tag:theconversation.com,2011:/us/topics/ruu-cipta-kerja-84856/articlesRUU Cipta Kerja – The Conversation2020-11-05T08:37:55Ztag:theconversation.com,2011:article/1483682020-11-05T08:37:55Z2020-11-05T08:37:55ZLogika keliru aturan ketenagakerjaan UU Cipta Kerja<p>Salah satu bab yang paling banyak menimbulkan kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan adalah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/09090351/ini-pasal-pasal-kontroversial-dalam-bab-ketenagakerjaan-uu-cipta-kerja">Bab Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Perubahan terhadap beberapa pasal dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">UU tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a> banyak menjadi sorotan karena dianggap akan membawa kerugian bagi pekerja. </p>
<p>Upaya pengurangan atau pelonggaran aturan hukum ketenagakerjaan dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja adalah langkah keliru, berdasarkan logika yang keliru pula.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-ancaman-uu-ciptaker-bagi-para-pembela-lingkungan-dan-ham-148988">3 ancaman UU Ciptaker bagi para pembela lingkungan dan HAM</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Deregulasi ketenagakerjaan</h2>
<p>Pemerintah meyakini aturan hukum ketenagakerjaan yang <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1217752/menteri-hanif-uu-ketenagakerjaan-kita-kaku-seperti-kanebo-kering/full&view=ok">terlalu kaku</a> merupakan salah satu penghalang investasi untuk masuk ke Indonesia dan, karena itu, merasa perlu melakukan deregulasi. </p>
<p>Beberapa revisi pasal dalam Bab Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja jelas mencerminkan upaya ini. </p>
<p>Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 56 UU Ketenagakerjaan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diubah sehingga tidak lagi berbatas waktu maksimal 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 1 tahun. </p>
<p>Artinya, akan semakin banyak pekerja yang dipekerjakan dengan jenis perjanjian kontrak dalam jangka waktu yang panjang. Perusahaan juga tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengubah status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap, ketika jangka waktu tiga tahun sudah terlewati. </p>
<p>Begitu juga perubahan ketentuan istirahat panjang di Pasal 79 yang tadinya diwajibkan oleh UU menjadi hanya dapat diberikan jika diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Istirahat panjang yang tadinya merupakan hak yang wajib diberikan, menjadi sesuatu yang sifatnya hanya pilihan. </p>
<p>Kedua pasal itu menunjukkan berkurangnya kontrol negara terhadap aturan hukum ketenagakerjaan. </p>
<p>Hal-hal terkait hubungan kerja, seperti jangka waktu perjanjian kontrak dan istirahat panjang, dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak - yakni pekerja dan pengusaha - melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Ini jelas mengurangi perlindungan bagi pekerja, karena dalam hubungan yang timpang antara pekerja dan pengusaha, sangat besar kemungkinan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha merugikan pihak pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">"Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Logika keliru</h2>
<p>Dengan banyaknya pasal yang kontroversial di Bab Ketenagakerjaan, wajar jika bab ini seperti menjadi arena perdebatan utama dalam narasi kontra UU Cipta Kerja. </p>
<p>Belakangan, pihak pendukung UU Cipta Kerja <a href="https://www.merdeka.com/uang/baleg-dpr-uu-cipta-kerja-tak-hanya-soal-ketenagakerjaan.html">mengkritik</a> mengapa protes terhadap UU Cipta Kerja seperti terfokus di Bab Ketenagakerjaan. </p>
<p>Padahal, menurut mereka, banyak bab lain di UU omnibus itu yang bernilai positif, serta berprospek baik bagi perbaikan perekonomian, seperti kemudahan membuka usaha, dan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). </p>
<p>Di sinilah menurut saya masalah utamanya. </p>
<p>Sedari awal, memasukkan Bab Ketenagakerjaan di UU yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha adalah hal yang tidak tepat. </p>
<p>Perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja terhadap beberapa pasal UU Ketenagakerjaan, bukan malah memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja, tapi justru menguranginya. </p>
<p>Ini karena perspektif yang diusung oleh UU Cipta Kerja memang untuk kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. </p>
<p>Pada tanggal 24 April 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sempat <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/24/16183991/jokowi-tunda-pembahasan-klaster-ketenagakerjaan-ruu-cipta-kerja">menunda</a> pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. </p>
<p>Sayangnya, keputusan ini berubah dengan sangat cepat dan drastis. </p>
<p>Kluster ketenagakerjaan <a href="https://tirto.id/rapat-rapat-penentu-ruu-cipta-kerja-f5VY">tiba-tiba</a> dimasukkan kembali dalam draf RUU Cipta Kerja per tanggal 25 September 2020, dan pembahasannya dikebut.</p>
<p>Akibatnya sudah jelas terlihat. Banyak pasal di Bab Ketenagakerjaan yang disusun dengan tidak memperhatikan kondisi sosiologis hubungan kerja, yakni ketimpangan posisi pekerja dengan pengusaha. </p>
<p>Pasal-pasal ini jugalah yang kemudian semakin memancing reaksi keras masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. </p>
<p>Salah satu pasal yang dengan terang mencerminkan kekeliruan logika ini adalah perubahan ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan)</p>
</blockquote>
<p>Ketentuan tersebut kemudian diubah menjadi:</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan setelah diubah lewat UU Cipta Kerja)</p>
</blockquote>
<p>Perubahan Pasal 151 ini memunculkan narasi bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan adanya PHK sepihak. </p>
<p>Pemerintah membantah keras dan mengatakan bahwa ketentuan dalam ayat 3 dan 4 pasal tersebut tetap membuka kesempatan bagi pekerja untuk melakukan upaya perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (bipartit) dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial lain jika mereka menolak di-PHK. </p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” </p>
<p>“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (Pasal 151, ayat 3 dan 4, UU Ketenagakerjaan) </p>
</blockquote>
<p>Dilihat sekilas, memang seperti tidak ada yang salah. </p>
<p>Masalahnya, logika ini terbangun dari pandangan bahwa hubungan kerja itu bersifat ideal, bahwa posisi pekerja dan pengusaha setara sehingga mudah saja bagi pekerja untuk menolak “pemberitahuan PHK” yang dilakukan oleh pengusaha, dan bahwa mereka juga akan dengan mudah dapat melakukan upaya bipartit dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk mempertahankan haknya. </p>
<p>Pada kenyataan di lapangan, menolak PHK bukanlah hal yang mudah dilakukan. </p>
<p>Ketimpangan posisi tawar, ketakutan terhadap atasan, serta ketidaktahuan atas hak-haknya sebagai pekerja acapkali membuat mereka <a href="http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/2209/1556">tak berkutik</a> jika terjadi PHK.</p>
<p>UU Ketenagakerjaan mencegah kemungkinan terjadinya PHK secara sepihak dan sewenang-wenang lewat dua hal: kewajiban untuk berunding dulu sebelum melakukan PHK; dan jika perundingan tidak berhasil, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. </p>
<p>Di UU Cipta Kerja, perlindungan ini menguap sebab terbuka kemungkinan PHK dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari pengusaha ke pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-uu-cipta-kerja-merusak-desentralisasi-yang-dibangun-setelah-reformasi-148091">Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun setelah reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlindungan pekerja menghambat investasi?</h2>
<p>Aturan ketenagakerjaan Indonesia yang <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesias-labour-laws-discourage-investment-and-leave-workers-worse-off-experts">keras</a> - PHK sepihak tidak mudah dilakukan, pemecatan berbiaya tinggi bagi pengusaha - kerap dijadikan <a href="https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2020-10-14/indonesia-protests-labor-reforms-are-difficult-but-overdue">kambing hitam</a> hambatan investasi. Namun kajian dari World Economic Forum menunjukkan hasil yang berbeda. </p>
<p><a href="https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia">World Economic Forum Competitiveness Report</a> secara konsisten menempatkan korupsi sebagai masalah utama penghambat investasi di Indonesia. </p>
<p>Aturan ketenagakerjaan hanya menempati peringkat ke-12 dari penghambat terbesar investasi. Etos kerja pekerja justru menjadi hal yang lebih berpengaruh; etos kerja menempati peringkat ke-7 dalam kajian tersebut. </p>
<p>Padahal, bagaimana mungkin meningkatkan etos kerja pekerja jika perlindungan yang diberikan terhadapnya justru melemah? </p>
<p>Pada 2018, Singapura - negara dengan ranking <em>ease doing business</em> <a href="https://tradingeconomics.com/singapore/ease-of-doing-business#:%7E:text=Singapore%20is%20ranked%202%20among,2019%20from%202%20in%202018.">tertinggi</a> di ASEAN -justru mengamandemen hukum ketenagakerjaannya menjadi <a href="https://www.straitstimes.com/politics/parliament-laws-to-protect-workers-rights-expanded-to-cover-all-employees">lebih protektif</a> terhadap pekerja. </p>
