tag:theconversation.com,2011:/us/topics/perburuhan-45675/articlesPerburuhan – The Conversation2018-01-23T10:16:17Ztag:theconversation.com,2011:article/889632018-01-23T10:16:17Z2018-01-23T10:16:17ZPekerja rumahan Indonesia di bawah bayangan patriarki dan kapitalisme global<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/202936/original/file-20180123-182948-lohxxb.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan pekerja rumahan sedang mengupas biji mente, atau 'mengkacip' dalam bahasa lokal, di Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. </span> <span class="attribution"><span class="source">Dinar Dwi Prasetyo/SMERU</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Pekerja rumahan berada di sekitar kita dan berperan besar dalam menopang perekonomian. Tersembunyi di bawah bayang-bayang patriarki dan kapitalisme global, mereka yang kebanyakan perempuan ini, tidak terpenuhi hak-haknya sebagai pekerja.</p>
<p>Sebagai sebuah fenomena global, pekerjaan rumahan didefinisikan oleh International Labour Organisation (ILO) dalam Konvensi <a href="http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C177">No. 177/1996</a> sebagai pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang:</p>
<ol>
<li>Di rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi kerja </li>
<li>Untuk mendapatkan upah</li>
<li>Menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan, atau input lain yang digunakan. </li>
</ol>
<p>Pada dasarnya, pekerja rumahan dapat dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, pekerja mandiri (<em>self-employed</em>) adalah mereka yang tidak terikat pada hubungan kerja dengan siapa pun, serta menanggung biaya dan melakukan seluruh proses produksi dan penjualan sendiri. </p>
<p>Kelompok yang kedua adalah pekerja subkontrak (<em>putting-out</em>) yang memiliki hubungan dengan pemberi kerja atau perantara. Mereka diberikan bahan mentah untuk kemudian diolah untuk menghasilkan bahan jadi atau setengah jadi <a href="http://www.wiego.org/informal-economy/occupational-groups/home-based-workers">(WIEGO, 2017)</a>.</p>
<p>Pekerjaan rumahan (<em>home-based work</em>), yang menjadi bagian dari ekonomi informal, cenderung tidak terlihat di dalam data statistik resmi. Keberadaannya sejauh ini diungkap hanya melalui estimasi statistik dan narasi indvidual. Di Indonesia, sangat sulit untuk mengetahui ukuran sektor informal karena <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0305750X15300978">regulasi dan definisi mengenai informalitas seringkali berubah</a>. Maka tidak heran, jika angka pasti pekerja rumahan di Indonesia tidak diketahui.</p>
<p>Sementara itu, <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1629273">sebuah studi tahun 2007</a> menemukan bahwa dalam data sensus, perempuan di Asia Tenggara—termasuk di Indonesia—seringkali diklasifikasikan sebagai ibu rumah tangga, atau hanya merupakan pencari nafkah sekunder dalam keluarga. Oleh sebab itu, tidak heran jika perempuan pekerja rumahan seringkali tereksklusi dari kategori “pekerja”. </p>
<p>Keterlibatan para pekerja dalam pekerjaan rumahan mengundang berbagai implikasi terhadap kehidupan mereka. Jam kerja yang fleksibel ditambah sistem upah murah yang berbasis kuantitas, membuat para pekerja cenderung mengeksploitasi diri karena ingin mencapai target dan penghasilan yang lebih besar. Implikasi lain yang juga berhubungan dengan kesehatan pekerja adalah ketika mereka harus menyimpan bahan-bahan mentah yang seringkali membahayakan kesehatan keluarga mereka di dalam rumah.</p>
<p>Di Indonesia, regulasi ketenagakerjaan nasional, Undang-Undang No. 13/2003, tidak mencakup pekerja rumahan sebagai pekerja karena tidak adanya konsensus mengenai status hukum pekerja rumahan serta karena adanya kesepakatan umum bahwa <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438252/lang--en/index.htm">undang-undang tersebut hanya berlaku bagi pekerja yang berada dalam pengaturan formal, bukan sektor informal</a>. </p>
<p>Konsekuensinya, perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja rumahan sebagai pekerja menjadi tidak terjamin. Pemberi kerja atau pun perantara tidak dibebankan kewajiban untuk memenuhi standar kelayakan upah pekerja, serta menyediakan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam banyak kasus, pekerja harus menanggung sendiri berbagai risiko yang muncul atas keterlibatan mereka dalam pekerjaan rumahan.</p>
<h2>Tersandera patriarki dan kapitalisme</h2>
<p>Di berbagai negara berkembang pekerjaan rumahan memang <a href="http://www.wiego.org/sites/wiego.org/files/publications/files/Chen_WIEGO_WP1.pdf">lebih banyak digeluti perempuan daripada laki-laki</a>. <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438252/lang--en/index.htm">Sebuah studi</a> menunjukkan di enam provinsi di Indonesia, pekerja subkontrak didominasi oleh perempuan, terutama dari kalangan masyarakat miskin. </p>
<p>Di Indonesia, norma patriarki telah tertanam kuat di benak masyarakat laki-laki maupun perempuan secara umum. Persepsi-persepsi bahwa perempuan bukan merupakan pencari nafkah utama dan bahwa tugas utama perempuan adalah mengurus rumah tangga, masih terus membayangi masyarakat di berbagai kalangan, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah. Diskursus mengenai keseimbangan kehidupan rumah dan kerja menjadi senjata yang ampuh untuk menahan perempuan tetap berada di dalam rumah.</p>
<p>Pemerintah Indonesia pada zaman Orde Baru mendukung persepsi tersebut ketika menjalankan politik gender demi stabilitas negara melalui adopsi <a href="http://www.insideindonesia.org/is-state-ibuism-still-relevant-2">“state-ibuism”</a> yang menganalogikan negara sebagai konstruksi domestik hingga kemudian muncul organisasi-organisasi, seperti Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). <a href="https://www.soas.ac.uk/cseas/aseasuk-conference-2016/file114970.pdf">Kedua organisasi ini merupakan manifestasi peran perempuan</a> dalam mendukung laki-laki, yang saat itu diwakili oleh kaum militer, dalam melakukan tugas-tugas pembangunan.</p>
<p>Di sisi lain, semangat kompetisi yang tinggi di era globalisasi, terutama sejak era pertumbuhan industri yang pesat di Asia, telah mendorong para pemilik modal untuk terus menekan ongkos produksi. Salah satu caranya adalah dengan merekrut tenaga kerja murah di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Banyak dari pelaku industri yang beralih <a href="http://www.ilo.org/employment/Whatwedo/Publications/WCMS_122053/lang--en/index.htm">dari pengaturan formal ke skema <em>outsourcing</em> dan <em>subcontracting</em></a> yang lebih murah dan fleksibel. </p>
