tag:theconversation.com,2011:/us/topics/respons-imun-47143/articlesRespons imun – The Conversation2021-02-23T04:16:48Ztag:theconversation.com,2011:article/1555602021-02-23T04:16:48Z2021-02-23T04:16:48ZStudi baru temukan deteksi dini risiko infeksi COVID-19 gejala berat<p>Mengapa kebanyakan orang pengidap virus COVID-19 punya gejala ringan bahkan tidak sama sekali, sementara beberapa di antaranya menjadi sakit parah masih menjadi misteri dan para ilmuwan sedang berusaha keras mencari tahu jawabannya. </p>
<p>Memiliki <a href="https://www.bmj.com/content/371/bmj.m4130">obesitas</a> atau <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1876034120305943">masalah kesehatan lain</a>, seperti diabetes atau tekanan darah tinggi, diketahui dapat meningkatkan risiko terkena gejala COVID-19 berat. Tapi ini bukan keseluruhan cerita. Beberapa orang yang tampaknya sehat dapat menderita penyakit parah juga. </p>
<p>Pada awal 2020, para peneliti menemukan orang yang terkena COVID-19 kategori parah punya <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7164771/?report=reader">tingkat imun</a> yang tidak wajar dalam darah. </p>
<p>Mereka termasuk sel-sel yang disebut “responden pertama”, seperti sel pembunuh alami, serta sel-sel yang berkembang setelah infeksi dan secara khusus menargetkan sel-sel yang terinfeksi coronavirus, seperti sel T. </p>
<p>Para ilmuwan juga menemukan bahwa pasien ini memiliki perubahan pada beberapa sitokin - protein yang mengatur respons kekebalan tubuh. </p>
<p>Sistem imun yang “<a href="https://www.nature.com/articles/s41577-020-0311-8">tidak sesuai</a>” ini, bisa mengakibatkan kerusakan pada <a href="https://www.nature.com/articles/s41379-020-00661-1">paru-paru</a> dan juga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7484812/">organ lain</a> seperti jantung, hati, dan otak. </p>
<p>Pada COVID-19 tingkat berat, kontrol yang biasa dilakukan pada sistem imun kita akan berubah. Namun, kerusakan pada organ tubuh bukan hanya disebabkan oleh virus saja melainkan oleh sistem kekebalan tubuh <a href="https://www.nature.com/articles/s41392-020-00243-2">yang merespons virus</a>.</p>
<p>Oleh karena itu, sangat penting mencari tahu siapa yang berisiko dan terkena respons hilangnya kekebalan tubuh ini sebelum gejala datang. </p>
<h2>Respons yang berbeda</h2>
<p>Sebuah <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.01.11.20248765v1">riset baru</a> yang belum dipublikasikan dalam jurnal sains, memberikan sedikit pencerahan atas hal ini. Peneliti dari Universitas Cambridge ini menemukan perubahan awal dari respons imun terhadap virus bisa digunakan untuk memprediksi siapa yang akan bergejala parah dan siapa yang tidak.</p>
<p>Penemuan tersebut dilakukan dengan mengambil 605 sampel dari 207 orang suspek COVID-19 dan 45 orang yang sehat. Kemudian sampel tersebut diukur respons imunnya selama 90 hari. </p>
<p>Pada tahap akhir riset, mereka membandingkan respons imun dari orang yang pernah bergejala berat COVID-19 dengan orang yang menderita penyakit ringan. </p>
<p>Mereka menemukan, di tahap infeksi awal, sistem imun dari orang suspek COVID-19 memproduksi sitokin inflamasi dalam tingkat yang lebih tinggi, seperti TNF-alpha, dibandingkan dengan gejala ringan. </p>
<p>Orang dengan penyakit parah juga memiliki lebih sedikit sel kekebalan tubuh yang diketahui secara khusus menargetkan virus, seperti sel T dan sel B. </p>
<p>Artinya, pada awal infeksi, orang-orang dengan penyakit parah memiliki jumlah sel kekebalan yang lebih rendah yang dapat menargetkan virus dan mereka memiliki tingkat peradangan yang lebih tinggi. </p>
<p>Dalam darah orang yang terkena dampak terburuk, para ilmuwan mengamati perubahan respons kekebalan tubuh mereka pada saat timbulnya gejala - jauh sebelum mereka dirawat di rumah sakit. </p>
