tag:theconversation.com,2011:/us/topics/rekonsiliasi-43913/articlesRekonsiliasi – The Conversation2019-12-10T07:41:54Ztag:theconversation.com,2011:article/1285442019-12-10T07:41:54Z2019-12-10T07:41:54ZRekonsiliasi sehari-hari: jawaban sementara terhadap kekerasan HAM masa lalu?<p><em>Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel untuk memperingati Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember.</em></p>
<hr>
<p>Rekonsiliasi, sederhananya, adalah proses <a href="https://bookstore.usip.org/browse/book/9781878379733/Building-Peace">pemulihan hubungan</a> antar beberapa pihak supaya lepas dari kekerasan masa lalu.</p>
<p>Mayoritas <a href="https://doi.org/10.1177/1363461510362043">literatur akademik</a> sepakat bahwa rekonsiliasi sejati hanya dapat diwujudkan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau pengadilan khusus. Komisi ini bertugas menyediakan ruang bagi penyintas dan pelaku menyampaikan fakta-fakta seputar kekerasan masa lalu yang bisa dipakai sebagai dasar rekonsiliasi.</p>
<p>Beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD <a href="https://tirto.id/soal-wacana-hidupkan-kkr-mahfud-md-bukan-untuk-kehendak-kelompok-ekmv">menawarkan gagasan untuk membentuk KKR kembali</a> setelah sebelumnya rencana pembentukan KKR sempat gagal karena UU yang melandasi pendiriannya <a href="https://news.detik.com/berita/d-717368/mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi">dibatalkan</a> oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 karena dianggap melanggar Undang-Undang Dasar 1945. </p>
<p>Pembatalan UU ini mencerminkan penolakan yang cukup kuat terkait pembentukan KKR. Beberapa <a href="https://tirto.id/rekonsiliasi-mencari-wadah-paling-realistis-bnnf">elemen masyarakat sipil</a> mengatakan pendirian KKR berpeluang memaksa penyintas <em>legowo</em> menerima kejahatan HAM masa lalu, sementara para pelaku bisa lari dari penegakan hukum. Di sisi lain, <a href="https://tirto.id/penyelesaian-kasus-1965-menuntut-keseriusan-komnas-ham-ck63">beberapa aktor lain</a> menuding KKR justru akan membuka luka masa lalu dan menimbulkan perpecahan. Selain penolakan ini, rencana Mahfud untuk membentuk kembali KKR juga belum jelas.</p>
<p>Di tengah kebuntuan ini, kita dapat belajar dari keberhasilan <a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/buku/carita-orang-basudara/">rekonsiliasi di Maluku</a>, tempat terjadinya kekerasan yang melibatkan warga Muslim dan Kristen antara 1999 dan 2002.</p>
<p><a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/buku/ketika-agama-bawa-damai-bukan-perang-belajar-dari-imam-dan-pastor/">Riset saya</a> menemukan bahwa proses yang terjadi di Maluku adalah rekonsiliasi sehari-sehari atau rekonsiliasi yang terjalin dalam rutinitas hidup tanpa perlu bantuan lembaga formal seperti KKR. Rekonsiliasi sehari-hari di Maluku terjadi di tiga ranah: lingkungan sekitar, narasi, dan fungsional. </p>
<p>Dari temuan ini, saya melihat beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari masyarakat Maluku guna menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu di Indonesia.</p>
<h2>Tiga ranah</h2>
<p>Saya mulai melakukan riset di Maluku pada 2002. Riset ini menjadi lebih intensif pada tahun 2004-2006 lalu 2014-2015 dan melibatkan sekitar 300 responden. Tujuan besarnya adalah mengetahui bagaimana rekonsiliasi bisa berjalan dengan baik di sana meski tidak ada KKR. </p>
<p>Saya mengambil data dengan menggunakan metode survei, wawancara terstruktur, diskusi kelompok, dan etnografi.</p>
<p>Riset saya menemukan bahwa rekonsiliasi yang terjadi di Maluku adalah rekonsiliasi sehari-hari yang tidak dirancang sebagai sebuah forum yang bersifat formal dan secara khusus dibentuk. Rekonsiliasi ini “dijahit” sebagai bagian dari aktivitas keseharian. </p>
<p>Rekonsiliasi ini terjadi dalam tiga ranah:</p>
<p><strong>Ranah lingkungan sekitar</strong> menggarisbawahi hubungan-hubungan yang muncul antara berbagai pihak terkait aspek-aspek spasial yang mengikat mereka. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana warga Muslim dan Kristen bersama-sama memperbaiki rumah, masjid, dan gereja di lingkungan tempat tinggal mereka. Contoh lain terjadi ketika warga Muslim memberikan jaminan keamanan bagi tetangga Kristennya yang dulu terusir dari desa untuk bisa kembali – atau sebaliknya.</p>
<p><strong>Ranah narasi</strong>, adalah tempat pihak-pihak dalam konflik menyimpan cerita dan memori mengenai transformasi hubungan mereka. Di dalamnya, ada aneka novel, lagu, film, dan puisi yang menggarisbawahi bagaimana semangat <em>basudara</em> (bersaudara) menuntun warga Maluku melampaui rasa curiga, dendam, dan permusuhan sehingga akhirnya dapat kembali hidup berdampingan.</p>
<p><strong>Ranah fungsional</strong> adalah tempat pihak-pihak dalam konflik berinteraksi satu sama lain dengan mengedepankan profesi, hobi, atau peran sosial mereka. Dalam ranah ini, warga bekerja sama menormalisasi aneka sektor kehidupan mereka, dalam kapasitasnya sebagai wartawan, guru, ibu, penulis blog, pengemudi, pedagang – bukan sebagai Muslim atau Kristen. </p>
