tag:theconversation.com,2011:/us/topics/uber-41138/articlesUber – The Conversation2023-08-23T08:04:47Ztag:theconversation.com,2011:article/2110562023-08-23T08:04:47Z2023-08-23T08:04:47ZDari ojek hingga penerjemah: berapa banyak pekerja ekonomi gig di Indonesia dan bagaimana karakteristik mereka?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544130/original/file-20230823-17-gtnh3i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C18%2C6016%2C3989&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bekasi-indonesia-april-4-2023-traffic-2290540273">Donny Hery/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial <strong>#GenerasiRentan</strong> yang khusus membahas mengenai ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.</em> </p>
<hr>
<p>Istilah ekonomi <em>gig</em> atau <a href="https://www.investopedia.com/terms/g/gig-economy.asp"><em>gig economy</em></a> bukanlah hal yang asing hari-hari ini. Ekonomi <em>gig</em> merupakan pekerjaan berbasis tugas jangka pendek yang dimediasi oleh platform digital. Keberadaan platform digital sebagai mediator dan durasi kerja yang sangat pendek inilah yang membedakan karakteristik pekerja <em>gig</em> dengan pekerja prekariat lain seperti pekerja kontrak ataupun pekerja alih daya (<em>outsourcing</em>). </p>
<p>Di Indonesia, ekonomi <em>gig</em> mulai ramai diperbincangkan sejak kehadiran platform pengemudi ojek daring Gojek pada 2015. Bahkan, ekonomi <em>gig</em> dipandang sebagai “<a href="https://smeru.or.id/id/file/6101/download?token=9Aqcz55y">jenis pekerjaan masa depan</a>” karena menawarkan fleksibilitas dan semangat wirausaha “<a href="https://nonprofitquarterly.org/real-ubers-boss-tagline/"><em>to be your own boss</em></a>”.</p>
<p>Meski demikian, hingga kini belum ada data aktual yang dapat dirujuk untuk menggambarkan besarnya ekosistem ekonomi <em>gig</em> di Indonesia–suatu langkah yang penting untuk mengembangkan dan meregulasi sektor potensial tersebut sekaligus memastikan hak dan perlindungan pekerja. </p>
<p>Apalagi, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0170840616686129">ada pandangan</a> bahwa ekonomi <em>gig</em> merupakan kelanjutan dari <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10708-017-9793-8">praktik eksploitasi neoliberalisme</a>–merujuk pada pemilik modal yang mengendalikan para pekerja secara tidak langsung dengan memanfaatkan <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">kerancuan istilah “kemitraan”</a>.</p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4349942">Studi kami</a> berusaha memetakan tipologi pekerja dan platform ekonomi <em>gig</em> dengan menggunakan data mikro survei angkatan kerja nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik. Kami mengestimasi bahwa angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas <em>gig</em> sebagai pekerjaan utamanya adalah sebesar 430 ribu hingga 2,3 juta orang atau sekitar 0,3-1,7% dari total angkatan kerja. </p>
<h2>Tipologi umum ekonomi gig</h2>
<p>Istilah ekonomi <em>gig</em> <a href="https://www.thedailybeast.com/the-gig-economy">pertama kali populer di Amerika Serikat (AS)</a> pascaresesi besar 2008–saat pekerjaan yang ada didominasi oleh proyek-proyek jangka pendek dan para pekerjanya direkrut secara nontradisional dengan kontrak alternatif dan bayaran berbasis hasil. <a href="https://www.researchgate.net/publication/276191257_Workers_without_employers_Shadow_corporations_and_the_rise_of_the_gig_economy">Istilah ‘<em>gig</em>’ sendiri diadopsi dari konsep musisi amatir</a> yang melakukan konser ‘<em>gig</em>’ dari satu kafe ke kafe lainnya–identik dengan mereka yang bekerja tanpa adanya kantor dan pemberi kerja yang permanen.</p>
<p>Jika dilihat dari prosesnya, ekonomi <em>gig</em> sebenarnya hanyalah bentuk lain dari skema alih daya. Bedanya, peran perusahaan alih daya digantikan oleh platform sebagai perantara. </p>
<p>Secara tipologi, ekonomi <em>gig</em> dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, berbasis <em>online</em>. Dalam jenis ini, seluruh pekerjaan disampaikan tanpa melalui interaksi tatap muka atau bisa disebut sebagai <em>crowdwork</em>. </p>
<p>Beberapa contoh platform <em>crowdwork</em> yang banyak digunakan oleh pekerja <em>gig</em> <em>online</em> di Indonesia, misalnya Upwork (AS), Freelancer (Australia), dan Fiverr (Israel). Di Asia Tenggara sendiri, belakangan muncul platform <em>crowdwork</em> yang cukup ternama, seperti Fastwork (Thailand), Projects.co.id (Indonesia), dan Sribulancer (Indonesia). </p>
<p>Kategori kedua adalah gig berbasis lokasi (<em>location-based gig</em>) yang pekerjaannya harus diselesaikan melalui interaksi tatap muka. Model yang paling umum dalam kategori ini adalah penyedia layanan transportasi (<em>ride-hailing)</em>, yang didominasi oleh Uber (AS), Didi (Cina), atau Lyft (AS). Model bisnis lainnya yang juga marak adalah jasa pengantaran makanan (Deliveroo, Justeat, UberEat) dan jasa kurir (Maxim, Lalamove). </p>
<p>Menariknya, platform yang mendominasi ekonomi <em>gig</em> Indonesia seperti Gojek, Grab, dan belakangan ini Shopee adalah platform yang mengombinasikan beragam layanan sekaligus, atau biasa disebut sebagai <em>superapp</em>. </p>
<h2>Berapa jumlah pekerja gig di Indonesia?</h2>
<p>Meski berkembang pesat, pemerintah masih gagap mengestimasi jumlah populasi pekerja <em>gig</em> ekonomi. Padahal, penting untuk mengetahui jumlah maupun tipologi dari pekerja <em>gig</em> agar dapat mencari kebijakan-kebijakan yang tepat. </p>
<p>Meski data Sakernas belum bisa secara sempurna memperkirakan jumlah pekerja <em>gig</em> di Indonesia, kita dapat menggunakan survei tersebut untuk melakukan perhitungan secara kasar.</p>
