tag:theconversation.com,2011:/us/topics/toleransi-70332/articlesToleransi – The Conversation2023-08-23T03:19:29Ztag:theconversation.com,2011:article/2115952023-08-23T03:19:29Z2023-08-23T03:19:29Z4 alasan mengapa toleransi terhadap alkohol dapat berubah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542669/original/file-20210428-23-1ttk449.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=13%2C0%2C4384%2C2747&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Minum sebanyak yang biasa dilakukan dapat menyebabkan keracunan yang lebih parah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/young-friends-drinking-beer-open-face-1904284618">View Apart/ Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Ketika pub dan bar dibuka kembali di seluruh Inggris, negara tempat saya mengajar, banyak orang yang gembira dengan kesempatan untuk menikmati minuman bersama teman dan keluarga. Meskipun beberapa bukti menunjukkan konsumsi alkohol <a href="https://www.cam.ac.uk/research/news/one-in-three-adults-drank-more-alcohol-during-first-lockdown">meningkat selama <em>lockdown</em></a>, laporan lain menunjukkan bahwa <a href="https://alcoholchange.org.uk/blog/2020/covid19-drinking-during-lockdown-headline-findings">satu dari tiga orang dewasa</a> minum lebih sedikit–atau berhenti sama sekali. </p>
<p>Meskipun kita mungkin bersemangat untuk kembali ke pub, toleransi kita mungkin lebih rendah daripada sebelum <em>lockdown</em>_.</p>
<p>Minum alkohol dalam jumlah tertentu secara teratur (misalnya, minum empat gelas setiap Jumat malam setelah pulang kerja) dapat menyebabkan <a href="https://pubs.niaaa.nih.gov/publications/aa28.htm#:%7E:text=Tolerance%20means%20that%20after%20continued,the%20same%20effect%20(1).">peningkatan toleransi</a>. Di sinilah otak beradaptasi dengan efek alkohol (seperti relaksasi dan peningkatan suasana hati), dan seiring waktu, lebih banyak alkohol diperlukan untuk mencapai efek yang sama.</p>
<p>Dalam skenario ini, kamu mungkin perlu minum lima gelas untuk mendapatkan “<em>buzz</em>” awal yang sama dengan yang kamu dapatkan dari empat gelas. Toleransi adalah <a href="https://www.niaaa.nih.gov/publications/brochures-and-fact-sheets/alcohol-use-disorder-comparison-between-dsm">ciri khas kecanduan</a>. Namun, hal ini juga dapat berkembang dengan penggunaan alkohol secara teratur dan terus menerus pada peminum sosial.</p>
<p>Setelah periode pengurangan penggunaan atau puasa alkohol, toleransi dapat menurun hingga ke tingkat sebelum penggunaan rutin. Ini berarti otak dan tubuh sudah “tidak terbiasa” dalam memproses dan merespons alkohol. Toleransi terhadap alkohol dapat dijelaskan melalui <a href="https://pubs.niaaa.nih.gov/publications/aa28.htm">beberapa mekanisme</a>–tetapi berikut ini adalah empat cara toleransi dapat berkembang dan berubah.</p>
<h2>1. Toleransi fungsional</h2>
<p>Ketika kita minum sepanjang malam, jumlah <a href="https://www.alcohol.org/effects/blood-alcohol-concentration/">alkohol dalam aliran darah kita</a> meningkat, yang menyebabkan waktu reaksi yang lebih lambat, hambatan yang lebih rendah, dan gangguan penilaian. Alkohol dalam jumlah besar menyebabkan bicara cadel, kurangnya koordinasi, dan penglihatan kabur. </p>
<p>Orang yang secara teratur meminum alkohol dalam jumlah berapapun dapat menjadi toleran terhadap gangguan-gangguan ini dan hanya menunjukkan sedikit tanda-tanda keracunan–bahkan ketika ada sejumlah besar alkohol dalam aliran darah mereka. Jika peminum ini menghentikan atau mengurangi konsumsi alkohol mereka, toleransi ini dapat hilang.</p>
<p>Namun, jika mereka mulai minum pada tingkat yang sama seperti sebelumnya, gangguan kognisi dan perilaku yang berhubungan dengan alkohol dapat kembali terjadi–tetapi setelah mengonsumsi alkohol dalam jumlah yang lebih sedikit. Perubahan toleransi ini mencerminkan desensitisasi otak (peningkatan toleransi) dan resensitisasi (penurunan toleransi) terhadap alkohol pada <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0196064486801196">tingkat sel</a>.</p>
<h2>2. Toleransi yang bergantung pada lingkungan</h2>
<p>Toleransi dapat berkembang jauh lebih cepat jika alkohol selalu dikonsumsi di lingkungan yang sama–misalnya, jika kamu hanya minum di rumah selama penguncian. Ini adalah subjenis toleransi fungsional.</p>
<p>Ini karena “isyarat” yang sudah dikenal–seperti suasana rumah–berulang kali dipasangkan dengan efek alkohol. Hal ini mengarah pada <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2270057/">respons kompensasi terkondisi</a>. Respons ini melawan efek alkohol yang merusak, dan kita mungkin tidak merasa “mabuk” sebagai akibatnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="toleransi alkohol" src="https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/397563/original/file-20210428-25-1lrogu9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jika sudah terbiasa minum-minum di rumah, minum-minum di pub dapat membuat seseorang lebih mabuk.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/handsome-man-working-remotely-sitting-home-1942494121">Jelena Zelen / Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, ketika kita minum di lingkungan yang baru–seperti pergi ke pub untuk pertama kalinya dalam enam bulan–respons kompensasi tidak diaktifkan, sehingga kita lebih rentan mengalami efek alkohol. Jadi, meskipun kita masih mengonsumsi alkohol dalam jumlah besar di rumah selama karantina wilayah, kita mungkin akan merasakan efek alkohol yang lebih besar saat minum dalam jumlah yang sama seperti biasanya di pub atau bar.</p>
<h2>3. Toleransi yang dipelajari</h2>
<p>Mengembangkan toleransi dapat dipercepat jika kita berulang kali melakukan tugas atau aktivitas yang sama di bawah pengaruh alkohol.</p>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF00421426">Penelitian terhadap tikus</a> menunjukkan bahwa hewan yang dilatih untuk menavigasi labirin dalam keadaan mabuk sebenarnya menunjukkan kinerja yang lebih baik dan lebih [toleran terhadap efek alkohol] dibandingkan dengan hewan yang tidak diberi alkohol selama pelatihan.</p>
<p>Pada manusia, jenis toleransi ini dapat ditunjukkan dalam performa <a href="https://www.bbc.co.uk/news/health-42545425">permainan yang terlatih dengan baik</a> yang dimainkan di bawah pengaruh alkohol. Sebagai contoh, seseorang yang biasanya bermain dart dalam keadaan sadar kemungkinan akan mengalami penurunan performa jika mabuk. Namun, jika seseorang secara teratur minum saat bermain dart, mereka mungkin tidak akan mengalami gangguan yang berhubungan dengan alkohol karena <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S074183299190221H">“toleransi yang telah dipelajari” (<em>learned tolerance</em>)</a>.</p>
<p>Jika kamu secara teratur bermain dart atau biliar di pub sebelum <em>lockdown</em>, hilangnya toleransi yang dipelajari dapat berarti bahwa kamu tidak bermain sebaik biasanya ketika kamu bermain setelah beberapa kali minum.</p>
<h2>4. Toleransi metabolik</h2>
<p>Jika tiga jenis toleransi lainnya berfokus pada efek alkohol pada otak, toleransi metabolik justru mengacu pada pembuangan alkohol secara cepat dari tubuh setelah konsumsi alkohol dalam waktu lama atau berat.</p>
<p>Penggunaan alkohol berulang kali menyebabkan hati menjadi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3484320/">lebih “efisien” dalam menghilangkan alkohol</a> dari tubuh. Hal ini mengakibatkan berkurangnya alkohol dalam aliran darah, di samping efek memabukkannya. Mirip dengan toleransi fungsional, seiring dengan berkembangnya toleransi metabolik, jumlah alkohol yang lebih besar diperlukan untuk mengalami efek yang sama seperti yang dialami pada awalnya. </p>
<p>Jadi, meminum alkohol dalam jumlah yang lebih sedikit selama karantina wilayah dapat berarti bahwa hati menjadi kurang efektif dalam “membersihkan” alkohol dari dalam tubuh. Akibatnya, kamu akan merasakan efek memabukkan bahkan dari jumlah alkohol yang lebih rendah. Sama halnya, peningkatan konsumsi alkohol selama karantina wilayah dapat menyebabkan peningkatan toleransi metabolik sehingga diperlukan jumlah alkohol yang lebih banyak untuk merasa mabuk. </p>
<p>Toleransi adalah faktor penting dalam memahami kebiasaan minum kita. Penting juga untuk diingat bahwa minum alkohol sebanyak yang biasa kamu lakukan setelah periode minum alkohol lebih sedikit (atau tidak sama sekali) dapat menyebabkan keracunan yang lebih parah, pingsan, dan kecelakaan. Jadi, jika kamu berencana untuk kembali ke pub bersama teman-teman setelah <em>lockdown</em> berakhir, perhatikan bagaimana pola minum kamu berubah sehingga kamu dapat tetap aman dan menikmati minuman pertama kamu.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211595/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sally Adams tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Toleransi terjadi ketika otak beradaptasi dengan efek alkohol - yang pada akhirnya menyebabkan kita membutuhkan lebih banyak alkohol untuk mendapatkan efek yang sama.Sally Adams, Lecturer in Health Psychology, University of BathLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1928822022-10-28T06:11:44Z2022-10-28T06:11:44ZRiset: bagaimana anak muda bisa bongkar prasangka keagamaan dan lawan radikalisme lewat dialog lintas iman<p><em>Artikel ini terbit dalam rangka Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober 2022.</em></p>
<hr>
<p>Banyak riset selama ini menempatkan <a href="https://ppim.uinjkt.ac.id/wp-content/uploads/2020/11/Survey-Nasional-Keberagamaan-GenZ.pdf">anak muda sebagai kelompok yang terlibat atau rentan</a> terhadap gerakan <a href="http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/alalbab/article/view/1546">radikalisme dan ekstremisme</a>.</p>
<p><a href="https://ppim.uinjkt.ac.id/wp-content/uploads/2020/11/Survey-Nasional-Keberagamaan-GenZ.pdf">Survei 2017 dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta</a>, misalnya, menemukan bahwa dari 1859 pelajar dan mahasiswa di 34 provinsi, banyak yang punya opini keagamaan yang intoleran (51,1%) dan radikal (58,5%), serta mendukung persekusi terhadap kelompok minoritas keagamaan (86,55%).</p>
<p>Survei itu juga menyebutkan beberapa faktor pendorong – dari pendidikan di sekolah, keterpaparan di internet, hingga kegagalan organisasi keagamaan merangkul anak muda.</p>
<p>Tetapi, di sisi lain, pandangan demikian seolah menyiratkan kalau anak muda semata-mata “korban” dari faktor-faktor tersebut dan tidak punya agensi mereka sendiri.</p>
<p>Di tengah banyak kajian keagamaan anak muda, sedikit yang meneliti kenapa di tengah arus konservatisme yang mengemuka, masih ada kelompok anak muda yang menarasikan sebaliknya: perdamaian dan toleransi.</p>
<p><a href="https://ejournal.uinsaizu.ac.id/index.php/raushanfikr/article/view/6083">Riset yang saya terbitkan</a> pada Agustus 2022 mencoba mengisi kekosongan ini.</p>
<p>Dalam riset tersebut, saya mencoba menawarkan gambaran bagaimana komunitas anak muda justru menerapkan strategi-strategi untuk saling membongkar prasangka keagamaan dan mengkampanyekan kerukunan antarumat beragama melalui dialog lintas iman, serta faktor apa saja yang melatarinya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-riset-tentang-keseharian-anak-muda-dalam-memahami-tingkat-konservatisme-di-antara-mereka-132665">Pentingnya riset tentang keseharian anak muda dalam memahami tingkat konservatisme di antara mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengurai prasangka lewat “Kemah Perdamaian”</h2>
<p>Studi yang saya lakukan berlangsung dari 2019 sampai 2020 di komunitas anak muda lintas iman di Yogyakarta bernama <a href="https://yipci.org/"><em>Young Interfaith Peacemaker Community</em> (YIPC)</a>.</p>
<p>Penelitian ini melibatkan sejumlah fasilitator dan anggota komunitas tersebut. Mereka menguraikan beragam strategi, program rutinnya, dan faktor di balik upaya pembendungan narasi ekstremisme dan kampanye toleransi keagamaan.</p>
<p>Komunitas YIPC mengusung empat nilai utama: berdamai dengan Tuhan (relasi vertikal-ilahiah), berdamai dengan diri sendiri (bentuk <em>self-acceptance</em>), berdamai dengan sesama manusia (sosial horizontal), dan berdamai dengan lingkungan (nilai ekologi). Keempat nilai yang saling berhubungan itu disisipkan pada setiap program rutin mereka, salah satunya adalah “Kemah Perdamaian” (<em>Peace Camp</em>).</p>
<p>Para peserta berkemah selama 3 hari 2 malam dengan agenda berisi materi, permainan, dan utamanya dialog interaktif dengan sesama peserta secara lintas iman.</p>
<p>Dalam kemah perdamaian ini, misalnya, dialog lintas iman berlangsung dengan cukup seru – bahkan sengit – terutama pada sesi mengurai prasangka.</p>
<p>Para peserta diajak untuk berani mengungkapkan pendapat dan praduga mereka, untuk kemudian mengklarifikasinya langsung dengan pemeluk agama yang bersangkutan secara tatap muka. Setiap individu diberi ruang bebas untuk bertanya, mengemukakan isu, hingga memberi pernyataan yang “keji” sekalipun.</p>
<p>Tidak jarang tema sensitif menyeruak.</p>
<p>Sebagai contoh, dari peserta Muslim ke peserta Kristiani muncul pertanyaan:</p>
<blockquote>
<p>“Yesus disalib kenapa disembah?”,</p>
<p>“Apa itu konsep trinitas?”,</p>
<p>“Bedanya Roh Kudus-Allah-Yesus itu bagaimana?” hingga</p>
<p>“Babi rasanya gimana?”</p>
</blockquote>
<p>Peserta Kristiani pun bertanya balik ke rekan-rekan mereka yang beragama Muslim:</p>
<blockquote>
<p>“Muslim kenapa suka poligami?”</p>
<p>“Kenapa banyak yang jahat dan suka mendiskriminasi kelompok lainnya” atau “merasa paling benar?” hingga</p>
<p>“Kenapa suka main agama di ranah politik?”</p>
</blockquote>
<p>Hal yang menarik dari sesi klarifikasi prasangka semacam itu adalah prosesnya yang fokus mengurai kekusutan yang cenderung negatif – dan selama ini dipendam masing-masing pihak.</p>
<p>Poin-poin tersebut kemudian mereka catat di kertas besar, lalu “pihak tersangka” diberi kesempatan untuk menjelaskan.</p>
<p>Di sini, mereka belajar topik-topik baru dari ajaran agama yang berbeda, dan boleh jadi, mereka sembari membaca ulang pengetahuan keagamaan miliknya sendiri (retrospeksi) untuk menjawab pertanyaan dari peserta yang lain.</p>
<h2>Kesadaran kolektif dan “musuh yang terbayang”</h2>
<p>Usai mencermati beragam ekspresi, pernyataan, aktivitas, dan cerita lewat percakapan dengan sejumlah peserta dalam <em>Peace Camp</em> ini, saya mendapat beberapa indikasi implisit mengenai faktor di balik keikutsertaan mereka mengkampanyekan perdamaian.</p>
<p>Dua di antaranya adalah kesadaran kolektif dan “imajinasi musuh bersama”.</p>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1468-5973.12217">Kesadaran bersama</a> ini muncul dan tumbuh sebagai respons terhadap situasi eksternal – dalam hal ini radikalisme dan ekstremisme – yang mengancam <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13694670500071695">kebutuhan dasar pemeluk agama akan rasa aman</a>.</p>
<p>Respons ini kemudian bisa memantik lahirnya interaksi lintas iman serta aksi kolektif untuk memerangi ancaman tersebut.</p>
<p>Dalam <em>Peace Camp</em> YIPC, misalnya, elemen kesadaran kolektif ini sangat memotivasi beberapa individu demi mencegah potensi konflik di antara rekan-rekannya yang berbeda agama.</p>
<p>Sedangkan adanya “<a href="https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=2nUJFtoHq7YC&oi=fnd&pg=PA1&dq=info:mp1RhovA_NEJ:scholar.google.com/&ots=7U9lua4M_Q&sig=_xC6a7iKTJbX0CPgFzEfKn9xdg0">musuh yang terbayang</a>” (<em><a href="https://www.ceeol.com/search/article-detail?id=287483">imagined common enemy</a></em>) memainkan peran di dalam iklim sosial dan politik, serta jarang kita sadari.</p>
<p>Banyak pihak sering <a href="https://www.researchgate.net/publication/342703812_The_Myth_of_Religious_Radicalism">menggembor-gemborkan ekstremisme dan radikalisme</a> sehingga citranya semakin mengerikan. Di sini, misalnya, negara kerap membuat adanya <a href="https://www.academia.edu/1595967/The_Spectres_of_Simulacra_Hyperreality_Consumption_as_Ideology_and_the_Im_Possible_Future_of_Radical_Politics">hiper-realitas</a> (kesulitan membedakan imajinasi dan realitas), dan dengan peran media dan beragam institusi lainnya, berujung menciptakan <em>imagined common enemy</em> yang harus diperangi masyarakat Indonesia.</p>