<p>Pengalaman Maluku menunjukkan semua inisiatif untuk berekonsiliasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika terjadi di beberapa ranah sekaligus, rekonsiliasi berpeluang memperkuat satu sama lain, sehingga cita-cita perdamaian lebih mudah diupayakan.</p>
<h2>Terobosan rekonsiliasi di Maluku: interdependensi</h2>
<p>Rekonsiliasi sehari-hari di Maluku bisa berjalan dengan baik karena ada hubungan ketergantungan yang kuat antara penyintas dan pelaku dalam menghentikan kekerasan supaya kehidupan bisa kembali berjalan normal. </p>
<p>Mengingat konfliknya berbentuk kekerasan yang melibatkan baik umat Kristen dan Islam, bisa dikatakan bahwa baik warga Muslim maupun Kristen merupakan penyintas dan pelaku.</p>
<p>Rekonsiliasi sehari-hari adalah satu konsep yang saya bangun dari salah satu jalur rekonsiliasi yang dikenalkan oleh pakar studi perdamaian dari Amerika Serikat, John Paul Lederach, yaitu <a href="https://bookstore.usip.org/browse/book/9781878379733/Building-Peace">interdependensi</a>. </p>
<p>Rekonsiliasi interdependensi tidak fokus pada upaya pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, atau pemberian pengampunan, tapi pada penghentian kekerasan.
Guna menghentikan kekerasan ini, warga sadar mereka harus bekerja sama dengan pihak yang dianggap lawan. Dengan kata lain, mereka bergantung satu sama lain untuk menghentikan kekerasan tersebut dan kembali hidup normal.</p>
<p><a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/buku/konflik-dan-perdamaian-etnis-di-indonesia/">Aneka wawancara</a> pada tahun 2000 hingga 2006 mengkonfirmasi bahwa masyarakat Maluku menginginkan kehidupan di berbagai sektor kembali berjalan normal.</p>
<p>Anak-anak bisa kembali ke sekolah dan orang-orang dewasa bisa bekerja dengan normal. Semua warga bisa bebas bertransaksi di pasar tanpa ada segregasi antara Islam dan Kristen. Pasien tidak lagi pilih-pilih dokter atau transfusi darah dari yang seagama.</p>
<p>Rekonsiliasi sehari-sehari ini sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa kebenaran dan keadilan tidak penting.</p>
<p>Yang perlu digarisbawahi adalah, masyarakat memiliki interpretasi sendiri terhadap apa yang penting serta apa yang benar dan adil.</p>
<p>Bagi warga Maluku, kurang penting untuk tahu persis secara rinci siapa melakukan apa kepada siapa, kapan, dan di mana. Yang lebih penting adalah menyadari bahwa kontribusi masyarakat dalam kekerasan masa lalu harus dibayar dengan tanggung jawab mencegah kekerasan pada masa depan.</p>
<h2>Dari Maluku untuk Indonesia</h2>
<p>Ada 2 pembelajaran yang bisa diambil dari rekonsiliasi Maluku untuk penuntasan kasus HAM:</p>
<p><strong>1. Pertama, rekonsiliasi perlu juga dihadirkan sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya sebagai forum formal dan sementara.</strong> </p>
<p>Sambil menegosiasikan mandat dan bentuk KKR, masyarakat sipil perlu terus menginisiasi rekonsiliasi sehari-hari. Bisa jadi, capaian dari rekonsiliasi sehari-hari dapat menjadi bekal masyarakat sipil untuk mendorong format KKR yang sesuai dengan kebutuhan penyintas.</p>
<p><strong>2. Upaya mengembangkan rekonsiliasi sehari-hari perlu dilakukan di berbagai ranah.</strong></p>
<p>Ada beberapa inisiatif yang bisa dilakukan di ranah lingkungan sekitar guna menyelesaikan kasus-kasus HAM lama. Beberapa contohnya adalah tur yang diselenggarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mengenang kekerasan terhadap warga Tionghoa tahun 1998 dan tur kota Yogyakarta yang mengungkap situs-situs penahanan dan penyiksaan tahun 1965.</p>
<p>Satu hal sederhana lain yang bisa dilakukan adalah mendorong dialog antargenerasi di lingkup keluarga. Tugas sekolah bisa meminta siswa bertanya kepada orang tuanya di mana mereka tahun 1998 dan bertanya kepada nenek-kakeknya di mana mereka tahun 1965. Pertanyaan seperti ini mendobrak tabu dan berpeluang membuka percakapan yang lebih empatik terhadap penyintas kekerasan masa lalu.</p>
<p>Di ranah narasi, memori penyintas, pelaku, dan saksi bisa dihadirkan melalui aneka karya seni. Ada film-film seperti <a href="https://www.viddsee.com/video/sowan/gca9z?locale=en">Sowan</a>, <a href="https://www.imdb.com/title/tt5821664/">Istirahatlah Kata-Kata</a>, <a href="https://www.imdb.com/title/tt6029714/?ref_=fn_al_tt_1">Surat dari Praha</a>, <a href="https://ffd.or.id/en/film/a-daughters-memory/">A Daughter’s Memory</a>, <a href="https://www.imdb.com/title/tt5131346/">Langit Masih Gemuruh</a>, <a href="http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p019-99-719188_puisi-tak-terkuburkan#.Xe8GepIzbGI">Puisi tak Terkuburkan</a>, dan <a href="https://www.imdb.com/title/tt0344801/">Aku Ingin Menciummu Sekali Saja</a>.</p>