<p>Ini merupakan salah satu bukti bahwa kemudahan bisnis sebenarnya bisa berjalan beriringan dengan perlindungan pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009">Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukan jalan pintas</h2>
<p>Kebutuhan terhadap lapangan kerja baru adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan hubungan kerja tetap berjalan. </p>
<p>Upaya untuk menarik investor masuk, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha tetap bertahan di kondisi yang serba sulit seperti sekarang tentu juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. </p>
<p>Namun, melonggarkan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.</p>
<p>Masih banyak instrumen hukum lain yang bisa dimanfaatkan untuk memudahkan bisnis dan melindungi kepentingan pengusaha, misalnya dengan memberikan insentif pajak, memastikan tidak ada korupsi dan pungli dalam proses pendirian perusahaan, dan menjamin birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit. </p>
<p>Dengan penolakan masyarakat yang begitu keras terhadap UU Cipta Kerja, khususnya terkait bab ketenagakerjaan, pemerintah perlu menyadari bahwa deregulasi aturan ketenagakerjaan bukanlah jalan pintas yang tepat diambil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya untuk menarik investor, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha dengan mengorbankan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1479952020-10-16T10:32:57Z2020-10-16T10:32:57ZAda dua peluang membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja sesuai hukum, mana yang lebih tepat?<p>Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau <em>omnibus law</em> Cipta Kerja telah resmi <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/458566/terburu-buru-mengesahkan-aturan-baru">disahkan</a> pemerintah bersama DPR pada 5 Oktober 2020. Tak hanya prosedur pembentukannya, mayoritas materi muatannya juga mengandung masalah. </p>
<p>Ini adalah proses legislasi buruk Dewan Perwakilan Rakyat yang kesekian kali, seperti halnya pengesahan <a href="https://theconversation.com/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-dibatalkan-130219">UU Komisi Pemberantasan Korupsi</a> (KPK), <a href="https://theconversation.com/lemahnya-regulasi-minerba-berpotensi-tingkatkan-angka-korban-tenggelam-di-lubang-bekas-tambang-141487">UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara</a> (Minerba), dan UU Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Mekanisme apa yang bisa digunakan untuk menjegal <em>omnibus law</em> Cipta Kerja agar tidak mengikat publik, merugikan buruh, merusak lingkungan, melegalkan korupsi investasi, dan tidak menjadikan presiden semakin kuat?</p>
<p>Dengan hukum yang tersedia hari ini, menggagalkan <em>omnibus law</em> Cipta Kerja hanya tersedia dua cara. </p>
<p>Pertama, mengajukan permohonan pengujian baik formil ataupun materil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, meminta presiden menggeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.</p>
<p>Cara paling cepat adalah lewat Perppu, namun ini sangat tergantung Jokowi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009">Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peluang <em>judicial review</em> di Mahkamah Konstitusi</h2>
<p>Mengajukan permohonan ke MK adalah jalur konstitusional yang disediakan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 apabila warga negara tidak setuju terhadap keberlakuan suatu undang-undang. </p>
<p>Jika melihat pada proses pembentukan UU Cipta kerja yang bermasalah pada tiga tahapan pembentukan undang-undang - yakni tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan - rakyat bisa mengajukan pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK. </p>
<p>Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang yang tidak sejalan dengan <a href="http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945">konstitusi </a>dan <a href="http://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana diubah UU No. 15 tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan</a> (UU PPP). </p>
<p>Keputusan uji formil dapat membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan. </p>
<p>Dalam proses pembahasan UU ini, DPR melakukan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200928082342-32-551638/buruh-pergoki-dpr-rapat-ruu-cipta-kerja-di-hotel">rapat di hotel mewah</a> yang tidak bisa diakses publik. Dalam hal dokumentasi juga demikian; banyak sekali dokumen saat pembahasan tidak bisa diakses publik.</p>
<p>Padahal, Pasal 88 dan Pasal 96 UU PPP menghendaki adanya partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses pembahasan. </p>
<p>Di tahap penyusunan, UU Cipta Kerja tidak melibatkan publik dan penyusunannya didominasi oleh pengusaha yang tergabung dalam <a href="https://tirto.id/daftar-anggota-satgas-omnibus-law-james-riady-hingga-erwin-aksa-enxx">satuan tugas UU Cipta Kerja</a>. </p>
<p>Begitu juga ketika peralihan dari tahap penyusunan ke tahap pembahasan yang dilakukan melalui penerbitan Surat Presiden (surpres) yang dikirim ke DPR. </p>
<p>Surat ini diduga mengalami cacat formil karena dikeluarkan dengan tidak layak. </p>
<p>Berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam <a href="https://kumparan.com/kumparannews/tim-advokasi-demokrasi-gugat-surpres-jokowi-soal-ruu-cipta-kerja-ke-ptun-1tLMDsw7Ie7">Tim Advokasi untuk Demokrasi</a> saat ini sedang <a href="https://sipp.ptun-jakarta.go.id/index.php/detil_perkara">menggugat</a> keabsahan surpres itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. </p>
<p>Jika PTUN Jakarta mengabulkan gugatan ini, tentu akan menambah bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran formil saat penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan.</p>
<p>Selain memeriksa apakah prosedur pembuatan UU Cipta Kerja sesuai kaidah hukum, UU Cipta Kerja juga bisa diuji secara materil. </p>
<p>Pengujian materil adalah pengujian atas pasal, ayat, atau bagian dari UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. </p>
<p>Keputusan MK dapat membatalkan pasal, ayat, atau bagian undang-undang itu.</p>
<p>Seperti diketahui, UU Cipta Kerja banyak memuat pasal yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. </p>
<p>Misalnya, ketentuan dalam BAB X tentang Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang menyatakan bahwa pengurus dan pegawai lembaga pengelola investasi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata apabila terjadi kerugian keuangan negara saat melakukan investasi. </p>
<p>Ketentuan itu juga mengatur bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bisa diberlakukan atas lembaga ini dan pihak manapun termasuk penegak hukum tidak dapat menyita aset dari lembaga pengelolaa investasi. </p>
<p>Pengecualian-pengecualian seperti ini tentu bertentangan konstitusi sehingga dapat diminta pembatalan melalui pengujian materiil ke MK.</p>
<p>Meski UU Cipta Kerja jelas memiliki beragam persoalan, bertarung di MK hari ini tidak mudah. </p>
<p>Bulan lalu, DPR dan presiden telah memberi “hadiah” pada MK <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/147335/uu-no-7-tahun-2020">revisi UU MK</a> berupa perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga usia 70 tahun. </p>
<p>Ini diduga kuat diberikan sebagai bentuk gratifikasi legislasi yang dilakukan DPR bersama presiden kepada MK. Diduga, salah satu tujuan pemberian itu adalah agar UU Cipta Kerja tidak dibatalkan oleh MK jika nanti dilakukan pengujian ke MK.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">Mengapa UU Cipta Kerja tidak menciptakan lapangan kerja tapi memperkuat oligarki</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peluang penerbitan Perppu</h2>
<p>Selain <em>judicial review</em> ke MK, mendesak Presiden menerbitkan Perppu adalah cara konstitusional yang efektif untuk membatalkan UU Cipta Kerja dengan cepat. </p>
<p>Adanya kegentingan yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya Perppu sudah terpenuhi. </p>
<p>Gejolak <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54469444">penolakan</a> yang <a href="https://tirto.id/rakyat-indonesia-tolak-omnibus-law-6-pemda-15-dprd-surati-jokowi-f5Kk">meluas</a> hampir di seluruh Indonesia dan aparat yang semakin represif mengancam kestabilan negara.</p>
<p>Ahli hukum asal Belanda, Van Dullemen, dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie menyebut <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1273_Eksistensi_Perppu.pdf">empat syarat</a> hadirnya hukum darurat seperti Perppu yakni: eksistensi negara tergantung tindakan darurat; tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan dengan yang lain; bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekadar menormalkan keadaan); dan saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan bersungguh-sungguh. </p>
<p>Lebih lanjut Van Dullemen menekankan, pendekatan utama dalam mengeluarkan hukum darurat seperti Perppu ini adalah <em>salus populi suprema lex</em> (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi). </p>
<p>Meski demikian, harus kita ingat bahwa UU Cipta Kerja adalah usulan presiden; sehingga peluang Jokowi mengeluarkan Perppu yang membatalkan tentu menjadi kecil.</p>
<h2>Peluang <em>legislative review</em></h2>