<p>Berangkat dari studi-studi sebelumnya yang pernah dilakukan di <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0019793918820008">AS</a>, <a href="https://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/handle/JRC112157">Eropa</a> dan <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/687553/The_characteristics_of_those_in_the_gig_economy.pdf">Inggris</a>, kami melakukan riset menggunakan data Sakernas 2019 untuk mengestimasi jumlah pekerja <em>gig</em> di Indonesia. Alasannya, Sakernas mulai mengikutsertakan pertanyaan mengenai apakah pekerja menggunakan internet pada pekerjaan utama–termasuk pemanfaatannya untuk komunikasi, promosi, atau transaksi–pada 2018 dan pertanyaan tambahan mengenai apakah proses penjualan barang/jasa dilakukan melalui situs web/aplikasi <em>marketplace</em> pada 2019. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dihilangkan pada 2020. </p>
<p>Kami menggunakan dua pendekatan untuk melakukan pengukuran. </p>
<p>Pertama, terbatas hanya untuk pekerja yang berusaha sendiri di sektor jasa yang menggunakan internet dan yang proses penjualan barang/jasanya dilakukan melalui situs web/aplikasi <em>marketplace</em>. Dengan pendekatan ini, kami memperkirakan terdapat 430 ribu orang pekerja <em>gig</em> di Indonesia yang bekerja penuh waktu. </p>
<p>Meskipun pendekatan ini sangat jelas menggambarkan karakteristik pekerja <em>gig</em>, kekurangan muncul dari ambiguitas pertanyaan survei yang bisa menghasilkan angka di bawah kondisi sebenarnya (<em>under-estimation</em>). Seorang pengemudi ojek <em>online</em>, misalnya, belum tentu mendefinisikan aplikasi Gojek yang dipakainya sebagai aplikasi <em>marketplace</em>.</p>
<p>Pendekatan kedua mendefinisikan pekerja <em>gig</em> secara lebih umum, yakni sebagai pekerja yang berusaha sendiri di sektor jasa yang memanfaatkan medium internet pada pekerjaannya. Dengan pendekatan ini terdapat 2,3 juta pekerja <em>gig</em> di Indonesia pada 2019 yang bekerja penuh waktu. Rinciannya, 1,2 juta pekerja berkecimpung di sektor transportasi dan sisanya di sektor jasa lainnya.</p>
<p>Pendekatan ini menggambarkan lebih banyak opsi platform dalam ekosistem ekonomi <em>gig</em> dan tidak menghasilkan ambiguitas dalam pertanyaan survei. Kekurangannya, definisi ini juga mengikutsertakan pengemudi ojek yang menggunakan aplikasi media sosial untuk mendapatkan konsumen tanpa melalui perantara platform, sehingga angka yang dihasilkan bisa saja di atas kenyataan di lapangan (<em>over-estimation</em>). </p>
<p>Berangkat dari dua pendekatan di atas, terdapat 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang bekerja di sektor <em>gig</em> sebagai mata pencaharian utama, atau setara dengan 0,3-1,7% dari total angkatan kerja di Indonesia pada 2019. </p>
<h2>Karakteristik pekerja gig Indonesia</h2>
<p>Data Sakernas juga membantu mengidentifikasi karakteristik pekerja <em>gig</em>, misalnya terkait jam kerja, gender, dan latar belakang pendidikan. </p>
<p>Kami menemukan bahwa pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi memiliki jam kerja yang tinggi hingga mencapai 57 jam per pekan. Hal ini sejalan dengan banyak riset yang menggambarkan kondisi pekerjaan pengemudi ojek daring dan kurir yang terpaksa <a href="https://kumparan.com/ideas-riset/68-pengemudi-ojek-daring-bekerja-hingga-16-jam-perhari-dan-nyaris-tanpa-libur-2108r48X2Kh">bekerja dalam waktu sangat panjang</a> untuk mencapai target dan bonus harian.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/14805897/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/14805897/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/14805897" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Dari sisi gender, pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi didominasi oleh laki-laki (97,6%). Sementara, rasio gender pekerja <em>gig</em> di sektor jasa lainnya mirip dengan pekerja formal, dengan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 36,4%. </p>
<p>Selain itu, riset kami juga mengonfirmasi bahwa ekonomi <em>gig</em> adalah fenomena urban. Sebanyak 88% pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi dan 80,7% di sektor jasa lainnya tinggal di perkotaan. </p>
<p>Fenomena ekonomi <em>gig</em> juga menunjukkan dominasi Pulau Jawa dan ibu kota. Sebanyak 1,7 juta (74%) pekerja <em>gig</em> berada di pulau terpadat di dunia ini. Lebih lanjut, 480 ribu (39%) pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi terkonsentrasi di aglomerasi Jakarta (Jabodetabek).</p>
<p>Selain Jabodetabek, konsentrasi pekerja <em>gig</em> sektor transportasi (jumlah pekerja per 100.000 orang penduduk dewasa) paling tinggi berada di ibu kota provinsi seperti di Manado, Bandar Lampung, dan Denpasar. Ini sejalan dengan ukuran pasar dan konsumen di tingkat lokal yang dilayani oleh jasa transportasi berbasis <em>gig</em> seperti ojek daring dan kurir barang maupun makanan.</p>
<p>Di sektor jasa lainnya yang bekerja secara daring, pekerja <em>gig</em> terdistribusi juga di kota-kota tier kedua yang ukuran populasinya lebih kecil. Mereka biasanya bisa ditemukan di kota yang identik dengan kota kreativitas, pariwisata, dan pendidikan seperti Denpasar, Malang, dan Yogyakarta. Dengan catatan bahwa pekerja di sektor ini bekerja secara daring, tidak sekadar fokus pada pasar lokal, kota-kota tersebut menjadi pilihan utama para pekerja <em>gig</em> terdidik berketerampilan tinggi yang identik dengan pekerja kreatif ini.</p>
<p>Dari segi upah, distribusi pendapatan di antara sesama pekerja <em>gig</em> transportasi–misalnya antara sesama pengemudi ojek daring–tidak berbeda jauh. Sebaliknya, pendapatan per bulan pekerja <em>gig</em> di sektor jasa lainnya cukup timpang.</p>