<p>Dalam sejarah Indonesia, salah satu contoh <em>imagined common enemy</em> paling nyata adalah komunisme, Partai Komunis Indonesia (PKI), beserta beragam kelompok afiliasinya. Karena narasi yang dibangun <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mantan-tapol-1965-beserta-keluarga-mereka-bergelut-dengan-memori-kekerasan-masa-lalu-191598">pemerintah Orde Baru</a>, masyarakat punya bayangan di kepalanya bahwa yang terlibat dengan PKI harus diberantas.</p>
<p>Sementara dalam konteks keagamaan, negara kini membangun <em>imagined common enemy</em> berupa ancaman radikalisme dan ekstremisme terhadap kebhinnekaan, serta beragam entitas yang dianggap sebagai wujud ide tersebut – di antaranya organisasi seperti <a href="https://theconversation.com/siasat-islam-politik-mengubah-lanskap-demokrasi-indonesia-84148">Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)</a> yang mengusung angan-angan ideologis untuk mendirikan negara Islam.</p>
<p>Ini turut merangsang individu-individu, sering kali secara tanpa sadar, untuk ambil bagian memberantasnya.</p>
<p>Dalam kadar tertentu, <em>imagined common enemy</em> dapat menjadi katalis solidaritas sosial dan lintas iman. Hal ini juga sudah tampak dalam banyak bentuk, baik <a href="https://en.qantara.de/content/the-psychology-of-pegida-the-craving-for-an-enemy">di koran, televisi, hingga media sosial.</a> </p>
<p>Meski pada saat yang sama, ia juga memiliki dampak negatif yaitu berpotensi melanjutkan siklus “lingkaran setan kebencian”. Kita kerap menemukan, misalnya, dalam upaya individu atau kelompok tertentu mempromosikan toleransi, mereka justru malah <a href="https://www.researchgate.net/profile/Burhanuddin-Muhtadi/publication/340611748_The_Myth_of_Pluralism_Nahdlatul_Ulama_and_the_Politics_of_Religious_Tolerance_in_Indonesia/links/5ecc887292851c11a88aa0bb/The-Myth-of-Pluralism-Nahdlatul-Ulama-and-the-Politics-of-Religious-Tolerance-in-Indonesia.pdf">diam-diam terpeleset ikut membenci kelompok yang tidak sepaham</a> tanpa kesediaan untuk berdialog dengan mereka.</p>
<h2>Membangun budaya dialog: pentingnya perjumpaan langsung</h2>
<p>Para anak muda YIPC dalam riset saya, yang awalnya menyimpan beragam prasangka terhadap rekan-rekannya yang memeluk agama lain, mengaku berubah pandang setelah mengikuti <em>Peace Camp</em>.</p>
<p>Secara langsung atau tidak, hal ini menunjukkan bahwa perjumpaan langsung turut <a href="https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/view/16962">berkontribusi pada keterbukaan dan sikap inklusif</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/toleran-di-permukaan-konsep-multikulturalisme-gagal-membangun-relasi-beragama-yang-bermakna-di-indonesia-174410">Toleran di permukaan: konsep multikulturalisme gagal membangun relasi beragama yang bermakna di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Format dialog lintas iman yang dibuat menarik dan seru juga turut membuat anak muda lebih bersedia membangun jembatan sosial dengan mereka yang berbeda.</p>
<p>Berkaca pada strategi komunitas anak muda ini, penting bagi setiap upaya pencegahan ekstremisme kekerasan untuk <a href="https://theconversation.com/demi-dunia-yang-aman-untuk-anak-sekolah-perlu-ajarkan-tentang-beragam-agama-dan-cara-pandang-berkaca-dari-australia-189075">menyediakan ruang temu yang aman bagi banyak individu dengan latar belakang yang berbeda-beda</a>. Dengan perjumpaan langsung di ruang aman tersebutlah dialog yang sehat dapat terjadi dan secara berangsur-angsur membuka cakrawala masyarakat Indonesia sejak usia muda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/192882/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Naufal Waliyuddin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam riset saya, suatu komunitas anak muda berupaya saling membongkar prasangka mereka dan melawan ekstremisme keagamaan melalui dialog lintas iman.Muhammad Naufal Waliyuddin, Researcher of Youth and Religious Studies. Doctoral candidate in Islamic studies, Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1890752022-08-20T08:10:56Z2022-08-20T08:10:56ZDemi dunia yang aman untuk anak, sekolah perlu ajarkan tentang beragam agama dan cara pandang: berkaca dari Australia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/480075/original/file-20220819-2895-dslylr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Murid bisa memahami agama teman-teman mereka dengan lebih baik jika mendapatkan pendidikan tentang agama-agama dunia dan cara pandang yang beragam.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Sekitar 80% murid sekolah menengah di Australia yang mendapatkan mata pelajaran tentang agama-agama yang beragam, mengaku punya pandangan positif terhadap masyarakat Muslim. Angka ini turun menjadi 70% bagi mereka yang tidak mendapatkan mata pelajaran serupa.</p>
<p><a href="http://sociology.cass.anu.edu.au/research/projects/australia-s-gen-zs">Studi yang kami lakukan</a> secara nasional di Australia pada tahun 2019 terkait Generasi Z (lahir sekitar pertengahan 1990-an hingga akhir 2000-an) menunjukkan bahwa remaja yang terekspos pembelajaran tentang keberagaman agama dan pandangan ternyata lebih toleran terhadap kelompok minoritas agama, termasuk Muslim dan Hindu, dibandingkan mereka yang tidak.</p>
<p>Di Australia, pendidikan keagamaan umum berbeda dengan pengajaran agama.</p>
<p>Pengajaran agama dilakukan oleh guru atau relawan dari komunitas agama dan berfokus pada pengasahan keyakinan dalam suatu agama tertentu. Sementara dalam pendidikan keagamaan umum, guru memberikan pengajaran terkait beragam pandangan dan tradisi keyakinan di dunia, termasuk humanisme atau rasionalisme. </p>
<p>Pendidikan keagamaan umum seperti ini seringkali merupakan mata pelajaran yang khusus di sekolah Katolik atau sekolah keagamaan lain di Australia.</p>
<p>Sekolah negeri biasanya tidak memberikan kesempatan bagi murid untuk mempelajari pandangan dan agama yang beragam, dan hanya menawarkan materi terbatas di beberapa subjek humaniora seperti sejarah.</p>
<p>Mengajarkan anak-anak tentang keberagaman budaya dan pandangan, terutama yang ada dalam lingkungan sosial mereka, bisa membantu meredam prasangka buruk terkait agama yang seringkali kita lihat di media.</p>
<h2>Pendidikan agama dan cara pandang yang beragam</h2>
<p>Pertanyaan tentang agama di sekolah, dan khususnya apakah sebaiknya diajarkan dalam konteks sekolah negeri atau sekuler, adalah topik yang kontroversial tak hanya di Australia <a href="http://nor.theewc.org/Content/Bibliotek/COE-Steering-documents/Recommendations/Signposts-Policy-and-practice-for-teaching-about-religions-and-non-religious-world-views-in-intercultural-education">tapi juga seluruh dunia</a>.</p>
<p>Masih ada perdebatan terkait bagaimana materi keagamaan sebaiknya dimasukkan ke kurikulum, dan apakah pendidikan tentang keberagaman cara pandang bisa berperan mendorong harmoni sosial maupun mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/toleran-di-permukaan-konsep-multikulturalisme-gagal-membangun-relasi-beragama-yang-bermakna-di-indonesia-174410">Toleran di permukaan: konsep multikulturalisme gagal membangun relasi beragama yang bermakna di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada pertengahan 2000-an, sekolah-sekolah negeri yang bersifat sekuler di Australia punya kesempatan yang cenderung terbatas dalam mengajarkan pendidikan keagamaan umum dan cara pandang yang beragam. Sampai tahun 2006, negara bagian Victoria <a href="http://www.legislation.vic.gov.au/Domino/Web_Notes/LDMS/PubStatbook.nsf/51dea49770555ea6ca256da4001b90cd/575C47EA02890DA4CA25717000217213/%24FILE/06-024a.pdf">melarang pendidikan agama </a>, namun mengizinkan relawan untuk memberikan materi agama pada jam sekolah hingga tahun 2015.</p>
<p>Sekolah-sekolah di negara bagian lain seperti New South Wales (NSW), Australia Barat, Wilayah Utara, dan Tasmania masih menawarkan pengajaran agama. Khusus di NSW, murid bisa memilih untuk belajar <a href="https://education.nsw.gov.au/teaching-and-learning/curriculum/learning-across-the-curriculum/religion-and-ethics/about-religion-and-ethics">materi etika</a> ketimbang ilmu agama.</p>
<p><a href="https://www.acara.edu.au/curriculum">Kurikulum nasional di Australia</a> mulai berkembang pada tahun 2000-an. Kini, kurikulum tersebut mengandung materi terbatas terkait keberagaman agama dan cara pandang.</p>
<p>Adaptasi kurikulum baru tersebut di negara bagian Victoria untuk pertama kalinya mengandung dua bagian khusus tentang pembelajaran agama dan cara pandang yang beragam dalam materi <a href="http://victoriancurriculum.vcaa.vic.edu.au/the-humanities/introduction/about-the-humanities">humaniora</a> dan <a href="http://victoriancurriculum.vcaa.vic.edu.au/ethical-capability/introduction/learning-in-ethical-capability">etika</a>. Fokusnya pada beberapa tradisi keyakinan yang paling besar di Australia: Buddhisme, Kekristenan, Hinduisme, Islam, Sikhisme, Judaisme, serta humanisme sekuler dan rasionalisme.</p>
<h2>Riset kami tentang Generasi Z</h2>
<p>Studi yang kami lakukan terkait Generasi Z di Australia berjalan antara tahun 2016 hingga 2018. Riset kami bertujuan untuk mendukung kebijakan pendidikan dengan menginvestigasi bagaimana remaja memahami dunia di sekitar mereka dan juga isu-isu keagamaan. Penelitian ini mengurai pandangan remaja terkait keberagaman agama, spiritual, non-religius, kebudayaan, dan seksual di Australia pada abad ke-21.</p>
<p>Dalam studi kami, ada 11 kelompok di tiga negara bagian dan melibatkan hampir 100 murid pada jenjang kelas 9 dan 10 (usia 15-16 tahun). Selai itu, kami juga melakukan survei telepon yang melibatkan 1.200 orang berusia 13-18 tahun, ditambah 30 wawancara mendalam susulan dengan beberapa dari mereka.</p>
<p>Kami sebelumnya <a href="https://theconversation.com/new-research-shows-australian-teens-have-complex-views-on-religion-and-spirituality-103233">telah menerbitkan temuan riset</a> yang menempatkan remaja Australia ke dalam enam kelompok spiritual, termasuk beragam keyakinan non-religius dan spiritual di antara anak muda Australia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-riset-tentang-keseharian-anak-muda-dalam-memahami-tingkat-konservatisme-di-antara-mereka-132665">Pentingnya riset tentang keseharian anak muda dalam memahami tingkat konservatisme di antara mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Temuan kami juga menunjukkan bahwa remaja Generasi Z menerima keberagaman agama. Lebih dari 90% sepakat bahwa dengan adanya berbagai macam keyakinan, Australia menjadi tempat tinggal yang lebih baik.</p>
<p>Meski demikian, pandangan terhadap minoritas agama cenderung bercampur. Kami menemukan bahwa 74% memegang pandangan positif terhadap Islam, Buddhisme, dan Hinduisme, sementara 21% memegang pandangan moderat atau netral dan sebanyak 5% memiliki pandangan negatif. </p>
<p>Sekitar 85% remaja menganggap bahwa orang dengan keyakinan yang berbeda mengalami diskriminasi akibat agama mereka. Dalam kelompok diskusi terfokus (FGD), beberapa murid dari agama minoritas menyatakan beberapa kekhawatiran terkait antisemitisme (prasangka dan kebencian terhadap pemeluk agama atau tradisi Yahudi) dan kurangnya pemahaman tentang Hinduisme dan Buddhisme, ketimbang agama-agama samawi yang dianut oleh masyarakat Australia.</p>
<iframe title="Australians' (aged 13-18)&nbsp;viewsabout religious groups in Australia (% of type of education received)" aria-label="Long Table" src="https://datawrapper.dwcdn.net/nIizH/2/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="359"></iframe>
<p>Grup pra-survei kami juga mengungkap bahwa remaja Australia punya level literasi keagamaan yang moderat. Meski wawasan mereka cukup luas, pemahaman mereka cenderung dangkal.</p>
<p>Banyak murid bisa dengan mudah mengenali sejumlah gambar terkait penganut Kristen, Muslim, dan Buddha, termasuk Dalai Lama. Tapi hanya satu murid yang tahu apa sebenarnya signifikasi gelar Dalai Lama dan mengapa sosok tersebut sangat penting bagi warga Tibet.</p>
<p>Dalam survei kami, sebanyak 56% murid yang menghadiri sekolah menengah negeri dan 42% yang belajar di sekolah menengah swasta mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan agama yang beragam maupun pengajaran tradisi keyakinan tertentu. Bandingkan hal ini dengan 81% murid di sekolah menengah Katolik yang mendapatkan keduanya.</p>
<p>Data kami menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan yang beragam berkorelasi dengan penurunan persepsi negatif terhadap minoritas agama. Murid yang telah mendapatkan pendidikan ini punya pandangan yang paling positif terhadap minoritas agama di Australia. Sebaliknya, mereka yang tidak mendapatkan mata pelajaran ini dua kali lipat lebih mungkin memiliki pandangan yang netral atau negatif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282">Tiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kesimpulan ini masih berlaku, bahkan setelah mempertimbangkan faktor lain seperti usia, gender, tipe sekolah, status ekonomi, dan identitas agama.</p>
<p>Remaja Gen Z yang mendapatkan pendidikan tentang agama yang beragam, secara signifikan beranggapan bahwa materi ini membantu mereka memahami agama orang lain (93%), membantu mereka menjadi lebih toleran (86%). Banyak dari mereka juga beranggapan bahwa mempelajari hal ini adalah hal yang penting (82%).</p>
<p>Di antara mereka yang belum berpartisipasi dalam program-program serupa, sebanyak 69% ingin belajar lebih banyak tentang agama-agama dunia, dan 67% ingin lebih banyak pelajaran tentang beragam cara pandang non-religius.</p>
<p>Kami menyarankan bahwa kurikulum pendidikan sebaiknya memasukkan lebih banyak pembelajaran tentang agama secara beragam dan berbagai cara pandang di dunia, baik di sekolah negeri, keagamaan, maupun institusi independen.</p>
<p>Hal ini akan meningkatkan literasi keagamaan, serta mendorong pemahaman dan rasa hormat lintas iman di antara masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/189075/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anna Halafoff menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Andrew Singleton menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Gary D Bouma menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mary Lou Rasmussen menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p>Mengajarkan anak tentang keberagaman agama dan pandangan, terutama yang ada dalam lingkungan sosial mereka, bisa membantu meredam prasangka buruk terkait agama yang seringkali kita lihat di media.Anna Halafoff, Associate Professor in Sociology, Deakin UniversityAndrew Singleton, Professor of Sociology and Social Research, Deakin UniversityGary D Bouma, Emeritus Professor of Sociology, Monash UniversityMary Lou Rasmussen, Professor, School of Sociology, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1810942022-05-15T08:01:55Z2022-05-15T08:01:55ZMenjelaskan bangkitnya gerakan ekstrem kanan kaum muda di Eropa beberapa tahun belakangan: alarm buat Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/463121/original/file-20220515-23-pv53ur.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Génération identitaire, suatu gerakan kaum muda dengan ideologi ekstrim kanan di Prancis.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Wikimedia Commons)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pada September 2019, lembaga penyiaran publik Jerman, Deutsche Welle (DW) merilis film dokumenter <a href="https://www.youtube.com/watch?v=rcCu3Yia6WU">“<em>Warisan ideologi Nazi asli pada gerakan neo-Nazi saat ini</em>”</a>. Dokumenter tersebut mengamati kebangkitan “identitarianisme Jerman” (<em>Identitäre Bewegung</em>) – gerakan sayap kanan dengan semangat etno-nasionalisme dan anti-semitisme abad ke-20.</p>
<p>Penganutnya menyuarakan <em>“Deutschland den Deutschen - Ausländer ‘raus!”</em> (“Jerman untuk orang Jerman, orang asing keluar!”)</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/rcCu3Yia6WU?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Mereka tidak sebatas menyebarkan propaganda rasis, melainkan juga melakukan kekerasan terhadap identitas yang berbeda dan “non-Jerman”. Benih kebencian seperti ini merupakan cikal bakal genosida Holocaust terhadap penganut Yahudi semasa Perang Dunia II. </p>
<p>Sejatinya, Jerman bukan satu-satunya negara tempat gerakan rasialisme tersebut bangkit. Saat ini banyak anak muda dari belahan negara Eropa lain yang juga terjangkit ideologi serupa. </p>
<p>Fenomena apa yang bisa menjelaskan bangkitnya demam ekstrem kanan ini di antara anak muda Eropa? Apakah hal serupa berpotensi terjadi juga di Indonesia – tempat polarisasi politik kian gencar beberapa tahun belakangan?</p>
