tag:theconversation.com,2011:/us/topics/siswa-72532/articlessiswa – The Conversation2023-07-25T02:31:40Ztag:theconversation.com,2011:article/2098162023-07-25T02:31:40Z2023-07-25T02:31:40ZChatGPT dan kecurangan: 5 cara untuk mengubah cara penilaian siswa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/537511/original/file-20230714-21441-e17pa4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Para guru dan profesor universitas sudah sangat bergantung pada tugas esai 'sekali selesai' selama beberapa dekade. Mengharuskan siswa untuk menyerahkan draf pekerjaan mereka adalah salah satu perubahan yang dibutuhkan.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Universitas dan sekolah telah memasuki fase baru dalam cara mereka menangani integritas akademik saat masyarakat kita memasuki <a href="https://www.thestar.com/business/opinion/2020/03/04/letter-to-toronto-how-profound-innovations-are-making-our-city-a-leader-in-the-digital-age.html">era kedua teknologi digital</a>, yang mencakup kecerdasan buatan (<em>Artificial Intelligence</em> (AI) ) generatif yang tersedia untuk umum seperti ChatGPT. Platform semacam itu memungkinkan siswa untuk <a href="https://www.cbc.ca/news/canada/british-columbia/chatgpt-student-benefits-1.6731105">menghasilkan teks baru untuk tugas tertulis</a>.</p>
<p>Meskipun banyak yang khawatir bahwa teknologi AI yang canggih ini mengantarkan <a href="https://ieeexplore.ieee.org/abstract/document/10031827">era baru plagiarisme dan kecurangan</a>, teknologi ini juga membuka peluang bagi para pendidik untuk memikirkan kembali praktik penilaian dan melibatkan siswa dalam pembelajaran yang lebih dalam dan lebih bermakna yang dapat mendorong keterampilan berpikir kritis.</p>
<p>Kami percaya bahwa kemunculan ChatGPT menciptakan peluang bagi sekolah dan institusi pendidikan menengah untuk mereformasi pendekatan tradisional dalam menilai siswa yang sangat bergantung pada pengujian dan tugas tertulis yang berfokus pada pengulangan, ingatan, dan sintesis dasar konten.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Hands seen on a keyboard." src="https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511720/original/file-20230222-26-7qud13.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sekolah dan lembaga pendidikan lanjutan harus meninjau kembali pengujian dan tugas tertulis.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kecurangan dan <em>ChatGPT</em></h2>
<p>Perkiraan kecurangan <a href="https://doi.org/10.1007/978-3-030-83255-1_4">sangat bervariasi di seluruh konteks dan sektor nasional</a>.</p>
<p>Sarah Elaine Eaton, seorang ahli yang mempelajari integritas akademik, memperingatkan bahwa ada banyak kecurangan <a href="https://theconversation.com/cheating-may-be-under-reported-across-canadas-universities-and-colleges-129292">yang tidak dilaporkan</a>: ia memperkirakan bahwa di universitas-universitas Kanada, <a href="https://www.theglobeandmail.com/canada/article-university-students-cheating-exams/">70.000 mahasiswa</a> membeli layanan kecurangan setiap tahunnya.</p>
<p>Dampak dari peluncuran ChatGPT oleh OpenAI baru-baru ini terhadap kecurangan di lingkungan pendidikan wajib dan pendidikan tinggi masih belum diketahui, tetapi perkembangannya akan bergantung pada apakah institusi mempertahankan atau mereformasi praktik penilaian tradisional atau tidak.</p>
<h2>Menghindari <em>software</em> pendeteksi plagiarisme?</h2>
<p>Kemampuan alat pendeteksi plagiarisme yang populer untuk mengidentifikasi kecurangan menggunakan ChatGPT dalam pembuatan tugas masih menjadi tantangan.</p>
<p><a href="https://arxiv.org/abs/2302.04335">Sebuah studi baru-baru ini</a>, yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, menemukan bahwa 50 esai yang dibuat menggunakan ChatGPT menghasilkan teks canggih yang mampu menghindari <em>software</em> pemeriksaan plagiarisme tradisional.</p>
<p>Mengingat bahwa ChatGPT mencapai <a href="https://www.reuters.com/technology/chatgpt-sets-record-fastest-growing-user-base-analyst-note-2023-02-01/">sekitar 100 juta pengguna aktif bulanan</a> pada bulan Januari, hanya dua bulan setelah diluncurkan, dapat dimengerti mengapa beberapa orang berpendapat bahwa aplikasi AI seperti ChatGPT akan memacu <a href="https://repositorio.grial.eu/handle/grial/2838">perubahan besar</a> dalam pendidikan kontemporer.</p>
<h2>Tanggapan kebijakan terhadap AI dan ChatGPT</h2>
<p>Tidak mengherankan jika ada pandangan yang berlawanan tentang bagaimana menanggapi ChatGPT dan model bahasa AI lainnya.</p>
<p>Beberapa orang berpendapat bahwa para pendidik harus merangkul AI sebagai alat teknologi yang berharga, asalkan <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4334162">aplikasinya digunakan dengan benar</a>.</p>
<p>Yang lain percaya bahwa <a href="https://aaee.net.au/wp-content/uploads/2020/07/AAEE2019_Annual_Conference_paper_180.pdf">lebih banyak sumber daya dan pelatihan</a> diperlukan agar para pendidik dapat menangkap contoh kecurangan dengan lebih baik.</p>
<p>Yang lainnya, seperti Departemen Pendidikan Kota New York, <a href="https://www.usatoday.com/story/news/education/2023/01/30/chatgpt-going-banned-teachers-sound-alarm-new-ai-tech/11069593002">telah menggunakan cara memblokir aplikasi AI seperti ChatGPT dari perangkat dan jaringan</a>.</p>
<h2>Penilaian yang berpikiran maju</h2>
<p>Gambar di bawah ini menggambarkan tiga elemen penting dari sistem penilaian yang berpikiran maju. Meskipun setiap elemen dapat diuraikan, fokus kami adalah menawarkan kepada para pendidik serangkaian strategi yang akan memungkinkan mereka untuk mempertahankan standar akademis dan mempromosikan pembelajaran dan penilaian otentik dalam menghadapi aplikasi AI saat ini dan di masa depan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="chatGPT, pendidikan dan pelajar" src="https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=314&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=314&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=314&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=394&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=394&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/510970/original/file-20230219-4224-9widvf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=394&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Institusi dan pendidik harus memeriksa titik temu antara <em>AI</em>, integritas akademik, dan bagaimana kita menilai siswa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Louis Volante)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para guru dan profesor universitas sangat bergantung pada tugas esai “sekali selesai” selama beberapa dekade. Pada dasarnya, seorang siswa ditugaskan atau diminta untuk memilih topik esai umum dari sebuah daftar dan menyerahkan tugas akhir mereka pada tanggal tertentu.</p>
<p>Tugas semacam itu sangat rentan terhadap aplikasi AI baru, serta <a href="https://doi.org/10.1007/978-3-030-83255-1_9">plagiarisme</a> - di mana siswa membeli esai yang sudah selesai. Pendidik sekarang perlu memikirkan kembali tugas-tugas seperti itu. Berikut adalah beberapa strategi.</p>
<p><strong>1. Pertimbangkan cara-cara untuk memasukkan AI dalam penilaian yang valid.</strong></p>
<p>Tidaklah berguna ataupun praktis bagi institusi untuk langsung melarang penggunaan AI dan aplikasi seperti ChatGPT.</p>
<p>AI telah dimasukkan ke dalam beberapa <a href="https://theconversation.com/why-using-ai-tools-like-chatgpt-in-my-mba-innovation-course-is-expected-and-not-cheating-198957">ruang kelas universitas</a>. Kami percaya bahwa teknologi AI harus diintegrasikan secara selektif agar siswa dapat merefleksikan penggunaan yang tepat dan menghubungkan refleksi mereka dengan kompetensi pembelajaran.</p>
<p>Sebagai contoh, Paul Fyfe, seorang profesor bahasa Inggris <a href="https://news.dasa.ncsu.edu/professor-paul-fyfe-brings-a-humanistic-approach-to-data/">yang mengajar tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan data</a> menggambarkan “eksperimen pedagogis”. Di situ ia <a href="https://doi.org/10.1007/s00146-022-01397-z">meminta siswa untuk mengambil konten dari perangkat lunak AI penghasil teks dan menenun konten ini</a> ke dalam esai akhir mereka.</p>
<p>Para siswa kemudian diminta untuk menghadapi ketersediaan AI sebagai alat menulis dan merefleksikan penggunaan dan evaluasi etika mode bahasa.</p>
<p><strong>2. Libatkan siswa dalam menetapkan tujuan pembelajaran.</strong></p>
<p>Memastikan siswa memahami bagaimana mereka akan dinilai adalah kunci dari sistem penilaian yang baik.</p>
<p>Mengajak siswa untuk secara kolaboratif menetapkan tujuan pembelajaran dan kriteria untuk tugas tersebut, dengan mempertimbangkan peran perangkat lunak AI, akan membantu siswa untuk mengevaluasi dan menilai konteks yang tepat sehingga AI dapat bekerja sebagai alat pembelajaran.</p>
<p><strong>3. Mengharuskan mahasiswa untuk menyerahkan draf agar mendapatkan umpan balik.</strong></p>
<p>Meskipun mahasiswa masih harus menyelesaikan tugas esai, penelitian tentang kebijakan integritas akademik sebagai tanggapan terhadap AI generatif menyarankan agar mahasiswa diminta untuk <a href="https://edarxiv.org/mrz8h?trk=public_post_main-feed-card_reshare-text">menyerahkan draf pekerjaan mereka untuk ditinjau</a> dan diberi umpan balik. Selain membantu mendeteksi plagiarisme, <a href="https://doi.org/10.1111/emip.12382">praktik “penilaian formatif” semacam ini berperan positif dalam memandu pembelajaran siswa</a>.</p>
<p>Umpan balik dapat diberikan oleh guru atau oleh siswa itu sendiri. Umpan balik dari rekan sejawat dan diri sendiri dapat berfungsi untuk mengevaluasi secara kritis pekerjaan yang sedang berjalan (atau pekerjaan yang dihasilkan oleh perangkat lunak AI)</p>
<p><strong>4. Beri nilai pada subkomponen tugas.</strong></p>
<p>Siswa dapat menerima nilai untuk setiap subkomponen - termasuk keterlibatan mereka dalam proses umpan balik. Mereka juga akan dievaluasi dalam kaitannya dengan seberapa baik mereka memasukkan dan memperhatikan umpan balik spesifik yang diberikan.</p>
<p>Tugas ini menjadi lebih besar dari sekadar esai akhir, tugas ini menjadi sebuah produk pembelajaran, dan ide-ide siswa dievaluasi mulai dari pengembangan hingga pengumpulan akhir.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Siswa duduk bersama guru." src="https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511717/original/file-20230222-21-mo6jbn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Melibatkan siswa dalam menetapkan tujuan pembelajaran adalah bagian dari menciptakan praktik penilaian yang bermakna.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>5. Beralih ke penilaian yang lebih otentik atau memasukkan faktor kinerja.</strong></p>
<p>Praktik penilaian yang baik melibatkan pendidik yang mengamati pembelajaran siswa dalam berbagai konteks.</p>
<p>Sebagai contoh, pendidik dapat mengundang siswa untuk mempresentasikan hasil kerja mereka, mendiskusikan sebuah esai dalam format konferensi, atau berbagi artikulasi video atau representasi artistik. Tujuannya adalah untuk mendorong siswa berbagi pembelajaran mereka melalui format alternatif. Pertanyaan penting yang harus ditanyakan adalah apakah kita memerlukan komponen esai atau tidak? Apakah ada cara yang lebih otentik untuk menilai pembelajaran siswa secara efektif?</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang pendidik bersama para siswa." src="https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511713/original/file-20230222-14-61sitj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mendorong siswa untuk mempresentasikan hasil kerja mereka adalah cara yang dapat dilakukan oleh para pendidik untuk mengamati pembelajaran siswa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Pexels/Kampus Production)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penilaian otentik adalah penilaian yang mengaitkan konten dengan konteks. Ketika siswa diminta untuk melakukan hal ini, mereka harus menerapkan pengetahuan dalam situasi yang lebih praktis, yang sering kali membuat alat bantu <em>AI</em> menjadi kurang bermanfaat.</p>
<p>Untuk mendapatkan bantuan dalam memikirkan kembali praktik penilaian menuju pendekatan yang lebih otentik dan alternatif, pendidik dapat mempertimbangkan untuk mengikuti kursus gratis, <a href="https://queens-aeg.ca/transforming-assessment/"><em>Transforming Assessment: Strategies for Higher Education</em></a>.</p>
<h2>Meningkatkan manfaat bagi siswa</h2>
<p>Secara kolektif, saran-saran ini mungkin lebih memakan waktu, terutama di kelas-kelas sarjana yang lebih besar.</p>
<p>Namun, AI memberikan pembelajaran yang lebih besar dan <a href="https://doi.org/10.1111/emip.12382">sinergi antara bentuk-bentuk penilaian</a> yang bermanfaat bagi siswa: penilaian formatif untuk memandu pengajaran dan pembelajaran, dan “penilaian sumatif,” yang terutama digunakan untuk tujuan penilaian dan evaluasi.</p>
<p>AI ada di sini dan akan terus ada, dan kita harus menerimanya sebagai bagian dari lingkungan belajar kita. Memasukkan AI ke dalam cara kita menilai pembelajaran siswa akan menghasilkan proses penilaian yang lebih andal dan hasil penilaian yang valid dan bernilai.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209816/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Louis Volante menerima dana dari Dewan Riset Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Don A. Klinger menerima dana dari Dewan Riset Ilmu Sosial dan Humaniora dan Otoritas Kualifikasi Selandia Baru.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Christopher DeLuca tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pendidik perlu mempertimbangkan dengan cermat ChatGPT dan perilaku curang untuk bergerak menuju sistem penilaian yang dapat memanfaatkan alat bantu AI.Louis Volante, Professor of Education Governance and Policy Analysis, Brock UniversityChristopher DeLuca, Associate Dean, School of Graduate Studies & Professor, Faculty of Education, Queen's University, OntarioDon A. Klinger, Pro Vice-Chancellor of Te Wānanga Toi Tangata Division of Education; Professor of Measurement, Assessment and Evaluation, University of WaikatoLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2094732023-07-12T11:57:07Z2023-07-12T11:57:07Z3 cara menggunakan ChatGPT untuk membantu siswa belajar - dan tidak menyontek<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536670/original/file-20230710-27986-bkplhu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siswa dapat menggunakan chatbot AI untuk memecah tugas yang kompleks menjadi beberapa langkah yang lebih kecil.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/smiling-teacher-teaching-girl-studying-on-digital-royalty-free-image/1345022832">Maskot/Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Karena <em>ChatGPT</em> dapat terlibat dalam percakapan dan menghasilkan esai, kode komputer, bagan, dan grafik yang sangat mirip dengan yang dibuat oleh manusia, <a href="https://theconversation.com/how-chatgpt-robs-students-of-motivation-to-write-and-think-for-themselves-197875">para pendidik khawatir para siswa dapat menggunakannya untuk menyontek</a>. <a href="https://www.forbes.com/sites/ariannajohnson/2023/01/18/chatgpt-in-schools-heres-where-its-banned-and-how-it-could-potentially-help-students/?sh=3665bcf16e2c">Semakin banyak distrik sekolah</a> di seluruh negeri yang memutuskan untuk memblokir akses ke <em>ChatGPT</em> di komputer dan jaringan mereka.</p>
<p>Sebagai profesor <a href="https://scholar.google.com/citations?hl=en&user=Awl0ddQAAAAJ">psikologi pendidikan</a> dan <a href="https://scholar.google.com/citations?hl=en&user=cBsh7i4AAAAJ">teknologi pendidikan</a>, kami menemukan bahwa <a href="https://doi.org/10.1080/00405841.2017.1308172">alasan utama siswa menyontek</a> adalah motivasi akademis mereka. Sebagai contoh, terkadang siswa hanya termotivasi untuk mendapatkan nilai yang tinggi, sedangkan di lain waktu mereka termotivasi untuk mempelajari semua yang mereka bisa tentang suatu topik.</p>
<p>Oleh karena itu, keputusan untuk menyontek atau tidak, sering kali berkaitan dengan bagaimana tugas dan tes akademik dibuat dan dinilai, bukan pada ketersediaan jalan pintas teknologi. Ketika mereka memiliki kesempatan untuk menulis ulang esai atau mengulang tes jika mereka tidak mengerjakannya dengan baik pada awalnya, siswa <a href="https://doi.org/10.1080/00405841.2017.1308172">cenderung tidak akan menyontek</a>.</p>
<p>Kami percaya bahwa guru dapat menggunakan <em>ChatGPT</em> untuk meningkatkan motivasi belajar siswa mereka dan benar-benar mencegah kecurangan. Berikut adalah tiga strategi untuk melakukannya.</p>
<h2>1. Perlakukan <em>ChatGPT</em> sebagai mitra belajar</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa siswa <a href="https://doi.org/10.1207/s15326985ep4103_1">lebih cenderung menyontek</a> ketika tugas dirancang dengan cara yang mendorong mereka untuk mengungguli teman sekelasnya. Sebaliknya, siswa <a href="https://doi.org/10.1016/j.cedpsych.2004.02.002">lebih kecil kemungkinannya untuk menyontek</a> ketika guru memberikan tugas akademis yang mendorong mereka untuk bekerja secara kolaboratif dan fokus pada penguasaan konten daripada mendapatkan nilai yang bagus.</p>
<p>Memperlakukan <em>ChatGPT</em> sebagai mitra belajar dapat membantu guru mengalihkan fokus di antara para siswa mereka dari kompetisi dan penilaian ke kolaborasi dan penguasaan.</p>
<p>Sebagai contoh, seorang guru sains dapat menugaskan siswa untuk bekerja dengan <em>ChatGPT</em> untuk mendesain kebun sayur hidroponik. Dalam skenario ini, siswa dapat terlibat dengan <em>ChatGPT</em> untuk mendiskusikan persyaratan pertumbuhan sayuran, bertukar pikiran tentang ide-ide desain untuk sistem hidroponik dan menganalisis pro dan kontra dari desain tersebut.</p>
<p>Kegiatan-kegiatan ini dirancang untuk mendorong penguasaan konten karena berfokus pada proses pembelajaran, bukan hanya pada nilai akhir.</p>
<h2>2. Gunakan <em>ChatGPT</em> untuk meningkatkan kepercayaan diri</h2>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa ketika siswa merasa percaya diri bahwa mereka dapat berhasil mengerjakan tugas yang diberikan kepada mereka, mereka <a href="https://doi.org/10.1207/s15326985ep4103_1">cenderung tidak akan menyontek</a>. Dan cara penting untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa adalah dengan memberi mereka <a href="https://www.doi.org/10.1891/0889-8391.13.2.158">kesempatan untuk mengalami kesuksesan</a>.</p>
<p><em>ChatGPT</em> dapat memfasilitasi pengalaman tersebut dengan menawarkan dukungan individual kepada siswa dan memecah masalah yang kompleks menjadi tantangan atau tugas yang lebih kecil.</p>
<p>Sebagai contoh, misalkan siswa diminta untuk mencoba merancang kendaraan hipotetis yang dapat menggunakan bensin lebih efisien daripada mobil tradisional. Siswa yang kesulitan dengan proyek tersebut - dan mungkin cenderung menyontek - dapat menggunakan <em>ChatGPT</em> untuk memecah masalah yang lebih besar menjadi tugas-tugas yang lebih kecil. <em>ChatGPT</em> dapat menyarankan mereka untuk terlebih dahulu mengembangkan konsep keseluruhan untuk kendaraan sebelum menentukan ukuran dan berat kendaraan dan memutuskan jenis bahan bakar apa yang akan digunakan. Guru juga dapat meminta siswa untuk membandingkan langkah-langkah yang disarankan oleh <em>ChatGPT</em> dengan langkah-langkah yang direkomendasikan oleh sumber lain.</p>
<h2>3. Meminta <em>ChatGPT</em> untuk memberikan umpan balik yang mendukung</h2>
<p>Ada temuan terkait <a href="https://doi.org/10.1080/00940771.2019.1674768">umpan balik yang dipersonalisasi</a> yang dapat mendukung emosi positif siswa, termasuk rasa percaya diri.</p>
<p><em>ChatGPT</em> dapat diarahkan untuk memberikan umpan balik dengan menggunakan bahasa yang positif, berempati, dan membesarkan hati. Sebagai contoh, jika seorang siswa menyelesaikan soal matematika dengan tidak benar, alih-alih hanya memberi tahu siswa tersebut “Kamu salah dan jawaban yang benar adalah…”, <em>ChatGPT</em> dapat memulai percakapan dengan siswa tersebut. Berikut adalah respons nyata yang dihasilkan oleh <em>ChatGPT</em>: “Jawaban kamu tidak benar, tetapi sangat normal untuk menemukan kesalahan atau miskonsepsi sesekali di sepanjang jalan. Jangan berkecil hati dengan kemunduran kecil ini; kamu berada di jalur yang benar! Saya di sini untuk mendukungmu dan menjawab setiap pertanyaan yang mungkin kamu miliki. Kamu hebat!”</p>
<p>Hal ini akan membantu siswa merasa didukung dan dimengerti, sekaligus menerima umpan balik untuk perbaikan. Guru dapat dengan mudah menunjukkan kepada siswa cara mengarahkan <em>ChatGPT</em> untuk memberikan umpan balik tersebut.</p>
<p>Kami percaya apabila guru menggunakan <em>ChatGPT</em> dan <em>chatbot</em> <em>AI</em> lainnya dengan bijaksana - dan juga mendorong siswa untuk menggunakan alat ini secara bertanggung jawab dalam tugas sekolah mereka - siswa memiliki insentif untuk belajar lebih banyak dan lebih sedikit menyontek.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209473/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sekolah-sekolah memblokir akses ke ChatGPT di komputer mereka untuk mencegah siswa melakukan kecurangan. Dua pakar kecurangan akademik menawarkan strategi yang sangat berbeda.Kui Xie, Red Cedar Distinguished Professor, The Ohio State UniversityEric M. Anderman, Professor of Educational Psychology and Quantitative Research, Evaluation, and Measurement, The Ohio State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2055892023-06-05T09:39:51Z2023-06-05T09:39:51ZMempertanyakan ‘student-centered learning’: mengapa memusatkan pembelajaran pada siswa tidak selalu efektif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/530039/original/file-20230605-23-ptwj4h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-june-24-2019-teachers-1435670357">(Arief Akbar/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Pada 2022, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merilis <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/luncurkan-kurikulum-merdeka-mendikbudristek-ini-lebih-fleksibel">Kurikulum Merdeka Belajar</a> yang salah satu ciri utamanya adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, atau “<em>student-centered learning</em>”. Pendekatannya, misalnya, adalah dengan <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/kurikulum-prototipe-utamakan-pembelajaran-berbasis-proyek">pembelajaran berbasis projek</a> yang dilakukan para murid.</p>
<p>Model pembelajaran ini digadang memiliki segudang manfaat yang mampu membuat peserta didik menjawab tantangan nyata di tengah kompetisi <a href="https://bbppmpvboe.kemdikbud.go.id/bbppmpvboe/berita/detail/kurikulum-merdeka-dan-pbl-relevan-dengan-tantangan-riil">pasar kerja dan industri</a>.</p>
<p>Benarkah demikian?</p>
<p>Meskipun riset menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis projek terbilang ampuh ketika diterapkan pada tingkat <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ1075291">pendidikan tinggi</a>, hal yang sama belum tentu berlaku ketika diterapkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, terutama <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">sekolah dasar (SD)</a>.</p>
<p>Kanada, negara yang langganan peringkat 10 besar pada tes global <em>Program of International Student Assessment</em> (PISA), misalnya, adalah salah satu <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">bukti empiris</a> bagaimana peralihan dari metode klasik ke <em>student-centered learning</em> yang kurang tepat dapat berdampak buruk.</p>
<p>Kajian dari lembaga riset C. D. Howe Institute di Kanada menemukan bahwa seiring penerapan kebijakan pembelajaran yang berpusat pada siswa – pendekatan yang kian populer di Amerika Utara – capaian murid-murid Kanada pada mata pelajaran matematika <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">turun signifikan antara tahun 2003-2012</a>.</p>
<p>Pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia?</p>
<h2>Kurang ideal untuk pembelajar pemula</h2>
<p>Pada dasarnya, pembelajaran berbasis projek – yang mendorong murid untuk memperdalam dan menyintesis informasi yang mereka dapatkan melalui projek individu atau kelompok – belum tentu efektif membantu murid menguasai konsep baru, ketimbang jika melalui pengarahan guru.</p>
<p>Alasan utamanaya adalah karena pembelajar pemula – umumnya belum memiliki pengetahuan spesifik atas suatu topik, seperti murid SD dan SMP – punya keterampilan pengaturan diri (<em>self-regulation skills</em>), pengetahuan awal (<em>prior knowledge</em>), dan keterampilan bekerja dalam kelompok (<em>group working skills</em>) yang <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">masih terbatas</a>.</p>
<p>Padahal, mereka sangat butuh berbagai keterampilan ini untuk melancarkan proses pembelajaran berbasis projek. Model pembelajaran ini, misalnya, penuh dengan aktivitas mendiskusikan ide, mempertimbangkan alternatif berbeda atau berbagai sudut pandang yang sulit dilakukan pembelajar tingkat awal.</p>
<p>Belum lagi, <a href="https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty">tingginya kesenjangan ekonomi</a> yang terjadi di Indonesia semakin memperparah hal ini.</p>
<p>Berbagai riset menunjukkan bahwa status sosioekonomi orang tua memainkan peranan besar dalam proses pendidikan anak. Anak-anak dari kelompok <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042812040414">privilese ekonomi tinggi</a> akan cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibanding teman sebayanya dari kelompok ekonomi berbeda. Sebab, mereka lebih memiliki <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781351018142-3/cultural-reproduction-social-reproduction-pierre-bourdieu">akses</a> ke modal struktural seperti sekolah unggulan, hingga modal kultural dan intelektual seperti akses ke bahan bacaan dan museum.</p>
<p>Kondisi guru pun juga sangat menentukan kesuksesan penerapan model pembelajaran berbasis projek di kelas.</p>
<p>Dengan <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/11/23/nasib-guru-honerer-mereka-bertahan-meski-diupah-murah">himpitan ekonomi</a> yang menjerat para guru di Indonesia, bukan hal yang mengejutkan jika kita mendapati <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/03/04/kualitas-sebagian-guru-masih-rendah-hasil-pendidikan-belum-merata">kompetensi guru</a> di Indonesia terbilang rendah. Riset menunjukkan bahwa ketika guru dibayar rendah, maka <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0165176597000700">kualitas pendidikan yang mereka hasilkan cenderung lebih buruk</a>.</p>
<p>Sebagai gambaran, berdasarkan obrolan informal saya dengan guru swasta tingkat SMP di Kota Medan, sekolah bahkan hanya memberikan upah sebesar Rp 22.000 per jam pelajaran, atau dengan beban 24 jam pelajaran, maka upah bulanan yang diperoleh hanya Rp 528.000. Mereka kerap mencari pemasukan alternatif seperti menjadi <a href="https://suar.grid.id/read/201809275/kisah-guru-honorer-yang-nyambi-jadi-ojek-online-untuk-menyambung-hidup-sempat-digaji-rp-50-ribu-per-bulan-di-sekolah?page=all">pengemudi ojol</a>, hingga <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/08/09/06000011/cerita-elivina-guru-bergaji-rp-200.000-berjualan-dan-memikul-kemiri-jalan?page=all">berjualan</a>, sehingga memecah konsentrasi.</p>
<p>Mengingat faktor-faktor di atas, termasuk tingkat usia murid yang belum siap menerapkan pembelajaran berbasis proyek, kesenjangan ekonomi para siswa, dan buruknya ekonomi guru yang berimbas pada kualitas mereka, penerapan pembelajaran berbasis projek harus kita pertanyakan kembali.</p>
<p>Laporan dari C. D. Howe Institute di atas menunjukkan bahwa para murid usia 15 tahun (mulai tingkat SMP) yang menjalani pembelajaran berorientasi murid di berbagai daerah di Kanada justru mengalami penurunan skor matematika – bahkan <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">hingga 26 poin</a> – selama sekitar 2003-2012 pada tes-tes global.</p>
<p>Asosiasi negatif ini secara statistik cukup signifikan, dan konsisten pada <a href="https://data.oecd.org/pisa/mathematics-performance-pisa.htm">banyak negara yang berpartisipasi</a>, bahkan negara-negara yang menjadi langganan top 15 tes PISA, termasuk Finlandia, Kanada, dan Selandia Baru. Atas dasar tersebut, banyak negara <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/how-teachers-teach-and-students-learn_5jm29kpt0xxx-en">menguatkan pembelajaran yang berpusat pada guru</a> – setidaknya untuk usia SD dan SMP.</p>
<h2>Pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan</h2>
<p>Pembelajaran yang berpusat pada siswa, termasuk yang berbasis projek, memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, kita juga perlu memahami bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru sesungguhnya juga masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu justru lebih baik.</p>
<p>Menurut profesor kepemimpinan pendidikan dari Amerika Serikat (AS), Richard Arends, dalam bukunya “<a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/7117965"><em>Learning to Teach</em></a>” – teks yang kerap jadi bacaan wajib mahasiswa S1 di jurusan pendidikan – tidak ada model pembelajaran yang mutlak lebih baik dibandingkan yang lainnya.</p>
<p>Pembelajaran berbasis projek, yang tergolong sebagai model pembelajaran berpusat pada siswa, tentu saja punya <a href="https://www.opencolleges.edu.au/informed/features/project-based-learning-a-real-world-solution/">kelebihan</a>.</p>
<p>Kelebihan utamanya adalah penerapan masalah yang bersifat dunia nyata, terciptanya kolaborasi dan kerja sama, dan melatih kemampuan pemecahan masalah. Akan tetapi, model ini pun memiliki <a href="https://atutor.ca/pros-and-cons-of-project-based-learning/">kekurangan</a>, seperti pengelolaan waktu dan sumber daya yang kompleks sehingga menjadi tantangan bagi siswa dan guru hingga sulitnya proses evaluasi.</p>
