lagu nasional “Maju Tak Gentar” yang dari masa perang revolusi masih sangat populer hingga masa kini.</p>
<p>Para pembicara di forum umum sering mengepalkan tinju ke udara sambil berteriak “Merdeka”. Ini kebiasaan dari tahun 1940-an, padahal negara Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun.</p>
<p>Slogan “NKRI Harga Mati” berasal dari masa dekolonialisasi di tahun 1940-an. Namun kini lebih laris diobral dalam berbagai percakapan daripada dulu-dulu.</p>
<h2>Melampaui negara</h2>
<p>Penting juga untuk dimaklumi bahwa hiper-nasionalisme tidak hanya marak sebatas propaganda dan upacara-upacara resmi kenegaraan. Nasionalisme jenis ini juga hadir di sela-sela kehidupan santai ketika orang menikmati hiburan dan rekreasi.</p>
<p>Sewaktu Orde Baru berkuasa, film-film semi-porno, supernatural, kekerasan, dan <em>thriller</em> mendominasi industri.</p>
<p>Tetapi mulai tahun 2000-an, film-film nasionalis berlimpah. Film-film ini mengagungkan kekuatan magis bendera Merah Putih dan lambang nasional burung Garuda.</p>
<p>Berbagai film biopik yang menampilkan para tokoh yang resmi disebut “pahlawan nasional” juga diproduksi dalam dekade terakhir ini. Semua pahlawan ini termasuk yang disebut kaum “pribumi”. Bahkan lebih sempit lagi, mereka semua berasal dari etnis Jawa.</p>
<p>Padahal kenyataannya, banyak dari para perintis gerakan nasionalis adalah mereka yang dijuluki “non-pribumi” - tapi tidak ada satu pun film komersial tentang mereka. Hampir semua tokoh berkulit putih dalam film-film semi-historis ini selalu digambarkan sebagai Belanda sang penindas atau kaki tangannya.</p>
<p>Akhir-akhir ini menyanyikan lagu kebangsaan berangsur-angsur menjadi kebiasaan baru pada pemutaran film komersial yang bertema nasionalis. Juga pada acara pembukaan konperensi akademik.</p>
<p>Pada bulan April 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan sekolah untuk memulai dan mengakhiri kegiatan belajar dengan menyanyikan lagu kebangsaan.</p>
<p>Bulan Juli di tahun yang sama, kementerian tersebut mengkampanyekan lagu kebangsaan dalam versi yang asli dan lebih panjang untuk dinyanyikan. </p>
<p>Hiper-nasionalisme yang kini merebak merupakan pengkhianatan terhadap gagasan kebangsaan modern dan kosmopolitan yang dulu mengilhami tumbuhnya gerakan nasionalis Indonesia seabad lalu. </p>
<p>Di masa itu nasionalisme tidak terlepas dari internasionalisme. Juga tidak terlepas dari gagasan tentang kesetaraan dan martabat manusia secara global, sebagaimana telah diukir dan dimuliakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar di negeri ini.</p>
<p><em>Fahri Nur Muharom berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/123179/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ariel Heryanto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Hiper-nasionalisme yang kini merebak merupakan pengkhianatan terhadap gagasan kebangsaan modern dan kosmopolitan yang dulu mengilhami tumbuhnya gerakan nasionalis Indonesia seabad lalu.Ariel Heryanto, Herb Feith Professor for the Study of Indonesia, Director of Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1024982018-09-03T01:37:48Z2018-09-03T01:37:48ZMengapa narasi politik identitas menguat menjelang pemilu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/234400/original/file-20180831-195316-qiyfil.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anggota Aliansi Muslim Tarakan Kalimantan Utara berunjuk rasa terkait tuduhan penodaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, 4 November 2016.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/510591442?src=PT69bMFTj8g0oMc4kIhtCg-1-1&size=medium_jpg">Antoni Halim</a></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/4OOcQWBukS6uf96qQzNvNd" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Setiap pemilihan umum, kebanyakan politikus Indonesia masih menggunakan isu agama dan kesukuan sebagai jurus utama. Mengantisipasi untuk pemilu serentak tahun depan, <a href="http://bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-identifikasi-potensi-kerawanan-pemilu-2019">Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sampai harus mewanti-wanti adanya potensi kerawanan sosial</a>. Dikhawatrikan, para kandidat saling lempar retorika politik identitas demi meraih suara pemilih.</p>
<p>Peneliti senior demografi politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riwanto Tirtosudarmo menyebut fenomena berulang itu sebagai disintegrasi dari dalam. Masyarakat sebenarnya terpecah-pecah. Secara nasional masih satu, tapi dari dalam rasa “kamu orang Madura”, “kamu orang Dayak” menguat.</p>
<p>Karena itu, menurut Riwanto, kita perlu menafsir ulang nasionalisme dan lebih relaks memandangnya. </p>
<p>Reaksi masyarakat terhadap ketimpangan ekonomi dapat mengemuka melalui perbedaan identitas. Agama menjadi satu identitas pembeda yang serius. Ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika, Eropa dan kawasan lain.</p>
<p>Kecenderungan intoleransi ini merata di hampir setiap tingkatan pendidikan masyarakat. Artinya, tingginya pendidikan tidak lantas membuat seseorang semakin toleran dengan perbedaan. Inilah batu sandungan demokrasi dalam menjaga kemajemukan. Coba lihat <a href="http://www.politik.lipi.go.id/index.php/kolom/politik-nasional/697-mengukur-derajat-intoleransi-kolektif">survei CSIS pada 2012</a> yang menunjukkan 33,7% respondennya mengaku enggan memiliki tetangga yang berbeda keyakinan. </p>
<p>Kemajemukan identitas sebenarnya memperkuat bangsa. Maka, perlu usaha bersama supaya Indonesia tidak bubar karena masalah politik primodialisme. Riwanto Tirtosudarmo menjelaskan masalah akut yang kerap melahirkan konflik tersebut.</p>
<p>Edisi ke-24 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Ikhsan Raharjo dan narator Malika. Selamat mendengarkan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/102498/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kecenderungan intoleransi ini merata di hampir setiap tingkatan pendidikan masyarakat.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/825232018-06-08T09:30:35Z2018-06-08T09:30:35ZBahasa gado-gado ‘a break from’ norma sosial dan tabu yang mengekang<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/186551/original/file-20170919-32090-j59en5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bagi pengkritik bahasa gado-gado, keberadaan bahasa Inggris dalam bertutur seolah membuat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia memudar.