<p>Ada novel seperti <a href="https://www.gramedia.com/products/conf-entrok">Entrok</a>, <a href="https://www.goodreads.com/book/show/16174176-pulang">Pulang</a>, <a href="https://www.gramedia.com/products/amba-sebuah-novel">Amba</a>, dan <a href="https://www.gramedia.com/products/conf-gadis-kretek">Gadis Kretek</a>. Ada pula pertunjukan teater <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2018/12/18/the-voices-of-the-oppressed-from-a-satay-stall.html">Selamatan Anak Cucu Sumilah</a> dan <a href="https://serunai.co/2017/07/21/tragedi-itu-bernama-gejolak-makam-keramat/">Gejolak Makam Keramat</a>.</p>
<p>Di ranah fungsional, beberapa pengajar perguruan tinggi menyilakan mantan tahanan politik ikut menghadiri kelas atau seminar. Mereka ingin menawarkan kesempatan bagi para mantan tapol merasakan kembali tahun-tahun perkuliahan, yang tercerabut dari mereka karena tindak penahanan. </p>
<p>Kemudian ada pemuka agama, seperti Pendeta Mery Kolimon, merangkul para penyintas kekerasan 1965 dan keluarganya yang sebelumnya dilarang ikut ibadah. Ada juga petugas kesehatan yang memberikan layanan kesehatan cuma-cuma kepada penyintas kekerasan 1965 dan layanan psikologi cuma-cuma bagi penyintas pemerkosaan pada Mei 1998.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128544/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Diah Kusumaningrum juga mengajar di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Universitas Gadjah Mada. </span></em></p>Di tengah kebuntuan penuntasan kasus HAM di Indonesia, kita dapat belajar dari keberhasilan rekonsiliasi di Maluku yang mengalami kekerasan antara warga Muslim dan Kristen pada 1999-2002.Diah Kusumaningrum, Lecturer and researcher at Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1221442019-08-21T09:21:21Z2019-08-21T09:21:21ZCara hentikan konflik di Papua: Stop kekerasan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288877/original/file-20190821-170918-fn1gad.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ribuan orang turun ke jalan dalam demonstrasi di Jayapura, Papua, pada 19 Agustus 2019. </span> <span class="attribution"><span class="source">Frans/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Rentetan penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua yang terjadi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">di Malang</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">Surabaya</a>, Jawa Timur, minggu lalu menambah daftar panjang kekerasan terhadap mereka. </p>
<p>Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/02/15/06482101/memutus-mata-rantai-kekerasan-di-papua?page=all">Amnesty Internasional</a> telat mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018. Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan – 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).</p>
<p>Kekerasan – baik langsung maupun struktural – harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">Memahami akar masalah Papua dan penyelesaiannya: jangan gegabah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengakhiri konflik</h2>
<p>Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9781403945181">membuat konflik berakhir</a>: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan. </p>
<p>Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. </p>
<p>SETARA Institute, dalam <a href="http://setara-institute.org/en/ambiguitas-politik-ham-di-papua">laporannya</a> mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan. </p>
<p>Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat <a href="http://www.bphn.go.id/data/documents/01uu021.pdf">Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001</a> tentang otonomi khusus Papua. Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko “Jokowi” Widodo. </p>
<p>Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-presiden-jokowi-tak-kunjung-berhasil-merebut-hati-orang-papua-108296">Mengapa Presiden Jokowi tak kunjung berhasil merebut hati orang Papua?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan menghapus sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9781403945181">Permintaan maaf</a> merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi. </p>
<p>Masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu meminta maaf karena telah membiarkan kekerasan terjadi kepada saudara sebangsa dan setanah air terjadi. Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah. </p>
<p>Pelaku kekerasan – aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait – harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan selain juga meminta maaf. </p>
<p>Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai <a href="https://kumparan.com/setara/dehumanisasi-di-hari-kemanusiaan-internasional-atas-masyarakat-papua-1rhF8rkNbKz#referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s">preseden</a> pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (<em>guarantees of non-repetition</em>) di masa depan. </p>
<p>Selain itu, pemerintah harus mengkondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.</p>
<p>Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua. </p>