<p>Sebaliknya, model pembelajaran yang berpusat pada guru memang memiliki beberapa kekurangan, seperti keterlibatan siswa yang terkadang terbatas dan kurangnya otonomi siswa.</p>
<p>Namun, di sisi lain, ia punya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/7117965-learning-to-teach">kelebihan</a>, utamanya pengendalian guru terhadap seluruh proses pengajaran yang ideal untuk konteks pembelajar di jenjang-jenjang awal. Guru pemula pun dapat menerapkan model ini dengan cukup mudah dan efisien waktu.</p>
<p>Oleh karena itu, pemilihannya tergantung pada jenjang dan kondisi peserta didik, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, hingga kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran. </p>
<h2>Solusi pendidikan Indonesia bukanlah perombakan total model pembelajaran</h2>
<p>Alih-alih sibuk mengotak-atik model pembelajaran di kelas secara total, menurut saya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menunda dulu penerapan pembelajaran berbasis projek hingga setidaknya jenjang SMA.</p>
<p>Namun, selain itu, ada juga beberapa rekomendasi agar peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dapat tercapai.</p>
<p>Yang utama, Indonesia wajib memperbaiki kesejahteraan para gurunya terlebih dahulu.</p>
<p>Negara-negara yang memiliki performa baik pada tes PISA memiliki satu kesamaan – guru di sana merupakan <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/29550728">profesi yang bergengsi dan dibayar mahal</a>. Hal ini berguna untuk menarik talenta-talenta terbaik bangsa untuk mau berkuliah di jurusan pendidikan, dan bersaing secara sehat untuk menjadi guru.</p>
<p>Jika upah guru bahkan <a href="https://www.merdeka.com/jatim/usul-gaji-guru-swasta-2023-naik-jadi-rp500-ribu-bupati-malang-ungkap-ini.html">tidak sampai Rp 600.000,-</a> per bulan, talenta mana yang mau berkecimpung di profesi ini?</p>
<p>Selain itu, pemerataan kesempatan pendidikan dan program pengentasan kemiskinan juga krusial. </p>
<p>Solusi negara tidak bisa hanya selesai pada membuat sekolah menjadi <a href="https://projectmultatuli.org/tumbal-sekolah-gratis-di-jawa-barat-memiskinkan-guru-menyusahkan-orangtua-merugikan-peserta-didik/">berbiaya rendah atau gratis</a>, tetapi juga perlu <a href="https://theconversation.com/berebut-bangku-pendidikan-kenapa-sekolah-swasta-tak-seharusnya-menjadi-jawaban-dari-masalah-sekolah-negeri-206324">memeratakan kualitas sekolah publik</a> hingga memerhatikan keadaan murid ketika mereka berada di luar sekolah.</p>
<p>Faktanya, kemampuan belajar anak Indonesia yang rendah juga disebabkan keseharian mereka yang menghambat pembelajaran di sekolah, misalnya harus turut <a href="https://projectmultatuli.org/underprivileged-gen-z-kampung-kota-jakarta-putus-sekolah-jadi-pekerja-anak-dan-penanggung-hidup-keluarga/">membanting tulang membantu keluarga</a>. </p>
<p>Tentu, visi <em>student-centered learning</em> yang dibawa Kemdikbudristek berangkat dari niat baik untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun, niat yang tulus dan kebijakan yang efektif adalah dua hal yang berbeda.</p>
<p>Jangan sampai Indonesia bersikap latah – hanya karena melihat sesuatu yang tampak lebih canggih seperti <em>student-centered learning</em>, maka berbondong-bondong untuk meninggalkan apa saja yang dianggap usang, tanpa mempertimbangkan konteks lokal.</p>
<p>Mungkin, kita harus merenungkan ungkapan teoretikus pendidikan Brazil, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/104946">Paulo Freire</a>:</p>
<blockquote>
<p>Kita memiliki metode untuk mendekatkan konten, metode yang mampu membuat kita lebih dekat dengan siswa. Namun, beberapa metode tersebut justru dapat mendorong kita menjadi lebih jauh dari siswa.</p>
</blockquote><img src="https://counter.theconversation.com/content/205589/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Reza Aditia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pembelajaran berbasis projek memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu bisa jadi lebih baik.Reza Aditia, Pengajar dan peneliti bidang pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera UtaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035282023-05-25T09:34:55Z2023-05-25T09:34:55ZBagaimana aksi kolektif orang tua bisa dorong sekolah menghasilkan kebijakan berkualitas untuk semua siswa: belajar dari Yogyakarta<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/528209/original/file-20230525-23-dtwlb9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Di tengah capaian pendidikan Indonesia yang stagnan – <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">bahkan menurun</a> – selama setidaknya dua dekade terakhir, orang tua pun kini dituntut untuk turut membantu sekolah dan pemerintah mendongkrak pembelajaran siswa. Sayangnya, mereka belum dilibatkan secara bermakna dan diberikan ruang untuk menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pendidikan, baik di level nasional, lokal, maupun sekolah.</p>
<p>Salah satu contoh belum lama ini, misalnya, adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230301180755-20-919509/protes-orang-tua-murid-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt">pengabaian protes orangtua</a> dalam perumusan dan pelaksanaan <a href="https://theconversation.com/masuk-kelas-jam-5-pagi-kebijakan-yang-mengabaikan-riset-tentang-jam-tidur-layak-remaja-dan-jadwal-sekolah-yang-ideal-200847">kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi</a> di Nusa Tenggara Timur (NTT). </p>
<p>Sebelumnya, <a href="https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/537441468042883853/implementation-of-school-based-management-in-indonesia">survei Bank Dunia</a> pada 2012 menunjukkan orang tua – melalui komite sekolah – cenderung belum berpengaruh pada berbagai pengambilan keputusan di sekolah. Kami juga menemukan bahwa sekolah dan Dinas Pendidikan merasa lebih berkewajiban <a href="https://riseprogramme.org/publications/power-and-learning-district-heads-bureaucracy-and-education-policies-indonesias">menjalankan tuntutan kepala daerah</a> dibandingkan masukan orang tua.</p>
<p>Hal ini menggambarkan keterlibatan orang tua di Indonesia masih bersifat <em>tokenistic</em> (sekadar formalitas) dan parsial (belum dilibatkan sepenuhnya). </p>
<p>Menariknya, di tengah kondisi tersebut, <a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">studi etnografi yang pernah kami lakukan</a> lewat program <em>Research on Improving Systems of Education (RISE)</em> menunjukkan secercah harapan dari Kota Yogyakarta. Pada tiga sekolah dasar (SD) negeri dan swasta yang kami amati – baik yang didominasi murid ekonomi rendah atau yang berperforma akademik tinggi – banyak orang tua terlibat secara kolektif dalam kebijakan sekolah melalui wadah yang disebut Paguyuban Orang Tua (PO).</p>
<p>Lewat forum ini, orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan – bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.</p>
<h2>Potret partisipasi orang tua di Yogyakarta</h2>
<p>Dibandingkan daerah lain di Indonesia, Yogyakarta merupakan daerah yang unggul dalam pendidikan. Hasil asesmen pembelajaran dalam aspek seperti <a href="https://www.liputan6.com/regional/read/5225924/warga-yogyakarta-paling-rajin-membaca-apa-rahasianya">literasi</a>, maupun laporan internasional seperti <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/07/13524501/skor-pisa-melorot-disparitas-dan-mutu-guru-penyebab-utama?page=all">Programme for International Student Assessment (PISA)</a>, menunjukkan Yogyakarta memiliki hasil tertinggi di Indonesia.</p>
<p>Di sini, riset terbatas kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta cenderung terlibat secara kolektif untuk mendorong kebijakan sekolah. </p>
<p>Berbeda dengan keterlibatan individualistik yang cenderung memposisikan orang tua sebagai pengganti guru di rumah, keterlibatan orang tua secara kolektif <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ534901">berorientasi pada kepentingan semua anak</a> pada suatu sekolah, bukan hanya untuk anak-anak yang orang tuanya bisa dan bersedia terlibat. </p>
<p>Keterlibatan kolektif ini terwadahi melalui <a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Paguyuban Orang Tua (PO) yang tumbuh secara organik</a> sejak tahun 2000-an. Berbeda dengan komite sekolah yang dibentuk secara formal pada tingkat sekolah dan <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S073805931730367X">pengambilan keputusannya cenderung dipengaruhi kepala sekolah</a>, PO merupakan perkumpulan orangtua atau wali siswa di tiap rombongan belajar (rombel/kelas). Akibatnya, mereka bisa lebih dekat bekerja sama dengan guru dan sekolah. </p>
<p>Melalui PO, orang tua mengorganisasi diri untuk memastikan semua siswa – bukan hanya anaknya – mendapatkan pembelajaran dan layanan pendidikan yang berkualitas. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pertemuan orang tua di salah satu sekolah dasar (SD) di Yogyakarta.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Misalnya, di beberapa SD negeri, kami menemukan PO dari anak-anak kelas atas (kelas 4-6) mendorong sekolah untuk memberikan jam pelajaran tambahan bagi siswa yang membutuhkan atau kesulitan. Tanpa wadah atau aksi kolektif semacam ini, alih-alih mendorong sekolah, orang tua biasanya dipaksa mengeluarkan sumber daya tambahan untuk <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">mengirimkan anaknya les privat</a> di tempat lain.</p>
<p>Selanjutnya, kami juga menemukan beberapa praktik orang tua yang terlibat secara aktif meninjau kualitas guru. Selain ikut berkontribusi memberikan masukan terkait performa guru, misalnya, kami mendapati perwakilan PO yang mengkritisi proses rekrutmen guru baru agar tidak dilakukan secara asal-asalan serta bisa menjaring guru yang kompeten dan kreatif.</p>
<p>Eksperimen yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2016-2018 melalui program <a href="https://www.worldbank.org/in/results/2023/01/10/improving-learning-outcomes-through-social-accountability-and-performance-based-teacher-allowance-payment-in-indonesia">KIAT Guru</a> menunjukkan ketika masyarakat terlibat memonitor kinerja guru, hasil belajar siswa bisa cenderung meningkat secara signifikan.</p>
<p>Di luar kegiatan intrakurikuler, orang tua yang kami temui juga aktif terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler.</p>
<p>Misalnya, bersama dengan guru dan sekolah, PO terlibat untuk merancang kegiatan karyawisata yang mendukung proses pembelajaran. Untuk memastikan semua anak bisa terlibat, PO mengusulkan pembiayaan karyawisata dilakukan melalui mekanisme subsidi silang dengan para orang tua lainnya.</p>
<h2>Memupuk peran kolektif</h2>
<p>Mengapa keterlibatan kolektif muncul di Yogyakarta?</p>
<p><strong>Pertama</strong>, riset kami menemukan adanya hubungan sosial yang erat dan bersumber dari filsafat Jawa bernama “<em><a href="https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/6501/23-Susatyo%20Yuwono.pdf?sequence=1">handarbeni</a></em>” (rasa memiliki di antara masyarakat).</p>
<p>Budaya kolektivis seperti ini akhirnya menghasilkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1219794.pdf">membuat anak orang lain berhasil seperti anak sendiri</a> – termasuk pada kelompok sosial dan ekonomi rendah. </p>
<p>Untuk meningkatkan minat baca, misalnya, PO memfasilitasi pojok baca di masing-masing kelas. Pada kegiatan ini, anak secara bergantian membawa buku dari rumah agar bisa dibaca bersama teman-temannya.</p>
<p>Orang tua juga tidak enggan berbagi informasi terkait penyediaan buku bacaan tambahan. Menjelang ujian, orangtua biasanya mendaftarkan anak-anak pada lomba atau <em>try-out</em> bersama, dan menggandakan soal-soal latihan untuk dibagikan dengan orang tua lainnya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, keterlibatan kolektif orang tua terjadi karena adanya dukungan pemerintah daerah, berlandaskan moto “<em>Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta</em>” (Segoro Amarto).</p>
<p>Misalnya, <a href="https://jogja.antaranews.com/berita/353472/anggaran-jbm-langsung-masuk-ke-stimulan-rw">Pemda mengalokasikan sejumlah dana</a> untuk melaksanakan program <a href="https://wirobrajankel.jogjakota.go.id/detail/index/21711">Jam Belajar Masyarakat</a>, kerja sama dengan organisasi masyarakat lain, serta kolaborasi pendidikan antarorganisasi – termasuk dengan perpustakaan daerah dan universitas.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, studi kami juga menemukan orang tua di Yogyakarta cenderung memiliki relasi kuasa yang setara dengan pihak sekolah.</p>
<p>Di Kota Yogakarta, adanya jumlah <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/519991580138621024/pdf/Aspiring-Indonesia-Expanding-the-Middle-Class.pdf">kelompok kelas menengah yang cukup besar</a> – meski diiringi kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi pula – membuat para orang tua di sana relatif punya <a href="https://www.ucpress.edu/book/9780520271425/unequal-childhoods">sumber daya dan kemampuan komunikasi</a> ke sekolah yang lebih baik ketimbang orang tua ekonomi bawah. Kekuatan dan kepentingan bersama ini kemudian membuat mereka bisa mendorong <a href="https://www.jstor.org/stable/43590714">kebijakan pendidikan yang fokus pada kualitas</a>, demi semakin bisa mendukung mobilitas sosial semua anak.</p>
<p>Akibat ketiga faktor di atas pula, temuan kami menunjukkan bahwa jaringan sosial masyarakat di Kota Yogyakarta menjadi tidak terlalu hierarkis. Masyarakat biasa dapat menyuarakan aspirasi dan terlibat secara aktif dalam implementasi kebijakan pendidikan. </p>
<h2>Perlunya partisipasi yang setara dan bermakna</h2>
<p>Meski Yogyakarta menawarkan kisah baik, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi.</p>
<p>Seperti yang sudah pernah kami <a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">tulis sebelumnya</a>, partisipasi orang tua masih didominasi oleh ibu. Di antara seluruh kegiatan pertemuan orangtua yang kami amati di Yogyakarta, keterlibatan laki-laki cenderung sangat terbatas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">Mengapa tuntutan bagi orang tua untuk mendampingi anak belajar justru berpotensi mendiskriminasi rumah tangga miskin</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, tugas-tugas advokasi yang kami temukan di Yogyakarta juga masih didominasi orang tua kelas menengah. Dalam banyak kasus, misalnya, bukan tidak mungkin <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0002831209345791">kepentingan kelas menengah berbeda dengan kelas ekonomi bawah</a>.</p>
<p>Oleh karena itu, pemerintah maupun sekolah perlu memastikan bahwa hal-hal yang diadvokasikan oleh orang tua kelas menengah masih sejalan dengan tujuan pemerintah meningkatkan kualitas dan kesetaraan. </p>
<p>Lepas dari keterbatasan yang ada, keterlibatan orang tua secara kolektif di Yogyakarta berpotensi menjaga kualitas pendidikan.</p>
<p>Sayangnya, apa yang kami temukan di Yogyakarta belum ditemukan di daerah lain. Penelitian lain kami dengan program <a href="https://rise.smeru.or.id/">RISE</a> di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan Kab. Bogor, Jawa Barat menunjukkan model partisipasi orang tua yang berbeda.</p>
<p>Faktor-faktor khas yang mendorong aksi kolektif di Yogyakarta cenderung absen di daerah-daerah tersebut. Apalagi, sekolah di sana juga sering kali hanya melibatkan orang tua demi kepentingan sekolah – misalnya untuk mendukung fasilitas belajar di rumah atau membantu perayaan di sekolah.</p>
<p>Padahal <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1747938X15000032?via%3Dihub">metaanalisis dari berbagai hasil riset</a> menunjukkan keterlibatan semacam itu tidak dapat memberikan pengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa. Selain itu, pelibatan orang tua biasanya juga hanya berorientasi pada pergesaran tanggung jawab dari sekolah ke rumah tangga.</p>
<p><a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/">UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)</a> tahun 2003 sebenarnya mengatur hak orang tua dalam pendidikan di manapun mereka berada: masyarakat berhak berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan secara perorangan atau kelompok.</p>
<p>Sayangnya, UU ini belum mengatur dorongan bagi pemerintah daerah untuk menjaring aspirasi, dan membagi ruang kepada publik untuk terlibat secara setara dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan baik di tingkat sekolah maupun daerah. Semoga, hal ini dapat diakomodasi dalam Rancangan UU Sisdiknas yang baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203528/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Temuan kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan – bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteSenza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2008472023-03-02T03:33:42Z2023-03-02T03:33:42ZMasuk kelas jam 5 pagi: kebijakan yang mengabaikan riset tentang jam tidur layak remaja dan jadwal sekolah yang ideal<p>Awal pekan ini, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menuai sorotan atas instruksi mereka untuk mengubah jam masuk sekolah <a href="https://www.youtube.com/watch?v=kkfRA9gIYCs">menjadi jam 5.00 pagi</a>, terutama bagi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).</p>
<p>Gubernur NTT Viktor Laiskodat menyiratkan di tengah <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/11/30/banyak-siswa-sma-di-daerah-3t-tak-lancar-membaca-dan-berhitung">ketertinggalan sektor pendidikan</a> provinsi tersebut, langkah ini adalah upaya mendongkrak “<a href="https://news.detik.com/berita/d-6593664/masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt-tuai-kritik-ini-awal-mula-arahannya">etos kerja</a>” pelajar, hingga mempersiapkan mereka masuk perguruan tinggi top atau bahkan “<a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230228153740-20-918914/gubernur-ntt-hanya-dua-sma-di-kupang-yang-masuk-jam-5-pagi">menuju Universitas Harvard sekalipun</a>”. </p>
<p>Menurut Dinas Pendidikan NTT, kebijakan ini sudah langsung <a href="https://regional.kompas.com/read/2023/02/28/175737478/kontroversi-siswa-ntt-masuk-sekolah-jam-5-pagi-kadis-pendidikan-sebut-masih?page=all">diuji coba</a> di sepuluh sekolah – meski kemudian direvisi <a href="https://tekno.tempo.co/read/1697343/aturan-siswa-masuk-jam-5-pagi-diprotes-disdik-ntt-cuma-ubah-ke-5-30-pagi">menjadi jam 5.30 pagi</a>. Di antaranya di <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/28/132500465/alasan-pemprov-ntt-terapkan-masuk-sekolah-pukul-5-pagi">SMAN 1</a> dan <a href="https://www.tribunnews.com/regional/2023/02/28/viral-siswa-sman-6-kota-kupang-sudah-tiba-di-sekolah-pukul-5-pagi-terapkan-kebijakan-gubernur-ntt">SMAN 6 Kupang</a>.</p>
<p>Namun, banyak pihak telah mengkritik kebijakan ini, termasuk akademisi, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/14054591/soal-sekolah-pukul-0500-di-ntt-pimpinan-komisi-x-minta-pemprov-praktikkan">politikus</a>, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1697048/serikat-guru-indonesia-kritik-kebijakan-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt">serikat guru</a>, <a href="https://kupang.tribunnews.com/2023/02/28/ketua-lpa-ntt-tolak-tegas-kebjakan-siswa-masuk-sekolah-jam-5-pagi?page=all">lembaga perlindungan anak</a>, dan bahkan orang tua serta pelajar. Mereka menganggap perumusan kebijakan ini tak hanya minim <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/15382341/anak-sma-smk-ntt-masuk-pukul-0500-pagi-anggota-dpr-jangan-jadikan-murid">deliberasi dan partisipasi</a> masyarakat, namun juga dibuat secara terburu-buru dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230228194449-20-919055/p2g-soal-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt-ditertawakan-dunia">tanpa kajian akademik</a> yang jelas.</p>
<p>Senada dengan kritik yang beredar, kami berpendapat bahwa konsep masuk sekolah pagi dengan narasi ala pemerintah NTT perlu juga dibangun di atas konsep medis dan pendidikan.</p>
<p>Beberapa pertanyaan mendasar yang perlu mereka jawab, misalnya, adalah bagaimana seharusnya jam sekolah diatur? Apa kata sains terkait jam tidur pelajar dan capaian akademik mereka?</p>
<p>Jika pemerintah NTT gagal mempertimbangkan hal-hal di atas, alih-alih mendongkrak capaian pendidikan, kebijakan ini justru bisa mengancam kesehatan remaja NTT serta kesejahteraan mereka dalam menempuh pendidikan.</p>
<h2>Kebutuhan jam tidur remaja</h2>
<p>Mengingat penetapan jam sekolah adalah domain kebijakan publik, maka hal ini perlu berlandaskan pemahaman terkait kebutuhan anak dan remaja dari berbagai sisi. Berkaca dari literatur yang ada, kami berpandangan bahwa masuk sekolah pada pukul 5 pagi mengancam kesehatan, kebutuhan tidur remaja, serta kemampuan kognitif.</p>
<p>Dalam menimbang kebutuhan tidur, misalnya, penting untuk memahami bahwa setiap manusia memiliki jam biologis, atau biasa disebut dengan “ritme sirkadian” (<em>circadian rythm</em>).</p>
<p>Bukti sistematis ini pun telah diuraikan secara mendalam oleh para pemenang Hadiah Nobel Kedokteran 2017 yakni <a href="https://www.nobelprize.org/uploads/2018/06/advanced-medicineprize2017.pdf">Jeffrey C. Hall, Michael Rosbash, dan Michael W. Young</a>. Riset-riset mereka membuktikan adanya mekanisme biokimia yang mengontrol ritme fisiologis makhluk hidup – kapan mengantuk hingga kapan tubuh terjaga penuh – sesuai stimulus lingkungan dan cahaya.</p>
<p>Matthew Walker, profesor neurosains di University of California, Berkeley di Amerika Serikar (AS) juga mengangkat tentang peran ritme sirkadian ini dalam bukunya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/34466963-why-we-sleep"><em>Why We Sleep: The New Science of Sleep and Dreams</em> (2017)</a> yang membahas alasan ilmiah mengapa tidur itu penting.</p>
<p>Dalam konteks remaja usia SMA, secara biologis mereka tengah memasuki usia pubertas yang dinamis. Kelompok ini memiliki tantangan besar karena harus berjuang keras untuk bangun pada pagi hari. Riset menunjukkan bahwa ketika anak muda mulai pubertas, jam biologis mereka bergeser; mereka biasanya <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17383934/">cenderung tidur lebih larut akibat pergeseran ritme biologis</a>.</p>
<p>Perubahan ritme biologis dan waktu tidur tak teratur ini, ditambah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25444442/">hal-hal yang umum terjadi pada periode remaja</a> – termasuk penggunaan gawai, tuntutan mengerjakan PR, hingga kebutuhan hiburan televisi dan film – menyebabkan waktu tidur mereka kian menipis. Sebagaimana yang diungkap <a href="https://www.thecrimson.com/article/2022/10/17/sleep-study-article/">studi Universitas Harvard di AS</a>, dinamika ini menyulitkan remaja untuk mendapatkan tidur berkualitas dan rutin tiap malam.</p>
<p><a href="https://aasm.org/">American Academy of Sleep Medicine</a> dan <a href="https://www.cdc.gov/">Centers for Disease Control and Prevention (CDC)</a> di AS, misalnya, merekomendasikan remaja berusia 13-18 tahun untuk <a href="https://www.cdc.gov/healthyschools/features/students-sleep.htm">tidur secara teratur 8-10 jam per hari demi kesehatan yang baik</a>. </p>
<p>Remaja yang kurang tidur lebih mungkin mengalami gangguan metabolisme dan berkorelasi dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22530111/">kelebihan berat badan</a>, kesulitan melakukan aktivitas fisik sehari-hari, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4824552/#R4">gejala depresi, keterlibatan dalam perilaku berisiko yang tidak sehat seperti kecanduan alkohol, merokok tembakau, menyalahgunakan obat-obatan terlarang</a>, serta prestasi buruk di sekolah. </p>
<h2>Jadwal sekolah yang ideal</h2>
<p>Secara global, para ahli mengatakan bahwa jam mulai sekolah adalah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18849051/">hal utama yang menentukan pola bangun tidur siswa</a>. Itulah mengapa, misalnya, siswa umumnya tidur lebih lama dengan rerata 1-2 jam pada hari libur – atau dalam konteks penganut agama Islam, punya waktu tidur tambahan selepas salat subuh.</p>
<p>Implikasinya, jam sekolah wajib mempertimbangkan dinamika remaja usia SMA.</p>
<p>Epidemiolog di CDC, Anne Wheaton beserta timnya melakukan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4824552/">analisis sistematis (<em>systematic review</em>) atas 38 penelitian</a> terkait kebijakan jadwal sekolah dan dampaknya pada remaja. Secara umum, ada kesepakatan dari para peneliti bahwa jam sekolah ideal itu mulai lebih telat – misalnya sekitar jam 8.30 atau 9.00 pagi. Hal ini memberikan waktu bagi remaja SMA agar tidur dengan layak dan bahkan punya waktu cukup untuk sarapan pagi, serta melakukan persiapan yang baik untuk sekolah.</p>
<p>Hal di atas juga menjadi alasan banyak negara, dari Australia hingga negara-negara Skandinavia, memulai sekolah SMA pada <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4824552/#R4">jam 8.30 ke atas</a>. Meski di Amerika Serikat sedikit lebih awal – kebanyakan sekolah mulai pukul 8.00 pagi – <a href="https://www.sleepfoundation.org/school-and-sleep/later-school-start-times">Perhimpunan Dokter Anak Amerika</a> secara tegas menyarankan sekolah mulai minimal pukul 8.30 pagi.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnhum.2017.00588/full">Uji coba lain di Inggris</a> yang terstruktur selama periode empat tahun (2010-2014) menemukan bahwa memindahkan waktu masuk sekolah dari standar waktu jam 9.00 ke jam 10 pagi (pulang jam 14.00) menghasilkan kenaikan sebesar 12% dalam capaian akademik siswa.</p>
<p>Secara umum, riset di atas juga menunjukkan bahwa jam masuk sekolah yang lebih siang berkaitan dengan naiknya tingkat kehadiran di sekolah, lebih sedikitnya keterlambatan, lebih sedikit anak yang tertidur di kelas, nilai lebih baik, dan lebih sedikit kecelakaan kendaraan bermotor.</p>
<p>Tapi tak hanya itu, dampak dari jam mulai sekolah yang terlalu pagi, seperti kebijakan baru dari pemerintah NTT, berisiko secara sistematis bukan hanya untuk murid.</p>
<p>Para guru perkotaan yang memiliki keluarga kecil dengan anak usia dini dan usia sekolah tanpa dukungan sosial yang memadai, tidak kalah sengsaranya. Guru-guru dan orang tua akan kehilangan waktu tidur dan mesti bangun lebih awal beberapa jam untuk mempersiapkan anak-anaknya dan keluarganya – ini pun juga <a href="https://theconversation.com/sleeping-longer-than-6-5-hours-a-night-associated-with-cognitive-decline-according-to-research-whats-really-going-on-here-170989">bisa mengancam kesehatan mereka</a> pada masa tua.</p>
<p>Seperti kata pepatah, “<em>the road to hell is paved with good intentions</em>” (“jalan menuju neraka dibangun dengan niat baik”). Meski tujuan pemerintah NTT adalah meningkatkan capaian akademik siswa, kebijakan yang asal dibuat tanpa mempertimbangkan kajian tentang kebutuhan remaja justru akan menjerumuskan mereka dalam ancaman kesehatan dan kemunduran pendidikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200847/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para ahli sepakat bahwa jam masuk sekolah SMA yang ideal minimal pukul 8.30. Bahkan, di Inggris, menggeser waktu masuk sekolah ke jam 10.00 pagi dapat meningkatkan kualitas belajar siswa sebesar 12%.Hermina Manlea, Researcher in Science Education, The University of Western AustraliaJonatan A Lassa, Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, Charles Darwin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1949192022-11-25T02:32:13Z2022-11-25T02:32:13ZIngin perbaiki kualitas pengajaran? Kuncinya amati interaksi guru dan murid langsung di ruang kelas<p>Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim awal tahun ini memaparkan <a href="https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6011380/nadiem-ungkap-rapor-pendidikan-indonesia-hasil-asesmen-nasional-ini-hasilnya">hasil Asesmen Nasional 2021</a> – sistem evaluasi capaian dan kualitas pembelajaran yang menggantikan Ujian Nasional (UN). Hasilnya, dari 6,5 juta murid kelas 5, 8, dan 11 yang terlibat, separuh berkompetensi literasi kurang dan dua pertiga berkemampuan numerasi rendah.</p>
<p>Asesmen baru ini tentu menawarkan cara baru mengevaluasi capaian murid dan kualitas pengajaran guru di Indonesia dengan meninjau <a href="https://tirto.id/apa-itu-asesmen-nasional-an-arti-waktu-pelaksanaan-macam-tes-f9sn">beragam faktor penting</a>. Ini termasuk pengukuran kompetensi dasar dan karakter siswa hingga survei terkait lingkungan belajar mereka.</p>
<p>Sayangnya, satu hal yang jarang masuk dalam instrumen asesmen seperti ini, meski sangat penting, adalah observasi belajar-mengajar langsung di ruang kelas.</p>
<p>Padahal, <a href="https://econpapers.repec.org/article/eeeecoedu/v_3a30_3ay_3a2011_3ai_3a3_3ap_3a559-574.htm">penelitian di Pakistan</a> menemukan bahwa hasil pengamatan langsung atas proses pengajaran justru lebih penting dalam meningkatkan prestasi murid – bahkan lebih berpengaruh ketimbang karakter dan kualifikasi guru seperti sertifikasi, umur, dan pendidikan mereka.</p>
<p>Seperti apa sistem observasi kelas ini, dan bagaimana pembuat kebijakan bisa menerapkannya untuk meningkatkan kualitas pengajaran di Indonesia?</p>
<h2>Observasi guru dan murid di kelas</h2>
<p>Di dunia pendidikan global, beberapa instrumen telah dikembangkan untuk observasi kelas. Pada awal 2022, misalnya, program Research on Improving Systems of Education (RISE) Internasional <a href="https://riseprogramme.org/publications/identifying-effective-teachers-highlights-four-classroom-observation-tools">menyusun beberapa indikator</a> – termasuk perilaku guru, penggunaan materi dan fasilitas kelas, interaksi dan dukungan emosional, hingga budaya kelas – untuk mengamati guru dan teknik mengajar seperti apa yang efektif.</p>
<p>Para peneliti mengamati faktor-faktor tersebut pada 106 sekolah di Tanzania. </p>