<p>Sebagai ilustrasi, pekerja <em>gig</em> di sektor jasa perusahaan bisa memiliki rata-rata pendapatan Rp4,9 juta per bulan, sementara di sektor pendidikan hanya sebesar Rp2,3 juta per bulan. </p>
<p>Dari rata-rata usia, pekerja <em>gig</em> umumnya lebih muda daripada pekerja informal lainnya. Ini karena biasanya seorang pekerja gig dituntut untuk melek teknologi dan bisa menggunakan aplikasi digital melalui perangkat komputer elektronik mereka. </p>
<h2>Masa depan ekonomi gig Indonesia</h2>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Pekerja gig di Indonesia." src="https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=186&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=186&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=186&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=233&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=233&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=233&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pekerja <em>gig</em> tak melulu berada di sektor transportasi <em>online</em>. Mulai dari pendidik hingga penulis lepas, kian banyak pekerja memanfaatkan platform untuk menjajakan jasa mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Daren Woodward/shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Besaran persentase pekerja <em>gig</em> di Indonesia berdasarkan penelitian kami tidak jauh berbeda dengan estimasi pekerja <em>gig</em> penuh waktu di <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0019793918820008">AS</a>, <a href="https://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/handle/JRC112157">Eropa</a>, dan <a href="https://www.thersa.org/globalassets/pdfs/reports/rsa_good-gigs-fairer-gig-economy-report.pdf">Inggris</a> yang berkisar di antara 0,5-5% dari angkatan kerja.</p>
<p>Bedanya, di negara-negara tersebut, ekonomi <em>gig</em> sudah diregulasi dengan jauh lebih serius. Di inggris misalnya, platform tidak bisa lagi mengategorikan orang yang bekerja di platformnya sebagai mitra. Pekerja <em>gig</em> kini <a href="https://www.cnbc.com/2021/03/18/uber-is-reclassifying-uk-drivers-as-workers-heres-what-happens-next.html">diklasifikasikan sebagai pekerja</a> yang punya hak upah minimum, hak istirahat, dan jaminan pensiun. </p>
<p>Uni Eropa kini sedang dalam proses membuat aturan yang komprehensif dan protektif tentang <a href="https://www.consilium.europa.eu/en/policies/platform-work-eu/"><em>platform work</em></a>. Aturan ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja dan hak-hak sosial orang yang bekerja dalam ekonomi <em>gig</em> di wilayah eropa. </p>
<p>Di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">kekosongan hukum terkait ekonomi <em>gig</em></a>. Keengganan pemerintah untuk meregulasi ekonomi <em>gig</em> tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut, karena pekerjaan dengan model ini kemungkinan akan terus berkembang dan berlipat ganda.</p>
<p>Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memiliki basis data yang jelas soal jumlah, sebaran, dan karakteristik pekerja <em>gig</em> secara nasional.</p>
<p>Penting bagi pemerintah untuk mengukur jumlah pekerja ekonomi <em>gig</em> secara independen tanpa melibatkan para perusahaan penyedia platform. Ini karena data pekerja <em>gig</em> yang terintegrasi dengan survei tenaga kerja akan bermanfaat untuk analisis perbandingan antara pekerja gig dengan pekerja dan angkatan kerja secara keseluruhan. </p>
<p>Dengan memiliki data yang akurat soal ekonomi <em>gig</em>, pemerintah diharapkan akan bisa membuat kebijakan yang ideal untuk masa depan ekonomi <em>gig</em> yang berkelanjutan dan lebih berkeadilan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211056/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski ekonomi gig tengah pesat berkembang, Indonesia belum memiliki basis data yang menggambarkan besaran dan sebaran pekerjanya. Sebuah riset berusaha memberikan ilustrasi dan menjembatani kekosongan ini.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Media Wahyudi Askar, Phd candidate, University of ManchesterMuhammad Yorga Permana, Lecturer in School of Business and Management ITB and PhD Student in Economic Geography, London School of Economics and Political ScienceLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/952092018-04-18T12:06:57Z2018-04-18T12:06:57ZBisakah pengemudi Grab dan Gojek membangun serikat yang kuat?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/215352/original/file-20180418-163991-1ruckbb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=9%2C1%2C914%2C614&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pengemudi transportasi online bekerja sendirian. Namun untuk memperbaiki kondisi kerja mereka, para pengemudi harus membangun gerakan bersama.</span> <span class="attribution"><span class="source">findracadabra/www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Pengemudi ojek online baru-baru ini berunjuk rasa di Jakarta menuntut pemerintah melindungi kepentingan pekerja di sektor transportasi online yang berkembang pesat beberapa tahun belakangan ini. </p>
<p>Protes tersebut digelar sehari setelah <a href="http://www.thejakartapost.com/life/2018/03/27/grabs-acquisition-of-uber-how-it-will-affect-indonesian-users.html">Grab, perusahaan taksi online asal Malaysia, mengumumkan mereka mengambil alih operasi Uber di Asia Tenggara</a>. Akuisisi ini membuat Grab, dan pesaing mereka di Indonesia, Gojek, menjadi pemain utama di pasar taksi dan ojek online Indonesia. </p>
<p>Para pengemudi ojek online <a href="https://tirto.id/ribuan-pengemudi-ojek-online-demo-di-depan-istana-negara-cGN7">ingin</a> pemerintah mengatur upah, asuransi, dan hal-hal lain terkait dengan pekerjaan mereka. Mereka juga menuntut perusahaan untuk menetapkan tarif dasar yang lebih tinggi dan meningkatkan penghasilan pengemudi.</p>