<p>Di sisi lain, Indonesia merespons tren ini dengan melonggarkan pengaturan dalam UU No. 13/2003 yang memperbolehkan perusahaan untuk melakukan skema alih daya. Dan dengan segala kelemahan pengawasan terhadap lebih dari 500 kabupaten di Indonesia, skema tersebut <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0002764212466236">rentan disalahgunakan</a>.</p>
<p>Budaya patriarki yang demikian dominan kemudian berkelindan dengan kepentingan para pemilik modal. Di titik ini perempuan, terutama dari kalangan miskin, dilihat sebagai sumber daya potensial. Mereka yang masih tersandera dalam pandangan patriarki dan membutuhkan penghasilan tambahan demi penghidupan keluarga, juga melihat keberadaan mekanisme kerja yang fleksibel dan bisa dilakukan di rumah tersebut sebagai sebuah keuntungan. Mereka tetap bisa mengerjakan tugas-tugas rumahnya, di samping itu mereka juga bisa menambah penghasilan keluarga.</p>
<h2>Lantas bagaimana?</h2>
<p>Solusi dari masalah ini tentunya tidak mudah. Seperti diketahui bahwa sektor informal merupakan salah satu penunjang perekonomian negara berkembang seperti Indonesia. Perlakuan yang salah dapat mengganggu jalannya perekonomian dengan signifikan.</p>
<p>Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mengakui keberadaan pekerja rumahan. Menyertakan mereka ke dalam data statistik nasional dan peraturan perundang-undangan merupakan langkah afirmatif yang perlu diambil pemerintah Indonesia. Dari situ pemerintah dapat membuat kebijakan perlindungan pekerja rumahan yang mencakup hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. Agar tidak membebani sektor ini secara signifikan, pemerintah perlu menetapkan skema perlindungan kesehatan dan tenaga kerja minimum yang wajib mereka miliki.</p>
<p>Di sisi lain, hal yang paling penting adalah memunculkan diskursus-diskursus yang bisa membangun kesetaraan relasi gender di Indonesia hingga tingkat rumah tangga. Wacana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga misalnya, menjadi senjata untuk mengikis beban kerja ganda yang dialami perempuan pekerja rumahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/88963/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dinar Dwi Prasetyo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pekerja rumahan adalah penopang perekonomian yang diabaikan keberadaanya. Konsekuensinya, hak mereka banyak dilanggar.Dinar Dwi Prasetyo, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/853472018-01-09T09:57:34Z2018-01-09T09:57:34ZPotret prekariat sukarela di sektor kreatif Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/201038/original/file-20180106-26166-1x28eex.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) berdemo saat May Day 2017.</span> <span class="attribution"><span class="source">Sindikasi</span></span></figcaption></figure><p>Siapa prekariat di Indonesia? Apakah hanya buruh alih daya dan buruh berupah minimum? Ataukah kita semua? Apa yang mencirikan seorang prekariat? Apakah derajat kerentanan para prekariat adalah sama? Dan seperti apa kira-kira perjuangan politik prekariat yang mampu mengevakuasi para pekerja dari kondisi perentanan sistemik? </p>
<p>Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya hanya bisa kita jawab dengan melakukan penelisikan terhadap kondisi aktual prekarisasi dan kehidupan para prekariat itu sendiri.</p>
<p>Saya melakukan penelitian dengan topik prekariat terhadap 36 pekerja di sektor kreatif. Paparan berikut merupakan ekstrapolasi awal dari hasil penelitian sedang berjalan yang saya dan beberapa rekan di Koperasi Riset Purusha lakukan mengenai kondisi ekonomi dan pekerja di sektor kreatif. </p>
<p>Dalam <a href="http://cz.tranzit.org/en/project/0/2017-08-01/institution-in-residence-eng">penelitian ini</a> kami mewawancarai, beberapa secara mendalam, 36 pekerja (pegiat) di sektor kreatif di Indonesia. Mereka adalah mahasiswa, seniman media, perupa, pelukis, seniman pertunjukan, penampil, pemain teater, perancang grafis, penulis, kurator, manajer, dan juga jenis pekerjaan yang paling menarik perhatian kami: pekerja “bantu-bantu saja”.</p>
<p>Kami bertanya dan mendiskusikan pengalaman mereka dalam mengalami prekarisasi, dan bagaimana upaya mereka untuk bertahan (atau menyerang balik) sembari tetap menghasilkan karya kreatifnya.</p>
<p>Dari hasil sementara analisis terhadap hasil wawancara dalam penelitian, terlihat sebuah pola dan kekhususan di sekitar fenomena prekariat yaitu aspek subjektivitas sang prekariat, proses prekarisasi, dan tingkat prekarisasi. </p>
<p>Secara umum, terdapat dua ranah terjadinya proses prekarisasi: ranah individu (subjektif) dan ranah sistemik (objektif). <a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">Tulisan-tulisan </a>oleh <a href="https://www.bloomsbury.com/us/the-precariat-9781472536167/">Guy Standing</a> dan <a href="https://www.versobooks.com/books/112-precarious-life">Judith Butler</a> bisa digunakan untuk menjelaskan proses prekarisasi akibat sistem (neoliberal). </p>
<p>Kami mencoba mengeksplorasi ranah subjektif. Di ranah ini, prekarisasi terjadi di setidaknya empat aspek: subsistensi (penghidupan), pemaknaan kehidupan, kognisi (pengetahuan), dan afeksi (emosi atau mental). </p>
<p>Kami menggunakan sejumlah kerangka teori dari Guy Standing, Judith Butler, juga <a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/292993/multitude-by-michael-hardt/">Michael Hardt dan Antonio Negri</a> dan menyusun tiga dimensi prekarisasi: kerapuhan eksistensi, ketakmenentuan atau ketakberlanjutan, dan potensi kreativitas. Dari empat aspek dan tiga dimensi, saya menyusun 12 pertanyaan seperti di matriks berikut:</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=341&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=341&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=341&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=429&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=429&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/201100/original/file-20180108-83553-178pgjk.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=429&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Hizkia Yosie Polimpung</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Derajat prekarisasi</h2>
<p>Kembali ke permasalahan penggunaan istilah “prekariat” pada umumnya yang saya bahas di <a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">bagian pertama</a>: secara konseptual, ia sama sekali mengabaikan sejarah; secara metodologis, ia mereduksi persoalan; dan secara politis, cenderung berkutat pada dakwaan moralis ketimbang refleksi yang lebih progresif dan tindakan yang strategis dan sistematis. </p>
<p>Bagaimana bisa demikian? Matriks di atas cukup mampu memberi diagnosis awal. Dari 12 kuadran, saya akan fokus pada kolom pertama—kuadran (1), (2), dan (3)—yaitu “subsistensi”. “Subsistensi” adalah aspek prekarisasi yang paling mendasar, bahkan bisa dibilang yang paling menentukan bagi kesuksesan proyek prekarisasi subjek itu tersendiri. Dengan merentankan sumber pencaharian dan penghidupan, penguasa dan majikan dapat mengendalikan kepatuhan pekerja.</p>