<p>Selain dua cara tadi, terdapat alternatif lain untuk mengubah UU Cipta Kerja agar sesuai dengan tuntutan masyarakat, yakni melalui <em>legislative review</em> atau perubahan melalui jalur normal di DPR. </p>
<p>Untuk hal ini, masyarakat bisa mendesak Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) - yang menolak UU Cipta Kerja - untuk mengusulkan kembali UU Cipta Kerja diubah dengan cara memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2021. </p>
<p>Akan tetapi, peluang menggunakan cara ini dipastikan menemui jalan terjal. </p>
<p>Demokrat dan PKS adalah fraksi yang suaranya minoritas di parlemen. Fraksi lain yang dari awal sudah menyetujui UU Cipta Kerja bisa diperkirakan tidak akan mau lagi membahas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-cipta-kerja-mengubah-konsep-diskresi-berdampak-buruk-pada-administrasi-pemerintahan-146583">UU Cipta Kerja mengubah konsep diskresi, berdampak buruk pada administrasi pemerintahan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pilihan peluang</h2>
<p>Dari beberapa peluang yang tersedia, menurut saya mendesak Jokowi mengeluarkan Perppu adalah cara paling tepat. </p>
<p>Penerbitan Perppu tidak membutuhkan waktu, tenaga, dan sumber daya yang banyak, apalagi kewenangan itu tunggal berada di tangan presiden. </p>
<p>Sebagai inisiator UU Cipta Kerja, Jokowi harus menunjukkan diri bahwa dia pemimpin bertanggung jawab. </p>
<p>Untuk itu, tuntutan publik harus diarahkan kepada Jokowi, karena hanya di tangan presiden <em>omnibus law</em> Cipta Kerja bisa dibatalkan dengan cepat.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147995/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agil Oktaryal tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Secara hukum, ada dua menggagalkan omnibus law Cipta Kerja: lewat permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi atau meminta presiden menggeluarkan Perppu untuk membatalkan.Agil Oktaryal, Researcher at PSHK and Lecturer at Indonesia Jentera School of Law, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1480092020-10-16T05:46:36Z2020-10-16T05:46:36ZSelain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?<p>Konsep <em>omnibus law</em> dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia banyak mengundang perhatian publik pasca <a href="https://tirto.id/isi-pidato-jokowi-saat-pelantikan-presiden-2019-2024-di-sidang-mpr-ej5U">pidato</a> Joko “Jokowi” Widodo saat dilantik sebagai presiden untuk periode kedua tahun lalu. </p>
<p>Pemerintahan Jokowi menilai <em>omnibus law</em> dapat menjadi solusi dari permasalahan ketidakharmonisan dan jumlah regulasi berlebih dalam peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Penggunaan istilah <em>omnibus law</em> merupakan hal baru. Namun, secara isi dan fungsi, metode pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan sebenarnya sudah pernah digunakan dalam pembentukan Undang-Undang (UU). </p>
<p>Contohnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (<a href="https://pih.kemlu.go.id/files/UU0232014.pdf">UU Pemda</a>), UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (<a href="http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/138/3541.bpkp">UU Pemilu</a>), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19 yang telah ditetapkan menjadi <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176114/UU_Nomor_2_Tahun_2020.pdf">UU No. 2 tahun 2020</a>.</p>
<p>UU di atas dapat dikatakan menggunakan metode omnibus, namun UU tersebut masih mengatur lingkup pengaturan yang berkaitan. UU Pemilu, misalnya, mengatur juga soal lembaga penyiaran, partai politik, dan hak asasi manusia tetapi masih dalam koridor pemilihan umum. </p>
<p>Berbeda dengan UU omnibus sebelumnya, UU Cipta Kerja yang disahkan kilat <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/458566/terburu-buru-mengesahkan-aturan-baru">minggu lalu</a> memasukkan berbagai macam peraturan lintas sektoral yang sangat luas dan tidak jelas koridor keterkaitannya. </p>
<p>Apabila kita tidak ingin mengulangi <a href="https://theconversation.com/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-representatif-140179">proses</a> <a href="https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979">buruk</a> legislasi yang terjadi pada UU Cipta Kerja, kita harus meninjau ulang penggunaan metode ini. </p>
<p>Apalagi masih ada <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200122164312-32-467714/4-ruu-omnibus-law-dikebut-dpr-dalam-prolegnas-prioritas-2020">tiga rancangan UU</a> (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024 yang juga akan menggunakan metode omnibus, yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">Mengapa UU Cipta Kerja tidak menciptakan lapangan kerja tapi memperkuat oligarki</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengadopsi tanpa mengantisipasi</h2>
<p>Metode omnibus merupakan metode pembentukan peraturan yang umumnya digunakan di negara yang menganut sistem <em><a href="https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/408/239">common law</a></em>, seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS). Negara penganut sistem ini menjadikan kasus atau putusan pengadilan sebagai sumber hukum.</p>
<p>Dalam penggunaannya di kedua negara tersebut, metode ini memang memiliki beberapa kelebihan yakni dapat mempersingkat proses legislasi sehingga bisa menghemat anggaran pembentukan peraturan dan memudahkan dalam melakukan penataan serta penyederhanaan regulasi. </p>
<p>Namun metode ini juga memiliki <a href="https://oceanjusticeinitiative.org/wp-content/uploads/2020/08/Policy-Brief-IV-IOJI-Sistem-dan-Praktik-Omnibus-Law-di-Berbagai-Negara-dan-Analisis-RUU-Cipta-Kerja-dari-Perspektif-Good-Legislation-Making.pdf">cacat bawaan</a> antara lain: mudah ditunggangi kepentingan politik tertentu, ketidaksesuaian isi dengan judul, penyelundupan pasal, dan penutupan ruang partisipasi publik. </p>
<p>Untuk mengatasi cacat bawaan tersebut, banyak negara <em>common law</em> menerapkan ketentuan-ketentuan khusus dalam penggunaan metode omnibus, yakni harus memuat pasal-pasal yang saling berkaitan dengan tujuan tertentu (<em>interrelated topics</em>) dan mewajibkan UU hanya mengatur satu subjek. </p>
<p><a href="http://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">UU No. 12 Tahun 2011</a> sebagaimana diubah dengan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/121716/uu-no-15-tahun-2019">UU No. 15 Tahun 2019</a> yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU PPP) memang tidak melarang penggunaan metode ini, tetapi tidak pula mengenal secara langsung metode omnibus. </p>
<p>Indonesia adalah negara penganut sistem <em><a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/31169/21790">civil law</a></em>, yaitu negara yang menggunakan tiga sumber hukum, yaitu undang-undang (<em>statute</em>), peraturan turunan (<em>regulation</em>), dan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum (<em>custom</em>). Putusan pengadilan pada sistem hukum <em>civil law</em> seringkali dianggap bukan suatu hukum. </p>
<p>Sebagai penganut sistem <em>civil law</em>, lazimnya Indonesia menggunakan metode kodifikasi dalam menggabungkan peraturan. Kodifikasi adalah metode penyusunan peraturan dengan membuat suatu kitab yang berisi gagasan hukum yang sistematis, jelas, tidak bertentangan, dan tidak repetitif.</p>
<p>Dari pengalaman Inggris dan AS seharusnya Indonesia dapat mengantisipasi kelemahan penggunaan metode ini, apalagi penggunaaan metode omnibus sudah dipersiapkan sejak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/12/17010251/luhut-istilah-omnibus-law-dikenalkan-oleh-sofyan-djalil">4 tahun yang lalu</a>.</p>
<p>Kemudian kita juga mengetahui, tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden melakukan revisi terhadap UU PPP, namun tidak memasukkan aturan terkait metode omnibus. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa pengadopsian metode ini tidak disertai dengan kajian yang matang atau memang tidak ada keseriusan untuk mengantisipasi kelemahannya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-cipta-kerja-mengubah-konsep-diskresi-berdampak-buruk-pada-administrasi-pemerintahan-146583">UU Cipta Kerja mengubah konsep diskresi, berdampak buruk pada administrasi pemerintahan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Preseden legislasi buruk</h2>
<p>UU Cipta Kerja tidak hanya bermasalah secara substansi namun juga bermasalah dalam prosedur pembentukannya. </p>
<p>UU ini tidak bisa menjawab masalah jumlah regulasi berlebih dan tidak harmonis sesuai dengan tujuan awal. </p>
<p>Kita bisa melihat dari UU tentang pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba) yang telah direvisi pada Juni, namun ada pasal-pasalnya yang masuk dalam UU Cipta Kerja juga. </p>
<p>UU Cipta Kerja juga banyak membuat ratusan aturan delegasi - yaitu peraturan pelaksanaan yang akan menjelaskan teknis pengaturan lebih lanjut-, yang tentunya berseberangan dengan semangat awal untuk mengurangi jumlah regulasi.</p>
<p>Potensi tinggi <a href="https://www.mongabay.co.id/2020/10/11/peneliti-lipi-beberkan-konflik-kepentingan-koalisi-soroti-aktor-di-balik-omnibus-law/">konflik kepentingan dan oligarki politik</a> bisa dilihat dari dominasi pebisnis di DPR (55% dari 575 anggota).</p>
<p>UU ini juga tidak sesuai antara isi dengan judul. Namanya Cipta Kerja, namun isinya lebih kepada pengaturan terkait investasi dan kemudahan berusaha. </p>