</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Gado-gado merupakan salah satu makanan kebanggaan masyarakat Indonesia. Namun, sebagai ragam bahasa, yakni bahasa gado-gado, penerimaannya tidak demikian hangat. </p>
<p>Bahasa gado-gado adalah sebutan yang memberi stigma bagi ragam bahasa dan juga penuturnya. “Gado-gado” dalam bahasa gado-gado menunjuk pada ketercampuran bahasa Indonesia dengan bahasa lain, utamanya bahasa Inggris. </p>
<p>Sebenarnya percampuran bahasa, misalnya dengan bahasa daerah pun bisa disebut sebagai bahasa gado-gado. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia menyoroti dan mengkritisi keberadaan bahasa Inggris dalam bahasa gado-gado.</p>
<p>Mantan Presiden <a href="http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/11/n29dgx-ini-bahasa-gadogado-yang-digunakan-sby">Susilo Bambang Yudhoyono</a>, artis <a href="https://www.kompasiana.com/dhave/bahasa-yang-tercemar_550d9116a33311241e2e3c0e">Cinta Laura</a>, dan <a href="http://hurek.blogspot.com/2012/06/bahasa-gado-gado-agnes-monica.html">Agnez Mo</a> adalah beberapa penutur bahasa gado-gado yang kerap kali kita dengar dan mendapat kecaman dari beberapa masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, mereka dihakimi secara tidak adil, dan seringnya tanpa data. </p>
<p>Ini juga mengindikasi bahwa, saat bahasa gado-gado digunakan dalam percakapan atau wacana lain, banyak dari kita secara otomatis melakukan kontekstualisasi politik identitas yang menghubungkan rasa kebangsaan dan ragam bahasa yang dipilih.</p>
<p>Namun, dalam penelitian saya, bahasa gado-gado, jika digunakan dalam perpaduan yang baik secara tata bahasa, ternyata memainkan fungsi perlawanan terhadap pengekangan kebebasan berekspresi mengenai hal-hal yang tabu dan di luar norma sosial budaya yang dominan di Indonesia. </p>
<p>Dalam penelitian saya, yang belum lama ini terbit di <a href="https://doi.org/10.1111/weng.12313"><em>World Englishes</em></a> saya mempelajari beberapa novel yang diterbitkan antara 2004-2011 atau setelah era Orde baru. Selain itu saya juga meneliti film. Bahasa gado-gado banyak ditemukan di dalam produk budaya populer tersebut. </p>
<p>Hasil penelitian saya mengungkapkan bahwa salah satu fungsi bahasa gado-gado terkait dengan perayaan kebebasan setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Bahasa gado-gado membantu para penutur menyampaikan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/weng.12313">hal-hal non-normatif, kepribadian yang modern</a>, dengan lebih terbuka, dan lebih positif. </p>
<h2>Memakai bahasa Inggris = jati diri bangsa memudar?</h2>
<p>Ketika orang Indonesia menggunakan bahasa gado-gado, mereka menggunakan struktur bahasa Indonesia dengan memasukkan kata-kata bahasa Inggris dalam kalimat atau antarkalimat. Dalam dunia linguistik, percampuran bahasa ini biasanya disebut sebagai <em>code-switching</em>. Namun, dalam studi saya, bahasa gado-gado saya tujukan hanya untuk percampuran bahasa Indonesia (dan variasinya) dan bahasa Inggris. </p>
<p>Penutur bahasa gado-gado biasanya dituduh telah kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia, angkuh atau senang pamer, sampai tidak mampu berbahasa Inggris dengan benar, sehingga diberikan julukan “kebarat-baratan atau keinggris-inggrisan,” seperti yang <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/20061119/Ketahanan.Bahasa.Indonesia.Masih.Jadi.Tantangan">diungkapkan oleh beberapa ahli bahasa</a>. </p>
<p>Jika kita kaji lagi, tuduhan ini semuanya berkaitan dengan keberadaan bahasa Inggris yang buat sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih merupakan bahasa asing. </p>
<p>Tuduhan ini juga membenturkan penggunaan atau pemilihan bahasa dengan identitas penutur sebagai orang Indonesia.</p>
<p>Dengan semangat etnosentris, untuk kebanyakan orang Indonesia, berbahasa Indonesia erat kaitannya dengan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris di dalam wacana seolah membuat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia memudar. </p>
<h2>Bahasa Indonesia terkait erat dengan pembentukan bangsa</h2>
<p>Pembentukan jati diri kita sebagai bangsa dan orang Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Sebelum era kemerdekaan, para pendiri bangsa memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang menyatukan berbagai kelompok suku dalam satu identitas kebangsaan. Dalam konvensi perwakilan pemuda dari berbagai suku pada 1928, yang tanggal pelaksanaannya kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, mereka menyepakati adanya “Satu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa”. </p>
<p>Peringatan setahun sekali Sumpah Pemuda ini mengingatkan warga negara Indonesia, khususnya generasi muda, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia. </p>
<p>Pemerintah Orde Baru juga memperkuat semangat nasionalisme melalui bahasa. Pada 1990-an, pemerintah Orde Baru melarang penggunaan bahasa Inggris di markah hotel-hotel dan gedung-gedung. </p>
<p>Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru, pemerintahan pasca-Orde baru di era Reformasi pun memiliki kebijakan yang hampir serupa dengan mengeluarkan <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/UU_2009_24.pdf">Undang-Undang No. 24/2009</a>. </p>
<p>Menurut analisis wacana dalam <a href="https://doi.org/10.1111/weng.12313">penelitian terbaru</a> dan berdasarkan interpretasi saya mengenai ideologi bahasa, undang-undang tersebut menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang hendaknya dicintai, bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dilestarikan, dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang harus dikuasai. </p>