<p>Dari temuan sementara penelitian kami, tidak satu pun subjek wawancara kami yang mengalami prekarisasi di kuadran (1), ukuran yang paling minimum. Artinya, mereka semua saat diwawancara cukup memiliki asupan nutrisi, cukup mampu untuk memiliki tempat tinggal (entah itu rumah, apartemen, indekos, atau sewa) dan untuk membeli rokok atau kopi dengan harga sekitar Rp20.000 per cangkir. </p>
<p>Seluruh subjek teliti kami berpencar di tempat yang lebih baik, yaitu kuadran (2) dan (3). Mereka yang di kuadran (2) paling banyak. Mereka umumnya masih hidup ditanggung keluarga, bekerja di agensi kecil atau menengah, kerja serabutan sini-sana dan masih mampu membeli kemewahan-kemewahan kecil yang relatif tidak terjangkau prekariat kuadran satu: rokok, kopi lumayan mahal, dan pulsa internet. </p>
<p>Sementara mereka yang berada di kuadran (3), yang subsistensinya relatif paling aman, cenderung merupakan sesepuh dan lebih berumur dan berpengalaman dari segi jam terbang. Atau, jika tidak, memang mewarisi fasilitas berlebih dari orang tuanya. </p>
<p>Penghuni kuadran ini relatif memiliki pekerjaan tetap, atau jejaring pendanaan yang besar dan luas, dan atau juga tabungan yang setidaknya cukup untuk memberi ia waktu (luang) untuk menghasilkan karya-karya “idealis” yang bisa jadi tidak ada lembaga pendana yang mau membiayainya. Tidak jarang pula kuadran ini berisi tokoh dan figur berpengaruh di bidangnya. </p>
<p>Pekerja di kuadran (1) yang tersekap oleh prekarisasi, hampir bisa dipastikan tidak bisa memikirkan hal lain selain mengenyangkan perut di hari ini, dan “hari ini” berikutnya, dan selalu “hari ini”. </p>
<p>Namun begitu ketika ia berhasil lolos dari kuadran (1), maka seluruh kuadran di sampingnya (4, 7, dan 10) dan satu kuadran di bawahnya (2) menjadi terbuka untuk ia pikirkan. </p>
<p>Demikian seterusnya cara bekerja matriks ini: begitu seseorang menjawab ya untuk pertanyaan di kuadran (2), maka seluruh kuadran di sampingnya yang menyangkut pemaknaan hidup, pengetahuan, dan kognisi, dan satu kuadran di bawahnya (3) menjadi terbuka untuk dipikirkan. </p>
<p>Sayangnya, tidak satu pun dari subjek teliti kami yang memenuhi kualifikasi untuk benar-benar “lolos” dari prekarisasi di kuadran (3), sehingga kami belum tahu pasti apa yang akan terjadi apabila ada yang lolos. Pasalnya, hampir seluruhnya tidak mampu memberi jawaban ketika ditanya tentang imajinasi kehidupan dan penghidupan yang di luar dari relasi gaji maupun relasi donor (hibah) eksternal. Bahkan tidak sedikit yang raut wajahnya merengut seraya mengernyitkan dahi, seolah pertanyaan kami adalah pertanyaan yang aneh dan tak terpikirkan untuk ditanyakan. </p>
<p>Sementara sisanya, yaitu yang sudah mampu membayangkan, saat ditanya bagaimana langkah dan strategi yang akan ditempuh secara konkret, semuanya mengalami kesulitan menjawab secara tegas. </p>
<p>Kita bisa melihat korelasi bahwa semakin mapan ekonomi kita (baca: semakin terbebas dari prekarisasi), maka semakin normatif dan tak berjejak pada kenyataan konkret jadinya pemikiran ini. </p>
<h2>Subsistensi dianggap bukan urusan politik</h2>
<p>Temuan menarik lainnya adalah bahwa soal-soal subsistensi cenderung tidak dikemukakan dalam wacana dan karya-karya subjek teliti kami. </p>
<p>Narasumber cenderung lebih “bersemangat” saat menjelaskan bagaimana kerja dan karya mereka mempertanyakan kembali konsep kehidupan (kolom pemaknaan), atau produksi pengetahuan baru dan ide alternatif (kolom kognisi). </p>
<p>Mereka juga membahas drama-drama keluh kesahnya yang cenderung dibungkus dengan nuansa heroisme (kolom afeksi): “gak masalah kalau gak ada yang mau bayar, gua tetep jalanin yang gua senengin” kata seorang seniman yang memiliki orderan yang “lancar jaya” (yang bersangkutan tergolong prekariat kuadran (3)). </p>
<p>Namun saat disinggung persoalan subsistensi, hampir seluruh subjek menjawabnya dengan singkat-singkat, malu-malu, bahkan beberapa cenderung enggan membahas. Tampak jelas kecenderungan umumnya isu ini dianggap pribadi. Dengan kata lain “urusan saya sendiri” dan urusan “dapur” masing-masing. </p>
<p>Lebih dari itu, ada kecenderungan di antara mereka yang berada di tempat yang lebih baik untuk melupakan (atau bahkan mengabaikan sama sekali) pengalaman-pengalaman sulit orang lain di kuadran sebelumnya. Mereka cenderung melihat prekarisasinya sebagai yang paling parah dan perlu dicarikan solusi. Para prekariat kuadran (3) cenderung paling ulung dalam menjustifikasi ini: menunjukkan bahwa dirinya adalah korban yang terjepit oleh, misalnya, bobroknya sistem pendidikan, korupnya sistem negara, lembamnya masyarakat sipil, dan bengisnya kompetisi ekonomi pasar. </p>
<p>Ini kemudian dapat menjelaskan mengapa kita menjadi lupa bahwa prekariat itu sudah ada bahkan sedari awal negara bangsa dan kapitalisme muncul. Dan juga, akhirnya, melupakan agenda perjuangan prekariat di kuadran (1), seolah yang paling “prekariat” adalah kita sendiri. </p>
<p>Personalisasi dan domestifikasi isu subsistensi inilah yang membawa kita akhirnya pada moralisasi strategi untuk keluar dari prekarisasi. Karena kita melihat terbebasnya kita dari kuadran-kuadran di kolom subsistensi adalah berkat upaya dan etos pribadi, maka setiap upaya eksternal menghalangi upaya kita membebaskan diri dari prekarisasi itu akan cenderung didegradasikan secara moral. Prekarisasi, akhirnya, menjadi isu moral dan etis, ketimbang persoalan politik ekonomi. </p>
<p>Maka para pekerja memprekarisasi dirinya secara sukarela dengan cara melihat kondisi prekaritasnya sebagai permasalahan personal atau domestik (ketimbang kolektif, bahkan sosial), dan sebagai perkara etis dan moral (ketimbang sistem ekonomi politik). </p>
<p>Alhasil, bukankah menjadi sebuah ironi bahwa para pekerja kreatif ini justru melihat persoalan subsistensi sebagai persoalan pribadi dan etis yang jauh dari politis? Bukankah menjadi salah sasaran apabila agenda perlawanan terhadap prekarisasi justru menjauh dari isu subsistensi? </p>
<p>Bukankah malah penomorduaan isu subsistensi justru malah semakin menyukseskan proyek prekarisasi penguasa dan pemodal? Jika demikian, bukankah isu politik paling garda depan dari perjuangan para prekariat seharusnya adalah mengotonomkan sarana-sarana subsistensi terlebih dahulu? </p>
