Menu Close

Vaksin malaria adalah lompatan besar ke depan: tapi inovasi tidak boleh berhenti di sini

Seorang pekerja kesehatan menyiapkan sebuah vaksin malaria di Yala, Kenya. Brian Ongoro / AFP via Getty Images

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengambil langkah bersejarah ketika pada 2021 merekomendasikan penggunaan vaksin malaria untuk anak kecil.

Pengumuman tersebut menandai satu pencapaian besar. Pengembangan vaksin malaria pertama berhasil melawan malaria falciparum, bentuk malaria paling mematikan dan yang paling umum di Afrika sub-Sahara.

Penyerapan vaksin secara luas dapat mencegah ribuan kematian di wilayah tersebut. Menurut Laporan Malaria Dunia 2020, lebih dari 250.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal karena malaria di Afrika pada 2019. Laporan itu adalah satu statistik sangat suram untuk penyakit yang dapat diobati dan dicegah.

Pengembangan vaksin ini (disebut RTS,S) telah memakan waktu lebih dari 30 tahun. Ini adalah puncak dari kerja para peneliti dari Walter Reed Army Institute of Research, bekerja sama dengan perusahaan farmasi GlaxoSmithKline dan organisasi kesehatan global PATH.

Produksi suatu vaksin malaria yang efektif merupakan tantangan karena parasit malaria dapat bersembunyi dari sistem kekebalan tubuh manusia. Selain itu, berbagai bentuk parasit malaria menginfeksi hati dan sel darah merah.


Read more: Why does malaria recur? How pieces of the puzzle are slowly being filled in


Uji coba vaksin dimulai pada 2019 di tiga negara Afrika: Ghana, Kenya dan Malawi. Hasilnya, vaksin RTS,S aman pada anak kecil, sehingga mengurangi rawat inap dan kematian pada anak yang divaksinasi lebih dari 70%.

Riset ini juga menunjukkan bahwa program vaksinasi malaria bisa dilakukan dalam konteks pedesaan Afrika.

Studi percontohan (pilot study) ini juga menunjukkan bahwa vaksin dapat menjangkau anak-anak yang tidak terlindungi dengan metode lain seperti kelambu di lokasi penelitian. Ini memberikan dukungan tambahan untuk seruan penggunaan vaksin secara luas di daerah yang terkena dampak malaria.

Sejak 2015 jumlah kasus malaria mendatar atau meningkat. Ini mengikuti masa 15 tahun yang jumlahnya terus menurun.

Penambahan vaksin RTS,S ke perangkat pengendalian dan eliminasi malaria dapat mengembalikan upaya global ke jalurnya. Namun, penambahan itu tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya cara atau jalan terbaik yang dibutuhkan untuk mencapai eliminasi malaria.

Bukan solusi lengkap

Vaksin ini memiliki beberapa kekurangan.

Pertama, dalam bentuknya yang sekarang, vaksin ini hanya bekerja sangat efektif pada anak-anak yang sangat muda, berusia antara 5-17 bulan. Anak-anak ini harus diberikan tiga dosis vaksin, setidaknya dengan jarak satu bulan. Dosis penguat keempat direkomendasikan pada 18 bulan agar vaksin bekerja optimal.

Hal ini membuat program vaksinasi yang efektif menjadi sangat menantang. Salah satu solusi yang mungkin adalah program vaksinasi berbasis masyarakat untuk meningkatkan akses dan meningkatkan kepatuhan.

Selain itu, meski mencegah penyakit parah, vaksin itu tidak serta merta mencegah infeksi. Ini mirip dengan vaksin COVID-19.

Ketiga, vaksin ini hanya efektif untuk satu (Plasmodium falciparum) dari lima parasit malaria manusia.


Read more: Breakthrough malaria vaccine offers to reinvigorate the fight against the disease


Ada kekhawatiran lain juga. Salah satunya adalah meningkatnya keraguan vaksin di seluruh Afrika.

Kemungkinan juga akan ada tantangan dalam memenuhi permintaan vaksin, mengingat fokus saat ini untuk memproduksi vaksin COVID-19.

Tantangan-tantangan ini membuat vaksin RTS,S tidak dapat menggantikan intervensi efektif yang telah ada. Contohnya penyemprotan residu dalam ruangan dan penggunaan kelambu berinsektisida.

Sebagai gantinya, vaksin harus dilaksanakan bersamaan untuk memutus siklus penularan malaria.

Karena vaksin RTS,S hanya efektif pada anak kecil, vaksin ini hanya akan digunakan jika mereka memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi daripada anak yang lebih besar. Kondisi seperti itu umumnya ditemukan di daerah penularan sedang hingga tinggi. Di daerah ini, infeksi malaria yang sering menyebabkan anak yang lebih tua mengembangkan kekebalan parsial.

Kekebalan ini mencegah anak menunjukkan tanda dan gejala malaria. Mereka menjadi pembawa malaria tanpa gejala. Banyak negara Afrika endemik malaria, termasuk Botswana, Eswatini, Namibia, dan Afrika Selatan, memiliki intensitas penularan yang sangat rendah, sehingga populasinya tidak mengembangkan kekebalan terhadap malaria.

Pemuatan vaksin RTS,S dalam program imunisasi anak di negara dengan penyebaran malaria rendah ini tidak akan efektif secara biaya.

Terlepas dari tantangan yang terkait dengan vaksin RTS,S, penambahannya ke rangkaian intervensi pengendalian malaria merupakan lompatan maju dalam perang global melawan malaria.

Namun inovasi vaksin tidak boleh berhenti sampai di sini. Upaya harus dilakukan untuk mengembangkan vaksin yang efektif pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, yang hanya membutuhkan satu dosis dan efektif melawan semua malaria pada manusia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now