<p>Mereka memeriksa lebih dari 30 jenis sel kekebalan yang berbeda dan menemukan bahwa perubahan ini terjadi pada mungkin 13 subset sel yang berbeda. </p>
<p>Para peneliti juga menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi berat punya tingkat inflamasi di titik lokasi gejala mereka berkembang. Berbagai perubahan ini banyak bertahan pada pasien yang paling sakit parah 60 hari setelah gejala mereka dimulai. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A patients blood pressure being taken by a doctor." src="https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/380326/original/file-20210124-17-102gj5p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa faktor berisiko, seperti hipertensi, dapat dikenal. Namun, kenapa orang yang terlihat sehat ternyata mengidap COVID?</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/doctor-checking-old-man-patient-arterial-312824303">kurhan/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di sisi lain, pasien dengan gejala ringan atau bahkan tidak sama sekali ditemukan punya respons kekebalan adaptif awal dan kuat terhadap virus. Maksudnya, sistem kekebalan tubuh bisa mengidentifikasi infeksi dan kemudian menghasilkan sel T, sel B dan antibodi khusus untuk melawan virus. </p>
<p>Orang-orang ini menghasilkan komponen kekebalan tubuh pada minggu pertama infeksi dan dalam jumlah yang lebih besar daripada orang yang mengalami COVID yang lebih parah. </p>
<p>Setelah infeksi telah hilang, jumlah sel kekebalan tubuh yang merespons virus dengan cepat kembali normal. Tidak ada bukti pada orang-orang ini punya inflamasi sistemik yang dapat menyebabkan kerusakan organ.</p>
<p>Orang yang memiliki penyakit berat memiliki respons kekebalan yang lebih lambat terhadap virus. Pada saat mereka mengembangkan gejala, respons kekebalan tubuh mereka sangat berbeda dari mereka yang memiliki penyakit ringan. Yang krusial, perubahan ini dapat digunakan untuk memprediksi hasil penyakit.</p>
<h2>Prediksi awal</h2>
<p>Penemuan ini penting untuk bisa mengetahui dan memitigasi pasien yang berpotensi punya risiko tinggi gejala COVID-19. Jika kita dapat mengetahui lebih awal potensi penyebaran suspek, langkah cepat dapat diambil untuk bisa memberi obat yang pas guna menghindari risiko lebih parah. </p>
<p>Ada kemungkinan juga bahwa perubahan terus-menerus dalam sistem kekebalan tubuh ini dapat memberikan wawasan tentang berapa lama COVID-19 berkembang.</p>
<p><em>Wiliam Reynold menerjemahkan dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/155560/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rebecca Aicheler tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Studi peneliti di Cambridge menemukan penanda darah yang dapat membantu memprediksi, sangat awal penyakit, yang akan mendapatkan COVID tingkat berat.Rebecca Aicheler, Senior Lecturer in Immunology, Cardiff Metropolitan UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1142072019-03-28T05:46:34Z2019-03-28T05:46:34ZAntara laki-laki dan perempuan, siapa yang paling kuat sistem kekebalan tubuhnya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/266117/original/file-20190327-139356-o1epzq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C33%2C7360%2C4869&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siapakah yang lebih kuat sistem imunnya?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com"> Undrey/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Adakah yang lebih seru dari pertarungan antar pria dan perempuan? Dalam budaya populer, biasanya fokusnya hanya pada peran gender masyarakat. Tapi, ada pertarungan antar perempuan dan laki-laki lain, yakni perang biologis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh. Bisakah konflik ini akhirnya memberi tahu kita siapa yang lebih kuat–pria atau perempuan?</p>