<p>Mereka menemukan bahwa indikator-indikator tersebut bisa menangkap beberapa aspek kualitas pengajaran guru yang dapat berpengaruh pada capaian belajar murid. Hal-hal ini bisa jadi tidak akan tertangkap dalam asesmen biasa yang tidak melibatkan observasi kelas.</p>
<p>Misalnya, studi menemukan bahwa bagi guru dengan penguasaan materi yang sudah baik, mengasah teknik mengajar mereka bisa membuat murid meraih skor ujian tinggi. Namun, bagi mereka yang penguasaannnya rendah, prioritasnya adalah memperbaiki penguasaan materi terlebih dulu serta meningkatkan jam terbang di kelas, sebelum teknik mengajar mereka bisa berdampak pada capaian siswa.</p>
<p>Mengingat pentingnya observasi kelas semacam ini, kami di program <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/tr_cerdasrise_en.pdf">RISE Indonesia</a> menyusun pedoman serupa dengan yang diterapkan di Tanzania, bernama <em>Classroom Observation Tool for Assessing the Dimensions of Teaching Practices</em> (CERDAS).</p>
<p>CERDAS memetakan pola mengajar guru, terutama di tingkat dasar (SD). Desainnya merujuk pada prinsip-prinsip dalam <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/15035/1/08.-Supervisi-dan-PK-Guru_26042019.pdf">alat evaluasi guru nasional</a> dan beberapa <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/215241598376994051/pdf/Identifying-Effective-Teachers-Lessons-from-Four-Classroom-Observation-Tools.pdf">instrumen observasi di negara lain</a>.</p>
<p>Penilaian CERDAS terbagi dalam tiga tahap observasi pembelajaran, yakni saat memperkenalkan materi, inti pelajaran, dan penutup. Pengamatan dilakukan beberapa kali dengan tiap jendela observasi 1-2 jam dengan menanyakan 4 poin penting: 1) sejauh mana guru menerapkan struktur pembelajaran; 2) bagaimana jenis interaksi guru dan murid; 3) seperti apa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru; dan 4) seperti apa suasana kelas yang terjadi. </p>
<p>Dalam <a href="https://riseprogramme.org/sites/default/files/2022-05/Pre-Service%20Teachers%20Selectivity.pdf">salah satu studi RISE Indonesia</a>, misalnya, kami memakai instrumen CERDAS untuk mengevaluasi kinerja 114 kandidat guru dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang mengajar kelas 1-6, ditambah data terkait capaian akademik mereka.</p>
<p>Hasilnya, sepertiga guru dengan nilai seleksi PPG terbaik (nilai tes masuk <em>online</em>, nilai wawancara, dan IPK S1) belum tentu melakukan praktik pengajaran yang baik dalam mendukung pembelajaran. </p>
<p>Kami juga mendapatkan beberapa wawasan menarik. Salah satunya, praktik pengajaran sepertiga guru dengan nilai teratas dan sepertiga guru dengan nilai terbawah, ternyata relatif sama. Kurikulum yang terlampau padat membuat semua guru mempunyai ruang terbatas untuk mengeksplorasi teknik mengajar yang baik – hal penting yang bisa menjadi evaluasi kebijakan pendidikan di Indonesia.</p>
<h2>Observasi kelas sebagai pusat manajemen pengajaran</h2>
<p>Kami merekomendasikan agar sistem observasi kelas menjadi pusat manajemen perbaikan mutu pengajaran di Indonesia. Untuk itu, observasi kelas perlu menjadi kegiatan rutin dan berkala.</p>
<p>Bagaimana teknis pelaksanaan dan pemanfatannya?</p>
<p>Beberapa contoh yang bisa sekolah terapkan, misalnya, adalah memasang CCTV dan perekam suara di beberapa kelas yang menjadi ruang observasi.</p>
<p>Tentu demi transparansi dan privasi, keberadaan dan tujuan pemasangan alat ini harus diketahui semua guru – tapi tanpa memberi tahu mereka kapan observasi akan berlangsung. Tujuannya adalah untuk menghindari <a href="https://www.investopedia.com/terms/h/hawthorne-effect.asp">‘efek Hawthorne’</a>. Guru yang mengetahui bahwa ia sedang diobservasi, justru bisa sengaja mengubah perilakunya dan bertindak tidak alami.</p>
<p>Setelah semua sarana dan prasarana observasi terpasang, kepala sekolah atau tim evaluasi mengobservasi semua guru minimal sebulan sekali.</p>
<p>Segera setelah observasi kelas, kepala sekolah membahas kekuatan dan kelemahan pengajaran bersama guru yang bersangkutan. Dengan itu, sekolah dapat memberikan saran perbaikan, bantuan, atau pelatihan kepada guru.</p>
<p>Di samping itu, setiap bulan sekolah mengadakan pertemuan dengan semua guru untuk mendengar pemaparan dan membahas informasi hasil seluruh observasi. Pertemuan bulanan ini merupakan forum pembelajaran bersama yang bertujuan mendorong guru memperbaiki diri sendiri.</p>
<p>Akumulasi data hasil observasi kelas di berbagai sekolah juga dapat dipakai oleh dinas pendidikan daerah atau tim riset di lembaga penelitian atau universitas untuk memperkuat kebijakan pendidikan berbasis bukti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun bisa memanfaatkan akumulasi data daerah untuk melengkapi informasi hasil Asesmen Nasional.</p>
<p>Tak hanya itu, hasil observasi kelas dapat pula dijadikan materi kuliah calon guru di universitas keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, atau LPTK) dan peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai bahan persiapan mereka sebelum melakukan latihan praktik mengajar.</p>
<h2>Upaya perbaikan mutu pengajaran perlu gotong royong</h2>
<p>Membangun budaya observasi kelas sebagai bagian kunci dalam manajemen pengajaran adalah kerja besar, yang butuh biaya besar pula.</p>
<p>Namun, dinamika di ruang kelas sangat penting untuk kita pelajari karena merupakan ‘tempat kejadian perkara’ yang sangat menentukan kualitas pembelajaran.</p>
<p>Kemendikbudristek tentu bertanggung jawab untuk mengawasi dan memperbaiki mutu pengajaran ini. Namun, mereka tidak bisa bekerja sendiri, terlebih setelah Badan Penelitian dan Pengembangannya (Balitbang) terserap ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhir tahun lalu. </p>
<p>Pelaksanaan asesmen observasi kelas secara nasional membutuhkan gotong royong dari kementerian, BRIN, universitas keguruan, hingga dinas pendidikan daerah.</p>
<p>Kemendikbudristek kemudian bisa mengelola hasilnya menjadi bahan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan terkait pembelajaran, guru, dan sekolah. Mengevaluasi data interaksi guru-murid secara rutin dan berkala akan membantu sekolah dan segenap pemangku kepentingan pendidikan memperbaiki capaian edukasi di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194919/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dinamika di ruang kelas sangat penting untuk kita pelajari karena merupakan ‘tempat kejadian perkara’ yang sangat menentukan kualitas pembelajaran.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteAsri Yusrina, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1870962022-07-16T09:09:14Z2022-07-16T09:09:14ZApakah Anda berencana memberi hadiah kepada guru sebagai rasa terima kasih? Pahami beberapa hal ini supaya tetap etis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/474294/original/file-20220715-24-jz52nt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Banyak dari kita kini memberi apresiasi tinggi terhadap kerja keras para guru dan tenaga pengajar di tengah berbagai tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Seringkali, kita ingin memberi mereka hadiah untuk menunjukkan apresiasi tersebut, atau sebagai rasa terima kasih sudah mengajar anak kita dengan baik.</p>
<p>Tapi, kado seperti apa yang bisa menunjukkan perasaan ini, namun tidak melanggar batasan etika antara orang tua murid dengan guru?</p>
<h2>Gratifikasi: bagaimana sih aturan pemberian hadiah?</h2>
<p>Beberapa konsep etika penting yang harus Anda pahami saat memberi kado kepada seorang guru adalah apakah hal ini bisa memengaruhi kinerja mereka atau menimbulkan konflik kepentingan – entah itu <a href="https://www.vit.vic.edu.au/__data/assets/pdf_file/0008/104948/Gifts-benefits-and-hospitality-policy.pdf">hanya perasaan saja, benar-benar berpotensi, ataupun memang telah terjadi</a>.</p>
<p>Persepsi publik mengenai pemberian kado tersebut juga penting. Dalam berbagai <a href="https://www.qcaa.qld.edu.au/downloads/about/qcaa_policy_gifts_benefits.pdf">kebijakan etika dan aturan</a>, hal ini bisa dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya, apakah kado ini diberikan secara diam-diam, seperti apa hubungan antara sang pemberi dan penerima kado, serta seberapa besar/mahal atau seberapa sering pemberian ini dilakukan.</p>
<p>Guru memang profesi yang tidak bisa lepas dari <a href="https://cdn.qct.edu.au/pdf/Promotion_TPQ.pdf">persepsi dan opini publik</a> – hampir semua orang pernah merasakan bangku pendidikan, dan oleh karenanya mereka punya opini tentang guru. Namun, kerap kali terjadi paradoks: seseorang bisa sangat apresiatif dalam memandang guru yang mengajar anak-anak mereka, tapi di sisi lain mereka punya pandangan yang berbeda, dan terkadang lebih kritis, tentang profesi pengajar.</p>
<p>Ini berarti bahwa kita sebaiknya mencari hadiah, cendera mata, atau bentuk rasa terima kasih apapun yang tidak mudah disalahartikan sebagai bentuk <a href="https://www.vit.vic.edu.au/professional-responsibilities/conduct-and-ethics">‘sogokan’ untuk mendapat perlakuan tertentu</a>, misalnya agar guru tersebut memberikan nilai bagus untuk anak Anda.</p>
<p>Setiap hadiah dan pemberian dapat berisiko terhadap reputasi seorang guru. Itulah kenapa uang atau benda yang mudah ditukar dengan uang (seperti saham) umumnya dilarang. Orang tua sebaiknya berhati-hati untuk tidak menghadiahi uang pada guru, seperti untuk makan-makan, atau memberikan kado perhiasan yang mahal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/guru-makin-sejahtera-di-era-desentralisasi-tapi-tidak-berdampak-pada-kualitas-pendidikan-86000">Guru makin sejahtera di era desentralisasi, tapi tidak berdampak pada kualitas pendidikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Di Australia, negara tempat saya saat ini mengajarkan etika, setiap negara bagian dan wilayah punya kebijakannya masing-masing terkait etika pemberian hadiah dan hibah.</p>
<p>Di negara bagian Tasmania, sebuah kado harus bernilai <a href="https://publicdocumentcentre.education.tas.gov.au/library/Document%20Centre/Gifts-Benefits-and-Hospitality-Policy.pdf">kurang dari A$100</a> (sekitar Rp 1 juta). Para guru pun harus melapor pada kepala departemen mereka dan Kepolisian Tasmania jika ditawari hadiah uang. Di <a href="https://policies.education.nsw.gov.au/policy-library/policies/code-of-conduct-policy/DoE-Gifts-Benefits-Hospitality-procedures-2020.pdf">New South Wales (NSW)</a>, guru harus secara sopan menolak hadiah yang nilainya lebih dari A$50 (sekitar Rp 500 ribu). Jika ingin menerimanya, mereka harus mengajukan izin khusus.</p>
<p>Di Queensland, guru harus mengungkapkan sebagian besar hadiah yang mereka terima melalui sebuah formulir. Hadiah-hadiah tersebut harus disetujui sekolah dan tercatat dalam daftar hibah publik. Hadiah yang melebihi A$150 (sekitar 1,5 juta) juga harus melalui uji evaluasi kepatutan – dan biasanya yang nilainya <a href="https://www.qcaa.qld.edu.au/downloads/about/qcaa_policy_gifts_benefits.pdf">melebihi A$350 (sekitar 3,5 juta)</a> hampir pasti tidak lolos.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Many books." src="https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"><em>Voucher</em> buku yang tidak bisa diubah jadi uang adalah ide yang bagus untuk hadiah guru.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/many-old-books-book-shop-library-269516258">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kemudian, di <a href="http://det.wa.edu.au/policies/detcms/policy-planning-and-accountability/policies-framework/policies/acceptance-and-provision-of-gifts-policy-and-procedures.en?cat-id=3457081">Australia Barat</a>, seorang guru bisa menerima hadiah kecil yang nilainya kurang dari A$100 (sekitar 1 juta) – seperti coklat, bunga, <em>wine</em> (minuman anggur beralkohol), atau perhiasan sederhana – tanpa perlu mengungkapkannya kepada aparat atau departemen. Hadiah lain seperti barang habis pakai (konser tiker) atau properti (<em>smartphone</em>, komputer) harus mereka ungkapkan, daftarkan, dan kemudian disetujui oleh kepala sekolah atau direktur institusi pendidikan. Hadiah di atas A$1.000 (lebih dari 10 juta) tidak boleh mereka ambil untuk kepentingan pribadi.</p>
<p>Sementara itu, di Victoria, “kado apresiasi” untuk guru yang nilainya kurang dari A$100 (sekitar 1 juta) dari orang tua atau wali murid bisa mereka terima dan <a href="https://www.education.vic.gov.au/Documents/about/department/DET-gifts-benefits-hospitality-policy.pdf">tidak harus dilaporkan</a>.</p>
<h2>Jadi, apa yang bisa saya beri untuk guru?</h2>
<p>Beberapa pertanyaan yang harus Anda tanya kepada diri sendiri sebelum memberikan hadiah adalah:</p>
<ul>
<li><p>Apakah saya yakin bahwa hadiah ini murni bentuk rasa terima kasih dan apresiasi saya terhadap kinerja apik seorang guru yang sudah selesai mengajar (misalnya di akhir semester), dan saya benar-benar tidak punya ekspektasi apapun, seperti pengakuan publik atau balas jasa?</p></li>
<li><p>Apakah hadiah saya berlebihan atau bisa dianggap tidak pantas?</p></li>
<li><p>Apakah hadiah saya bisa ditukar dengan uang?</p></li>
<li><p>Apakah saya punya kebiasaan memberikan hadiah kepada guru tersebut? Jika iya, hitunglah total nilai dari hadiah-hadiah yang telah Anda berikan. Pastikan nilainya tidak berlebihan atau berpotensi memberi tekanan pada guru untuk memberikan perlakuan khusus kepada Anda atau anak Anda.</p></li>
</ul>
<p>Beberapa ide hadiah yang cukup etis adalah:</p>
<ul>
<li><p>Buku favorit Anda, atau suatu <em>voucher</em> buku yang <a href="https://www.fairtrading.nsw.gov.au/buying-products-and-services/ways-to-shop-and-pay/gift-cards-and-vouchers">tidak bisa ditukar dengan uang</a></p></li>
<li><p>Sebuah dasi, syal, atau aksesoris pakaian yang tidak mahal dan sederhana</p></li>
<li><p>Pena terukir (<em>engraved pen</em>), lilin beraroma atau pewangi ruangan, buku agenda, atau barang antik kecil, tentu selama harganya tidak berlebihan</p></li>
<li><p>Memberikan <a href="https://theconversation.com/feeling-pressured-to-buy-christmas-presents-read-this-and-think-twice-before-buying-candles-150174">kado yang Anda dapat dari orang lain (<em>regifting</em>)</a> yang kualitasnya masih baik, membuat kartu ucapan terima kasih bersama anak Anda, atau memberi satu pot kecil tanaman</p></li>
<li><p>Patungan dengan keluarga murid yang lain untuk hadiah yang lebih besar. Di Victoria, misalnya, suatu kado yang bernilai lebih dari A$500 (sekitar Rp 5 juta) bisa disetujui <a href="https://www.education.vic.gov.au/Documents/about/department/DET-gifts-benefits-hospitality-policy.pdf">jika diberikan oleh beberapa murid atau wali mereka secara bersama-sama</a>. Di Australia Barat, guru bisa menerima <a href="http://det.wa.edu.au/policies/detcms/policy-planning-and-accountability/policies-framework/policies/acceptance-and-provision-of-gifts-policy-and-procedures.en?cat-id=3457081">hadiah wisata atau liburan</a> sebagai kado perpisahan dari sekumpulan murid yang akan lulus. Selama guru tersebut memenuhi persyaratan pengungkapan dan disetujui secara internal, mereka bahkan bisa memanfaatkan hadiah tersebut sebagai suatu liburan personal tanpa harus meminta kembali izin cuti perjalanan</p></li>
<li><p>Membuat donasi atas nama guru tersebut. Di NSW, <a href="https://policies.education.nsw.gov.au/policy-library/policies/sponsorship-policy/PD-2005-0295-02-SponsProc.pdf">donasi uang dengan jumlah yang besar</a>, seperti A$1.000 (Rp 10 juta) untuk sumber daya perpustakaan atau perlengkapan taman bermain, adalah praktik yang diterima. Tapi, tentu konsultasikan dulu dengan sekolah Anda tentang proses donasi tersebut</p></li>
<li><p>Jika Anda tahu bahwa guru tersebut punya minat khusus terhadap, misalnya, konservasi lingkungan, kesetaraan akses pendidikan untuk perempuan, atau nasib anak-anak di wilayah konflik, Anda bisa memberi donasi pada lembaga amal atau filantropi yang terpercaya, atas nama mereka</p></li>
</ul>
<p>Beberapa departemen pendidikan di Australia juga <a href="https://www.education.sa.gov.au/webforms/thanked">mengajak murid dan orang tua</a> untuk mengungkapkan terima kasih secara publik pada guru mereka melalui suatu formulir daring.</p>
<p>Perimbangan etika terakhir adalah dari mana asal dari kado tersebut. Maksudnya, apakah hadiah tersebut diproduksi secara etis, dengan upah pekerja yang layak? Apakah bisa didaur ulang atau telagh dibuat secara berkelanjutan? Apakah produsen barang tersebut mendukung industri atau seniman lokal?</p>
<p>Jika Anda berkeinginan untuk menunjukkan apresiasi pada guru anak Anda, langkah terbaik bisa jadi menanyakan saja apa yang mereka perlukan, atau apa yang dibutuhkan sekolah mereka, untuk memastikan bahwa mereka bisa benar-benar menikmatinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187096/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Daniella J. Forster tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada berbagai aturan yang mengatur etika pemberian hadiah pada guru yang mengajar anak Anda. Tapi, ada beberapa prinsip utama yang harus tetap Anda perhatikan.Daniella J. Forster, Senior Lecturer, Educational ethics and philosophies, University of NewcastleLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1836732022-06-13T14:18:48Z2022-06-13T14:18:48Z‘Generation invisible’: psikologi jelaskan mengapa banyak pelajar mematikan kamera saat kuliah daring<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/468394/original/file-20220613-20-4c63ub.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/190784293@N05/50861818658">(Flickr/Ryan Lee)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Sejak pembelajaran daring di Indonesia <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13549839.2020.1811960">berlangsung dua tahun lalu</a>, proses dan target belajar dicapai melalui penggunaan internet. Siswa maupun guru mengaksesnya dengan perangkat elektronik melalui beragam platform seperti Microsoft Teams, Zoom Meetings, dan Google Meet.</p>
<p>Sebagai konsekuensi dari penggunaan platform-platform ini, ada berbagai kendala yang kerap kali muncul, di antaranya kurangnya interaksi langsung di antara guru dan siswa.</p>
<p>Banyak siswa di seluruh dunia, misalnya, enggan mengaktifkan fitur kameranya sehingga kehadiran mereka dalam kelas daring tidak terlihat. Dalam <a href="https://www.mdpi.com/2071-1050/13/8/4381">rangkaian studinya</a> pada 2021, peneliti Vasile Gherhes dari Romania menyebut ini dengan istilah “<em>generation invisible</em>”.</p>
<p>Hal tersebut membuat pengajar kesulitan berinteraksi dalam kelas dan membuatnya seperti sedang berbicara sendiri atau “mengajar kepada tembok”. Bagi guru, mengajar di depan layar kosong juga dapat mengecilkan hati mereka karena <a href="https://doi.org/10.1080/0142159X.2021.1873258">tidak dapat melihat isyarat visual</a> yang biasanya mengindikasikan perhatian dan pemahaman siswa.</p>
<p>Lalu, mengapa sebagian besar siswa sangat berat rasanya untuk mengaktifkan kameranya?</p>
<h2>Efek lampu sorot yang penuh dengan tekanan</h2>
<p>Ada setidaknya dua penjabaran berdasarkan ilmu psikologi yang dapat menjelaskan mengapa siswa enggan muncul di depan kamera.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, menyalakan kamera dalam kelas daring memicu persepsi ‘<a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1111/1467-8721.00039"><em>spotlight effect</em>’</a>, yakni kepercayaan bahwa orang lain sedang memperhatikan dirinya lebih dari yang sebenarnya.</p>
<p>Dalam bahasa kekinian, istilah ini juga kerap dikenal dengan <a href="https://www.psychologytoday.com/ca/blog/the-desk-the-mental-health-lawyer/202005/virtual-platforms-are-helpful-tools-can-add-our-stress">‘<em>Zoom fatigue</em>’ </a>. Kamera yang menyala dianggap sebagai mata yang terus mengamati setiap gerak-gerik yang dilakukan, sehingga secara tidak sadar murid akan merasa perlu terus-menerus mengawasi ekspresi dan perilakunya di depan kamera. Ini terjadi karena melalui kelas daring, para siswa bisa melihat satu sama lain setiap saat, termasuk melihat dirinya sendiri.</p>
<p>Padahal, biasanya sebuah kelas diatur agar semua siswa <a href="https://doi.org//10.3390/su13063203">menghadap ke arah guru yang mengajar di depan kelas</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/468395/original/file-20220613-51858-5ofp41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Menyalakan kamera dalam kelas daring memicu persepsi ‘<em>spotlight effect</em>’.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://pxhere.com/en/photo/649330">(PxHere)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Lebih parahnya lagi, ketidaknyamanan juga dirasakan karena siswa <a href="https://doi.org/10.1016/j.ijedro.2021.100068">tidak bisa mengetahui siapa yang sedang memperhatikan dirinya</a>.</p>
<p>Bukan hanya itu, mengaktifkan kamera memungkinkan siswa untuk melihat dirinya sendiri ketika sedang berinteraksi – ini memaksa sistem psikisnya untuk bekerja ekstra dalam <a href="https://doi.org/10.1145/3025453.3025548">memonitor dirinya di saat yang sama dengan berkonsentrasi mendengarkan atau menyampaikan pendapat</a> .</p>
<p><strong>Kedua</strong>, masih berkaitan dengan argumen di atas, banyak siswa enggan karena mereka <a href="https://doi.org/10.3390/SU13063203">mempersepsikan menyalakan kamera sebagai hal yang opsional</a> – alias tidak wajib. Ketika menyalakan kamera justru dianggap tekanan, dan hal itu datang sebagai pilihan, maka menjauhkan diri dari pilihan tekanan itu adalah respons yang natural.</p>
<p>Di dalam kelompok, ketika beberapa orang mematikan kameranya saat kelas, hal ini dapat diikuti dengan beberapa orang lainnya. Kondisi tersebut kemudian membentuk norma di dalam kelompok. Ketika sebagian besar siswa mematikan kameranya, maka <a href="https://doi.org/10.1002/ECE3.7123">siswa lain cenderung mematikan kameranya juga</a>.</p>
<p>Di sisi lain, beberapa dari mereka merasa canggung untuk mengaktifkan kameranya ketika tidak ada orang lain yang melakukannya juga - suatu reaksi umum yang merefleksikan sifat konformitas di dalam kelompok. </p>
<h2>Menyalakan kamera: manfaat psikologis serta wujud etiket berkomunikasi</h2>
<p>Meski demikian, menyalakan kamera dalam kelas daring sebenarnya adalah hal yang penting bagi proses belajar mengajar.</p>
<p>Para ahli beranggapan bahwa menyalakan kamera di dalam kelas bermanfaat untuk mengurangi rasa kesepian dan mengembangkan profesionalitas digital.</p>
<p>Dalam sebuah <a href="https://doi.org/10.1080/0142159X.2021.1873258">studi tahun 2021</a>, tim peneliti dari Inggris memaparkan bahwa kamera yang mati berpotensi memunculkan perasaan kesepian bagi beberapa siswa. Sebaliknya, menyalakan kamera dapat memfasilitasi adanya rasa persahabatan dan komunitas.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1016/j.ijedro.2021.100079">Studi lain dari Amerika Serikat (AS)</a> juga menunjukkan bahwa kamera menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membuat koneksi dengan teman sebaya serta tetap mengikuti konten pelajaran dengan optimal. </p>
<p>Di sisi lain, mempertimbangkan bahwa komunikasi secara daring akan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0142159X.2021.1873258">tetap menjadi mode komunikasi setelah pandemi berakhir</a>, penting bagi individu untuk mulai membiasakan diri dalam berkomunikasi dan mempresentasikan diri di hadapan kamera.</p>
<p>Ini merupakan salah satu wujud sikap yang profesional serta dapat merefleksikan tanggung jawab dan etika dalam berkomunikasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/5-reasons-to-let-students-keep-their-cameras-off-during-zoom-classes-144111">5 reasons to let students keep their cameras off during Zoom classes</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengantisipasi <em>generation invisible</em></h2>
<p>Mengingat hal di atas, aktor-aktor pendidikan perlu menyusun strategi untuk mendorong siswa mengaktifkan kameranya.</p>
<p>Hal ini dapat dimulai dengan mengkomunikasikan pada siswa mengapa penting untuk menyalakan kamera, yaitu <a href="https://doi.org/10.1002/ECE3.7123">adanya nilai komunikasi non-verbal, meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, serta membangun hubungan dengan sesama warga kelas</a>.</p>
<p>Dengan imbauan yang jelas sejak awal tahun ajaran, sekolah dan guru <a href="https://doi.org/10.1002/ECE3.7123">dapat mendorong praktik menyalakan kamera sebagai norma</a> di dalam kelas. Harapannya, seluruh siswa menjadi tidak malu dan dapat berpartisipasi dalam kesepakatan ini.</p>
<p>Tentu ekspektasi ini perlu disampaikan secara berimbang. Guru dan sekolah perlu memberi ruang bagi siswa yang rentan mengalami kelelahan di pertemuan daring (<em>Zoom fatigue</em>). Oleh karenanya, daripada menyusun aturan yang keras agar siswa menyalakan kamera, strateginya perlu fokus pada menggugah kesadaran siswa.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/468397/original/file-20220613-8276-gfnonj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sekolah dan guru dapat mendorong praktik menyalakan kamera sebagai norma supaya seluruh siswa menjadi tidak malu dan dapat berpartisipasi dalam kesepakatan ini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/smgTvepind4">(Unsplash/Chris Montgomery)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dengan demikian, siswa mungkin dapat sesekali mematikan kameranya ketika merasa sangat lelah atau terdapat distraksi lingkungan, tanpa merasa khawatir akan dianggap melanggar aturan kelas.</p>
<p>Peneliti dari AS, <a href="https://doi.org/10.1002/ECE3.7123">Castelli dan Sarvary</a> mengusulkan pendekatan yang berpusat pada siswa; kebiasaan menyalakan kamera perlu didasarkan pada apa yang terbaik bagi pembelajaran siswa itu sendiri, bukan yang terbaik bagi sang guru.</p>
<p>Beberapa siswa, misalnya, mungkin memiliki alasan yang cukup sensitif yang membuatnya tidak nyaman untuk menyalakan kamera. Ini menjadi catatan penting bagi pengajar untuk tetap melibatkannya dalam aktivitas kelas.</p>
<p>Tapi, di sisi lain, guru perlu tetap menyeimbangkannya dengan kegiatan kelas yang menyenangkan dan interaktif – seperti menggunakan <em>polling</em>, diskusi dalam kelompok kecil, dan lainnya.</p>
<p>Dengan melibatkan siswa secara aktif, mereka <a href="https://doi.org/10.1002/ECE3.7123">tidak akan merasa bahwa semua orang sedang memperhatikannya sepanjang waktu</a>. </p>
<p>Fenomena ini tentu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pengajar. Yang menjadi poin penting bukanlah bagaimana mengajak sebanyak mungkin siswa untuk menyalakan kameranya, melainkan bagaimana pengajar bisa menciptakan suasana kelas yang senatural mungkin sehingga mendorong komunikasi dan partisipasi yang menyenangkan di ruang kelas. </p>
<hr>
<p><em>Wynne Devina, salah satu mahasiswa saya di Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183673/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Karel Karsten Himawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mengapa sebagian besar siswa sangat berat rasanya untuk mengaktifkan kamera saat kelas daring?Karel Karsten Himawan, Lecturer of Psychology, Universitas Pelita Harapan Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1789202022-03-10T11:30:36Z2022-03-10T11:30:36ZMahasiswa sering diminta menghindari Wikipedia untuk riset. Padahal, situs tersebut adalah sumber terpercaya<p>Pada awal setiap tahun akademik, kita sering menanyakan para mahasiswa baru suatu pertanyaan: siapa saja di antara kalian pernah diberitahu guru di sekolah agar tidak memakai Wikipedia?</p>
<p>Kemungkinan besar, banyak di antara mereka yang akan mengangkat tangan.</p>
<p>Padahal, ensiklopedia daring ini mengandung informasi yang instan, gratis, dan dapat diandalkan. Jadi kenapa banyak guru masih sangsi terhadap Wikipedia?</p>
<p>Wikipedia memiliki beragam kebijakan yang ditegakkan oleh komunitasnya terkait netralitas, reliabilitas, dan signifikansi. Ini berarti <a href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/92/Instructor_Basics_How_to_Use_Wikipedia_as_a_Teaching_Tool.pdf">seluruh informasi</a> “harus disajikan secara akurat dan tanpa bias”; sumbernya harus berasal dari pihak ketiga; dan suatu artikel Wikipedia harus punya signifikansi serta hanya dibuat jika sebelumnya telah ada “liputan pihak ketiga terkait topik ini dalam publikasi atau sumber yang terpercaya”.</p>
<p>Wikipedia juga bersifat gratis, nirlaba, dan telah <a href="https://wikimediafoundation.org/wikipedia20/">beroperasi selama lebih dari dua dekade</a>, membuatnya jadi suatu kisah sukses di internet.</p>
<p>Pada suatu era yang semakin susah untuk membedakan antara kebenaran dan informasi palsu, Wikipedia hadir sebagai alat yang aksesibel untuk mendukung proses cek fakta dan melawan misinformasi.</p>
<h2>Mengapa Wikipedia adalah sumber kredibel?</h2>
<p>Banyak guru mengatakan bahwa siapa pun dapat mengedit suatu halaman Wikipedia, tidak hanya ahli di bidang tersebut saja.</p>
<p>Tapi ini tidak membuat informasi di Wikipedia menjadi meragukan. Hampir mustahil, misalnya, bagi teori konspirasi untuk bertahan lama di Wikipedia.</p>
<p>Untuk artikel yang populer, komunitas daring Wikipedia yang berisi <a href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/92/Instructor_Basics_How_to_Use_Wikipedia_as_a_Teaching_Tool.pdf">relawan, administrator, dan <em>bot</em></a> memastikan bahwa pengeditan yang dilakukan berbasis sitasi dari sumber yang dapat diandalkan. Artikel yang populer biasanya diulas dan diperiksa hingga ribuan kali.</p>
<p>Beberapa pakar media, seperti Amy Bruckman, seorang profesor di Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat (AS), bahkan mengatakan bahwa suatu artikel Wikipedia yang melewati proses yang sangat ketat ini bisa jadi adalah <a href="https://au.pcmag.com/social-media/87504/wikipedia-the-most-reliable-source-on-the-internet">sumber informasi paling terpercaya</a> yang pernah ada.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1454764093576040451"}"></div></p>