<h2>Lika-liku gerakan ekstrem kanan kaum muda</h2>
<p>Pada medio 2010-an silam, gerakan identitarian dan ekstrem kanan semakin menunjukkan “taring”-nya dan mulai mengasosiasikan diri mereka ke dalam jaringan ideologi politik sayap kanan yang lebih luas, Pan-Eropa.</p>
<p>Sekelompok pemuda Prancis-lah yang pertama kali menyerukan gerakan identitarian abad ke-21 dengan berdirinya <a href="https://www.vice.com/en/article/jmbzag/far-right-france-philip-kleinfeld"><em>Jeunesses Identitaires</em></a> (Pemuda Identitarian) pada 2002. Gerakan ini kemudian menjadi <em>Génération Identitaire</em> (Generasi Identitarian) pada 2012.</p>
<p>Melalui kampanye yang masif di media sosial, <em>Génération Identitaire</em> menginspirasi kelompok anak muda lain di Eropa untuk mendirikan gerakan ultra-nasionalis serupa di negaranya masing-masing. Di antaranya ada <a href="https://www.politico.eu/article/who-are-europe-far-right-identitarians-austria-generation-identity-martin-sellner/"><em>Identitäre Bewegung Österreich</em> (IBÖ)</a> di Austria, <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/mar/28/with-links-to-the-christchurch-attacker-what-is-the-identitarian-movement"><em>Generazione Identitaria</em></a> di Italia, <a href="https://www.vice.com/sv/article/gq9jgj/neo-nazi-counter-demonstration-stockholm-1112"><em>Nordiska Motståndsrörelsen</em></a> di wilayah Skandinavia, <a href="https://www.france24.com/en/20190521-hungary-far-right-protest-stokes-fears-anti-roma-violence"><em>Magyar Önvédelmi Mozgalom</em></a> di Hungaria, bahkan hingga Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru. </p>
<p>Menariknya, gerakan tersebut tak hanya melakukan demonstrasi. Mereka juga melakukan kekerasan berupa pendudukan berbagai kantor pemerintahan, tempat keagamaan seperti masjid dan gereja, hingga “razia migran” baik di perbatasan antarnegara maupun wilayah perairan. Mereka pun menyiarkan aksi brutal tersebut ke dunia maya guna membangun dukungan publik.</p>
<p>Pada 2017, jaringan kelompok identitarian Eropa, Defend Europe, <a href="https://www.infomigrants.net/en/post/4361/defend-europe--protecting-europe-from-refugee-invasions">mengumpulkan dana di media sosial lebih dari US$ 150 ribu (Rp 2,2 miliar)</a>. Uang ini dipakai untuk menyewa kapal guna memblokade kapal lain yang membawa imigran via Laut Mediterania.</p>
<p>Pada tahun yang sama, <a href="https://www.theguardian.com/world/2017/nov/12/white-europe-60000-nationalists-march-on-polands-independence-day">sekitar 60.000 anggota kelompok identitarian di Polandia</a> turun ke jalan sembari merusak kendaraan milik migran.</p>
<p>Brenton Harrison-Tarrant, aktivis identitarian dan pelaku teror penembakan warga Muslim yang mengakibatkan 51 orang terbunuh di Christchurch, Selandia Baru pada 2019, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2019/4/5/nz-suspect-donated-money-to-french-branch-of-far-right-group">turut berdonasi lebih dari Rp 50 juta kepada IBÖ dan Génération Identitaire</a> guna menggencarkan aksi “anti-imigran” bahkan “anti-Islamisme” di kedua negara tersebut.</p>
<p>Saat ini, pemerintah setempat <a href="https://www.theguardian.com/world/2021/mar/03/france-bans-far-right-paramilitary-group-generation-identitaire">menetapkan beberapa gerakan tersebut sebagai organisasi terlarang</a>. Ini merupakan respons terhadap aksi-aksi kekerasan yang dianggap mencederai nilai-nilai demokrasi.</p>
<p>Namun, sebagaimana kata mantan Uskup Agung di Brazil, Dom Helder Camara dalam <a href="https://www.liberationtheology.org/library/spiral-of-violence-camara.pdf"><em>Spiral of Violence</em> (1971)</a>, “pembubaran organisasi” bukan berarti mematikan ideologi gerakan itu sendiri. Justru sebaliknya, berbagai gerakan tersebut terus mencari formula baru untuk semakin giat melancarkan aksi radikal mereka. </p>
<p>Lalu pertanyaannya, mengapa gerakan identitarian hari ini justru seakan semakin digandrungi kaum muda Eropa, yang sebagian besarnya berpendidikan tinggi? Bukankah negara maju adalah negara yang selama ini menjadi kiblat tempat nilai-nilai “toleransi” dan “demokrasi” dijunjung tinggi?</p>
<h2>Menyebarnya politik kebencian</h2>
<p>Di Eropa, ideologi ekstrem kanan yang menyuarakan ide “eurosentrisme” bukanlah hal baru. Justru, gerakan identitarian mencoba mereplikasi kembali semangat ideologi Nazisme dan etno-nasionalisme Eropa yang berkembang sejak pertengahan abad ke-20.</p>
<p>Dogma etno-nasionalisme Eropa bermula dari perlawanan kelompok ekstrem kanan <a href="https://theconversation.com/the-european-far-right-actually-right-or-left-or-something-altogether-different-6796">terhadap proyek modernisme, globalisasi, hak asasi manusia (HAM), dan egalitarianisme</a> yang mereka anggap memudarkan tradisi dan identitas Eropa sebagai sebuah “bangsa”. </p>
<p>Lebih lanjut, etno-nasionalisme semakin memanas saat pengaruh nilai HAM dan egalitarianisme tersebut <a href="https://theconversation.com/the-impact-of-immigration-on-eu-countries-nationalistic-sentiments-117632">juga membuka “keran”</a> bagi orang Afrika, Timur Tengah, maupun Asia untuk bermigrasi dan mencari mata pencaharian di Eropa. Dalam pandangan mereka, fenomena ini seakan mengizinkan “orang asing” untuk tinggal dan menetap di mana saja, serta mendapatkan status, kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lokal Eropa. </p>
<p>Berangkat dari situ, gerakan etno-nasionalisme Eropa bertransformasi menjadi gerakan “anti-migran” dan bahkan “anti-muslim”. Mereka menyebut pertumbuhan migran dan Islam di Eropa sebagai bagian dari proyek “kolonisasi dari imigran”, sehingga kekerasan dimaknai sebagai cara melawan “kolonialisme baru”.</p>
<p>Tapi mengapa kelompok identitarian tumbuh subur khususnya di kalangan kaum muda?</p>
<p>Harus diakui, kemunculan gerakan identitarian merupakan respons kaum muda Eropa – khususnya mereka dari <a href="https://www.lrt.lt/en/news-in-english/19/1619050/post-socialist-transition-was-good-for-some-people-and-really-bad-for-many-others-interview-with-kristen-ghodsee">kota-kota kecil pasca rezim sosialis</a> – yang merasa frustasi dengan realitas kehidupan sosial-ekonomi mereka yang dirasa kian didominasi kelompok migran. Makin kompetitifnya lapangan kerja membuat mereka menjadikan “migran” sebagai kambing hitam.</p>
<p>Di sisi lain, partai politik konservatif kanan kian memanfaatkan kebangkitan ideologi identitarian untuk terus menyuarakan politik kebencian di kalangan kaum muda sebagai <a href="https://theconversation.com/how-marine-le-pen-managed-to-gain-ground-with-youth-voters-and-why-her-success-isnt-being-replicated-by-the-us-right-181937">strategi mendongkrak elektabilitas</a>.</p>
<p>Politik kebencian yang semestinya dapat tertangani dengan edukasi ini justru menjadi subur seketika.</p>
<p>Lantaran terhasut oleh narasi kebencian yang membabi buta, para kaum muda tersebut seakan lupa bahwa sejatinya “Eropa” dan “Non-Eropa”, “kulit putih” dan “kulit hitam”, adalah hal yang mengakar dan justru membuat Eropa <a href="https://theconversation.com/countries-must-compete-for-migrant-workers-to-boost-their-economies-96231">menjadi lebih baik</a> seperti sekarang ini. Pasca keruntuhan kota-kota Eropa akibat Perang Dunia ke-II, para migran juga turut mengambil peran penting dalam memulihkan ekonomi Eropa.</p>
<h2>Berkaca pada Indonesia</h2>
<p>Di Indonesia, hingga saat ini belum terdapat model gerakan identitarian yang semasif dan terorganisir layaknya di Eropa. </p>
<p>Meski demikian, bukan berarti benih tersebut tidak muncul.</p>
<p>Misalnya, ini terlihat dari insiden kekerasan yang menimpa umat agama minoritas di Indonesia selama satu dekade ke belakang – termasuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/09/09/11115111/kekerasan-dan-diskriminasi-terhadap-warga-ahmadiyah-tidak-dibenarkan?page=all">perusakan tempat ibadah</a> maupun <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44189085">pengusiran paksa</a> umat Ahmadiyah dan Syiah, hingga berbagai kasus <a href="https://theconversation.com/toleran-di-permukaan-konsep-multikulturalisme-gagal-membangun-relasi-beragama-yang-bermakna-di-indonesia-174410">penghalangan pembangunan gereja</a> umat Kristiani.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/toleran-di-permukaan-konsep-multikulturalisme-gagal-membangun-relasi-beragama-yang-bermakna-di-indonesia-174410">Toleran di permukaan: konsep multikulturalisme gagal membangun relasi beragama yang bermakna di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada era digital, benih politik kebencian juga <a href="https://theconversation.com/rahasia-dapur-pasukan-siber-bagaimana-buzzer-digerakkan-untuk-meneror-iklim-demokrasi-173600">terus ditanamkan di ruang virtual</a> – tempat banyak anak muda Indonesia beraktivitas. Hal tersebut lambat laun bisa mendorong munculnya aksi nyata sebagaimana yang terjadi di Eropa beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Sama dengan di Eropa, elit politik yang semestinya menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjalankan etika berdemokrasi justru juga <a href="https://theconversation.com/cebong-versus-kampret-polarisasi-politik-pascapilpres-2019-semakin-tajam-115477">ikut menjadi agen utama</a> yang membangun narasi kebencian demi keuntungan politik.</p>
<p>Etika berdemokrasi dan etika bermedia sosial adalah faktor penting yang akan menentukan arah politik Indonesia ke depan – apakah semakin memajukan peradaban dalam berbangsa dan bernegara, atau semakin tersungkur dalam jurang kebencian. Sudah semestinya laporan <a href="https://www.microsoft.com/en-us/online-safety/digital-civility"><em>Digital Civility Index</em></a> (2021) yang menempatkan warganet Indonesia sebagai <a href="https://theconversation.com/orang-dewasa-penyebab-indeks-kesopanan-digital-indonesia-buruk-pentingnya-literasi-digital-156644">netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara</a> menjadi “alarm” buat bangsa ini.</p>
<p>Realitas netizen Indonesia yang mayoritasnya adalah kaum muda, tengah tidak baik-baik saja.</p>
<p>Eropa telah menunjukkan bahwa masyarakat yang cenderung berpendidikan pun bisa terhasut paham identitarian yang berujung kekerasan.</p>
<p>Ini adalah pelajaran bagi Indonesia. Di tengah beragamnya perbedaan identitas dan keyakinan, sikap tenggang rasa, nilai-nilai etis dalam demokrasi dan kebhinekaan harus tetap dijunjung tinggi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181094/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fachri Aidulsyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Fenomena apa yang menjelaskan bangkitnya demam ekstrem kanan kaum muda Eropa? Apakah hal serupa bisa terjadi juga di Indonesia, di mana polarisasi politik kian gencar beberapa tahun belakangan?Fachri Aidulsyah, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744102022-01-21T04:42:07Z2022-01-21T04:42:07ZToleran di permukaan: konsep multikulturalisme gagal membangun relasi beragama yang bermakna di Indonesia<p>Memasuki 2022, muncul berbagai peristiwa yang semakin menunjukkan rapuhnya relasi beragama di Indonesia.</p>
<p>Kita mendengar kabar <a href="https://nasional.tempo.co/read/1549972/penendang-sesajen-gunung-semeru-ditangkap-langsung-ditetapkan-tersangka">penendangan sesajen</a> di Gunung Semeru, Jawa Timur, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211228090918-20-739431/warga-larang-ibadah-natal-di-lampung-salib-gereja-sepakat-diturunkan">pelarangan perayaan Natal</a> oleh warga di Lampung, hingga penolakan pembangunan tempat ibadah umat minoritas seperti <a href="https://news.detik.com/berita/d-4539725/rencana-pembangunan-pura-di-sukatani-bekasi-ditolak-warga">pura di Bekasi</a> dan <a href="https://www.jawapos.com/surabaya/28/12/2021/kronologi-pembangunan-gki-citraland-sempat-ditolak-10-tahun-lalu/?page=4">gereja di Surabaya</a> yang butuh satu dekade lebih untuk mendapat titik terang.</p>
<p>Sepanjang 2020, <a href="https://setara-institute.org/laporan-kondisi-kebebasan-beragamaberkeyakinan-di-indonesia-tahun-2020/">Setara Institute</a> juga mencatat setidaknya 180 peristiwa dan 424 pelanggaran kebebasan berkeyakinan di seluruh Indonesia.</p>
<p>Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas.</p>
<p>Mengapa pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan terus-terusan terjadi?</p>
<p>Dalam <a href="https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/jseahr2&div=7&id=&page=">riset saya</a>, saya berargumen bahwa selain lemahnya instrumen perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, pendekatan multikulturalisme secara sosial juga belum mampu mendukung kerukunan beragama.</p>
<p>Kelompok minoritas selama ini sebatas mendapat akomodasi untuk mengekspresikan identitas keagamannya; ini belum cukup.</p>
<p>Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan.</p>
<h2>Kegagalan multikulturalisme</h2>
<p>Multikulturalisme adalah <a href="https://books.google.co.id/books?id=VXRimQmdhAkC">langkah politik akomodasi</a> yang dilakukan negara dan/atau kelompok mayoritas bagi ekspresi budaya minoritas – entah ras, etnisitas, kewarganegaraan, atau agama.</p>
<p>Misalnya, mereka mendapat <a href="https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/0198290918.001.0001/acprof-9780198290919">dukungan</a> atas keyakinan dan kebiasaan kelompok tersebut yang berbeda dari kelompok mayoritas. Negara juga menyesuaikan perangkat hukum dan aturan yang ada sehingga warga minoritas dapat tetap <a href="https://www.researchgate.net/publication/350443061_Interculturalism_and_multiculturalism_similarities_and_differences">mengekspresikan identitas budaya mereka</a>.</p>
<p>Sekilas, multikulturalisme memang terdengar sebagai pendekatan yang ideal digunakan untuk mengelola keberagaman.</p>
<p>Namun, ada hal yang masih terlewat dalam pendekatan ini.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315165233-11/multiculturalist-conflicts-intercultural-law-pierluigi-consorti">para ahli</a>, multikulturalisme hanya fokus memenuhi hak kultural dari kelompok-kelompok yang ada tanpa membangun keterhubungan dan keterikatan (<em>interconnectedness</em>) di antara mereka.</p>
<p>Ini menciptakan “sangkar budaya” (<em>cultural aviaries</em>) – suatu kelompok agama hanya akan berkumpul dengan sesamanya sekaligus menghindari konflik dengan kelompok berbeda. Pada akhirnya, ini memunculkan fragmentasi sosial dan keterpisahan antara kelompok minoritas dan mayoritas (<em>minority separateness</em>).</p>
<p>Ini sangat terlihat dalam konflik pendirian tempat ibadah yang banyak dialami umat minoritas di Indonesia.</p>
<p>Secara prinsip, tak ada larangan bagi umat minoritas untuk membangun tempat ibadah. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur di <a href="https://ntt.kemenag.go.id/file/file/dokumen/rndz1384483132.pdf">Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006</a>, yakni adanya dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang.</p>
<p>Ini adalah contoh aturan dengan semangat multikulturalisme – umat minoritas diberi jalan untuk membangun tempat ibadah.</p>
<p>Sayangnya, syarat dukungan warga sekitar berarti bahwa pembangunan tempat ibadah suatu umat seringkali hanya berjalan lancar jika dilakukan di lingkungan yang dipenuhi sesama umat agama tersebut.</p>
<p>Di sini, setiap kelompok seakan mendapat hak-haknya, selama berada dalam “wilayah kultural” masing-masing dan tidak terjadi “saling senggol”.</p>
<p>Ini tidak sejalan dengan hak kebebasan beragama (dan hak kultural lainnya) yang bersifat penuh dan seluas-luasnya. Umat beragama harusnya bisa bebas beribadah di mana pun, meski mereka adalah umat minoritas di tengah lingkungan umat mayoritas.</p>
<p>Tanpa keterhubungan dan keterikatan antara para kelompok, resistensi dan penolakan antar kelompok akan terus ada dan tidak akan pernah tergerus – seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.”</p>
<p>Resistensi ini kemudian menjadi semakin berbahaya dan dapat berkembang menjadi kekerasan jika di antara para kelompok tersebut ada “<em>covert animosity</em>” atau rasa memusuhi yang disembunyikan.</p>