<p>Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM. </p>
<p>Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elit politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190207180345-12-367284/korupsi-papua-kpk-tetapkan-anggota-dpr-dan-pejabat-tersangka">praktik korupsi</a> yang terjadi di Papua. </p>
<p>Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu.</p>
<p>Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir. </p>
<h2>Keadaan yang tidak boleh terus berlangsung</h2>
<p>Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak <a href="http://setara-institute.org/en/ambiguitas-politik-ham-di-papua/">dekolonisasi</a> ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana. </p>
<p><a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">Rasialisme</a> dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka ‘setengah binatang’. </p>
<p>Pandangan ini tampak pada sebutan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008">“monyet”</a> yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya baru-baru ini. Menyebut masyarakat Papua dengan binatang merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jangan-panggil-orang-papua-monyet-ahli-jelaskan-makna-panggilan-hewan-pada-manusia-122058">Jangan panggil orang Papua monyet: Ahli jelaskan makna panggilan hewan pada manusia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">Kekerasan</a> telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik. </p>
<p>Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, memiliki <a href="https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/06393.pdf">jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM</a> yang mendalam di tanah Papua, terlebih pada masa DOM. </p>
<p>Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di luar Papua. Bahkan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819060430-20-422545/penyerangan-asrama-papua-di-surabaya-dinilai-langgar-ham">masyarakat sipil–seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun terlibat</a>. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik.</p>
<p>Kekerasan langsung memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah mendasar di sini.</p>
<p>Ketimpangan akibat <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan</a> menjadi akar konflik yang berlarut di Papua. </p>
<p>Meski kini pemerintahan Jokowi mulai menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan membiarkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/12/10/17354801/komnas-ham-infrastruktur-papua-maju-tetapi-ada-pelanggaran-ham">pelanggaran HAM</a> terjadi di dalamnya. </p>
<p>Selain itu, hubungan pemerintah pusat dan Papua tidak harmonis karena <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">ketidakselarasan</a> pemaknaan integrasi dan konstruksi identitas politik di antara keduanya. Papua dan masyarakatnya menyimpan luka sebagai akibat kekerasan struktural ini. </p>
<p><em>Franklin Ronaldo berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122144/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selma Theofany terafiliasi dengan SETARA Institute Democracy and Peace sebagai peneliti HAM dan perdamaian.</span></em></p>Kekerasan di Papua – baik langsung maupun struktural – harus segera dihentikan dan pemerintah pusat harus memperbaiki hubungn dengan rakyat Papua.Selma Theofany, Researcher, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/846262017-10-06T09:38:57Z2017-10-06T09:38:57ZFilm G30S untuk milenial:
celah rekonsiliasi atau polarisasi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/188320/original/file-20171002-12115-1wn8ek7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Polarisasi atau rekonsiliasi?</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Film produksi Orde Baru berjudul “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170919143028-20-242711/gatot-film-g30s-pki-diputar-agar-sejarah-kelam-tak-terulang">baru-baru ini mengemuka</a> lagi dalam perdebatan publik setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo <a href="https://nasional.tempo.co/read/910181/nobar-film-g30spki-panglima-tni-kalau-perintah-saya-kenapa">memerintahkan “nonton bersama”</a> film tersebut. Presiden Joko Widodo pun turut meramaikan perdebatan melalui usulnya untuk <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/18/19174751/jokowi-ingin-ada-film-g30spki-versi-kekinian">memperbarui film itu agar cocok untuk generasi milenial</a>. </p>
<p>Perlu tidaknya film seputar tragedi 1965 diputar ulang atau diperbarui mengundang pro kontra. Beberapa pihak setuju film tersebut perlu diputar di stasiun televisi karena <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/15/19405021/mendagri-persilakan-tv-kembali-tayangkan-film-pengkhianatan-g30spki">generasi muda perlu belajar sejarah</a>, atau bahkan karena dianggap <a href="http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/ObzW199k-tommy-soeharto-sebut-film-g30s-pki-sejarah-yang-sebenarnya">mewakili sejarah yang sebenarnya</a>. </p>