<p>Di Amerika Serikat (AS), sebagian besar orang memiliki, atau mengenal seseorang yang punya masalah terkait kekebalan tubuhnya, seperti <a href="https://www.niaid.nih.gov/diseases-conditions/allergic-diseases">alergi</a>, <a href="https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Migraine-Information-Page">migrain</a> atau <a href="https://www.niaid.nih.gov/diseases-conditions/autoimmune-diseases">penyakit autoimun</a>. Kemungkinannya, mereka adalah perempuan. <a href="http://doi.org/10.1016/j.jaut.2016.02.011">Perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi mengalami masalah kekebalan tubuh </a>. Salah satu penyakit ini adalah <a href="https://www.niddk.nih.gov/health-information/digestive-diseases/irritable-bowel-syndrome">sindrom iritasi usus besar</a> (IBS), gangguan yang menyebabkan nyeri perut yang signifikan. IBS mempengaruhi 10 hingga 15 persen populasi AS, dan hampir <a href="https://doi.org/10.1053/gast.2001.21908">empat kali lebih umum terjadi pada perempuan</a> dibandingkan pria.</p>
<p>Untuk memahami alasannya, tim peneliti saya meneliti sel mast, sejenis sel darah putih yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. <a href="https://www.researchgate.net/profile/Adam_Moeser">Saya adalah seorang ahli biologi yang meneliti soal perut dan usus (<em>gastrointestinal</em>)</a>, dan saya tertarik untuk memecahkan mengapa faktor-faktor, seperti perbedaan jenis kelamin dan tingkat stres, meningkatkan kecenderungan orang untuk mengidap penyakit tertentu. Saya lakukan ini dengan mengamati sel mast
Di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Michigan bersama tim penelitian saya di <a href="https://cvm.msu.edu/research/faculty-research/moeser">Laboratorium Biologi kami</a>, Kami menemukan <a href="https://doi.org/10.1186/s13293-016-0113-7">perbedaan jenis kelamin yang unik pada sel mast</a> yang dapat menjelaskan mengapa perempuan lebih rentan terhadap penyakit tertentu dibandingkan dengan pria.</p>
<h2>Masalah pada sel mast perempuan</h2>
<p>Ketika diaktifkan oleh stres atau alergen, sel mast wanita melepaskan lebih banyak zat inflamasi, yang dapat memicu respons kekebalan yang lebih agresif seperti <a href="https://medlineplus.gov/anaphylaxis.html">anafilaksis</a>–sebuah fenomena serius, yang reaksi alerginya berpotensi mengancam jiwa–dan <a href="https://www.verywellhealth.com/leaky-gut-syndromeintestinal-permeability-89258">usus bocor</a>.</p>
<p>Kami telah menemukan bahwa sel mast yang berasal dari <a href="https://doi.org/10.1186/s13293-016-0113-7">perempuan membuat dan menyimpan lebih banyak zat inflamasi</a> seperti histamin, serotonin, dan protease dibandingkan sel mast dari pria. Zat ini bertanggung jawab atas banyak gejala penyakit, termasuk tersumbatnya jalan nafas, sakit kepala migrain, sakit perut, masalah pencernaan, dan sesak napas. Meskipun sel mast dari perempuan dan pria memiliki gen yang sama, kecuali gen kromosom dari jenis kromosom yang berbeda, tingkat aktivitas gen mereka berbeda secara signifikan. Faktanya, kami menemukan bahwa <a href="http://doi.org/10.1186/s13293-016-0113-7">lebih dari 4.000 gen</a> dalam sel mast perempuan lebih aktif dibandingkan dengan pria.</p>
<p>Lebih lanjut, banyak gen yang sangat aktif pada perempuan menghasilkan protein yang terlibat dalam pembuatan dan penyimpanan zat inflamasi seperti histamin dan protease. Perbedaan unik dalam kemampuan perempuan untuk menyimpan dan melepaskan lebih banyak histamin dan protease dapat menjelaskan mengapa sel mast perempuan dapat memicu reaksi kekebalan yang lebih kuat. Ini juga mungkin menunjukkan mengapa wanita mungkin lebih rentan terhadap penyakit dan gangguan tertentu dan pria lebih resistan.</p>