<p>Hasil <a href="https://wahidfoundation.org/index.php/news/detail/RI-Masih-Rentan-Intoleransi-Wahid-Foundation-Sampaikan-Enam-Rekomendasi">studi</a> yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Wahid Foundation sekitar 5 tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa 59,9% dari 1.520 responden di 34 provinsi mengaku memiliki kebencian terhadap kelompok masyarakat yang berbeda, khususnya pada non-Muslim, etnis Tionghoa, komunis, dan sebagainya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/obsesi-indonesia-untuk-menjaga-ketertiban-sosial-menjadi-penghalang-perlakuan-setara-terhadap-pemeluk-agama-minoritas-166637">Obsesi Indonesia untuk menjaga ketertiban sosial menjadi penghalang perlakuan setara terhadap pemeluk agama minoritas</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Interkulturalisme: arah baru relasi beragama</h2>
<p>Atas dasar tersebut, kita perlu menggunakan pendekatan baru yang tak hanya mengakomodasi kelompok minoritas, tapi juga membangun keterhubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.</p>
<p>Hal ini terjawab oleh pendekatan <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315165233-11/multiculturalist-conflicts-intercultural-law-pierluigi-consorti">“interkulturalisme</a>”.</p>
<p>Pendekatan interkulturalisme tidak hanya mengakomodasi perbedaan <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315165233-11/multiculturalist-conflicts-intercultural-law-pierluigi-consorti">tapi juga menjembataninya</a>. Sehingga, antara mereka yang berbeda dapat saling terkoneksi dan saling menyatu menjadi masyarakat yang kohesif.</p>
<p>Pada praktiknya, prinsip tersebut dapat berwujud kebijakan yang mendorong inter-dialog, keterhubungan, dan keterikatan antara berbagai kelompok yang berbeda. Harapannya, ini dapat menghilangkan segala kondisi yang bisa memunculkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/350443061_Interculturalism_and_multiculturalism_similarities_and_differences">segregasi sosial</a>.</p>
<p>Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, melalui <a href="https://theconversation.com/bagaimana-perda-yang-mengatur-agama-berperan-mengikis-hak-pelajar-minoritas-di-sekolah-154080">kurikulum sekolah</a> yang memfasilitasi terbangunnya inter-dialog dan pemahaman bersama antar kelompok agama yang berbeda, atau melalui penetapan kuota tertentu yang menjamin kemajemukan suatu populasi – baik di sekolah, perkantoran, atau pemukiman.</p>
<p>Singapura melakukan ini melalui <a href="https://www.hdb.gov.sg/residential/buying-a-flat/resale/eligibility/ethnic-integration-policy-and-spr-quota"><em>Ethnic Integration Policy</em></a> yang menetapkan kuota minimal untuk etnis minoritas dalam setiap area pemukiman. Kebijakan ini sudah berjalan sejak 1989.</p>
<p>Selain itu, alih-alih menetapkan syarat yang bisa mempersulit rencana pendirian tempat ibadah, pemerintah justru harus mendorong terbangunnya fasilitas peribadatan dari berbagai kelompok agama di setiap lingkungan masyarakat – apa pun agama mayoritas di wilayah tersebut.</p>
<p>Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, dengan menghilangkan syarat dukungan dari masyarakat sekitar seperti yang terdapat di aturan yang berlaku saat ini.</p>
<p>Pada intinya, melalui pendekatan interkulturalisme, masyarakat didorong untuk tidak sekadar sadar atau “mengizinkan” adanya keberagaman.</p>
<p>Jika negara serius ingin menjadikan tahun 2022 sebagai “<a href="https://nasional.tempo.co/read/1545477/menag-yaqut-canangkan-2022-sebagai-tahun-toleransi">Tahun Toleransi</a>”, serta menjadikan Indonesia sebagai <a href="https://nasional.tempo.co/read/1545477/menag-yaqut-canangkan-2022-sebagai-tahun-toleransi">kiblat kerukunan beragama</a> di dunia, masyarakat harus didorong untuk hidup di dalam keberagaman tersebut dan menjadikan keberagaman yang ada sebagai bagian dari diri kita masing-masing.</p>
<p>Hanya dengan begitu kita dapat menjadikan <em>bhinneka tunggal ika</em> tidak hanya sebagai motto kosong atau mantra toleransi yang hanya di level permukaan, tapi benar-benar sebagai napas hidup.</p>
<p>Bahwa kita memang berbeda, tapi perbedaan itu terajut, terkoneksi, dan menyatu di antara kita.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174410/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joeni Arianto Kurniawan menerima dana dari pemerintah melalui Universitas Airlangga dan juga LPDP. </span></em></p>Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan.Joeni Arianto Kurniawan, Dosen Tetap dan Direktur Center for Legal Pluralism Studies (CLeP), Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1687682021-10-05T06:24:39Z2021-10-05T06:24:39ZBagaimana Nahdlatul Ulama memprakarsai reformasi Islam dan berupaya menyebar pengaruh di dunia Muslim<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/423969/original/file-20210930-16-1ntts7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C7%2C4852%2C3252&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Silaturahmi dalam rangka ulang tahun ke-73 Nahdlatul Ulama, di Jakarta, Indonesia pada tahun 2019.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/participants-are-seen-at-the-bung-karno-stadium-during-a-news-photo/1090184470?adppopup=true">Eko Siswono Toyudho/Anadolu Agency/Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Setelah kembali berkuasa di Afghanistan, Taliban kembali memaksakan <a href="https://moderndiplomacy.eu/2021/09/08/taliban-perpetuate-muslim-worlds-failed-governance-paradigm/">ideologi agama</a> mereka, dengan pembatasan <a href="https://apnews.com/article/middle-east-afghanistan-womens-rights-kabul-taliban-eee5a8c73dd5d58acfda008582ef77bb">hak-hak perempuan</a> dan tindakan represif lainnya. Mereka menampilkan kepada dunia citra Islam yang intoleran dan bertentangan dengan perubahan sosial.</p>
<p>Namun, Islam memang memiliki banyak interpretasi. Nahdlatul Ulama (NU) - yang merupakan organisasi Islam terbesar, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia, dengan <a href="https://www.religiousfreedominstitute.org/publication/indonesia-religious-freedom-landscape-report">sekitar 90 juta anggota dan pengikutnya</a> - telah menekankan penafsiran tentang kemanusiaan, dengan fokus pada ‘rahmah’.</p>
<p>Dalam hal keanggotaan, NU jauh melampaui Taliban; namun wajah Islam ini belum cukup dikenal di panggung internasional.</p>
<p>NU didirikan pada <a href="https://www.baytarrahmah.org/media/2021/Yahya-Cholil-Staquf_Transcript_Regent-University_9-11_Commemoration-Speech.pdf">1926 sebagai reaksi</a> pada penaklukan Saudi atas Mekah dan Madinah dengan ide-ide Wahhabi mereka. NU mengikuti <a href="https://brill.com/view/book/9789004435544/BP000016.xml">aliran Islam Sunni</a>, sambil memeluk spiritualitas Islam dan menerima tradisi budaya Indonesia.</p>
<p>Pada 2014, <a href="https://www.nytimes.com/2015/11/27/world/asia/indonesia-islam-nahdlatul-ulama.html">NU merespon</a> kebangkitan kelompok Negara Islam (Islamic State atau IS) dan ideologi radikalnya dengan memprakarsai reformasi Islam yang disebut ‘<a href="https://baytarrahmah.org/humanitarian-islam/">humanisme Islam</a>’.</p>
<p>Untuk mendorong reformasi ini, Katib Am Syuriah Pengurus Besar NU Yahya “Gus Yahya” Cholil Staquf telah mengunjungi beberapa negara dan bertemu dengan para pemimpin agama, akademikus, dan politikus. Saya bertemu dengan Gus Yahya saat ia berkunjung ke Washington DC, Amerika Serikat, Juli lalu.</p>
<p>Tahun lalu, buku saya berjudul “<a href="https://www.gramedia.com/products/islam-otoritarianisme-dan-ketertinggalan">Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan</a>” terbit dan <a href="https://siapabilang.com/buku-islam-otoritarianisme-dan-ketertinggalan/photo/">diulas</a> oleh cendekiawan terkemuka, seperti <a href="https://republika.co.id/berita/q4t7o1282/islam-dan-kemerdekaan-beragama-institusional-i">Ahmad Syafii Maarif</a>, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Sejak itu saya fokus mempelajari Islam di Indonesia, khususnya 'Islam humanis’ yang diprakarsai NU.</p>
<p>Apa isi dari gerakan perubahan ini? Apakah ada hasil praktisnya?</p>
<h2>Khilafah, hukum Islam, dan non-Muslim</h2>
<p>Selama tujuh tahun terakhir, Gus Yahya telah <a href="https://www.wsj.com/articles/how-to-make-the-islamic-world-less-radical-11610665933">menyelenggarakan</a> beberapa pertemuan ulama NU. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan <a href="https://www.baytarrahmah.org/media/2021/God-Needs-No-Defense_Reimagining-Muslim-Christain-Relations-in-the-21st-Century.pdf">deklarasi publik untuk mereformasi pemikiran Islam</a> pada isu-isu kontroversial, termasuk gagasan khilafah, status hukum Islam, dan hubungan Muslim dengan non-Muslim.</p>
<p>Pertama-tama, deklarasi NU menolak gagasan khilafah global atau kepemimpinan politik yang menyatukan seluruh umat Islam. Konsep khilafah telah diterima baik oleh <a href="http://www.lettertobaghdadi.com/14/arabic-v14.pdf">cendikiawan Islam arus utama</a> - seperti kelompok <a href="https://edinburghuniversitypress.com/book-islam-and-the-foundations-of-political-power.html">Al-Azhar</a> di Mesir - dan juga oleh kelompok radikal seperti kelompok IS dan al-Qaeda.</p>
<p>Selain itu, deklarasi NU menekankan legitimasi sistem konstitusional dan hukum negara modern, dan dengan demikian menolak gagasan bahwa mendirikan negara berdasarkan hukum Islam adalah kewajiban agama.</p>
<p>Deklarasi ini juga menekankan pentingnya kewarganegaraan yang setara dengan menolak pembedaan antara Muslim dan non-Muslim dalam hukum.</p>
<p>Mereka menyerukan kerja sama yang lebih dalam di antara umat Islam, Kristen, dan pengikut agama lain untuk mempromosikan perdamaian dunia.</p>
<p>NU telah mengambil langkah-langkah praktis untuk mewujudkan tujuan tersebut. Misalnya, mereka telah menjalin hubungan kerja sama <a href="https://worldea.org/news/thomas-k-johnson-on-humanitarian-islam-and-the-ethics-of-religious-freedom%20-podcast/">dengan World Evangelical Alliance</a> - yang mengklaim mewakili 600 juta penganut Protestan - untuk mempromosikan solidaritas dan rasa hormat antarbudaya.</p>
<p>Untuk lebih memahami pentingnya perspektif NU dan batas-batasnya, kita perlu menengok konteks di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-temuan-riset-warga-nu-intoleran-mengandung-bias-seleksi-yang-mengecoh-kesimpulan-141391">Analisis: temuan riset "warga NU intoleran" mengandung bias seleksi yang mengecoh kesimpulan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Islam toleran Indonesia</h2>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Yahya Staquf, Sekjen Nahdlatul Ulama." src="https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/422462/original/file-20210921-15-i1g5b7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Yahya Cholil Staquf.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://tirto.id/ahmet-kuru-tradisi-islam-demokratis-hancur-oleh-otoritarianisme-gf7f">Penelitian saya</a> pada 50 negara mayoritas Muslim menunjukkan bahwa Indonesia menonjol karena merupakan satu dari sedikit negara demokrasi di antara negara mayoritas Muslim yang lain. Indonesia juga memiliki populasi Muslim terbesar di dunia - 88% dari 270 juta penduduknya adalah Muslim.</p>
<p>Pilar dasar negara Indonesia, <a href="https://www.britannica.com/topic/Pancasila">Pancasila</a> pada dasarnya mengacu pada Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Bangsa Indonesia, Demokrasi dan Keadilan Sosial.</p>
<p>Baik NU maupun <a href="https://maarifinstitute.org">Muhammadiyah</a> menghormati prinsip-prinsip ini. Muhammadiyah adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, yang juga memiliki puluhan juta pengikut. Kedua organisasi ini sering <a href="https://drive.google.com/file/d/1CX47InmfOug5AahfCXfJ98ANjg6jKthM/view">bekerja sama melawan kelompok Islam radikal</a>.</p>
<p><a href="https://www.bu.edu/pardeeschool/profile/robert-hefner/">Robert Hefner</a>, seorang cendikiawan Amerika di bidang Indonesia, mendokumentasikan dalam <a href="https://press.princeton.edu/%20books/paperback/9780691050478/civil-islam">bukunya yang terbit tahun 2000</a> bagaimana NU dan Muhammadiyah memberikan kontribusi penting bagi demokratisasi negara pada akhir 1990-an. Selama proses ini, pemimpin NU Abdurrahman “Gus Dur” Wahid menjadi presiden pertama Indonesia yang terpilih secara demokratis pada 1999.</p>
<p>Gus Dur, yang meninggal pada 2009, juga meninggalkan warisan agama. Selama penelitian saya, perwakilan NU - seperti Gus Yahya dan Holland Taylor - berulang kali menyebut gagasan reformis Gus Dur sebagai sumber utama inspirasi Islam Kemanusiaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-kafir-ke-non-muslim-dan-ide-kesetaraan-di-pesantren-dan-nu-113120">Dari 'kafir' ke 'non-Muslim' dan ide kesetaraan di pesantren dan NU</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Islam intoleran di Indonesia</h2>
<p>Tidak semua teori dan praktik Islam di Indonesia toleran terhadap keberagaman. Provinsi Aceh, misalnya, telah menegakkan aturan hukum pidana Islam tertentu, termasuk hukuman cambuk bagi mereka yang menjual atau minum alkohol.</p>
<p>Contoh lain dari intoleransi agama dan politik adalah <a href="https://theconversation.com/menista-agama-bisa-dihukum-mati-di-beberapa-negara-muslim-mengapa-dianggap-pelanggaran-besar-132445">hukum penistaan agama</a>, yang mengirim Gubernur Jakarta yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa, <a href="https://www.mdpi.com/2077-1444/12/6/415/htm">Basuki Tjahaja Purnama</a>, ke penjara selama 20 bulan pada 2017-2018 akibat pernyataan tentang sebuah ayat dalam Al-Qur'an.</p>
<p>Pada Januari 2021, kisah seorang siswa perempuan Kristen yang dipaksa oleh kepala sekolah untuk mengenakan jilbab menjadi <a href="https://www.facebook.com/elianu.hia/videos/3444961562268596">viral di Facebook</a>. Dua minggu setelahnya, pemerintah Indonesia menanggapi kejadian itu dengan sebuah keputusan untuk melarang sekolah negeri mewajibkan pakaian keagamaan apa pun.</p>
<p>Singkatnya, ada tarik-menarik antara interpretasi Islam intoleran dan toleran di Indonesia. Bahkan di dalam NU, ada perbedaan pendapat antara para konservatif dan reformis.</p>
<p>Meski demikian, reformis NU menjadi lebih berpengaruh. Salah satu contohnya adalah Menteri Agama saat ini, Yaqut Cholil Qoumas, seorang tokoh NU dan adik dari Gus Yahya. Dia adalah salah satu dari <a href="https://www.hudson.org/research/16679-indonesian-government-forbids-state-schools-from-requiring-muslim-headscarves">tiga menteri yang menandatangani</a> keputusan bersama yang melarang kewajiban seragam keagamaan pada siswa pada Februari.</p>
<p>Gerakan Islam Kemanusiaan NU mungkin penting untuk mempromosikan toleransi di antara pemeluk Islam di Indonesia. Tapi apakah hal ini bisa selaras dengan kondisi di luar Indonesia?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-muhammadiyah-ke-fpi-bagaimana-aktivis-islam-moderat-berubah-menjadi-radikal-151194">Dari Muhammadiyah ke FPI: bagaimana aktivis Islam moderat berubah menjadi radikal</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mempengaruhi Timur Tengah</h2>
<p>Jika ingin berdampak global, penting bagi NU untuk memfokuskan penerimaan gerakan reformasi ini di Timur Tengah, sebagai pusat sejarah Islam. </p>
<p>Islam Kemanusiaan sebagian besar telah diabaikan oleh para sarjana dan pemerintah negara-negara Timur Tengah seperti Turki, Iran, Mesir, dan Arab Saudi, yang umumnya melihatnya sebagai <a href="https://www.hudson.org/research/16463-the-battle-for-the-soul-of-islam">pesaing atas upaya mereka untuk mempengaruhi dunia Muslim</a>. </p>
<p>Sebagai inisiatif non-pemerintah, Islam Kemanusiaan berbeda dengan upaya Timur Tengah untuk membentuk dunia Muslim yang sebagian besar merupakan skema yang dipimpin oleh aktor-aktor pemerintah.</p>
<p>Dengan penekanan pada perubahan, Islam Kemanusiaan dapat menarik beberapa pemuda Muslim Timur Tengah yang <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-48703377">tidak puas</a> dengan interpretasi <a href="https://theconversation.com/irans-secular-shift-new-survey-reveals-huge-changes-in-religious-beliefs-145253">politik dan konservatif</a> negara mereka terhadap Islam.</p>
<p>Untuk menjangkau masyarakat di Timur Tengah, gerakan Islam Kemanusiaan meluncurkan <a href="https://arabic.baytarrahmah.org">versi bahasa Arab</a> di situs web mereka yang berbahasa Inggris. </p>
<p>Masih belum terlihat apakah inisiatif ini dapat berdampak di Timur Tengah dan menjadi gerakan reformasi Islam yang benar-benar global.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168768/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ahmet T. Kuru is the author of Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas
Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (KPG 2020) and teaching online at Universitas Islam Internasional Indonesia in Fall 2021.