<p>Sementara pihak yang lain berpendapat film tersebut tak layak tonton karena terlalu banyak <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/17/17283611/kpai-anggap-film-pengkhianatan-g30spki-tidak-layak-ditonton-anak-anak">memuat adegan kekerasan,</a> maupun berpotensi memunculkan kembali <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170920134402-20-242943/kontras-kritik-instruksi-jenderal-gatot-soal-film-g30s-pki">stigma pada para korban pembantaian pasca malam 30 September 1965</a>. </p>
<p>Pertanyaan saya, sejauh apa upaya untuk mendorong pemutaran film G30S mampu memberi celah bagi upaya menyembuhkan trauma kolektif itu? </p>
<p>Sebagai medium, film dapat mendorong <a href="https://books.google.co.id/books/about/Film_ideologi_dan_militer.html?id=1B7JAAAACAAJ&redir_esc=y">kekerasan</a> maupun <a href="http://www.theadvocatesforhumanrights.org/peace_and_justice_films">perdamaian</a>. Apa yang harus kita pertimbangkan agar penggunaan medium film untuk memperkenalkan generasi milenial pada sejarah Indonesia—khususnya Tragedi 1965—mampu memberi celah bagi rekonsiliasi, dan bukan malah melanggengkan narasi kekerasan dan menciptakan polarisasi?</p>
<h2>Bagaimana memaknai rekonsiliasi?</h2>
<p>Rekonsiliasi pada umumnya dibayangkan sebagai suatu kondisi yang akan segera tercapai setelah masing-masing pihak bertemu (biasanya pemimpin dari kelompok-kelompok yang bertikai), berunding untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka, berjabat tangan, dan menghasilkan suatu kesepakatan bersama. </p>
<p>Atau, rekonsiliasi juga dibayangkan terjadi setelah sebuah mekanisme penyelesaian konflik diterapkan, seperti perjanjian damai, <a href="http://referensi.elsam.or.id/tag/keadilan-transisional/">keadilan transisional</a>, komisi kebenaran, dan pendirian memorial. Pada level sikap, rekonsiliasi juga seringkali dipahami sebagai tindakan memaafkan (<em>forgive</em>) sembari melupakan (<em>forget</em>) pengalaman bertikai dengan harapan masing-masing pihak dapat kembali melanjutkan hidup, “sama-sama dari nol”.</p>
<p>Seorang ahli rekonsiliasi, <a href="https://bookstore.usip.org/books/BookDetail.aspx?productID=51267">Lederach</a>, berargumen setidaknya cara pandang yang menitikberatkan pada mekanisme penyelesaian konflik menyimpan dua kelemahan. </p>
<p>Pertama, keberadaan mekanisme-mekanisme tersebut memang penting bagi rekonsiliasi, tetapi tercapai tidaknya rekonsiliasi hanya bisa diukur dari bagaimana pihak-pihak yang bertikai berhubungan satu sama lain setelahnya. Rekonsiliasi itu soal relasi—bagaimana mengembalikan hubungan yang rusak antara pihak-pihak yang bertikai dan membangun interaksi yang lebih damai di antara keduanya. </p>
<p>Artinya, rekonsiliasi bukanlah sekadar hasil atau tujuan, tetapi juga proses. Mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik di atas akan kehilangan artinya jika dalam prosesnya justru menumbuhkan kecurigaan, mempertebal prasangka, memperlebar jurang perbedaan, sehingga semakin memberi peluang bagi masing-masing pihak untuk memandang pihak lainnya sebagai musuh. </p>
<p>Kedua, rekonsiliasi bukanlah pelupaan (<em>forgetting</em>). Membangun perdamaian setelah pertikaian mengharuskan semua pihak mengakui pengalaman-pengalaman kekerasannya serta di mana masing-masing pihak berada saat kekerasan terjadi (<em>truth</em>), lalu merefleksikannya untuk mendorong pemaafan (<em>mercy</em>) dan pemenuhan rasa keadilan (<em>justice</em>). Rekonsiliasi justru ditandai dengan kemauan untuk mengingat (<em>remembrance</em>) dan mempelajari akar-akar permasalahannya sehingga kekerasan serupa tidak terulang lagi di masa depan.</p>
<p>Dalam konteks Gerakan 30 September dan Tragedi 1965, proses rekonsiliasi di atas mungkin akan terasa sedikit rumit dan berliku karena kekerasan yang bertumpuk. </p>
<p>Peristiwa malam 30 September merupakan sebuah peristiwa politik yang tidak dapat dilepas dari <a href="https://www.goodreads.com/book/show/18478035-1965">konteks politik global dan nasional</a> saat Perang Dingin. Namun episode kekerasan yang terjadi setelahnya menunjukkan bagaimana penguasa secara sadar berupaya membersihkan “lawan-lawan politiknya” dengan memanfaatkan <a href="https://nuspress.nus.edu.sg/products/the-contours-of-mass-violence-in-indonesia-1965-1968">benih-benih permusuhan</a> di level akar rumput di beberapa daerah di Indonesia. </p>
<p>Sehingga perlu diakui bahwa Tragedi 1965, bagi sebagian orang, pertama-tama dialami serta diingat (dan karenanya seringkali tampak) sebagai konflik horizontal di level komunal–antara kelompok komunis versus kelompok agamais, kelompok komunis versus kelompok nasionalis, antartetangga, sesama mahasiswa dan guru, pegiat PKK, aktivis partai, dan sebagainya–alih-alih sebagai kekerasan oleh negara dan militer.</p>