<p>Dan bukankah apabila kita tidak memikirkan pemandirian subsistensi kita secara serius dan terencana, maka kita sebenarnya sedang mempertahankan prekarisasi diri secara sukarela? Mungkin sudah waktunya para prekariat berhenti mengeluhkan kondisi prekaritasnya, dan mulai menyusun strategi perjuangan politiknya tepat dari dapur.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85347/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hizkia Yosie Polimpung menerima dana dari Tranzit, Republik Ceko, melalui program residensi insitusional, "Institutional Therapy," untuk proyek risetnya tentang manajemen koperasi dalam konteks prekarisasi di dunia seni. </span></em></p>Pekerja kreatif banyak yang menganggap masalah subsistensi mereka bukanlah agenda untuk diperjuangkan bersama, tetapi merupakan masalah dapur masing-masing.Hizkia Yosias Polimpung, Researcher, Purusha Research CooperativeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/830482018-01-08T10:13:51Z2018-01-08T10:13:51ZNgomong-ngomong, apa itu pekerja ‘prekariat’?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/189165/original/file-20171006-25752-1w6w2yx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Demo di Hari Buruh tanggal 1 May 2015 di Jakarta. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Di Indonesia, ada istilah baru perburuhan yang mulai sering dipakai, yaitu “prekariat”. Meski istilahnya baru, tapi apakah gejalanya baru? Dan apakah istilah baru ini bisa mengantarkan para buruh pada pemahaman kondisinya secara lebih lengkap, dan akhirnya mendorong gerakan politik buruh yang lebih baik? Atau yang lebih jauh lagi, apakah ia dapat menjadi kritik efektif terhadap sistem neoliberal?</p>
<p>Istilah prekariat biasanya merujuk pada pekerja kontrak dan alih-daya (<em>outsourcing</em>) di sektor manufaktur, dan juga pekerja dengan kontrak tidak jelas di kalangan pekerja kreatif. Praktik magang (<em>internship</em>), kerja paruh waktu (<em>part-time</em>) dan kerja lepas (<em>freelance</em>) di kedua sektor ini juga turut memperpanas diskusi seputar prekariat di kalangan aktivis perburuhan Indonesia. </p>
<p>Secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya. Prekariat merupakan istilah baru yang dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya <a href="https://www.bloomsbury.com/us/the-precariat-9781472536167/"><em>The Precariat: the New Dangerous Class</em></a>. Ia adalah paduan dari <em>precarious</em> (rentan) dan proletariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan. </p>
<p>Prekariat terbentuk melalui proses yang disebut-sebut prekarisasi (perentanan). Sumber perentanan yang utama adalah sistem kerja kontrak dan sistem alih-daya, yang ditengarai Standing sebagai suatu proyek globalisasi neoliberal dari penguasa dan pemodal. Dengan kedua sistem ini, nasib pekerja akan selalu rentan karena pekerjaannya bisa diputus kapan pun seturut suasana hati sang majikan.</p>
<p>Referensi utama lainnya dalam perbincangan mengenai prekariat merujuk pada <a href="https://www.versobooks.com/books/112-precarious-life">Judith Butler</a>. Sekali pun tidak berbicara mengenai prekariat sebagai suatu kelompok pekerja, Butler adalah salah satu yang pertama membahas persoalan kondisi prekaritas atau kerentanan (<em>precarity</em>). </p>
<p>Sedikit berbeda dari Standing, bagi Butler kerentanan tercipta karena kekuasaan istimewa negara, dalam kasus Butler adalah Amerika Serikat, yang mampu menunda seluruh hukum dan norma atas dasar kegentingan. Seperti saat rezim Presiden George W. Bush yang <a href="http://www.nytimes.com/2006/02/17/world/investigators-for-un-urge-us-to-close-guantanamo.html">sewenang-wenang menangkapi tersangka teroris dan memasukkannya ke kamp Guantanámo tanpa melalui proses peradilan</a>. Di hadapan negara yang sedang (dan selalu) mempraktikkan kekuasaan dalam kegentingan ini, seluruh kehidupan adalah rentan tersakiti. </p>
<p>Di Indonesia, sayangnya teks ini kurang dirujuk saat membicarakan konsep prekaritas. Padahal, poin penting Butler di sini akan sangat berguna bagi diagnosis: bahwa sumber utama prekaritas adalah pada kemampuan penguasa untuk menangguhkan norma dan hukum, dan membuat pengecualian akan tindakan-tindakannya secara sewenang-wenang seraya menggunakan gagasan-gagasan universal sebagai justifikasinya (keamanan nasional, kemaslahatan bangsa, atau kebaikan bersama). </p>
<p>Misalkan, seperti isu yang sudah kita kenal di tanah air, atas nama meningkatkan pembangunan daerah, maka menjadi sah untuk mengeluarkan izin membangun pabrik dengan konsekuensi merusak alam, menyerobot sawah petani, dan memaksa petani menjadi buruh pabrik.</p>
<p>Prekaritas Butler di sini memiliki nuansa eksistensial yang cenderung lebih “menubuh” (rasa sakit, rasa takut, eksekusi, salah tangkap, pembunuhan) ketimbang Standing. Dengan kekuasaan yang luar biasa, maka negara dan pemilik modal dapat benar-benar melakukan apa saja, termasuk langkah-langkah yang di luar hukum. </p>
<p>Kita familier dengan penculikan aktivis, intimidasi aktivis, pengerahan preman untuk mengancam (jika bukan membunuh) petani yang menentang proyek-proyek tambang, pembungkaman dan kriminalisasi jurnalis kritis, mengalihkan perhatian publik melalui kontrol pemberitaan, pemberangusan dan pemutusan hubungan kerja sepihak para aktivis serikat buruh. Di hadapan ini semua, jelas kita semua menjadi prekariat.</p>
<p>Pandangan ini bisa jadi, apabila dipadukan, dapat memberi gambaran lebih lengkap mengenai <a href="https://indoprogress.com/2012/10/saat-ini-kita-semua-buruhpekerjakaryawan-adalah-precariat/">kondisi mayoritas pekerja di Indonesia</a> dan <a href="https://www.jacobinmag.com/2015/04/precarious-labor-strategies-union-precariat-standing/">dunia</a> saat ini yang dikategorikan sebagai prekariat. Setidaknya demikian menurut penalaran umum. </p>
<h2>Prekariat: gejala baru di Indonesia?</h2>
<p>Sayangnya, semakin lama saya meneliti fenomena prekariat ini, semakin saya merasa penggunaan istilah “prekariat” ini bermasalah, baik secara teoritis (kekuatan penjelas), secara metodologis (kekuatan mengungkapkan data dan fakta), maupun secara politis (kekuatan menginspirasi gerakan terhadapnya). Di sini saya coba tunjukkan permasalahannya dan solusi yang bisa saya tawarkan.</p>
<p>Pertama, secara teoritis, mengatakan bahwa prekariat adalah kondisi kita semua, para pekerja, saat ini jelas adalah suatu ungkapan yang dapat dipertanyakan: apakah dulu, sebelum rezim pasar tenaga kerja fleksibel (kontrak dan alih-daya) lantas tidak ada prekariat? </p>
<p>Kita yang mengikuti gagasan ini seakan lupa bahwa di dalam sistem negara berdaulat yang percaya bahwa mekanisme pasar adalah yang hakiki, maka seluruh umat manusia—pekerja, maupun bukan pekerja—adalah prekariat. </p>