<p>Ada pula indikasi penyelundupan pasal dengan <a href="https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f7ed578789f9/kontroversi-masuknya-aturan-pajak-dalam-omnibus-law-uu-cipta-kerja">menyelipkan empat pasal</a> terkait aturan perpajakan, yang sejak awal tidak masuk dalam usulan materi UU Cipta Kerja.</p>
<p>Banyaknya peraturan yang diubah lewat UU ini - sekitar 78 UU menurut salah satu versi draf - membuat pengawasan masyarakat terhadap materi menjadi sangat minim. </p>
<p>Yang paling berbahaya adalah penutupan ruang partisipasi publik dengan hanya melibatkan pihak-pihak tertentu dan masukan dari masyarakat yang tidak diakomodir dalam UU Cipta Kerja.</p>
<p>Sejak awal kita dipertontonkan dengan permasalahan proses legislasi UU ini, dari tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan dan hingga proses pengesahan yang demikian terburu-buru. </p>
<p>Ada bermacam <a href="http://perpustakaan.kemnaker.go.id/admin/assets/product_img/pdf/6_Oktober_2020.pdf">drama</a>, mulai dari proses yang kilat, rapat yang dilakukan di masa reses dan di luar jam kerja, tidak ada draf tersedia pada saat sidang paripurna pengesahan, hingga tersebarnya berbagai macam versi draf yang sulit untuk diverifikasi.</p>
<p>Ini membuktikan bahwa UU Cipta Kerja merupakan UU terburuk yang mengabaikan proses legislasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/panel-ahli-uu-cipta-kerja-tak-jamin-investor-datang-ke-indonesia-lingkungan-berpotensi-makin-rusak-147561">Panel ahli: UU Cipta Kerja tak jamin investor datang ke Indonesia, lingkungan berpotensi makin rusak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membatasi omnibus</h2>
<p>Untuk itu, perlu sesegera mungkin dilakukan revisi terhadap UU PPP untuk mengatur pembatasan penggunaan metode Omnibus. </p>
<p>Misalnya soal batasan jumlah peraturan yang bisa di-omnibus-kan, format perancangan dan penulisan, waktu minimal pembahasan peraturan, serta kewajiban satu subjek dan lingkup pengaturan yang berkaitan. </p>
<p>Apabila pembatasan ini tidak dilakukan maka sudah selayaknya metode omnibus ini tidak digunakan lagi dalam pembentukan peraturan di Indonesia karena berbahaya terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148009/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabila Yusuf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggunaan metode omnibus law dalam perundang-undangmemiliki banyak masalah, harus ditinjau ulang.Nabila Yusuf, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK) and Assistant lecturer, Indonesia Jentera School of Law, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1465832020-10-08T02:56:30Z2020-10-08T02:56:30ZUU Cipta Kerja mengubah konsep diskresi, berdampak buruk pada administrasi pemerintahan<p>Setelah disahkan awal minggu ini, <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5e44b818ae3f4/rancangan-undang-undang-cipta-kerja-tahun-2020">Undang-Undang (UU) Cipta Kerja</a> akan <a href="https://tirto.id/dampak-omnibus-law-uu-cipta-kerja-rugikan-buruh-hingga-abaikan-ham-f5Cs">berdampak besar</a>, termasuk dalam melakukan perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan di Indonesia. </p>
<p>Di bidang administrasi pemerintahan, UU ini mengatur bahwa kewenangan menteri, kepala lembaga, dan pemerintah daerah untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan kewenangan presiden. </p>
<p>Ketentuan ini dibuat dengan tujuannya untuk percepatan pelayanan, percepatan perizinan, dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat. </p>
<p>Pengaturan ini mengubah beberapa ketentuan dalam <a href="https://jdih.bssn.go.id/wp-content/uploads/2016/03/UU-NOMOR-30-TAHUN-2014.pdf">UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan</a> dan <a href="https://jdih.bssn.go.id/arsip-hukum/uu-nomor-9-tahun-2015-tentang-pemerintahan-daerah">UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah</a> dan menjadi langkah mundur.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/panel-ahli-uu-cipta-kerja-tak-jamin-investor-datang-ke-indonesia-lingkungan-berpotensi-makin-rusak-147561">Panel ahli: UU Cipta Kerja tak jamin investor datang ke Indonesia, lingkungan berpotensi makin rusak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bertentangan dengan konstitusi</h2>
<p>Dalam doktrin ketatanegaraan sistem presidensial, segala kewenangan menteri dan lembaga memang merupakan bentuk pelaksanaan kewenangan presiden. </p>
<p>Namun tidak demikian halnya dengan kewenangan pemerintah daerah. </p>
<p>Dalam Undang Undang Dasar 1945, pemerintah daerah merupakan entitas tersendiri, penyelenggaraan pemerintahannya terpisah dari pemerintah pusat berdasarkan asas otonomi. </p>
<p>Pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri.</p>
<p>Jika UU Cipta Kerja mengganggap pelaksanaan pemerintah daerah adalah bentuk pelaksanaan kewenangan presiden, ini tentunya melanggar konstitusi. </p>
<h2>Mengubah konsep diskresi</h2>
<p>UU Cipta Kerja juga menimbulkan persoalan baru dengan menghilangkan syarat bagi pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi.</p>
<p>Diskresi memberikan ruang gerak bagi pejabat pemerintah untuk melakukan suatu tindakan tanpa perlu terikat sepenuhnya pada undang-undang asalkan tujuannya untuk kepentingan umum. </p>
<p>UU tentang Administrasi Pemerintahan membatasi penggunaan diskresi agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.</p>
<p>UU ini ditujukan untuk mencegah diskresi disalahgunakan, agar tidak dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pejabat yang bersangkutan. </p>
<p>Namun, Pasal 175 UU Cipta Kerja menghapus syarat “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” bagi pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi.</p>
<p>Ini akan berdampak buruk bagi iklim administrasi pemerintahan karena potensi untuk menyalahgunakan diskresi. </p>
<p>Bahkan, UU Cipta Kerja juga memungkinkan penggunaan diskresi secara luas, termasuk oleh presiden.</p>
<p>Jika presiden melakukan diskresi, tidak ada lagi kontrol terhadap diskresi presiden itu, karena tidak ada lagi jabatan yang lebih tinggi untuk mengawasi Presiden. </p>
<p>Selama ini yang bisa mengontrol presiden adalah peraturan perundang-undangan, namun syarat tersebut sudah dihapus.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/potensi-konflik-regulasi-dalam-ruu-cipta-kerja-144877">Potensi konflik regulasi dalam RUU Cipta Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengubah konsep fiktif positif</h2>
<p>UU Cipta Kerja juga mengubah model asas “fiktif positif” yang ada di UU Administrasi Pemerintahan.</p>
<p>Dalam asas fiktif positif, suatu keputusan dengan sendirinya lahir apabila permohonan atas suatu keputusan atau ketetapan yang diajukan oleh warga negara atas suatu objek tidak direspons oleh pejabat pemerintah. </p>
<p>Misalnya, warga negara meminta kepada gubernur agar sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merusak alam dicabut karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan. Atau warga negara ingin mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kegiatan usaha atau rumah tinggal.</p>
<p>Sikap pejabat yang tidak menjawab atau diam itu oleh UU Administrasi Pemerintahan dianggap sebagai bentuk persetujuan dan pengabulan secara hukum.</p>
<p>UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa untuk mendapatkan kekuatan hukum, warga negara harus mengajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memperoleh penerimaan permohonan sebagai bentuk pengakuan. </p>
<p>PTUN wajib memutuskan permohonan itu paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. </p>
<p>Kemudian, badan atau pejabat pemerintah wajib mengeluarkan keputusan untuk melaksanakan putusan PTUN paling lama 5 hari kerja setelah penetapan oleh pengadilan.</p>
<p>Dalam ketentuan yang diatur lewat UU Administrasi Pemerintahan, ada jaminan dari negara melalui putusan PTUN bahwa keputusan fiktif positif yang diperoleh warga negara akan dilaksanakan oleh badan atau pejabat yang bersangkutan.</p>
<p>Dalam ketentuan baru, UU Cipta Kerja mengatur bahwa keputusan akan lahir dengan sendirinya jika pejabat tidak merespons dalam 5 hari, ini lebih singkat dari sebelumnya 10 hari.</p>
<p>Dari segi percepatan waktu memang terlihat baik. </p>
<p>Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru menghilangkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memberikan kekuatan hukum atas keputusan tersebut dan menyerahkan kepada pejabat pemerintah untuk mengeksekusinya sendiri. </p>
<p>Artinya, warga negara tidak akan mendapat kepastian hukum dan administrasi makin berlarut. </p>
<p>Ini karena pejabat yang telah menolak dengan sikap diamnya tidak memiliki paksaan hukum untuk mengabulkan atau mengeksekusi permintaan warga negara.</p>
<h2>Langkah perbaikan</h2>
<p>Oleh karena itu, sudah sepantasnya persoalan administrasi pemerintahan di atas dikembalikan pada khitahnya. </p>
<p><em>Pertama</em>, ruang diskresi pejabat pemerintah harus dibatasi dengan syarat “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.</p>
<p>Hal ini penting karena kebebasan pemerintah melalui diskresi yang tanpa kontrol sangat potensial disalahgunakan. </p>
<p>Bahkan, untuk penggunaan diskresi ke depan juga harus diperketat dengan syarat tidak melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), harus dilakukan dengan alasan yang objektif, dan harus dilakukan dengan itikad baik.</p>