</span></em></p>Nahdlatul Ulama adalah organisasi Islam terbesar di dunia, yang memprakarsai gerakan reformasi yang disebut ‘humanisme Islam’.Ahmet T. Kuru, Porteous Professor of Political Science, San Diego State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1612822021-09-10T02:30:21Z2021-09-10T02:30:21ZTiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan<p>Dalam menangani kasus terorisme, pemerintah Indonesia seringkali mengandalkan pendekatan keamanan, misalnya dengan <a href="https://www.antaranews.com/berita/1908208/kapolri-selama-2020-polri-tangkap-228-tersangka-teroris">banyak melakukan penangkapan</a> terhadap terduga kelompok terorisme.</p>
<p>Meski penangkapan telah banyak dilakukan, insiden seperti bom bunuh diri <a href="https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/28/03/2021/pengamat-intelijen-duga-bom-bunuh-diri-sebagai-serangan-balas-dendam/">masih terus terjadi</a>. Bahkan, beberapa di antaranya dilatarbelakangi keinginan balas dendam pelaku atas penangkapan yang dilakukan terhadap anggota kelompok mereka. </p>
<p>Ini dapat mengindikasikan bahwa pendekatan keamanan hanya efektif untuk merespons insiden terkini, namun tidak efektif sebagai <a href="https://www.britishcouncil.org/sites/default/files/discussion_paper_building_resistance_to_violent_extremism_finalv1.pdf">solusi jangka panjang</a>.</p>
<p>Sementara itu, strategi penanggulangan terorisme secara global telah berkembang sehingga <a href="https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/indonesias-nap-cve-as-an-instrument-of-a-gendered-non-traditional-security-approach-in-indo-pacific/">tidak terbatas</a> pada pendekatan keamanan saja, tapi juga melibatkan pendekatan lain seperti melalui <a href="https://www.nrc.no/globalassets/pdf/position-papers/170622-cve-and-the-role-of-education-in-humanitarian-action---fv.pdf">sektor pendidikan</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=532&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=532&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/419731/original/file-20210907-23-1e8quua.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=532&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seorang anak mewarnai gambar tentang keberagaman agama di Indonesia dalam perlombaan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kegiatan ini sebagai upaya mendidik anak-anak tentang nilai toleransi beragama di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pendidikan yang berkualitas dapat menciptakan kondisi yang <a href="https://www.researchgate.net/publication/339953591_The_Role_of_Education_in_the_Prevention_of_Radicalization_and_Violent_Extremism_in_Developing_Countries">membuat radikalisme sulit tumbuh</a> serta membangun <a href="https://en.unesco.org/sites/default/files/policymakr.pdf">ketahanan</a> untuk mencegah anak menyerap ideologi tersebut.</p>
<p>Melalui tulisan ini, kami merekomendasikan tiga cara agar sistem pendidikan Indonesia dapat mendukung pencegahan tumbuhnya radikalisme.</p>
<h2>1. Bangun kurikulum berpikir kritis</h2>
<p>Kelompok terorisme kerap menyebarkan ideologi mereka melalui propaganda yang menggugah.</p>
<p>Artinya, salah satu cara terbaik untuk memutusnya adalah dengan mempromosikan <a href="https://www.globalcenter.org/wp-content/uploads/2013/12/Dec13_Education_Expert_Meeting_Note.pdf">muatan kurikulum berpikir kritis</a>. </p>
<p>Kurikulum berpikir kritis dapat membangun kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah dan melihat segala sesuatu <a href="https://prevention.kg/wp-content/uploads/2019/07/Prevention-of-Violent-Extremism-through-Education-in-Central-Asia-.pdf">dengan cara pandang yang beragam</a> – terutama masalah terkait identitas, keberagaman, dan ideologi yang muncul seiring mereka tumbuh dewasa.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0190740919307972">studi yang dilakukan di Hong Kong</a> pada 2019, kemampuan berpikir kritis dapat menurunkan sikap etnosentrisme – atau anggapan bahwa budaya dan cara pandang mereka adalah yang terbaik – di antara para partisipan.</p>
<p>Dalam konteks radikalisme, kemampuan berpikir kritis ini diharapkan membuat anak <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/182675/DFE-RR119.pdf">menjadi lebih skeptis</a> terhadap penyelesaian berbagai masalah dan konflik melalui cara-cara kekerasan.</p>
<p>Indonesia pada tahun ini mulai berupaya memasukkan muatan berpikir kritis di lingkup pendidikan sebagai strategi pencegahan ekstremisme dan ideologi kekerasan, melalui <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176329/Lampiran_Perpres_Nomor_7_Tahun_2021.pdf">Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021</a>.</p>
<p>Langkah ini patut diapresiasi karena di antaranya memuat kurikulum berpikir kritis sejak sekolah dasar (SD) hingga pendidikan tinggi. Strategi ini juga <a href="https://toolkit.thegctf.org/Portals/1/Documents/En/Abu-Dhabi-Memorandum-ENG.pdf?ver=2017-12-11-162737-823">sejalan dengan rekomendasi praktik global</a> untuk mengajarkan berpikir kritis sedini mungkin sesuai perkembangan kognitif anak.</p>
<h2>2. Gencarkan pendidikan literasi media</h2>
<p>Kelompok terorisme seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15377857.2020.1869812?journalCode=wplm20">menggunakan media sosial</a> sebagai sarana menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru.</p>
<p>Strategi tersebut berhasil memengaruhi banyak warga Indonesia untuk <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43848676">berangkat ke wilayah konflik</a> dan berjuang di bawah bendera ISIS.</p>
<p>Beberapa <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-47042930">kelompok terorisme</a> biasanya menggunakan kewajiban agama sebagai propaganda untuk menggalang dukungan. Masalah sosial lain seperti kemiskinan dan ketimpangan juga dimanfaatkan sebagai pesan yang memikat banyak orang untuk bergabung.</p>
<p>Untuk mencegahnya, sistem pendidikan dapat menyediakan muatan literasi media agar anak memiliki kemampuan dalam <a href="https://www.gcedclearinghouse.org/sites/default/files/resources/190483eng.pdf">memilih dan mengevaluasi informasi</a> yang dikonsumsi. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/418503/original/file-20210830-25-6nbxfk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Dua pelajar memilih buku di perpustakaan keliling pada saat Hari Aksara Internasional di Jawa Timur.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(ANTARA FOTO/Umarul Faruq)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa praktik yang bisa dilakukan adalah dengan <a href="https://www.dhs.gov/sites/default/files/publications/Countering%20the%20Appeal%20of%20Extremism%20Online_1.pdf">melatih keterampilan dasar anak</a> untuk melakukan verifikasi sumber informasi, sehingga anak dapat menilai validitas dan keaslian suatu informasi saat mengonsumsinya via berbagai platform media.</p>
<p><a href="http://www.demos.co.uk/files/Truth_-_web.pdf">Sebuah studi</a> yang dilakukan pada lebih dari 500 guru dan murid di Inggris, misalnya, menemukan bahwa 1 dari 4 anak tidak melakukan pengecekan atau verifikasi ketika mengunjungi situs daring yang baru dikunjungi. Selain itu, hanya terdapat 1 dari 10 yang mempertanyakan tujuan dan latar belakang berbagai situs di internet.</p>
<p>Harapannya, berbagai praktik di atas dapat membantu anak untuk tidak mudah terperangkap dalam pesan-pesan kekerasan ketika berhadapan dengan propaganda bermuatan radikalisme.</p>
<h2>3. Bangun ruang yang aman bagi anak untuk berdiskusi dan berpendapat</h2>
<p>Dua rekomendasi di atas hanya akan dapat terlaksana jika anak mendapatkan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk melatih cara mereka berpikir.</p>
<p>Tentunya ini tidak terlepas dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14675986.2019.1540102">seberapa terbuka dan aman lingkungan sekitar</a> menerima pendapat anak.</p>
<p>Salah satu lingkungan terdekat anak, yakni sekolah, dapat berperan dengan cara menerapkan praktik pembelajaran yang membantu anak memahami berbagai topik dan materi yang kompleks yang biasanya tabu – dari agama, identitas, hingga tradisi – secara lebih terbuka.</p>
<p>Dengan iklim belajar seperti ini, anak akan semakin terlatih untuk menghormati proses diskusi dan berani mempertanyakan kembali berbagai asumsi, prasangka, dan bias yang selama ini mereka yakini.</p>
<p>Salah satu <a href="https://ec.europa.eu/home-affairs/sites/default/files/what-we-do/networks/radicalisation_awareness_network/ran-best-practices/docs/ran_collection-approaches_and_practices_en.pdf">praktik</a> yang dapat diterapkan adalah membangun ruang diskusi di kelas untuk menceritakan pengalaman pribadi anak mengenai berbagai topik menantang di atas.</p>
<p>Mendengarkan cerita dari teman-teman mereka akan membantu anak membangun empati terhadap beragam sudut pandang yang berbeda.</p>
<h2>Merancang pendidikan anti-radikalisme: jalan panjang ke depan</h2>
<p>Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi tiga rekomendasi di atas.</p>
<p>Kita masih <a href="https://wenr.wes.org/2019/03/education-in-indonesia-2#:%7E:text=Common%20quality%20problems%20include%20inadequate,a%20bachelor's%20degree%20or%20less.">menemui berbagai hambatan</a> terkait akses pendidikan yang terbatas, kualitas dan ketersediaan tenaga pengajar yang masih rendah, fasilitas pendidikan yang tidak merata, serta kurikulum yang terus berubah setiap tahun tanpa proses evaluasi yang memadai.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-perda-keagamaan-memberi-ruang-bagi-sekolah-untuk-paksakan-pemakaian-jilbab-dan-mengikis-hak-pelajar-minoritas-154080">Bagaimana perda keagamaan memberi ruang bagi sekolah untuk paksakan pemakaian jilbab dan mengikis hak pelajar minoritas</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika akses dan kualitas pendidikan belum merata, misalnya, akan selalu ada anak yang lebih berisiko terpapar radikalisme – sebaik apa pun program pencegahan yang ada.</p>
<p>Terbitnya <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176329/Lampiran_Perpres_Nomor_7_Tahun_2021.pdf">Perpres Nomor 7 Tahun 2021</a> tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme dapat menjadi momentum untuk memperbaki hal ini.</p>
<p>Harapannya, kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melawan radikalisme – terutama di lingkup pendidikan – tak lagi hanya jargon semata. Melawan kelompok terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif, bukan hanya pendekatan keamanan saja. </p>
<p>Pemerintah dan sistem pendidikan juga perlu memastikan agar tidak ada kebijakan yang justru menghambat, seperti mengeluarkan anak dari sekolah, membuat kebijakan diskriminatif, atau bentuk hukuman lainnya karena anak menyampaikan pendapat.</p>
<p>Pendidikan adalah garda terdepan untuk mengajak anak dan kaum muda menjauh dari kelompok terorisme.</p>
<p>Pendekatan seperti kurikulum berpikir kritis dan literasi media, serta lingkungan aman untuk anak berpendapat adalah investasi jangka panjang dan kesempatan terbaik untuk mencegah perkembangan radikalisme.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/161282/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Melalui tulisan ini, kami merekomendasikan tiga cara agar sistem pendidikan Indonesia dapat mendukung pencegahan tumbuhnya ideologi kekerasan dan ekstremisme.Muhamad Bill Robby, Research and advocacy assistant, PUSKAPAChaula Rininta Anindya, PhD Student in International Relations, Ritsumeikan UniversityPutri K. Amanda, Head of Programs, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1666372021-08-24T09:56:42Z2021-08-24T09:56:42ZObsesi Indonesia untuk menjaga ketertiban sosial menjadi penghalang perlakuan setara terhadap pemeluk agama minoritas<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/417468/original/file-20210823-15-1ci41jv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C251%2C3988%2C2407&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Aprillio Akbar/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Beberapa minggu lalu, Menteri Agama Cholil Yaqut Qoumas menjadi sasaran <a href="https://en.tempo.co/read/1489204/religious-freedom-group-lauds-ministers-greetings-for-bahais">kecaman dan pujian</a> publik karena mengucapkan selamat kepada penganut agama Baha'i yang merayakan Hari Raya Nowruz.</p>
<p>Nowruz adalah <a href="https://bahai-library.com/walbridge_encyclopedia_nawruz">Hari Tahun Baru</a> dalam kalender Bahaʼi. Hari Raya Norwuz adalah salah satu dari sembilan hari suci bagi penganut Bahaʼi.</p>
<p>Ucapan selamat hari raya oleh pejabat negara dan pemerintah kepada pemeluk agama mayoritas merupakan praktik umum di Indonesia. Hal ini kerap dinilai sebagai praktik toleransi.</p>
<p>Namun mengucapkan selamat kepada komunitas pemeluk agama minoritas, terutama yang tidak diakui secara resmi oleh negara, masih dianggap sebagai dosa politik dan dosa sosial besar.</p>
<p>Selama puluhan tahun, pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama besar – yaitu Buddha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, dan Konghucu.</p>
<p>Ucapan selamat hari raya dari Cholil kepada penganut Baha'i bukanlah langkah “progresif” pertamanya sebagai menteri agama. Setelah dilantik akhir tahun lalu, ia berjanji untuk menegakkan hak-hak kaum Ahmadiyah dan Syiah, dua kepercayaan minoritas dengan pengikut yang cukup besar di Indonesia.</p>
<p>Awal tahun ini, ia meminta agar doa <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/04/08/18015461/soal-doa-dari-semua-agama-menag-salahnya-doa%20-ini-apa-sih-orang-disuruh-doa">dari semua agama</a> – tidak hanya Islam – dibacakan di acara-acara yang diselenggarakan kementeriannya.</p>
<p>Terlepas dari sikapnya yang terkesan lebih progresif dan liberal, Cholil tampaknya tidak akan berhasil membawa reformasi besar yang diharapkan dapat meningkatkan perlakuan setara terhadap agama minoritas.</p>
<p>Ia menghadapi budaya yang sudah berakar dalam di kalangan pejabat negara, yang cenderung melestarikan “<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1177/0967828X18769393">tatanan sosial mayoritas</a>”. Dalam tatanan demikian, kelompok mayoritas (baik menurut agama, etnis, kelas sosial, atau identitas lain) di suatu populasi mampu memegang kekuasaan tertentu atau dapat membuat keputusan untuk seluruh masyarakat.</p>
<h2>Tatanan sosial</h2>
<p>Kecenderungan untuk memelihara ketertiban sosial dimulai pada zaman penjajahan Belanda dan terus berkembang sejak berdirinya negara Indonesia.</p>
<p>Berbagai penelitian menunjukkan bahwa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1177/0967828X18769393">budaya ini</a> bertahan dari zaman ke zaman, meski tingkat penerapannya bervariasi dari waktu ke waktu.</p>
<p>Di bawah rezim otoriter Soeharto, negara sangat menekankan konsep kerukunan dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan penindasan terhadap perbedaan pendapat. </p>
<p>Rezim ini kerap menuduh para pemrotes atau oposisi sebagai kelompok perusak tatanan sosial negara yang ada.</p>
<p>Di era pasca Soeharto, semua lembaga kekuasaan negara, termasuk badan peradilan, melanjutkan budaya ini. Agama mayoritas mendapat hak istimewa, dengan mengorbankan orang-orang yang menganut agama minoritas. </p>
<p>Salah satu contohnya adalah persidangan Tajul Muluk, seorang pemimpin Syiah, yang <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2012/07/13/convicted-shiite-cleric-i-am-not-infidel%20.html">dihukum</a> setelah didakwa menodai Islam dan mengganggu keharmonisan sosial.</p>
<p>Pengadilan Negeri Sampang, dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur memvonis Tajul Muluk dengan dua tahun penjara pada 2013. Dia mengajukan banding, tapi Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi malah menggandakan hukumannya menjadi <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2013/09%20/19/mk-rejects-tajul-muluk-s-request-a-judicial-review.html">empat tahun</a> penjara.</p>
<p><a href="https://www.hrw.org/report/2013/02/28/religions-name/abuses-against-religious-minorities-indonesia">Banyak</a> tokoh agama Indonesia lainnya telah dipenjara karena tuduhan penodaan agama setelah mencoba memperkenalkan praktik atau kebiasaan keagamaan baru yang dianggap menyimpang dari ritual keagamaan yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Monoteisme</h2>
<p>Sila pertama dalam Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan faktor penting yang menghambat terwujudnya perlakuan yang setara.</p>
<p>Para pendiri negara Indonesia merumuskan ideologi dasar ini dalam serangkaian pertemuan sebelum kemerdekaan. </p>
<p>Menurut sarjana politik B.J. Boland, prinsip itu kemudian digunakan oleh Kementerian Agama sebagai “<a href="https://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs4mn">prinsip operasi</a>” untuk mendukung kelompok mayoritas Muslim. Sebagai imbaasnya, keyakinan minoritas telah ditekan dalam tahun-tahun awal berdirinya negara Indonesia ini.</p>
<p>Nilai ini, yang mendorong monoteisme dan pembentukan negara yang lebih religius, memberi pengaruh yang cukup kuat kepada perumusan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan-peraturan di Indonesia ini, termasuk <a href="https://www.amnestyusa.org/files/_index-_asa_210182014.pdf">keputusan presiden tentang penodaan agama tahun 1965</a>, sering digunakan untuk menindas pemeluk agama minoritas.</p>
<p>Pada 1965, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah keputusan untuk mencegah konflik antara pemeluk kepercayaan mistik atau agama rakyat dan pemeluk agama mayoritas seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.</p>
<p>Keputusan tersebut menjadi undang-undang empat tahun kemudian. Hingga hari ini, aparat negara sering menggunakan undang-undang ini untuk mengekang aliran yang dituduh sesat dan mengkriminalisasi pemimpinnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melarang-cadar-dan-celana-cingkrang-tidak-efektif-menangkal-radikalisme-127614">Melarang cadar dan celana cingkrang tidak efektif menangkal radikalisme</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perjuangan berat</h2>
<p>Nilai-nilai budaya dan ideologis ini begitu mengakar dalam praktik negara Indonesia sehingga setiap upaya untuk mereformasi undang-undang dan praktik diskriminatif tertentu akan gagal.</p>
<p>Misalnya, orang Indonesia harus mencantumkan agama dalam dokumen identitas - mencantumkan satu dari enam agama yang diakui negara selama puluhan tahun.</p>
