Menu Close

Xi Jinping terpilih lagi: untung buat Indonesia, tapi gelombang protes yang sedang terjadi dapat memperburuk sentimen anti-Cina

Presiden Joko Widodo bersama Presiden Xi Jinping. Media Center G20 Indonesia

Presiden Cina, Xi Jinping resmi terpilih kembali sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC). Ia mengukir sejarah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara tirai bambu: memimpin Cina selama tiga periode berturut-turut.

Sebuah studi terbaru oleh lembaga kajian politik dan ekonomi global yang berbasis di Indonesia, LAB45 mengindikasikan bahwa terpilihnya kembali Xi dapat membawa manfaat ekonomi bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia.

Pasalnya, Cina dan Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang kuat di bidang energi, khususnya batu bara. Kendati demikian, di sisi lain, penggunaan batu bara kian dikritisi oleh masyarakat internasional karena merupakan penghasil utama gas rumah kaca. Kini, banyak negara pun menargetkan untuk menurunkan produksinya secara bertahap.

Tapi, Indonesia tidak boleh menutup mata terhadap ketidakstabilan politik yang sedang terjadi di Cina.

Selain ramainya berita mengenai kudeta sebelum Xi terpilih, masyarakat Cina sendiri telah berulang kali menggelar demonstrasi besar-besaran menentang kebijakannya tentang perpanjangan lockdown (pembatasan sosial). Aksi protes warga sipil tersebut direspons dengan tindakan represif oleh aparat keamanan Cina.

Krisis yang tengah melanda Cina secara tidak langsung dapat meningkatkan sentimen anti-Cina di Indonesia, yang belakangan ini kian memburuk.

Fenomena ini berpotensi menciptakan instabilitas politik di Indonesia, khususnya menjelang pemilu presiden yang akan diselenggarakan pada 2024. Banyak ahli telah memperingatkan akan potensi kemunculan kembali isu politik identitas pada pemilu mendatang.

Apa yang terjadi di Cina

Di saat negara lain mulai melonggarkan kebijakan lockdown dan dunia semakin pulih, Cina masih tetap dengan pendiriannya untuk membasmi total penyebaran COVID-19.

Ketatnya kebijakan lockdown dari pemerintah Cina yang tak kunjung usai dalam tiga tahun terakhir telah menjerumuskan warganya sendiri ke masa-masa sulit. Rakyat Cina tak bisa mengandalkan subsidi dari pemerintah selama lockdown karena aksesnya sangat terbatas. Sementara itu, tingkat pengangguran pun terus meningkat. Orang-orang kehilangan sumber pendapatan sehingga tidak mampu membeli kebutuhan dasar sehari-hari.

Aksi protes dari masyarakat semakin meluas dan intens pasca terjadinya tragedi kebakaran di Urumqi, Xinjiang, yang menewaskan sepuluh orang. Beberapa media melaporkan bahwa ketatnya kebijakan lockdown COVID-19 telah menghambat upaya penyelamatan yang seharusnya tepat waktu. Tragedi naas tersebut kemudian memantik protes yang kian masif dari warga Cina.

Pekerja medis dikerahkan di kompleks perumahan di Distrik Chaoyang, Beijing, Cina, untuk mengambil sampel tes PCR dari warganya selama lockdown ketat. M. Irfan Ilmie/Antara Foto

Protes meluas ke berbagai kota di Cina, dari Beijing hingga Chengdu, Guangzhou, dan Wuhan. Orang-orang berbondong-bondong turun ke jalan untuk mengkritik pemerintah Cina. Informasi yang beredar di media sosial menyebutkan banyak pengunjuk rasa yang kemudian dilacak keberadaannya dan menjadi target penangkapan aparat keamanan Cina, walaupun mereka tidak melakukan tindakan kekerasan selama berdemo.

Namun, gejolak protes ini tak semudah itu tersebar ke belahan Cina lain. Ini karena masyarakat Cina di dalam negeri hanya dapat mengakses informasi dari media yang dikontrol oleh negara. Tentu saja negara menerapkan kebijakan sensor dan memberikan sedikit informasi tentang protes tersebut.

Oleh karena itu, komunitas warga Cina yang tersebar di seluruh dunia turut membantu menyuarakan protes atas lambannya respons pemerintah Cina terhadap insiden kebakaran tersebut dan juga melayangkan kritik atas ambisi kebijakan ‘Zero COVID’ yang diinisiasi oleh Presiden Xi.

Bagaimana krisis ini dapat mempengaruhi Indonesia

Lembaga penelitian ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura melakukan survei berjudul Proyek Survei Nasional Indonesia pada Juli 2022 terhadap 1.600 responden orang Indonesia dari berbagai gender, usia, wilayah, etnis, dan agama. Survei tersebut mengungkap bahwa hampir 25,4% responden menganggap kebangkitan Cina akan memiliki dampak negatif bagi Indonesia.