<h2>Pria memiliki angka kematian yang lebih tinggi</h2>
<p>Sejauh ini, kedengarannya pria sepertinya lebih kuat dari perempuan. Sel mast mereka menghasilkan mediator inflamasi yang lebih sedikit dan mereka tidak sering mengalami gangguan kekebalan hiperaktif seperti penyakit autoimun, gangguan nyeri kronis, dan IBS. Tapi, ada sisi lain yang menguntungkan perempuan.</p>
<p>Karena <a href="http://doi.org/10.1002/bies.201200099">perempuan memiliki sistem kekebalan yang lebih kuat</a> daripada pria, mereka dapat memasang <a href="http://doi.org/10.1016/S1473%20-3099%20(10)%2070049-9">respons imun yang lebih efektif terhadap virus</a> dan bakteri. Sementara alasan yang tepat mengapa perempuan memiliki respons imun yang lebih kuat tidak sepenuhnya dipahami, sel mast kemungkinan merupakan faktor penting.</p>
<p>Sel mast adalah sel imun pertama yang <a href="http://doi.org/10.1038/nri2782">diaktifkan sebagai respons terhadap infeksi sel-sel parasit</a> dan sangat penting untuk mengatur respons imun yang diperlukan untuk melawan infeksi dan untuk membentuk kekebalan tambahan untuk mencegah infeksi selanjutnya. Karena inilah, sistem kekebalan perempuan lebih unggul.</p>
<p>Sistem kekebalan juga penting untuk mengatur pertumbuhan sel kanker, yang mungkin menjadi alasan utama mengapa <a href="https://doi.org/10.1038/s41467-019-08475-9">pria memiliki risiko kematian yang lebih tinggi</a> <a href="https://doi.org/10.1053/j.gastro.2007.04.061">dari kanker</a>. Sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat pada jenis kelamin perempuan tidak hanya ditemukan pada manusia; <a href="http://doi.org/10.1038/nri.2016.90">tapi juga spesies lainnya</a>.</p>
<h2>Perbedaan jenis kelamin muncul sejak awal kehidupan</h2>
<p>Ketika teknologi obat terus berkembang, perawatan medis yang sesuai dengan jenis kelamin untuk masalah kesehatan terkait kekebalan tubuh mungkin akan tersedia. Terapi ini dapat memoderasi aktivitas sel mast dan menghentikan timbulnya penyakit. Untuk melakukan ini, penelitian harus mengidentifikasi secara tepat kapan sel mast mulai berperilaku berbeda pada kedua jenis kelamin.</p>
<p>Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak kondisi yang menunjukkan <a href="https://doi.org/10.1111/j.1398-9995.1998.tb03954.x">bias jenis kelamin pada anak-anak</a> <a href="http://doi.org/10.1097/MPG.0000000000000714">sebelum mereka mencapai pubertas</a>. Karena hal tersebut, tim penelitian saya mencari penyebab lain selain perbedaan hormon pada orang dewasa sebagai penyebab utama adanya pembedaan jenis kelamin pada jenis penyakit yang berhubungan dengan sel mast.</p>
<p>Penelitian saat ini di <a href="https://cvm.msu.edu/research/faculty-research/moeser">laboratorium kami (MSU)</a> fokus pada kapan perbedaan jenis kelamin dalam sel mast muncul. Kami juga memeriksa apakah pemaparan janin terhadap hormon yang disebut androgen dapat berkontribusi pada kerentanan penyakit sepanjang hidupnya. Di MSU, alih-alih melihat hormon orang dewasa, kita mulai melihat siklus kehidupan jauh lebih awal.</p>
<p>Penelitian yang fokus pada asal usul kehidupan dari perbedaan jenis kelamin dalam sel mast ini mewakili bidang penyelidikan baru dan mudah-mudahan akan membantu kita memahami mengapa perempuan lebih rentan, atau mengapa pria dilindungi dari penyakit terkait sel mast sepanjang hidupnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/257816/original/file-20190207-174880-k7tt7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Luangkan waktu untuk rehat dan bermeditasi. Sistem kekebalan tubuh Anda akan berterima kasih pada Anda.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/young-pretty-joyful-brunette-woman-meditating-553195012?src=AVyAn3yI6MnOzcacqZCbkw-1-8">Look Studio/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Hindari stress</h2>