<p>Pembedaan antara bahasa-bahasa tersebut mengisyaratkan kepada warga Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian sebagai bentuk cinta dan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa “luar” yang hanya perlu dikuasai untuk urusan ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan.</p>
<h2>Beda bahasa, beda ideologi?</h2>
<p>Pemisahan fungsi bahasa-bahasa tersebut mengisyaratkan keyakinan pemerintah atas ideologi yang dibawa oleh masing-masing bahasa. </p>
<p>Pemerintah memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus kita gunakan dalam keseharian, dalam ragam formal. Namun, pada kenyataannya kita lebih sering menggunakan bahasa Indonesia yang baku di ruang-ruang kelas, daripada di pergaulan kita. </p>
<p>Sedangkan bahasa daerah, bagi pemerintah, berfungsi untuk mengkomunikasikan hal-hal tradisional dan kedaerahan. Untuk bahasa Inggris, pemerintah melihatnya sebagai bahasa luar yang asing dan mengharapkan masyarakat Indonesia untuk menguasainya, tapi tidak mengadopsi “ideologi” dan “budaya” yang dibawanya. </p>
<p>Secara tidak langsung, pemerintah dan kebanyakan masyarakat Indonesia melihat bahasa Inggris sebagai pembawa pengaruh dari luar. Sebagian pengaruh tersebut dianggap tidak baik atau bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau semangat kebangsaan kita. Ideologi yang tersirat inilah yang pada akhirnya sering kali digunakan sebagai landasan untuk memandang buruk seseorang yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. </p>
<h2>Bahasa gado-gado dalam novel</h2>
<p>Selain meneliti novel, saya juga menganalisis teks beberapa film Indonesia. Dalam semua teks ini, alih-alih menggunakan bahasa gado-gado secara acak, penulis dan karakter menggunakannya secara diskursif atau mempunyai pola dan tujuan. Juga, penggunaan bahasa gado-gado di kedua media ini terjadi dalam ragam bahasa dan tata bahasa yang baik, yang pada akhirnya memberikan ruang untuk kita untuk segera merenungkan, “Benarkah semua fenomena penggunaan bahasa gado-gado adalah bentuk dari keserampangan atau penyimpangan berbahasa?”</p>
<p>Dalam tulisan kali ini, saya meneliti beberapa novel dan teks populer, seperti serial <em>Ms. B</em> oleh Fira Basuki, <em>9 Summers 10 Autumns (9S10A)</em> oleh Iwan Setyawan, dan <em>Madre</em> oleh Dewi Lestari, yang diterbitkan setelah era runtuhnya era Orde Baru. Novel-novel tersebut diterbitkan antara 2004-2011. </p>
<p>Hasil penelitian saya mengungkapkan bahwa salah satu fungsi bahasa gado-gado terkait dengan perayaan kebebasan setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Bahasa gado-gado juga menjadi salah satu bentuk sikap yang menantang kebijakan pemerintah yang masih memelihara sikap yang sama dengan Orde Baru yang menegakkan monolingualisme, dengan memberikan banyak ruang kepada Bahasa Indonesia baku. </p>
<p>Salah satu kebijakan yang bisa kita lihat pada EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, 2015), yang terkesan meminggirkan bahasa daerah dan bahasa asing. Salah satu contohnya dengan memiringkan huruf pada penggunaaan keduanya melalui kebijakan bahasanya. </p>
<h2>Bahasa gado-gado untuk merayakan pribadi yang kosmopolitan</h2>
<p>Karakter dalam novel Ms. B dan 9S10A merayakan pribadi mereka yang global dan lokal melalui penggunaan bahasa gado-gado. Dalam dialog dan narasi di mana bahasa gado-gado digunakan, baik narator dan karakter menggunakannya untuk merayakan beberapa budaya, nilai hidup yang mereka rasakan dan alami, saat di luar negeri. </p>
<p>Meskipun kerap mencampur bahasa Inggris dalam dialog dan narasi mereka, penulis, narator, dan karakter (yang selanjutnya akan saya sebut sebagai “penutur”) tidak melupakan akar rumpunnya dan rumahnya di Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, bahasa gado-gado digunakan untuk menyatakan dan mendefinisi kembali arti kata “rumah” secara bersamaan. </p>
<p>Bagi mereka, “rumah” tidak lagi dimaknai secara sempit, namun “rumah” adalah tempat saat mereka mengembara dan tinggal di luar negeri, dan rumah saat di Indonesia. Bahasa gado-gado membantu mempertegas makna ini. Makna rumah dipertegas dan dinyatakan secara simbolik, dengan penggunaan dua bahasa. </p>
<p>Dengan kata lain, alih-alih melihat bahasa Inggris sebagai penghambat, para penutur ini melihat bahasa Inggris sebagai sumber daya atau kekuatan dalam menyampaikan maksud mereka, dengan lebih terbuka, lebih luas, dan tidak terikat ideologi yang diampu oleh bahasa Indonesia. </p>
<p>Dengan tetap menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia melalui pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan dalam wacana mereka dan hal-hal non-linguistik lainnya yang mengesankan identitas mereka sebagai orang Indonesia, para penutur bahasa gado-gado ini menawarkan sebuah alternatif lain dalam menakar keindonesiaan kita: bahwa kita bisa membincangkan hal-hal di luar keindonesiaan secara lebih positif dan terbuka. Setidaknya ini terlihat pada ragam tulisan atau pembicaraan yang sudah direncanakan, seperti pada dialog dan narasi novel.</p>
<p>Juga, melalui penggunaan bahasa gado-gado, seseorang bisa dan boleh melihat dirinya sebagai <em>in-betweener</em>, yakni sebagai orang Indonesia yang melihat “budaya asing” sebagai sesuatu yang bisa menjadi positif dan bukan melulu sebagai penghambat dalam pembentukan jati diri sebagai orang Indonesia. Melalui bahasa gado-gado yang terstruktur baik secara tata bahasa, kita dapat melihat agensi kemandirian pembicara untuk menampilkan siapa dirinya kepada dunia. </p>