<p>Artikel akademik di jurnal – sumber bukti ilmiah yang paling umum – biasanya hanya melalui <a href="https://theconversation.com/shifting-toward-open-peer-review-156043"><em>peer-review</em> (telaah sejawat) dari maksimal tiga orang</a> lalu tidak pernah diedit lagi.</p>
<p>Artikel di Wikipedia yang tidak melewati pengeditan yang terlalu banyak bisa jadi tidak se-kredibel artikel yang populer. Tapi, sangat mudah bagi kita untuk mengecek bagaimana suatu artikel di Wikipedia dibuat dan dimodifikasi.</p>
<p>Seluruh modifikasi dari suatu artikel terarsip dan dapat diakses di halaman <a href="https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Bird&action=history">“<em>history</em>” (riwayat)</a>. Perseteruan antara para editor terkait konten artikel tersebut juga tersimpan dalam halaman <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Talk:Bird">“<em>talk</em>” (pembicaraan)</a>.</p>
<p>Untuk menggunakan Wikipedia secara efektif, siswa perlu diajari bagaimana caranya menemukan dan menganalisis segmen-segmen tersebut dalam suatu artikel, sehingga mereka bisa dengan mudah mengevaluasi kredibilitas dari artikel tersebut.</p>
<h2>Apakah informasi di Wikipedia terlalu sederhana?</h2>
<p>Banyak guru juga mengatakan bahwa informasi di Wikipedia terlalu sederhana dan mendasar, terutama untuk level mahasiswa.</p>
<p>Argumen ini berasumsi bahwa seluruh proses cek-fakta harus melibatkan riset mendalam – tapi ini <a href="https://hapgood.us/2017/03/04/how-news-literacy-gets-the-web-wrong">bukanlah cara terbaik</a> untuk melakukan investigasi awal secara daring terkait suatu topik. Riset yang mendalam sebaiknya dilakukan nanti, ketika kita sudah memastikan validitas dari sumber tersebut.</p>
<p>Meski demikian, beberapa guru cukup khawatir jika siswa perlu diajarkan caranya mengevaluasi informasi secara kilat, yang bisa berarti secara dangkal.</p>
<p>Jika kita melihat kompetensi umum di Kurikulum Australia, ada poin “<a href="https://www.australiancurriculum.edu.au/f-10-curriculum/general-capabilities/critical-and-creative-thinking/">berpikir secara kritis dan kreatif</a>” yang mendorong kemampuan analisis secara luas dan mendalam. Tenaga pendidik yang menggabungkan antara literasi “kritis” dan “media” cenderung percaya bahwa analisis materi di internet harusnya dilakukan secara pelan dan teliti.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Primary school student writing on notepad with laptop open." src="https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Siswa perlu diajarkan caranya menggunakan halaman ‘talk’ (pembicaraan) dan ‘history’ (riwayat) di Wikipedia.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/kid-self-isolation-using-computor-his-1707140332">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tapi, realitanya kita saat ini hidup di suatu <a href="https://firstmonday.org/article/view/519/440">“ekonomi perhatian” (<em>attention economy</em>)</a> yakni saat semua orang dan semua hal di internet <a href="https://www.edsurge.com/news/2018-12-19-recalibrating-our-approach-to-misinformation">berlomba-lomba mendapatkan atensi kita</a>. Waktu kita sangatlah berharga, sehingga terjebak mendalami suatu konten daring yang kredibilitasnya meragukan, dan kemungkinan jatuh ke lubang misinformasi, menyia-nyiakan suatu komoditas yang mahal harganya – yakni perhatian dan tenaga kita.</p>
<h2>Wikipedia bisa mendukung literasi media yang lebih baik</h2>
<p>Riset menunjukkan bahwa anak-anak di Australia tidak mendapat pengajaran yang cukup dalam mengidentifikasi berita bohong.</p>
<p>Hanya <a href="https://theconversation.com/we-live-in-an-age-of-fake-news-but-australian-children-are-not-learning-enough-about-media-literacy-141371">satu dari lima</a> anak muda Australia pada 2020 melaporkan terlibat satu tahun terakhir dalam suatu kelas yang membantu mereka menentukan apakah suatu berita atau artikel dapat dipercaya.</p>
<p>Para pelajar jelas <a href="https://www.utas.edu.au/social-change/publications/insights/insight-five-media-literacy-in-australian-schools">membutuhkan lebih banyak pendidikan literasi media</a>, dan Wikipedia bisa jadi instrumen pembelajaran yang bagus.</p>
<p>Satu cara adalah menggunakannya untuk “<a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3048994"><em>lateral reading</em></a>” (membaca dan mencari informasi secara paralel). Artinya, saat menghadapi klaim yang meragukan di internet, siswa bisa segera membuka tab browser baru dan membaca lebih lanjut terkait topik tersebut dari sumber yang terpercaya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mendeteksi-berita-bohong-panduan-ahli-untuk-anak-muda-89098">Bagaimana mendeteksi berita bohong—panduan ahli untuk anak muda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Wikipedia adalah sumber daya yang tepat di ruang kelas untuk tujuan ini, bahkan untuk anak usia sekolah dasar (SD). Saat menemui informasi yang asing, siswa bisa diajak untuk mengakses halaman Wikipedia yang relevan untuk melakukan cek-fakta. Jika informasi asing tersebut tidak bisa diverifikasi, siswa bisa membuangnya.</p>
<p>Bagi yang sudah lebih lihai dalam melakukan verifikasi informasi, bisa juga <a href="https://www.huffpost.com/entry/opinion-fake-news-web-literacy-propaganda-fact-checkers_n_5c1812f5e4b0432554c332e3">langsung merujuk ke ke sumber-sumber kredibel</a> di bagian bawah tiap artikel Wikipedia.</p>
<p>Pada masa depan, kami berharap para mahasiswa baru masuk ke ruang kuliah kami dalam keadaan sudah memahami nilai dan manfaat dari Wikipedia. Jika terjadi, ini berarti bahwa suatu pergeseran budaya yang luas telah berhasil terjadi di tingkat sekolah dasar dan menengah.</p>
<p>Pada era krisis iklim dan pandemi, semua orang harus bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Wikipedia bisa jadi bagian dari solusi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178920/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rachel Cunneen menerima dana dari ACT Education Directorate; University of Canberra dan juga US Embassy di Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mathieu O'Neil menerima dana dari ACT Education Directorate; University of Canberra dan juga US Embassy di Australia. Ia terafiliasi dengan Digital Commons Policy Council. </span></em></p>Pada suatu era yang semakin susah untuk membedakan antara kebenaran dan informasi palsu, Wikipedia hadir sebagai alat yang aksesibel untuk mendukung proses cek fakta dan melawan misinformasi.Rachel Cunneen, Senior Lecturer in English and Literacy Education., University of CanberraMathieu O'Neil, Associate Professor of Communication, News and Media Research Centre, University of CanberraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1768952022-02-18T07:25:46Z2022-02-18T07:25:46ZTak hanya nasionalisme dan religiositas, budaya sekolah kunci sesungguhnya dari pendidikan karakter: begini cara memupuknya<p>Sejak lama, Indonesia menyerukan pentingnya pendidikan karakter.</p>
<p>Indonesia memiliki Peraturan Presiden tahun 2017 tentang <a href="https://setkab.go.id/wp-content/uploads/2017/09/Perpres_Nomor_87_Tahun_2017.pdf">Penguatan Pendidikan Karakter</a>. Aspek ini juga masuk dalam <a href="https://theconversation.com/bagaimana-desain-ideal-tes-pengganti-un-yang-diusung-menteri-nadiem-akademisi-berpendapat-130059">Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a> yang digagas Kementerian Pendidikan (Kemendkbud-Ristek) untuk menggantikan Ujian Nasional (UN).</p>
<p>Namun, saat membicarakan pendidikan karakter, kita sering bertumpu pada dimensi <a href="https://asumsi.co/post/6471/pemerintah-wajibkan-kampus-negeri-putar-indonesia-raya-hari-selasa-dan-kamis-kenapa">nasionalisme</a> dan <a href="https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/penguatan-pendidikan-karakter-melalui-pendidikan-agama-di-sekolah-menimbang-jumlah-hari-sekolah">religiositas</a> saja.</p>
<p>Prioritas sekolah yang menggebu-gebu pada kedua hal tersebut dapat mengabaikan aspek lain yang mempunyai kaitan lebih erat dengan pendidikan karakter – yakni <a href="https://theconversation.com/darurat-mutu-pembelajaran-mengapa-wali-murid-jarang-protes-ke-sekolah-dan-pemerintah-110030">budaya sekolah sebagai organisasi akademis penentu kinerja pembelajaran</a> – yang di Indonesia kualitasnya masih buruk.</p>
<p>Kemendikbud-Ristek melalui <a href="https://mutudidik.files.wordpress.com/2017/02/konsep-dan-pedoman-ppk.pdf">Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter</a> juga mengamanatkan bahwa pendidikan karakter tak boleh lepas dari penguatan lingkungan dan nuansa akademis.</p>
<p><a href="https://www.studimanajemen.com/2019/04/budaya-organisasi-edgar-schein.html">Budaya organisasi</a>, dalam hal ini budaya sekolah, mempunyai pengaruh besar dalam menuntun warga sekolah melalui norma, nilai, dan rutinitas yang membangun perilaku sosial dan perangai intelektual mereka.</p>
<p>Ini dapat berupa sikap disiplin, tanggung jawab dan integritas, kegemaran membaca dan rasa ingin tahu yang kuat, kepedulian lingkungan maupun sosial, hingga semangat toleransi dan demokrasi.</p>
<p>Lalu, bagaimana cara membangun budaya sekolah yang kuat?</p>
<h2>Kepala sekolah sebagai nakhoda</h2>
<p>Budaya organisasi dapat berkembang berkat adanya orang hebat dan figur pemimpin yang membangun dan merawatnya. Di sekolah, kepala sekolah harus memegang peran kunci tersebut.</p>
<p>Sayangnya, penelitian yang dilakukan SMERU Research Institute pada tahun 2020 menemukan <a href="https://theconversation.com/amp/manajemen-sekolah-adalah-kunci-sukses-siswa-tapi-kualitas-kepala-sekolah-di-indonesia-meragukan-129626">hanya 20% kepala sekolah</a> yang berupaya meningkatkan kualitas akademis murid melalui perbaikan budaya pembelajaran.</p>
<p>Mayoritas kepala sekolah lebih tertarik untuk menetapkan indikator keberhasilan berupa meluluskan murid kelas 6 dengan nilai baik.</p>
<p>Lembaga konsultan manajemen di bidang kepemimpinan, <a href="https://idnextleader.id/membangun-budaya-organisasi-yang-kuat/">Next Leader</a>, menawarkan panduan bagaimana membangun budaya di suatu organisasi. Ini dimulai dengan merumuskan visi dan misi secara jelas, mengembangkan nilai organisasi sebagai patokan perilaku warganya, menjalin komunikasi yang efektif, dan melakukan penilaian kinerja secara berkala.</p>
<p>Jika strategi ini diterapkan di lingkungan sekolah, maka langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:</p>
<p><strong>Pertama</strong>, para pemangku kepentingan sekolah perlu duduk bersama untuk menetapkan visi yang ingin dicapai dan misi yang harus dikerjakan.</p>
<p>Budaya sekolah yang kuat tidak terlahir dan berkembang dengan sendirinya. Ia dibangun dengan desain tertentu melalui kepemimpinan kepala sekolah selama bertahun-tahun.</p>
<p><a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ832903.pdf">Sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat (AS)</a> yang mengamati sekitar 100 sekolah menemukan bahwa sekolah berkinerja tinggi memiliki visi dan misi organisasi yang fokus pada keberhasilan akademis dengan menyediakan lingkungan belajar yang menantang.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sekolah perlu merumuskan patokan sikap dan perilaku yang terukur berdasarkan visi yang sudah ditetapkan.</p>
<p>Ini dapat berupa kewajiban bagi warga sekolah untuk saling menyapa dengan ramah. Karakter ini ditanamkan tidak hanya bagi murid untuk menghormati guru, tapi juga bagi guru terhadap murid dan wali murid.</p>
<p>Dalam aspek pembelajaran, guru juga bisa menanamkan budaya pembelajaran yang selalu terbuka dengan dialog dan perdebatan akademis sehingga memupuk daya kritis murid.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, kepala sekolah harus mampu mengomunikasikan standar karakter dan perilaku tersebut secara efektif agar semua warga sekolah benar-benar melaksanakannya dengan konsisten.</p>
<p>Kepala sekolah dan guru tentu harus tampil terdepan sebagai contoh yang menjalankan standar sikap dan perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, kepala sekolah perlu mengevaluasi secara berkala berbagai praktik tersebut untuk menjaga kelangsungan budaya sekolah.</p>
<h2>Budaya sekolah harus partisipatif dan inklusif</h2>
<p>Budaya suatu organisasi tercipta dalam <a href="https://inspirasifoundation.org/wp-content/uploads/2021/06/14-562-15640467674-7.pdf">waktu yang panjang</a> dan tidak tumbuh di ruang hampa.</p>
<p>Pembentuk utama budaya organisasi bersumber dari masyarakat sekitar yang dibawa masuk ke tempat tersebut oleh anggotanya – misalnya wali murid yang terlibat di sekolah karena ada anak mereka.</p>
<p>Berbagai regulasi pemerintah, khususnya di bidang pendidikan, juga turut membentuk budaya sekolah.</p>
<p>Menurut <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ832903.pdf">penelitian yang sama di Texas, AS</a>, misalnya, misi suatu sekolah hanya akan efektif apabila memasukkan unsur kemitraan dengan orang tua dan masyarakat supaya tidak hanya tinggal di atas kertas.</p>
<p>Dengan kekuatan kemitraan itu, kepala sekolah, guru, dan murid dapat didorong untuk benar-benar melaksanakannya. </p>
<p>Studi lain yang menginvestigasi <a href="https://theconversation.com/school-vision-and-mission-statements-should-not-be-dismissed-as-empty-words-97375">lebih dari 300 sekolah di Victoria, Australia</a>, menunjukkan perlunya sekolah menelaah visi dan misi secara teratur, agar selalu sesuai dengan kebutuhan murid dan perkembangan yang terjadi di masyarakat.</p>
<p>Visi dan misi sekolah harus disusun secara kolektif bersama berbagai pihak – orang akan lebih berkomitmen menjalankan suatu pernyataan apabila mereka ikut merumuskannya. Ini juga berarti visi dan misi sekolah tidak boleh diseragamkan secara nasional dan harus disesuaikan dengan konteks lokal.</p>
<p>Tidak hanya bersifat partisipatif, budaya sekolah juga perlu bersifat inklusif. </p>
<p>Bahasa, sebagai representasi budaya masyarakat yang <a href="https://belajarbahasa.id/artikel/dokumen/167-inilah-bukti-bahwa-bahasa-menunjukkan-budaya-suatu-bangsa-2016-10-17-03-23">menuntun jalan pikiran penuturnya</a>, misalnya, sangat menentukan keterlibatan guru dan murid dalam menjunjung budaya sekolah. </p>
<p>Mayoritas penduduk Indonesia berbicara menggunakan bahasa Ibu (biasanya bahasa daerah mereka), bukan bahasa Indonesia.</p>
<p><a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/Risalah-Kebijakan-BAHASA-IBU.pdf">Kajian tahun 2019</a> yang dilakukan INOVASI, suatu kemitraan Indonesia-Australia, menemukan bahwa banyak murid, terutama di jenjang bawah tidak paham ketika guru berbicara dalam bahasa Indonesia.</p>
<p>Akibatnya, banyak dari mereka tidak hanya tertinggal dalam pembelajaran dan harus mengulang jenjangnya, tapi juga kesulitan mengikuti berbagai program dan gagasan yang dibuat sekolah sebagai bagian dari budaya sekolah.</p>
<p>Ini semakin menekankan bahwa budaya sekolah – termasuk bahasa yang digunakan – harus sensitif terhadap konteks lokal.</p>
<p>Ini juga menunjukkan bagaimana budaya sekolah, pengembangan karakter dan capaian akademik mempunyai pengaruh yang saling terhubung dan berkelindan.</p>
<p>Dengan arahan kepala sekolah, beserta dukungan dari semua pemangku kepentingan pendidikan, sekolah di Indonesia harus mulai membangun dan merawat budaya organisasi dalam institusi mereka masing-masing. Pada gilirannya, budaya sekolah diharapkan mampu berperan sebagai fondasi yang mewarnai karakter dan intelektualitas murid.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176895/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Budaya sekolah punya pengaruh besar dalam menuntun warga sekolah melalui norma, nilai, dan rutinitas yang membangun perilaku sosial dan perangai intelektual mereka.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1705752021-10-27T01:49:50Z2021-10-27T01:49:50ZTerlalu terobsesi untuk belajar? Mungkin kamu mengidap studyholism<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/428460/original/file-20211026-15-1x93wjz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kenali diri Anda apakah jenis orang yang giat belajar atau belajar yang berlebihan?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/adult-blur-books-close-up-261909/">Pixabay/Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Dalam dunia kerja kita mengenal orang yang gila atau kecanduan bekerja, yang biasa disebut <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Workaholic"><em>workaholic</em></a>. </p>
<p>Dalam dunia pendidikan, kini ada istilah baru <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s12144-020-01168-3"><em>studyholism</em></a>, kondisi klinis untuk menggambarkan obsesi seseorang untuk belajar secara berlebihan. </p>
<p>Studi terbaru <a href="https://doi.org/10.1007/s12144-020-01168-3">Yura Loscalzo dan Marco Giannini dari Universitas Florence Italia </a> tentang Studyholism Inventory, dengan responden 1.047 mahasiswa, menunjukkan ada sekitar 45 item gejala yang memuat tiga faktor hipotesis atas terjadinya <em>studyholism</em>: obsesi, kompulsif (bersifat memaksa), dan gangguan sosial. </p>
<p>Kondisi ini mempengaruhi <a href="https://web.s.ebscohost.com/abstract?direct=true&profile=ehost&scope=site&authtype=crawler&jrnl=00066761&AN=146485418&h=0oiJXtRfiW16NhnpM5nhnBdIIcZ%2bcgPyg2YRjlFn9LeY%2fAKrWZw%2bH%2fqBDY%2bBw0sd7x2EeVyeb2wNiHo7Z1jSmQ%3d%3d&crl=c&resultNs=AdminWebAuth&resultLocal=ErrCrlNotAuth&crlhashurl=login.aspx%3fdirect%3dtrue%26profile%3dehost%26scope%3dsite%26authtype%3dcrawler%26jrnl%3d00066761%26AN%3d146485418">satu dari setiap enam generasi muda</a> dan telah dikaitkan dengan stres yang tinggi, kualitas hidup yang rendah, gangguan tidur, dan kinerja akademik yang buruk.</p>
<p>Seseorang yang memiliki <em>studyholism</em> disebut <em>studyholic</em>. Namun demikian, seorang <em>studyholic</em> mungkin tidak menyadari bahwa mereka adalah seorang <em>studyholic</em>.
Apakah kamu seorang <em>studyholic</em>? Kita telusuri tanda-tandanya. </p>
<h2>Giat belajar vs gila belajar</h2>
<p>Beberapa orang merasa bahwa belajar adalah kegiatan yang menyenangkan. </p>
<p>Banyak orang yang suka belajar ingin memuaskan rasa ingin tahunya atau ingin mengejar suatu cita-cita. Terkadang untuk mencapai tujuan itu, seseorang harus giat belajar. Hal ini terutama terlihat pada generasi muda di Indonesia.</p>
<p>Pesatnya perkembangan Indonesia membuat persaingan semakin menantang. Banyak generasi muda berlomba-lomba menjadi yang terbaik agar bisa lolos masuk sekolah dan universitas terbaik, perusahaan terbaik dan karir yang terbaik. </p>
<p>Para siswa belajar keras termasuk ikut kursus dan bimbingan belajar untuk masuk ke sekolah impian melalui ujian nasional dan seleksi masuk universitas, beasiswa, dan kemudian seleksi kerja. Bahkan banyak yang mengorbankan waktu keluarga. </p>
<p>Namun, banyak dari mereka mungkin mengalami depresi karena terlalu banyak ekspektasi yang harus dipenuhi. Hal ini dapat berdampak pada cara mereka belajar. Mereka akan belajar secara berlebihan (<em>overstudy</em>) sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mereka. Kondisi ini baru-baru ini mendapat perhatian dan telah diusulkan sebagai kondisi klinis: <em>studyholism</em>.</p>
<h2>Kapan mengidap <em>studyholic</em></h2>
<p>Siapa pun dapat memiliki <em>studyholism</em>, terutama mereka yang memiliki harapan tinggi pada tingkat pendidikan tertentu. Namun, tidak semua orang yang suka belajar dianggap sebagai <em>studyholic</em>. Sampai sejauh mana seseorang yang giat belajar dianggap sebagai <em>studyholic</em>?</p>
<p>Studi <a href="https://doi.org/10.1007/s12144-020-01168-3">Loscalzo dan Giannini pada 2020</a> mengidentifikasi beberapa ciri seseorang yang cenderung memiliki <em>studyholism</em>. </p>
<p><strong>1. Anda khawatir tentang masalah yang berhubungan dengan belajar meski Anda tidak sedang belajar</strong>. Seseorang yang khawatir tentang masalah studi meski mereka tidak belajar mungkin cenderung memiliki <em>studyholism</em>. Kekhawatiran ini bisa muncul kapan saja, seperti saat berlibur, berolahraga, bermain, dan aktivitas lain yang tidak berkaitan dengan belajar.</p>
<p><strong>2. Anda tidak bisa bersantai karena Anda khawatir tentang belajar</strong>. Seseorang yang tidak terus-menerus peduli dengan belajar bisa menjadi gelisah. Perasaan tidak nyaman ini dapat terjadi terus menerus dan mengganggu aktivitas.</p>
<p><strong>3. Anda selalu merasa cemas atau gugup karena masalah yang berkaitan dengan belajar</strong>. Seseorang yang sering memiliki kecemasan berlebihan tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan belajar dapat cenderung memiliki <em>studyholism</em>. Kecemasan ini biasanya datang terus menerus dan berulang-ulang. Seseorang tidak dapat mengatur emosinya sendiri dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan belajar. </p>
<p><strong>4. Anda merasa terbebani dengan semua hal yang harus Anda lakukan</strong>. Seseorang yang merasa terbebani oleh tanggung jawabnya dapat cenderung memiliki <em>studyholism</em>. Seseorang yang tidak bisa mengatur waktu dan dibebani dengan tumpukan masalah belajar dapat menurunkan produktivitasnya.</p>
<h2>Ini dia giat belajar</h2>
<p>Loscalzo dan Giannini juga mengidentifikasi ciri-ciri seseorang yang giat belajar. Seseorang yang giat belajar berbeda dengan <em>studyholism</em> karena tidak akan merasa tertekan atau terbebani dengan kegiatan belajarnya. </p>
<p><strong>1. Anda bangga dengan kualitas pembelajaran Anda</strong>. Seseorang yang bangga dengan kualitas belajarnya merupakan orang yang giat belajar. Mereka tidak akan merasa cemas atau tertekan dengan cara mereka belajar. Mereka bangga dan terus memperbaiki diri.</p>
<p><strong>2. Anda belajar sangat keras untuk mendapatkan nilai terbaik</strong>. Seseorang yang belajar untuk mendapatkan nilai terbaik termasuk orang yang giat belajar. Mereka tidak akan belajar berlebihan sehingga mereka merasa cemas. Mereka akan belajar cukup tapi tetap memberikan yang terbaik.</p>
<p><strong>3. Keinginan Anda untuk mendapatkan nilai terbaik memotivasi Anda untuk belajar</strong>. Seseorang yang giat belajar dapat memotivasi dirinya sendiri. Mereka akan belajar dengan giat karena itulah yang mereka inginkan. Tidak ada paksaan yang mengharuskannya untuk mencapai targetnya.</p>
<p><strong>4. Anda melakukan yang terbaik untuk mendapatkan nilai terbaik</strong>. Seseorang yang giat belajar akan melakukan yang terbaik untuk mencapai tujuannya. Nilai bukanlah tujuan utama, tapi dia akan berusaha sebaik mungkin untuk itu.</p>
<h2>Dampak buruk studyholism</h2>
<p>Studyholism adalah suatu kondisi yang perlu dinilai oleh klinisi sehingga karakteristik seseorang bisa dinilai dan diperbaiki. Namun, kesadaran terhadap <em>studyholism</em> diperlukan karena seseorang dengan <em>studyholism</em> yang tidak segera mendapat penanganan yang tepat dapat menimbulkan beberapa dampak negatif dalam hidupnya.</p>
<p><strong>Stres tinggi.</strong> Seseorang dengan <em>studyholism</em> dapat memiliki tingkat stres yang tinggi. Stres ini biasanya muncul dari dalam diri karena ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Mereka akan cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang tidak dapat mereka capai.</p>
<p><strong>Kualitas hidup yang rendah.</strong> Seseorang dengan <em>studyholism</em> memiliki kualitas hidup yang rendah karena berbagai tekanan yang diterimanya. Sayangnya, orang dengan <em>studyholism</em> cenderung melihat kegiatan belajar sebagai jalan keluar. Hal ini membuat mereka terus berada di bawah tekanan yang luar biasa jika tujuan mereka tidak terpenuhi lagi.</p>
<p><strong>Gangguan tidur.</strong> Seseorang dengan <em>studyholism</em> memiliki gangguan tidur. Hal ini biasanya terjadi bukan karena mereka meluangkan waktu untuk belajar dengan giat tapi karena pikiran mereka tidak tenang akibat tekanan dan masalah belajar. Hal ini membuat mereka tidak dapat beristirahat dan malah mencoba untuk tetap terjaga untuk memikirkan situasinya.</p>
<p><strong>Prestasi akademik yang buruk.</strong> Seseorang dengan <em>studyholism</em> cenderung memiliki prestasi akademik yang buruk. Hal ini terjadi karena mereka melihat kegiatan belajar sebagai beban. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menerima berbagai ilmu dengan baik dan berdampak pada prestasi akademik yang buruk.</p>
<h2>Mencegah studyholism</h2>
<p><em>Studyholism</em> memiliki dampak yang luas, terutama pada generasi muda. Namun, bukan berarti kondisi ini tidak bisa dicegah. Ada beberapa hal sederhana yang dapat Anda lakukan.</p>
<p><strong>Untuk lembaga pendidikan.</strong> Anda dapat menciptakan iklim belajar yang mendukung. Lingkungan belajar yang terlalu kompetitif di sekolah berkaitan dengan <em>studyholism</em>, terutama pada generasi muda yang punya harapan tinggi.</p>
<p><strong>Untuk orang tua.</strong> Anda dapat menciptakan iklim belajar yang menyenangkan dengan belajar bersama anak Anda. Pastikan Anda juga memberikan pujian dan pengakuan atas prestasi anak Anda. Di sisi lain, pastikan Anda juga hadir untuk menemani anak Anda saat mereka mengalami kegagalan di sekolah. Jangan salahkan anak Anda atas cara mereka belajar, tapi Anda dapat berkomunikasi untuk menentukan cara terbaik untuk belajar dan menghindari tekanan.</p>
<p><strong>Untuk siswa.</strong> Anda bisa memulainya dengan introspeksi. Apakah Anda merasa nyaman belajar? Jika tidak, coba kenali hal-hal yang membuat Anda tidak nyaman. Bisa jadi, hal tersebut berasal dari pikiran Anda sendiri.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170575/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Elvan Wiyarta tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Seseorang yang merasa terbebani oleh tanggung jawabnya dapat cenderung memiliki studyholism.Elvan Wiyarta, Research Fellow, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1699532021-10-14T14:07:02Z2021-10-14T14:07:02ZIklan rokok hantui pelajar dan remaja: mengepung sekolah, membombardir media sosial<iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/3do4fE28YtLJp5sj7s4atm" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Dengan penjualan lebih dari 315 miliar batang rokok per tahun, Indonesia merupakan <a href="https://theconversation.com/disneyland-untuk-industri-rokok-aturan-yang-lemah-buat-generasi-muda-indonesia-kecanduan-rokok-97857">pasar rokok terbesar kedua</a> di dunia setelah Cina.</p>
<p>Untuk mempertahankan dan memperluas pasar ini, berbagai perusahaan rokok gencar mengiklankan dan menjual rokok – terutama pada remaja serta anak muda.</p>
<p>Bahkan, jaringan penjualan industri rokok juga meliputi berbagai <a href="https://theconversation.com/riset-remaja-yang-sekolahnya-dikepung-iklan-rokok-cenderung-lebih-tinggi-merokok-161658">warung dan kios yang sangat dekat dengan lingkungan sekolah</a> di berbagai daerah di Indonesia.</p>
<p>Studi tahun 2019 mengungkap bahwa <a href="https://theconversation.com/riset-iklan-rokok-kepung-sepertiga-sekolah-di-surabaya-kenapa-risma-tidak-melarangnya-124707">30% dari hampir 1.200 sekolah</a> di Surabaya terpapar banyak iklan rokok dalam radius 300 meter. Data tahun 2014 dari <a href="https://www.who.int/southeastasia"><em>Global Youth Tobacco Survey</em></a> menunjukkan 64% pelajar di Indonesia dapat membeli rokok dengan sangat mudah.</p>
<p>Untuk membedahnya secara lebih dalam, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=2d49964fd18c4a29">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami ngobrol dengan Putu Ayu Swandewi, peneliti kesehatan publik di Universitas Udayana, Bali.</p>
<p>Ayu menjelaskan studi yang ia lakukan di Denpasar dan Yogyakarta tentang jaringan retail rokok terutama di lingkungan sekolah, mudahnya akses siswa dan remaja dalam membeli rokok, perbandingan aturan iklan rokok di seluruh dunia, serta hal-hal yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk meregulasi penjualan rokok dengan lebih ketat.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=2d49964fd18c4a29">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169953/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pada episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Putu Ayu Swandewi, peneliti kesehatan publik di Universitas Udayana, Bali tentang maraknya iklan dan penjualan rokok di lingkungan sekolah.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1679592021-09-20T09:02:40Z2021-09-20T09:02:40ZKembalinya sekolah tatap muka: tiga langkah darurat untuk pulihkan kemampuan siswa pasca setahun lebih belajar di rumah<p>Setelah setahun lebih siswa di Indonesia terpaksa belajar di rumah, Menteri Nadiem Makarim <a href="https://fokus.tempo.co/read/1497799/strategi-nadiem-di-balik-ngototnya-kemendikbud-buka-sekolah-tatap-muka/full&view=ok">meminta pembelajaran tatap muka (PTM) kembali dilakukan</a>.</p>
<p>Sebanyak <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58356838">63% sekolah</a> di Indonesia di daerah dengan Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1, 2, dan 3 bisa melaksanakan PTM. </p>
<p>Analisis dari berbagai penelitian sebelumnya, misalnya, menjelaskan bagaimana belajar dari rumah yang <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">timpang dan tidak efektif</a> membuat banyak pelajar <a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">kehilangan kemampuan membaca</a> setara dengan 6 bulan proses pembelajaran, serta berpotensi <a href="https://theconversation.com/belajar-dari-rumah-yang-tidak-efektif-selama-pandemi-berpotensi-hapus-bonus-demografi-159712">menghapus bonus demografi</a> dan <a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">mengurangi pendapatan anak</a> di masa depan.</p>
<p>Artinya, ada tugas darurat yang perlu pertama-tama dilakukan oleh sekolah dan guru saat kembali menjalankan PTM – yakni memulihkan hasil belajar siswa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">Tutupnya sekolah menyebabkan '_learning loss_' dan memperlebar ketimpangan antara siswa kaya dan miskin</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Risiko menjalankan PTM tanpa memulihkan hasil belajar</h2>