<p>Diskresi hanya bisa dilakukan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.</p>
<p><em>Kedua</em>, pelaksanaan keputusan fiktif positif harus tetap melibatkan PTUN.</p>
<p>Hal ini penting karena pengadilan adalah satu-satunya instrumen yang bisa memberi kepastian dan pelindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya dengan adminstrasi pemerintahan. </p>
<p>Tanpa pelibatan pengadilan, dapat dipastikan administrasi pemerintahan tidak akan terkontrol dan menyulitkan warga negara untuk mendapatkan kepastian akan hak-hak nya. </p>
<p>Putusan PTUN juga perlu diikuti dengan sanksi jika pejabat pemerintah tidak melaksanakan dalam batas waktu yang telah diberikan.</p>
<p>Terkait administrasi pemerintahan, dua hal ini perlu diterapkan dalam UU Cipta Kerja jika memang tujuannya adalah untuk melahirkan budaya birokrasi yang cepat, responsif, dan bertanggung jawab.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146583/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agil Oktaryal tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>UU Cipta Kerja mengamanatkan perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan yang justru menjadi langkah mundur.Agil Oktaryal, Researcher at PSHK and Lecturer at Indonesia Jentera School of Law, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1465852020-09-24T07:23:44Z2020-09-24T07:23:44ZEnam dekade UU Pokok Agraria: reformasi pertanahan masih jalan di tempat, ancaman menghadang di depan<p>Pada 24 September 2020, <a href="https://dkn.or.id/wp-content/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-tentang-Pokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf">Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria</a> (UUPA) genap berusia 60 tahun.</p>
<p>Produk hukum yang dikeluarkan presiden Sukarno ini telah melalui perjalanan amat panjang di jagat hukum pertanahan Indonesia. </p>
<p>Saat UU itu dikeluarkan, <a href="https://spi.or.id/merealisasikan-semangat-keadilan-sosial-dalam-uupa-1960/">semua kalangan</a> seperti masyarakat adat, para petani, termasuk para pengusaha, menyatakan bawah bahwa UUPA merupakan jawaban dari perlawanan terhadap kolonialisme atas penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. </p>
<p>Di samping sebagai pijakan dasar pertanahan nasional, saat itu pemerintah melalui UUPA ingin meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. </p>
<p>Semangat UUPA adalah membangun peradaban dan kedaulatan negara terhadap hak atas tanah. </p>
<p>UUPA bersandar pada Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanatkan penguasaan negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. </p>
<p>Enam dekade UUPA adalah momen refleksi. </p>
<p>Setelah puluhan tahun berjalan, reforma agraria yang diniatkan lewat UUPA masih belum mencapai tujuan akhirnya. Ke depan, masih ada ancaman-ancaman yang menghambat reforma agraria.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/logika-sektoral-dan-pasar-menjadi-masalah-utama-dalam-pelaksanaan-reforma-agraria-di-indonesia-135645">Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Belum mencapai hasil</h2>
<p>Dalam setiap rezim pemerintahan yang berkuasa, frasa “kebijakan reforma agraria” selalu ada dalam pernyataan visi, misi maupun program kerja. </p>
<p>Faktanya, kebijakan-kebijakan dan politik hukum yang dikeluarkan tidak senafas dengan reforma agraria. </p>
<p>Maria S.W. Sumardjono, begawan hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pernah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2010/09/24/03504295/twitter.com?page=all">menyebutkan</a> bahwa UUPA memiliki kekurangan-kekurangan secara isi dan belum mampu mengatasi pelbagai persoalan yang menyangkut konflik pertanahan di Indonesia. </p>
<p>Ia mengatakan bahwa kekurangan itu seharusnya dilengkapi di tahun-tahun berikutnya. </p>
<p>Namun pada masa Orde Baru di 1970-an, muncul pelbagai UU sektoral seperti UU kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan pengairan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. </p>
<p>Berbagai UU itu mereduksi UUPA sebagai UU yang mengatur pertanahan semata, dan mengesampingkan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum reforma agraria.</p>
<p>Ketentuan-ketentuan dalam UU sektoral tersebut tidak disandarkan pada aturan UUPA dan konsitusi bahkan melenceng dari prinsip-prinsip keadilan agraria.</p>
<p>Setelah Orde Baru jatuh pada 1998, era Reformasi ternyata juga tidak membawa perubahan berarti dalam reforma agraria. </p>
<p>Produk-produk hukum yang ditetapkan dan direncanakan dalam bidang agraria dan sumber daya alam masih mengabaikan keberpihakan terhadap masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana amanat UUPA. </p>
<p>Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Misalnya, awal tahun ini DPR mengesahkan <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20200512/44/1239644/dpr-sahkan-ruu-minerba-resmi-menjadi-undang-undang-">perubahan UU Mineral dan Batubara</a> (Minerba), <a href="https://nasional.tempo.co/read/1250545/ruu-sumber-daya-air-disahkan-walhi-swastanisasi-terselubung/full&view=ok">menghidupkan kembali</a> UU Sumber Daya Air yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015 silam, hingga merencanakan mengatur soal agraria dalam pembentukan rancangan omnibus law Cipta Kerja. </p>
<p>Itu semua merupakan upaya yang semata-mata mementingkan kepentingan ekonomi dan investasi namun mengabaikan prinsip-prinsip utama keadilan reforma agraria seperti tanah sebagai alat sosial, tanah bukan sebagai komoditas komersial, dan tanah untuk mereka yang benar-benar bekerja di atasnya. </p>
<h2>Ancaman di depan</h2>
<p>Kini setidaknya terdapat tiga titik api paling berbahaya yang mengancam masa depan UUPA dan reforma agraria. </p>
<p><em>Pertama</em>, wacana untuk mengundangkan berbagai pengaturan pertanahan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. </p>
<p>Banyak sekali ketentuan dalam RUU tersebut yang berseberangan dengan prinsip-prinsip keadilan agraria. </p>
<p>Selama ini investor dan sebagian birokrat menganggap bahwa kesulitan memperoleh tanah merupakan salah satu <a href="http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/150/Atas_Nama_Pengadaan_Tanah_Untuk_Kemudahan_Investasi__Omnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani_dan_Masyarakat_Adat/">hambatan untuk berinvestasi</a>.</p>
<p>Lewat UU sapu jagat itu, ketentuan yang menyangkut pertanahan dan sumber daya alam diutak-atik dan diterobos tanpa mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan. </p>
<p>Misalnya, ada ketentuan tentang penghapusan kewajiban perkebunan mengusahakan lahan perkebunan dan sanksi bagi perusahaan yang tak menjalankan kewajiban. </p>
<p>Begitu juga ada ketentuan tentang pembentukan bank tanah sebagai upaya akselerasi proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang berdalih untuk kepentingan reforma agraria. </p>
<p>Kemudahan-kemudahan perizinan pertanahan atas nama pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur akan menyuburkan praktik-praktik makelar dan spekulan tanah.</p>
<p><em>Kedua</em>, semakin menjamurnya aturan sektoral atau peraturan perundang-undangan di bidang agraria pasca UUPA, yang berseberangan dengan nilai-nilai konstitusional dan HAM. </p>
<p>Akhir-akhir ini rakyat terus dihadapkan dengan kejutan-kejutan produk hukum serba instan yang tidak memihak pada kepentingan publik, tak terkecuali produk hukum di bidang agraria dan SDA. </p>
<p>Misalnya, UU Minerba yang baru memberikan kemudahan-kemudahan perizinan yang diberikan kepada taipan tambang sehingga memudarkan prinsip-prinsip kepastian hukum dan keadilan agraria. </p>
<iframe style="height:700px; width:100%; border: none;" src="https://databoks.katadata.co.id/datapublishembed/115547/di-sektor-mana-konflik-agraria-paling-besar-terjadi" width="100%" height="400"></iframe>
<p><em>Ketiga</em>, belum ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi letusan konflik agraria yang semakin meningkat tiap tahunnya. </p>
<p>Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah organisasi yang menyoroti kasus-kasus konflik lahan, <a href="https://www.krjogja.com/peristiwa/nasional/279-konflik-agraria-terjadi-di-indonesia-selama-2019/">mencatat pada 2019</a> terdapat 279 letusan konflik agraria dengan melibatkan 420 desa di berbagai provinsi. </p>
<p>Konflik agraria adalah penyebab terjadinya kerusakan lingkungan yang berujung pada terpinggirkannya hak-hak konstitusional masyarakat, terutama masyarakat adat.</p>
<p>Berdasarkan ketiga ancaman di atas, maka pilihan hukum paling ideal adalah pemerintah dan DPR menyusun kembali secara hati-hati cetak biru kebijakan pertanahan atau agraria berdasarkan perkembangan hukum dan masyarakat. </p>
<p>Cetak biru tersebut dapat berupa pembaruan-pembaruan kebijakan agraria dan sumber daya alam berdasarkan perkembangan yang menerjemahkan cita-cita keadilan agraria. </p>
<p>Cita-cita keadilan agraria tentu saja berkaitan dengan kepastian hukum kepemilikan tanah, pencegahan krisis ekologi, penyelesaian konflik, pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.</p>
<p>Kebijakan tersebut harus menggambarkan apa yang menjadi visi, misi, tujuan, program, dan skala prioritas dalam reformasi pengaturan agraria. </p>