<p>Kita seakan lupa bahwa ada prekariat-prekariat yang lebih “senior” seperti <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150421112333-20-48080/ragam-profesi-para-budak-asal-indonesia/">pelaut diperbudak</a>, <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/derita-derita-prt-disiksa-majikan-dipaksa-mandi-sampai-disetrika.html">pekerja rumah tangga (PRT) yang disiksa</a>, dan <a href="https://daerah.sindonews.com/topic/192/kekerasan-tki">TKI/TKW yang dianiaya</a>. Bedanya, para senior kita ini tidak punya kemewahan untuk mengeluhkan kondisinya, bahkan menamainya dengan istilah “prekariat”.</p>
<h2>Oke, kita prekariat. Lantas apa?</h2>
<p>Gambaran nir-dialektis ini berimplikasi pada imajinasi politik. Anjuran yang diberikan Standing atau Butler, atau aktivis buruh Indonesia yang menggunakan istilah prekariat pada umumnya, seperti menyatukan suara untuk menuntut pemerintah, membangun kolektivitas (serikat dan koperasi), menggunakan seruan normatif (bahwa negara harus hadir; perusahaan harus memberi kepastian kerja) seakan terlepas dari teorisasi mereka sendiri mengenai prekariat. </p>
<p>Masalahnya, anjuran-anjuran ini tidak valid secara metodologis. Bagaimana mungkin ada agensi sama sekali (menuntut pemerintah, berserikat, menuntut hal normatif) saat dikatakan bahwa kekuasaan negara dan pemodal adalah dominan dan hegemonik, dan bahwa prekarisasi bisa saja dilakukan kapan pun di luar hukum dan tidak demokratis? Padahal, jelas-jelas prekarisasi adalah instrumen kekuasaan untuk menaklukkan para pekerja. </p>
<p>Apabila tidak berdasar secara teoritis, apa lagi dasar pijakannya kalau bukan pada moralisme kemanusiaan universal, bahwa pekerja memiliki hak-hak yang konon dijamin undang-undang dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB? Jika memang demikian, apa bedanya gerakan politik ini dengan moralisme universal para neoliberal? </p>
<h2>Prekaritas yang membahagiakan</h2>
<p>Moralisme ini membawa kita ke pelekatan stigma buruk pada prekarisasi, dan akhirnya menjauhkan kita dari makna lain dari prekaritas yang lebih “membahagiakan” dan lebih berpotensi progresif bagi upaya mengubah keadaan. Lantas bagaimana itu prekaritas yang berpotensi progresif ini?</p>
<p>Pertama-tama, mengikuti anjuran filsuf <a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/292993/multitude-by-michael-hardt/">Michael Hardt dan Antonio Negri</a>, kita harus jelas dulu bahwa sesungguhnya, prekaritas adalah sisi lain dari kreativitas. Prekaritas juga adalah potensi kreatif. Tanpa ada “perentanan” identitas, pengetahuan, ideologi, tradisi dan praktik lama yang kaku, maka tidak akan ada kreasi-kreasi baru dan nilai-nilai yang baru. </p>
<p>Kedua, sebenarnya, tujuan utama prekarisasi neoliberal adalah mengarahkan, mengkooptasi, dan mengapropriasi (merebut) kreativitas ini <a href="https://www.amazon.com/State-Insecurity-Government-Precarious-Futures/dp/1781685967">demi kepentingan akumulasi profit dan kekuasaan para penguasa dan pemodal</a>. Dengan merentankan kondisi kehidupan dan penghidupan, para pekerja dipaksa untuk bertindak kreatif (mencari kerja sampingan, mengatur jadwal sehari-hari, mengembangkan diri, membangun jejaring sosial, improvisasi keterampilan). Tapi tindakan kreatif pekerja ini hasilnya dipetik bukan oleh pekerja itu sendiri, melainkan oleh para majikannya. </p>
<p>Sehingga, ketiga, apabila akan ada suatu upaya baru dalam mengorganisasikan tindakan-tindakan kreatif para prekariat keluar dari upaya memperkaya diri sang majikan, maka di situlah potensi progresif dari prekaritas bisa diaktualkan. Sayangnya, untuk poin ini kita masih belum menemukan model yang berhasil sehingga upaya eksperimentasi di titik ini menjadi sangat mendesak dilakukan. </p>
<p>Untuk ini, saya akan usulkan suatu perumusan awal untuk merehabilitasi istilah “prekariat” yang sudah terlanjur kerap dipakai para aktivis buruh dan intelektual. Dan untuk mereka yang awam dari aktivisme perburuhan, dan yang karenanya istilah ini masih sesuatu yang baru, perumusan yang akan ditawarkan dapat memberi pemahaman awal yang bisa lebih menyeluruh dan memiliki daya untuk mendorong imajinasi dan langkah perubahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/83048/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hizkia Yosie Polimpung menerima dana dari Tranzit, Republik Ceko, melalui program residensi insitusional, "Institutional Therapy," untuk proyek risetnya tentang manajemen koperasi dalam konteks prekarisasi di dunia seni</span></em></p>Ada istilah baru menghantui dunia kerja: prekariat. Tapi ini rupanya bukan gejala baru. Dari dulu senior-senior kita sudah ada yang prekariat.Hizkia Yosias Polimpung, Researcher, Purusha Research CooperativeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/878672017-11-24T09:16:39Z2017-11-24T09:16:39ZKemampuan memahami orang lebih dituntut dunia kerja ketimbang keterampilan STEM<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/195553/original/file-20171121-18574-xm9ur2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Permintaan dunia kerja atas "people skill" atau kemampuan berkait dengan hubungan antarmanusia, seperti komunikasi, semakin meningkat.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Kemajuan teknologi digital sedang mengubah dunia kerja. <a href="http://www.oxfordmartin.ox.ac.uk/downloads/academic/The_Future_of_Employment.pdf">Diperkirakan</a> bahwa lebih dari 40% pekerja manusia akan digantikan oleh robot. Ini <a href="http://www.oecd-ilibrary.org/social-issues-migration-health/the-risk-of-automation-for-jobs-in-oecd-countries_5jlz9h56dvq7-en">boleh jadi membesar-besarkan skalanya</a>, tetapi perkembangan di bidang kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin akan mempengaruhi seluruh sektor perekonomian. </p>
<p>Namun, dampak interupsi digital tidak akan dialami oleh semua jenis pekerjaan. Gelombang teknologi yang terjadi sebelumnya membawa dampak terbesar bagi orang dalam pekerjaan-pekerjaan rutin, tapi sekarang <a href="https://global.oup.com/academic/product/the-future-of-the-professions-9780198713395?cc=au&lang=en&">lebih banyak jenis peran dalam pekerjaan</a> mungkin terancam. </p>
<p>Meski begitu, para pekerja yang keterampilannya melengkapi <a href="https://academic.oup.com/qje/article/118/4/1279/1925105">tetapi tidak bisa digantikan oleh teknologi</a> dapat <a href="https://edisciplinas.usp.br/pluginfile.php/622156/mod_resource/content/1/Erik-Brynjolfsson-Andrew-McAfee-Jeff-Cummings-The-Second-Machine-Age.pdf">memanfaatkan teknologi untuk menjadi lebih produktif</a> dan layak mendapatkan upah lebih tinggi. </p>
<p>Jenis-jenis keterampilan apa yang akan memastikan Anda dipekerjakan di dunia para pekerja manusia dan robot?</p>
<p>Dua laporan mutakhir, “<a href="http://tafeqld.edu.au/resources/pdf/about-us/research-papers/vet-era.pdf">The VET Era</a>” dan “<a href="https://jobsqueensland.qld.gov.au/projects/growing-opportunities-in-the-fraser-coast/">Growing Opportunities in the Fraser Coast</a>” menggugat retorika seputar pentingnya keterampilan STEM dalam perekonomian digital, dengan mengungkapkan bagaimana permintaan akan keterampilan sudah berubah seiring waktu. </p>