<p>Saat ini, orang-orang dengan penyakit yang kondisinya dipicu oleh kekebalan tubuh tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah pengaruh jenis kelamin dan genetika pada sel mast mereka. Tetapi memahami faktor gaya hidup mana yang memicu sel mast menjadi hiperaktif dan menyebabkan kita menderita penting untuk memperkecil risiko kita mengidap penyakit.</p>
<p>Saat ini, orang-orang dengan kondisi kekebalan tubuh yang bermasalah tidak bisa berbuat banyak. Tapi memahami gaya hidup mana yang dapat merangsang sel mast sangat penting untuk mengurangi risiko mengidap penyakit. </p>
<p>Stres adalah perangsang kuat sel mast. Oleh karena itu kita harus memantau tingkat stres dengan melakukan aktivitas rutin yang baik untuk dapat mengurangi penyakit yang parah. Aktivitas rutin yang baik meliputi diet yang tepat, olahraga, dan tidur yang cukup. Penting untuk memahami dampak stres pada pria dan perempuan karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat kerentanan dan kekebalan tubuh mereka terhadap penyakit kekebalan tubuh. </p>
<p><em>Muhammad Gaffar menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/114207/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adam Moeser menerima dana dari Lembaga Kesehatan Nasional (NIH): Lembaga Nasional atas Alergi dan Penyakit Menular (NIAID), Kesehatan Anak dan Perkembangan Kondisi Manusia (NICHD), dan Lembaga Bidang Pertanian Amerika Serikat. </span></em></p>Wanita lebih rentan terhadap panyakit yang berhubungan dengan sistem imun seperti alergi. Tetapi hal ini dikarenakan mereka memiliki sistem imun yang super-kuat.Adam Moeser, Matilda R. Wilson Endowed Chair, Associate Professor of Large Animal Clinical Sciences, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/884112017-12-07T09:52:33Z2017-12-07T09:52:33ZEmpat wawasan penting tentang HIV/AIDS yang memberi harapan bagi penemuan sebuah vaksin<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/197462/original/file-20171203-5413-16q825z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C997%2C583&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Virus HIV</span> <span class="attribution"><span class="source">shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>HIV masih merupakan salah satu tantangan yang paling sulit diatasi di benua Afrika. Ada kemajuan luar biasa dalam memahami virus tersebut serta mekanisme daya tahan tubuh yang bisa mengendalikannya dan pengembangan obat-obatan antiretroviral serta vaksin-vaksin baru untuk merawat dan mencegah HIV. </p>
<p>Namun masih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan epidemi ini terhadap kesehatan dan ekonomi. Para peneliti Afrika sedang melakukan penelitian untuk penanganan masalah ini. SANTHE (<em>The sub-Saharan African Network for TB/HIV Research Excellence</em>) ada di garis depan penelitian ini dan memiliki beberapa wawasan penting tentang cara penyebaran virus maupun mekanisme daya tahan tubuh yang memungkinkan sebagian orang mengendalikan virus tanpa obat-obatan antiretroviral. </p>
<p>Pengetahuan ini bisa diterjemahkan menjadi vaksin yang efektif atau invervensi lain untuk mencegah penyebaran virus atau untuk menemukan obat fungsional hingga pasien bisa hidup tanpa obat-obatan antiretroviral, setidak-tidaknya untuk sementara. </p>
<p>Walaupun penemuan vaksin atau penyembuhan total tetap sulit dicapai, penelitian yang sedang dilakukan menjadikan pencapaian tujuan-tujuan tersebut semakin besar kemungkinannya.</p>
<hr>
<h2>Sistem imun sangat penting</h2>