<p>Namun upaya mereka untuk membangun gerakan yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka berpotensi menghadapi tantangan yang serius. Tenaga kerja di sektor <em>sharing economy</em> ini terfragmentasi. Pengemudi bekerja secara independen dan terpisah secara fisik satu sama lain. Lebih jauh lagi, protes pengemudi ini terjadi saat organisasi pekerja dan masyarakat sipil menghadapi warisan demobilisasi yang terjadi selama puluhan tahun di bawah rezim Orde Baru. </p>
<p>Saat ini, layanan taksi online diatur di bawah peraturan yang dikeluarkan pada 2017 oleh Kementerian Perhubungan. Melalui peraturan ini, pemerintah dapat menetapkan harga layanan. Aturan tersebut juga mensyaratkan kendaraan yang digunakan dalam layanan ini harus lolos uji kelayakan (uji kir) sebagai angkutan umum. </p>
<p>Namun, dalam UU No. 22/2009, <a href="https://tirto.id/tuntutan-pengemudi-ojek-daring-terganjal-uu-lalu-lintas-cAzv">sepeda motor tidak diklasifikasikan sebagai transportasi publik</a>. Maka dari itu, hingga saat ini kegiatan ojek online dan perlindungan pengemudinya tidak memiliki perlindungan hukum. </p>
<h2>Aksi kolektif pekerja <em>gig economy</em></h2>
<p>Meningkatnya layanan taksi online di kota-kota besar di Indonesia merupakan bagian dari tren global berkaitan dengan perkembangan sektor baru yang disebut sebagai ekonomi <a href="http://www.wired.co.uk/article/what-is-the-gig-economy-meaning-definition-why-is-it-called-gig-economy">“<em>gig</em>”, “<em>sharing</em>”, dan “<em>on-demand</em>”</a>. Perusahaan-perusahaan yang membuat aplikasi digital menghadirkan pelbagai layanan—dari transportasi dan bersih-bersih hingga belanja—untuk pelanggan, dan digerakkan oleh tenaga kerja sementara dan fleksibel. </p>
<p>Di kota-kota besar di seluruh dunia, pertumbuhan perusahaan-perusahaan seperti Uber telah mendorong para <a href="http://prospect.org/article/demand-and-demanding-their-rights">pengemudi untuk mengorganisasi aksi bersama</a>. </p>
<p>Di Amerika Serikat, protes terhadap Uber biasanya kecil dan sporadis. Upaya ini belum berhasil menciptakan <a href="http://irle.berkeley.edu/labor-platforms-and-gig-work/">tekanan yang cukup kuat demi mendapatkan respons atas tuntutan pengemudi</a>. Karenanya, dalam rangka memberikan tekanan yang lebih kuat, para pengemudi di negara itu diwakili oleh serikat buruh tradisional maupun alternatif di pengadilan, arena legislatif, dan dalam perundingan khusus dengan Uber. </p>
<p>Di Indonesia, pengemudi taksi dan ojek online juga membentuk asosiasi yang mewakili kepentingan mereka sebagai sebuah kolektif. Mereka turun ke jalan untuk memperjuangkan soal <a href="https://www.techinasia.com/gojek-lowers-prices-spur-demand-drivers-protest">upah rendah</a> dan <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2016/10/03/hundreds-of-go-jek-drivers-protest-unfair-policy.html">kebijakan perusahaan yang tidak adil</a>. </p>
<h2>Tantangan dalam membentuk persatuan yang kuat</h2>
<p>Para pengemudi online bekerja sendiri-sendiri. Namun, ketidakpuasan atas perlakuan tak adil berkaitan dengan upah dan kondisi kerja mendorong mereka untuk melakukan pengorganisasian secara kolektif. Unjuk rasa pengemudi online belakangan ini bisa jadi indikasi adanya upaya <a href="http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:fDdhoFaPhUwJ:www.isrsf.org/files/download/442+&cd=3&hl=en&ct=clnk&gl=au">perlawanan bersama melawan kondisi kerja yang eksploitatif</a> dan upaya <a href="http://www.insideindonesia.org/the-go-jek-effect">memperjuangkan posisi tawar kolektif untuk upah dan kondisi kerja</a>.</p>
<p>Kita masih harus menunggu perkembangan ke depan untuk melihat apakah aksi bersama ini dapat bertransformasi menjadi serikat kerja yang solid, dengan strategi dan agenda yang dapat mendorong reformasi kebijakan kerja ke arah yang lebih baik.</p>
<p>Berikut adalah beberapa kondisi sosial yang dapat menghambat upaya para pengemudi taksi dan ojek online untuk membentuk serikat kerja yang solid. </p>
<p><strong>1. Kebanyakan pengemudi ojek online tidak merasa dieksploitasi</strong> </p>
<p>Di bawah sistem kerja fleksibel, pengemudi transportasi online bekerja dalam kontrak sekali jalan atau jangka pendek. Terlebih, penggunaan teknologi digital yang canggih memungkinkan kendali otomatis dalam proses kerja. Ini memaksimalkan produktivitas kerja para pengemudi. </p>
<p>Banyak pengemudi online menikmati fleksibilitas dan kebebasan yang ditawarkan usaha taksi online dan secara sukarela mengikuti logika modal. Meski ribuan pengemudi online ikut dalam unjuk rasa, riset mengenai pengemudi <a href="https://drive.google.com/file/d/0B1gQfkoFPIosTzNiS01vX3J5UnM/view">Gojek</a> dan <a href="https://www.grab.com/id/en/press/consumers-drivers/studi-menunjukkan-grab-mendorong-dampak-positif-para-penumpang-dan-mitra-pengemudinya/">Grab</a> menunjukkan sebagian besar puas dengan penghasilan dan kondisi kerja mereka. </p>
<p>Proses kerja dalam <em>gig economy</em> mendorong pengemudi agar mau memaksimalkan produktivitas mereka dan mendapatkan penghasilan lebih banyak. Bagi banyak pengemudi, membangun persatuan yang kuat dengan strategi dan agenda yang jelas, dapat menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi—sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk bekerja. Pengemudi bisa jadi bersatu untuk mengatasi masalah-masalah jangka pendek, tapi mungkin akan lebih sulit bagi mereka untuk membangun suatu serikat kerja yang solid. </p>
<p><strong>2. Mengemudi ojek untuk penghasilan tambahan</strong> </p>