<h2>1. Meningkatnya permintaan akan para pekerja sangat terampil</h2>
<p>Analisis-analisis ini menunjukkan adanya sebuah pergeseran besar dalam profil keterampilan angkatan kerja Australia. Biro Statistik Australia (ABS) <a href="http://www.abs.gov.au/ausstats/abs@.nsf/Previousproducts/C4BECE1704987586CA257089001A9181">mengklasifikasikan pekerjaan</a> ke dalam tingkat-tingkat keterampilan berdasarkan jumlah pelatihan dan pengalaman untuk melakukan pekerjaan. </p>
<p>Pada tahun 1986, kelompok terbesar pekerja dalam berbagai pekerjaan diklasifikasikan ke dalam tingkat keterampilan 4 (kurang lebih setara dengan sertifikat II atau III). Sejak itu, permintaan akan pekerja sangat terampil tumbuh dengan cepat. Saat ini, kelompok terbesar pekerja berada dalam kategori tertinggi (tingkat keterampilan 1)—pekerjaan-pekerjaan yang mensyaratkan gelar sarjana atau kualifikasi yang lebih tinggi. </p>
<p>Pada dasarnya, meningkatnya ketergantungan pada teknologi dalam lingkungan kerja menaikkan permintaan akan para pekerja sangat terampil, karena semakin banyak kerja rutin yang mengalami otomatisasi. Meskipun menggembirakan bahwa semakin banyak dari kita yang bekerja dalam pekerjaan dengan imbalan lebih, tidak semua orang memperoleh manfaat dari pergeseran ini. Para pemenang saat ini dalam perekonomian digital juga tidak bisa berpuas diri. Seiring meningkatnya kemampuan teknologi digital, jangkauan makin luas pekerjaan-pekerjaan (seperti analisis dan diagnosis data) bisa diotomatiskan.</p>
<p>Jadi, jenis keterampilan apa yang mesti kita kembangkan ketika kita berinvestasi dalam kualifikasi-kualifikasi lebih tinggi yang kini disyaratkan dalam sebagian besar pekerjaan? </p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mengaitkan <a href="http://www.abs.gov.au/ausstats/abs@.nsf/Lookup/by%20Subject/6103.0%7EJun%202016%7EMain%20Features%7EDetailed%20information%20on%20products%7E9">data pekerjaan Australia</a> dengan <a href="https://www.onetonline.org/">data Amerika Serikat</a> mengenai keterampilan dan kemampuan terkait dengan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda. </p>
<p>Dengan mengaitkan dataset tersebut, kita bisa memperkirakan (berdasarkan kompisisi okupasional yang berubah dalam angkatan kerja Australia) keterampilan dan kemampuan mana yang menjadi semakin penting atau kurang penting. Untuk mudahnya, kami mengelompokkan keterampilan dan kemampuan ini ke dalam empat kategori: keterampilan-keterampilan Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) tradisional, keterampilan komunikasi, keterampilan teknis dan keterampilan STEM generik. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/jumlah-laki-laki-melebihi-perempuan-di-bidang-teknologi-apakah-ini-bawaan-biologis-84820">Jumlah laki-laki melebihi perempuan di bidang teknologi. Apakah ini bawaan biologis?</a></em></p>
<hr>
<h2>2. Keterampilan komunikasi dan ‘people skill’ menjadi semakin penting</h2>
<p>Berbagai analisis mengungkapkan bahwa, walaupun terdapat publisitas yang dibesar-besarkan tentang keterampilan STEM, pekerjaan yang mensyaratkan keterampilan komunikasi sesungguhnya adalah yang tumbuh paling pesat.</p>
<hr>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/XpQ3F/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="189"></iframe>
<hr>
<p>Ketika pekerjaan kita semakin dimudahkan secara teknologi, para pekerja manusia membedakan diri mereka dari pekerja mesin dengan kemampuan mereka dalam berhubungan, berkomunikasi, memahami, dan membangun hubungan. Sebagian besar dari kita sekarang bekerja di sektor jasa. Inilah sektor yang akan terus tumbuh ketika populasi semakin tua dan semakin makmur, ketika kita semakin sering meningkatkan keterampilan dan mempelajari keterampilan baru, dan ketika insiden gangguan mental, penyakit kronis dan obesitas terus meningkat. Perampungan jasa-jasa tersebut menghendaki keterampilan yang berfokus pada manusia seperti mendengarkan secara aktif, empati dan kerja tim.</p>
<h2>3. Keterampilan dalam pemrograman kalah penting daripada literasi digital</h2>
<p>Mengingat <em>coding</em> saat ini adalah bagian dari kurikulum bagi siswa sekolah dasar Australia, barangkali mengherankan mengetahui bahwa pertumbuhan permintaan akan keterampilan komunikasi justru melampaui permintaan akan keterampilan STEM. Analisis-analisis lebih detail memberikan wawasan lebih jauh tentang bagaimana permintaan akan keterampilan STEM berkembang sejauh ini. </p>
<hr>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/5o4wa/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="454"></iframe>
<hr>
<p>Yang diungkapkan analisis-analisis tersebut adalah keterampilan STEM diperlukan dalam berbagai macam konteks dan peran-peran yang dibutuhkan adalah yang melibatkan bekerja dengan (bukannya pemrograman) teknologi – keterampilan-keterampilan seperti kemampuan berpikir kritis, menganalisis sistem dan berinteraksi dengan komputer. </p>
<p>Keterampilan-keterampilan STEM yang lebih tradisional (seperti fisika, matematika, dan pemrograman) mengalami pertumbuhan yang relatif lambat. Bahkan, <a href="https://academic.oup.com/qje/article/132/4/1593/3861633">penelitian</a> mutakhir dari Amerika Serikat mendapati adanya sedikit penurunan dalam jumlah pekerjaan STEM tradisional sejak tahun 2000. </p>
<p>Walaupun penting, keterampilan STEM tradisional hanya dibutuhkan oleh para profesional sangat terampil yang relatif sedikit jumlahnya—mungkin karena kerja pemrograman itu sendiri bisa diotomatiskan dan disubkontrakkan ke luar negeri.</p>
<p>Para profesional STEM tersebut juga cenderung meraih <a href="https://academic.oup.com/qje/article/132/4/1593/3861633">pendapatan lebih tinggi</a> jika mereka memadukan keahlian teknis mereka dengan keterampilan sosial yang tinggi, yang memungkinkan mereka menghubungkan kemampuan teknologis dengan kebutuhan sosial. Walaupun ahli <em>coding</em> paling terampil akan terus mempunyai peluang besar, sebagian besar dari kita jelas harus mampu bekerja dengan teknologi. Keterampilan memahami manusia justru akan terus bertambah penting. </p>
<p>Ketika kemampuan teknologi terus berkembang, para pekerja manusia harus berfokus pada pembangunan keterampilan yang melengkapi teknologi. Keterampilan interpersonal tingkat tinggi dan keterampilan menyelesaikan persoalan tidak mudah diotomatisasi. Mengingat kita perlu mendapatkan pekerjaan baru untuk menggantikan pekerjaan yang diserahkan kepada robot, kita juga akan membutuhkan keterampilan kewirausahaan untuk menciptakan dan menumbuhkan peluang-peluang ekonomis baru yang dimungkinkan oleh perkembangan-perkembangan tersebut.</p>