<p>Pengikut agama minoritas dan kepercayaan asli mendapat <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2017/11/13/native-faith-followers-survive-decades-discrimination.html">diskriminasi</a> karena gagal mematuhi persyaratan ini. Mereka kerap mendapatkan hambatan dalam menerima pelayanan publik, seperti fasilitas mendapatkan akta nikah.</p>
<p>Baru pada <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2012/05/02/faith-optional-e-id-card.html">2012</a> pemerintah Indonesia mengizinkan warga negara, terutama penganut kepercayaan, untuk tidak menyatakan keyakinan agama atau keyakinan mereka di kartu identitas. Penganut kepercayaan mendapatkan hak mereka untuk mencantumkan nama keyakinan mereka di kartu identitas sejak <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2015/05/20/indigenous-faiths-allowed-id-card.html">2015</a></p>
<p>Walau ada langkah-langkah progresif tersebut, dan meskipun menteri agama saat ini telah menunjukkan beberapa kecenderungan progresif, reformasi yang lebih mendasar sangat diperlukan untuk menghapus undang-undang dan praktik yang diskriminatif. </p>
<p>Proses reformasi ini memerlukan perombakan besar-besaran terhadap nilai-nilai budaya dan ideologis yang diskriminatif di balik undang-undang dan praktik-praktik diskriminatif.</p>
<p>Kegagalan melakukan perombakan ini akan terus melanggengkan diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/166637/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>A'an Suryana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Untuk mengakhiri undang-undang dan praktik yang diskriminatif, diperlukan reformasi yang lebih mendasar.A'an Suryana, Visiting Fellow, ISEAS-Yusof Ishak InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1413912020-07-03T02:48:58Z2020-07-03T02:48:58ZAnalisis: temuan riset “warga NU intoleran” mengandung bias seleksi yang mengecoh kesimpulan<p>Sebuah <a href="https://muse.jhu.edu/article/754323/summary">artikel ilmiah baru</a> melaporkan bahwa pengikut Nahdlatul Ulama (NU), <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-asian-studies/article/nahdlatul-ulama-traditional-islam-and-modernity-in-indonesia-edited-by-greg-barton-and-greg-fealy-clayton-australia-monash-asia-institute-1996-xvii-293-pp/53FE945E55021C7873BF09AD0F73E6E0">organisasi Islam terbesar di Indonesia</a>, memiliki tingkat intoleransi yang sama dengan umat Muslim Indonesia pada umumnya, dan dalam beberapa hal bahkan lebih intoleran.</p>
<p>Artikel tersebut ditulis oleh Marcus Mietzner, pengajar ilmu politik di Australian National University, dan Burhanuddin Muhtadi, dosen ilmu sosial dan politik di UIN Syarif Hidayatullah.</p>
<p>Laporan itu menuai kritik keras, khususnya dari sebagian <a href="https://alif.id/read/amin-mudzakkir/benarkah-pluralisme-di-tubuh-nu-hanya-mitos-b230403p/">cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU)</a>. NU telah lama mengklaim organisasi ini menopang pluralisme dan toleransi di Indonesia.</p>
<p>Artikel Mietzner dan Muhtadi layak diapresiasi. Artikel ini menunjukkan data kuantitatif tentang sikap keberagamaan pengikut NU yang selama ini belum tersedia.</p>
<p>Meski demikian, analisis keduanya yang menghubungkan data intoleransi pengikut NU dengan perilaku elite tidak sepenuhnya benar. Data survei intoleransi yang disajikan juga belum kuat untuk kepentingan advokasi toleransi di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-riset-tentang-keseharian-anak-muda-dalam-memahami-tingkat-konservatisme-di-antara-mereka-132665">Pentingnya riset tentang keseharian anak muda dalam memahami tingkat konservatisme di antara mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Temuan dan klaim mitos pluralisme NU</h2>
<p>Mietzner dan Muhtadi ringkasnya mengatakan bahwa klaim NU sebagai penopang pluralisme dan toleransi tidak sejalan dengan temuan data survei. </p>
<p>Sepanjang pemilihan umum 2019, NU digambarkan dan mendeklarasikan diri sebagai pembela pluralisme dan toleransi. </p>
<p>Sebaliknya, data Mietzner dan Muhtadi memperlihatkan bahwa sebagian besar pengikut NU intoleran.</p>
<p>Keduanya menggunakan data survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2019. Survei ini mewawancarai 1.520 responden dengan pemilihan responden secara acak bertingkat. </p>
<p>Selain survei tersebut, mereka juga membandingkan dengan data survei dari lembaga yang sama tahun 2010, 2016, dan 2018.</p>
<p>Menurut data LSI, baik pada aspek kultur maupun politik, intoleransi beragama di Indonesia meningkat sejak 2017. </p>
<p>Pada 2017, keberatan terhadap pendirian rumah ibadah non-Islam tercatat 48%, lalu pada 2018 dan 2019 naik menjadi 52% dan 53%.</p>
<p>Data LSI dari responden yang mengaku pengikut NU menunjukkan tren serupa. Tingkat intoleransi di tubuh NU juga menguat setelah 2017. </p>
<p>Tahun 2017 menjadi catatan penting dalam dinamika intoleransi di Indonesia. Pada tahun itu, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Kristen keturunan Cina, dihukum penjara dengan tuduhan penistaan agama dan gagal untuk duduk kembali sebagai gubernur Jakarta.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-sikap-intoleransi-di-indonesia-dengan-metode-riset-yang-tepat-118721">Memahami sikap intoleransi di Indonesia dengan metode riset yang tepat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Analisis perilaku elite NU</h2>
<p>Kedua peneliti ini menjelaskan temuan peningkatan intoleransi di NU berkaitan dengan perilaku elite NU sejak organisasi berdiri.</p>
<p>Sejak awal, elite NU terbuka terhadap pengaruh tradisi lokal, seperti menghormati leluhur, selain pengaruh Timur Tengah. </p>
<p>Keterbukaan NU ini, menurut Mietzner dan Muhtadi, terkait erat dengan kepentingan ekonomi politik. </p>
<p>Sejumlah kiai mendirikan NU pada 1926 sebagai respons terhadap gerakan Islam modernis Muhammadiyah yang berdiri 1912. </p>
<p>Muhammadiyah, yang mengikuti pandangan-pandangan Timur Tengah, gencar mengkampanyekan praktik keagamaan yang mencampuradukan dengan tradisi lokal sebagai praktik sesat. </p>
<p>Para kiai menilai kehadiran gerakan Islam modernis itu mengancam eksistensi dan legitimasi mereka di mata para pengikutnya.</p>
<p>Pada masa awal kemerdekaan, NU cenderung berkoalisi dengan kelompok nasionalis ketimbang partai Islam. Berkat koalisinya dengan partai nasionalis, NU mendapat jatah posisi menteri agama.</p>
<p>Mietzner dan Muhtadi menilai retorika serupa dilakukan ketika NU dipimpin Abdurrahman “Gus Dur” Wahid - pemimpin yang dianggap paling berjasa dalam melakukan transformasi di tubuh NU.</p>
<p>Gus Dur memang mengubah pandangan ideologi politik NU dari negara Islam ke model negara yang menghormati ragam agama. </p>
<p>Namun, menurut kedua peneliti, hal itu bukan hanya komitmen terhadap pluralisme, tetapi juga buah kesepakatan Gus Dur dengan pemerintahan otoriter Soeharto.</p>
<p>Di satu sisi, Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai dasar organisasi agar dapat mengontrol kekuatan Islam. Di sisi lainnya, NU menerima kewajiban itu agar NU tetap memiliki posisi di dalam pemerintahan Soeharto.</p>
<p>Saat Gus Dur kemudian naik menjadi presiden, walaupun melahirkan kebijakan progresif terhadap warga keturunan Cina, Gus Dur dianggap sebagai presiden yang cenderung otoriter dengan membekukan parlemen.</p>
<p>Setelah jatuh dari kekuasaan, menurut Mietzner dan Muhtadi, reputasi Gus Dur sebagai ikon pluralisme dan toleransi kembali pulih.</p>
<p>Setelah kepergian Gus Dur hingga saat ini, NU mengampanyekan “Islam Nusantara” sebagai payung bagi advokasi toleransi dan pluralisme.</p>
<p>Mietzner dan Muhtadi menilai wacana ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik. </p>
<p>Untuk masa jabatan presiden kedua, Joko “Jokowi” Widodo mengadopsi wacana Islam Nusantara untuk menjelaskan konsep <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190127111938-32-364172/jokowi-ingin-islam-moderat-terus-digaungkan-di-indonesia">Islam moderat</a> semasa kampanye. </p>
<p>Ma’ruf Amin - yang saat itu memiliki posisi tinggi di Pengurus Besar NU (PBNU) sebagai <em>rois aam Syuriah</em> - kemudian dipilih Jokowi sebagai wakil presiden.</p>
<p>Singkatnya, menurut Mietzner dan Muhtadi, wacana toleransi di tubuh NU tidak bisa dilepaskan dari upaya NU melawan pesaing politik dan mengamankan kepentingan politik, ketimbang gerakan organik. </p>
<p>Sejauh mana klaim mereka itu benar?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-intoleran-mengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia-116576">Jakarta dan Yogyakarta demokratis tapi intoleran: Mengapa ini bisa terjadi di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Analisa bermasalah</h2>
<p>Mietzner dan Muhtadi barangkali benar ketika memaparkan perilaku elite politik NU. </p>
<p>Tetapi, menghubungkan perilaku sebagian elite dengan data intoleransi sebagai sebab-akibat tidak sepenuhnya tepat; karena itu, klaim mereka menjadi bermasalah. </p>
<p>Dari segi analisis, keduanya terjebak pada apa yang dalam ilmu sosial disebut sebagai <a href="https://www.jstor.org/stable/23317768?seq=1">bias seleksi</a>. Keduanya memilah informasi yang hanya mendukung variabel penjelas yang mereka inginkan.</p>
<p>Mietzner dan Muhtadi membagi warga NU menjadi dua: elite dan akar rumput. Tapi keduanya tidak melihat lapisan “tengah” NU, yaitu intelektual dan aktivis yang bekerja mengadvokasi toleransi di Indonesia.</p>
<p>Jika analisis kedua peneliti benar, para aktivis NU yang bergabung di Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) - badan otonom di bawah PBNU, misalnya, tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan politik elite PBNU.</p>
<p>Faktanya, Lakpesdam turut membantu advokasi ketika <a href="https://tirto.id/kolom-agama-di-ktp-jangan-dijadikan-alat-diskriminasi-czWN">penghayat kepercayaan</a> menguji undang-undang kependudukan terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Mahkamah Konstitusi. <a href="https://tirto.id/pbnu-sebut-putusan-mk-tidak-koordinasi-dengan-kementerian-agama-czRN">PBNU</a> mengatakan bahwa penghayat kepercayaan bukan agama. </p>
<p>Contoh lain adalah advokasi sekelompok elite intelektual NU untuk kesetaraan gender di pesantren dan jemaah akar rumput NU.</p>
<p>Meski Gus Dur pernah mengatakan - sebagaimana dikutip Mietzner dan Muhtadi - bahwa Indonesia belum siap dengan pemimpin perempuan saat bersaing dengan Megawati Soekarnoputri, para aktivis kesetaraan gender NU tidak surut.</p>
<p>Sulit mengatakan bila dua advokasi itu dilakukan sebagai kepanjangan tangan elite politik NU untuk mengamankan kepentingan material.</p>
<p>Mereka bekerja untuk kepentingan lebih dalam dari kepentingan material, yakni nilai-nilai kemanusiaan universal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/4-strategi-berdasarkan-sains-untuk-debat-politik-yang-lebih-beradab-dan-mendorong-toleransi-133064">4 strategi berdasarkan sains untuk debat politik yang lebih beradab dan mendorong toleransi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dinamika pengikut NU</h2>
<p>Lalu bagaimana menjelaskan kecenderungan intoleransi pengikut NU?</p>
<p>Sikap politik keagamaan elite NU tidak selalu sejalan dengan pengikutnya. Ketua umum PBNU <a href="https://nasional.kompas.com/read/2014/05/17/1539330/Dukung.Prabowo.Said.Aqil.Bisa.Pengaruhi.Warga.NU">Said Aqil Sirodj</a> misalnya mendukung Prabowo pada pemilu 2014. Pemilih NU tidak lantas mendukung Prabowo.</p>
<p>Relasi pengikut dan elite NU bersifat dinamis dan berlapis. </p>
<p>Dinamis berarti pengikut NU mendengarkan suara elite pada kondisi dan isu tertentu. Berlapis artinya pengikut NU menghadapi opini kiai NU dari lapisan paling bawah, kiai kampung hingga elit di pusat, yang beragam.</p>
<p>Mengutip <a href="https://www.cambridge.org/core/books/islam-and-democracy-in-indonesia/B7C0584E5C1F121C4C561474F5B2ECE6">Jeremy Menchik</a> - profesor ilmu politik di Boston University, Amerika Serikat - umat Islam Indonesia menganut toleransi komunal, bukan individual. Mereka toleran untuk hal-hal yang dibenarkan secara kolektif.</p>
<p>Penodaan atau penistaan agama adalah termasuk hal yang tidak ditoleransi sebagian besar umat Islam, termasuk elite lokal NU, di Indonesia.</p>
<p>Kiai lokal di berbagai daerah, sebagiannya NU, meyakini Ahok bersalah. Setelah kasus Ahok, wajar bila sentimen intoleransi pengikut NU terhadap pemimpin non-Muslim meningkat.</p>
<p>Selain sentimen politik, sepanjang demonstrasi, gerakan 212 mewacanakan bahaya <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/bukan-sekedar-ahok-menjelaskan-aksi-massa-pada-2-desember/">“kristenisasi”</a>. Mereka meyakini Ahok merupakan jalan bagi kristenisasi di Indonesia.</p>
<p>Dalam sejarahnya, umat Islam dan Kristen di Indonesia berhubungan dengan <a href="https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/10061/Dissertation%20Mujiburrahman.pdf">perasaan saling terancam</a>. </p>
<p>Sejarah saling keterancaman ini menjelaskan dinamika sikap intoleransi umat Islam, khususnya pengikut NU, terhadap pendirian rumah ibadah non-Muslim.</p>
<h2>Keterbatasan data survei untuk advokasi</h2>
<p>Apakah data survei ini memperlihatkan advokasi toleransi di Indonesia, khususnya di tubuh NU, selama ini gagal?</p>
<p>Jawabannya tidak. Meski menggunakan data sejak 2010, Mietzner dan Muhtadi tidak memperlihatkan data pembanding antarwaktu intoleransi pengikut NU.</p>
<p>Kita tidak tahu apakah angka 50% itu lebih baik atau buruk dibanding data 2010.</p>
<p>Lagi pula, kelemahan survei adalah tidak mampu menangkap kedalaman objek yang diteliti. Survei ini hanya memotret sikap, bukan tindakan intoleran. </p>
<p>Survei tidak dapat menangkap bagaimana dan kapan sikap intoleran menjadi tindakan intoleran.</p>
<p>Untuk memahami apakah sikap intoleran berpotensi berubah menjadi tindakan intoleran, survei dapat bertanya pada responden, misalnya: bersedia atau tidak mengikuti aksi menolak rumah ibadah non-Muslim, gubernur non-Muslim, dan walikota/bupati non-Muslim? </p>
<p>Data Mietzner dan Muhtadi baru menyumbang sebagian pada advokasi, yaitu perlunya kampanye normatif sikap toleransi di masyarakat.</p>
<p>Untuk kebutuhan advokasi toleransi yang lebih luas, studi-studi etnografi dapat melengkapi data survei.</p>
<p>Studi PUSAD Paramadina pada <a href="https://www.paramadina-pusad.or.id/buku/kontroversi-gereja-di-jakarta/">2012</a> dan <a href="https://www.paramadina-pusad.or.id/buku/pemolisian-konflik-keagamaan-di-indonesia/">2014</a>, misalnya, memperlihatkan ada faktor tokoh agama, pemerintah, dan penegak hukum di balik dinamika antara sikap dan tindakan intoleran.</p>
<p>Pada akhirnya, capaian-capaian advokasi, khususnya yang dilakukan organisasi yang terafiliasi NU, perlu dikumpulkan pada pangkalan data terintegrasi. </p>
<p>Pangkalan data demikian dapat membantu peneliti seperti Mietzner dan Muhtadi melihat dinamika terkait pluralisme di tubuh NU lebih bernuansa dan terhindar dari klaim keliru.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/141391/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Husni Mubarok tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Analisis Mietzner dan Muhtadi yang menghubungkan data intoleransi pengikut NU dengan perilaku elite tidak sepenuhnya benar. Data yang disajikan juga belum kuat untuk kepentingan advokasi toleransi.Husni Mubarok, Peneliti, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) ParamadinaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1330642020-03-09T04:45:05Z2020-03-09T04:45:05Z4 strategi berdasarkan sains untuk debat politik yang lebih beradab dan mendorong toleransi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/318791/original/file-20200305-127877-16yp9vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sebagian besar orang muak dan lelah karena begitu terpecah belah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/concept-debate-political-argument-symbol-two-463236158">Lightspring/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>“Perubahan iklim itu hoaks,” kata sepupu saya di sebuah acara keluarga. “Saya baca di Twitter itu hanya cara untuk supaya orang membeli mobil listrik mahal.” </p>
<p>Saya menghela nafas sambil berpikir, “Bagaimana dia bisa mendapat informasi yang salah?” Saya ingin sekali berkata “Astaga, yang kamu baca itu kebohongan di media sosial semua.”</p>
<p>Tidak diragukan lagi, sepupu saya memikirkan hal yang sama tentang saya, ketika saya mengatakan bahwa Partai Republik terlalu takut pada presiden kami Donald Trump sehingga tidak berbuat apa-apa. </p>
<p>Karena tidak ingin membuat keributan, kami tidak menanggapi banyak ucapan masing-masing dan membiarkan begitu saja.</p>
<p>Sebagai seorang profesor psikologi dan psikolog klinis di praktik swasta, saya tahu hubungan saya dengan sepupu saya itu akan membaik jika kami dapat membahas masalah-masalah itu dengan cara yang tidak keras satu sama lain. Andaikan. </p>
<p>Saya tidak sendirian dalam rasa frustasi ini - dan dalam keinginan saya untuk berubah. Sebuah jajak pendapat pada Desember 2019 yang diadakan oleh Public Agenda/USA TODAY/Ipsos menunjukkan <a href="https://www.usatoday.com/story/news/politics/elections/hiddencommonground/2019/12/05/hidden-common-ground-americans-divided-politics-seek-civility/4282301002/">lebih dari 9 dari 10 orang Amerika Serikat (AS)</a> mengatakan sudah waktunya untuk mengurangi perpecahan, yang mereka yakini diperburuk oleh para pemimpin pemerintah dan media sosial. </p>
<p>Orang-orang yang ingin menghentikan permusuhan dan berhubungan satu sama lain lagi. Namun, bagaimana caranya?</p>
<p>Berdasarkan pengetahuan saya tentang penelitian psikologis, berikut adalah empat pendekatan yang dapat kita gunakan untuk mengatasi perpecahan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/315533/original/file-20200214-10991-18fz2ev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jangan mengisolasi diri Anda dari orang-orang dengan sudut pandang berbeda.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/group-diverse-people-planting-tree-together-604302530">Rawpixel.com/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>1. Menjalin hubungan</h2>
<p>Menghindari interaksi dengan orang-orang yang memiliki pendapat berbeda dapat <a href="https://doi.org/10.1093/poq/nfw001">melanggengkan perpecahan</a>. Ambil risiko untuk menjalin hubungan dengan orang-orang ini. </p>
<p>Lakukan pendekatan melalui aktivitaas yang Anda sukai seperti menjadi sukarelawan atau lewat klub hobi. Anda bahkan dapat mengundang orang-orang dari berbagai latar belakang untuk makan bersama seadanya di rumah Anda.</p>