<p>Jika pemerintah dan DPR tidak melangkah ke arah itu, spirit UUPA untuk menyerasikan antara tujuan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan melalui reforma agraria akan semakin sulit terwujud; momen 60 tahun UUPA tidak akan berarti apa-apa.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146585/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beni Kurnia Illahi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengaturan pertahanan di RUU Cipta Kerja, bermacam UU sektoral, dan ketidakseriusan pemerintah mengatasi konflik menjadi ancaman di depan.Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Universitas BengkuluLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1448772020-09-03T04:58:04Z2020-09-03T04:58:04ZPotensi konflik regulasi dalam RUU Cipta Kerja<p>Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terus dikebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditargetkan selesai <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5134335/ruu-cipta-kerja-ditargetkan-rampung-awal-oktober">awal Oktober</a> tahun ini.</p>
<p>RUU yang disusun menggunakan konsep <a href="https://theconversation.com/mengapa-kita-harus-berhati-hati-dengan-rencana-jokowi-mengeluarkan-omnibus-law-126037"><em>omnibus law</em></a> ini akan merevisi setidak 79 Undang-Undang (UU).</p>
<p>RUU Cipta Kerja <a href="https://economy.okezone.com/read/2020/02/24/20/2173232/pemerintah-beberkan-secara-rinci-tujuan-omnibus-law-cipta-kerja">bertujuan</a> menyederhanakan regulasi yang terlalu banyak dan tumpang tindih di sektor pembangunan ekonomi dan investasi.</p>
<p>Namun, proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang tidak direncanakan dengan baik malah berpotensi menciptakan konflik antar regulasi.</p>
<p>Beberapa dari 79 UU yang masuk dalam RUU Cipta Kerja tersebut, sebagai contoh, juga diagendakan direvisi dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) tahun ini. </p>
<p>Artinya, anggota DPR merevisi beberapa UU yang menjadi materi RUU Cipta Kerja pada saat yang sama dengan penyusunan RUU tersebut. </p>
<p>Salah satu UU yang akan direvisi oleh <em>omnibus law</em>, bahkan baru saja disahkan revisinya, yaitu UU tentang pertambangan mineral dan batubara (minerba).</p>
<p>Meski UU Minerba baru telah disahkan, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja anggota DPR masih menggunakan materi-materi dalam UU Minerba yang lama. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-representatif-140179">Proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR tak representatif</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak sinkron</h2>
<p>Revisi UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba menunjukkan betapa buruknya sistem perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan kita. </p>
<p>Bahwa satu UU akan direvisi lewat dua produk undang-undang yang berbeda menunjukkan penyusunan RUU Cipta Kerja tidak dilaksanakan dengan perencanaan materi yang solid.</p>
<p>Pada 10 Juni 2020, DPR <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20200512/44/1239644/dpr-sahkan-ruu-minerba-resmi-menjadi-undang-undang-">mengesahkan revisi</a> <a href="https://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2018/07/UU-4-TAHUN-2009.-MInerba-pdf.pdf">UU Minerba No. 4 tahun 2009</a> lewat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138909/uu-no-3-tahun-2020">UU No. 3 tahun 2020</a>.</p>
<p>Sementara, draf RUU Cipta Kerja akan merevisi sebagian materi UU Minerba yang lama. </p>
<p>Padahal, materi UU Minerba yang lama sebagian besar sudah tidak berlaku setelah keluarnya UU Minerba baru. </p>
<p>Sebagian besar ketentuan UU Minerba lama yang akan direvisi melalui omnibus law telah diubah, bahkan telah dihapus melalui UU Minerba baru.</p>
<p>Hal ini tentu ganjil dan belum pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. </p>
<p>Misalnya, RUU Cipta Kerja berencana menghapus 10 pasal di antara Pasal 40 dan Pasal 82, sementara dalam UU Minerba yang baru, tidak ada satu pun ketentuan yang di hapus.</p>
<p>Secara substansi ini menimbulkan persoalan. </p>
<p>Soal perizinan, misalnya, RUU Cipta Kerja mengindikasikan semua proses perizinan akan berada di pemerintah pusat dan peran pemerintah daerah (pemda) hanya memiliki peran koordinasi.</p>
<p>Sementara, UU Minerba yang baru justru memberikan peran yang lebih pada pemda, yakni dalam menentukan wilayah pertambangan sebelum izin dikeluarkan.</p>
<p>Contoh lain adalah soal penjatuhan sanksi. Pada UU Minerba yang baru, penjatuhan sanksi menjadi kewenangan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, sementara dalam RUU Cipta Kerja kewenangan tersebut menjadi ranah pemerintah pusat tanpa merinci akan ada pendelegasian ke mana: apakah ke kementerian tertentu atau ke pemda.</p>
<p>Adanya tumpang tindih regulasi ini tentu akan menyebabkan kebingungan, terutama bagi pelaku bisnis dalam proses perizinan. </p>
<p>Alih-alih memudahkan perizinan, hal ini justru memperumit.</p>
<p>Contoh perbedaan lain antara UU Minerba baru dan RUU Cipta Kerja adalah soal penambahan satu ketentuan baru dalam UU Minerba adalah tentang pengolahan mineral. Draf RUU Cipta Kerja juga menambahkan ketentuan yang sama.</p>
<p>Bedanya, UU Minerba baru telah memberikan ketentuan tambahan terkait pengolahan mineral, sementara ketentuan tambahan itu tidak ada di RUU Cipta Kerja.</p>
<p>Contoh lain lagi, UU Minerba baru merevisi tiga pasal, yaitu Pasal 72, 73, dan 75 yang mengatur syarat perizinan. Sementara, RUU Cipta Kerja menghapus tiga ketentuan tersebut.</p>
<p>Dalam hal ini, RUU Cipta Kerja bukan menghapus ketentuan dalam UU Minerba baru, melainkan ketentuan dalam Minerba lama yang yang sudah tidak berlaku.</p>
<p>Ini tentu berpotensi menimbulkan kebingungan lain lagi bila kelak nanti RUU Cipta Kerja disahkan. </p>
<p>Karena, bila merujuk pada asas hukum yang mengatakan bahwa UU yang baru mengesampingkan UU yang lama (<a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Lex_posterior_derogat_legi_priori"><em>lex posterior derogat legi priori</em></a>), maka UU Minerba lama tidak berlaku. </p>
<p>Bila RUU Cipta Kerja hendak merevisi ketentuan tentang minerba, maka yang harus direvisi adalah ketentuan dalam UU Minerba yang baru saja disahkan, bukan UU Minerba tahun 2009.</p>
<p>Kenyataannya draf RUU Cipta Kerja masih mengacu pada UU Minerba lama. </p>
<p>Ini tentu menyebabkan kerancuan dan kebingungan tentang ketentuan mana yang harus dipatuhi jika kelak RUU Cipta Kerja telah disahkan. </p>
<p>RUU Cipta Kerja akan menyebabkan terciptanya dua norma yang berbeda tapi keduanya sama-sama berlaku. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-pembahasan-ruu-omnibus-law-seharusnya-ditunda-di-tengah-pandemi-covid-19-136495">Tiga alasan mengapa pembahasan RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Potensi serupa</h2>
<p>Dari 79 UU yang akan direvisi oleh RUU Cipta Kerja, beberapa ada dalam <a href="http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas">agenda revisi tahun ini</a> di DPR. </p>
<p>UU tersebut antara lain UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, dan UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. </p>
<p>Merujuk persoalan terkait UU Minerba di atas, tentu ada potensi terciptanya konflik norma yang semakin banyak. </p>
<p>Indonesia memang memiliki <a href="https://theconversation.com/mengapa-kita-harus-berhati-hati-dengan-rencana-jokowi-mengeluarkan-omnibus-law-126037">masalah</a> dalam produksi peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Jumlah regulasi berlebih diperparah dengan peraturan yang tidak harmonis, tidak sejalan dengan kebijakan pembangunan, dan tidak adanya sistem pengawasan dan evaluasi yang baik.</p>
<p>Ada banyak kontroversi dan kritik terhadap RUU Cipta Kerja. </p>
<p>Dalam konteks perundang-undangan, omnibus law yang disebut sebagai bagian dari solusi masalah nampaknya justru dapat membawa lebih banyak masalah.</p>
<p>Sudah sepatutnya segala bentuk pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan. Draf <em>omnibus law</em> perlu disusun ulang. </p>
<p>Ini perlu dilakukan agar pembentukan UU tersebut tidak justru memperpanjang persoalan regulasi yang saat ini tengah kita alami.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144877/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Antoni Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>RUU Cipta Kerja akan merevisi sejumlah UU yang juga telah dan sedang dibahas revisinya di DPR.Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1401792020-06-19T08:19:28Z2020-06-19T08:19:28ZProses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR tak representatif<p>Meski publik mengecam <a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">isi</a> dan <a href="https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979">proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja</a>, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus bergerak cepat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sejak draf rancangan <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-serahkan-surat-presiden-dan-draf-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-ke-dpr">diserahkan oleh pemerintah</a> pada 12 Februari 2020. </p>
<p>Badan Legislasi DPR (Baleg) yang ditunjuk membahas RUU kemudian dengan segera <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/04/14/pemerintah-dan-dpr-sepakat-bentuk-panja-ruu-omnibus-law-ciptaker">membentuk panitia kerja (Panja)</a>. </p>