<p>Akibat efektivitas belajar di rumah yang berbeda – terutama antara murid kaya dan miskin – kemampuan siswa akan <a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">menjadi jauh lebih beragam</a> dibandingkan dengan sebelum pandemi.</p>
<p>Ini mempengaruhi kemampuan murid dalam mengikuti pembelajaran saat kembali masuk sekolah.</p>
<p>Siswa yang selama pandemi kesulitan menguasai materi ajar di jenjang sebelumnya, misalnya, akan kesulitan memahami berbagai materi ajar baru yang mensyaratkan pemahaman materi pada level di bawahnya.</p>
<p>Padahal, riset sebelumnya dari peneliti SMERU menemukan bahwa pada tahun 2014, hanya <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">sekitar 35%</a> siswa kelas 12 yang mampu menjawab pertanyaan matematika untuk kelas 5 – tujuh level di bawah jenjang mereka.</p>
<p>Hal ini kemungkinan menjadi makin parah selama pandemi.</p>
<p>Tanpa upaya khusus dari sekolah untuk menyikapi perbedaan ini, penurunan kemampuan siswa dan ketimpangan hasil belajar akan semakin memburuk seiring dengan naiknya jenjang pendidikan siswa.</p>
<h2>Tiga langkah darurat: ukur, ajar, pantau</h2>
<p>Kami merekomendasikan tiga langkah bagi sekolah dan guru untuk memulihkan hasil belajar siswa saat kembali masuk sekolah.</p>
<p><strong>1. Segera ukur kembali kemampuan siswa</strong></p>
<p>Saat kembali masuk sekolah, sekolah perlu segera melakukan <a href="https://news.ets.org/stories/returning-to-school-after-covid-19-understanding-what-students-know-and-what-they-need-to-learn/">‘asesmen diagnostik’</a> – yakni pemetaan kemampuan belajar siswa yang berbeda-beda – terutama pada minggu-minggu pertama ketika sekolah dibuka kembali.</p>
<p>Asesmen diagnostik ini dapat berwujud beberapa soal yang menguji materi penting yang telah dipelajari atau seharusnya sudah dipahami siswa, agar mereka dapat memahami materi yang akan diajarkan selanjutnya. </p>
<p>Guru kemudian dapat menggunakan hasil asesmen ini untuk melakukan pendampingan dan memberi bantuan lebih lanjut kepada siswa yang membutuhkan. </p>
<p>Dinas pendidikan California di Amerika Serikat (AS), misalnya, <a href="https://www.cde.ca.gov/ls/he/hn/guidanceonassessments.asp">mendorong sekolah di daerah tersebut</a> untuk menerapkan sejumlah asesmen dagnostik via komputer. Rangkaian asesmen ini mengukur apa saja kekurangan akademik setiap siswa di bidang matematika, bahasa, dan sains, dan merekomendasikan materi apa yang harus dipelajari berikutnya.</p>
<p><strong>2. Kelompokkan siswa berdasarkan capaian mereka</strong></p>
<p>Informasi yang diperoleh dari hasil asesmen diagnostik juga dapat digunakan guru untuk merancang pengajaran dengan pendekatan yang dibedakan (<a href="https://education.illinoisstate.edu/downloads/linc/linccurriculummodule/Tomlinson.pdf"><em>differentiated teaching</em></a>).</p>
<p>Di sini, siswa dengan kemampuan yang sama terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok kecil. Strategi pembelajaran kemudian disesuaikan dengan tingkat pembelajaran siswa di setiap kelompok. </p>
<p>Misalnya, kelompok yang berisi siswa dengan nilai asesmen di atas rata-rata kelas dapat diberi pengajaran normal.</p>
<p>Sementara itu, kelompok dengan siswa bernilai di bawah rata-rata – yang kemungkinan mengalami ketertinggalan selama pandemi – perlu diberi upaya lebih melalui pengajaran kembali materi-materi yang belum dipahami untuk mengejar ketertinggalannya.</p>
<p>Di luar praktik pengelompokkan ini, pada jam sekolah biasa, siswa pada kelompok bawah tetap dapat mengikuti pembelajaran bersama dengan siswa kelompok lainnya dan berkontribusi sesuai kemampuannya.</p>
<p><a href="https://www.povertyactionlab.org/policy-insight/tailoring-instruction-students-learning-levels-increase-learning">Studi di Kenya</a> menemukan bahwa pengajaran dalam kelompok-kelompok yang dibagi berdasarkan kemampuan awal siswa, mampu meningkatkan capaian matematika dan bahasa mereka secara signifkan.</p>
<p><strong>3. Pantau terus perkembangan tiap kelompok siswa</strong></p>
<p>Selama pengajaran berjalan, guru sebaiknya melakukan pengukuran dan evaluasi berkala terhadap siswa sepanjang tahun ajaran untuk memantau perkembangan mereka.</p>
<p>Jika siswa menunjukkan kemajuan belajar yang signifikan, siswa dapat lanjut mempelajari materi baru atau dipindahkan ke kelompok belajar yang lebih tinggi.</p>
<p>Untuk memperlancar proses ini, guru juga sebaiknya fokus pada mendorong kemajuan hasil belajar siswa dari satu titik waktu ke titik waktu lainnya (atau sering disebut ‘<a href="https://theconversation.com/menteri-nadiem-akhiri-sejarah-un-dan-kembalikan-kuasa-penilaian-pada-guru-apakah-mereka-mampu-129977">asesmen formatif</a>’).</p>
<p>Kurikulum atau bahan ajar pun perlu disederhanakan supaya guru dapat fokus memantau pemulihan kemampuan siswa tersebut. Misalnya, untuk sementara, guru dapat diminta untuk fokus saja pada memulihkan <a href="https://riseprogramme.org/publications/building-solid-foundations-prioritising-universal-early-conceptual-and-procedural">keterampilan dasar seperti literasi dan numerasi</a>, serta materi-materi lain yang belum dikuasai siswa sesuai hasil asesmen diagnostik.</p>
<p>Apabila ini tidak dilakukan, alih-alih menutup ketertinggalan belajar siswa, guru akan kembali terjebak praktik biasa yakni menguji siswa untuk sekadar berlomba-lomba mencapai target kurikulum.</p>
<h2>Guru perlu dukungan penuh sekolah untuk pulihkan hasil belajar siswa</h2>
<p>Rangkaian praktik tiga langkah di atas telah terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar terutama bagi anak berkemampuan rendah.</p>
<p>Studi yang dilaksanakan di India dan Afrika menunjukkan bahwa praktik tiga langkah tersebut – yang dalam riset disebut sebagai <a href="https://www.povertyactionlab.org/case-study/teaching-right-level-improve-learning">’<em>Teaching at the Right Level</em> atau TaRL</a> (Mengajar di Level Yang Tepat) – berdampak positif pada upaya siswa kemampuan rendah untuk lebih cepat mengejar keteringgalannya.</p>
<p>Meskipun demikian, praktik TaRL di dua negara tersebut menunjukkan bahwa upaya memulihkan hasil belajar siswa membutuhkan beberapa persiapan – tidak cukup hanya dengan memberi pelatihan pada guru.</p>
<p>Guru memerlukan bantuan untuk memahami cara menggunakan hasil asesmen dalam merancang pembelajaran dan panduan yang jelas bagaimana memantau perkembangan siswa antar kelompok. Namun, yang paling penting adalah dukungan penuh dari sekolah untuk fokus melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan siswa, bukan pada pencapaian target kurikulum.</p>
<p>Dengan lingkungan yang mendukung tersebut, praktik tiga langkah ukur-ajar-pantau akan efektif meningkatkan hasil belajar siswa dan memulihkan kemampuan siswa yang menurun selama pandemi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167959/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada tugas darurat yang perlu pertama-tama dilakukan oleh sekolah dan guru saat kembali menjalankan PTM, yakni memulihkan kemampuan siswa setelah setahun lebih belajar di rumah.Florischa Ayu Tresnatri, Researcher, SMERU Research InstituteShintia Revina, Peneliti, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1644082021-08-17T10:24:24Z2021-08-17T10:24:24ZNaik kelas tapi tak belajar: penelitian ungkap 3 capaian buruk terkait pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/416497/original/file-20210817-19-1pm91pg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1270008603">(ANTARA FOTO/Yudi Mahatma)</a></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel TCID untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 2021</em>.</p>
<hr>
<p>Capaian pendidikan Indonesia masih rendah dalam beberapa tahun belakangan – berdasarkan standar dunia maupun nasional, padahal pemerintah setiap tahun mengalokasikan anggaran negara <a href="https://indonews.id/artikel/21928/Satu-Dekade-Anggaran-Pendidikan-20-Persen/">sebesar 20% untuk pendidikan</a>, sesuai amanat undang-undang (UU).</p>
<p>Indonesia menempati posisi 7 terbawah dari hampir 80 negara dalam asesmen global <a href="https://factsmaps.com/pisa-2018-worldwide-ranking-average-score-of-mathematics-science-reading/"><em>Program for International Students Assessment</em> (PISA) tahun 2018</a>; hanya 1 dari 3 anak Indonesia memenuhi level minimal untuk kemampuan membaca. Laporan <a href="http://timss2015.org/wp-content/uploads/filebase/full%20pdfs/T15-International-Results-in-Mathematics-Grade-4.pdf"><em>Trends in International Mathematics and Science Study</em> (TIMSS) tahun 2015</a> juga menunjukkan 27% anak Indonesia di jenjang kelas 4 tidak memiliki pengetahuan matematika dasar yang memadai.</p>
<p>Berbagai analisis di tingkat nasional juga menyebutkan bagaimana <a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310">lemahnya kompetensi guru</a> dan <a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-indonesia-kekurangan-kebijakan-pendidikan-di-daerah-yang-efektif-114937">kebijakan pendidikan di daerah</a> menyebabkan capaian belajar siswa Indonesia senantiasa rendah.</p>
<p>Untuk memahami lebih dalam tentang mandeknya capaian pendidikan ini, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0738059321000894">penelitian terbaru kami</a> untuk program <a href="https://rise.smeru.or.id/id/tentang-kami"><em>Research on Improving Systems of Education</em> (RISE)</a> berupaya melakukan analisis profil pembelajaran anak di Indonesia. </p>
<p>Kami memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan data <a href="https://www.rand.org/well-being/social-and-behavioral-policy/data/FLS/IFLS/study.html">Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS)</a> selama periode 2000–2014.</p>
<p>Sayangnya, kami menemukan beberapa tren buruk dalam capaian pendidikan nasional. Bahkan, riset kami mengungkap bahwa hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000. </p>
<h2>Naik kelas tapi tidak belajar</h2>
<p>Dalam melakukan analisis, tim kami baru menggunakan data IFLS yang tersedia sampai tahun 2014. Data survei berikutnya, yang harusnya dilakukan pada 2020, sayangnya tertunda akibat pandemi.</p>
<p>Meski demikian, penelitian kami tetap mengungkap setidaknya tiga tren yang sangat mengkhawatirkan terkait capaian belajar anak Indonesia.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, analisis kami terhadap data IFLS 2014 menunjukkan masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah.</p>
<p>Pada Gambar 1, misalnya, hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan pengurangan “<em>49-23</em>” secara tepat. Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1.</p>
<p>Rendahnya capaian belajar anak semakin terlihat pada pertanyaan yang lebih sulit.</p>
<p>Misalnya, hanya sekitar 35% siswa di jenjang kelas 12 yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tingkat kelas 5 terkait penghitungan bunga uang – tujuh jenjang di bawah level mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/416031/original/file-20210813-21-s8bkcm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 1. Kemampuan murid di tiap jenjang untuk menjawab soal. Sumbu horizontal menunjukkan jenjang level pendidikan, sementara sumbu vertikal menunjukkan persentase murid yang bisa menjawab soal. G1-G5 adalah jenis soal yang harusnya mampu dijawab murid di jenjang kelas 1 hingga kelas 5.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Author provided)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Kedua</strong>, kami juga melihat bahwa peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh.</p>
<p>Gambar 2 memperlihatkan bahwa anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. Namun, tren peningkatan tersebut melambat dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas.</p>
<p>Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kemampuan anak tidak mengalami peningkatan kemampuan yang signifikan ketika dia beranjak remaja dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA).</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=336&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=336&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=336&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=422&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=422&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/416035/original/file-20210813-13-1d1qctg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=422&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 2. Peningkatan kemampuan berhitung anak seiring mereka naik jenjang level pendidikan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Source</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Ketiga</strong>, ketika membandingkan daat IFLS tahun 2014 dengan tahun 2000, kami menemukan bahwa kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian. </p>
<p>Dari Gambar 3, kita bisa melihat bahwa capaian anak di setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000.</p>
<p>Kesimpulan ini berlaku baik saat kami hanya menganalisis kelompok anak yang bersekolah, maupun saat kami memasukkan juga anak-anak usia tersebut yang tidak bersekolah.</p>
<p>Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=403&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=403&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=403&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=507&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=507&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/416039/original/file-20210813-6624-1ez6v4s.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=507&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 3. Perbandingan capaian pendidikan murid di tiap jenjang, antara tahun 2000 (garis kuning) dengan tahun 2014 (garis biru).</span>
<span class="attribution"><span class="source">Source</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Analis kami dengan data yang tersedia belum menjelaskan lebih dalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan tren negatif tersebut pada pembelajaran anak di Indonesia.</p>
<p>Namun kami memiliki beberapa dugaan tentang hal-hal apa saja yang mendorong penurunan capaian belajar ini – setidaknya untuk kemampuan berhitung. </p>
<p>Salah satunya adalah <a href="https://media.neliti.com/media/publications/226468-sejarah-kurikulum-di-indonesia-studi-ana-bac69203.pdf">perubahan terkait muatan berhitung</a> sejak Kurikulum 2004.</p>
<p>Perubahan ini membuat jam belajar untuk berhitung yang tadinya 8-10 jam (Kurikulum 1994) menjadi 5 jam per minggu sehingga dapat memengaruhi kemampuan murid dalam numerasi dan pemecahan masalah (<em>problem solving</em>) berbasis hitungan.</p>
<p>Lalu, kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang membuat bobot ujian sekolah terhadap kelulusan terus dikurangi sejak 2003 – dan lebih <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">mementingkan Ujian Nasional (UN)</a> – juga banyak mendorong murid untuk belajar hanya demi kelulusan dan tidak untuk mengasah pengetahuan dan kemampuan berpikir.</p>
<p>Selain itu, ada pula kecenderungan di Indonesia di mana murid [tetap naik kelas] walaupun kemampuannya belum mencukupi.</p>
<p>Di sini, asesmen dan evaluasi capaian belajar yang tidak akurat membuat murid kehilangan kesempatan untuk memperkuat pemahaman atas materi yang belum mereka kuasai di jenjang mereka sebelumnya.</p>
<h2>Darurat capaian belajar anak bangsa</h2>
<p>Hasil studi ini hendaknya menjadi sinyal lampu kuning bagi segenap pemangku kepentingan di sektor pendidikan untuk segera melakukan perbaikan.</p>
<p>Meskipun ini baru meninjau capaian belajar selama 2000-2014, saya berpendapat bahwa tren negatif di atas kemungkinan besar juga terus terjadi dari tahun 2015 hingga saat ini. Pandemi COVID-19 bahkan berpotensi <a href="https://theconversation.com/yang-juga-penting-saat-kembali-belajar-tatap-muka-memulihkan-hasil-belajar-murid-rentan-dan-mencegah-ketimpangan-158425">semakin memperparah ketertinggalan belajar</a> murid di Indonesia.</p>
<p>Pemerintah pusat dan daerah perlu mengubah kebijakan pendidikan yang saat ini masih cenderung didorong faktor politik – dari kebiasaan memamerkan capaian nasional terkait <a href="https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/13/03/14/mjnq4c-anggaran-pendidikan-belum-mampu-tingkatkan-kualitas-pendidikan">akses anak untuk sekolah</a>, hingga terjebak pada <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181122104056-532-348343/hati-hati-janji-menaikkan-gaji-guru-hanya-demi-pemilu">politik peningkatan kesejahteraan guru</a> saat masa pemilu.</p>
<p>Sudah saatnya pemerintah secara serius memikirkan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kualitas belajar anak di sekolah.</p>
<p>Misalnya, sistem perekrutan guru, khususnya di sekolah negeri, seharusnya berdasarkan indikator yang mengukur kemampuan mereka dalam mengajar murid ketimbang yang saat ini lebih berat untuk <a href="https://theconversation.com/proses-rekrutmen-sebagai-asn-membuat-guru-di-indonesia-berkualitas-rendah-143443">memenuhi kuota Aparatur Sipil Negara (ASN)</a>.</p>
<p>Selain itu, evaluasi belajar yang dilakukan sekolah – baik melalui asesmen dari guru maupun melalui ujian – harus <a href="https://theconversation.com/menteri-nadiem-akhiri-sejarah-un-dan-kembalikan-kuasa-penilaian-pada-guru-apakah-mereka-mampu-129977">dilakukan dengan fokus memetakan capaian mereka</a> dan sebagai landasan bagi guru menyusun strategi pembelajaran, ketimbang hanya sebagai alat pemeringkatan. Beberapa tahun ini, misalnya, nilai rerata UN sering digunakan sekadar untuk memberikan ranking sekolah, atau untuk menentukan besaran ‘<a href="http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2021/01/Kebijakan-Dana-Insentif-Daerah-2021.pdf">Dana Insentif Daerah</a>’ dari pemerintah pusat.</p>
<p>Orang tua dan guru pun harus mengubah cara pandang lama bahwa anak sekolah untuk mendapat nilai ujian yang tinggi. Semestinya, proses pembelajaran yang baik adalah untuk memahami konsep hingga tuntas tanpa harus berlomba-lomba.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/164408/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Luhur Bima tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kami memetakan capaian belajar siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) periode 2000–2014. Ternyata, hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000.Luhur Bima, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1650892021-07-27T03:55:45Z2021-07-27T03:55:45ZKebijakan #MerdekaBelajar terancam seiring siswa hilang fokus di tengah pandemi: bagaimana mengembalikan kemandirian belajar mereka?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/413245/original/file-20210727-13-1prc9pc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/IzmdWT2lW5Q">(Unsplash/Josefa Ndiaz)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pada akhir 2019, Indonesia berupaya merombak sistem pendidikannya – yang sering mendapat kritik karena terlalu fokus pada hafalan dan standardisasi – melalui rangkaian kebijakan “<a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/16/freedom-learn-needs-more-teachers.html">Merdeka Belajar</a>”.</p>
<p>Beberapa program di bawah payung Merdeka Belajar, seperti “<a href="http://lpmpjatim.kemdikbud.go.id/site/detailpost/kemendikbud-luncurkan-merdeka-belajar-episode-7-program-sekolah-penggerak">Sekolah Penggerak</a>”, berkolaborasi dengan sekolah dan guru unggulan untuk mempromosikan praktik belajar yang progresif, seperti sistem rencana pembelajaran yang berpusat pada minat dan kebutuhan siswa (<em>customized learning</em>) ketimbang kurikulum yang kaku.</p>
<p>Namun, berbagai pihak kini mulai meragukan efektivitas Merdeka Belajar di tengah intensnya pembelajaran digital akibat COVID-19.</p>
<p>Salah satu masalah utama di masa pandemi adalah banyak guru hanya <a href="https://theconversation.com/for-online-teaching-to-succeed-train-educators-to-embrace-uncertainty-in-learning-135570">memindahkan metode mengajar tatap muka</a> ke ranah <em>online</em>, yang hasilnya berantakan.</p>
<p>Banyak dari mereka <a href="https://theconversation.com/jangan-hanya-bebani-guru-pemerintah-harus-gandeng-universitas-dan-orang-tua-untuk-sukseskan-online-learning-138653">tidak dilatih</a> untuk menyerahkan tanggung jawab pembelajaran secara penuh pada murid saat kondisi normal, apalagi ketika kelas dilaksanakan secara online. </p>
<p>Guru kesulitan menarik atensi murid melalui kelas Zoom dan terkadang hanya via WhatsApp – bahkan <a href="https://osf.io/preprints/socarxiv/ve4z7/download">lebih kesulitan lagi</a> mengevaluasi apakah murid benar-benar belajar.</p>
<p>Pada akhirnya, banyak guru memilih untuk sekadar memberikan tugas mingguan pada murid dan berharap mereka belajar secara mandiri. Tapi apakah mereka bisa?</p>
<p>Seperti kata pepatah Inggris:</p>
<blockquote>
<p>You can lead a horse to water, but you can’t make it drink.</p>
<p>(Kita bisa menuntut seekor kuda ke sumber air, tapi kita tidak bisa memaksanya untuk minum)</p>
</blockquote>
<p>Memberikan para murid kemerdekaan untuk belajar tidak lantas membuat mereka benar-benar belajar. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/merombak-online-learning-yang-kikuk-butuh-kolaborasi-antara-guru-siswa-dan-ahli-teknologi-147923">Merombak online learning yang "kikuk" butuh kolaborasi antara guru, siswa, dan ahli teknologi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Di kelas <em>offline</em> pun, banyak murid kesulitan menentukan rencana belajar mereka sendiri</h2>
<p>Kebijakan Merdeka Belajar bukanlah program yang pertama di dunia. Norwegia, misalnya, menerapkan kebijakan serupa terkait <em>customized learning</em>, yang bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia.</p>
<p>Pada tahun 1994, Norwegia meluncurkan <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED425529.pdf"><em>Reform94</em></a> untuk memberi siswa remaja lebih banyak pilihan dan tanggung jawab dalam pembelajaran. Misalnya, mendorong mereka bekerja sama dengan guru untuk merancang kegiatan belajar mereka.</p>
<p>Namun, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.2304/pfie.2011.9.5.631">beberapa evaluasi nasional</a> justru menemukan bahwa hanya siswa unggulan yang punya motivasi cukup untuk belajar secara mandiri – kebanyakan murid lain tidak. Niat baik kebijakan tersebut gagal terealisasi di lapangan.</p>
<p>Para murid tersebut telah terlanjur terlalu bergantung pada guru untuk menentukan apa yang harus mereka pelajari dan bagaimana pengajarannya yang tepat.</p>
<p>Ketika praktik <em>online learning</em> menjadi gencar akibat COVID-19, kami mengamati pola yang serupa di mana siswa menjadi semakin terisolasi dan ditinggalkan tanpa bimbingan.</p>
<p>Bahkan Norwegia – yang sering digadang-gadang sebagai <a href="https://theconversation.com/which-country-is-best-to-live-in-our-calculations-say-its-not-norway-99921">salah satu sistem pendidikan terbaik</a> – tetap menghadapi tantangan <a href="https://www.pnas.org/content/118/17/e2022376118">hilangnya capaian belajar (<em>learning loss</em>)</a> dan pudarnya fokus belajar siswa di tengah bolak-balik antara sekolah <em>online</em> dan <em>offline</em>.</p>
<p>Jadi, ketika jarak antara guru dan murid senantiasa melebar, bagaimana kita mendorong siswa mengambil alih proses belajar mereka secara mandiri?</p>
<h2>Mendesain lingkungan belajar yang fokus utamanya adalah <em>online</em></h2>
<p>Pandemi ini telah mengajarkan pada kita tentang <a href="https://theconversation.com/in-a-world-of-digital-bystanders-the-challenge-is-for-all-of-us-to-design-engaging-online-education-147195">pentingnya lingkungan belajar digital</a> yang dirancang dengan baik untuk mempertahankan atensi siswa. Murid tidak akan repot-repot berusaha belajar secara mandiri apabila mereka sudah terlebih dulu kehilangan minat belajar.</p>
<p>Hal ini membutuhkan periode mengajar yang lebih pendek, dipadu dengan sesi praktik dan evaluasi yang sama pendeknya.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/412381/original/file-20210721-27-na2vqo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pandemi ini telah mengajarkan pada kita tentang pentingnya lingkungan belajar digital yang dirancang dengan baik untuk mempertahankan atensi siswa.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/focused-ethnic-girl-studying-on-laptop-5905886/">(Pexels/Katerina Holmes)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bagi beberapa guru, bentuknya bisa dengan mengubah sesi belajar yang biasanya beberapa jam menjadi pecahan masing-masing 30 menit berisi materi belajar dan aktivitas yang disebar selama periode satu minggu. Dengan begini, murid bisa mempelajari materi tentang DNA, misalnya, dengan kecepatan mereka sendiri selama seminggu tersebut.</p>
<p>Praktik-praktik seperti ini telah lama diterapkan oleh sekolah terbesar di Selandia Baru, bernama <a href="https://www.tekura.school.nz/about-us/who-we-are/about-te-kura/">Te Kura</a>, dan merupakan fondasi dari lingkungan belajar digital yang efektif.</p>
<p>Te Kura berdiri pada tahun 1922. Pada jaman pra-digital itu, materi ajar dan tugas dikirimkan dan dikembalikan oleh siswa melalui pos untuk kemudian dinilai dan dievaluasi.</p>
<p>Artinya, bahkan jauh sebelum pandemi, Te Kura telah mengadopsi model pengajaran yang beragam, dari sepenuhnya <em>online</em> hingga kelas tatap muka ketika memang dibutuhkan. </p>
<p>Berbagai sumber daya pembelajaran dan platform yang mereka gunakan telah teruji efektivitasnya – para guru sudah menguasai bagaimana caranya mempertahankan atensi belajar murid saat COVID menerpa, dan layaknya menekan saklar, mereka dengan mudah pindah ke pengajaran yang sepenuhnya <em>online</em>.</p>
<h2>Konektivisme –- kuncinya ada di sekitar kita</h2>
<p>Tapi, seiring waktu berjalan, kunci dari membuat murid belajar secara mandiri adalah membantu mereka “terhubung secara digital” dengan satu sama lain maupun dunia di sekitar mereka.</p>
<p>Psikolog pendidikan George Siemens menjelaskan hal ini dengan baik melalui teorinya tentang “<a href="https://lidtfoundations.pressbooks.com/chapter/connectivism-a-learning-theory-for-the-digital-age/">konektivisme</a>” – belajar melalui berbagai jaringan sumber ilmu yang saling terkoneksi.</p>
<p>Dalam bahasa yang sederhana, konsep ini mengatakan bahwa dalam dunia yang senantiasa berubah menjadi <em>online</em>, kita belajar paling baik melalui aktivitas membaca dan mengonsumsi informasi yang terjadi secara spontan. </p>
<p>Contohnya adalah membaca artikel berita, menonton video <em>TED Talks</em> di waktu luang, membaca <em>e-book</em> tentang beragam topik, atau sesimpel bersilaturahmi dengan rekan kerja atau teman sekolah lewat Zoom – mengakses sumber-sumber keahlian yang telah diakumulasi oleh orang lain selama bertahun-tahun.</p>
<p>Karena menawarkan pengalaman “belajar di mana saja, kapan saja”, sumber-sumber tersebut sangat cocok dijadikan metode mengajar di dalam suatu lingkungan pembelajaran digital.</p>
<p>Dalam menyukseskan kebijakan Merdeka Belajar, tidak cukup jika kita hanya memberi ruang bagi siswa untuk merancang pendidikan mereka sendiri. Sekolah dan guru juga harus mendesain lingkungan pembelajaran digital yang benar-benar bisa mempertahankan atensi, motivasi, dan kemandirian mereka untuk belajar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165089/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jadi, ketika jarak antara guru dan murid senantiasa melebar, bagaimana kita mendorong siswa mengambil alih proses belajar mereka secara mandiri?Muhammad Zuhdi, Head of the Quality Assurance Institute, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaStephen Dobson, Professor and Dean of Education, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1615162021-06-02T06:13:04Z2021-06-02T06:13:04ZApakah membuka sekolah di tengah penyebaran varian baru SARS-CoV-2 berbahaya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/403546/original/file-20210531-22-1mlqniq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siswa menjalani pemeriksaan suhu badan sebelum mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) sistem daring di SMP Negeri-9 Banda Aceh, 22 Mei 2021.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1619064301"> ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.</a></span></figcaption></figure><p>Rencana pemerintah Indonesia membuka kembali sekolah untuk pembelajaran tatap muka (PTM) <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/05/06/150000171/kemendikbudristek--sekolah-tatap-muka-juli-orangtua-berhak-memilih?page=all">mulai Juli</a>, di tengah kasus <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">COVID yang belum turun drastis</a> dan ada temuan setidaknya <a href="https://nasional.tempo.co/read/1465086/kasus-varian-baru-mutasi-covid-19-bertambah-jadi-54">54 kasus</a> varian baru virus corona yang lebih ganas, perlu kita tinjau dengan kritis.</p>
<p>Sejumlah <a href="https://www.washingtonpost.com/world/europe/coronavirus-schools-uk-variant-europe/2021/01/29/c4e73d78-5f2e-11eb-a177-7765f29a9524_story.html">negara di Eropa</a> yang membuka sekolah tahun lalu, kembali menutupnya karena tingginya penularan COVID varian baru pada siswa. </p>
<p>Penelitian terbaru di Inggris menunjukkan terjadinya <a href="https://adc.bmj.com/content/early/2021/03/29/archdischild-2021-321903">peningkatan kerentanan pada anak-anak untuk terinfeksi virus penyebab COVID-19 varian baru B.1.1.7</a>, yang kini telah menyebar <a href="https://nasional.tempo.co/read/1465086/kasus-varian-baru-mutasi-covid-19-bertambah-jadi-54">di Indonesia</a>. </p>
<p>Pemerintah perlu memikirkan ulang rencana tersebut. Beberapa sekolah yang sudah membuka atau sedang dalam tahap merencanakan pembukaan sekolah juga perlu menimbang lagi risiko-risiko kesehatan bagi siswa, guru, dan lingkungan.</p>