<p>Dalam melihat ragam bahasa ini, banyak dari kita terjebak pada struktur ras, etnis, suku bangsa, tapi tidak pada hasil produksi budaya yang terjadi di masyarakat itu sendiri (Hall, 1983). Bahasa gado-gado adalah salah satu produksi budaya yang memang terjadi.</p>
<p>Saya sepakat bahwa tidak semua bahasa gado-gado memiliki fungsi diskursif dan teratur. Namun akan sangat tidak adil menghakimi semua penuturnya secara sepihak tanpa melihatnya lebih dalam dan lebih teliti. Dengan kata lain, mereka yang menggunakan dua bahasa atau lebih yang memiliki fungsi dikursif pun ada dan tidak serta-merta meninggalkan jati diri asalnya. Bagi penutur ini menjadi seorang bilingual dipandang sebagai sebuah keuntungan dan energi positif, dan bukan sebaliknya. Dan ini terlihat di novel-novel yang saya teliti.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ilmiah berjudul</em> Bahasa gado-gado: English in Indonesian popular texts <em>bisa dibaca <a href="https://doi.org/10.1111/weng.12313">di sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/82523/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nelly Martin-Anatias menerima dana dari beasiswa Fulbright dan research assistantship dari program Second Language Acquisition, University of Wisconsin-Madison, USA. </span></em></p>Bahasa gado-gado ternyata memainkan fungsi perlawanan terhadap pengekangan kebebasan berekspresi mengenai hal-hal yang tabu dan di luar norma sosial budaya yang dominan di Indonesia.Nelly Martin-Anatias, Honorary Visiting scholar at Institute of Culture, Discourse and Communication (ICDC), Auckland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/904862018-01-25T10:11:32Z2018-01-25T10:11:32ZPenangkapan ikan ilegal & sengketa Laut Cina Selatan picu kebangkitan nasionalisme di media<p>Di tengah sengketa Laut Cina Selatan serta penenggelaman dan peledakan kapal ikan asing di perairan Indonesia, narasi-narasi nasionalisme menguat terutama di media nasional tiga tahun terakhir ini.</p>
<p>Penangkapan ikan secara ilegal, terjadi di banyak tempat di teritorial laut Indonesia, kebanyakan dikaitkan dengan Laut Cina Selatan. Dalam peliputan media selama pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ada penekanan terhadap kedaulatan “kita” dan masa depan bangsa “kita”. Sejumlah media nasional—<em>Kompas, The Jakarta Post, Jakarta Globe, CNN Indonesia</em>, dan <em>BBC Indonesia</em>—telah menunjukkan pergerseran topik dalam peliputan Laut Cina Selatan. </p>
<h2>Dari hukum ke pertahanan</h2>
<p><a href="http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/aspp.12309/full">Studi saya baru-baru ini menemukan</a> bahwa isu Laut Cina Selatan tadinya dipotret sebagai topik politik dan hukum (45,8%). Lalu beberapa insiden perbatasan terjadi pada 2016 dan peliputan dominan bergeser menjadi topik pertahanan (48,4%). </p>
<p>Perubahan lain yang menonjol adalah meningkatnya pernyataan dan informasi tambahan menyangkut isu ini dari pihak militer. Persentasenya bertambah dari 10,9% pada tahun pertama menjadi 15,06% pada tahun kedua. Jenderal Gatot Nurmantyo, kala menjabat Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), adalah narasumber paling dominan dalam berita-berita di media tersebut.</p>
<p>Pada 29 Oktober 2017, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Satuan Tugas Pemberantasan Illegal Fishing (Satgas 115) menenggelamkan 17 kapal asing. Sepuluh di antaranya ditenggelamkan di perairan Natuna. <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2017/10/30/indonesia-sinks-17-more-fishing-ships.html">Dalam sebuah berita</a>, Menteri Susi menyatakan penenggelaman adalah bukti dari dedikasi “kami” terhadap masa depan bangsa. Pada hari yang sama, Susi juga menekankan pentingnya <a href="http://www.thejakartapost.com/adv/2017/10/29/susi-indonesia-must-boost-its-naval-defense-system.html">bagi Indonesia memperkuat sistem pertahanan kelautan negara</a>.</p>
<p>Beberapa hari sebelumnya, <em>The Jakarta Post</em> <a href="http://www.thejakartapost.com/adv/2017/10/29/sriwijayas-trick-of-the-trade-in-maintaining-maritime-sovereignty.html">menerbitkan kisah sukses</a> Kerajaan Sriwijaya di masa lalu. Advertorial ini adalah bagian dari kampanye Jalur Rempah, yang menggunakan ingatan tentang masa keemasan ketika bangsa Indonesia jaya di laut.</p>
<p>Advertorial ini menghubungkan kalimat pertama dengan lagu rakyat “Nenek Moyangku Orang Pelaut”. Artikel ini berargumen bahwa Indonesia telah kehilangan kejayaan lautnya sejak keruntuhan Kerajaan Sriwijaya. <em>The Jakarta Post</em>, <a href="http://jalurrempah.com">salah satu mitra media dari Jalur Rempah</a>, menghubungkan kisah Sriwijaya dengan pentingnya melindungi kedaulatan maritim. Dia juga mengesankan kebijakan tegas kementerian adalah demi memperkuat identitas Indonesia sebagai negara maritim.</p>
<h2>Wacana nasionalisme meningkat di bawah Jokowi</h2>
<p>Wacana nasionalisme juga semakin kerap muncul pada tahun pertama pemerintahan Jokowi. Artikel-artikel <em>Kompas</em> kerap menggunakan kata-kata seperti “hegemoni” dan “kolonialisme maritim”. Pilihan kata tentu mengungkapkan interpretasi dan maksud sang penulis.</p>
<p>Contohnya, jurnalis senior <em>Kompas</em>, Rene L. Pattiradjawane, menulis artikel opini “Diplomasi Maritim Konsesi Asia” pada 2015 dan menyinggung soal “diplomasi kapal perang” dan menghubungkan topik ini dengan kolonialisme maritim.</p>
<p>Memang wacana nasionalisme digunakan untuk menantang kolonialisme dan menuntut Indonesia agar lebih diakui statusnya dan kekuatannya di dunia internasional. </p>