Hanya 30% responden yang percaya bahwa memperkuat hubungan dengan Cina akan menguntungkan Indonesia. Sementara 46% sisanya justru beranggapan bahwa Arab Saudi merupakan mitra yang lebih menjanjikan.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa pandangan positif masyarakat Indonesia terhadap Cina telah menurun ke level 66% pada tahun 2020, dari 76,7% pada lima tahun lalu. Sebanyak 41,5% responden memiliki kekhawatiran akan keterlibatan Indonesia dalam proyek Belt and Road Initiatives (BRI) Cina. Mereka menilai BRI bisa menciptakan jebakan utang bagi Indonesia dan negara lain. Krisis yang terjadi di Sri Lanka, yang merupakan akibat dari lilitan hutang kepada Cina, telah memperkuat persepsi tersebut.

Sentimen negatif tumbuh tidak hanya terhadap pemerintah Cina tetapi juga terhadap keturunan Cina di Indonesia. Sebanyak 41% responden menganggap keturunan Tionghoa masih setia pada Cina.

Oleh karena itu, dampak meluasnya protes di Cina, dan tanggapan keras pemerintahan di bawah Presiden Xi terhadap isu tersebut, berpotensi menjadi masalah bagi etnis Tionghoa-Indonesia. Sebagai konteks, sentimen negatif terhadap keturunan Tionghoa sudah lama mengakar di Indonesia.

Isu tersebut berpotensi memicu polemik dengan skala yang lebih besar lagi. Politik identitas, misalnya, memainkan peranan yang cukup masif selama pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta pada tahun 2017 silam. Kala itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang beragama Kristen dan merupakan keturunan Tionghoa, menghadapi diskriminasi rasial dari banyak kelompok masyarakat.

Pada Desember 2016, sentimen semacam itu – selain klaim penistaan agama – telah memicu ratusan ribu komunitas Muslim konservatif berkumpul di Jakarta untuk berdemo melayangkan protes kepada Ahok selama masa kampanye pilgub.

Isu politik identitas kembali muncul selama Pilpres 2019 antara calon petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang dikenal dekat dengan Ahok, dengan lawannya, mantan jenderal Prabowo Subianto yang mendapat dukungan dari sejumlah kelompok Muslim konservatif.

Dengan kata lain, politik identitas yang disebabkan oleh sentimen anti-Cina dapat berdampak negatif pada kondisi stabilitas politik negara.

Isu ini mungkin tidak secara langsung dan terbuka mempengaruhi hubungan bilateral Cina-Indonesia. Namun bagi Cina, stabilitas politik Indonesia sangatlah penting untuk menjamin hubungan keduanya dalam bidang ekonomi.

Kepemimpinan Presiden Xi dan Indonesia

Terlepas dari semua itu, di bawah kepemimpinan Presiden Xi, hubungan Cina-Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang lebih kuat. Sebanyak 72% responden berpendapat bahwa Cina masih merupakan negara yang penting secara ekonomi bagi Indonesia, khususnya di sektor energi, sebagaimna dilaporkan dalam survei ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Pada sidang umum PBB tahun 2020, Presiden Xi mengumumkan kebijakan Karbon Ganda (Double Carbon Policy), sebuah komitmen untuk mencapai puncak penggunaan karbon pada tahun 2030 dan menjadi negara bebas karbon pada tahun 2060.

Presiden Cina Xi Jinping menghadiri KTT G20 di Bali. Fikri Yusuf/Pusat Media G20 Indonesia

Kendati demikian, untuk menjaga stabilitas energi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sebelum mencapai netralitas karbon, Cina masih membutuhkan energi fosil yang bergantung pada batubara sebagai sumbernya. Dalam hal ini, Indonesia memegang peranan penting karena merupakan eksportir batubara terbesar di dunia sekaligus pemasok batubara terbesar bagi Cina.

Bahkan sepanjang tahun 2021, Cina mengimpor hampir 177 juta ton batubara, atau setara 74% dari total impor batubara negara tersebut, dari Indonesia.

Kondisi ini akan menguntungkan Indonesia secara ekonomi mengingat Cina melarang impor batubara dari Australia.

Cina juga butuh menjalin persahabatan dengan Indonesia guna memuluskan tujuannya untuk memperluas pengaruh geopolitiknya di Asia. Oleh karenanya, Cina sangat berpeluang untuk menawarkan berbagai inisiatif kerja sama yang lebih banyak kepada Indonesia di masa yang akan datang, termasuk di bidang ekonomi dan pembangunan.

Proyeksi ini dapat menjadi peluang untuk sekaligus melancarkan kepentingan ekonomi nasional Indonesia. Salah satunya ialah untuk memainkan peran yang lebih menonjol dalam urusan global.

Oleh karena itu, memiliki kerja sama dan dukungan yang kuat dari Cina – negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia – sangatlah penting bagi Indonesia. Apalagi, pengaruh Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara tengah menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Walaupun begitu, Indonesia tetap perlu mempertimbangkan dan mengantisipasi kondisi internasional yang semakin tidak pasti, terutama dalam menghadapi dinamika politik yang naik turun antara Cina dan AS.

Indonesia harus berhati-hati dalam mengambil posisi dan menyikapi gejolak internasional. Kebijakan luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif” dapat membantu pemerintah untuk mengambil jalan tengah.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now