Menu Close
(ANTARA FOTO)

Urgensi memberantas kekerasan seksual di sekolah – salah satu dosa besar dunia pendidikan

Parlemen akhirnya mengesahkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) setelah diperjuangan oleh masyarakat dan elemen sipil selama kurang lebih 10 tahun.

Namun, payung hukum yang mengatur lingkup, penanganan, dan pemidanaan kekerasan seksual ini bukan tujuan akhir. Indonesia menghadapi tugas besar untuk mengimplementasikan dan membudayakannya dalam berbagai lini dan ranah kehidupan – termasuk dunia pendidikan.

Hal ini penting mengingat banyaknya kasus kekerasan seksual di kalangan anak, remaja, dan pelajar dalam beberapa tahun terakhir.

Sepanjang 2021, misalnya, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sebanyak 8.730 anak menjadi korban kekerasan seksual (naik 25% dari tahun sebelumnya).


Read more: Data Bicara: negara gagal lindungi mayoritas korban yang alami kekerasan seksual di lingkungan terdekat


Data di atas tentu adalah “puncak gunung es.” Demi menjaga nama baik, masyarakat cenderung kukuh menutup aib keluarga atau lembaga pendidikan yang terlibat kasus.

Tetapi, kini kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan – sekolah, madrasah, hingga pesantren – mulai banyak terungkap melalui berita dan media sosial.

Kita belum lupa, misalnya, akan kasus guru pesantren Herry Wirawan yang memperkosa 13 murid perempuan yang ia asuh.

Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pun telah menyebut kekerasan seksual sebagai salah satu dari tiga dosa besar pendidikan di Indonesia – selain intoleransi dan perundungan.

Sebagai tempat dan ‘rumah kedua’ tempat anak dan remaja tumbuh besar dan berkembang, sekolah harus muncul sebagai salah satu aktor utama dalam pemberantasan kekerasan seksual. Terbitnya UU TPKS bisa jadi momentum penting untuk mewujudkannya.

Memberantas dosa besar dunia pendidikan

Sebenarnya, Kementerian Pendidikan sudah memulai langkah awal untuk meredam kekerasan seksual di ranah pendidikan ketika tahun lalu menerbitkan Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Inisiatif ini juga perlu dipertimbangkan untuk diperluas ke tingkat sekolah dasar dan menengah (SD hingga SMA).

Apalagi jauh sebelum Permen tersebut terbit, sudah ada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang dapat menjadi payung hukum untuk menciptakan lingkungan ramah anak yang bebas dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Hanya dengan mengacu pada Pasal 9 Ayat (1a) UU tersebut, misalnya, sesungguhnya setiap sekolah bisa diwajibkan mempunyai kebijakan PPKS terhadap anak baik di dalam maupun di luar sekolah.

Kini, terbitnya UU TPKS semakin menambah landasan hukum maupun momentum untuk pelaksanaan hal tersebut.

Sekolah bisa menyusun sendiri kebijakan PPKS sesuai dengan kondisi lingkungannya dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan. Kebijakan yang dibuat sendiri dipercaya akan lebih mendorong penyusun untuk bertanggung jawab dalam melaksanakannya.

Mulai di tingkat SD/MI, kebijakan anti-kekerasan seksual dapat digabung dengan kebijakan kekerasan terhadap anak secara umum, dan kemudian semakin spesifik pada kekerasan seksual seiring anak memasuki jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK.

Sekolah dapat membentuk gugus tugas – serupa dengan yang diterapkan banyak kampus pasca terbitnya Permendikbudristek tentang PPKS – untuk mensosialisasikan, mencegah, dan menangani kasus.

Yang juga tak kalah penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan adalah mewajibkan pengajaran anti-kekerasan seksual dan batasan relasi antara anak dengan orang lain, sebagai bagian penting dari pendidikan kesehatan seksual.

Hasil riset Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang membedah 735 putusan pengadilan selama 2018-2020, misalnya, menemukan mayoritas korban (76,6%) adalah anak berusia kurang dari 18 tahun, dengan banyak pelaku merupakan orang di lingkungan terdekat anak seperti pacar, teman, keluarga, hingga guru. Namun, sejauh ini belum ada materi kurikulum yang membekali anak untuk merespons kekerasan seksual.

Padahal, riset telah menunjukkan bagaimana kini banyak orang tua di Indonesia telah mendukung pendidikan kesehatan seksual di sekolah.


Read more: Di tengah masyarakat yang religius, banyak orang tua di Indonesia mendukung pendidikan kesehatan seksual di sekolah


Membangun budaya anti-kekerasan seksual di sekolah

Pada Februari 2022, kami di SMERU Research Intitute mengadakan serangkaian lokakarya kebijakan PPKS untuk para staf. Lokakarya ini diadakan dalam rangka penyusunan, pemberlakuan, dan pembudayaan kebijakan PPKS dalam organisasi SMERU maupun partner kerjanya.

SMERU melakukan ini karena menyadari bahwa budaya suatu organisasi sangat mempengaruhi norma, nilai, dan rutinitas yang membangun perilaku sosial para anggotanya – termasuk dalam aspek anti-kekerasan seksual.

Sama seperti SMERU, lembaga pendidikan seperti sekolah pun merupakan suatu organisasi. Kebijakan anti-kekerasan seksual yang baik dapat memupuk budaya baru di organisasi sekolah.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam proses transformasi sosial para murid dan guru, utamanya menyadarkan tentang hak individu atas tubuhnya sendiri dan cara menghormati hak tersebut. Kesadaran ini akan berdampak pada pemahaman bahwa tubuh orang lain bukanlah objek untuk dikomentari, diobjektifikasi, dan dieksploitasi.


Read more: Bukan hanya soal kekerasan: memaknai ketidakberdayaan dalam perkosaan


Selain itu, kebijakan anti-kekerasan seksual juga dapat menyadarkan adanya relasi kuasa maupun privilese dalam struktur gender yang rentan disalahgunakan. Kita bisa melihatnya pada kuasa antara guru dan murid, maupun antara siswa laki-laki dan perempuan. Aspek ini pun dijelaskan dalam Permendikbudristek tentang PPKS maupun UU TPKS.

Dengan memahami dinamika relasi kuasa dan gender tersebut, murid sebagai generasi masa depan dapat memiliki kesadaran sosial yang lebih baik untuk menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan.

Tujuan dari kebijakan PPKS di sekolah adalah mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Namun, melalui pengenalannya secara rutin kepada murid seiring mereka tumbuh dewasa, dalam jangka panjang diharapkan mereka dapat berkontribusi signifikan untuk mengurangi kasus kekerasan seksual dalam masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now