<p>Di tengah pembahasan, pemerintah dan DPR kemudian sepakat <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/307929-pemerintah-sepakat-pembahasan-klaster-ketenagakerjaan-ditunda">menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan</a> dengan dalih untuk membuka ruang dialog lebih luas.</p>
<p>Pembahasan RUU ini melalui Panja dan penundaan pembahasan soal ketenagakerjaan menurut saya bermasalah. </p>
<p>Proses legislasi di DPR selain tunduk pada sejumlah undang-undang, juga diatur dalam tata tertib DPR. Instrumen ini yang mengatur rinci tata cara membahas undang-undang di DPR. Tata tertib ini penting untuk memastikan secara formal proses legislasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Berdasarkan tata tertib yang sudah diatur, ada permasalahan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1. Tidak mewakili semua</h2>
<p>Untuk membahas RUU Cipta Kerja, Baleg membentuk Panja yang beranggotakan sebanyak <a href="https://nasional.tempo.co/read/1333392/beredar-daftar-nama-anggota-panja-dpr-ruu-cipta-kerja">40 orang</a>. Baleg sendiri total berjumlah 80 orang.</p>
<p>Padahal Peraturan DPR tentang Pembentukan Undang-Undang <a href="https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/20/pembahasan-berpotensi-salahi-tatib/">yang disahkan pada 2 April 2020 lalu</a> mengatur bahwa pembahasan seluruh materi RUU harus dilakukan dalam rapat kerja oleh alat kelengkapan - dalam hal ini Baleg.</p>
<p>Apabila ada substansi yang tidak disetujui dalam Baleg, maka pembahasannya dapat dilanjutkan dalam rapat Panja. </p>
<p>Jadi seharusnya seluruh materi muatan RUU oleh seluruh anggota Baleg, bukan oleh Panja. </p>
<p>Pembahasan lewat Panja dapat mencederai konsep keterwakilan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, termasuk fungsi pengawasan dan anggaran. </p>
<p>Gamblangnya, ada konstituen yang tidak terwakili karena ada 40 anggota Baleg tidak masuk sebagai anggota Panja.</p>
<p>Panja seharusnya hanya membahas materi tertentu dalam daftar inventaris masalah (DIM) yang belum disepakati pada tingkat Baleg. DIM adalah alat bantu dalam penyusunan peraturan yang berisi topik-topik pembahasan dan penjabaran masalah terkait.</p>
<p>Dalam membahas RUU Omnibus Cipta Kerja, pembahasan yang hanya dilakukan melalui Panja dapat menutup ruang dialog yang lebih luas diantara seluruh anggota Baleg yang seharusnya mengemban aspirasi konstituennya. </p>
<p>Ruang diskusi dan aspirasi dalam membahas materi RUU semakin terbatas dalam lingkup Panja. Situasi ini berpotensi munculnya ketertutupan proses dan minimnya informasi untuk publik. </p>
<p>Praktik semacam ini membuat DPR, termasuk dalam membahas RUU, semakin elitis dan eksklusif. Bahkan tak jarang rapat Panja dilakukan secara <a href="https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/09/16/pxx15d409-rapat-tertutup-di-hotel-kerja-panja-rkuhp-dpr-dipertanyakan">tertutup atau di lokasi yang sulit</a> diakses oleh publik. </p>
<p>Praktik seperti ini jelas bertentangan dengan asas keterbukaan dan hak partisipasi masyarakat yang diatur dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39188/uu-no-12-tahun-2011">UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan</a>. </p>
<p>Praktik membahas materi RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang langsung diserahkan ke Panja merupakan bentuk pelanggaran prosedur. Ini adalah pelanggaran terhadap aturan internal yang disusun sendiri oleh DPR. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979">Dua masalah hukum dalam penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2. Ditunda, tapi…</h2>
<p>Penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan juga menjadi persoalan karena isu-isu itu berisiko dibahas dalam waktu yang tersisa sedikit dan dikebut. </p>
<p>Klaster ketenagakerjaan bisa dengan mudah lolos tanpa ruang dialog dan tanpa akses informasi pada publik. </p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/14/17450091/dpr-dan-pemerintah-dahulukan-pembahasan-klaster-ruu-cipta-kerja-yang-tak">Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas</a>, menyampaikan bahwa klaster ketenagakerjaan akan dibahas setelah semua klaster yang lain selesai. </p>
<p>Tanpa ada perpanjangan jadwal maka klaster ini akan dibahas di sisa waktu. Legislasi di sisa waktu seringkali menimbulkan persoalan. </p>
<p>Tahun lalu, kita melihat bagaimana bagaimana DPR dan pemerintah di sisa waktu jabatannya mengesahkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. <a href="https://kompas.id/baca/utama/2019/09/13/baleg-dpr-masukan-publik-tak-lagi-diperlukan/">Tuntutan menunda pengesahaan untuk membuka ruang partispasi dan transparansi tidak dihiraukan.</a>. </p>
<p>Kondisi yang sama bisa juga nanti terjadi pada RUU Cipta Kerja. </p>
<p>Nampaknya DPR dan pemerintah menyadari bahwa membahas klaster ini dengan lebih terbuka akan berisiko pada terbukanya kembali ruang negosiasi politik. </p>
<p>Ini yang bisa jadi mendorong mereka untuk menunda lalu menyederhanakan dan mempercepat pembahasan klaster ketenagakerjaan di sisa waktu. </p>
<p>Menunda pembahasan tidak akan berdampak pada penundaan pengesahan RUU Cipta Kerja. Walau pembahasan ditunda, klaster ketenagakerjaan akan tetap disahkan bersama dengan klaster lainnya dalam RUU Cipta Kerja. </p>
<p>Penundaan klaster ketenagakerjaan jelas bukan solusi untuk menjawab kritik publik atas materi RUU Cipta Kerja. </p>
<p>Materi yang bermasalah tidak hanya ada pada klaster ketenagakerjaan, tapi juga soal perlindungan lingkungan hidup, relasi pemerintahan daerah, dan pengabaian prinsip dasar hukum; misalnya, bahwa pengaturan tentang perubahan undang-undang dapat dilakukan dengan melalui pembentukan peraturan pemerintah. </p>
<p>Banyaknya persoalan dalam proses penyiapan maupun isi RUU Cipta Kerja, ditambah dengan kekeliruan prosedur pembahasan, mengindikasikan adanya persoalan besar dalam tata kelola legislasi baik di pemerintahan dan DPR. </p>
<p>Sudah seharusnya DPR menghentikan proses pembahasan RUU ini dan mengembalikannya kepada presiden untuk memperbaiki isi dengan proses penyiapan yang lebih transparan dan partisipatif. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140179/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>M Nur Sholikin terafiliasi dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia sebagai lembaga penelitian dan advokasi independen. </span></em></p>Pembahasan RUU Cipta Kerja melanggar prosedur DPR sendiri. Penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaa juga berisiko menghalangi aspirasi publik.M Nur Sholikin, Peneliti PSHK dan Pengajar STHI Jentera, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1328682020-04-09T06:30:18Z2020-04-09T06:30:18ZMenakar dampak RUU Cipta Kerja pada industri pers Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/324569/original/file-20200401-66120-1x556hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C998%2C661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jurnalis foto sedang bertugas meliput ajang Asian Games 2018 di Jakarta</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Di tengah pandemi COVID-19 dan desakan agar pemerintah fokus pada penanganan wabah COVID-19, Dewan Perwakilan Rakyat tetap berkeras untuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/08/06510451/di-tengah-penolakan-dpr-siapkan-tahapan-pembahasan-omnibus-law-ruu-cipta">melanjutkan</a> pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.</p>
<p>Rancangan beleid ini sejatinya telah memantik polemik sejak awal pembahasan hingga ketika draf <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200212152021-92-473960/menko-airlangga-serahkan-draf-ruu-omnibus-law-ciptaker-ke-dpr">diserahkan</a> ke DPR.</p>
<p>Kendati RUU ini juga mengatur pers dan merevisi <a href="https://dewanpers.or.id/assets/documents/uu/UU-No.-40-Tahun-1999-tentang-Pers.pdf">UU Pers</a>, Dewan Pers dan komunitas pers lainnya, termasuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) tidak pernah <a href="https://nasional.tempo.co/read/1328510/dewan-pers-tidak-dilibatkan-dalam-penyusunan-omnibus-law/full&view=ok">dilibatkan</a> dalam penyusunan RUU ini. </p>
<p>RUU Cipta Kerja Bagian Kelima tentang Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu memuat Pasal 87 yang mengubah dua pasal dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dua pasal tersebut adalah pasal 11 tentang mekanisme masuknya media asing lewat pasar modal dan Pasal 18 tentang pelanggaran dalam kerja-kerja jurnalistik. </p>
<p>Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama-sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers telah mengkaji aturan baru ini dan menemukan, setidaknya, ada tiga hal yang akan terdampak dengan perubahan tersebut: kepemilikan modal asing, kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers. </p>
<h2>Kepemilikan modal asing</h2>
<p>UU Pers tahun 1999 telah mengatur kepemilikan modal asing pada perusahaan media di Indonesia. </p>
<p>Pasal 11 UU Pers mengatur bahwa media asing bisa masuk ke Indonesia dengan syarat perusahaan media tersebut harus terdaftar di pasar modal. Dalam aturan turunannya, <a href="https://dewanpers.or.id/assets/documents/peraturan/1907030628_2008_Peraturan_DP_NO_04_TTG_STANDAR_PERUSAHAAN_PERS_2.pdf">Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers tahun 2008</a> mengatur bahwa penambahan modal asing pada perusahaan media cetak tidak boleh mencapai mayoritas, sedangkan untuk media penyiaran, jumlahnya tidak boleh lebih dari 20% dari modal yang ada. </p>