<p>Bagian penting dari <a href="http://jvi.asm.org/content/early/2016/05/12/JVI.00276-16.abstract">penelitian kami</a>, bekerja sama dengan pihak-pihak lain, berkisar pada pemahaman mekanisme apa yang digunakan tubuh untuk mengontrol HIV—terutama pada awal fase infeksi. </p>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa dalam beberapa pekan setelah terinfeksi HIV, hampir semua orang memiliki respons imun sangat kuat melalui sel-sel yang disebut <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26362266">limfosit T sitotoksik, atau sel-sel T CD8</a>. Sel-sel ini mampu membasmi HIV secara parsial. </p>
<p>Namun ketika sebagian besar orang terkena virus, sistem imun mereka kebanyakan dialihkan untuk merespons bagian-bagian HIV yang berubah-ubah dengan cepat. Ini memungkinkan virus berubah dengan mudah untuk lolos dari pengenalan imun. </p>
<p>Sel T CD8 yang dihasilkan selama fase akut juga <a href="http://journals.lww.com/aidsonline/Citation/2015/01020/Broad_and_persistent_Gag_specific_CD8__T_cell.4.aspx">sangat mudah rusak</a>. Sel-sel itu cepat menjadi letih dan mati dengan mudahnya, yang memungkinkan virus terus bertahan. </p>
<p>Namun kami mendapati sebuah perkembangan tak terduga yang menarik. Beberapa orang memiliki komposisi genetik yang memudahkan pengembangan respons imun sel T CD8 dengan baik. Individu-individu langka ini bisa mengendalikan virus tanpa obat-obatan antiretroviral. Ada juga beberapa orang yang tampaknya mengontrol virus tanpa menggunakan sel-sel T CD8, dan kami sedang meneliti dengan cermat mekanisme-mekanisme yang mengendalikan virus pada individu-individu semacam itu. </p>
<p>Penelitian terobosan ini penting karena memahami bagaimana sistem daya tahan tubuh mampu mengendalikan virus—entah dengan sel T atau mekanisme-mekanisme lain—bisa menghasilkan vaksin atau pengobatan efektif HIV.</p>
<h2>HIV menghindari atau beradaptasi dengan tekanan imun</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa HIV sangat lihai dalam menghindari respons imun tubuh terhadap virus. Cara utama virus itu menghindar adalah dengan <a href="http://jvi.asm.org/content/86/6/3193.abstract">mengembangkan berbagai mutasi</a> yang memungkinkan virus tidak dikenali oleh sistem imun orang yang bersangkutan. Pada saat yang sama virus terus mereplikasi dan mereproduksi diri. </p>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa walaupun kemampuan meloloskan diri dari sistem daya tahan tubuh ini lazim, dalam beberapa kasus virus mengembangkan mutasi yang melumpuhkan dirinya sendiri, menjadikannya tidak mampu untuk terus <a href="http://jvi.asm.org/content/85/8/3996.abstract">bereplikasi secara efisien</a>. </p>
<p>Kami sudah mengidentifikasi beberapa wilayah virus yang rentan yang dapat membuat lumpuh virus tersebut jika diserang oleh sistem imun. Wilayah virus yang rentan ini bisa disertakan dalam vaksin-vaksin HIV agar tubuh memberikan respons imun terhadap wilayah virus tersebut, memastikan sistem imun melumpuhkannya. Mungkin inilah cara efektif membuat vaksin HIV atau mencapai kontrol alami atas virus pada mereka yang terinfeksi. </p>
<p>Tetapi itu bukan akhir cerita. Ada komplikasi lebih jauh karena kami juga mendapati bahwa virus tersebut bisa memperoleh mutasi-mutasi baru yang <a href="http://jvi.asm.org/content/84/20/10820.abstract">memulihkan kemampuannya bereplikasi</a> dengan efisien. Namun kami rasa ada cara-cara untuk mencegah atau membatasi ini. Bagian-bagian rentan virus yang sudah kami identifikasi bisa menjadi kandidat bagi vaksin yang dirancang untuk melumpuhkan replikasi virus.</p>
<h2>Faktor genetik dan virus itu penting</h2>
<p>Ada banyak variabilitas dalam peningkatan keparahan penyakit HIV. </p>
<p>Tanpa terapi antiretroviral, kebanyakan orang yang terinfeksi HIV mengembangkan AIDS sepenuhnya dalam 10 tahun. Namun beberapa orang meninggal dunia lebih cepat, dalam dua tahun. Ada juga sekelompok langka orang-orang yang dikenal sebagai pengontrol elite yang hidup dengan HIV selama lebih dari 20 tahun dengan muatan virus yang nyaris tak terdeteksi dan tanpa mengembangkan AIDS. </p>