<p>Riset mengenai pengemudi <a href="https://drive.google.com/file/d/0B1gQfkoFPIosTzNiS01vX3J5UnM/view">Gojek</a> menunjukkan bahwa banyak di antara mereka tidak benar-benar bergantung pada pendapatan dari layanan ojek online. <a href="https://kevinhewison.files.wordpress.com/2011/02/kalleberg-and-hewison-2015.pdf">Luasnya sektor informal di Indonesia</a> dan <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/07/social-security-all-workers.html">skema perlindungan sosial yang tidak selalu dapat diandalkan</a> membuat banyak warga di Indonesia mencari penghasilan dari beberapa pekerjaan. </p>
<p>Salah satu syarat untuk menciptakan serikat kerja yang solid adalah perasaan solidaritas sosial yang kuat. Ini mungkin sulit dicapai karena pengemudi terfragmentasi berdasarkan kemampuan ekonomi yang berbeda-beda. Kebanyakan pengemudi Gojek, misalnya, memiliki pekerjaan lain dan bergabung dengan platform online tersebut untuk mendapatkan penghasilan tambahan. </p>
<p><strong>3. Serikat buruh tradisional kurang efektif dalam mewakili pekerja online</strong> </p>
<p>Organisasi buruh dan gerakan sosial yang lebih luas bisa memperkuat dampak dari unjuk rasa pengemudi online dan mendukung pengemudi membangun serikat kerja yang solid. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia <a href="https://fspmi.or.id/setelah-gojek-grab-dan-uber-bergabung-dengan-fspmi.html">telah merekrut</a> pengemudi online sebagai anggota. Namun infrastruktur serikat buruh yang ada memiliki keterbatasan dalam pengorganisasian di luar basis massa tradisional mereka, yaitu pekerja industri. </p>
<p>Ini sebagian disebabkan oleh <a href="http://www.insideindonesia.org/labour-takes-a-citizenship-approach">puluhan tahun demobilisasi gerakan masyarakat sipil dan buruh</a> di bawah rezim Orde Baru. Saat ini semakin sulit bagi pekerja untuk membangun serikat karena sistem kerja menjadi semakin fleksibel. </p>
<p>Bahkan di AS, di mana serikat kerja dan kelompok buruh alternatif telah mewakili pengemudi taksi online di arena legislatif dan yudikatif dan dalam negosiasi dengan perusahaan, <a href="http://irle.berkeley.edu/labor-platforms-and-gig-work/">tidak banyak hasil yang dicapai</a>.</p>
<p><strong>4. Keterlibatan yang terbatas dari organisasi masyarakat sipil</strong> </p>
<p>Organisasi berbasis masyarakat tampak tidak banyak terlibat dengan unjuk rasa pengemudi online. Mereka seperti absen dari aksi kolektif para pengemudi online. </p>
<p>Di sisi lain, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2016.1197959">berbagai pihak termasuk kelompok radikal yang menyerukan agenda yang reaksioner</a> menyasar kelompok pekerja di sektor informal untuk mobilisasi. Sebagian besar pengemudi ojek online direkrut dari kelompok ini. Hal ini dapat semakin menghambat konsolidasi dalam membentuk serikat yang kuat. </p>
<h2>Selanjutnya apa?</h2>
<p>Unjuk rasa pengemudi taksi dan ojek online merepresentasikan benih pengorganisasian kolektif. Namun, dengan semakin terfragmentasinya dan teratomisasinya dunia kerja, serta serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil bertarung dengan warisan-warisan otoriterianisme, maka tidak mudah untuk mengubah protes-protes sporadis ini menjadi serikat kerja yang solid. </p>
<p>Kita perlu memikirkan cara agar organisasi buruh dan gerakan masyarakat sipil yang lebih luas terhubung secara strategis dengan unjuk rasa pengemudi online, dan pada saat yang sama mengakui tantangan-tantangan yang harus dihadapi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95209/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengemudi ojek online menghadapi beberapa tantangan dalam membentuk perserikatan yang kuat.Diatyka Widya Permata Yasih, Lecturer, Department of Sociology, Universitas IndonesiaAndi Rahman Alamsyah, Lecturer in Sociology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/845992017-09-26T10:30:32Z2017-09-26T10:30:32ZCerita pengemudi menguak eksploitasi di Gojek, Grab, dan Uber<p>Uber, Gojek, dan Grab telah membanjiri pasar transportasi urban dengan citra sebagai penghubung antara pengemudi dan penumpang. Pengemudi disebut sebagai <a href="http://www.bbc.com/news/business-36330006">“mitra” atau “wirausahawan mikro”</a> yang dapat menentukan berapa banyak uang yang ingin mereka hasilkan, kapan pun mereka mau. </p>
<p>Namun, <a href="http://www.isrsf.org/files/download/442">penelitian saya</a> menunjukkan bagaimana citra seperti itu mengecoh, bahkan mengelabui pengemudi dan penumpang. Selama enam bulan, dari November 2016 hingga April 2017, saya menganalisis narasi dan testimoni pengemudi dalam berbagai forum di Facebook dan Google+ yang diikuti lebih dari 80.000 anggota. Saya juga berbincang dengan sepuluh pengemudi di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar pada pertengahan 2017. </p>
<p>Saya menemukan bahwa, alih-alih menjalani hubungan kemitraan, pengemudi mengalami relasi eksploitatif. Mereka diperlakukan seperti buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim atau bahkan tak ada sama sekali. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/transportasi-online-di-indonesia-sukses-tapi-kerja-pengemudi-rawan-80686">Transportasi online di Indonesia sukses, tapi kerja pengemudi rawan</a></em></p>
<hr>
<p>Menggunakan teknologi dan retorika, perusahaan transportasi daring berhasil mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara. Sistem tersebut menciptakan ketimpangan akses dan kuasa yang membuat perusahaan mampu memaksa pengemudi terus memeras keringat. Di saat yang sama, perusahaan mengeliminasi hak-hak pengemudi sebagai pekerja dan membebankan biaya dan risiko kepada mereka. </p>
<h2>Otomatisasi kontrol</h2>
<p>Memang benar bahwa pengemudi dapat memutuskan untuk mematikan aplikasi kapan pun mereka mau. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Sesudah masuk ke dalam <em>app</em>, program tersebut mengontrol pengemudi – ke mana mereka pergi, pesanan apa yang mereka ambil. Pilihan pekerjaan datang dalam hitungan detik. Pengemudi hanya memiliki waktu 10 detik untuk memilih “terima” atau “menolak” order yang ditujukan pada mereka.</p>