<p>Sebuah buku yang membahas mengenai semangat nasionalisme di media, <a href="https://www.amazon.com/Global-Media-Spectacle-News-Over/dp/079145472X"><em>Global Media Spectacle: News War over Hong Kong</em></a> mengungkapkan peliputan media dirancang dalam waktu dan ruang tertentu dalam kerangka bahwa suatu bangsa adalah perpanjangan dari keluarga.<br>
Wacana keluarga-bangsa dijahit dalam wacana media dalam satu konfigurasi topik yang khusus. Ruud Koopmans dari <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=Nbel5MOAnDsC&oi=fnd&pg=PR7&dq=The+making+of+a+European+public+sphere:+Media+discourse+and+political+contention&ots=yncdnYP_rU&sig=S8Z09pNTdVyr1MjsrrUO4pncE6A&redir_esc=y#v=onepage&q=The%20making%20of%20a%20European%20public%20sphere%3A%20Media%20discourse%20and%20political%20contention&f=false">Humboldt University di Berlin dan Paul Statham dari University of Sussex</a> mengatakan komponen peliputan yang berkait “kita” dan “mereka” juga menonjol dalam pembelaannya atas kedaulatan sebagai ekspresi nasionalisme warga. Nasionalisme, pada intinya, adalah kesadaran dan ekspresi dari rasa memiliki sebagai bangsa.</p>
<p>Meski kapal asing dari berbagai negara menangkap ikan secara ilegal, isunya secara dominan dibungkus menjadi isu pertahanan dengan negara Cina sebagai pemain utama. Di titik ini, Cina dilihat baik sebagai ancaman keamanan terbesar bagi Indonesia sekaligus mitra dagang terbesar.</p>
<p>Dalam kasus lain, untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 2016, 60 kapal disita dan ditenggelamkan di delapan lokasi. Namun <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2016/08/17/indonesia-marks-independence-day-by-sinking-illegal-ships-.html">peliputannya dikait-kaitkan dengan Cina</a>. Menteri Susi mengatakan sikap keras berkait penangkapan ikan secara ilegal adalah bagian dari upayanya menunjukkan kepada negara tetangga bahwa Indonesia menguasai wilayahnya yang luas. Satu paragraf bahkan hanya menyebut Cina saat merujuk kepada negara tetangga.</p>
<p>Simbolisme nasionalis di balik Laut Natuna juga tampak dari keinginan untuk mengubah bagian barat daya <a href="https://international.sindonews.com/read/1236125/40/china-tuntut-indonesia-batalkan-penamaan-laut-natuna-utara-1504375223">Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara</a>. Pada 1963, Presiden Sukarno juga menggunakan alasan nasionalisme saat mengubah nama Papua Nugini Barat menjadi Irian dan Borneo menjadi Kalimantan.</p>
<p>Pendekatan nasionalisme di media-media berbasis di Jakarta telah meningkat dalam rangka membahas isu penangkapan ikan secara ilegal di Kepulauan Natuna. Masalah ini dibingkai dalam isu ketegangan di Laut Cina Selatan. Posisi ini, sebagai <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2016/08/15/govt-to-relocate-fishermen-to-natuna-to-strengthen-sovereignty.html">upaya nasional</a>, tampak jelas dari aksi-aksi memberantas penangkapan ikan ilegal.</p>
<p>Maka perlu direnungkan apakah nasionalisme akan mendorong skenario lebih buruk bagi stabilitas kawasan. Ketika level nasionalisme yang diembus-embuskan di media telah mencapai kondisi yang terlalu bersemangat, Indonesia tidak akan mau melihat situasi ini mempengaruhi reputasi Indonesia sebagai mediator tulus di kawasan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/90486/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lupita Wijaya tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Wacana nasionalisme meningkat sejalan dengan berita tentang kapal ikan ilegal asing termasuk dari Cina di Laut Cina Selatan. Apakah kebanggaan nasional akan mempengaruhi stabilitas kawasan?Lupita Wijaya, Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/854032017-10-30T10:17:56Z2017-10-30T10:17:56ZMenciptakan yang liyan dalam pergerakan:
kaum nasionalis dan politik bahasa Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/192187/original/file-20171027-13355-1i4jq1y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rapat kaum nasionalis di Gedung Nasional Indonesia, Surabaya. </span> <span class="attribution"><span class="source">G.H. von Faber. Nieuwe Soerabaja. 1936. </span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Pada 3 Mei 1939, terjadi perdebatan tajam dalam rapat anggota Dewan Kota Surabaya atau <em>Gemeenteraad van Soerabaja</em>. Gambaran tentang perdebatan ini terdapat dalam catatan perdebatan dewan kota berjudul “Notulen van de Openbare Vergadering van den Stadsgemeenteraad van Soerabaja, 1939” yang tersimpan di <a href="http://pnri.go.id">Perpustakaan Nasional Republik Indonesia</a>. </p>
<p>Uraian dalam catatan itu menarik. Perkaranya dimulai ketika anggota Fraksi Nasional Raden Soeman menggunakan bahasa Indonesia saat menyampaikan program pemerintah kota. W.A.H. Fuchter, Wali Kota Surabaya, meminta Soeman menggunakan bahasa Belanda. “Bahasa Melayu bukan bahasa Anda, begitu juga bahasa Belanda,” kata Fuchter. </p>
<p>Bagaimanapun, Fuchter mengakui tidak ada aturan tegas kewajiban menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda. Juga tidak ada larangan eksplisit menggunakan bahasa lainnya, termasuk bahasa Indonesia (orang-orang Eropa saat itu menyebutnya sebagai bahasa Melayu). Fuchter akhirnya membiarkan pidato Soeman dalam bahasa Indonesia. Ia meminta seorang penerjemah hadir menerjemahkan pidato tersebut. </p>
<p>Tindakan itu tidak dapat disangkal merupakan agenda terencana kaum nasionalis Indonesia. Anggota Fraksi Nasional Nyonya Soedirman, satu-satunya wakil perempuan, menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia, yang diikuti semua wakil Fraksi Nasional, menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato mereka. </p>