<p>Konstruksi musuh di level akar rumput inilah yang kemudian dirawat dan diperkokoh dari generasi ke generasi oleh propaganda-propaganda Orde Baru sehingga sekarang, setiap kali upaya penyelesaian terhadap kekerasan masa lalu digulirkan, negara selalu bisa berkelit dengan kembali menggunakan sentimen permusuhan yang sama yang membuat rakyat bertikai satu sama lain.</p>
<h2>Film untuk rekonsiliasi</h2>
<p>Mungkinkah film menjadi medium rekonsiliasi dalam kondisi demikian? Mampukah film tentang G30S atau Tragedi 1965 menciptakan ruang di mana pihak-pihak yang bertikai dapat menceritakan pengalaman kekerasannya masing-masing? </p>
<p>Dapatkah sebuah film yang dibuat agar cocok untuk generasi milenial mendorong pengakuan yang lebih tulus, sehingga memunculkan tindakan-tindakan pemaafan dan pemenuhan rasa keadilan setidaknya di level komunal? </p>
<p>Tentu bisa, tetapi dengan beberapa prasyarat.</p>
<p>Pertama, film tersebut harus mampu memberi ruang bagi <a href="https://theconversation.com/demi-rekonsiliasi-memahami-sejarah-tragedi-1965-harus-menyeluruh-84569">beragam narasi mengenai kekerasan</a> karena narasi pelaku dan narasi korban tidak dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang benar-benar tunggal. </p>
<p>Narasi pelaku, misalnya, tidak hanya terdiri dari narasi kekerasan negara. Tetapi juga narasi pelaku-pelaku di level akar rumput yang mungkin berbasis trauma yang nyata. Sementara narasi penyintas juga terdiri dari berbagai testimoni milik korban generasi pertama (mereka yang mengalami kekerasan), hingga keturunannya baik di generasi kedua maupun ketiga yang mungkin berbeda sehingga persepsi dan ekspektasi mereka terhadap rekonsiliasi pun beragam. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/kisah-tahanan-politik-rezim-orde-baru-berkampanye-anti-hukuman-mati-lintas-negara-85141">Kisah tahanan politik rezim Orde Baru berkampanye anti hukuman mati lintas negara</a></em></p>
<hr>
<p>Porsi lebih besar tentu harus diberikan kepada penyintas karena dalam setiap upaya menyuarakan ingatan tentang kekerasan, cerita penyintas merupakan narasi yang paling sering terpinggirkan baik karena trauma maupun pembungkaman oleh struktur yang lebih dominan. Ruang untuk menegosiasikan ingatan-ingatan tentang kekerasan inilah yang perlu diakomodasi oleh sebuah proses pembuatan atau pemutaran film.</p>
<p>Kedua, film tersebut harus berkomitmen dan berbasis pada penelitian. Banyak riset <a href="http://catalogue.nla.gov.au/Record/4690700">empiris</a> telah dilakukan tentang Gerakan 30 September dan Tragedi 1965—misalnya, tentang konteks <a href="https://www.goodreads.com/book/show/3292293-dalih-pembunuhan-massal">apa yang melatarbelakangi peristiwa penculikan di malam 30 September</a>, bagaimana kekerasan terjadi di berbagai <a href="https://search.library.wisc.edu/catalog/9910203518402121">daerah di Indonesia</a> dan di berbagai <a href="http://marjinkiri.com/product/kekerasan-budaya-pasca-1965-bagaimana-orde-baru-melegitimasi-anti-komunisme-melalui-sastra-dan-film/">bidang</a>, bagaimana pengalaman <a href="https://www.goodreads.com/book/show/5979389-suara-perempuan-korban-tragedi-65">orang-orang</a> yang terkena <a href="https://www.goodreads.com/book/show/1958295.Tahun_yang_Tak_Pernah_Berakhir">dampak</a> kekerasan, atau bagaimana <a href="https://www.amazon.com/Reconciling-Indonesia-Grassroots-agency-Transformations/dp/0415690161">upaya-upaya</a> <a href="http://elsam.or.id/2004/07/mematahkan-pewarisan-ingatan-wacana-anti-komunis-dan-politik-rekonsiliasi-pasca-soeharto/">rekonsiliasi</a> diusahakan dan menemui banyak tantangan. </p>
<p>Riset-riset ini merupakan sumber informasi baru yang dapat memperkaya proses diskusi setelah pemutaran atau pembuatan film tentang kekerasan di masa lalu.</p>
<p>Ketiga, film tersebut harus mendorong pemanusiaan kembali (rehumanisasi). Kemanusiaan adalah hal yang pertama-tama hilang dalam setiap peristiwa kekerasan. Sementara itu, film-film tentang kekerasan terkadang justru mempertegas aspek kekerasannya sehingga terkadang justru memantik trauma kembali atau memperkokoh konstruksi musuh. </p>
<p>Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan personalisasi: membawa aspek personal, karakteristik kemanusiaan dari masing-masing subjek yang hilang karena proses <a href="https://www.amazon.com/After-Mass-Crime-Rebuilding-Communities/dp/928081138X">dehumanisasi</a> yang selalu menyertai semua tindak kekerasan. Personalisasi tidak boleh melupakan konteks sosial, politik, ekonomi yang menjadikan para subjek tersebut diri mereka yang sekarang.</p>
<p>Keempat, kesuksesan rekonsiliasi juga bergantung pada <a href="https://www.amazon.com/Teaching-Violent-Past-Education-Reconciliation/dp/0742551431">kemampuan masyarakat membuka diri</a> terhadap narasi-narasi yang berbeda, mengelola konflik secara nirkekerasan, dan berpikir kritis.</p>
<p>Malam 30 September tahun ini sayangnya sudah terlewati dengan pemutaran-pemutaran “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” di alun-alun, <a href="https://www.rappler.com/indonesia/berita/183846-pelajar-bandung-gelar-nobar-film-pengkhianatan-g30s-pki">sekolah</a>, pesantren, bahkan masjid di berbagai tempat di Indonesia. </p>