<h2>Infeksi B.1.1.7 lebih menular pada anak</h2>
<p>Pada 2 Maret 2021, Kementerian Kesehatan Indonesia mengumumkan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1437940/kemenkes-temukan-2-kasus-varian-baru-covid-19-asal-inggris-di-indonesia">2 kasus pertama COVID-19 akibat varian B.1.1.7</a> di negeri ini. <a href="https://theconversation.com/5-hal-penting-terkait-pengaruh-virus-corona-varian-baru-dari-inggris-masuk-indonesia-156574">Varian B.1.1.7</a> yang ditemukan pertama di Inggris, telah terbukti lebih menular dan menyebabkan angka kematian 55% lebih tinggi. </p>
<p>Hingga 4 Mei 2021, telah dilaporkan total <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/05/04/15040541/total-13-kasus-varian-corona-b117-kemenkes-diduga-sudah-terjadi-transmisi">13 kasus</a> dengan varian B.1.1.7 di Indonesia. Angka ini diperkirakan jauh lebih rendah dari angka riil di lapangan karena kemampuan deteksi genomik kita yang belum aktual.</p>
<p><a href="https://adc.bmj.com/content/early/2021/03/29/archdischild-2021-321903">Studi</a> terbaru di Inggris menemukan adanya peningkatan angka reproduksi (penularan) virus. Ini merupakan indikasi potensi penularan suatu virus pada kelompok anak-anak usia sekolah, pada saat varian B.1.1.7 menyebar. </p>
<p>Pada akhir Desember tahun lalu <a href="https://www.sciencemag.org/news/2021/01/new-coronavirus-variant-scrambles-school-risk-calculations">di Belanda</a>, 123 (15%) orang positif COVID-19 dari 818 murid, guru, dan orang tua murid yang dites. Hasil pengurutan genomik menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka terinfeksi varian B.1.1.7. </p>
<p><a href="https://www.bmj.com/content/372/bmj.n383">Di Israel</a>, varian B.1.1.7 ditemukan pertama pada Desember 2020 dan menjadi varian dominan pada Januari 2021. Proporsi kasus harian baru anak-anak berusia di bawah 10 tahun meningkat 23% sejak kemunculannya hingga beberapa rumah sakit khusus anak harus membuka ICU baru. </p>
<p>Sebelumnya, banyak penelitian membuktikan bahwa jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak tidak terlalu rentan terinfeksi galur murni virus penyebab COVID-19. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7436402/">Sebuah studi <em>meta‐analysis</em></a> menunjukkan bahwa apabila terjangkit, kasus COVID-19 pada anak termasuk ke dalam kategori tanpa gejala (20%), ringan (33%) atau sedang (51%). Namun varian baru telah meningkatkan risiko infeksi pada anak-anak.</p>
<h2>Sekolah di Eropa kembali ditutup akibat varian B.1.1.7</h2>
<p>Di Jerman, sekolah telah dibuka kembali pada pertengahan 2020. </p>
<p>Namun, sejak Desember 2020 sekolah kembali ditutup akibat kasus varian baru B.1.1.7 yang <a href="https://www.thelocal.de/20210401/covid-19-variants-comprise-almost-90-percent-of-new-cases-in-germany">telah mendominasi 90% kasus COVID-19 di Jerman</a>. Varian baru ini menyebabkan <a href="https://www.deutschland.de/en/news/coronavirus-in-germany-informations">angka kasus baru infeksi lebih dari 165</a> per 100.000 penduduk.</p>
<p><a href="https://www.washingtonpost.com/world/europe/coronavirus-schools-uk-variant-europe/2021/01/29/c4e73d78-5f2e-11eb-a177-7765f29a9524_story.html">Inggris</a>, negara yang pertama kali melaporkan varian B.1.1.7, juga menutup kembali sekolah sejak Desember 2020 hingga waktu yang belum ditentukan.</p>
<p>Selain itu, <a href="https://www.washingtonpost.com/world/europe/coronavirus-schools-uk-variant-europe/2021/01/29/c4e73d78-5f2e-11eb-a177-7765f29a9524_story.html">negara-negara lain di Eropa</a> seperti Denmark, Austria, Irlandia, Portugal, Belanda, dan Belgia juga menutup kembali sekolah untuk menekan penyebaran varian baru B.1.1.7., yang level penularannya tinggi pada anak-anak.</p>
<h2>Panduan dari WHO sebelum buka kembali PTM di Indonesia</h2>
<p><a href="https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/question-and-answers-hub/q-a-detail/coronavirus-disease-covid-19-schools">Badan Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan pedoman</a> yang memuat hal-hal yang harus dinilai sebelum memutuskan membuka pembelajaran tatap muka. </p>
<p>Pedoman ini relevan dengan rencana Kementerian Pendidikan Indonesia membuka pembelajaran <em>offline</em>. </p>
<p><em>Pertama</em>, kondisi epidemiologi COVID-19 di tiap daerah. Bagaimana pengendalian penularan lokal? Apakah persentase hasil positif dari total jumlah tes (<em>percent positivite rate</em>) di daerah tersebut di bawah 5%? Apakah Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (Satgas COVID-19) tiap daerah mampu menganalisis epidemiologi dan <em>surveillance</em> genomik yang aktual? Apakah mampu untuk menganalisis varian apa yang tengah dominan di masyarakat?</p>
<p><em>Kedua</em>, analisis risiko dan manfaat baik bagi tenaga pendidik maupun siswa-siswi. Kemampuan penularan COVID-19 dan analisis terkait varian apa yang dominan pada suatu daerah harus dilakukan untuk mengetahui risiko penularan. </p>
<p>Selain itu, dampak keseluruhan penutupan PTM pada siswa-siswi termasuk dampak pada hasil capaian belajar, dampak ekonomi, hingga dampak pada kesehatan fisik dan mental harus dinilai.</p>
<p><em>Ketiga</em>, deteksi dan respons. Apakah Satgas COVID-19 daerah mampu bertindak dan mengambil keputusan dengan cepat apabila terdapat satu saja kasus positif COVID-19 akibat pembukaan kembali PTM? Apakah mampu untuk terbuka dan mengumumkan hasil tersebut ke masyarakat?</p>
<p><em>Keempat</em>, kapasitas sekolah/institusi pendidikan untuk beroperasi dengan aman. Adakah fasilitas cuci tangan, sanitasi dan desinfektan yang cukup di sekolah? Bagaimana penerapan protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan pembatasan jumlah murid di kelas? Adakah sirkulasi udara yang terbuka? Adakah pemeriksaan rutin standar emas (tes swab PCR) baik pada tenaga pendidik maupun murid?</p>
<p><em>Kelima</em>, kolaborasi dan koordinasi. Apakah sekolah bekerja sama dengan Satgas COVID-19 daerah setempat? Apakah sekolah bekerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk melakukan pemeriksaan rutin dan lacak kontak?</p>
<p>Terakhir, penerapan protokol kesehatan yang ketat pada lingkungan di luar sekolah. Bagaimana anak-anak dan tenaga pendidik menerapkan protokol kesehatan di lingkungan luar sekolah? </p>
<p>Pertanyaan di atas harus dijawab oleh pemerintah pusat, daerah, dinas pendidikan dan dinas kesehatan, sekolah dan guru, serta orang tua. Sebagai peneliti epidemiologi, saya melihat keenam poin dalam panduan tersebut belum mampu diterapkan di Indonesia.</p>
<h2>Vaksinasi guru dan dampaknya pada murid</h2>
<p>Wacana membuka kembali kegiatan PTM di sekolah muncul setelah adanya rencana vaksinasi guru yang diharapkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/05/03/06441591/targetkan-vaksinasi-guru-rampung-juni-jokowi-kita-ingin-kembalikan-anak-anak">rampung pada Juni 2021</a>. </p>
<p>Program vaksinasi guru ini dilakukan oleh banyak negara di dunia sebagai <a href="https://en.unesco.org/news/where-are-teachers-being-prioritized-covid-19-vaccination-efforts">upaya melindungi kesehatan dan keselamatan guru</a> sehingga kegiatan PTM di sekolah dapat kembali dilakukan. </p>
<p>Harapannya, vaksinasi guru ini dapat membantu menekan penyebaran infeksi COVID-19 di sekolah. Namun, pemberian vaksin Sinovac hingga saat ini belum diketahui apakah mampu mencegah penyebaran virus varian baru SARS-CoV-2 di komunitas atau hanya mencegah individu bergejala berat apabila terinfeksi.</p>
<p>Selain itu, perlu riset lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana virus corona varian B.1.1.7 menginfeksi anak-anak dan remaja serta berapa besar peran anak-anak dan remaja dalam penularan varian baru ini. </p>
<p>Ada baiknya orang tua kembali waspada akan kemungkinan penularan dan mengevaluasi kembali keputusan untuk anak berkegiatan dan kembali belajar <em>offline</em> di sekolah.</p>
<h2>Opsi solusi <em>blended learning</em></h2>
<p>Masuknya varian baru dan dibukanya sekolah tanpa adanya vaksinasi anak akan menyebabkan kenaikan kasus COVID-19. Terutama jika transmisi lokal tidak terkendali yang ditandai dengan <em>percent positive rate</em> di atas 5%.</p>
<p>Jika kegiatan pembelajaran tatap muka tetap dimulai, maka pihak penyelenggara harus menyiapkan pembelajaran campuran (<em>blended learning</em>). Sekolah perlu memberi kebebasan anak dan orang tua untuk memilih metode pembelajaran luring (<em>offline</em>) atau daring (<em>online</em>).</p>
<p>Selain itu, dinas pendidikan dan sekolah perlu mencari inovasi baru dalam proses belajar mengajar. Misalnya, memanfaatkan belajar di ruang terbuka seperti taman, lapangan, atau sekolah di alam terbuka.</p>
<p>Keadaan ini memang sulit dan kita harus berhati-hati sebelum mengambil keputusan yang dapat menyebabkan risiko kesehatan anak-anak, guru, dan orang tua, bahkan kematian.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/161516/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Melani Ratih Mahanani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perlu riset lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana coronavirus varian B.1.1.7 menginfeksi anak-anak dan remaja serta berapa besar peran anak-anak dan remaja dalam penularan varian baru ini.Melani Ratih Mahanani, PhD Researcher in Epidemiology, Heidelberg Institute of Global Health, Germany, University of HeidelbergLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1479232020-10-16T05:02:28Z2020-10-16T05:02:28ZMerombak online learning yang “kikuk” butuh kolaborasi antara guru, siswa, dan ahli teknologi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/363883/original/file-20201016-21-1tlhtd9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/oneonone-meeting-two-young-business-women-582070531">(Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Dewasa ini, kita semakin tidak bisa lepas dari dunia digital, mulai dari layar berukuran telapak tangan hingga sebesar TV. Dari fajar hingga senja, kita terus memantau berita dan media sosial yang disajikan secara digital.</p>
<p>Waktu yang dihabiskan pengguna internet dunia untuk media sosial meningkat dari 90 menit per hari pada 2012 menjadi 143 menit pada 2019 - Indonesia berada jauh di atas rerata tersebut dengan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49630216">195 menit per hari</a>.</p>
<p>Dalam dunia pendidikan Indonesia pun, mulai dari <a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">sekolah dasar</a> hingga <a href="https://theconversation.com/bagaimana-pimpinan-universitas-bisa-mulai-memikirkan-masa-depan-online-learning-pasca-covid-19-140875">universitas</a> dan seterusnya, masyarakat telah menyadari bahwa pembelajaran digital bukan lagi menjadi suatu alternatif, tetapi dengan cepat telah menjadi pilihan utama.</p>
<p>Bayangkan: sebuah keluarga tinggal di kota besar dengan akses internet yang stabil dan paket data internet cukup terjangkau selama pandemi. Ketika anak melakukan pembelajaran jarak jauh, salah satu orang tua bertanya kepada anaknya tersebut tentang pengalamannya.</p>
<p>Anak tersebut menjawab:</p>
<blockquote>
<p>Bosan…! Aku nggak paham yang diajarin. Gurunya <em>ngasih</em> banyak tugas, tapi nggak jelas tugasnya harus <em>ngapain</em>.</p>
</blockquote>
<p>Siswa ini telah menjadi sebatas pengamat pasif dalam dunia digital, atau <a href="https://www.marxists.org/reference/archive/debord/society.htm">“<em>digital bystander</em>”</a>. Guru dari siswa tersebut kesulitan untuk menarik perhatian muridnya, dan sedikit sekali siswa yang benar-benar terlibat dalam proses pembelajaran.</p>
<p>Di era digital seperti saat ini, mempelajari suatu keterampilan dari suatu buku atau video di internet tidaklah cukup. <a href="http://seminar.net/images/stories/vol2-issue2/review_remediation_dobson.pdf">Banyak guru dan akademisi</a> berpendapat bahwa pengalaman belajar tatap muka tetap lebih memuaskan dibandingkan pembelajaran digital.</p>
<p>Pertumbuhan platform yang menyediakan kelas daring (<a href="https://www.diggitmagazine.com/papers/rise-moocs-can-online-distance-learning-replace-traditional-education"><em>Massively Open Online Courses</em>, atau MOOC</a>) dalam beberapa tahun terakhir telah menantang pandangan tersebut. Pembelajaran model baru ini telah menjadi daya tarik tersendiri dan mendorong munculnya berbagai program kursus gratis maupun bisnis kelas daring.</p>
<h2>Saatnya untuk mengubah cara pandang</h2>
<p>Bagaimana kita mengakomodasi dunia digital yang terus berubah ini?</p>
<p>Secara historis, ketika <a href="https://www.jstor.org/stable/10.1525/j.ctt6wqbk7">kereta api pertama kali ditemukan</a>, menumpanginya dan melihat dunia melalui jendela kereta yang berjalan kencang adalah pengalaman yang mengerikan.</p>
<p>Ketakutan itu juga muncul ketika seseorang menjadi bagian atau menyaksikan kecelakaan kereta api. Orang membutuhkan waktu untuk dapat memahami realita baru ini dan mengubah pola pikir mereka tentang transportasi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Man looking out of train window as scenery speeding by" src="https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/361815/original/file-20201006-24-2vrlgt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perjalanan kereta api mengubah pola pikir kita tentang dunia ini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/man-looking-out-train-window-795970933">Liam Morrell/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal yang sama juga berlaku untuk perubahan dunia pendidikan yang dipengaruhi oleh teknologi digital. Tidak ada waktu bagi kita untuk jeda sejenak dari perubahan. Seperti <a href="https://infed.org/mobi/donald-schon-learning-reflection-change/">yang dikatakan filsuf Amerika Serikat, Donald Schön</a>, yang kita butuhkan adalah menyesuaikan diri dengan perubahan.</p>
<p>Bagaimana kita bisa mengambil hati dan pikiran siswa serta guru untuk memastikan bahwa mereka sama-sama memahami dan mengalami pembelajaran online sebagai sesuatu yang bermakna? Apakah ini adalah sekadar persoalan menantang pola pikir tradisional yang disebutkan di atas?</p>
<p>Dengan menjelajahi berbagai cara bagaimana pembelajaran tatap muka berubah menjadi pembelajaran daring, kita bisa mulai mengidentifikasi serangkaian pendekatan - mulai dari yang sederhana yakni menyediakan teknologi pengganti hingga mendefinisikan ulang makna pembelajaran secara radikal.</p>
<p>Dalam model <a href="https://www.schoology.com/blog/samr-model-practical-guide-edtech-integration">substitusi, penambahan, modifikasi, dan redefinisi</a> ini, kami menemukan banyak pendidik yang cenderung memaknai perubahan ini dengan sekadar mengganti praktik kelas tatap muka dengan teknologi baru.</p>
<p>Akibatnya, esensi kemanusiaan dari pengalaman mengajar menjadi hilang ketika prosesnya <a href="http://seminar.net/images/stories/vol2-issue2/review_remediation_dobson.pdf">dijembatani media digital</a>.</p>
<p>Contohnya adalah penyediaan bahan ajar secara elektronik untuk menggantikan buku teks. Hasilnya, suasana belajar tersebut menjadi kikuk dibandingkan dengan pengalaman penggunaan internet untuk kegiatan sehari-hari. Pengalaman siswa di ruang pendidikan digital bisa jadi sangat berbeda dengan pengalaman ketika mereka menggunakan media sosial, belanja, dan bermain <em>game</em>.</p>
<p>Ketidakcocokan ini adalah contoh bagaimana transisi dari kelas fisik ke online seringkali tidak dikelola dengan baik.</p>
<p>Ada kesenjangan alami antara apa yang dipercaya oleh guru dengan yang dialami siswa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Three young people looking at a mobile phone screen" src="https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/362286/original/file-20201007-24-1h2j027.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Siswa sudah terbiasa dengan pengalaman menjelajahi internet yang familier dan lancar, hal yang masih belum terjadi dalam pembelajaran daring.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/three-young-friends-sitting-outdoors-looking-491412196">Jacob Lund/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pentingnya mendesain pembelajaran daring yang inklusif</h2>
<p>Akses yang lebih baik terhadap teknologi maupun pelatihan penggunaan sistem digital sama-sama bukanlah solusi untuk menjembatani kesenjangan ini. Ini adalah celah dalam desain teknologi pembelajaran.</p>
<p>Ketika menyadari hal ini, kita menjadi lebih mudah menemukan solusinya - ada kebutuhan mutlak untuk penerapan “desain untuk dunia daring”, seperti yang dikemukakan <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1235966.pdf">Cathy Stone, profesor pendidikan dari Australia</a>.</p>
<p>Namun, desain ini tidak bisa hanya dibebankan kepada guru. Kita perlu menyatukan berbagai perspektif dan keterampilan, termasuk dari para guru, siswa, dan ahli teknologi, untuk bersama-sama mendesain ulang pengalaman pembelajaran daring.</p>
<p>Guru tidak bisa lagi dijadikan satu-satunya sumber otoritas. Semua harus berkontribusi: guru yang menguasai kurikulum, siswa yang memahami pentingnya arti dukungan dan motivasi dalam belajar, serta ahli teknologi yang berbagi cara-cara mendesain komunikasi digital.</p>
<p>Dengan demikian, tidak akan ada lagi yang namanya ‘pemantau digital’ - semua memiliki peran sebagai perancang. Sebagaimana yang pernah dikatakan peneliti ekonomi politik dari Amerika Serikat, <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/1511391.pdf">Herbert A. Simon</a>, bahwa siapa pun yang terlibat dalam proses “mengubah situasi yang ada menjadi lebih ideal”, adalah seorang desainer.</p>
<p>Tidak ada satu solusi umum untuk mendesain pembelajaran daring. Setiap kali guru, siswa, dan ahli teknologi berkumpul, mereka membentuk suatu komunitas baru dengan tujuan dan berbagai pertanyaan yang sama. Ini adalah sebuah ruang refleksi yang demokratis dan memungkinkan kita untuk bertindak dengan penuh pertimbangan, serta menghargai pengetahuan dan keterampilan pihak lain.</p>
<p>Melihat kembali sejarah, ada baiknya kita belajar dari <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/10.1525/j.ctt6wqbk7.5.pdf">pengalaman yang ditawarkan oleh kehadiran kereta api</a>: kemampuan untuk meninjau ulang secara visual dan juga merancang sebuah dunia tanpa sedikit pun meninggalkan gerbong kereta.</p>
<p>Dengan hadirnya produksi media pembelajaran digital, kini kita juga dipanggil untuk merenungkan dan merancang pembelajaran tanpa beranjak dari depan layar digital.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147923/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengalaman online learning seorang pelajar bisa sangat “kikuk” dan berbeda dengan dunia media sosial. Hanya mencontoh gaya kelas jaman dulu ke bentuk digital tidak cukup. Perlu suatu perombakan total.Steven Warburton, Pro Vice-Chancellor Academic Innovation (Acting), University of New EnglandMuhammad Zuhdi, Adjunct Research Fellow Victoria University of Wellington; Head of the Quality Assurance Institute and Senior Lecturer, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaStephen Dobson, Professor and Dean of Education, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1458572020-09-11T10:52:12Z2020-09-11T10:52:12ZKurangnya perpustakaan dan bacaan berkualitas sebabkan Indonesia darurat literasi<p>Tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat buruk.</p>
<p>Hasil <a href="https://www.oecd.org/pisa/publications/PISA2018_CN_IDN.pdf"><em>Programme for International Students Assessment</em> (PISA) tahun 2018</a>, misalnya, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA). Artinya, mereka bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek.</p>
<p>Hal ini diperparah dengan angka minat baca di Indonesia yang juga rendah. Pada tahun 2018, sebuah survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase penduduk di atas usia 10 tahun yang membaca surat kabar atau majalah <a href="https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1234">hanya 14,92%</a>.</p>
<p>Angka ini lebih rendah dari persentase 15 tahun sebelumnya (<a href="https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1234">23,70%</a>).</p>
<p>Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini.</p>
<iframe style="height:550px; width:100%; border: none;" src="https://databoks.katadata.co.id/datapublishembed/113876/2018-kemampuan-membaca-matematika-dan-sains-indonesia-rendah" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Namun, alih-alih membaik, skor rata-rata membaca siswa di Indonesia pada PISA 2018 masih sama persis dengan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/04/2018-kemampuan-membaca-matematika-dan-sains-indonesia-rendah">hasil tahun 2000</a> ketika Indonesia pertama kali mengikuti PISA. </p>
<p>Kegagalan ini terkait terbatasnya akses siswa di Indonesia terhadap bahan bacaan - yakni betapa sedikitnya perpustakaan maupun buku bacaan berkualitas yang tersedia.</p>
<h2>Mengapa program nasional gagal atasi krisis literasi</h2>
<p>Program pemerintah selama ini - mulai dari <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/06ip005.pdf">kebijakan wajib belajar sembilan tahun</a> era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kampanye <a href="https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/">Gerakan Literasi Nasional</a> yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2016 - terhambat oleh terbatasnya akses ke perpustakaan dan buku bacaan yang berkualitas.</p>
<p><a href="http://repositori.kemdikbud.go.id/13033/1/Puslitjakdikbud_Indeks%20Aktivitas%20Literasi%20Membaca%2034%20Provinsi">Laporan terkini dari Perpustakaan Nasional</a> menyebutkan bahwa perpustakaan yang ada di Indonesia saat ini baru mencapai 154.000 atau hanya memenuhi 20% dari kebutuhan nasional.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/3710798/embed" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:270px;" aria-label="" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/3710798/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/3710798" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Kekurangan perpustakaan ini terdiri di antaranya dari perpustakaan umum (baru 26% dari kebutuhan 91.000) dan perpustakaan sekolah (baru 42% dari kebutuhan 287.000)</p>
<p>Minimnya akses terhadap perpustakaan juga terasa hingga level kecamatan. </p>
<p>Dari <a href="http://repositori.kemdikbud.go.id/13033/1/Puslitjakdikbud_Indeks%20Aktivitas%20Literasi%20Membaca%2034%20Provinsi">total kebutuhan 7.094 perpustakaan kecamatan</a> di seluruh Indonesia, baru terpenuhi sekitar 6% atau 600 perpustakaan yang letaknya masih terpusat di Pulau Jawa. </p>
<p>Hal ini menyebabkan akses masyarakat terhadap perpustakaan dan buku di daerah luar Jawa masih rendah.</p>
<p>Skor berdasarkan <a href="http://repositori.kemdikbud.go.id/13033/1/Puslitjakdikbud_Indeks%20Aktivitas%20Literasi%20Membaca%2034%20Provinsi">‘Indeks Aktivitas Literasi Membaca’ tahun 2019 keluaran Kemendikbud.</a> terkait akses ke perpustakaan maupun bacaan buku di daerah luar Jawa, seperti provinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Aceh, dan Papua masih berkisar kurang dari 20. Nilai ini kalah jauh dari Yogyakarta (47,11) dan Jakarta (46,46).</p>
<p>Masalah minimnya jumlah perpustakaan juga diperparah dengan sedikitnya jumlah buku bacaan yang berkualitas.</p>
<p>Belum ada data yang menunjukkan kondisinya secara nasional, namun <a href="https://www.inovasi.or.id/id/story/membangun-gerakan-literasi-nasional-kekuatan-sebuah-buku-bacaan-yang-bagus/">survei dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)</a> - program kemitraan pemerintah Australia dengan Indonesia - memberikan sedikit gambaran di daerah.</p>
<p>Di Kalimantan Utara, meskipun 80% anak mengaku suka membaca, namun bahan bacaan mereka didominasi oleh buku pelajaran (67%). Hanya sedikit dari mereka yang membaca buku cerita (13%) atau buku pengetahuan umum (2%).</p>
<h2>Kebijakan inovatif: belajar dari Yogyakarta</h2>
<p><a href="http://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Studi kualitatif Program RISE</a> menemukan bahwa masyarakat Yogyakarta memiliki minat membaca yang tinggi.</p>
<p>Keberhasilan tersebut didorong oleh adanya kegiatan literasi rutin dari lingkungan RW (Rukun Warga) dan kelurahan di provinsi Yogyakarta yang dihadiri secara antusias oleh masyarakat dari segala usia. </p>
<p>Minat baca yang tinggi ini didukung juga oleh kolaborasi masyarakat dengan pemerintah daerah.</p>
<p>Dinas Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kota Yogyakarta membuat program literasi yang menjangkau masyarakat secara aktif, contohnya layanan <a href="http://rise.smeru.or.id/id/acara/learning-series-teknologi-untuk-pendidikan">perpustakaan motor roda tiga (PUSPITA) dan mobil perpustakaan keliling (MONIKA)</a>.</p>
<p>Kedua armada tersebut bertugas menjangkau kampung, ruang terbuka publik, maupun sekolah-sekolah yang belum memiliki bahan bacaan yang memadai. Petugas perpustakaan daerah juga menyapa masyarakat dan membuka layanan pada saat hari bebas kendaraan bermotor. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/357666/original/file-20200911-20-emgh3v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mobil perpustakaan keliling (MONIKA) yang disediakan Dinas Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kota Yogyakarta.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Temuan ini setidaknya dapat menjelaskan mengapa Yogyakarta mendapatkan skor literasi PISA <a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310">lebih tinggi dibandingkan rerata nasional</a>. Hasil tersebut setara dengan <a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310">kemampuan membaca siswa di Malaysia dan Brunei Darussalam</a>. </p>
<p>Belajar dari Yogyakarta, para pemangku kepentingan di daerah perlu lebih proaktif dalam menumbuhkan minat baca masyarakat. </p>
<p>Kolaborasi antara para pemangku kepentingan daerah merupakan kunci untuk mengatasi krisis literasi membaca di Indonesia. </p>
<p>Program perpustakaan keliling di Yogyakarta, misalnya, dapat diadopsi menggunakan moda transportasi yang berbeda sesuai dengan kondisi wilayah setempat.</p>
<p>Misalnya, beberapa waktu lalu media massa meliput seorang pegiat literasi yang <a href="https://www.liputan6.com/regional/read/4012024/cerita-pegiat-kuda-pustaka-lereng-slamet-ridwan-sururi-bertemu-gubernur-ganjar">menggunakan kuda pustaka</a> di lereng Gunung Slamet di Jawa Tengah atau <a href="https://koran.tempo.co/read/makassar/374352/melahirkan-perahu-pustaka?">perahu pustaka</a> yang menjangkau kampung-kampung di sepanjang aliran sungai atau pesisir di Kalimantan dan Sulawesi.</p>
<p>Langkah kreatif yang disesuaikan dengan konteks lokal seperti ini patut dicoba untuk mengatasi darurat literasi di Indonesia. </p>
<p>Pemerintah daerah juga bisa mengalokasikan Dana Desa untuk membangun perpustakaan di wilayahnya sesuai dengan <a href="http://jdih.kemendesa.go.id/inventaris/2016/3">Peraturan Menteri Desa Nomor 22 Tahun 2016</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145857/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Program nasional selama 15 tahun gagal atasi krisis literasi di Indonesia. Skor membaca siswa Indonesia pada PISA 2018 masih sama persis dengan saat pertama kali mengikuti PISA pada tahun 2000.Risa Nihayah, Peneliti, SMERU Research InstituteShintia Revina, Peneliti, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1331472020-03-06T08:31:48Z2020-03-06T08:31:48ZPenelitian: orang miskin cenderung mengirim anak perempuan mereka ke madrasah<p><em>Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret.</em></p>
<hr>
<p>Indonesia memiliki <a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/brief/world-bank-and-education-in-indonesia">salah satu sistem pendidikan yang paling besar dan beragam</a> di dunia.</p>
<p>Di antaranya, terdapat puluhan ribu sekolah Islam, atau madrasah, yang secara khusus memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak dari keluarga Muslim.</p>
<p>Institusi madrasah ini berdiri seiringan dengan beberapa jenis sekolah lain, termasuk sekolah negeri dan swasta non-agama, beserta sekolah swasta keagamaan yang semuanya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan menjalankan kurikulum nasional.</p>
<p>Pengelolaan madrasah di Indonesia berada <a href="http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis">di bawah Kementerian Agama</a>. Ada dua jenis madrasah.</p>
<p>Jenis pertama adalah madrasah yang mengadopsi sistem modern. Di sekolah tersebut, murid diajarkan materi agama Islam dengan beberapa mata pelajaran umum. Lulusannya mirip dengan sekolah modern tapi biasanya memiliki pemahaman keagamaan Islam yang lebih mendalam.</p>
<p>Yang kedua, adalah jenis madrasah yang mengajarkan pendidikan Islam dengan penekanan pada kitab Arab klasik - <a href="http://www.oxfordislamicstudies.com/print/opr/t236/e0632">pondok pesantrean</a> adalah salah satu contohnya. Lulusannya seringkali menjadi pendakwah agama atau pimpinan masjid.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=420&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=420&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=420&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=528&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=528&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/318433/original/file-20200303-66078-yjhu1j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=528&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Distribusi lokasi <em>madrasah</em> (semua jenis) beserta jumlah pelajarnya.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.econstor.eu/bitstream/10419/177166/1/dp11362.pdf">(Asadullah & Maliki, 2018)</a>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meskipun demikian, jenis madrasah yang memiliki jumlah terbesar di Indonesia adalah madrasah informal yang tidak terdaftar di kementerian. Mereka pada umumnya hanya mengajarkan materi keagamaan Islam secara eksklusif.</p>