<p>A. Van Gennep, anggota berhaluan konservatif, menyatakan Fraksi Nasional menjadikan forum rapat dewan sebagai ajang “propaganda politik”. Ia menegaskan “tidak pernah ada yang disebut bahasa Indonesia” dan Indonesia hanya sekadar imajinasi kaum nasionalis. Bahasa yang disampaikan dalam forum itu menurut Gennep tidak lebih sekadar Melayu pasar sebagai <em><a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/lingua%20franca">lingua franca</a></em> (bahasa bersama). Dalam notulen itu tercatat, Gennep menyatakan jutaan penduduk Hindia-Belanda lainnya belum tentu memahami bahasa itu. </p>
<p>Ketua Fraksi Nasional Iskaq Tjokrohadisoerjo menyanggah tuduhan ini. Ia menyatakan sesungguhnya forum dewan memang seharusnya menjadi “ajang politik”, bukan lainnya. Ia juga menegaskan keputusan menggunakan “bahasa Indonesia” yang mempunyai “cita-cita kemerdekaan negerinya”. Sejak saat itu, Fraksi Nasional terus menggunakan bahasa Indonesia dalam rapat dewan sampai pemerintah kolonial melarang semua simbol dan atribut nasionalisme Indonesia menjelang Perang Pasifik. </p>
<h2>Politik kebudayaan</h2>
<p>Perdebatan itu menjadi tamparan bagi konservatisme politik kolonial. Perwakilan orang Eropa di dewan terpaksa menelan ludah sendiri. Pada awal abad ke-20, ketika kaum terpelajar pribumi berbicara dalam bahasa Belanda, orang-orang Belanda di koloni menolak berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan orang pribumi, terlepas seberapa terpelajar lawan bicara mereka. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi menanggapi dengan gemas “kesombongan dan kebodohan orang Eropa” yang sekadar membentengi privilese di koloni. </p>
<p>Saat itu bahasa Melayu memang sebuah <em>lingua franca</em>, bukan bahasa nasional. Di dalam lingkungan kota dengan penduduk multi-ras dan suku, bahasa Melayu mengisi kebutuhan “bahasa internasional” bagi penduduk kota. Titik tolak penting yang mengakibatkan perkembangan <em>lingua franca</em> menjadi bahasa nasional dalam kaitan ini tidak dapat dilepaskan dari keputusan politik sadar diri dari kalangan nasionalis Indonesia. </p>
<p>Bahasa Indonesia sendiri saat itu adalah bahasa ketiga yang mereka pelajari ketika beranjak dewasa. Sejak kecil dan remaja, mereka terbiasa menggunakan bahasa ibu (Jawa dan lainnya) dan bahasa Belanda sebagai pengantar di lingkungan sekolah dan pergaulan di antara kalangan terpelajar. Tidak mengherankan bila dalam momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, beberapa delegasi berbicara di depan mimbar dengan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/5282494-sumpah-pemuda">bahasa Indonesia yang terbata-bata</a>.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/siapa-yang-sungguh-bertutur-dalam-bahasa-indonesia-86356">Siapa yang sungguh bertutur dalam Bahasa Indonesia?</a></em></p>
<hr>
<p>Kesadaran kaum pergerakan membangun bahasa nasional sebagai senjata politik dalam perjuangan antikolonial telah bergulir sejak Kongres Permufakatan Perhimpunan Partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 30 Agustus sampai 2 September 1928 di Surabaya. Rekomendasi kongres adalah menyusun rancangan pendidikan nasional Indonesia yang disampaikan kepada pemerintah, dengan menempatkan pengajaran “bahasa dan sejarah” sendiri sebagai materi yang diajarkan di tingkat dasar. Pengajaran bahasa asing diusulkan baru diterapkan dalam pendidikan tingkat lanjutan seperti tertuang dalam arsip rahasia pemerintah kolonial, <a href="http://anri.go.id">Mailrapporten No. 72x/1930</a>. </p>
<p>Beberapa bulan kemudian, rumusan ini pula yang menjadi landasan bagi organisasi-organisasi pemuda di Hindia Belanda saat itu untuk mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Seiring menguatnya semangat politik kebangsaan, mau tidak mau kebutuhan mempelajari bahasa Indonesia menjadi bagian penting dalam politik pergerakan. Sejumlah kursus diselenggarakan organisasi-organisasi pergerakan seperti di Sekolah Taman Siswa. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=468&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=468&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=468&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=588&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=588&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=588&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, dan sekolah kebangsaan. Eksperimen awal pendidikan nasional Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Kees Groeneboer. Weg tot het Westen. KITLV, Leiden. 1993</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tidak dapat disangkal, sampai saat itu ruang lingkup penggunaannya memang terbatas di kota-kota besar Hindia Belanda. Mayoritas rakyat di perdesaan dan pelosok tetap bicara dan berimajinasi dalam bahasa daerah masing-masing. Dalam kaitan ini tidak dapat dimungkiri bahwa pergerakan nasional Indonesia adalah fenomena pergerakan politik masyarakat urban. </p>
<h2>Bahasa Indonesia sukses menjadikan bahasa Belanda sebagai liyan</h2>