<p>Jika film akan digunakan sebagai medium pembelajaran sejarah dan rekonsiliasi, maka seharusnya ia menjadi bagian dari proses pendidikan generasi milenial yang dilakukan tanpa paksaan. </p>
<p>Pemutaran-pemutaran alternatif perlu dilakukan agar penonton milenial tidak kembali diperlakukan sebagai objek penerima informasi yang pasif, melainkan dilatih sebagai subjek aktif yang dapat mempertanyakan, mengkritik, mendiskusikan, dan membandingkan apa yang mereka tahu dengan film atau sumber-sumber pengetahuan yang lain.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84626/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Diasti Rahmawati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Presiden Joko Widodo memerintahkan membuat versi baru dari film 30 September 1965 untuk milenial, di tengah maraknya pemutaran film versi Orde Baru. Apakah film versi baru bisa mendorong rekonsiliasi?Ayu Diasti Rahmawati, Lecturer of International Relations and Researcher at Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/845692017-09-28T10:04:30Z2017-09-28T10:04:30ZDemi rekonsiliasi, memahami sejarah tragedi 1965 harus menyeluruh<p>Hampir setiap tahun pada bulan September isu dan pemberitaan mengenai tragedi 1965 mewarnai diskusi ruang publik Indonesia. Semenjak berakhirnya rezim Orde Baru, marak perdebatan mengenai pelbagai tafsiran dan bukti baru mengenai tragedi tersebut. Sebelumnya, selama lebih dari tiga dekade tafsiran yang berbeda dari versi Orde Baru mengenai tragedi 1965 dilarang. </p>
<p>Walau berbagai tafsiran dan bukti-bukti baru tersedia, sampai saat ini belum ada kesepakatan bersama mengenai bagaimana menampilkan narasi sejarah tragedi 1965 di Indonesia. Pertentangan akibat belum adanya kesepakatan representasi narasi tersebut jelas terlihat dari penyerangan yang terjadi pada kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) baru-baru ini.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/pengepungan-lbh-jakarta-akademisi-merespons-84206">Pengepungan LBH Jakarta: akademisi merespons</a></em></p>
<hr>
<p>Pemahaman masyarakat yang tidak lengkap mengenai tragedi 1965 menjadi salah satu penyebab pertentangan. Berbagai pihak juga cenderung menyederhanakan masalah dengan mengabaikan konteks lokal dan global pada saat tragedi itu terjadi. </p>
<p>Baik tentara, korban, penyintas, para aktivis HAM, dan terlebih masyarakat luas, kerap menyederhanakan narasi mengenai tragedi tersebut. Masing-masing memilih narasi atau analisis yang sejalan dengan kepentingan mereka. </p>
<p>Untuk mencari jalan keluar dari beban masa lalu yang kelam ini perlu pemahaman yang komprehensif dan lengkap mengenai tragedi 1965. </p>
<p>Masyarakat perlu paham mengenai kompleksitas ketegangan politik antara berbagai kekuatan sosial dan politik sebelum pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965 dan masyarakat juga perlu mengetahui pembantaian kelompok kiri yang terjadi sesudahnya. </p>
<h2>Ingatan yang dipilih</h2>
<p>Masyarakat Indonesia saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan cara mereka memandang tragedi 1965: </p>
<ul>
<li><p><em>Pertama</em>, orang-orang yang masih memercayai narasi resmi Orde Baru yaitu PKI adalah penyebab utama sejarah kelam ini </p></li>
<li><p><em>kedua</em>, mereka yang memercayai narasi para korban dan penyintas</p></li>
<li><p><em>ketiga</em>, orang-orang yang bingung karena adanya berbagai versi yang sering kali bertolak belakang </p></li>
<li><p>dan <em>keempat</em>, orang-orang atau generasi yang sama sekali tidak peduli dengan tragedi 1965 ini. </p></li>
</ul>
<p>Untuk kelompok yang keempat ini kebanyakan tidak bisa melihat relevansi dan manfaat untuk memahami tragedi ini untuk kepentingan mereka.</p>
<p>Pertentangan yang sering terjadi adalah antara kelompok pertama dan kedua.</p>
<p>Kelompok pertama membingkai sejarah 1965 dengan terus melestarikan versi rezim Orde Baru. Fokus narasi ada pada peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965. Narasi mengenai pembantaian massal setelah 1 Oktober 1965 disenyapkan.</p>
<p>Kelompok kedua, cenderung fokus pada narasi para penyintas, korban-korban pembunuhan, penangkapan, diskriminasi, dan berbagai aspek-aspek pelanggaran HAM yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Di kelompok ini narasi mengenai penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat serta periode sebelum 1 Oktober 1965 cenderung disenyapkan dan tidak atau jarang disinggung.</p>
<p>Kedua kelompok saat ini bertentang secara sengit merebut klaim dalam upaya “pengungkapan kebenaran”. Pada kenyataannya, kedua kelompok ini sama-sama melakukan pemilihan dan penyederhanaan narasi tragedi 1965.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/hiruk-pikuk-bahaya-komunis-sampai-kapan-84658">Hiruk pikuk ‘bahaya’ komunis: sampai kapan?</a></em></p>
<hr>
<h2>Mengingat sejarah tragedi 1965 secara holistik</h2>