<p>Kegiatan seperti ini dilakukan lewat berbagi tujuan bersama, yang menciptakan suasana kooperatif dan bukannya kompetitif. Penelitian menunjukkan bahwa <a href="https://doi.org/10.1177/002200276200600108">kontak saja tidak menjamin interaksi kooperatif</a>. Untuk benar-benar menjalin hubungan, Anda harus menunjukkan rasa hormat saat mengusahakan tujuan bersama.</p>
<h2>2. Temukan kesamaan</h2>
<p>Penting untuk diingat bahwa <a href="https://doi.org/10.1016/0030-5073(76)90020-9">kebutuhan dasar untuk merasa aman</a> dimiliki oleh semua orang. Berfokus pada kesamaan dapat membawa pada pemahaman yang lebih dalam tentang orang lain, sementara fokus pada perbedaan akan mengarah pada argumen.</p>
<p>Sebuah argumen melibatkan dua orang yang satu sama lain merasa dirinya satu benar, dan lawan bicaranya salah. Namun, apa yang hilang dalam skenario ini adalah kesamaan dari masalah yang mereka berdua coba selesaikan.</p>
<p>Nyatakan kembali masalahnya. Bersama-sama, bertukarlah pikiran tentang semua cara yang berbeda untuk menyelesaikannya.</p>
<p>Contohnya, seseorang mungkin mengatakan satu-satunya cara untuk melindungi Amerika dari terorisme adalah dengan membatasi imigrasi. Alih-alih menantang bahwa imigrasi harus dibatasi, Anda dapat menyatakan ulang masalahnya - lalu tanyakan, apakah mungkin ada cara lain untuk mengatasi terorisme selain dengan membatasi imigrasi. Anda mungkin menemukan beberapa solusi yang Anda setujui.</p>
<h2>3. Komunikasikan</h2>
<p>Dengarkan lebih banyak dan kurangi bicara. Tunjukkan pada lawan bicara Anda bahwa Anda telah memahami apa yang mereka katakan sebelum mengeluarkan pikiran Anda.</p>
<p>Semua orang ingin agar perkataannya didengar dan dipahami. Jika tidak, mereka akan terus menekankan poin mereka. Jadi, untuk menghentikan pertengkaran, mulailah mendengarkan dan merenungkan kembali apa yang telah Anda dengar.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/315536/original/file-20200214-10991-1eq4ksd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jangan abaikan omongan lawan bicara, walau sangat ingin.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/two-young-guys-friends-beards-arguing-1299444667">Fran jetzt/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Anda mungkin pernah mengalami mendengarkan hanya apa yang ingin Anda dengar - dan mungkin mendapati diri Anda tidak mendengarkan sama sekali. Anda mungkin hanya menunggu suatu jeda untuk memberikan reaksi spontan terhadap apa yang dikatakan orang lain.</p>
<p>Untuk mendengarkan dengan baik, Anda harus terlebih dahulu membuka telinga, mata, dan hati Anda. Periksa bias Anda sehingga Anda dapat mendengar tanpa menghakimi. Tangguhkan kepentingan diri Anda dan tetap fokus pada apa yang dikatakan orang lain. Kemudian, beri tahu orang itu apa yang Anda dengar.</p>
<p>Menunjukkan <a href="https://doi.org/10.1037%2Fa0036738">empati bukan berarti Anda setuju</a> dengan apa yang dikatakan orang lain. Menunjukkan empati berarti Anda meyakinkan orang lain tentang yang telah Anda dengar sebelum membuat pernyataan Anda sendiri.</p>
<p>Sekarang, saatnya bagi Anda untuk berbagi dari pikiran Anda. Ambil napas dalam-dalam. Tenangkan diri dan kaji kembali Anda sehingga Anda dapat memberikan respons yang dipertimbangkan, alih-alih reaksi cepat. Anda bisa tidak setuju tanpa bersikap tidak hormat.</p>
<p>Komunikasi menggunakan proses di atas untuk mengarah ke percakapan alih-alih argumen dan membangun <a href="https://doi.org/10.1080/01449290310001659240">hubungan yang lebih saling percaya</a>. Butuh cukup satu pihak untuk membuat percakapan empatik, karena <a href="https://booklocker.com/books/9605.html">empati mengundang empati</a>. Semakin banyak pengertian yang Anda berikan, semakin banyak yang Anda dapatkan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/315538/original/file-20200214-10995-2gnhs3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jangan cepat percaya skeptis dan kenali situasi ketika Anda dimanipulasi oleh konten yang memecah belah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/closeup-portrait-upset-sad-skeptical-unhappy-464427374">eakkaluktemwanich/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4. Belajar mengevaluasi media secara kritis</h2>
<p>Jangan secara pasif menerima semua yang Anda lihat dan dengar. Ada <a href="https://www.brookings.edu/research/how-to-combat-fake-news-and-disinformation/">terlalu banyak sumber</a> fakta yang menyimpang, pendapat yang tidak didukung fakta dan kebohongan nyata tersedia saat ini. Lakukan evaluasi secara kritis apa yang disajikan dengan mempertimbangkan sumber dan memeriksa fakta konten.</p>
<p>Yang terpenting, jika pesan itu tampak palsu, jangan bagikan. Google memiliki <a href="https://toolbox.google.com/factcheck/explorer">alat pengecekan fakta</a> serta <a href="https://firstdraftnews.org/training/">First Draft News</a> memiliki alat untuk mengevaluasi konten palsu dan cara penyebarannya. Anda juga dapat berkonsultasi dengan <a href="https://fullfact.org">Full Fact</a> dan <a href="https://guides.lib.jjay.cuny.edu/c.php?g=618074&p=4300850">panduan fact-checking milik CUNY</a>. </p>
<p>Jadi, ketika Anda mendengar atau melihat seseorang berbagi informasi palsu, jangan menantangnya. Sebagai gantinya, perlihatkan bagaimana cara mengecek fakta informasi tersebut.</p>
<p>Hindari kemarahan dan kebencian dalam konten yang Anda konsumsi. Evaluasilah apakah konten itu berusaha mengadu domba Anda dengan orang atau kelompok lain. Ikuti media yang mendukung empati, kasih sayang, dan pengertian. </p>
<p>Namun, jangan terbuai menjadi katak dalam tempurung dengan hanya membaca konten yang Anda setujui. </p>
<p>Bantu anak-anak dan remaja, tidak hanya untuk mengevaluasi media secara kritis, tapi juga untuk menjadi baik dan peduli terhadap orang-orang yang berbeda dari mereka. Ajarkan toleransi dengan menunjukkan toleransi. </p>
<p>Ya, Anda bisa jadi sendirian dalam mencoba membuat perubahan, tapi pengaruh Anda penting.</p>
<p>Saya berencana saat nanti saya bertemu sepupu saya lagi, saya akan mendengarkan dengan empati; agar dia tahu saya mengerti sudut pandangnya; dan mencoba mengidentifikasi tujuan bersama tempat kami dapat berbagi perspektif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/133064/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beverly B. Palmer tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Seorang psikolog menjelaskan cara membangun kembali percakapan politik sipil dalam kehidupan Anda.Beverly B. Palmer, Professor Emerita of Psychology, California State University, Dominguez HillsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1269502019-11-20T09:37:44Z2019-11-20T09:37:44ZDi balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia<p>Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan imbauan agar umat Islam <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4782035/mui-jatim-imbau-pejabat-tak-salam-semua-agama-wamenag-pasrah-ke-ulama">tidak mengucapkan salam lintas agama</a>-kombinasi ucapan salam dari berbagai agama. </p>
<p>Alasan mereka, salam adalah doa, yakni ibadah yang tidak boleh dicampur aduk demi menjaga kemurnian akidah atau teologi. </p>
<p>MUI pusat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1270748/mui-pusat-setuju-umat-islam-tak-sampaikan-salam-semua-agama/full&view=ok">mendukung</a> imbauan MUI Jawa Timur. Menurut MUI, mencampuradukkan salam adalah tindakan yang mengarah pada sinkretisme dan pluralisme agama yang mengakui kesederajatan klaim kebenaran semua agama-sesuatu yang mereka tolak. </p>
<p>Sebaliknya, menurut Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, salam lintas agama adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191111082426-20-447191/pbnu-sebut-mengucap-salam-agama-lain-simbol-toleransi">simbol toleransi</a> untuk mempererat persaudaraan bangsa dan tidak mengganggu akidah. </p>
<p>Sementara, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan kedua pendapat di atas <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4110114/respons-menag-fachrul-soal-imbauan-tak-salam-lintas-agama">tidak salah</a>. </p>
<p>Polemik ini mencerminkan menguatnya penggunaan agama secara berlebihan di ruang publik dan mengerasnya politik identitas, dan adalah bagian dari ancaman terhadap multikulturalisme di Indonesia.</p>
<h2>Di balik polemik</h2>
<p>Menurut saya, ada empat hal yang melatarbelakangi polemik penggunaan salam di ruang publik. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, sejak 1990an kelompok Islam mulai mendominasi ruang publik dan mengubah penggunaan salam. </p>
<p>Penggunaan “assalamu’alaikum” dalam pidato resmi untuk khalayak plural menjadi populer menjelang 1990-an. Ini muncul bersamaan dengan makin maraknya pemakaian jilbab, meningkatnya jumlah masjid/musala di kantor-kantor pemerintah dan menjamurnya berbagai sekolah, media massa, buku, rumah sakit, bank, butik, busana, sinetron, serta produk atau acara berlabel Islam. </p>
<p>Salam ini adalah bagian dari pasang naik gelombang <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2009/08/16/thick-islam-and-deep-islam.html">reislamisasi</a> seiring dengan meningkatnya daya tawar umat Islam. </p>
<p>Hingga masa Revolusi, salam yang populer adalah pekik “Merdeka!”. Selama 1970-an, Suharto <a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/demi-islam-demi-indonesia-sketsa-biografi-nurcholiash-madjid/">sangat menjaga jarak bahkan cenderung anti-Islam</a>. Ia sengaja menghindari pemakaian “assalamu’alaikum” dan tak pernah ikut salat Jum’at . </p>
<p>Tidak heran, <a href="https://kumparan.com/bandungkiwari/secuil-sejarah-ucapan-salam-di-zaman-perjuangan-sukarno-soeharto-dan-jokowi-1541746625993030938">hingga pertengahan 1980-an</a>, tidak sedikit umat Islam yang merasa canggung mengucap “assalamu’alaikum” di depan umum. </p>
<p>Untuk mengatasi problem “mayoritas bermental minoritas” di kalangan umat Islam, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sempat <a href="https://www.nu.or.id/post/read/23546/filosofi-kenyelenehan-gus-dur">mengusulkan</a> mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi” yang kemudian menjadi kontroversi. </p>
<p>Penggunaan “assalamu’alaikum” menjadi populer menjelang 1990-an ketika Suharto makin mesra dengan kelompok Islam seiring dengan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan melemahnya dukungan militer terhadap Orde Baru. </p>
<p>Kekuatan kelompok Islam <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-349-27038-5_6">terus meningkat</a> di Indonesia sebagai akibat tak terduga dari rangkaian proyek modernisasi bernama Pembangunan Lima Tahun (Pelita) sejak 1969. </p>
<p>Pelita dilakukan dalam bentuk antara lain layanan pendidikan publik massal, kesehatan umum, pembangunan irigasi, dan transmigrasi. Pemeluk Islam, sebagai penduduk mayoritas, kemudian menikmati hasilnya sebagaimana terlihat dari makin banyaknya generasi Muslim yang masuk universitas sejak 1990-an - sesuatu yang di luar dugaan Suharto yang semula menganaktirikan Islam. </p>
<p>Kekuatan ini kemudian tak mungkin lagi diabaikan. Ia bahkan menjadi pilihan aliansi politik yang amat strategis. Islam yang dulu dianaktirikan kemudian menjadi “anak emas”. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, dalam masyarakat Indonesia terdapat pluralisme semu dan penggunaan agama berlebihan (over-religionisasi) di ruang publik. </p>
<p>Orang Islam yang dulu merasa canggung, sejak 1990-an menjadi percaya diri menggunakan “assalamu’alaikum” di tengah konstelasi politik dan birokrasi yang semakin menerima kelompok Islam. </p>
<p>Demikian tak terbendungnya dominasi Islam khususnya sejak Reformasi, bahkan sebagian non-Muslim kemudian ikut-ikutan mengadopsi “assalamu’alaikum” sebagai salam pembuka pidato resmi. </p>
<p>Mungkin itu adalah bentuk resistansi kelompok non-Muslim untuk menetralkan “assalamu’alaikum” dan menjadikannya sebagai “milik bersama”, atau tindakan untuk menyamarkan identitas kelompok minoritas demi menghindari konsekuensi negatif.</p>
<p>Dalam konteks itulah, tambahan “salam sejahtera bagi kita semua” kemudian dipopulerkan oleh tokoh seperti Gus Dur dan lain-lain. </p>
<p>Dimulai sejak era presiden Megawati, kemudian Susilo Bambang Yudhoyono dan terutama Joko “Jokowi” Widodo, akhirnya kita mengenal salam lintas agama: “Assalamu’alaikum, salam sejahtera, Om Swastiastu, Syalom, Nammo Budaya, Salam Kebajikan.” </p>
<p>Selain menjadi kian rumit, salam ini sesungguhnya justru menyiratkan problem keragaman agama. Akomodasi simbolik ini tetap tak mampu merangkul semua pihak, khususnya para penganut agama lokal. </p>
<p>Inilah bentuk pluralisme yang semu dan merepotkan. Imbauan MUI Jawa Timur adalah salah satu reaksi ekstrem terhadap fenomena pseudo-pluralisme ini.</p>
<p>Mereka yang menolak usul Gus Dur untuk mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi” maupun imbauan MUI Jawa Timur sama-sama melihat salam sebagai agama.</p>
<p>Padahal menurut saya, meski bisa bernilai agama, mestinya salam cukup ditempatkan sebagai sopan santun relasi sosial biasa. </p>
<p>Dalam relasi sosial, mestinya ucapan “selamat pagi” sudah cukup. <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2018/06/12/high-demand-for-symbols-drive-islamic-black-market.html">Identitas agama tidak perlu ditonjol-tonjolkan di ruang publik</a> karena menurut saya over-religionisasi ruang publik mengistimewakan kaum mayoritas dan meminggirkan kelompok minoritas.</p>
<p>Perhatikan bagaimana mulai kelompok Islam mendapatkan privilese, mulai dari ucapan “assalamu’alaikum” oleh pilot untuk menyapa para penumpang penerbangan komersial yang plural hingga munculnya kos-kosan, perumahan, dan makam khusus Muslim serta imbauan salat Subuh berjemaah oleh kepala daerah. </p>
<p>Penolakan warga baru karena alasan agama atau <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/11/15/06360041/fakta-upacara-piodalan-di-bantul-dibubarkan-warga--umat-hindu-butuh-rumah?page=all">pembubaran ritual keagamaan minoritas</a> pun kini semakin tampak “normal”. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, politik identitas di Indonesia semakin mengeras. Terlalu besarnya peran agama di ruang publik akhirnya mendorong politik identitas. Dalam konteks itu, sebagai sistem legitimasi paling efektif, agama lalu dengan mudah digunakan oleh sekelompok orang untuk mendesakkan kepentingan. </p>
<p>Sebagian kelompok Islam kerap menjadi terlalu sensitif ketika kepentingan mereka dipertaruhkan, tapi kehilangan kepekaan ketika mereka melanggar kepentingan kelompok lain. Seakan mayoritas otomatis punya hak yang lebih besar, lebih banyak, dan lebih penting. <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42184928">Gerakan 212</a> dan yang sejenis adalah contohnya.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, multikulturalisme di Indonesia sedang terancam. Di antara <a href="https://www.amazon.com/Multicultural-Citizenship-Liberal-Minority-Political/dp/0198290918">syarat minimal masyarakat multikultural</a> adalah tegaknya prinsip toleransi serta pengakuan dan penghormatan terhadap kelompok lain yang berbeda. Sayangnya, bahkan syarat minimal ini pun sering tak terpenuhi di Indonesia. </p>
<p>Toleransi adalah kemauan dan kemampuan untuk menerima keragaman dan hidup berdampingan secara damai bersama dengan mereka yang berbeda, suka atau tidak suka. </p>
<p>Yang justru banyak berlaku di Indonesia adalah toleransi bersyarat, “asal (minoritas) tidak macam-macam”, seperti tercermin dari sengketa rumah ibadah dan persekusi kelompok mayoritas di luar arus utama di berbagai tempat. </p>
<p>Toleransi bersyarat, penerimaan keragaman sepanjang kaum mayoritas tetap senang, bukanlah toleransi. Di situ tidak ada pengakuan dan penghormatan terhadap pihak lain sebagai anggota yang sederajat. </p>
<h2>Agama dalam kebhinnekaan</h2>
<p>Polemik salam lintas agama sesungguhnya merupakan bagian dari masalah lebih besar terkait ancaman kelangsungan multikulturalisme di Indonesia. </p>
<p>Di ruang publik, agama harus didorong supaya lebih berperan menyediakan landasan dan orientasi etika demi terwujudnya kehidupan bersama yang adil, toleran dan lapang bagi semua. </p>
<p>Agama yang terlalu sibuk mengurus simbol-simbol akhirnya hanya akan disalahgunakan untuk mempertengkarkan hal-hal kecil dan berebut kepentingan sempit jangka pendek. </p>
<p>Sementara, tanggung jawab fundamental untuk mewujudkan keadilan, persaudaraan dan perdamaian justru terabaikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126950/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Achmad Munjid tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Polemik ini mencerminkan menguatnya penggunaan agama secara berlebihan di ruang publik dan mengerasnya politik identitas.Achmad Munjid, Assistant Professor of Religious Studies and Literature, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1223492019-08-28T09:34:27Z2019-08-28T09:34:27ZPeneliti: Kita perlu belajar dari suku Koroway di Papua tentang perbedaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289324/original/file-20190825-170946-1twyjbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C199%2C4110%2C2908&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Foto oleh Irfan Nugraha</span> </figcaption></figure><p>Umpatan nama binatang yang digunakan oknum anggota organisasi masyarakat (ormas) dan aparat untuk mengintimidasi mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, selain melahirkan gelombang solidaritas <a href="https://twitter.com/hashtag/kamibukanmonyet">#kamibukanmonyet</a>, juga <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">menyulut rusuh</a> di berbagai kota di Indonesia. </p>
<p>Peristiwa di Surabaya bukan kali pertama menimpa orang Papua. Sebelumnya sempat juga terjadi di <a href="https://tirto.id/siklus-rasisme-terhadap-mahasiswa-papua-egA4">Malang, Jawa Timur; Semarang, Jawa Tengah; dan Yogyakarta</a>. Selain politis, sebagian <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808201633-20-150014/resah-hati-orang-papua-di-tanah-yogya">musababnya soal sepele atau salah paham</a>. </p>
<p>Sikap terhadap kelompok orang yang berbeda ini cenderung mengarah pada penolakan atau bahkan kekerasan. Padahal menurut riset saya, orang Papua cenderung terbuka terhadap perbedaan.</p>
<p>Masyarakat Indonesia banyak yang memiliki persepsi orang Papua sebagai orang yang <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua">sulit bergaul atau beradaptasi </a>, dan persepsi ini yang menguat belakangan. </p>