<p>Di Indonesia, jumlah madrasah meningkat <a href="http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=bukustat20112012">lebih dari dua kali lipat</a> dari sekitar 63.000 di antara tahun 2002 dan 2003 menjadi sekitar 145.000 di antara 2011 dan 2012. Penyumbang terbesar kenaikkannya adalah jumlah madrasah informal.</p>
<p>Pada periode 2011-2012, madrasah yang tidak terdaftar ini berjumlah lebih dari 17% dari semua sekolah di Indonesia. Madrasah yang terdaftar juga memiliki persentase tinggi di level SMP dan SMA, masing-masing 31% dan 36%.</p>
<p>Walaupun begitu, penelitian kami yang diterbitkan di <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0738059317302341"><em>International Journal of Educational Development</em></a> menemukan bahwa selain madrasah banyak diminati oleh rumah tangga miskin, tapi keluarga miskin tersebut juga cenderung mengirimkan anak perempuannya ketimbang anak laki-lakinya ke madrasah.</p>
<h2>Penjelasan</h2>
<p>Riset kami melibatkan hampir 200.000 anak Indonesia berusia 5-18 tahun. Datanya sendiri diambil dari <a href="https://www.rand.org/well-being/social-and-behavioral-policy/data/bps/susenas/2005.html">Survei Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS)</a>, sementara data tentang sekolah di desa diambil dari <a href="https://dataverse.harvard.edu/dataset.xhtml?persistentId=doi:10.7910/DVN/UEBVER">Pendataan Potensi Desa (PODES)</a>, keduanya terbit tahun 2005.</p>
<p>Dengan menganalisis gabungan dari kedua data ini, kami menemukan bahwa anak-anak Indonesia dari rumah tangga miskin, daerah pedesaan, dan keluarga yang berpendidikan rendah lebih berkemungkinan untuk dikirim ke madrasah. Hasil ini berkebalikan dengan anak-anak di sekolah swasta.</p>
<p>Ini membuktikan anggapan bahwa madrasah memang menawarkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1053535711000072">alternatif pendidikan yang lebih murah</a> ketimbang sekolah swasta yang biasanya mahal.</p>
<p>Kami juga menemukan bahwa pilihan sekolah orang tua untuk anak perempuan dan laki-laki juga berbeda dan ini menarik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gender-equity-in-schools-in-muslim-countries-it-can-be-done-32271">Gender equity in schools in Muslim countries: it can be done</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meskipun ribuan sekolah - madrasah ataupun bukan - memberikan akses untuk kedua gender, masih terdapat suatu fenomena unik bahwa anak perempuan jauh lebih berkemungkinan untuk bersekolah di madrasah.</p>
<p>Sementara itu, anak laki-laki memiliki kemungkinannya lebih tinggi untuk menikmati pendidikan di sekolah non-madrasah.</p>
<p>Rata-rata, kemungkinan anak perempuan untuk mendaftar di sekolah swasta non-madrasah adalah negatif, dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0738059317302341">8 poin persentase lebih rendah</a> ketimbang untuk laki-laki dari latar belakang keluarga yang serupa. Tanpa memperhitungkan lokasi tempat tinggal mereka (Jawa versus luar Jawa, atau daerah urban versus pedesaan), orang tua lebih memilih madrasah untuk anak perempuan.</p>
<p>Batasan penelitian kami tidak memungkinkan kami untuk menjelaskan fenomena ini. Tapi, kami memiliki beberapa hipotesis di luar alasan ekonomi yang mungkin menjelaskan bias gender dalam pilihan sekolah keluarga miskin.</p>
<p>Pertama, keberadaan perempuan yang lumayan tinggi di madrasah bisa jadi mencerminkan meningkatnya pengaruh konservatisme pada daerah pedesaan di Indonesia.</p>
<p>Misalnya, jaringan <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9781315628837/chapters/10.4324/9781315628837-20">madrasah Salafi</a> makin banyak muncul. Mereka banyak mendorong pengajaran nilai-nilai yang memarjinalkan perempuan pada peran-peran tradisional, yang justru banyak diminati oleh orang tua di pedesaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-5-cara-mengatasi-bias-gender-di-pondok-pesantren-128525">Riset: 5 cara mengatasi bias gender di pondok pesantren</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kedua, peluang ekonomi untuk perempuan di luar rumah seperti menjadi buruh cukup terbatas di daerah pedesaan. Banyak perempuan di daerah tersebut akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan dini sebagai suatu realita yang harus dihadapi.</p>
<p>Pendidikan di madrasah dianggap sesuai untuk perempuan karena memenuhi peran tradisional mereka sebagai “<a href="https://core.ac.uk/download/pdf/2780774.pdf">istri yang baik</a>”.</p>
<h2>Melanggengkan norma gender</h2>
<p>Bagaimana ini berdampak pada kesetaraan gender dan pendayagunaan perempuan di Indonesia?</p>
<p>Riset dari dunia internasional menunjukkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00220388.2017.1414190">konservatisme yang signifikan</a> di antara pelajar madrasah secara umum, dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0305750X09001880">lulusan perempuannya</a> secara khusus, utamanya terkait pemahaman mengenai norma gender.</p>
<p>Serupa dengan tren tersebut, tradisi patriarki juga mempengaruhi sebagian besar madrasah di Indonesia.</p>
<p>Misalnya, <a href="http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/psga/article/view/12812">beberapa studi</a> menemukan bahwa kitab keagamaan yang digunakan pada sekolah Islam di Indonesia melanggengkan narasi tradisional terkait peran perempuan di rumah tangga. <a href="https://www.mdpi.com/2077-1444/9/10/310">Laporan lain</a> menunjukkan bahwa beberapa guru madrasah melanggengkan anggapan bahwa perempuan memiliki kualifikasi yang lebih rendah ketimbang laki-laki untuk jabatan kepemimpinan.</p>
<p>Hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat perempuan di Indonesia sudah sangat rendah representasinya di pasar tenaga kerja, dengan sekitar 46.3 juta pekerja - atau <a href="https://books.google.co.id/books?id=jM16DwAAQBAJ&pg=PA33&lpg=PA33&dq=angkatan+kerja+perempuan+juta&source=bl&ots=UrKHd7bqBQ&sig=ACfU3U3aXyQgbFjjniAWjQqVau5sJuU9og&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=angkatan%20kerja%20perempuan%20juta&f=false">sekitar 38% tenaga kerja pada tahun 2017</a>.</p>
<p>Walaupun begitu, untuk sebagian besar perempuan di daerah pedesaan, mencari pekerjaan tidak sepenting mencari suami. </p>
<p>Pria dari negara dengan ekonomi yang kurang berkembang dengan nilai-nilai patriarki yang kuat, lebih menginginkan calon istri yang patuh dan siap berkorban. Nilai-nilai kepatuhan seperti itu diajarkan di madrasah.</p>
<p>Namun, ajaran-ajaran ini memiliki resiko besar menguatkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00220388.2017.1414190">stereotip tentang perempuan</a> dan membatasi luasnya peran sosial yang semestinya tersedia untuk perempuan.</p>
<p>Dengan hanya menekankan bagaimana menjadi “istri yang baik”, pendidikan madrasah bisa jadi ikut melanggengkan norma gender yang konservatif di masyarakat Indonesia, sekaligus menghambat upaya untuk meningkatkan peluang ekonomi perempuan melalui pendidikan.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Upaya memperluas kesempatan pendidikan pada perempuan dengan mengirim mereka ke sekolah madrasah tentunya memiliki efek samping. Salah satunya adalah meredam partisipasi ekonomi dan politik perempuan.</p>
<p>Hal ini bukanlah pilihan yang ideal mengingat pemerintah ingin mendorong lebih banyak perempuan masuk sektor ekonomi formal. Pada dua dekade belakangan, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan mengalami stagnasi, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00074918.2018.1530727?src=recsys&journalCode=cbie20">yaitu di sekitar 51%</a>.</p>
<p>Namun, kebijakan yang menghambat pertumbuhan madrasah berbiaya rendah juga bukan opsi yang baik. Ada indikasi bahwa kesenjangan gender pada pilihan sekolah bisa jadi hanya efek samping dari <a href="https://www.adb.org/sites/default/files/publication/156821/education-indonesia-rising-challenge.pd">meningkatnya jumlah sekolah swasta yang mahal</a>.</p>
<p>Oleh karena itu, mendirikan sekolah bagus yang terjangkau untuk murid dari berbagai macam agama dan latar belakang ekonomi harus menjadi kebijakan prioritas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-sikap-pasrah-dan-nrimo-jadi-tantangan-besar-untuk-hapus-kemiskinan-di-jawa-122023">Riset: Sikap pasrah dan _nrimo_ jadi tantangan besar untuk hapus kemiskinan di Jawa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/133147/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>M Niaz Asadullah is the co-founder of "Initiatives on Gender, Education and Growth" (<a href="https://www.integgra.org/">https://www.integgra.org/</a>) and Southeast Asia Lead of the Global Labor Organisation (GLO).</span></em></p>Riset menemukan bahwa rumah tangga miskin lebih memprioritaskan pendidikan mahal untuk anak laki-laki, sementara anak perempuan dikirmkan ke madrasah yang murah. Kenapa?M Niaz Asadullah, Professor of Development Economics, University of MalayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1299772020-02-18T02:09:45Z2020-02-18T02:09:45ZMenteri Nadiem “akhiri sejarah” UN dan kembalikan kuasa penilaian pada guru. Apakah mereka mampu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/315436/original/file-20200214-10976-l0wbdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Makassar mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer, Maret 2019.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/162870316@N03/46639419245/in/photolist-2e3BWPV-RvGMDM-2gW7HBE-2e4nds2-2fks8Cq-2dXyyRw-2gW7HC1-2fozs9k-2dM3nf2-2duvi62-2eoV2UQ-TaRRBo-2fqdeUm-2hZ8u4E-2eoV2Xq-2eoV2Ys-2fqdeT9-2hXX1Zv-2hSFky2-2f49yEm-QA9xDz-2fqdeWf-2dEJtVc-RFR9iX-RQC8Cv">Gosulpict 1/Flickr</a></span></figcaption></figure><p>Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/24/153700065/ramai-soal-kebijakan-nadiem-dari-hapus-un-hingga-konsep-pilihan-ganda?page=all">mengakhiri Ujian Nasional (UN)</a> untuk siswa sekolah menengah tahun ini dan <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/11/14433351/ini-konsep-baru-un-dan-usbn-versi-merdeka-belajar-mendikbud-makarim?page=all#page2">mulai tahun depan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a> dan Survei Karakter di <a href="https://tirto.id/ujian-nasional-dihapus-mendikbud-dan-sejarahnya-di-indonesia-enkH">pertengahan setiap jenjang sekolah (kelas 4, 8 dan 11)</a>. </p>
<p>Perubahan dari UN ke AKM ini <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/003172171009200119">berpotensi besar meningkatkan standar pendidikan</a> yang kini masih <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180607113429-284-304214/bank-dunia-kualitas-pendidikan-indonesia-masih-rendah">rendah di negeri ini</a> jika para guru Indonesia memahami cara mengaplikasikan penilaian formatif. </p>
<p>Dalam teori evaluasi pembelajaran, AKM masuk kategori <a href="https://cole2.uconline.edu/courses/333119/pages/what-is-formative-assessment">penilaian formatif</a>, sebuah penilaian di tengah masa pembelajaran sebagai umpan balik dari siswa ke guru (dan sebaliknya) untuk meningkatkan kualitas belajar masa selanjutnya. Sedangkan UN dikategorikan <a href="http://sk.sagepub.com/reference/sage-encyclopedia-of-educational-research-measurement-evaluation/i20284.xml">penilaian sumatif</a> karena dilaksanakan pada akhir masa belajar dari satu jenjang sekolah. </p>
<p>Berbagai <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0969595980050102?journalCode=caie20">riset di bidang penilaian formatif</a> menunjukkan bahwa implementasi penilaian formatif memberikan berbagai manfaat seperti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08957340802347845">meningkatkan motivasi belajar siswa</a>, memberikan informasi yang berharga bagi guru <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0969594042000208994">untuk menentukan arah pembelajaran</a> dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1023/A%3A1022999406564">meningkatkan kualitas cara mengajar guru</a>. </p>
<p>Menghapus UN dan menyerahkan otoritas penilaian kompetensi siswa kepada guru sesuai dengan konsep penilaian formatif adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan standar pendidikan di Indonesia. </p>
<p>Pertanyaannya, apakah guru sudah siap menerima peran dan tanggung jawab ini? Dengan kata lain, apakah guru sudah memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan penilaian formatif?</p>
<h2>Penilaian formatif dan sumatif</h2>
<p>Penilaian formatif sampai saat ini masih dipahami berdasarkan konsep yang dipopulerkan oleh sekelompok ahli evaluasi pembelajaran <a href="https://books.google.co.id/books?id=-_clAQAAIAAJ&dq=%22evaluation%20to%20improve%20learning%22&hl=id&source=gbs_book_other_versions">Benjamin Samuel Bloom, George F. Madaus, dan John Thomas Hastings pada 1981</a>. </p>
<p>Mereka mendefinisikan penilaian formatif sebagai “testing for learning” - tes yang diselenggarakan di tengah proses pembelajaran yang hasilnya digunakan untuk perbaikan belajar siswa. Adapun penilaian sumatif adalah “testing for final performance” - tes di akhir periode pembelajaran yang hasilnya menggambarkan kemampuan siswa selama periode belajar tersebut. </p>
<p>Yang perlu digarisbawahi adalah, dari kedua definisi tersebut, asesmen formatif dan sumatif selalu berkaitan dengan tes, yang membedakan hanya waktu penyelenggaraannya. Formatif dilaksanakan saat periode pembelajaran, sedangkan sumatif di akhir proses pembelajaran. </p>
<p>Namun, dalam perkembangannya, asesmen formatif dan sumatif dibedakan berdasarkan data dari hasil penilaian (<em>learning evidence</em>) yang digunakan oleh guru. Data hasil penilaian ini tidak terbatas sumbernya hanya dari tes, bisa juga diambil dari portofolio siswa, observasi, atau jurnal harian siswa. </p>
<p>Dalam penilaian formatif, guru bisa menggunakan data hasil asesmen untuk memperbaiki proses pembelajaran. Sedangkan dalam penilaian sumatif, data hasil asesmen digunakan hanya untuk pelaporan kepada orang tua dan kepala sekolah.</p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books?id=9xiTAgAAQBAJ&pg=PA58&dq=Pavlovic,+Awwal,+Mountain,+%26+Hutchinson&hl=ban&sa=X&ved=0ahUKEwiQr6jk1dPnAhXYxDgGHUzLAnQQ6AEIJTAA#v=onepage&q=Pavlovic%2C%20Awwal%2C%20Mountain%2C%20&f=false">Sekelompok ahli evaluasi pembelajaran Masa Pavlovic, Nafisa Awwal, Roz Mountain, dan Danielle Hutchinson dalam artikelnya pada 2014</a> mengilustrasikan penilaian formatif seperti koki yang sedang memasak. Koki akan mencicipi masakannya dan menambahkan berbagai bumbu untuk membuat rasa masakannya menjadi lebih enak. Sementara, penilaian sumatif digambarkan seperti koki yang sudah menghidangkan masakannya pada tamu. Dia tidak bisa lagi memperbaiki rasa makanan tersebut setelah hidangan disiapkan di atas meja. </p>
<p>Konsep penilaian formatif kembali populer manakala dua ahli evaluasi pendidikan sains dari King’s College London,<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0969595980050102?journalCode=caie20">Paul Black dan Dylan Wiliam, menerbitkan artikel terkenal “Assessment and Classroom Learning” pada 1998 </a>. </p>
<p>Kedua peneliti ini mereview 250 artikel riset yang terbit antara 1987 dan 1997 mengenai topik yang relevan dengan penilaian formatif. Mereka menyimpulkan bahwa penilaian formatif dapat meningkatkan standar pendidikan.</p>
<h2>Masalahnya: mayoritas guru kurang kompeten</h2>
<p>Sebenarnya, penilaian formatif sudah diaplikasikan dalam sistem penilaian di Indonesia. Hal ini terdokumentasikan dalam berbagai kebijakan yang sudah, sedang, dan pernah berlaku di Indonesia. </p>
<p>Misalnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan <a href="http://vervalsp.data.kemdikbud.go.id/prosespembelajaran/file/Permendiknas%20No%2016%20Tahun%202007.pdf">Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru</a>; <a href="https://palembang.bpk.go.id/?p=1564">Permendikbud No. 20 Tahun 2007</a> dan <a href="https://bsnp-indonesia.org/wp-content/uploads/2009/09/Permendikbud_Tahun2016_Nomor023.pdf">No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan</a> menyatakan salah satu konsep penilaian yang diadopsi adalah <em>assessment for learning</em> - nama lain dari formatif asesmen. </p>
<p>Model penilaian serupa juga dimuat dalam <a href="https://drive.google.com/file/d/0B052-8ov5-OIQkNIczlIbExNcUk/view">panduan penilaian jenjang SD-SMA terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016/2017</a>. </p>
<p>Namun, <a href="https://journal.binus.ac.id/index.php/Lingua/article/view/2113.">riset kuantitatif Mohammad Arsyad Arrafii dan Baiq Sumarni dari IKIP Mataram pada 2018</a> dengan kuesioner yang melibatkan responden 243 guru bahasa Inggris SMA swasta dan negeri di Lombok menunjukkan mayoritas guru belum memahami konsep penilaian formatif secara holistik. Penelitian yang mengukur kompetensi guru dalam memahami penilaian formatif ini menghasilkan skor rata-rata 47,3 dari nilai teratas 100. </p>
<p>Temuan riset ini tidak jauh berbeda dengan <a href="http://journal2.um.ac.id/index.php/jbs/article/view/677/419">riset kualitatif dari Ida Ayu Made Sri Widiastuti dan Ali Saukah pada 2017</a> yang menunjukkan bahwa tiga guru bahasa Inggris yang terlibat dalam riset ini masih kesulitan mengimplementasikan penilaian formatif.</p>
<p>Sedikit kabar baiknya, <a href="https://library.canberra.edu.au/discovery/sourceRecord?vid=61ARL_CNB:61ARL_CNB&docId=alma991004767969203996&recordOwner=61ARL_CNB">riset kualitatif saya dengan responden delapan guru terpilih pada 2018 ihwal implementasi penilaian formatif di delapan SMA di Jawa Barat</a> menunjukkan enam dari delapan responden terampil mengaplikasikan penilaian formatif di kelas melampaui pengetahuan mereka tentang konsep penilaian ini. </p>
<p>Dalam konteks riset ini, berarti sebagian besar guru mampu mempraktikkan penilaian formatif sebagai bagian dari pengajaran mereka. Tentu saja itu hanya bagian sangat kecil dari total guru di Indonesia <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3174757/guru-di-indonesia-dalam-angka">sekitar 3 juta guru</a>. </p>
<p>Kebijakan mengembalikan otoritas penilaian siswa kepada guru, karena guru dan sekolah yang menentukan kelulusan siswa, dengan mengadopsi penilaian formatif akan memberikan kesempatan yang besar bagi para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan lulusan sekolah. Karena mereka mendapat umpan balik dalam setiap pembelajaran sehari-hari. </p>
<p>Dan inilah yang paling penting karena guru dapat menyesuaikan pengajaran sesuai dengan kemajuan siswa sehingga siswa dapat meningkatkan kompetensi mereka. </p>
<p>Kebijakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang akan diperkenalkan Menteri Nadiem harus dibarengi dengan strategi yang mendukung guru dapat memainkan peran sebagai assessor/penilai yang kompeten. </p>
<p>Untuk itu, pemerintah sebaiknya fokus pada <a href="https://theconversation.com/rapor-kompetensi-guru-sd-indonesia-merah-dan-upaya-pemerintah-untuk-meningkatkannya-belum-tepat-120287">peningkatan kompetensi guru terlebih dulu</a> sebelum mencanangkan berbagai kebijakan lainnya terkait penilaian kompetensi siswa.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129977/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Maya Defianty tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pertanyaanya, apakah guru sudah siap menerima peran dan tanggung jawab ini? Dengan kata lain, apakah guru sudah memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan penilaian formatif?Maya Defianty, Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Tarbiyah (FITK), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1277152019-11-25T11:35:17Z2019-11-25T11:35:17ZPesan tak biasa Menteri Nadiem dan mengapa guru belum merdekakan siswa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/303386/original/file-20191125-74557-w7ybqu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Interaksi siswa SMP dan guru di sebuah sekolah di Batang, Jawa Tengah, 16 November 2019.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU3NDY4Mzg3MSwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTU2MTYyNjQ3OCIsImsiOiJwaG90by8xNTYxNjI2NDc4L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sIkxHYzNUckdDZURnMWhjclNaS01heFExTHA1WSJd%2Fshutterstock_1561626478.jpg&pi=33421636&m=1561626478&src=b44a7188-5733-4d88-8b3a-5c677d5e479d-1-47">Maharani Afifah/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Saat memperingati Hari Guru 25 November, <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/24/084450565/viral-pidato-nadiem-makarim-soal-hari-guru-nasional-ini-isinya?page=all">Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengajak para guru menjadi agen perubahan</a> untuk kemerdekaan belajar di Indonesia. Salah satu poin yang dia tekankan di dalam pidato tersebut adalah agar guru tidak selalu menyeragamkan proses belajar bagi siswa dengan kebutuhan yang berbeda-beda. </p>
<p>Guru juga diimbau agar mengajak anak didiknya berdiskusi, bukan hanya menjadikan siswa sebagai pendengar atau penerima pasif dari kegiatan transfer ilmu pengetahuan. </p>
<p>Ajakan ini bukan tanpa didasari data. Hasil <a href="https://www.worldbank.org/in/news/feature/2014/07/08/teacher-reform-in-indonesia-the-role-of-politics-and-evidence-in-policy-making">riset Bank Dunia pada 2014</a> menunjukkan bahwa dari 200 kelas matematika tingkat sekolah menengah pertama (SMP) disurvei, hanya sekitar 10% waktu pembelajaran yang dialokasikan untuk kegiatan diskusi.</p>
<p>Sementara itu, sekitar 60% waktu pembelajaran dialokasikan untuk kegiatan eksposisi atau menjelaskan materi. Dalam berinteraksi dengan siswa, studi yang sama menunjukkan bahwa waktu yang digunakan oleh guru berbicara adalah sekitar 75% dari waktu pelajaran. </p>
<p>Hasil pengamatan dalam laporan hasil studi tersebut cukup mengagetkan, mengingat banyak <a href="http://pgdikdas.kemdikbud.go.id/read-news/peningkatan-kompetensi-pembelajaran-guru-melalui-mgmp-dan-kkg">program pemerintah dalam satu dekade terakhir baik melalui LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) maupun KKG (Kelompok Kerja Guru)</a> yang telah mempromosikan perubahan paradigma dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. </p>
<p>Mengapa guru belum mengadopsi pembelajaran yang memerdekakan siswa untuk belajar? Cara dan pengalaman guru belajar di bangku kuliah pada masa lalu dan kurangnya rujukan penyelesaian soal dengan variasi metode di buku teks diduga menjadi penyebabnya. </p>
<h2>Kemerdekaan belajar</h2>
<p>Sebagai ilustrasi, dalam belajar perkalian di tingkat sekolah dasar, guru umumnya mengajarkan cara menyelesaikan soal perkalian dengan prosedur yang rumit untuk siswa usia sembilan tahun, yaitu dengan menggunakan <a href="https://theconversation.com/pengajaran-aritmatika-di-sd-sembunyikan-logika-bagaimana-mengatasinya-113565">metode susun ke bawah atau vertikal</a>. </p>
<p>Dalam menghitung hasil perkalian dua bilangan, misalnya 11 x 25, maka hanya ada satu cara penyelesaian yaitu mengalikan kedua bilangan dengan cara yang dicontohkan oleh guru. Jika siswa tidak menggunakan cara yang dicontohkan oleh guru atau cara pengerjaan tidak sesuai dengan contoh pada buku teks, maka siswa dianggap tidak mendengarkan guru dengan saksama. </p>
<p>Lebih buruk lagi, cara pengajaran seperti itu telah membuat siswa Indonesia tidak terbiasa dapat menghitung operasi bilangan sederhana tanpa menggunakan prosedur baku yang dipelajari di sekolah. </p>
<p>Dalam sebuah artikel berjudul “<a href="https://www.insideindonesia.org/a-nation-of-dunces">A nation of dunces</a>” (Bangsa yang lambat dalam belajar), seorang penulis menyampaikan contoh seorang penjual warung di Sulawesi Tengah yang bahkan harus menggunakan kalkulator untuk menghitung total yang harus dibayar pembeli atas 2 gelas kopi yang harga satuannya Rp2000 dan 2 buah kue yang harga satuannya Rp1000. </p>
<p>Artikel tersebut mempertanyakan kemampuan berhitung dasar yang bahkan tidak bisa dikuasai oleh orang dewasa di Indonesia.</p>
<h2>Dua masalah mendasar</h2>
<p>Ilustrasi pengajaran perkalian di atas sangat umum ditemukan di kelas-kelas di sekolah di Indonesia. Sebenarnya, banyak guru bukan tidak ingin mengubah cara mengajar mereka ke arah yang lebih baik. Namun guru seringkali tidak memiliki rujukan yang memadai mengenai bagaimana proses belajar mengajar yang memerdekakan siswa seharusnya terjadi. </p>
<p>Masalah tersebut setidaknya dapat dijelaskan oleh dua hal: </p>
<p><em>Pertama</em>, dalam pendidikan mereka (dulu) sebagai siswa, mahasiswa calon guru, maupun dalam pelatihan sebagai guru dalam jabatan, guru tidak memiliki pengalaman dengan kemerdekaan belajar. Mereka terbiasa mendengarkan penjelasan dari guru dan dosennya dan mengerjakan tugas terstruktur tanpa banyak kegiatan diskusi terbuka untuk mengemukakan pendapat. Pengalaman personal yang kurang aktif ini “ditularkan” dalam proses mengajar pada siswanya saat mereka menjadi guru belasan hingga puluhan tahun berikutnya.</p>
<p><em>Kedua</em>, buku teks pelajaran dan buku guru yang diterbitkan baik oleh pusat perbukuan maupun oleh penerbit swasta tidak memberikan referensi yang baik bagaimana memfasilitasi pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan efektif. Buku teks yang ada saat ini, baik buku siswa maupun buku guru dinilai berkualitas rendah. </p>
<p>Selama bertahun-tahun, rendahnya kualitas buku ini diduga disebabkan oleh <a href="https://nasional.tempo.co/read/604399/kurikulum-2013-disusupi-mafia-buku/full&view=ok">mafia buku</a>. Nyatanya, ketika pintu bagi kecurangan dalam pengembangan dan penerbitan buku telah ditutup pun, kualitas buku teks pelajaran yang sepenuhnya dikembangkan dan diterbitkan oleh <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140912142408-20-3215/ikapi-tidak-ada-mafia-buku-pelajaran">Pusat Perbukuan belum juga membaik</a>. </p>
<p>Lalu, bagaimana guru dapat membantu agar siswa belajar dengan merdeka? </p>
<p>Dalam ilustrasi belajar perkalian di atas, alih-alih memberikan contoh prosedur penggunaan metode susun ke bawah, guru dapat mengarahkan siswa agar memiliki strategi penyelesaian soal yang lebih fleksibel, menggunakan hubungan antarangka (<em>number bonds</em>), dan mengarah pada penggunaan strategi <a href="https://www.stem.org.uk/elibrary/resource/29219"><em>mental calculation</em></a> (menghitung di kepala). </p>
<p>Misalnya, dalam soal 11 x 25, siswa dapat memecah angka 11 menjadi 10 dan 1 (<em>number bonds</em>), kemudian mengalikan masing-masing angka dengan 25 (maksudnya 10 x 25 ditambah 1 x 25) dan menjumlahkan hasilnya hingga mendapat hasil 275. Siswa lain dapat juga mengerjakan dengan mengalikan 11 dengan 20 (11 x 20) kemudian menjumlahkannya dengan hasil kali 11 dengan 5 (11 x 5), atau dengan cara lain yang dapat lebih mereka pahami. </p>
<h2>Berpikirlah sederhana</h2>
<p>Seandainya kemerdekaan memilih strategi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas sejak sekolah dasar, maka siswa akan dapat mengembangkan daya nalar lebih baik dan tidak sekadar menghafal prosedur maupun rumus. Daya nalar siswa tidak selalu harus diajarkan melalui <a href="https://www.jpnn.com/news/sebagian-guru-kurang-paham-soal-hots">soal-soal <em>high order thinking skills</em> (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi</a>, yang hingga saat ini bahkan tidak dipahami dengan baik oleh para guru. </p>
<p>Model soal <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=18&ved=2ahUKEwj10ODLoYXmAhU6wzgGHTliCbUQFjARegQIBxAC&url=https%3A%2F%2Fjournal.unnes.ac.id%2Fsju%2Findex.php%2Fprisma%2Farticle%2Fdownload%2F19597%2F9507%2F&usg=AOvVaw34rzHygEqJ27kcmH6qlkz3">HOTS</a> adalah soal yang membutuhkan analisis dan daya nalar tinggi, setidaknya dua langkah berpikir, untuk menyelesaikannya. Soal jenis ini tidak bisa diselesaikan langsung dengan mengaplikasikan suatu rumus. </p>
<p>Guru dapat memulainya dengan soal yang sederhana, namun memberikan kebebasan berpikir kepada siswa agar siswa dapat menemukan strategi belajar yang tepat untuk dirinya. </p>
<p>Untuk mencapai hal ini, guru membutuhkan dukungan dari semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, manajemen sekolah, orang tua maupun masyarakat. Di antara dukungan yang dibutuhkan segera oleh guru adalah pendidikan dan pelatihan guru yang tepat baik secara isi maupun bentuk, keselarasan antara kurikulum dan penilaian hasil belajar siswa, serta penyajian buku teks dan buku panduan guru yang sesuai dengan semangat memerdekakan belajar. </p>
<p>Namun, seperti disampaikan oleh Menteri Nadiem, ketika perubahan di tempat lain belum dapat terwujud, guru diimbau untuk melakukan langkah kecil bermula dari dirinya di ruang kelas. Ketika perubahan kecil ini dilakukan secara konsisten dan serentak, kemajuan pendidikan di Indonesia tidak hanya lagi menjadi sekadar impian.</p>
<p>Selamat Hari Guru!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/127715/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Shintia Revina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Saat kuliah, para calon guru terbiasa mendengarkan penjelasan dan mengerjakan tugas terstruktur tanpa banyak melakukan kegiatan diskusi terbuka untuk mengemukakan pendapat.Shintia Revina, Peneliti, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1222622019-08-26T07:52:31Z2019-08-26T07:52:31ZHati-hati, harapan besar guru juga dapat kurangi kepercayaan diri murid<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289311/original/file-20190825-170935-1p6lghv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">shutterstock </span></span></figcaption></figure><p>Untuk banyak siswa, <a href="https://theconversation.com/uk/search?utf8=%E2%9C%93&q=teacher+pressure">tekanan dan ekspektasi</a> adalah bagian dari pengalaman bersekolah. Ada tekanan untuk tampil baik pada tugas-tugas tertentu, memenuhi standar yang diterapkan oleh sekolah, dan untuk murid meraih potensi maksimalnya. </p>