<p>Gojek, Grab, dan Uber mengatur jumlah minimum penerimaan pesanan yang membuat pengemudi harus terus-menerus mengambil penumpang. Jumlah order yang dijalankan sangat menentukan dalam pendapatan bonus bagi pengemudi. Tarif pengemudi (Rp 1.000-2.000 per kilometer untuk ojek) tidak cukup menutupi kebutuhan hidup. Akibatnya, kebanyakan pengemudi bergantung pada bonus harian sebagai pendapatan utama.</p>
<p>Bonus diberikan berdasarkan poin. Mengantar penumpang untuk jarak jauh dan pesanan tertentu seperti pengantaran makanan dihargai dengan poin lebih tinggi. Namun pesanan jenis ini juga memakan lebih banyak biaya bagi pengemudi karena mereka harus menanggung bahan bakar dan parkir. </p>
<p>Jumlah bonus dan poin berbeda di tiap-tiap perusahaan. Untuk Gojek contohnya, <a href="https://driver.go-jek.com/hc/id/articles/235509348-Perhitungan-Point-dan-Bonus-Driver-GO-JEK-NON-JABODETABEK">bonus harian maksimum sekitar Rp 90.000</a> untuk motor - jumlah ini terus menurun dari bulan ke bulan. </p>
<p>Agar bisa mengambil bonus, pengemudi harus meraih 60-75% rata-rata tingkat penerimaan pesanan (persentase pekerjaan yang tuntas dari seluruh pesanan, atau persentase performa) dan mendapat rating 4,5 dari penumpang. </p>
<p>Sistem semacam ini membentuk pola yang saya sebut “<a href="http://burawoy.berkeley.edu/Books/MC/Three.pdf">gamification of work</a>” atau kerja yang dibuat menyerupai permainan. Perusahaan menentukan target pencapaian penghasilan yang mendorong pengemudi untuk bekerja lebih lama dan lebih keras. Kerja pengemudi tidak hanya sesederhana memberikan tumpangan tapi juga permainan matematika: pengemudi harus terus mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapatkan upah yang cukup. </p>
<p>Namun, aturan permainan tidak jelas. Seringkali persentase kinerja pengemudi tidak bertambah meski mereka telah menyelesaikan pesanan. Sebaliknya, jika order dibatalkan–baik oleh pengemudi maupun pelanggan–persentase performa mereka jatuh drastis. </p>
<p>Seorang pengemudi yang menjadi informan saya mengekspresikan keheranannya: </p>
<blockquote>
<p>“Performa itu kayak rupiah: naiknya susah, tapi gampang banget terjun bebas.” </p>
</blockquote>
<p>Ketika pengemudi mencoba melaporkan masalah teknis ini ke perusahaan, mereka mendapat jawaban standar, “Memang sudah begitu diatur oleh sistem”. Namun bagi para pengemudi tidaklah masuk akal bahwa mesin bisa mencurangi mereka. “Pasti manusia yang curang pada kami.”</p>
<p>Bonus sebagai insentif ditunjang dengan pengenaan skors (<em>suspend</em>) sebagai alat mendisiplinkan pengemudi. Sistem skors adalah strategi utama untuk memaksa pengemudi mengikuti aturan. </p>
<p>Pengemudi tidak dapat menolak atau membatalkan terlalu banyak pesanan. Risikonya, pengemudi dapat dikenai sanksi mulai dari <em>suspend</em> sementara sampai putus mitra. </p>
<p>Sebagai gambaran, Gojek memiliki <a href="https://driver.go-jek.com/hc/id/articles/115000020907-Jenis-jenis-Pelanggaran-GO-JEK">daftar yang panjang pelbagai aturan</a> yang dapat berakibat pengenaan sanksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan putusnya kerja sama (putus mitra). </p>
<p>Beberapa kasus di <a href="https://metro.tempo.co/read/news/2017/02/17/064847641/gaji-ditahan-perusahaan-pengemudi-go-jek-lapor-polisi">Gojek</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20170704120912-185-225623/ratusan-sopir-grabcar-demo-kembalikan-uang-kami/">Grab</a> menunjukkan bahwa pengemudi tidak dapat menarik uang di akun deposit mereka jika mereka diberhentikan. </p>
<h2>Ilusi “kemitraan”</h2>
<p>Perusahaan menutupi praktik ekploitasi tenaga kerja dalam bingkai retorika kebebasan, fleksibilitas, dan kemitraan. Retorika ini bertumpu pada konsep konvensional hubungan kerja yakni pemberi kerja memiliki alat produksi dan membayar upah per jam. Kenyataan bahwa perusahaan hanya menyediakan aplikasi selalu ditekankan untuk menciptakan kesan bahwa <a href="https://m.tempo.co/read/news/2015/11/11/078717793/soal-kasus-go-jek-ini-pendapat-menaker-hanif-dhakiri">pengemudi bukanlah pekerja</a>. </p>
<p>Jauh dari sebuah platform yang netral, aplikasi ini menciptakan hierarki antara penumpang-perusahaan-pengemudi. Perusahaanlah yang berada di puncak kekuasaaan, dengan kontrol pada teknologi, modal, dan akses. Sementara itu, “<a href="https://hbr.org/2016/04/the-truth-about-how-ubers-app-manages-driversple.com/">penumpang bertindak sebagai manajer</a>” karena rating mereka menentukan bonus yang diterima pengemudi. </p>
<p>Walau rating membantu memastikan kualitas pelayanan, penumpang yang tidak memahami standar rating bisa merugikan pengemudi. Seorang teman saya enggan memberikan lima bintang karena menurutnya “kesempurnaan hanya milik Tuhan.” Sementara bagi pengemudi, bintang empat sudah menjatuhkan rata-rata rating mereka. </p>
<p>Jika ada perselisihan, perusahaan hampir pasti membela penumpang. Salah seorang narasumber saya mengatakan temannya diblok aksesnya selama tiga hari oleh Grab karena seorang penumpang salah mengirimkan komentar buruk kepadanya soal pengemudi lain. </p>
<p>Posisi sebagai “mitra” mengharuskan pengemudi untuk menyediakan alat produksi mereka sendiri (kendaraan) dan menanggung biaya bahan bakar, parkir, perawatan, asuransi kendaraan, dan komunikasi dari saku mereka sendiri. </p>
<p>Akibatnya, semakin banyak mereka bekerja, semakin mahal pengeluaran, semakin besar risiko kelelahan dan kecelakaan yang mereka hadapi.</p>