<p>Hanya dengan memahami dinamika politik dan sosial Indonesia di tahun-tahun menjelang peristiwa 1 Oktober 1965 kita bisa melihat tragedi ini dengan lebih baik. </p>
<p>Pada tahun-tahun menjelang pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, kondisi sosial dan politik Indonesia berada pada situasi penuh ketegangan antara kelompok kiri dan kanan. Pada saat itu <a href="http://www.hariansejarah.id/2017/04/kekuatan-soekarno-ajaran-nasakom-dan.html">gerakan kiri cenderung mendominasi wacana sosial politik Indonesia</a>. </p>
<p>Ketegangan hebat antara blok barat (negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, negara-negara Eropa barat dan Jepang) dan blok timur (negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Korea Utara, Cina, dan Vietnam Utara) menambah tekanan dari dimensi internasional. </p>
<p>Ketegangan bipolar di tingkat dunia ini pun mempengaruhi dinamika politik domestik Indonesia. Saat itu kelompok kiri yang dimotori Partai Komunis Indonesia cenderung terus menekan kelompok kanan, yang adalah kelompok Islam, Angkatan Darat dan kelompok-kelompok anti-komunis lainnya. </p>
<p>Presiden Sukarno memainkan perannya sebagai penengah yang berdiri di tengah perseteruan ini. Ada <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2015/05/17/view-point-sept-30-1965-tragedylet-bygones-be-bygones.html">kekhawatiran dan ketakutan yang mendalam di pihak anti-komunis terhadap dominasi gerakan kiri dalam wacana politik Sukarno saat itu</a>.</p>
<p>Setelah pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, yaitu penculikan enam jenderal oleh sekelompok tentara berhaluan kiri yang menamai diri mereka Gerakan 30 September, diikuti penumpasan gerakan tersebut oleh Mayor Jenderal Soeharto, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran politik Indonesia. Yang tadinya sangat pro-kiri dan pro-komunis berubah ke arah kanan yang pro-barat dan didominasi oleh militer yang anti-komunis. </p>
<p>Pergeseran arah politik Indonesia ke arah kanan dimungkinkan karena militer anti-komunis menyingkirkan tokoh-tokoh kiri dari kekuasaan. Pembantaian, penahanan, dan diskriminasi yang orang-orang yang dipercaya berhaluan kiri sesudah 1 Oktober 1965 menyumbang pada pergeseran tersebut. </p>
<h2>Jalan ke depan</h2>
<p>Untuk mencapai sebuah penyelesaian dan rekonsiliasi mengenai tragedi 1965 perlu iktikad baik dari semua pihak untuk berani jujur dan mengakui kesalahan yang pernah dibuat. </p>
<p>Perlu ada kesamaan cara pandang dalam upaya untuk melihat dan memahami tragedi 1965 secara menyeluruh. Melihat tragedi 1965 harus dari periode sebelum 1 Oktober 1965, peristiwa pada tanggal 1 Oktober itu sendiri, dan periode setelah 1 Oktober 1965.</p>
<p>Kesepakatan untuk memahami tragedi 1965 secara menyeluruh tersebut dimaksudkan untuk mengurangi–dan idealnya, menghilangkan–kecenderungan penyederhanaan dan pemilihan narasi peristiwa 1965. </p>
<p>Selain itu, untuk menyelesaikan tragedi sebesar peristiwa 1965 ini jalur hukum bukanlah jalan yang terbaik untuk mencapai rekonsiliasi antarkelompok terkait. </p>
<p>Dinamika tragedi 1965 ini sangat kompleks dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Walau dengan segala maksud baiknya, penggunaan jalur hukum yang hanya fokus pada aspek HAM (hak asasi manusia) malah akan membuka peluang untuk membuka luka lama di dalam masyarakat dan memperluas ketegangan. </p>
<p>Selama ini dialog aktif antar komunitas dan model rekonsiliasi kultural yang dimotori oleh generasi muda organisasi Islam terbesar Indonesia <a href="http://www.insideindonesia.org/reconciling-nu-and-the-pki">Nahdlatul Ulama</a>, yang pada 1965-1966 terlibat dalam pembantaian kelompok kiri, berhasil meredam ketegangan di dalam masyarakat. Contoh-contoh tersebut adalah upaya masyarakat sipil dalam menyelesaikan dan berdamai dengan masa lalu kita yang kelam ini.</p>
<p>Pendekatan kesejarahan yang menyeluruh, jujur, dan beriktikad baik, dapat membuka peluang untuk meningkatkan pemahaman atas tragedi yang kompleks ini dengan lebih saksama. </p>
<p>Diharapkan dari pemahaman seperti itu akan lahir langkah-langkah rekonsiliasi yang lebih konkret dengan semangat dan harapan untuk memastikan agar tragedi seperti yang terjadi di tahun 1965-1966 tidak akan pernah terulang kembali.</p>
<hr>
<p><em>Tulisan ini adaptasi dari materi yang dipresentasikan penulis pada Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang diselenggarakan pemerintah Indonesia pada tanggal 18-19 April 2016 di Jakarta.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84569/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yosef Djakababa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Baik tentara, korban, penyintas, para aktivis HAM, dan masyarakat luas, kerap menyederhanakan narasi mengenai tragedi 1965.Yosef Djakababa, Lecturer at the International Relations Department, Universitas Pelita Harapan Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.