<p>Pola hidup sebagian orang Papua yang masih sederhana dikaitkan anggapan bahwa orang Papua sulit menghadapi perbedaan. Namun benarkah, demikian? </p>
<h2>Koroway yang lestari sekaligus terisolasi</h2>
<p>Pada 2017, saya bersama melakukan riset pada komunitas Koroway di di Kampung Yafulfa, Boven Digul, di selatan Papua dengan metode etnografi mengenai kelestarian arsitektur tradisional rumah pohon (<em>luop haim</em>) serta memahami praktik tradisi di <a href="http://www.isrsf.org/2017-isrsf-best-essay">tengah dinamika sosial-ekonomi</a> yang terjadi di papua. </p>
<p>Dalam penelitian yang saya lakukan, saya juga melihat bagaimana komunitas pedalaman Koroway masih bisa menghargai perbedaan meski hidup dalam lingkungan yang terisolir. Riset saya menunjukkan bahwa pada komunitas yang masih hidup bersahaja ini, mereka cukup bisa menerima perbedaan. </p>
<p>Suku Koroway baru melakukan kontak dengan dunia luar pada tahun 1978 saat bertemu misionaris Belanda dan sebelumnya hidup tersebar di <em>bolup</em> (area bermukim dan tempat berburu sesuai marga). </p>
<p><em>Bolup</em> tetap ada sebagai area berburu dan meramu, serta <a href="https://trek-papua.com/korowai-batu-expedition/suku-korowai-dan-kombai-papua/">menjadi lokasi</a> untuk menyaksikan pesta ulat sagu atau rumah tinggi. </p>
<p>Meskipun orang Koroway sudah merasakan program pemberdayaan <a href="http://sikapdaya.kemsos.go.id/kegiatan/detail/1">komunitas adat terpencil</a> dari Kementerian Sosial, hidup mereka masih terisolasi. Akses jalan darat dan fasilitas pendidikan serta kesehatan terbatas. </p>
<p>Keterisolasian itu menciptakan situasi keterasingan yang unik, sehingga proses interaksi orang Koroway dengan yang liyan tidaklah intensif. </p>
<p>Lantas, apakah situasi orang Koroway yang sangat sedikit bersentuhan dengan dunia luar membuat mereka bereaksi keras terhadap sesuatu yang berbeda? Riset saya menyatakan sama sekali tidak tidak. </p>
<p>Saya bersama peneliti lainnya masuk ke dalam hutan untuk melihat keseharian hidup orang Koroway ketika berada di dalam <em>bolup</em>. Pada satu kesempatan di <em>bolup</em>, salah satu anggota tim peneliti meminta ijin untuk menunaikan sholat. </p>
<p>Islam sudah akrab terdengar oleh banyak orang Koroway, tapi mereka tidak pernah menyaksikan seperti apa dan bagaimana Islam itu. Islam adalah sesuatu yang benar-benar asing dan jelas berbeda bagi orang Koroway.</p>
<p>Lantas, bagaimana reaksinya? Apakah rekan peneliti saya kemudian dilarang untuk menggelar sajadahnya? </p>
<p>Rupanya tidak. Pemuka marga mempersilakan anggota tim untuk menjalankan ibadahnya. Orang Koroway memperlakukan dia dengan penuh hormat. </p>
<p>Usai ritual sholat, barulah orang Koroway bertanya mengenai ritual yang baru kali pertama mereka saksikan. Mereka berkesimpulan, “Oh, sama seperti kami; kami juga beribadah. Hanya beda saja caranya.”</p>
<p>Bahkan, orang Koroway dapat secara spontan mencari titik temu persamaan dari perbedaan itu: jika kami beribadah, maka orang lain pun sama, hanya saja caranya berbeda. Bukan suatu permasalahan.</p>
<p>Interaksi spontan itu menunjukkan tidak adanya pertentangan antara pola hidup tradisional dengan pola interaksi dalam konteks keberagaman.</p>
<h2>Kekerasan karena perbedaan</h2>
<p>Di Indonesia, persepsi perbedaan yang berujung rasisme jarang dipermasalahkan.</p>
<p>Misalnya, pandangan merendahkan soal orang Papua suka mabuk, bahkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49430257">soal aroma tubuh</a> mereka tidak jarang terucap. Sebagian kita tetap melihat rasisme terhadap mahasiswa Papua ini suatu tindakan yang normal.</p>
<p>Ini tidak lain karena seringkali sentimen kebencian hadir dalam persoalan yang begitu dekat dan lekat dengan keseharian kita, sehingga kita tidak mengkritisinya dan menganggapnya sebagai pola interaksi yang wajar. </p>
<p>Padahal seringkali perbedaan persepsi ini bisa menimbulkan kekerasan. </p>
<p>Hal ini karena <a href="https://tirto.id/kegagapan-indonesia-menangani-rasisme-terhadap-orang-papua-egK6">pemerintah gagap</a> dalam merespons rasisme terhadap Papua. </p>
<p>Akibatnya, persepsi negatif terhadap warga Papua, menurut mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808201633-20-150014/resah-hati-orang-papua-di-tanah-yogya">menguat dalam beberapa tahun terakhir ini</a>. </p>
<h2>Politisasi perbedaan</h2>
<p>Pada hakikatnya sifat manusia atau suatu norma budaya tidaklah menentukan etika, sebagaimana yang disampaikan oleh antropolog asal Amerika Serikat <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt1h4mhxw">Webb Keane</a>. </p>
<p>Secara alami, dalam kehidupan kita sehari-hari, ada dorongan untuk memperlakukan orang lain secara setara dan etis, sebab kita pun menyadari ingin diperlakukan seperti itu.</p>
<p>Lantas, mengapa rasisme yang berujung kekerasan ini bisa muncul?</p>
<p>Segala gagasan rasisme dan segala bentuk sentimen kebencian seringkali adalah hasil dari politisasi atas perbedaan itu sendiri. </p>
<p>Riset Ivana Macek, antropolog Kroasia, dalam buku etnografi <a href="http://www.upenn.edu/pennpress/book/14525.html"><em>Sarajevo Under Siege</em></a> melihat menguatnya persoalan etno-nasionalis di Bosnia – yang sebelumnya hidup bersama dengan damai – ketika Yugoslavia runtuh, adalah tidak lain akibat politisasi perbedaan.</p>
<p>Politikus di sana menjadikan perbedaan etnis-agama sebagai komoditas politik dan memaksa publik untuk membenci orang lain yang identitasnya berbeda. </p>
<p>Bagaimana di Indonesia? Perlu sekiranya kita – publik Indonesia, merenungkan, apakah kita benar-benar meyakini kebhinnekaan. </p>
<p>Apakah kebhinnekaan sudah tercermin dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari, ataukah kita dirasuki oleh suatu kepentingan politis? </p>
<p>Bangsa ini banyak merekam banyak kasus perbedaan yang dipolitisasi, mulai dari soal <a href="https://journals.openedition.org/archipel/604">stigma atas komunis</a>, <a href="https://journals.openedition.org/archipel/604">pelaku kriminal </a>, hingga <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20140921133424-20-3850/suara-pemeluk-agama-minoritas">penganut keyakinan minoritas</a> dan <a href="https://tirto.id/perda-larangan-lgbt-di-depok-justru-bisa-perparah-penyebaran-hiv-efnW">orientasi seksual</a>. </p>
<p>Dalam kasus-kasus itu pemerintah berperan menjadi aktor utama atas terjadinya politisasi perbedaan lewat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.</p>
<p>Masalahnya, keterlibatan pemerintah tidak saja berpengaruh pada masalah, tapi dapat mengubah persepsi publik. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah menghentikan produksi ketakutan atas perbedaan dalam segala rupa atributnya. </p>
<p>Tidakkah kita sebaiknya meneladani orang Koroway yang secara alami dan dalam kesehariannya tidak melihat perbedaan sebagai masalah?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122349/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irfan Nugraha tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau komunitas Koroway di Papua terisolir, mereka tidak lantas rasis terhadap orang luar. Mengapa kita tidak bisa belajar dari mereka?Irfan Nugraha, Associate researcher, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1165762019-05-07T01:32:30Z2019-05-07T01:32:30ZJakarta dan Yogyakarta demokratis tapi intoleran: Mengapa ini bisa terjadi di Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/272753/original/file-20190506-103049-1k9ez9f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C2%2C998%2C661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sistem demokrasi bisa hadir di Indonesia tanpa adanya toleransi. Lima belast tahun setelah bencana tsunami di Aceh, beberapa pemeluk agama yang berbeda menghadiri makam korban yang dibangun oleh umat muslim. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Apakah toleransi di antara kelompok masyarakat yang berbeda merupakan syarat untuk mewujudkan demokrasi?</p>
<p>Ternyata di Indonesia, kenyataannya tidak selalu seperti itu. Demokrasi, yang mewujud dalam sistem pemilihan para wakil dan pemimpin rakyat melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), terus berkembang di Indonesia.</p>
<p>Sejak jatuhnya rezim otoriter Soeharto tahun 1998, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara telah dipimpin oleh Presiden yang dipilih secara demokratis. Indonesia juga baru saja menyelenggarakan ajang demokrasi langsung untuk memilih presiden dan anggota legislatif secara langsyng pada bulan April lalu.</p>
<p>Namun, pada saat yang sama, intoleransi terhadap kelompok minoritas juga marak terjadi.</p>
<p>Jakarta dan Yogyakarta merupakan dua wilayah yang secara konsisten berada pada ranking teratas <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2017/05/04/1241/indeks-demokrasi-indonesia-idi-menurut-provinsi-2009-2017.html">Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)</a>. </p>
<p>Namun, kedua wilayah tersebut juga tercatat sebagai <a href="https://drive.google.com/file/d/10t_zzYEUnz63C2P5q5lc7q7yR_zUEVh1/view">wilayah paling intoleran</a>. Laporan terakhir Setara Institute memperlihatkan bahwa posisi tersebut diakibatkan oleh buruknya regulasi dan pemerintahan dalam merespon praktik-praktik intoleran di kedua wilayah tersebut.</p>
<p>Melihat kasus-kasus yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta, kami berargumen bahwa demokrasi dan toleransi pada dasarnya bersifat independen terhadap satu sama lain. </p>
<p>Demokrasi tetap dapat berjalan walaupun pada saat yang sama terjadi praktik-praktik intoleransi terhadap kelompok minoritas. Demi tercapainya konsensus sebagai prasyarat demokrasi, kelompok minoritas seringkali memiliki pilihan yang minim. Salah satu pilihan sikapnya adalah diam dan mengalah pada kuasa mayoritas.</p>
<h2>Demokratis namun intoleran: Yogyakarta dan Jakarta</h2>
<p>Pada 2018 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan yang menunjukkan bahwa IDI tingkat nasional tahun 2017 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2016. IDI mengukur demokrasi di setiap provinsi di Indonesia berdasarkan pada tiga aspek utama, yaitu kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga demokrasi.</p>
<p>Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten menempati peringkat teratas dalam <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/08/15/1534/indeks-demokrasi-indonesia--idi--tingkat-nasional-2017-mengalami-peningkatan-dibandingkan-dengan-idi-nasional-2016.html">IDI</a>. Namun, pada 2017 sendiri, Yogyakarta menempati peringkat <a href="http://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-tahun-2017/">keenam terendah</a> dalam indeks toleransi.</p>
<p><a href="https://crcs.ugm.ac.id/news/12185/unduh-buku-krisis-keistimewaan-di-yogyakarta.html">Centre for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)</a> atau Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada mengidentifikasi sekitar 66 kejadian kekerasan bernuansa identitas terjadi di Yogyakarta selama kurun waktu 2011 hingga 2016. Setelah itu, muncul kasus baru seperti perusakan terhadap <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesias-yogyakarta-city-in-spotlight-as-more-crosses-desecrated">11</a> nisan berbentuk salib di pemakaman di Yogyakarta. Salah satu desa di Bantul juga belakangan diketahui <a href="https://kumparan.com/@kumparannews/slamet-ditolak-tinggal-di-dusun-karet-bantul-karena-bukan-muslim-1554185490394432521">tidak mengizinkan</a> seseorang yang beragama selain Islam bertempat tinggal di desa tersebut.</p>
<p>Pola yang sama dapat ditemukan di Jakarta.</p>
<p>Jakarta juga memiliki peringkat IDI yang tinggi. Bahkan pada tahun 2014, 2015, dan 2017 Jakarta menduduki peringkat <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2017/05/04/1241/indeks-demokrasi-indonesia-idi-menurut-provinsi-2009-2016.html">teratas</a>.</p>
<p>Pada tahun 2016, <a href="https://jakarta.bps.go.id/pressrelease/2017/09/14/249/indeks-demokrasi-indonesia--idi--provinsi-dki-jakarta-2016-mencapai-angka-70-85.html">Jakarta kehilangan status</a> sebagai wilayah paling demokratis karena adanya aksi kekerasan masyarakat sipil dan kurang baiknya respons pemerintah setempat dalam menangani kasus-kasus itu. Jakarta menempati peringkat 24 dari 34 provinsi pada tahun tersebut.</p>
<p>Serupa dengan Yogyakarta, Jakarta memiliki skor toleransi di antara yang terendah, terutama pada tahun <a href="http://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-tahun-2017/">2017</a> ketika Jakarta tercatat sebagai wilayah paling intoleran.</p>
<p>Jakarta menyandang status sebagai wilayah intoleran terutama karena maraknya praktik intoleran yang mewarnai Pemilihan Gubernur pada tahun 2017. Praktik intoleran bernuansa Pilkada tersebut pada akhirnya berujung pada kekalahan petahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang beragama Kristen dan beretnis Cina.</p>
<p><iframe id="1mTkF" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/1mTkF/1/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<h2>Di antara demokrasi dan toleransi</h2>
<p>Melihat pada teorinya, demokrasi setidaknya bersandar pada dua kondisi mendasar. Pertama, kesetaraan <a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300194463/democracy">partisipasi</a> bagi setiap aktor dalam proses pengambilan keputusan. </p>
<p>Kedua, <a href="https://doi.org/10.1353/jod.1990.0047">konflik yang dapat dikelola</a> dalam batasan-batasan yang jelas dan dapat diterima secara universal.</p>
<p>Sebagai contoh, anggap Anda sedang hadir dalam sebuah forum terbuka di lingkungan Anda untuk memilih seorang pemimpin baru. Ketika itu, penyelenggara forum mengumumkan bahwa setiap orang yang hadir memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi. Setelah forum dimulai dan perdebatan berlangsung, Anda menyadari bahwa situasi dapat menjadi tidak terkontrol karena tidak ada pihak yang mau berkompromi dan tidak ada pihak yang mau mengalah.</p>
<p>Selang beberapa jam kemudian, Anda dan peserta lainnya sudah lelah dengan situasi yang terjadi. Seseorang pada akhirnya mengatakan “Mari ingat bahwa setiap peserta seharusnya memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi. Untuk itu, mari langsung menanyakan siapa pihak yang ingin dipilih oleh masing-masing peserta dan pihak yang paling banyak mendapatkan suara akan menang.”</p>
<p>Situasi tersebut merupakan imaji kebanyakan demokrasi masa kini: partisipasi dan konflik yang terkelola.</p>
<p>Beralih pada toleransi, kami mendefinisikan toleransi sebagai bertahan dengan pihak lain tanpa melakukan tindakan paksaan dan kekerasan, walaupun pihak lain itu memiliki pemikiran yang tidak kita setujui, atau tidak kita sukai, atau secara umum berbeda dengan diri kita.</p>
<p>Toleransi merupakan sikap menerima yang dilakukan oleh pihak pertama (pihak yang menoleransi) kepada pihak kedua (pihak yang ditoleransi), sehingga secara implisit mengakui adanya <a href="https://www.cambridge.org/core/books/toleration-as-recognition/5F267E1C55308D4D2CDF135E8C24A2CA">relasi kuasa</a> yang tidak setara. Dengan demikian, pada konteks masyarakat yang plural, kedua belah pihak perlu bertoleransi satu sama lain. </p>
<p>Berangkat dari kerangka konseptual tersebut, kami berargumen bahwa dalam demokrasi, toleransi menjadi sangat relevan karena tidak terhindarkannya pertentangan dan perbedaan.</p>
<h2>Praktik intoleran dalam ruang demokrasi</h2>
<p>Di sisi lain, penting untuk digarisbawahi bahwa konsensus dalam demokrasi dapat dicapai melalui dominasi mayoritas yang membungkam minoritas. </p>
<p><a href="https://www.dw.com/id/noelle-neumann-pionir-peneliti-opini-publik-di-jerman/a-5398080">Elizabeth Noelle-Neumann</a>, seorang ahli opini publik Jerman, menyebutnya sebagai sebuah proses spiral keheningan (<em>the spiral of silence</em>).</p>
<p>Dari konsep spiral keheningan ini, kita dapat melihat bagaimana sebuah ide atau pemikiran menjadi pemikiran yang diterima atau tidak diterima dalam ruang publik.</p>
<p>Salah satu kasus yang dapat dilihat dalam konteks ini adalah penerimaan masyarakat terhadap penolakan Ahok, meskipun sikap penolakan tersebut didasarkan oleh sentimen ras dan agama.</p>
<p>Terdapat dua proses utama mengapa masyarakat menerima wacana-wacana intoleransi tersebut, yaitu pengarusutamaan dan <a href="https://law.unimelb.edu.au/centres/cilis/research/publications/cilis-policy-papers/normalising-intolerance-elections,-religion-and-everyday-life-in-indonesia">normalisasi</a>, terutama melalui budaya populer dan kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Akibatnya, lewat proses yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sulit untuk menghadirkan wacana yang bertentangan tanpa mendapatkan cap atau tuduhan sebagai “anti Islam”. Label tersebut sangat dihindari oleh masyarakat Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar.</p>
<p>Hal yang serupa juga terjadi di Yogyakarta. Seperti dalam kasus pemotongan nisan, minoritas cenderung menerima perlakuan kelompok mayoritas karena adanya relasi kuasa yang berbeda. Sehingga, menghasilkan kelompok minoritas yang tidak memiliki banyak alternatif selain menerima. Selain itu, <a href="https://kontras.org/2018/11/16/kitaberhak-catatan-atas-hari-toleransi-internasional-2018/">mereka merasa sikap perlawanan terhadap praktik intoleran</a> pun seringkali tidak memiliki banyak dampak karena aparat hukum yang seringkali cenderung melindungi kelompok mayoritas.</p>
<p>Pengarusutamaan dan normalisasi nilai-nilai intoleran adalah bagian dari proses yang mendorong nilai tersebut menjadi nilai mayoritas yang mendominasi ruang publik. Sementara pada saat yang sama membungkam nilai yang bertentangan.</p>
<p>Dengan demikian, demokrasi di Indonesia hingga kini masih memberi ruang bagi nilai mayoritas memiliki kuasa lebih atas kelompok-kelompok minoritas. Fenomena di Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan bahwa konsensus dalam konteks demokrasi dapat terus menerus dicapai, walaupun tidak selalu dilandaskan pada toleransi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/116576/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jimmy Daniel Berlianto Oley terafiliasi dengan The SMERU Research Institute. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Yudi Fajar M Wahyu terafiliasi dengan The SMERU Research Institute.</span></em></p>Hubungan antara toleransi dan demokrasi perlu kita pikirkan ulangJimmy Daniel Berlianto Oley, Junior Researcher, SMERU Research InstituteYudi Fajar M Wahyu, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.