<p>Pada akhirnya, perusahaan memegang kendali dalam menentukan aturan tenaga kerja. Sesudah memotong subsidi bagi pengemudi, manuver terbaru adalah mengurangi jumlah bonus secara perlahan dan menambah persentase performa minimum. Perusahaan sangat sering mengubah dan menambah aturan, sementara pengemudi tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi. </p>
<p>Pengemudi telah berupaya memperjuangkan hak mereka melalui aksi protes di jalanan. Namun pada 2017, <a href="https://driver.go-jek.com/hc/id/articles/115000020907-Jenis-jenis-Pelanggaran-GO-JEK">perusahaan mulai melarang pengemudi terlibat dalam aksi unjuk rasa apa pun</a>. </p>
<h2>Kekosongan hukum</h2>
<p>Temuan penelitian saya beririsan dengan <a href="http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2686227">riset</a> dan <a href="https://www.nytimes.com/interactive/2017/04/02/technology/uber-drivers-psychological-tricks.html?_r=0">investigasi</a> mengenai aturan tenaga kerja Uber di Amerika Serikat, <a href="https://www.theguardian.com/technology/2016/dec/09/uber-drivers-report-sweated-labour-minimum-wage">Inggris</a>, dan <a href="https://thewire.in/110022/factory-workers-uber-drivers-nature-exploitation-changed/">India</a>. Pengemudi Uber telah mengajukan berbagai tuntutan hukum di pengadilan Amerika dan Eropa untuk memperjuangkan hak-hak pekerja mereka. </p>
<p>Di Indonesia, perusahaan seperti Gojek, Grab dan Uber dapat mengekploitasi tenaga kerja tanpa adanya batasan hukum. Peraturan Menteri Perhubungan mengenai transportasi online hanya mengatur hal-hal teknis seperti batas tarif uji kelayakan kendaraan untuk taksi online. Aturan ini pun dibatalkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung. </p>
<p>Dalam hal perlindungan kerja, Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini belum mengatur hak dan perlindungan buruh dalam relasi kerja semi informal gaya baru, seperti yang ada di industri transportasi online. </p>
<p>Pola-pola eksploitasi yang terjadi secara global menyoroti pentingnya kehadiran regulasi yang tanggap dengan cara-cara kerja baru di era digital. Sudah saatnya kita mulai mendorong perdebatan agar lebih fokus pada hak-hak pengemudi sebagai pekerja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84599/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aulia Nastiti menerima dana dari ISRSF (<a href="http://www.isrsf.org">www.isrsf.org</a>) untuk melakukan riset ini dalam kapasitas sebagai Arryman fellow. Ia terafiliasi dengan program Arryman di Equality Development and Globalization Studies, Buffett Institute, Northwestern University (<a href="http://www.edgs.northwestern.edu">www.edgs.northwestern.edu</a>). </span></em></p>Menggunakan teknologi dan retorika, perusahaan transportasi online berhasil mendikte pengemudi dan dalam waktu yang sama menciptakan ilusi hubungan yang setara.Aulia Nastiti, Ph.D Student in Political Science, Northwestern UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/806862017-09-05T07:33:44Z2017-09-05T07:33:44ZTransportasi online di Indonesia sukses, tapi kerja pengemudi rawan<p>Pemerintah Indonesia belum lama ini mengubah peraturan soal layanan transportasi online yang <a href="https://theconversation.com/uber-and-gojek-just-the-start-of-disruptive-innovation-in-indonesia-43644">mendisrupsi bisnis angkutan</a>. </p>
<p>Aplikasi online yang menghubungkan pengendara motor dan mobil dengan penumpang melalui telepon seluler menyediakan pilihan transportasi yang murah dan nyaman bagi penumpang. Namun penyedia layanan transportasi tradisional <a href="https://video.tempo.co/read/2015/08/27/3569/Sopir-Taksi-Demo-Tolak-Keberadaan-Taksi-Uber-dan-GoJek">protes terhadap saingan baru</a> ini. </p>
<p>Di bawah aturan baru pemerintah dapat mengendalikan harga layanan transportasi demi persaingan sehat antara layanan transportasi online dan tradisional. Kendaraan-kendaraan juga harus memenuhi minimum kapasitas mesin dan persyaratan laik jalan. </p>
<p>Perubahan-perubahan aturan ini untuk memastikan persaingan sehat antara layanan transportasi online dan angkutan tradisional. Meski demikian, aturan baru soal layanan transportasi online belum menyentuh dampak bertumbuhnya jumlah pengendara lepas terhadap kerawanan dan stabilitas kerja. </p>
<h2>Menciptakan peluang kerja</h2>
<p>Ada sekitar 300.000 akun yang terdaftar sebagai pengendara lepas untuk Gojek dan Uber di Indonesia. </p>
<p>Angka ini signifikan dan kemungkinan besar akan terus bertumbuh. Indonesia memiliki sekitar <a href="http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_381565.pdf">120,85 juta pekerja</a>, menurut data 2015. </p>
<p>Gojek dan Grab mulai beroperasi di Indonesia masing-masing di 2011 dan 2012. Gojek mengaku memiliki sekitar <a href="https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/250-000-driver-go-jek-kini-kuasai-jalanan-indonesia">250.000</a> pengendara. Uber memasuki Indonesia di 2014 dan tahun berikutnya mereka mengumumkan <a href="http://www.reuters.com/article/idUSJ9N13602C20151208">akan menambah jumlah pengemudi</a> dari 12.000 menjadi 100.000 di 2017. </p>
<p>Menurut <a href="https://assets.documentcloud.org/documents/1507970/uberstudy.pdf">sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2015</a> terhadap pengemudi Uber di Amerika Serikat, para pengemudi tertarik pada peluang pendapatan dan waktu kerja yang fleksibel yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan aplikasi transportasi. </p>
<p>Sebuah penelitian tahun 2015 yang dilakukan Grab mengenai para pengemudi mereka di Indonesia mengangkat <a href="https://www.grab.com/id/en/press/consumers-drivers/studi-menunjukkan-grab-mendorong-dampak-positif-para-penumpang-dan-mitra-pengemudinya/">dampak positif Grab pada pengemudi</a>. Supir Grab dapat membayar biaya sekolah anak-anak mereka dan memiliki tabungan untuk membeli rumah. Selain itu, pengemudi GrabCar menakar fleksibilitas kerja sebagai keuntungan utama bergabung dengan layanan tersebut. </p>