<p>Ketika kemajuan teknologi berjalan semakin cepat, kita perlu terus-menerus menemukan cara-cara baru penggunaan teknologi untuk melakukan pekerjaan kita. Dengan keterampilan komunikasi, penyelesaian masalah dan melek digital yang kuat kita bisa memanfaatkan kekuatan teknologi digital untuk menyelesaikan persoalan seorang pelanggan, menumbuhkan produktivitas dan memperbaiki dunia kita.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/87867/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Riset Claire Mason didanai oleh TAFE Queensland, Jobs Queensland, Commonwealth Government Department of Employment dan CSIRO's Data61.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Riset Andrew Reeson menerima dana dari TAFE Queensland, Jobs Queensland, Commonwealth Government Department of Employment, dan Data61.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Riset Todd Sanderson menerima dana dari TAFE Queensland, Jobs Queensland, Commonwealth Government Department of Employment, dan Data61.</span></em></p>Teknologi digital mengubah dunia kerja. Apakah keterampilan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) lebih diminati pemberi kerja? Riset menjawab tidak.Claire Mason, Data61 Senior Social Scientist, CSIROAndrew Reeson, Economist, Data61, CSIROTodd Sanderson, Research Scientist in Digital Economics, CSIROLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/866822017-11-10T09:53:45Z2017-11-10T09:53:45ZBagaimana membangun tempat kerja yang sehat bagi jiwa—langkah demi langkah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/192774/original/file-20171101-8503-1a8ixbe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Semakin banyak korporat yang memandang kesehatan mental di tempat kerja sebagai keputusan finansial yang baik.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Kesehatan mental sudah lama menjadi hal yang terabaikan dalam perawatan kesehatan: dibiarkan kembang kempis eksistensinya sementara limpahan dana dan perhatian melenggang ke tempat lain. Ketika kita memperingati <a href="https://www.mentalhealth.org.uk/campaigns/world-mental-health-day?gclid=CPKZk6OB0M8CFQs8Gwod9zoLew">Hari Kesehatan Mental Dunia</a> setiap bulan Oktober, tampak jelas bahwa para pembuat kebijakan dan khalayak <a href="http://www.worldbank.org/en/events/2016/03/09/out-of-the-shadows-making-mental-health-a-global-priority">mulai menyadari</a> bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Pergeseran ini sangat diperlukan.</p>
<p>Diperkirakan <a href="http://www.mind.org.uk/information-support/types-of-mental-health-problems/statistics-and-facts-about-mental-health/how-common-are-mental-health-problems/">satu dari empat orang di seluruh dunia</a> mengalami problem kesehatan jiwa pada satu titik dalam kehidupan mereka. Angka ini saja mungkin sudah mengkhawatirkan tetapi tidak mencerminkan secara memadai penderitaan manusia, isolasi, hilangnya produktivitas, hambatan bagi pembangunan manusia, dan pembangunan umum bagi negara.</p>
<p>Bagi perorangan, kesehatan mental yang buruk bisa mengisolasi, meletihkan dan kadang-kadang <a href="https://theconversation.com/who-suicide-report-shows-we-must-stop-seeing-depression-as-a-disorder-of-developed-world-30846">membawa mati</a>, tetapi ia juga memakan korban lebih luas dalam organisasi dan bisnis di seluruh dunia. Kita mungkin berpikir bahwa dunia korporat tentu gesit dalam menangani isu yang mengancam pertumbuhan dan laba. Bagaimanapun juga, walaupun fenomena umum ini menguras perekonomian melalui seringnya kemangkiran dan biaya perawatan kesehatan, <a href="http://wellbeing.bitc.org.uk/all-resources/research-articles/mental-health-work-report-2016">tabu yang tak kunjung hilang</a> di sekitar kesehatan mental <a href="https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/oct/04/mental-health-uk-business-employees-management-wellbeing-marks-spencer-mind">memperlambat ditemukannya</a> solusi untuk dunia bisnis, persis yang terjadi di tingkat perorangan dan pemerintahan.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/kemampuan-memahami-orang-lebih-dituntut-dunia-kerja-ketimbang-keterampilan-stem-87867">Kemampuan memahami orang lebih dituntut dunia kerja ketimbang keterampilan STEM</a></em></p>
<hr>
<h2>Manfaat finansial</h2>
<p>Mestinya itu tidak akan sulit-sulit amat. Semakin banyak organisasi-organisasi di seluruh dunia yang <a href="http://www.cipd.co.uk/pm/peoplemanagement/b/weblog/archive/2014/04/01/employers-launch-campaign-to-slash-163-70-billion-cost-of-mental-illness.aspx">kini mendukung investasi</a> demi para pekerja yang sehat secara mental sebagai suatu langkah masuk akal untuk menciptakan bisnis yang baik.</p>
<p>Langkah ini bisa menurunkan biaya medis total, meningkatkan produktivitas, mengurangi jumlah hari-hari sakit, biaya ketidakmampuan, dan lain sebagainya. Dari perspektif investor dan pemimpin perusahaan hal itu sama saja dengan soal kinerja keuangan yang lebih baik dan reputasi yang mengemuka, dengan keuntungan tambahan pekerja yang lebih bahagia, lebih termotivasi dan lebih terlibat.</p>
<p>Pada kenyataannya, tiap perusahaan sampai pada kesimpulan ini dari sudut yang agak berbeda. Sebagai bagian dari kerja <a href="https://www.weforum.org/communities/global-agenda-council-on-mental-health/">Dewan Agenda Global untuk Kesehatan Mental</a> dari Forum Ekonomi Dunia, 23 studi kasus keorganisasian korporat global tentang strategi-strategi kesehatan dikumpulkan dan dianalisis. Analisis atas investasi para pemimpin korporat global dalam kesehatan mental di tempat kerja mereka tersebut tidak mengungkapkan adanya motivasi tunggal. Justru, beberapa cenderung bekerja dalam kombinasi.</p>
<ol>
<li><p>Pekerja yang sehat dan bahagia tenyata lebih produktif dan itu bagus bagi bisnis dan dengan demikian melindungi kesehatan mental pegawai adalah sesuatu yang sangat masuk akal bagi bisnis.</p></li>
<li><p>Itu “hal yang benar” untuk dilakukan.</p></li>
<li><p>Ada manfaat-manfaat yang jelas bagi organisasi dari keterlibatan dan loyalitas pegawai berkenaan dengan reputasi keorganisasian yang lebih luas.</p></li>
<li><p>Mengelola biaya dan beban kesehatan yang buruk (termasuk kesehatan mental yang buruk) para pegawai adalah hal masuk akal.</p></li>
</ol>
<h2>Cara mengatasi</h2>
<p>Ada <a href="https://www.centreformentalhealth.org.uk/employment-the-economic-case">semakin banyak bukti</a> tentang biaya ekonomi terkait kesehatan mental di tempat kerja. Ini bisa meliputi kemangkiran <a href="http://www.cipd.co.uk/pm/peoplemanagement/b/weblog/archive/2015/11/04/annual-cost-of-presenteeism-is-twice-that-of-absenteeism-says-prof-cooper.aspx">dan kehadiran</a>—di mana staf menghabiskan waktu terlalu lama di tempat kerja walaupun sakit—maupun biaya lebih luas berkait keluarnya pegawai dan perekrutan pegawai. Kami juga mempunyai <a href="https://www.headsup.org.au/docs/default-source/resources/developing-a-mentally-healthy-workplace_final-november-2014.pdf?sfvrsn=8">semakin banyak bukti</a> bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk menangani faktor-faktor risiko dan membangun ketahanan untuk mengatasi dan mengelola stres pegawai.</p>