<p>Kemudian, ada pula <a href="https://theconversation.com/uk/search?utf8=%E2%9C%93&q=students+pressure">banyak ekspektasi</a> – bahwa setiap siswa akan mengerjakan pekerjaan rumahnya (PR), datang ke sekolah tepat waktu, dan menunjukkan kemampuan terbaiknya.</p>
<p>Tekanan menjadi lebih tinggi ketika diikuti dengan kemungkinan buruk yang terjadi bila harapan tidak terpenuhi – kekecewaan guru, nilai yang jelek, atau mendapat teguran keras. Hal ini dibuktikan dalam penelitian. Para peneliti telah menemukan bahwa “kontrol” dari para guru <a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-05694-014">berhubungan dengan minat siswa yang lebih rendah</a>.</p>
<p>Meski banyak penelitian yang fokus pada motivasi siswa dan peran guru dalam memberikan harapan positif dan membangun, tidak banyak yang mengulas tentang pengalaman siswa terkait “tekanan dari ekspektasi”. Tidak banyak pula dari kita yang mengetahui bagaimana tekanan ekspektasi ini terjadi dalam kesehariannya, seperti tugas-tugas dan hal-hal lain yang harus dikerjakan karena tuntutan dari guru – dari satu pelajaran ke pelajaran lain, hari demi hari. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0361476X18302315?via%3Dihub">Penelitian terbaru kami</a> melihat hal-hal seperti ini, kami menemukan bahwa tekanan ekspektasi dari para guru dapat menjadikan para siswa belajar lebih keras – namun, hal ini berdampak negatif untuk beberapa siswa. </p>
<h2>Di bawah tekanan</h2>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0361476X18302315?via%3Dihub">Dalam penelitian ini</a>, kami bertanya pada 231 siswa di Inggris, terdiri dari siswa kelas lima dan kelas enam. Mereka diminta melaporkan setiap harinya pengalaman belajar mereka satu kali dalam setiap pelajaran, selama satu minggu. </p>
<p>Dalam setiap pelajaran, siswa melaporkan mengapa mereka melakukan tugas yang diberikan. Pilihan responsnya adalah, “Saya menikmatinya”, “Saya memilih untuk melakukannya”, dan “Saya tertarik dengan hal itu”. Ini akan digolongkan sebagai “motivasi otonom” – kondisi ketika siswa sendiri yang ingin melaksanakan tugas. Siswa juga dapat memilih “Saya harus melakukannya” dan “guru saya ingin saya melakukannya”. Ini akan digolongkan sebagai “tekanan ekspektasi”.</p>
<p>Siswa juga melaporkan seberapa keras mereka belajar dan seberapa percaya diri mereka tentang apa yang mereka pelajari. Para guru pun diminta melaporkan seberapa terlibatnya mereka dengan setiap siswa di kelas, merinci berapa banyak waktu yang mereka habiskan bersama setiap siswa, dan berapa banyak perhatian yang mereka berikan kepada setiap siswa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Siswa yang menghadapi tekanan ekspektasi lebih tinggi dalam pelajaran, belajar lebih keras.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kami menemukan, semakin tinggi ekspektasi tekanan dalam sebuah pelajaran, semakin sulit siswa mengikuti pelajaran selanjutnya. Tapi penelitian kami juga menemukan bahwa siswa mengaku kurang menikmati pelajaran tersebut - dan merasa kurang percaya diri dalam mata pelajaran tertentu.</p>
<p>Penelitian kami juga menunjukkan bahwa jika siswa menikmati tugas mata pelajaran tertentu pada pelajaran sebelumnya, maka guru akan memahami hal ini dan cenderung melonggarkan tekanan ekspektasi mereka dalam pelajaran berikutnya. Tetapi ini benar-benar dirasakan oleh para siswa, yang kemudian akan mengurangi usaha mereka – menunjukkan hubungan yang cukup kompleks dan dinamis antara tekanan ekspektasi guru dan usaha, kegembiraan, dan kepercayaan diri siswa.</p>
<h2>Membebaskan diri</h2>
<p>Tentu saja, secara realistis, beberapa siswa mungkin perlu dorongan sedikit keras saat memulai, menyelesaikan tugas atau untuk belajar lebih keras. Tetapi, berdasarkan penelitian kami, terlalu banyak mendorong siswa dapat membuat mereka kehilangan motivasi atau kurang percaya diri. Dalam jangka waktu panjang, rasanya <a href="https://theconversation.com/secondary-students-can-suffer-from-spending-an-extra-year-drilling-for-gcse-exams-88974">keseimbangan antara tekanan dan jaminan</a> yang sesuai diperlukan. Jika tidak, kelelahan dan ketidakpuasan dapat mengambil alih - yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja akademik.</p>
<p>Memang, <a href="https://psycnet.apa.org/record/2010-15712-005">penelitian </a> menunjukkan bahwa guru-guru yang lebih memperhatikan perspektif siswa dan tidak menekankan realitas perihal tenggat waktu, penyelesaian tugas, dan ekspektasi - jadi mengenal siswa, nilai-nilai, dan pemikiran mereka - cenderung lebih baik dalam mengidentifikasi kebutuhan, minat, dan preferensi siswa, serta dapat memberikan tujuan pembelajaran yang bermakna dengan menggunakan kegiatan yang relevan dan variatif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/feedback-from-teachers-doesnt-always-help-pupils-improve-41000">Feedback from teachers doesn't always help pupils improve</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jadi, alih-alih mengandalkan bahasa pengendalian, guru harus berpikir untuk memberikan harapan yang dapat dimengerti, merangkai pelajaran dengan jelas, dan menjelaskan hal-hal secara ringkas. Para guru juga akan mendapat manfaat dari menerima adanya perasaan negatif di kelas - memberi tahu para siswa bahwa tidak apa-apa bila merasa lelah atau gugup.</p>
<p>Para guru juga dapat mulai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.3102/0034654308325583?journalCode=rera">memberikan dukungan</a> dalam interaksi sehari-hari dengan siswa, menggunakan pujian dan dorongan untuk membantu siswa mencapai potensi maksimal mereka. </p>
<p>Semua ini diharapkan dapat membantu siswa untuk membuat mereka lebih didukung dan memungkinkan mereka untuk mencapai potensi maksimal mereka di dalam kelas.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122262/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lars-Erik Malmberg has received funding from Research Councils UK and The John Fell Fund (Oxford University) for the Learning Every Lesson Study (LEL).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Andrew J. Martin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ekspektasi yang diberikan guru kepada siswanya penting untuk menjaga motivasi dan meningkatkan potensi akademik. Meski demikian, ekspektasi yang berlebihan dapat berakibat buruk bagi sebagian siswa.Lars-Erik Malmberg, Professor of Quantitative Methods in Education, University of OxfordAndrew J. Martin, Scientia Professor and Professor of Educational Psychology, UNSW SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1150122019-06-26T01:59:40Z2019-06-26T01:59:40ZMengapa adanya jasa bimbel bisa sulitkan pemerintah ketahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/280186/original/file-20190619-171200-1k7gqm8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Teori trigonometri dan persamaan matematika yang diajarkan di sekolah, juga didril-kan di bimbingan belajar.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2MDk2NTk2NSwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfNzA4MDQwMjI1IiwiayI6InBob3RvLzcwODA0MDIyNS9odWdlLmpwZyIsIm0iOjEsImQiOiJzaHV0dGVyc3RvY2stbWVkaWEifSwiKzk3dkVRcmVrMnFiZVZTNTkzMGlqZmdwTC9NIl0%2Fshutterstock_708040225.jpg&pi=41133566&m=708040225&src=QWZixA001gmjYRYq-Kg_SQ-1-28">Dr Project/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Maraknya layanan jasa bimbingan belajar, <a href="https://tirto.id/bisnis-industri-pendidikan-yang-makin-diminati-cnRh">jumlahnya mencapai hampir 2000 lembaga</a>, berpotensi menyulitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengetahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah.</p>
<p>Hingga kini belum ada data definitif jumlah siswa yang ikut bimbel, tapi sebuah publikasi dari <a href="https://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perdagangan/Pages/bimbel_19042011.aspx">Bank Indonesia pada 2010 menyebutkan total peserta bimbel sekitar 950 ribu anak</a>. </p>
<p>Walau banyak dikritik, <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/544415/perluas-fungsi-un-siswa-diwajibkan-isi-angket">Ujian Sekolah Berstandar Nasional atau Ujian Nasional (UN)</a> tetap digunakan oleh pemerintah untuk memetakan dan mengukur kualitas pendidikan dasar dan menengah secara nasional. </p>
<p>Setiap tahun, menjelang ujian nasional sekolah menengah dan masuk perguruan tinggi, <a href="https://manado.tribunnews.com/2012/04/09/jumlah-siswa-yang-ikut-bimbel-stanford-meroket">pendaftar bimbel melonjak</a> karena sistem dril soal-soal dianggap membantu siswa mampu menjawab ujian nasional dan lolos seleksi pendaftaran universitas. </p>
<p>Persoalannya, apakah para siswa yang mampu menyelesaikan soal-soal ujian nasional itu karena proses pembelajaran di sekolah yang diajarkan oleh guru atau berkat sistem dril selama beberapa minggu/bulan yang dilatih oleh para tutor di lembaga bimbingan belajar? Atau bisa juga berkat kedua-duanya. Sampai detik ini belum ada riset skala nasional yang untuk menjawab pertanyaan itu. </p>
<p>Barangkali karena bimbel dianggap sebagai hal yang umum di masyarakat dan dinilai cukup membantu kemampuan siswa menyelesaikan soal, maka sedikit yang melihat bahwa bimbel perlu diteliti lebih lanjut. Padahal UN dijadikan pertimbangan upaya perbaikan kualitas pendidikan di sekolah, sementara UN sendiri bias.</p>
<h2>Sejarah bimbel</h2>
<p>Secara hukum, bimbel merupakan kursus yang dipayungi oleh <a href="https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf">Pasal 26 ayat 5</a> Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan <a href="https://setkab.go.id/bos-mendukung-pelaksanaan-sekolah-gratis/">biaya sekolah sampai SMA yang sebagiannya ditanggung oleh pemerintah</a>, biaya bimbel sepenuhnya dibayar oleh orang tua siswa dengan harga paket <a href="https://tirto.id/bisnis-bimbel-dari-paket-rp150-ribu-sampai-rp56-juta-dg5K">layanannya bervariasi</a>.</p>
<p>Lembaga bimbingan belajar (bimbel) menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan di Indonesia <a href="https://tirto.id/bimbel-seolah-wajib-bagi-calon-mahasiswa-tak-cukupkah-sekolah-dgbX">sejak 1970-an</a>. Pada awalnya, bimbel memberikan layanan persiapan siswa jenjang SMA dengan metode dril soal ujian untuk mengikuti seleksi masuk universitas perguruan tinggi negeri. </p>
<p>Belakangan, bisnis layanan dril soal itu lebih luas lagi dengan menyasar siswa sekolah dasar dan menengah pertama di berbagai kota di negeri ini. Namun, peran bimbel yang besar itu juga menjadi penanda <a href="https://www.vice.com/id_id/article/gy3k87/bisnis-bimbel-terus-subur-tanda-ada-yang-salah-dari-sistem-pendidikan-kita">ada yang salah dengan kebijakan pendidikan nasional</a>.</p>
<h2>Layanan yang tak ada di sekolah</h2>
<p>Bisnis bimbel menjamur karena kebutuhan siswa, yakni persiapan ikut ujian masuk universitas negeri dan ujian nasional, tidak disediakan sepenuhnya oleh sekolah. Walau SMA mampu menghasilkan lulusan yang memenuhi <a href="https://bsnp-indonesia.org/wp-content/uploads/2009/04/Permendikbud_Tahun2016_Nomor020_Lampiran.pdf">standar kelulusan nasional</a>, tapi tidak dibahas secara khusus mengenai penyiapan siswa untuk lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri/swasta.</p>
<p>Kini bimbel juga menyediakan layanan jasa pembelajaran materi pelajaran–bukan hanya menyelesaikan soal-soal–yang telah diberikan di sekolah. Bahkan dalam beberapa kasus guru juga mendorong siswa mengikuti bimbel karena bimbel melatih keterampilan menjawab soal secara praktis, benar, dan cepat. </p>
<p>Komisi Pemberantasan Korupsi sampai memperingatkan kepada guru agar tidak memberikan les/pelajaran tambahan berbayar kepada siswa yang juga dia ajar di sekolah untuk <a href="https://kbr.id/nasional/12-2018/kpk_larang_guru_berikan_les_ke_murid_di_sekolahnya__mengapa_/98406.html">menghindari konflik kepentingan</a>. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.brilio.net/news/ini-5-alasan-kenapa-kamu-perlu-belajar-di-lembaga-bimbingan-belajar-150507v.html#">laporan menunjukkan alasan anak-anak pakai jasa bimbel</a> yakni:</p>
<ol>
<li>Sekolah diibaratkan sebagai makanan pokok, bimbel adalah suplemennya. Jadi saling melengkapi. </li>
<li>Bimbel membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang kurang dikuasainya di sekolah karena jam belajar habis atau tidak berani bertanya kepada guru. </li>
<li>Bimbel menyediakan pembelajaran lebih fleksibel dan lebih ramah.</li>
<li>Bimbel memberi tips praktis menyelesaikan soal ujian nasional dan seleksi masuk universitas negeri. </li>
<li>Bimbel memberi informasi tambahan mengenai peluang studi lanjut di universitas.</li>
</ol>
<p>Di luar hal tersebut, “sakralisasi” ujian nasional oleh pemerintah dan masyarakat membuat ujian ini jadi menakutkan, seolah-olah menjadi penentu “hidup mati” masa depan siswa. Iklim belajar di sekolah yang dikejar target menuntaskan materi dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) tertentu juga membuat sebagian besar sekolah fokus mengajarkan trik menyelesaikan soal-soal dengan baik, benar, dan cepat. </p>
<p>Jam pelajaran yang terbatas (karena banyak materi/mata pelajaran) dan kemampuan siswa yang beragam juga berkontribusi pada variasi kedalaman pemahaman siswa, termasuk kemampuan mengerjakan soal-soal ujian. Celah-celah itu yang dibidik oleh pelaku bisnis bimbel untuk membuka jasa cara menyelesaikan soal.</p>
<h1>Apakah materi di sekolah tidak cukup?</h1>
<p>Apakah materi pelajaran yang diberikan oleh guru-guru di ruang kelas tidak cukup sehingga jasa bimbel dibutuhkan oleh siswa dan orang tua siswa? </p>
<p>Ada beberapa riset dengan skala kecil. Sebuah <a href="http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=19743">riset di Aceh menunjukkan tak ada perbedaan kemandirian belajar</a> antara siswa SMP yang ikut bimbel dan tidak ikut bimbel. Kemandirian belajar merupakan sikap siswa yang punya motivasi sendiri untuk menguasai materi belajar tanpa bergantung pada orang lain. Sementara di level sekolah dasar, <a href="http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=4068">ada riset yang menunjukkan perbedaan hasil belajar</a> antara siswa yang ikut bimbel dan tidak. </p>
<p>Informasi yang saya dapat dari sekolah-sekolah menunjukkan bahwa beban guru berlebihan–materi pembelajaran terlalu banyak dan berat untuk diselesaikan dalam satu semester. Akibatnya, guru dan siswa menguras energi dan psikis dari pagi hingga sore untuk memenuhi <a href="https://pklk.gtk.kemdikbud.go.id/webpage/show_pdf_article/artikel/2e01e17467891f7c933dbaa00e1459d23db3fe4f">Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 70</a> dengan aktivitas belajar bisa jatuh hanya pada latihan soal-soal di lembar kerja siswa (LKS).</p>
<h2>Lalu bagaimana?</h2>
<p>Jika alasan siswa ikut bimbel karena tidak paham materi pelajaran siswa di sekolah yang jam belajarnya habis, maka substansi dan struktur kurikulum, termasuk teknis penjadwalan belajar di sekolah harus dikaji ulang. Struktur <a href="https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/10/nbolfb-kurikulum-2013-terlalu-berat-untuk-siswa">Kurikulum 2013 relatif gemuk</a> dengan target capaian yang tinggi. Perlu dipilah ulang mana materi yang relevan dengan kebutuhan kehidupan siswa untuk jenjang pendidikan tertentu dan mana yang kurang relevan. </p>
<p>Walau ada banyak mata pelajaran, ujian nasional hanya <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3872214/jadwal-lengkap-usbn-dan-un-2019-tingkat-smk-sma-dan-smp">mengujikan empat mata pelajaran</a>: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan satuan mata pelajaran pilihan IPA/IPS/Bahasa (tingkat SMA) atau teori kejuruan (SMK) atau IPA (SMP). </p>
<p>Jika siswa tidak berani bertanya kepada guru dan pembelajaran di kelas yang kaku dan formal, maka yang perlu diubah adalah praktik pembelajarannya. Guru dan sekolah perlu memfasilitasi upaya pembelajaran yang menyenangkan, memahamkan, bermakna dan berdaya guna bagi siswa.</p>
<p>Sekolah juga perlu menyediakan informasi yang mutakhir mengenai peluang studi lanjut di tingkat pendidikan lebih tinggi, terutama universitas. Pada era internet, semua universitas negeri dan swasta menyediakan informasi dasar soal pendaftaran universitas lewat situs web. Media massa juga rutin memberitakan ihwal pendaftaran universitas. Sekolah perlu memberdayakan guru-gurunya untuk memberikan informasi tentang sekolah lanjut dengan cara yang menarik dan memotivasi. </p>
<h2>Jangan lempar handuk</h2>
<p>Melemparkan masalah internal sekolah untuk diselesaikan oleh bimbel bukan hanya ibarat lembar “handuk” sembunyi tangan, tapi ini kegagalan dalam mendiagnosis sumber masalah dalam sistem pendidikan formal. Ada kesalahan fatal bila diartikan bahwa sekolah dan bimbel adalah satu paket yang saling melengkapi untuk mendorong siswa mendapat nilai tinggi dalam ujian nasional.</p>
<p>Faktanya banyak kasus siswa sukses ujian nasional tanpa ikut bimbel. Misalnya, <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4548751/tanpa-les-hafidh-buka-rahasianya-raih-nilai-sempurna-di-un-sma">Hafidh yang nilainya sempurna pada UN tahun 2019 ini</a>. Seharusnya fokus sekolah bukan mempersiapkan ujian nasional tapi menyelenggarakan pembelajaran menyeluruh dengan mengukur segenap dimensi: kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa. Pemahaman ini yang harus terus menerus disampaikan, agar siswa, orang tua, dan bahkan sekolah tidak menggantungkan diri pada bimbel.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/115012/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Edi Subkhan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Melemparkan masalah internal sekolah untuk diselesaikan oleh bimbel bukan hanya ibarat lembar “handuk” sembunyi tangan, tapi ini kegagalan dalam mendiagnosis sumber masalah di pendidikan formal.Edi Subkhan, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1192942019-06-24T06:41:15Z2019-06-24T06:41:15ZDampak sistem zonasi penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri bagi para guru dan siswa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/280859/original/file-20190623-61771-1kcx1k1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Guru memotivasi para siswa SMP untuk rajin belajar menjelang ujian nasional di Batang Jawa Tengah, 22 April 2019.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2MTM2MDQ1OSwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTM3OTMxMjQ4NiIsImsiOiJwaG90by8xMzc5MzEyNDg2L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sImhHSFlYQkFuZG5TSmRSWXpDakZPVFJmTEFZcyJd%2Fshutterstock_1379312486.jpg&pi=41133566&m=1379312486&src=0eZt8YiCjJmbILKV6MDc1g-2-16">Onyengradar/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Meski sudah diluncurkan sejak 2017, <a href="https://tirto.id/memahami-sistem-zonasi-sekolah-di-ppdb-2019-ecEz">sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB)</a> berbasis zonasi-penerimaan siswa baru di sekolah negeri berdasarkan jarak terdekat dari rumah ke sekolah-masih menuai polemik.</p>
<p>Kebijakan sistem penerimaan siswa baru berbasis zonasi <a href="https://surabaya.kompas.com/read/2019/06/20/18340861/jokowi-akui-sistem-zonasi-ppdb-bermasalah">menuai protes</a>, terutama dari orang tua dan siswa dari kelas menengah ke atas yang sebelumnya diuntungkan oleh sistem penerimaan berdasarkan prestasi. Orang tua merasa bahwa sistem zonasi ini justru menyulitkan mereka dalam mendaftarkan anaknya ke sekolah.</p>
<p>Bahkan, sebagian <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4588479/ppdb-di-jateng-warga-rela-menginap-di-trotoar-demi-daftar-sekolah">orangtua terpaksa menginap</a> untuk memastikan anak mereka diterima di sekolah yang dituju. Mereka merasa lebih nyaman dengan sistem lama yang menggunakan prestasi anak pada jenjang sebelumnya sebagai variabel seleksi.</p>
<p>Kebijakan penerimaan siswa berbasis zonasi ini mengalokasikan minimal 90% kuota sekolah negeri untuk menerima calon siswa berdasarkan jarak rumah-ke-sekolah dan 10% sisanya untuk prestasi dan perpindahan. Pekan lalu, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48728547">kebijakan kuota siswa diubah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi minimal 80% untuk jalur zonasi</a>, 15% jalur prestasi, dan 5% jalur pindahan. </p>
<p>Dalam <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud_Tahun2017_Nomor017.pdf">Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017</a>, <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud_Tahun2018_Nomor14.pdf">No. 14 Tahun 2018</a>, dan <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/PERMENDIKBUD%20NOMOR%2051%20TAHUN%202018.pdf">No. 51 Tahun 2018</a>, Kementerian berargumen bahwa sistem PPDB zonasi ini bertujuan meningkatkan akses layanan pendidikan di sekolah negeri, tanpa memandang kelas ekonomi orang tua siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan PPDB zonasi juga bertujuan untuk <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4571372/mendikbud-penerapan-ppdb-zonasi-hapus-label-sekolah-favorit">menghapus predikat sekolah favorit</a>.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-4591338/mendikbud-paparkan-kelebihan-sistem-zonasi-di-ppdb">Kementerian Pendidikan beranggapan</a> bahwa sistem PPDB sebelumnya, yang menggunakan nilai ujian sebagai basis seleksi penerimaan, cenderung menerima siswa dengan capaian akademik yang relatif tinggi yang umumnya berasal dari keluarga mampu. Konsekuensinya, siswa dengan kemampuan rendah, khususnya yang berasal dari keluarga tidak mampu, terpaksa bersekolah di sekolah swasta atau bahkan berisiko putus sekolah.</p>
<p>Dengan kata lain, sekolah negeri yang kualitasnya relatif baik dan dibiayai penuh oleh pemerintah justru sebagian besar dinikmati oleh penduduk mampu. Sedangkan, sebagian besar peserta didik dari keluarga tidak mampu bersekolah di sekolah swasta berbayar dengan kualitas yang relatif rendah. Pemerintah ingin mengakhiri ketidakadilan akses tersebut.</p>
<h2>Dampak sistem zonasi</h2>
<p>Untuk melihat dampak awal dari pelaksanaan PPDB zonasi sejak 2017, saya terlibat dalam <a href="http://rise.smeru.or.id/">Program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Indonesia untuk melakukan studi bersama Pemerintah Kota Yogyakarta</a> di 46 sekolah menengah pertama (SMP) negeri dan swasta yang risetnya dimulai Agustus 2018. Temuan awal kami menunjukkan bahwa PPDB berbasis zonasi di sana berdampak tidak hanya pada karakteristik peserta didik yang diterima sekolah tapi juga proses pembelajaran di kelas.</p>
<p>Siswa baru yang diterima melalui PPDB zonasi memang tinggal lebih dekat dengan sekolah negeri dibanding PPDB berbasis prestasi. Namun, komposisi siswa yang diterima melalui sistem zonasi memiliki nilai rendah dan lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang diterima melalui sistem prestasi. Keadaan ini menuntut guru-guru di sekolah negeri untuk beradaptasi dengan cepat.</p>
<p>Para guru yang terbiasa mengajar siswa dengan kemampuan rata-rata tinggi, kini harus mengajar siswa dengan nilai rata-rata rendah dengan kemampuan yang sangat beragam. Padahal, keterampilan yang dibutuhkan oleh guru yang mengajar anak-anak berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah berbeda. Anak-anak berkemampuan tinggi membutuhkan tantangan baru dan pengayaan dari guru agar bisa termotivasi dan meningkatkan kemampuannya. Di sisi lain, anak-anak berkemampuan rendah membutuhkan bantuan guru untuk membangun pemahaman ilmunya dengan benar.</p>
<p>Terlebih lagi, tantangan guru dalam mengajar anak dengan kemampuan beragam lebih berat daripada anak dengan kemampuan yang relatif homogen. Guru yang mengajar kelas yang homogen cenderung dapat mengajarkan seluruh siswa dengan seiring sejalan. Namun, ketika kelas yang diajar relatif heterogen, guru harus menyesuaikan pola mengajar untuk mengakomodasi anak yang cepat dan lambat dalam belajar. Semakin besar kesenjangan kemampuan anak, semakin besar beban guru dalam mengajar.</p>
<p>Masalahnya, penyesuaian kemampuan guru mengajar ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Alhasil, proses pembelajaran di kelas tidak bisa berjalan secara optimal dan menciptakan kekagetan yang justru mengganggu proses belajar di kelas.</p>
<p>Terlepas dari masalah yang dihadapi guru, siswa pun mengalami tantangan akibat komposisi kelas yang heterogen. Siswa yang lambat dalam belajar bisa tertinggal dari teman-temannya dan menjadi tidak nyaman dalam belajar. Kemudian, siswa yang cepat dalam belajar dapat kehilangan motivasi jika tidak mendapatkan tantangan.</p>
<p>Jika dilihat secara geografis, data lokasi sekolah di <a href="http://sekolah.data.kemdikbud.go.id/">Sekolah Kita</a> menunjukkan bahwa sekolah negeri tidak tersebar secara merata jika dibandingkan dengan persebaran tempat tinggal calon siswa. Dalam PPDB zonasi, kondisi ini merugikan calon peserta didik yang domisilinya relatif jauh dengan sekolah negeri di sekitarnya. Satu-satunya peluang lain bagi calon siswa tersebut untuk terdaftar di sekolah negeri adalah dengan mengejar kuota jalur prestasi yang paling banyak hanya 5% dari total kuota.</p>
<p>Meski sekolah swasta tidak diwajibkan mengikuti sistem PPDB zonasi, sekolah swasta terpapar dampak tidak langsung dari perubahan di sekolah negeri. Sekolah swasta yang letaknya berdekatan dengan beberapa sekolah negeri dan tidak berada pada perumahan padat penduduk akan merugi karena mereka berpotensi kehilangan calon siswa dalam jumlah besar. Di sisi lain, sekolah swasta dengan kualitas yang relatif baik akan diuntungkan karena berpotensi menerima lebih banyak pendaftar dengan capaian kemampuan tinggi yang tidak diterima di sekolah negeri akibat sistem PPDB zonasi.</p>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Secara umum, rancangan sistem PPDB akan bergantung pada tujuan pemerintah. Rancangan sistem PPDB yang ditujukan untuk mengurangi segregasi akan berbeda dengan yang didesain untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran. Oleh karena itu, untuk mendapatkan tujuan yang tepat, pemerintah harus terbuka dalam melihat permasalahan yang ada di lapangan. Dalam konteks PPDB, pemerintah harus memprioritaskan sistem yang efisien dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat.</p>
<p>Niat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/PERMENDIKBUD%20NOMOR%2051%20TAHUN%202018.pd">meningkatkan akses layanan pendidikan memang baik,</a> namun tujuan tersebut seharusnya diikuti dengan kebijakan yang tepat. Di satu sisi, melaksanakan zonasi setelah menunggu infrastruktur pendidikan merata memang bukan pilihan yang tepat. Meski demikian, memaksakan PPDB zonasi yang tanpa persiapan pun bukan keputusan yang bijaksana. Seharusnya, pemerintah melakukan pemerataan secara bertahap. </p>
<p>Pemerataan melalui PPDB zonasi seharusnya dilakukan secara bertahap dan diiringi oleh dukungan kepada guru berupa pelatihan dan instrumen pembelajaran yang tepat. Selain itu, peningkatan kualitas secara merata dapat dilakukan dengan merekrut, mendidik, dan mendistribusikan guru berkualitas ke sekolah-sekolah yang dinilai masih di bawah standar minimal.</p>
<p>Saat implementasi, keselarasan pandangan dan koordinasi antara Kementerian Pendidikan dan pemerintah daerah pun dibutuhkan. Undang-undang otonomi daerah mendistribusikan kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, kebijakan Kementerian Pendidikan tidak serta-merta akan diadopsi secara penuh oleh pemerintah daerah apabila keduanya melihat isu terkait dengan pandangan yang berbeda. </p>
<p>Contohnya, <a href="https://www.suara.com/news/2019/06/18/074038/ppdb-2019-dimulai-disdik-dki-jakarta-semua-sekolah-harus-favorit">pemerintah DKI Jakarta merasa tidak memiliki masalah dengan isu ‘sekolah favorit’</a> yang ingin ditanggulangi dengan PPDB zonasi yang dicanangkan, sehingga DKI Jakarta bersikukuh tetap menggunakan <a href="https://www.jpnn.com/news/ppdb-2019-sistem-zonasi-di-jakarta-tak-berdasar-jarak-rumah-ke-sekolah">sistemnya sendiri dengan kuota persentase yang berbeda</a> dari peraturan nasional. Selain itu, Kota Yogyakarta yang telah mengadopsi Permendikbud <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud_Tahun2018_Nomor14.pdf">No. 14 Tahun 2018</a> pada 2018 pun mengevaluasi kebijakannya, dengan <a href="https://tirto.id/ppdb-smp-yogya-2019-siswa-bisa-pilih-jalur-zonasi-atau-prestasi-ecDX">kembali mengadopsi jalur prestasi</a>, agar lebih akomodatif pada 2019.</p>
<p>Meski Kementerian Pendidikan mengatakan <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/06/19/16403001/mendikbud-ingatkan-sanksi-bagi-pemda-yang-menyimpang-ppdb-2019">akan memberikan sanksi</a> bagi pemerintah daerah yang menyimpang dari peraturan, sanksi yang diberikan tidak akan berdampak signifikan kepada daerah. Pertama, sanksi teguran tertulis akan tidak berpengaruh jika kepala daerah pasang badan. Kedua, sanksi anggaran pun sepertinya tidak akan efektif karena sebagian besar anggaran pendidikan daerah merupakan Dana Alokasi Umum (DAU) yang harus dialokasikan setiap tahunnya.</p>
<p>Sistem PPDB merupakan layanan yang bertujuan untuk memudahkan masyarakat memasukkan putra-putrinya ke sekolah. Oleh karena itu, orang tua yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam PPDB seharusnya didengar dan diberikan kesempatan untuk menyuarakan sistem pendidikan apa yang mereka inginkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119294/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Goldy Fariz Dharmawan terlibat dalam riset Program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Indonesia yang didanai oleh pemerintah Inggris (DFID UK), pemerintah Australia (DFAT), dan Bill and Melinda Gates Foundation.</span></em></p>Pemerataan melalui PPDB zonasi seharusnya dilakukan secara bertahap dan diiringi oleh dukungan kepada guru berupa pelatihan dan instrumen pembelajaran yang tepat.Goldy Fariz Dharmawan, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.