<p>Perkembangan yang terjadi dalam “drama bahasa” dalam riwayat pergerakan antikolonial menegaskan arus balik kesadaran kaum nasionalis Indonesia saat itu. Perkembangan ini merupakan fenomena berbeda dan bertolak belakang dengan semangat awal kebangkitan nasional ketika kaum terpelajar menyerukan pentingnya kemampuan berbahasa Belanda, dan meminta pemerintah mengajarkan bahasa Belanda bagi masyarakat pribumi di tingkat pendidikan tingkat rendah <a href="https://www.goodreads.com/book/show/6794321-bangkitnya-nasionalisme-indonesia">sebagai cara memasuki dunia modern</a>. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=812&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=812&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=812&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1020&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1020&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1020&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bergerak ke Barat: aspirasi awal kaum terpelajar Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Kees Groeneboer. Weg tot het Westen. KITLV, Leiden. 1993</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Perkembangan zaman melahirkan kebutuhan yang berbeda. Begitu juga dalam politik pergerakan antikolonial. Keperluan membangun politik kebudayaan yang mendefinisikan dengan tegas “kaum sana” dan “kaum sini” yang menjadi garis demarkasi perjuangan antikolonial menjadikan kebutuhan sebuah bahasa nasional muncul. </p>
<p>Dengan menolak menggunakan bahasa Belanda, kaum nasionalis Indonesia berhasil membentuk sosok liyan yang tidak memiliki legitimasi apa pun untuk berkuasa di negeri asing yang jauh dari tempat asal. </p>
<p>Ini adalah tonggak penting yang mewarnai sejarah pergerakan antikolonial di Indonesia. Fase ini menjadi petunjuk tentang arah pergerakan antikolonial yang jauh lebih matang memasuki dekade akhir kolonialisme Belanda di Indonesia. </p>
<p>Apabila sebelumnya seruan perjuangan antikolonial lebih bertumpu kepada kemajuan dan kesempatan yang sama bagi warga pribumi, dan dengan demikian tetap berada di bawah “arahan” kolonialisme Belanda. Politik bahasa menegaskan keterputusan ikatan itu demi menjadi bangsa baru yang mandiri secara politik dan budaya. Politik bahasa ini menjadi landasan penting dalam proses <em>nation-building</em> dalam dekade selanjutnya pasca-kemerdekaan Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85403/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andi Achdian tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bahasa adalah agenda politik kebudayaan kaum nasionalis Indonesia dalam menciptakan “yang liyan” dalam kancah perjuangan antikolonial.Andi Achdian, Lecturer of history, Universitas NasionalLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/863562017-10-27T09:43:59Z2017-10-27T09:43:59ZSiapa yang sungguh bertutur dalam bahasa Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/192046/original/file-20171026-13311-134vpli.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar kerap dijadikan ukuran nasionalisme. </span> <span class="attribution"><span class="source">Prodita Sabarini/The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Meski memiliki keragaman bahasa yang luar biasa, Indonesia adalah bangsa yang memilih satu bahasa (monolingualisme). Kira-kira ada <a href="https://www.ethnologue.com/country/ID">700 bahasa</a> dituturkan di kepulauan ini, tapi Indonesia memilih satu bahasa nasional dan resmi. Pertanyaannya, siapa yang sungguh-sungguh bertutur dalam bahasa Indonesia?</p>
<p>Kebijakan bahasa Indonesia cukup menonjol di dunia sehingga disebut sebagai “<a href="https://books.google.co.id/books?id=NIc_DAAAQBAJ&pg=PT75&lpg=PT75&dq=indonesian+envy+of+the+multilingual+world&source=bl&ots=pX6HYsNzxM&sig=O8UW0trqouhFOcIixIaWLLXIB0g&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=indonesian%20envy%20of%20the%20multilingual%20world&f=false">membuat iri dunia multi-bahasa</a>”, seperti diungkapkan oleh ahli bahasa Joshua A. Fishman. Kebijakan ini, dan propaganda yang menyokongnya, telah membuat banyak orang Indonesia percaya bahwa bahasa berfungsi sebagai alat penting untuk persatuan. Kebijakan ini dicanangkan saat Sumpah Pemuda pada 1928, yang diperingati setiap 28 Oktober, dan dikonsolidasi di zaman Orde Baru.</p>
<h2>Penggunaan bahasa Indonesia untuk mengukur keindonesiaan</h2>
<p>Konstruksi keindonesiaan sangat mengandalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Orang Indonesia yang bertutur bahasa lain bisa jadi mendapati <a href="http://showbiz.liputan6.com/read/227197/cinta-laura-dituding-tak-nasionalis">nasionalismenya dipertanyakan</a>. Pilihan bahasa bagi banyak orang Indonesia adalah ruang untuk mengaitkan antara penggunaan <a href="http://www.antaranews.com/berita/536595/bahasa-indonesia-pengikat-nasionalisme-indonesia">bahasa, identitas, dan nasionalisme</a>. </p>
<p>Saat ini, bahasa Indonesia terus dibina dan dikembangkan sebagai bahasa nasional maupun resmi. Pemerintah, melalui <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/">Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa</a> dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan tekun mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia baku atau “yang baik dan benar”.</p>
<p>Meski fungsinya penting dan penggunaannya ditekankan oleh pemerintah, saya menemukan selama menempuh pendidikan tinggi bahwa banyak orang Indonesia yang merasa asing terhadap bahasa Indonesia yang baku.</p>
<h2>Perasaan berjarak terhadap bahasa baku</h2>
<p>Sikap berjarak ini saya rekam dalam catatan lapangan saya, bersumber dari pertemuan saya sehari-hari dengan sesama mahasiswa Indonesia di luar negeri, di Amerika Serikat dan di Belanda pada 2006 hingga 2017.</p>
<p>Secara demografis, responden saya kebanyakan mahasiswa pasca sarjana yang datang dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari kami, saya mencatat kesadaran kami yang tidak pernah berbicara bahasa Indonesia baku.</p>
