Artikel ini adalah bagian pertama dari rangkaian artikel yang akan membahas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Bawesdan, jurnalis dan aktivis Dhandy Dwi Laksono, aktivis dan pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman, serta jurnalis yang juga musisi Ananda Badudu adalah korban terakhir penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh negara.
UU ITE dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2008, yaitu 10 tahun setelah perjuangan reformasi yang memberikan perlindungan kepada warga untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Ironisnya, UU ITE justru terus mengancam kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan pada era reformasi 1998.
Pemerintahan SBY mengeluarkan UU ITE dengan niat untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional.
Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah dan aparat justru menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam para pihak yang mengkritik negara. Hal ini tentu saja mencederai kebebasan berekspresi warga yang terus merosot.
Organisasi pengawas independen untuk demokrasi dan kebebasan Freedom House menyatakan status Indonesia turun dari bebas menjadi separuh bebas menjelang akhir pemerintahan SBY pada 2014. Peringkat Indonesia dalam indeks kebebasan internet turun dari posisi 41 tahun 2013 menjadi 42 pada tahun berikutnya.
Kondisi bertambah buruk pada pemerintahan Jokowi, figur presiden yang diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan politik.
Di bawah pemerintahan Jokowi, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 dari tahun 2015 menjadi 11 pada 2019.
Pola penyalahgunaan UU ITE
Meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan SBY ke Jokowi.
Data yang saya olah dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International telah menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat.
Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan.
Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan baik.
Misalnya istilah “informasi elektronik” dalam UU ITE yang mudah sekali dipelintir. Apakah itu juga termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler? Padahal keduanya masuk dalam ranah privat.
Lalu kemudian UU ITE juga tidak dengan jelas membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik.
Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP.
Sebelum UU ITE berlaku, pelaku pencemaran nama baik dijerat dengan menggunakan Pasal 310-321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan.
Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian.
Penghinaan presiden
Merosotnya kebebasan tampaknya disebabkan oleh menguatnya peran kepolisian dan penggunaan wewenang yang berlebihan dalam menjaga nama baik institusi pemerintah khususnya presiden.
Menurut data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019.
Tidak tanggung-tanggung, pemidanaan terbanyak adalah mereka-mereka yang dianggap “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi. Jumlahnya 82 dari total 241 kasus atau lebih dari sepertiganya.
Dari total 82 tersebut, mayoritas (65 orang) dipidana karena menghina Jokowi di media sosial. Sisanya terjadi lewat medium offline seperti orasi dan demonstrasi. Mayoritas pemidanaan ekspresi di media sosial tersebut berasal dari inisiatif kepolisian yang melakukan pemantauan media siber.
Contoh yang cukup menonjol adalah kasus Sri Rahayu, seorang ibu rumah tangga. Dia divonis penjara selama 1 tahun dan denda 20 juta pada Agustus 2017 karena dianggap telah menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan “menghina” Jokowi lewat unggahan di Facebook.
Sebenarnya ada banyak orang lain yang sama dengan Sri karena telah dikriminalisasi dengan tuduhan telah “menghina” Presiden Jokowi. Kasus Sri hanya gambaran puncak gunung es dalam hal kebebasan berekspresi di Indonesia.
Rencana untuk menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden melalui revisi KUHP akan mendorong represi atas kritik pejabat negara menjadi lebih intens. Hal ini tentu akan semakin mengancam kebebasan berekspresi warga.
Melokal
Data dari SAFENET tahun 2018 menunjukkan dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE dari tahun 2008, lebih dari sepertiga pelapor (35,92%) adalah pejabat negara. Sasaran mereka adalah aktivis, jurnalis, hingga pegawai negeri, dan guru.
Umumnya kasus pembungkaman kritik banyak terjadi di tingkat lokal karena cakupan media lokal yang terbatas dan loyal terhadap penguasa setempat. Kondisi media yang seperti itu menjadikan kasus pembungkaman tidak terekspos dan akhirnya dibiarkan begitu saja.
Kondisi tersebut menyebabkan represi negara terhadap kebebasan untuk mengkritisi pemimpin negara menjadi “terdesentralisasi” – ia bukan lagi upaya yang terkolaborasi, namun dalam kendali kepentingan-kepentingan individual penguasa lokal.
Hal ini terlihat di Sulawesi Selatan.
Ada kasus pidana guru sekolah menengah pertama (SMP) Budiman di Pangkep pada 2013, lalu kasus aktivis anti korupsi Muhammad Arsyad di Makassar tahun 2014, dan pegawai negeri Fadli Rahim di Gowa tahun 2015. Kasus mereka terkait kritik yang mereka tujukan pada penguasa di media sosial mereka.
Pada ketiga kasus ini, kriminalisasi ini diiringi dengan intimidasi fisik oleh para pendukung pejabat pemerintah yang menjadi subjek kritik online.
Analisis ke depan
UU ITE telah tujuh kali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan yang terkait kebebasan berekspresi selalu ditolak. Hanya sekali saja gugatan terhadap pasal penyadapan dikabulkan pada tahun 2010.
MK selalu menolak gugatan yang dilayangkan terkait UU ITE karena mereka masih percaya pentingnya UU ini. Mereka berpikir “kalau tidak ada pasal ini orang bebas menghina orang lain”.
Selain itu, ada kepentingan politik dari penguasa untuk mempertahankan UU ini karena mereka dapat mengkriminalisasi suara-suara kritis yang dianggap “menghina” atau “membenci” presiden dan otoritas dengan menggunakan UU ini.
Yang bisa dilakukan adalah mendorong penghapusan pasal-pasal UU ITE yang rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Setidaknya, langkah yang perlu diambil lebih jauh oleh pemerintah adalah mendorong jalur-jalur non-pidana, seperti perdata, sehingga pelaku tidak diganjar hukuman penjara tapi harus membayar denda.