<p>Tujuan pendaftaran ke pasar modal ini di antaranya adalah untuk mendorong transparansi. </p>
<p>Ketika perusahaan media dengan modal asing terdaftar menjadi perusahaan terbuka maka mereka harus tunduk pada aturan Bursa Efek Indonesia (BEI). Otoritas bursa akan memastikan transparansi dan informasi perusahaan kepada pemegang saham dan publik dapat berjalan dengan baik. </p>
<p>Secara berkala, perusahaan akan menyampaikan pemaparan publik. Jika perusahaan tersebut tidak transparan dan melanggar ketentuan maka BEI dapat memberikan sanksi.</p>
<p>Transparansi ini penting karena publik dapat mengetahui siapa pemilik media tersebut dan bersama-sama mengawasi apakah pemilik melakukan intervensi pemberitaan.</p>
<p>Namun, pembatasan permodalan asing dengan mekanisme pasar modal ini tidak ditemukan dalam aturan yang baru. </p>
<p>Dukungan modal asing di perusahaan <a href="https://aji.or.id/read/press-release/967/era-disrupsi-digital-tantangan-pers-makin-berat.html">pers</a> yang berujung pada perbaikan karya jurnalistik, misalnya dengan mengaplikasikan jurnalisme data dan multimedia, memang layak untuk didukung.</p>
<p>Di tengah era disrupsi digital seperti saat ini, tantangan perusahaan pers dalam memproduksi konten dan memastikan keberlangsungan bisnis media tentu semakin berat. </p>
<p>Pada prinsipnya, industri media bukan segmen yang anti permodalan asing. Karena dalam banyak hal, modal asing ini justru dapat menolong agar konsentrasi modal tidak hanya dikuasai oleh sejumlah pemain di dalam negeri. </p>
<p>Namun, kendati modal asing dapat menjadi opsi untuk mendukung operasional perusahaan pers yang menjaga kualitas karya jurnalistik dan memberikan jalan keluar bagi permasalahan konsentrasi modal, transparansi termasuk mengetahui dengan jelas siapa saja para pemilik media –seperti yang diatur di pasar modal– harus tetap terjamin.</p>
<h2>Ancaman terhadap kebebasan pers</h2>
<p>Pasal 87 RUU Cipta Kerja menghukum perusahaan pers yang lalai dalam memberitakan peristiwa dan opini dengan denda Rp2 miliar atau naik dari Rp500 juta yang ditetapkan UU Pers. </p>
<p>Sanksi ini akan memberatkan perusahaan pers. </p>
<p>Jangan sampai penguasa menyalahgunakan denda yang selangit ini untuk <a href="https://tirto.id/tak-hanya-investasi-ruu-cilaka-juga-urusi-pers-eyZP">membungkam</a> redaksi dan jurnalis ketika mereka melakukan kerja-kerja jurnalistik yang mengancam kepentingan mereka. </p>
<p>Kita tentu tidak ingin mendapatkan media yang mempublikasikan karya jurnalistik yang berkualitas, dengan memperhatikan kode etik jurnalistik, tentang kelompok minoritas tersandung pasal ini. </p>
<p>Aturan di RUU Cipta Kerja yang tidak kalah mencemaskan adalah mewajibkan perusahaan pers untuk berbadan hukum. Jika abai mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka di media tersebut, maka media tersebut akan dikenai sanksi administratif.</p>
<p>Kewajiban perusahaan pers untuk berbadan hukum ini akan mengancam keberadaan media yang belum berbadan hukum, seperti media komunitas, media rintisan, dan juga pers mahasiswa. Padahal media tanpa badan hukum ini juga memiliki independensi dan kritis. </p>
<p>Pengelola media, termasuk misalnya media komunitas untuk para buruh, menyajikan informasi yang jarang mendapat tempat di media arus utama. Banyak pers mahasiswa yang mampu menelurkan liputan mendalam dan investigasi yang terkait dengan kepentingan publik serta menjalankan fungsi pers untuk memberikan suara bagi mereka yang tidak dapat bersuara. </p>
<p>Kasus pemerkosaan mahasiswi di Universitas Gadjah Mada misalnya mencuat ke publik setelah Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung melakukan <a href="https://www.vice.com/id_id/article/gy7b59/kisah-dari-dapur-balairung-laporan-perkosaan-persma-ugm-menyulut-gerakan-kitaagni">investigasi</a> dan menurunkan laporan. Baru setelah publikasi tersebut, media arus utama ramai memberitakan ulang.</p>
<p>Keberadaan aturan tersebut berpotensi membuat banyak media yang tanpa badan hukum rentan dikriminalisasi. </p>
<h2>Kekerasan Jurnalis</h2>
<p>Pasal 87 di dalam RUU Cipta Kerja juga mengatur bahwa orang yang melawan hukum dan melakukan tindakan yang menghalangi kemerdekaan pers akan dipidana paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar. Besaran denda di usulan perubahan ini naik dari ketentuan yang terdapat dalam UU Pers sebesar Rp500 juta.</p>
<p>Hal ini merupakan kabar baik bagi pekerja media di Indonesia yang rentan mendapat kekerasan. </p>
<p><a href="https://aji.or.id/read/press-release/1003/riset-ifj-aji-kekerasan-tetap-menjadi-ancaman-serius-jurnalis-indonesia.html">Riset</a> yang dilakukan oleh AJI dan perkumpulan serikat buruh wartawan seluruh dunia (<em>International Federation of Journalists</em> (IFJ)) yang dirilis pada November 2019 menunjukkan ada tiga jenis ancaman terbesar bagi jurnalis di Indonesia, yaitu kekerasan yang terjadi karena kerja-kerja jurnalistik, intimidasi yang ditujukan tidak hanya kepada jurnalis tapi juga menyasar orang-orang terdekat, dan kekerasan fisik. </p>
<p>Catatan tahunan AJI menyebutkan setidaknya terdapat <a href="https://www.suara.com/news/2019/12/23/162703/aji-sebut-pelaku-kekerasan-terhadap-jurnalis-tahun-2019-didominasi-polisi">53</a> kasus kekerasan terhadap jurnalis sejak Januari hingga Desember 2019. Dari total 53 kasus kekerasan tersebut, pelaku kekerasan terbanyak adalah polisi (30 kasus). </p>
<p>Kendati angka tersebut turun dari 64 kasus pada 2018, tetapi jumlah ini masih melampaui angka kekerasan terhadap jurnalis pada 2013 (40 kasus), 2014 (40 kasus), dan 2015 (42 kasus).</p>
<p>Pada Mei 2019, sebanyak 20 jurnalis menjadi korban aksi demonstrasi yang berkembang menjadi kekerasan. Mayoritas kekerasan terjadi saat para jurnalis meliput aksi unjuk rasa di sekitar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). </p>
<p>AJI Jakarta menyebutkan jumlah korban ini adalah yang <a href="https://nasional.tempo.co/read/1209111/jurnalis-korban-kekerasan-jadi-20-aji-terburuk-sejak-reformasi">terburuk</a> sejak reformasi.</p>
<p>Namun, efektivitas aturan yang baru tetap dipertanyakan karena penegakan hukum terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis tidak maksimal, terutama karena pemahaman aparat penegak hukum terhadap UU Pers masih minim. </p>
<p>Hanya 10% dari total kasus yang masuk ke Lembaga Bantuan Hukum Pers pada tahun lalu, termasuk <a href="https://interaktif.tempo.co/proyek/jurnalis-dalam-bayang-bayang-kekerasan/index.html">kekerasan</a> yang dilakukan oleh polisi, yang diproses secara hukum. Kasus yang dapat selesai sampai ke tahap vonis jumlahnya lebih kecil lagi. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=379&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=379&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=379&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=476&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=476&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324573/original/file-20200401-66120-1rio0xp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=476&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Awak media sedang mewawancarai Presiden Joko Widodo ketika sedang mengunjungi Penajam Paser, Kalimantan Timur, sebuah daerah yang akan menjadi ibu kota baru Indonesia, akhir tahun lalu.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Staf Kepresidenan RI</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kemunduran demokrasi?</h2>
<p>Pembuatan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dijalankan dengan semangat untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat pers untuk <a href="https://www.voaindonesia.com/a/komunitas-pers-tolak-rancangan-aturan-orde-baru-/5293081.html">mengatur dirinya sendiri</a> (<em>self regulatory</em>). </p>
<p>Hal ini guna menutup peluang pemerintah untuk <a href="https://nasional.tempo.co/read/1313111/tolak-omnibus-law-aji-pemerintah-bisa-kontrol-pers-seperti-orba">mendikte</a> pers seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. </p>
<p>Di bawah aturan UU Pers saat ini, seluruh peraturan yang terkait dengan pers dirumuskan oleh Dewan Pers bersama para pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi. Bahkan untuk menolak intervensi pemerintah, UU Pers tidak memiliki aturan turunan dalam bentuk peraturan pemerintah.</p>
<p>Namun, prinsip <em>self regulatory</em> ini akan ternodai dengan adanya peraturan pemerintah yang menjadi bawaan RUU Cipta Kerja nantinya. </p>
<p>Akhirnya, jika kita tunduk pada perubahan yang diusulkan oleh pemerintah lewat RUU Cipta Kerja ini, yang pembahasannya sama sekali tidak melibatkan masyarakat pers, itu sama artinya dengan membiarkan kita menggelinding bersama kemunduran demokrasi. </p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/132868/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ratna Ariyanti menerima beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris pada tahun 2015 hingga 2016.</span></em></p>Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan membawa tiga dampak pada dunia pers Indonesia : kepemilikan modal asing, kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers.Ratna Ariyanti, Dosen, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.