<p>Ketika saya kembali ke Indonesia pada Agustus 2017, saya mewawancarai sejumlah pengemudi Gojek mengenai topik yang sama di Depok, Jawa Barat, dan Yogyakarta.</p>
<p>Kali ini saya sengaja memilih lingkaran profesi yang berbeda untuk mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif dan berbeda nuansa, dengan harapan mereka memberikan jawaban berbeda dari yang diberikan para mahasiswa Indonesia.</p>
<p>Para pengemudi Gojek, baik motor dan mobil, terdiri dari latar belakang yang beragam, termasuk ibu rumah tangga, mahasiswa S1, pegawai swasta, yang memiliki tingkat pendidikan mulai dari lulusan SMA hingga lulusan S1.</p>
<p>Mayoritas pengemudi Gojek mengakui hal yang sama: mereka tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia baku dalam keseharian mereka. Pengemudi di Yogyakarta, khususnya, bercakap-cakap dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tidak digunakan dalam interaksi sehari-hari. Memang, menurut ahli bahasa dari Yale University, Joseph Errington, bagi banyak orang Jawa, bahasa Indonesia adalah bahasa “<a href="https://books.google.co.id/books?id=xyKs6thiNIwC&pg=PA11&lpg=PA11&dq=errington+javanese+indonesian+in-native+language&source=bl&ots=kLRK537Xkz&sig=X7gSdPbr53y2y1hZibir8Lec41Q&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=errington%20javanese%20indonesian%20in-native%20language&f=false"><em>un-native</em></a>”, atau bukan bahasa ibu.</p>
<p>Saya juga mewawancarai teman-teman saya semasa SMA dan mendapatkan respons yang sama. Mereka jarang berbicara dalam bahasa Indonesia baku. Kebanyakan teman SMA saya lulusan S1, dan beberapa lulusan S2 baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mayoritas berkarier sebagai profesional dan saat diwawancarai sudah mencapai tingkat karier menengah.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/menciptakan-yang-liyan-dalam-pergerakan-kaum-nasionalis-dan-politik-bahasa-indonesia-85403">Menciptakan yang liyan dalam pergerakan: kaum nasionalis dan politik bahasa Indonesia</a></em></p>
<hr>
<p>Kebanyakan responden saya, apa pun pekerjaannya, mengatakan mereka jarang berbahasa baku karena bahasa itu kaku, terlalu puitis dan banyak aturan, membosankan, dan terlalu dramatis. Menurut mereka, bahasa baku hanya mereka temui, antara lain, saat digunakan untuk pidato panjang kepresidenan, buku pelajaran sekolah, dan diskusi kelas. </p>
<h2>Bahasa Indonesia sehari-hari</h2>
<p>Semua kelompok yang berbeda ini jelas mengambil jarak dari satu-satunya bahasa resmi dan bahasa nasional. Mereka lebih menyukai bahasa Indonesia yang tidak baku atau bahasa Indonesia dengan dialek sehari-hari, yang bisa berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.</p>
<p>Saya mencatat sejumlah responden yang bahkan mempertanyakan apakah mereka cukup fasih berbahasa Indonesia karena mereka menggunakan bahasa yang sudah banyak tercampur bahasa daerah dan bahasa asing, terutama Inggris. Mereka bertanya-tanya, apakah mereka penutur bahasa Indonesia sungguhan karena variasi bahasa yang mereka pakai sangat berbeda dengan yang baku.</p>
<p>Saya bisa mengambil kesimpulan bahwa bagi banyak orang, bahasa Indonesia baku bukanlah bahasa ibu siapa-siapa karena bukan bahasa pertama yang diajarkan. Mayoritas responden saya mengatakan mereka belajar bahasa baku sebagai bahasa yang didorong pemerintah melalui kurikulum sekolah dan acara-acara “resmi” lainnya.</p>
<p>Perasaan para responden saya berkait formalitas dari bahasa Indonesia baku memposisikan bahasa Indonesia sebagai “liyan”. Ternyata, banyak orang Indonesia mempertanyakan status <em>de-facto</em> dari bahasa Indonesia baku, bahasa nasional yang diakui.</p>
<h2>Bahasa sehari-hari: bisakah disebut bahasa Indonesia?</h2>
<p>Berangkat dari observasi ini, saya bertanya-tanya apakah ada di antara kita yang merupakan penutur bahasa Indonesia. Menurut Errington, perbedaan antara Indonesia baku dan Indonesia dengan dialek sehari-hari sebagai keadaan “diglossia”, yaitu Indonesia baku sebagai bahasa “Tinggi” dan yang tidak baku sebagai bahasa “Rendah”. Ini seperti pembedaan bahasa halus dan kasar dalam bahasa Jawa dan Sunda.</p>
<p>Tetapi ada pendapat teguh lain yang berbeda, datang dari ahli bahasa Indonesia terkemuka yang tinggal di Australia, James Sneddon. Dalam <a href="https://www.amazon.com/Indonesian-Language-History-Modern-Society/dp/0868405981">bukunya,</a> Sneddon mengatakan bahasa Indonesia sub-standar atau dialek sehari-hari yang digunakan oleh mayoritas orang Indonesia tetap merupakan bahasa Indonesia. Mereka mungkin saja bukan bahasa yang “baik dan benar” tapi “bahasa Indonesia modern” adalah bahasa yang sangat hidup yang digunakan dalam berbagai bentuk dan ragam.</p>
<p>Seperti halnya bahasa-bahasa yang hidup di belahan dunia lain, bahasa Indonesia akan terus berkembang sambil terus mengadopsi dan menyerap kata-kata baru dari bahasa lain dan akan terus bersentuhan dengan bahasa lain.</p>
<p>Sementara kita merayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kita tetap harus berpikiran terbuka akan bahasa Indonesia di luar yang baku yang ditetapkan pemerintah. Saya yakin, kita tetap bisa mengakui keindonesiaan kita sambil berbicara bahasa Indonesia sehari-hari.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/86356/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nelly Martin-Anatias tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam kehidupan sehari-hari, pernahkah Anda mendengar seseorang mengatakan ‘Aku cinta padamu’ untuk mengungkapkan perasaan?Nelly Martin-Anatias, Adjunct assistant professor, Universitas Sanata DharmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.