<p>Kelompok kami dan kelompok-kelompok lain menunjukkan bahwa <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19996938">variabilitas dalam peningkatan keparahan penyakit</a> bisa dijelaskan dengan perbedaan-perbedaan dalam faktor-faktor genetik yang mengatur respons imun. </p>
<p>Sebagian orang secara alamiah memiliki komposisi genetik lebih baik yang memungkinkan mereka mengembangkan respons imun yang sangat bagus yang bisa melawan virus dan mengendalikannya. Namun dalam hampir semua kasus, respons imun yang kuat dan bagus pada akhirnya menyebabkan lolos imun pada virus, artinya virus mendapatkan perubahan-perubahan yang memungkinkan mereka bersembunyi dari sistem imun. </p>
<p>Tetapi sebagian mutasi tersebut bisa <a href="https://www.nature.com/articles/nature07746">melumpuhkan virus</a>. </p>
<p>Orang-orang yang terinfeksi HIV tetapi memiliki respons imun unggul—atau terjangkit suatu virus tetapi sudah dilumpuhkan oleh sistem imun—menikmati hidup sehat yang panjang tanpa obat-obatan antiretroviral. </p>
<p>Pengetahuan jenis ini sangat berguna bagi potensi pengembangan vaksin.</p>
<h2>Pengaruh faktor-faktor genetis virus</h2>
<p>Salah satu karakteristik penentu epidemi HIV/AIDS adalah galur genetis ganda (dikenal sebagai subtipe or <em>clade</em>) yang tersebar secara tidak merata di seluruh dunia. </p>
<p>Kami sudah memperlihatkan bahwa beberapa wilayah HIV berbeda dalam aktivitas biologis menurut subtipe HIV, dan perbedaan-perbedaan ini sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang dilaporkan dalam tingkat keparahan penyakit. </p>
<p>Misalnya, penelitian kami menunjukkan bahwa ada <a href="http://jvi.asm.org/content/early/2017/06/15/JVI.00518-17.abstract">karakteristik-karakteristik di daerah Gag</a> (sebuah bagian khusus virus HIV) yang membuat subtipe B dan D mampu bereplikasi lebih efisien daripada subtipe A dan C, yang bisa menjelaskan mengapa subtipe B dan C terkait dengan <a href="http://jvi.asm.org/content/early/2017/04/13/JVI.00253-17.short">progresi penyakit yang lebih cepat</a> dibandingkan dengan A dan D dalam beberapa studi berbasis populasi. </p>
<p>Paradoksnya, tampak bahwa subtipe-subtipe yang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25013080">bereplikasi tidak begitu efisien</a> seperti A dan C lebih berhasil dalam menginfeksi lebih banyak orang, mungkin karena orang-orang yang terinfeksi hidup lebih lama dengan virus-virus ini. </p>
<p>Penelitian ini membantu menjelaskan bagaimana HIV mempengaruhi tingkat keparahan penyakit pada individu dan bagaimana secara umum epidemi menyebar serta berubah seiring waktu. Pengetahuan ini penting untuk memprediksi penyebaran epidemi dan bagaimana memerangi wabah agar tidak menyebabkan penderitaan besar-besaran seperti HIV dan virus-virus seperti Ebola.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/88411/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Thumbi Ndung'u menerima dana dari Gates Foundation, Gilead Sciences, the South Africa National Research Foundation, The National Institutes of Health, the Victor Daitz Foundation and the Wellcome Trust. Dia terafiliasi dengan University of KwaZulu-Natal, the Africa Health Research Institute and the Ragon Institute of MGH, MIT and Harvard University.</span></em></p>Untuk mendapatkan vaksin yang efektif untuk HIV/AIDS, ilmuwan perlu memahami cara virus bekerja dan respons sistem daya tahan tubuh. Ilmuwan Afrika telah berhasil melangkah dalam riset ini.Thumbi Ndung'u, Programme Director for the Sub-Saharan African Network for TB/HIV Research Excellence (SANTHE), University of KwaZulu-NatalLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.