<h2>Pekerjaan yang tak stabil dan rawan</h2>
<p>Namun pekerjaan ini bukan tanpa kekurangan. Pengemudi layanan transportasi online diklasifikasikan sebagai kontraktor mandiri atau mitra kerja, bukan karyawan. Ini berarti pengemudi dan keluarga mereka harus <a href="http://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/cllpj37&div=40&id=&page=">mengatasi sendiri risiko-risiko yang berhubungan dengan pekerjaan</a>.</p>
<p>Klasifikasi ini <a href="http://www.go-ride.co.id/terms">membebaskan perusahaan</a> dari kewajiban untuk memenuhi upah minimum, uang lembur, tunjangan kesehatan, pensiun, dan jaminan sosial pekerja. </p>
<p>Para pengemudi yang bergantung pada taksi online sebagai sumber pemasukan utama mereka <a href="https://www.techinasia.com/gojek-evil-drivers-share-thoughts-improve">lebih rentan terhadap ketidakpastian pendapatan</a>, dibandingkan mereka yang memiliki pekerjaan lain. </p>
<p>Waktu kerja yang fleksibel juga membuat pengemudi terpapar pada risiko-risiko lain karena mereka <a href="http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/cccr.12157/full">cenderung bekerja lebih lama</a>, seringkali di jam-jam yang tidak wajar, untuk memaksimalkan pemasukan mereka. </p>
<h2>Sektor informal</h2>
<p>Ketidakpastian dan kerawanan ini mirip dengan <a href="http://abs.sagepub.com/content/early/2012/12/04/0002764212466236">pengalaman pekerja-pekerja sektor informal</a>, seperti kuli pasar, pembantu rumah tangga, dan pengemudi ojek biasa. </p>
<p>Pengemudi taksi online juga merasakan pengalaman pekerja formal yang dipekerjakan <a href="http://abs.sagepub.com/content/early/2012/12/04/0002764212466236">melalui <em>out-sourcing</em> atau alih daya</a>. </p>
<p>Di banyak negara di Asia, <a href="https://kevinhewison.files.wordpress.com/2011/02/kalleberg-and-hewison-2015.pdf">praktik ketenagakerjaan yang rawan</a> telah lama menjadi “standar” karena luasnya sektor informal dan kegagalan sektor formal menciptakan lapangan pekerjaan tetap. </p>
<p>Kerawanan dan ketidakpastian yang berhubungan dengan pekerjaan ini bagian dari tren global <a href="http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_443267.pdf"><em>casualisation of labour</em></a>, di mana pekerjaan-pekerjaan tetap berubah menjadi kerja kontrak jangka pendek atau lepas. </p>
<p>Tren ini berhubungan dengan meluasnya neo-liberalisme, sekumpulan ide dan kebijakan yang mendukung persaingan pasar bebas secara global. </p>
<p><a href="https://www.amazon.com/Precariat-New-Dangerous-Class/dp/1472536169">Perubahan-perubahan ini</a> telah mendorong kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel, membongkar sistem negara kesejahteraan (<em>welfare state</em>) di tempat-tempat sistem itu sebelumnya berlaku, dan mengurangi akses kelompok termiskin dunia terhadap berbagai layanan sosial. </p>
<h2>Dampak kerawanan dan ketidakpastian kerja</h2>
<p><a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/000312240907400101">Penelitian menunjukkan</a> kerawanan dan ketidakpastian yang berhubungan dengan pekerjaan mempengaruhi pekerja secara fisik, psikologis, dan moral. </p>
<p>Kerawanan dan ketidakpastian pekerjaan meningkatkan stres, menyebabkan penyakit, juga merusak kualitas hubungan dalam keluarga dan anggota-anggota masyarakat yang lain. </p>
<p>Lebih dari itu, pekerja yang mengalami kerawanan dan ketidakpastian <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2016.1197959">rentan terpengaruh politisi populis</a> yang seringkali menggunakan isu-isu etnis dan keagamaan untuk menarik dukungan. Tanpa sarana yang memadai untuk menyuarakan aspirasi mereka, para pekerja dengan mudah akan mendengarkan suara-suara yang menyebabkan perpecahan. </p>
<h2>Tingkatkan perlindungan pekerja</h2>
<p>Pemerintah, perusahaan-perusahaan, serikat pekerja, dan elemen-elemen lain dari masyarakat perlu memikirkan ulang arti pekerjaan dan hubungan tenaga kerja dalam sistem ekonomi di era digital. Kita perlu juga memikirkan dampak semua ini pada pekerja. </p>
<p>Serangkaian strategi diperlukan untuk menyatukan pengemudi dan menciptakan saluran yang menyuarakan aspirasi para pekerja lepas transportasi online. Strategi-strategi ini perlu menimbang bahwa pengaturan kerja fleksibel dalam ekonomi era digital berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan konvensional. </p>
<p>Penting juga menimbang ulang klasifikasi pengemudi sebagai kontraktor independen. Pengemudi-pengemudi di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada telah menuntut Uber untuk mengklasifikasikan mereka sebagai karyawan, bukan kontraktor independen. <a href="http://business.financialpost.com/news/transportation/uber-drivers-are-employees-not-contractors-canadian-lawsuit-argues">Keputusan atas sengketa ini bervariasi</a>. Beberapa hakim menetapkan bahwa pengemudi Uber adalah karyawan. Namun sebuah arbitrasi di Kalifornia, Amerika Serikat menetapkan pengemudi Uber sebagai kontraktor, bukan karyawan. </p>
<p>Layanan transportasi online bisa jadi telah menyediakan peluang pemasukan yang cukup berarti bagi para pengemudi. Namun, layanan ini menciptakan lapangan kerja yang rawan bagi pengemudi, dan kita perlu membicarakan masalah ini.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/80686/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Diatyka Widya Permata Yasih tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Indonesia telah mengubah aturan transportasi online demi persaingan sehat. Namun pemerintah belum membahas masalah ketidakpastian dan kerawanan pekerjaan yang dialami pengemudi.Diatyka Widya Permata Yasih, Lecturer, Department of Sociology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.