<p>Berbagai studi kasus yang kami cermati menunjukkan adanya peningkatan tren di mana kesehatan mental ditangani sebagai bagian dari strategi kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan yang lebih luas. Berbagai prakarsa <a href="https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-244X-14-131">semakin terintegrasi</a> dan dibangun di sekitar kesehatan yang positif, pencegahan dan pengenalan dini, di samping dukungan dan rehabilitasi ketika diperlukan. Jadi, apa sebetulnya yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut?</p>
<p>Salah satu langkah utamanya sering kali adalah memusatkan perhatian pada lingkungan kerja itu sendiri. Langkah itu bisa berupa tindakan sederhana seperti meningkatkan masuknya cahaya alami, udara segara dan membawa masuk tanaman. Kelembaman rutinitas kantor bisa dikurangi dengan membeli meja-meja berdiri—atau bahkan meja <em>treadmill</em>. </p>
<p>Corak dan penampilan tempat kerja bisa digeser dengan ruang-ruang pertemuan sosial, opsi-opsi makanan sehat di tempat kerja, area istirahat makan siang yang sesuai dan fasilitas olahraga diskon di tempat kerja atau di sekitarnya, dipadu dengan pengaturan kerja yang fleksibel untuk mendorong pemanfaatan fasilitas-fasilitas tersebut.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/6Jcd5XV4VL8?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Juga merupakan hal yang lazim bagi perusahaan-perusahaan untuk menangani stres terkait pekerjaan. Dalam hal ini pun mereka tampaknya bisa melakukannya dengan mudah, tetapi tidak semua melakukannya. Salah satu langkah yang <a href="http://www.bbc.co.uk/news/magazine-28786117">sudah diperlihatkan</a> untuk mengurangi secara signifikan tingkat stres pegawai selama cuti tahunan adalah memasang sistem email yang menghapus pesan ketika fitur out-of-office diaktifkan. Para pengirim email diberitahu agar mengirimkan pesan kembali setelah orang yang bersangkutan kembali dan penerima email tidak pulang dari berlibur untuk menyibukkan diri dengan tumpukan email.</p>
<h2>Anjing</h2>
<p>Pada ujung lebih ekstrem spektrum, beberapa bisnis korporat besar mendatangkan para pelatih profesional untuk memberikan pelatihan personal dan kelompok, atau menyediakan ruang istirahat untuk tidur siang mengembalikan tenaga maupun kontemplasi yang tenang. Para majikan bahkan bisa mengandalkan peran terapi hewan peliharaan. Terdapat <a href="http://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/17538351211215366">bukti kuat</a> bahwa meluangkan waktu mengamati, menepuk-nepuk atau mengajak berjalan-jalan anak anjing atau anjing yang riang bisa menurunkan kadar stres secara signifikan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/141062/original/image-20161010-3864-wokvvj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tidak ada yang bilang anjing harus riang.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic-176225708/stock-photo-sleepy-beagle-dog-in-funny-glasses-near-laptop.html?src=euwz4_y5cbdgJR52SsV8pQ-1-16">Soloviova Liudmyla/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Strategi-strategi lain yang kami jumpai meliputi perusahaan yang membuat janji terbuka untuk menangani masalah-masalah kesehatan mental maupun terlibat dalam kampanye-kampanye kesehatan mental seperti <a href="https://www.seemescotland.org/workplace/">See Me</a>, <a href="http://www.time-to-change.org.uk/">Time to Change</a> atau <a href="https://www.beyondblue.org.au/">Beyond Blue</a>. Perusahaan-perusahaan besar ini juga berinvestasi dalam pelatihan kesehatan mental di tempat kerja, termasuk tema-tema seperti <a href="https://www.samh.org.uk/work-with-us/samh-training.aspx">mengelola kesehatan mental</a>, <a href="http://mhfaengland.org/first-aid-courses/first-aid-standard/">pertolongan pertama pada kesehatan mental</a> dan <a href="http://www.bitc.org.uk/sites/default/files/emotional_resilience_toolkit_0.pdf">membangun ketahanan</a>, kemampuan beradaptasi menghadapi tantangan.</p>
<p>Dalam 23 studi kasus korporat global, bermunculan strategi-strategi umum untuk menangani kesehatan mental di tempat kerja. Kerja yang fleksibel membuahkan hasil, seperti yang dilakukan kebijakan mengizinkan pegawai <a href="https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/266512/wp120.pdf">menukar gaji dengan cuti</a>. Konseling, Terapi Perilaku Kognitif (CBT) dan layanan penuh perhatian <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22352291">juga berhasil</a>. Sebuah lingkungan yang terbuka bisa sangat penting. Meningkatkan melek kesehatan mental dan para jago kesehatan mental bisa mendorong orang untuk <a href="http://www.birmingham.ac.uk/Documents/research/ias/Wellbeing-at-work-review-Jan-31.pdf">bersuara dan minta pertolongan</a>.</p>
<p>Entah itu sebuah usaha kecil atau perusahaan multinasional FTSE 100, <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/oct/10/mental-health-support-work-employer">menangani kesehatan mental yang buruk adalah keharusan</a> di dunia saat ini. Studi kasus yang dirujuk di sini hanya merepresentasikan 23 bisnis korporat global, tetapi studi kasus itu juga merepresentasikan praktik-praktik yang bisa menghasilkan perbedaan. </p>
<p>Masing-masing organisasi berbeda dan menghendaki serangkaian kebijakan unik yang memenuhi kebutuhan stafnya. Dengan demikian triknya adalah mengidentifikasi <a href="http://www.enwhp.org/good-whp-practice/methods-tools-mogp/questionnaire-of-self-assessment.html">apa kebutuhan-kebutuhan itu</a>, bagaimana sebuah program kesehatan mental tempat kerja <a href="http://www.joinmq.org/pages/seven-actions-towards-a-mentally-healthy-organisation">bisa dimulai untuk menangani persoalan</a>, dan mengajak seluruh pegawai saat Anda mengupayakan cara melaksanakan kebijakan penanganan kesehatan mental.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/86682/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tine Van Bortel terafiliasi dengan University of Cambridge dan University of East London. Ia juga adalah anggota pemegang mandat dalam Dewan Agenda Global untuk Kesehatan Mental di World Economic Forum.
</span></em></p>Semakin banyak perusahaan menyadari pekerja yang bahagia semakin produktif. Langkah-langkahnya termasuk membawa tanaman ke kantor, atau anjing yang riang.Tine Van Bortel, Senior Research Associate in Public Health, University of CambridgeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.